Pengaruh Jenis Insektisida Terhadap Lalat Bibit (Ophiomyia phaseoli Try.) Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.)

  TINJAUAN PUSTAKA Hama lalat bibit pada tanaman kedelai

  Sejak tumbuh ke permukaan tanah hingga tanaman tua, tanaman kedelai tidak luput dari serangan hama. Hama yang menyerang tanaman kedelai sebanyak 111 jenis salah satunya adalah lalat bibit. Terdapat 3 jenis lalat bibit yang menjadi hama utama pada kedelai, antara lain Ophiomyia phaseoli Try., Melanagromyza

  sojae Zehn., dan Melanagromyza dolichostigma de meij (Marwoto, 1997).

  Kalshoven (1981) mengatakan bahwa Ophiomyia phaseoli Try. merupakan hama pada pembibitan pada kacang-kacangan yang paling merusak di Indonesia. Sehingga dalam penelitian ini hanya diteliti tingkat kerusakan

  O. phaseoli. Menurut Djuwarso (1998) cara termudah untuk membedakan spesies

  lalat adalah dengan mengidentifikasi letak larva dan pupanya, yaitu dengan jalan membelah tanaman. Apabila letak larva dan pupa ada di bawah kulit batang biasanya O. phaseoli Ophiomyia phaseoli Try.

  Taksonomi

  Adapun klasifikasi dari lalat bibit Ophiomyia phaseoli Try. menurut Kalshoven (1981) antara lain sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Ordo : Diptera Famili : Agromizidae Genus : Ophiomyia Spesies : Ophiomyia phaseoli Try.

  Biologi

  Telur O. phaseoli berwarna putih susu seperti mutiara, berbentuk lonjong dan tembus cahaya (Gambar 1). Panjang telur 0,13 mm dan lebarnya 0,13 mm, lama stadium telur berkisar antara 2-4 hari. dilapangan telur mulai ditemukan pada tanaman berumur 5-7 hari. Puncak populasi telur pada keping biji terjadi pada tanaman berumur enam hari (Djuwarso, 1988). Menurut Kartasapoetra (1990) daya produksi telurnya dapat mencapai rata-rata 95 butir per lalat.

  Gambar 1. Telur Ophiomyia phaseoli Try.

  Sumber: Deptan (2008) Larva yang baru ditetaskan dari telur berwarna bening, tetapi instar terakhir berwarna putih kekuningan. Bentuk larva memanjang dan ramping

  (Gambar 2). Stadia rata-rata larva adalah 10 hari (Goot, 1984). Menurut Kalshoven (1981) larva dan pupa O. phaseoli terletak pada jaringan kulit batang tanaman muda. Yang memiliki sepasang tanduk dibagian apikal dan ujung posteriornya (proses dari pembentukan tanduk pada toraks dan spirakel pada abdomen) pupanya memiliki dua tanduk yang terpisah.

  . Gambar 2. Larva O. phaseoli Sumber: Ginting (2009). Pupa terbentuk di bawah epidermis kulit pada pangkal batang atau pangkal akar. Pupa yang terbentuk berwarna kuning kecoklatan (Gambar 3), berukuran panjang 3 mm dengan stadia pupa berkisar antara 7-13 hari. stadia pupa berkisar antara 13-20 hari (Rusamsi, 1982).

  Gambar 3. Pupa O. phaseoli Sumber: Foto langsung. Deptan (2008) melaporkan bahwa imago betina O. phaseoli meletakkan telur sejak tanaman kedelai muncul di atas tanah sampai sekitar dua minggu setelah tanam (mst). Dari hasil penelitian Ginting (2009) imago O. phaseoli mulai ditemukan pada pertanaman kedelai mulai umur tanaman 6 hari setelah tanam (hst). Imago O. phaseoli berukuran 1,9-2,2 mm, lalat kacang dewasa berwarna hitam (Gambar 4).

  Gambar 4. Imago O. phaseoli Sumber: Foto Langsung

  Gejala serangan

  Tanaman terserang lalat kacang ditunjukkan dari adanya bintik-bintik putih pada keping biji atau daun pertama. Bintik-bintik tersebut merupakan luka bekas tusukan ovipositor lalat kacang, selain itu gejala serangan ditunjukkan dari alur-alur coklat pada keping biji dan kulit batang yang merupakan bekas gerekan larva. Tanaman yang tidak tahan dengan serangan larva keping biji akan cepat gugur, tanaman layu dan akhirnya mati (Djuwarso et al. 1992).

  Gerekan larva menyebabkan tanaman menjadi layu, mati dan kering karena akar tidak dapat berfungsi normal untuk menghisap air dan unsur hara.

  Tanda serangan awal berupa bintik-bintik putih pada kotiledon, daun pertama atau daun kedua, yaitu bekas tusukan alat peletak telur lalat. Serangan larva sebelum umur 13 hari dapat menyebabkan kematian tanaman. Ambang kendali hama lalat bibit yaitu 1 imago per 5 m baris atau 1 imago per 50 rumpun (Deptan, 2008).

  Penelitian Ginting (2009) menunjukkan gejala serangan larva pada kotiledon mulai tampak pada umur tanaman 10 hst (Gambar 5). Pada umur 13 hst kotiledon yang terserang larva sudah mulai menguning dan larva sudah masuk ke dalam jaringan kulit batang. Berdasarkan hasil pengamatan gejala serangan pada kotiledon menunjukkan pada umur kedelai 10 hst tingkat serangan mencapai 29,9% dan menjadi 65,00% pada umur 13 hst. Pada umur 17 hst kotiledon sudah gugur dan larva sudah masuk ke dalam jaringan kulit batang sehingga gejala serangan tidak nampak dari luar, namun pertumbuhan kedelai tampak terhambat atau lebih kerdil dibandingkan tanaman yang tidak terserang.

  Gambar 5. Gejala serangan O. phaseoli Sumber: Foto Langsung

  Insektisida monokrotofos

  Organofosfat (OP) merupakan insektisida dengan unsur P sebagai inti yang aktif. Organofosfat merupakan insektisida yang sangat beracun bagi serangga dan bersifat baik sebagai racun kontak, racun perut, maupun fumigan. Berbeda dengan organoklorin. Daya racun OP mampu menurunkan populasi serangga dengan cepat. Insektisida OP menghambat bekerjanya enzim asetilkolinestrase yang berakibat terjadi penumpukan asetilkolin dan kekacauan pada sistem penghantaran implus ke sel-sel otot. Keadaan ini menyebabkan otot kejang dan akhirnya terjadi kelumpuhan (paralisis) dan kematian (Untung, 2000).

  Organofospat (contoh: malation, monokrotofos, paration, fosfamidon, bromofos, diazinon, dimetoat, diklorofos, fenitrotion, fention, dan puluhan lainnya) bekerja sebagai insektisida kontak atau sistemik. Kebanyakan diantaranya memiliki aktivitas residu dalam waktu pendek, karena itu perlu diaplikasikan berulang-ulang (Oka, 1999).

  Monokrotofos merupakan insektisida yang termasuk dalam golongan fosfat organik. Senyawa dari golongan pestisida ini berkerja menghambat aktivitas enzim kolinestrase yang dapat berakit fatal pada tubuh dengan gejala antara lain sakit kepala, pusing-pusing, lemah, pupil mengecil, gangguan penglihatan dan sesak nafas, mual, muntah, kejang pada perut dan diare, sesak pada dada dan detak jantung menurun (Saenong, 2012).

  Insektisida sipermetrin

  Sipermertin merupakan insektisida golongan Organoklorin yang digunakan untuk mengendalikan hama pada kapas dan sayuran seperti cabai, kedelai, dan kubis (Sari et al. 2012).

  Sipermetrin merupakan insektisida piretroid sintesis yang telah diformulasikan dengan berbagai merek. Insektisida ini mempunyai aktivitas yang rendah terhadap manusia, mamalia dan burung tetapi cukup toksik terhadap ikan atau organisme air. Sipermetrin stabil terhadap cahaya dan oksigen tetapi mudah terdegradasi dalam tanah dan tidak dapat dilacak pengaruhnya terhadap mikrofauna dan mikroflora (Loekman et al. 2005). Sama halnya dengan insektisida golongan organoklorin dan organofosfat, senyawa ini memiliki dampak negatif apabila digunakan secara tidak bijaksana (Sari et al. 2012).

  Organoklorin atau sering disebut Hidrokarbon Klor merupakan kelompok insektisida sintetik yang merupakan racun kontak dan racun perut, efektif untuk mengendlikan larva, nimfa dan imago kadang-kadang untuk pupa dan telur. Secara umum dapat dikatakan bahwa keracunan serangga oleh organoklorin ditandai dengan terjadinya gangguan pada sistem syaraf pusat yang mengakibatkan terjadinya hiperaktivitas, gemetaran, kejang-kejang dan akhirnya terjadi kerusakan syaraf dan otot serta kematian (Untung, 2000).

  Insektisida nabati

  Insektisida nabati adalah insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman dan sudah lama digunakan oleh petani. Insektisida nabati dapat dibuat dengan teknologi yang sederhana dapat berupa larutan hasil perasan, rendaman, ekstrak rebusan dari bagian tanaman berupa akar, umbi, batang , daun, biji, dan buah. Apabila dibandingkan dengan insektisida kimia penggunaan insektisida nabati relatif murah dan aman. Beberapa jenis tanaman yang dapat digunakan sebagai insektisida nabati yang dapat dibuat melalui teknologi sederhana adalah: mimba (Azadirachta indica), srikaya (Annona squamosa), mahoni

  (Swiatenia mahagoni), sirih (Peper bettle L.), dan sirsak (Annona muricata Linn)

  a (Deptan, 2011 ).

  Daun sirih (Peper bettle L.)

  Daun sirih mengandung minyak atsiri yang di dalamnya terdapat senyawa fenol sebanyak 55%. Senyawa ini mempresipitasikan protein secara aktif sehingga susunan protein berubah menjadi tidak sesuai dengan kebutuhan sel, serta merusak membran sel, dan menyebabkan terjadinya osmosis sehingga sel mengalami lisis. Hal ini menyebabkan metabolisme di dalam sel menjadi terganggu (Rachmawati dan Korlina, 2009).

  Kandungan kimia daun sirih adalah minyak atsiri 0,8 - 1,8 % (terdiri atas chavikol, chavibetol (betel phenol), allylprocatechol (hydroxychavikol), allypyrocatechol-mono dan diacetate, karvakrol, eugenol, phenol cymene, cineole, caryophyllene, cadinene, esragol, terpenena, seskuiterpena, fenil propane, tannin, diastase, karoten, tiamin, riboflavin, asam nikotinat, vitamin C, gula, pati dan asam amino. Chavikol yang menyebabkan sirih berbau khas dan memiliki khasiat antibakteri (daya bunuh bakteri lima kali lebih kuat daripada fenol biasa) (Arsensi, 2012).

  Daun sirsak (Annona muricata Linn)

Buah mentah, biji, daun, dan akar sirsak mengandung senyawa kimia

annonain yang dapat berperan sebagai insektisida, larvasida, penolak serangga

  (repellent), dan anti-feedant dengan cara kerja sebagai racun kontak dan racun perut. Selain itu daun sirsak juga mengandung senyawa acetogenin antara lain asimisin , bulatacin, dan squamosin (Kardinan 2002 dalam Tohir 2010).

  Riyanto (2009) melaporkan ekstrak daun sirsak terbukti efektif untuk dijadikan bahan repelen (penolak). Sifat repelen disebabkan karena adanya bau yang sangat tajam. Dari hasil penelitiannya didapati dalam waktu 96 jam fumigasi dengan ekstrak sirsak lebih toksik dibandingkan fumigasi ekstrak lengkuas dan beluntas terutama pada konsentrasi 0,5%, 1%, dan 2%. Pada konsentrasi ini sifat toksik fumigasi ekstrak sirsak sama dengan sifat toksik karbofuran dengan waktu fumigasi 48 jam dengan konsentrasi 0,25%.

  Bacillus thuringiensis

  Berdasarkan hasil penelitian Salaki dan Sembiring (2006) dari ciri-ciri morfologi sel dan koloni diperoleh 32 isolat bakteri B. thuringiensis. Ke 32 isolat tersebut pada media biakan menunjukkan morfologi koloni berbentuk ireguler, permukaan koloni kasar, datar dan agak mengkilap, warna koloni putih kekuningan. Sel vegetatif berbentuk batang dengan spora sub terminal. Bersamaan dengan terbentuknya spora dibentuk pula benda berupa kristal yang berada dekat spora yang dikenal dengan nama kristal protein yang merupakan bahan toksik terhadap serangga.

  Gama et al. (2010) melaporkan ada tanda-tanda kerusakan epitel dan saluran pencernaan yang timbul akibat aktivitas kristal protein (toksin) yang dihasilkan oleh B. thuringiensis isolat Madura. Pada jaringan usus tampak berlubang dan pada tepi lubang-lubang tersebut tampak warna gelap (hitam) yang mengelilingi jaringan tersebut. Hal ini disebabkan karena aktivitas kristal protein yang dihasilkan oleh bakteri B. thuringiensis isolat Madura, sedangkan bentuk usus tengah (midgut) sudah tidak utuh lagi.

  Beauveria bassiana

  Jamur entomopatogen B. bassiana memproduksi beauvericin yang mengakibatkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan inti sel serangga inang.

  Seperti umumnya jamur, B. bassiana menginfeksi serangga inang melalui kontak fisik, yaitu dengan menempelkan konidia pada integumen. Perkecambahan konidia terjadi dalam 1-2 hari kemudian dan menumbuhkan miselianya di dalam tubuh inang. Serangga yang terinfeksi biasanya akan berhenti makan sehingga menyebabkan imunitasnya menurun, 3- 5 hari kemudian mati dengan ditandai adanya pertumbuhan konidia pada integumen (Decianto dan Indriyani, 2009).

  Selanjutnya Soetopo dan Indriyani (2007) melaporkan konidia B. bassiana dapat diaplikasikan dengan cara disemprotkan pada kanopi tanaman, ditaburkan pada permukaan tanah, atau dicampur dengan tanah atau kompos. Temperatur dan kelembaban adalah faktor abiotik yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan konidia B. bassiana, cahaya melalui panjang gelombang sinar ultraviolet juga berpotensi merusak konidia sehingga aplikasi pada pagi (di bawah pukul 08.00) atau sore hari (di atas pukul 15.00) dapat menghindari kerusakan B. bassiana aman bagi serangga bukan sasaran, terutama serangga berguna dan musuh alami.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Jenis Insektisida Terhadap Hama Polong Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae)dan Etiella zinckenella Treit. (Lepidoptera: Pyralidae) Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.)

2 46 106

Pengaruh Beberapa Insektisida Terhadap Hama Lamprosema indicata F. (Lepidoptera: Pyralidae) dan Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidea) pada Tanaman Kedelai (Glycine max (L) Merril.) di Lapangan

3 76 57

Pengaruh Jenis Insektisida Terhadap Lalat Bibit (Ophiomyia phaseoli Try.) Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.)

2 41 70

Uji Efektivitas Granulosis Virus (Gv) Terhadap Ulat Grayak Spodoptera spp. (Lepidoptera: Noctuldae) Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Di Lapangan

1 61 69

Pengaruh Pemberian Insektisida Nabati Terhadap Serangan Hama Polong Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L. Merill) Di Lapangan

1 37 64

Analisis Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max L.) Varietas Grobogan Pada Kondisi Cekaman Genangan

0 0 5

Respons Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L.) Terhadap Pemberian Pupuk Guano

0 0 13

Pengaruh Jenis Insektisida Terhadap Hama Polong Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae)dan Etiella zinckenella Treit. (Lepidoptera: Pyralidae) Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.)

0 0 31

Pengaruh Jenis Insektisida Terhadap Hama Polong Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae)dan Etiella zinckenella Treit. (Lepidoptera: Pyralidae) Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.)

0 0 12

Pengaruh Jenis Insektisida Terhadap Lalat Bibit (Ophiomyia phaseoli Try.) Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.)

0 0 22