BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keterlambatan Proyek - Analisis Faktor-Faktor Penyebab Keterlambatan Proyek Konstruksi Jembatan Di Sumatera Utara Dan Aceh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keterlambatan Proyek

  Menurut Ervianto (2005) terdapat hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proyek, yang pada umumnya dibedakan atas hubungan fungsional, yaitu pola hubungan yang berkaitan dengan fungsi dari pihak-pihak tersebut dan juga hubungan kerja formal, yaitu pola hubungan yang berkaitan dengan kerjasama antara pihak-pihak yang terlibat dalam proyek konstruksi yang dikukuhkan dengan suatu dokumen kontrak. Secara fungsional terdapat 3 pihak yang sangat berperan dalam suatu proyek konstruksi, yaitu pihak pemilik proyek, pihak konsultan dan pihak kontraktor.

  Ketika proyek konstruksi terlambat, artinya pelaksanaan pekerjaan proyek tersebut tidak dapat diselesaikan sesuai dengan kontrak. Jika pekerjaan proyek tidak dapat dilaksanakan sesuai kontrak maka akan ada penambahan waktu. Apabila setelah penambahan waktu pelaksanaan proyek ini juga tidak selesai sesuai kontrak yang sudah disepakati, maka akan diberikan waktu tambahan oleh pihak pemilik (owner) kepada pihak pelaksana untuk menyelesaikan pekerjaan proyek tersebut.

  Dengan kata lain bahwa adanya waktu tambahan yang diberikan oleh pihak pemilik

  

(owner) kepada pihak pelaksana untuk menyelesaikan pekerjaan proyek, tetapi tidak

  juga terlaksana, maka kemungkinan akan terjadi pemutusan kontrak kerja (Madjid, 2006). Tambahan waktu untuk menyelesaikan proyek adalah solusi penyelesaian masalah. Tetapi adanya perpanjangan waktu dari jadwal kontrak, dapat disebabkan antara lain; pekerjaan tambah, perubahan desain, keterlambatan oleh pemilik. masalah diluar kendali kontraktor.

  Dengan adanya perbedaan perjanjian kontrak awal dengan selang waktu penyelesaian proyek maka terjadilah keterlambatan proyek yang tidak diinginkan oleh semua pihak-pihak terkait. Hal sama dinyatakan oleh Bordat et al. (2004) bahwa keterlambatan waktu pelaksanaan proyek adalah perbedaan antara pelaksanaan proyek pada saat perjanjian kontrak awal dan selang waktu penyelesaian proyek.

  Dalam pengertian lain Madjid (2006) berpendapat bahwa keterlambatan proyek konstruksi dapat diidentifikasi sebagai adanya perbedaan waktu pelaksanaan pekerjaan dengan jadwal yang direncanakan pada dokumen kontrak. Dapat dikategorikan sebagai tidak tepatnya waktu pelaksanaan proyek yang telah ditetapkan.

  Pembuatan rencana jadwal proyek konstruksi selalu mengacu pada perkiraan yang ada pada saat rencana pembangunan tersebut dibuat. Masalah dapat timbul apabila ada ketidaksesuaian antara jadwal rencana yang telah dibuat dengan pelaksanaannya. Sehingga dampak yang sering terjadi adalah keterlambatan waktu pelaksanaan penyelesaian proyek dan juga disertai dengan meningkatnya biaya pelaksanaan proyek tersebut (Widhiawati, 2009).

  Hal yang sama dinyatakan oleh Kaming et al. dalam Al-Najjar (2008) bahwa keterlambatan proyek diasumsikan sebagai perpanjangan waktu pelaksanaan proyek dari yang dijadwalkan oleh kontraktor sesuai kontrak. Keterlambatan proyek ini berdampak pada progress proyek dan tertundanya aktifitas pelaksanaan proyek dan kegiatan pelaksanaan proyek. Keterlambatan pelaksanaan proyek ini termasuk adanya faktor penyebab oleh faktor cuaca, sumber daya, perencanaan.

  Namun menurut Vidalis et al. dalam Al-Najjar (2008) mengatakan bahwa keterlambatan proyek konstruksi dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal.

  Penyebab keterlambatan proyek internal berasal dari pemilik, perencana (designer), kontraktor atau konsultan. Penyebab keterlambatan proyek eksternal (external) yaitu berasal dari luar proyek konstruksi seperti; keperluan perusahaan, pemerintah (government), sub kontraktor, pengadaan material (material suppliers), serikat buruh, keadaan alam yang tidak lazim (force majeur). Force majeur adalah kejadian diluar kemampuan kontraktor dan pemilik proyek, yang dapat mempengaruhi biaya, waktu seperti kejadian alam, huru hara, kebijakan pemerintah/ moneter.

  Hal berbeda dinyatakan oleh Alghbari et al. dalam Al-Najjar (2008) tentang penyebab keterlambatan eksternal seperti kurangnya material yang ada di pasaran, kurangnya peralatan dan alat-alat yang ada di pasaran, kondisi cuaca tidak lazim, kondisi lokasi, struktur tanah yang tidak layak, keadaan ekonomi yang tidak stabil (penukaran mata uang, inflasi), adanya perubahan undang-undang dan regulasi pemerintah, adanya keterlambatan pengiriman material, adanya faktor yang berasal dari pelayanan umum (jalan, fasilitas umum, public sevices).

  Dengan adanya keterlambatan proyek ini, maka 2 kategori yang berhubungan langsung yakni: masalah waktu pelaksanaan (time) proyek dan biaya (cost) (Le-Hoai

  et al . 2008).

  Ahmad dalam Wei (2010) menyatakan bahwa keterlambatan pelaksanaan proyek dikategorikan 2 bagian yaitu: tidak cukup (lack) material dan faktor-faktor lain termasuk, tenaga kerja, material, peralatan, financial problem (masalah keuangan). Faktor-faktor tambahan seperti cuaca, terlambatnya penerimaan material, perubahan design, kesalahan spesifikasi, dan force majeure, terjadi pemogokan di lokasi proyek.

  Pengelompokkan menurut Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009) yang menyatakan bahwa penyebab keterlambatan waktu pelaksanaan proyek jembatan antara lain: 1.

  Keterlambatan yang layak mendapatkan ganti rugi (compensable delay), adalah keterlambatan yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pemilik proyek (owner).

2. Keterlambatan yang tidak dapat dimaafkan (non excusable delay), adalah keterlambatan yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan kontraktor.

  3. Keterlambatan yang dapat dimaafkan (excusable delay), adalah keterlambatan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian diluar kendali baik pemilik maupun kontraktor. Abdullah et al. (2010) berpendapat bahwa Compensable delay adalah keterlambatan proyek adanya kontraktor memperoleh tambahan waktu (additional

  

time) pelaksanaan pekerjaan proyek dan kompensasi, akan tetapi untuk non

compensable delay, maka kontraktor hanya memperoleh tambahan waktu

  pelaksanaan proyek saja.

  Non excusable delay adalah keterlambatan proyek disebabkan kontraktor

  (contractor’d weakness) atau bukan kesalahan pemilik (owner). Kontraktor tidak mendapatkan tambahan waktu (no additional time) dan tambahan uang (no additional

  

money) akibat keterlambatan pelaksanaan proyek (Alaghbari dalam Sallah, 2009).

  Kontraktor bertanggung jawab atas keterlambatan pelaksanaan proyek. Adanya faktor penyebab keterlambatan proyek, seperti terlambatnya pengadaan material, kesulitan finansial (financial difficulties), tidak efektifnya perencanaan dan penjadwalan, perubahan manajemen.

  Menurut Al-Najjar (2008) bahwa Concurrent delay dapat terjadi jika hanya satu faktor penyebab keterlambatan proyek dan ini umumnya antara pelaksanaan waktu proyek dan uang yang menjadi masalah. Akan tetapi yang lebih kompleks terjadi dan lebih spesifik, adanya masalah lebih dari satu faktor penyebab keterlambatan proyek pada saat waktu pelaksanaan bersamaan progress skedul atau tumpang tindih (overlapping) waktu pelaksanaan proyek. Hal yang terjadi ini, mengakibatkan kontraktor dan pemilik yang bertanggung jawab atas keterlambatan proyek. Dalam pengertian lain menurut Rubin et al. dalam Braimah (2008) berpendapat bahwa concurrent delay adalah kondisi dalam dua atau lebih keterlambatan proyek yang terjadi pada waktu bersamaan progress pelaksanaan proyek.

  Pengertian Concurrent delay adalah keterlambatan pelaksanaan proyek lebih kompleks tapi juga lebih spesifik jenis keterlambatan proyek. Adanya keterlambatan proyek disebabkan lebih satu faktor atau kombinasi dari dua atau lebih penyebab keterlambatan proyek yang terjadi selama pada waktu bersamaan pelaksanaan proyek atau dapat terjadinya tumpang tindih (overlapping) periode waktu pelaksanaan proyek (Alaghbari dalam Sallah, 2009). Dalam pengertian lain, adanya keterlambatan pelaksanaan proyek terjadi waktu bersamaan pada progres pelaksanaan proyek dan kategori keterlambatan proyek ini termasuk excusable delay dan non excusable

  

delay. Oleh karena itu dampak keterlambatan pelaksanaan proyek ini, kemungkinan

bisa mengakibatkan terjadinya perselisihan (disputes) antara kontraktor dan pemilik.

2.1.1 Jenis-jenis Keterlambatan Proyek

  Jenis-jenis utama (main) keterlambatan proyek yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya yaitu Vidalis et al. dalam Al-Najjar (2008) antara lain:

  1. Keterlambatan proyek yang dapat dimaafkan (excusable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh kejadian-kejadian diluar kendali baik oleh pemilik maupun kontraktor.

  2. Keterlambatan proyek yang tidak dapat dimaafkan (non excusable

  delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan kontraktor.

  3. Keterlambatan proyek yang layak mendapat ganti rugi (compensable

  delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan pemilik.

  4. Keterlambatan proyek yang tidak layak mendapat ganti rugi (non

  compensable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan, kelalaian atau kesalahan kontraktor.

  5. Critical atau non critical, keterlambatan proyek ini adalah akibat dari waktu progress pelaksanaan proyek. Keterlambatan proyek yang tidak kritis (non critical delays), maka tidak berdampak pada skedul project. Terjadi efeknya pada kegiatan critical path pada skedul.

  6. Pelaksanaan progress atau terjadinya pada waktu bersamaan

  (concurrent) atau non concurrent. Hal ini terjadi ketika pemilik dan

  kontraktor yang bertanggung jawab atas penyebab keterlambatan pekerjaan proyek.

2.1.1.1 Keterlambatan proyek yang dapat dimaafkan ( excusable delay)

  Keterlambatan proyek terjadi diluar kontrol dan jika keterlambatan proyek ini terjadi, maka kontraktor mendapat biaya tambahan pelaksanaan proyek. Sedangkan menurut Al-Najjar (2008) bahwa keterlambatan proyek ini adalah suatu kejadian pelaksanaan proyek diluar prediksi dan diluar kontrol siapapun. Excusable delays dikenal dengan keterlambatan force majeure dan umumnya disebut Acts of God. Oleh karena itu yang terjadi ini bukan tanggung jawab dari pihak-pihak terlibat. Umumnya pada kontrak mengizinkan kontraktor mendapat tambahan waktu untuk penyelesaian proyek, akan tetapi tidak untuk tambahan uang (Alaghbari et al. dalam Al-Najjar 2008).

  Menurut Wei (2010) bahwa standar umumnya berkaitan dengan general

  

provisions suatu badan agensi spesifikasi publik. Wei juga mengatakan bahwa

  keterlambatan proyek dapat dimaafkan yang penyebab terjadinya antara lain: 1.

  Pemogokan pekerja.

  2. Kebakaran.

  3. Banjir.

  4. Keterlambatan yang tidak terduga (acts of God).

  5. Perubahan regulasi, seperti spesifikasi dari pemilik.

  6. Salah, kelalaian, tak dicantumkan didalam perencanaan tentang spesifikasi.

  7. Perbedaan kondisi lokasi lapangan (site) dengan kondisi yang berbeda dari perencanaan.

  8. Keadaan cuaca yang tidak lazim (unsually severe weather).

  9. Intervensi dari luar pemerintahan (government).

  10. Kurangnya inspeksi, kontrol dari pemilik.

  Terjadinya keterlambatan proyek yang dapat dimaafkan (excusable delay) dengan konsuekensi bahwa kontraktor menerima pembayaran tambahan untuk waktu pelaksanaan proyek. Sehingga peristiwa ini terjadi jika pemilik telah menunda perjanjian dalam dokumen kontrak yang telah disepakati pada pelaksanaan proyek (Ahmed et al. 2002).

  

2.1.1.2 Keterlambatan proyek yang tidak dapat dimaafkan (non excusable

delay)

  Selama proyek berlangsung, kontraktor dapat mengikuti progress proyek yang sudah dijadwalkan atau meleset progressnya, tergantung dari kontraktor tersebut.

  Wei (2010) berpendapat bahwa keterlambatan ini terjadi, apakah kontraktor dapat mengontrol pelaksanaan proyek atau sebaliknya. Karena keterlambatan pelaksanaan proyek ini mengakibatkan kontraktor tidak memperoleh apapun tambahan waktu pelaksanaan dan juga kompensasi (ganti rugi). Sedangkan menurut Ahmed et al.

  (2002) bahwa kontraktor memperoleh sanksi akibat keterlambatan proyek tersebut.

  

2.1.1.3 Keterlambatan proyek yang layak mendapat ganti rugi (compensable

delay)

  Keterlambatan proyek terjadi yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pemilik proyek (owner). Adanya keterlambatan pekerjaan proyek tersebut, maka pihak pelaksana (kontraktor) mendapat tambahan waktu pelaksanaan proyek. Selain itu memperoleh juga kompensasi (ganti rugi). Sedangkan Wei (2010) menyatakan bahwa apakah keterlambatan proyek itu mendapat ganti rugi, tergantung kontrak awal yang terjadi. Umumnya dengan adanya kontrak proyek, maka dapat memberikan spesifikasi jenis keterlambatan pelaksanaan proyek yang terjadi.

  

2.1.1.4 Keterlambatan proyek yang tidak layak mendapat ganti rugi (non

compensable delay)

  Keterlambatan proyek yang tidak layak mendapat ganti rugi (non

  

compensable delay), yakni keterlambatan proyek yang disebabkan oleh tindakan,

kelalaian atau kesalahan kontraktor.

  Menurut Wei (2010) bahwa kontrak awal memberikan kategori spesifikasi, apakah keterlambatan proyek tersebut layak mendapat ganti rugi atau sebaliknya.

  Tentu saja hal ini tergantung dari kontrak awal. Jika terjadi keterlambatan proyek kategori non compensable delay, maka pihak yang terlibat adalah kontraktor.

  Kontraktor tidak menerima apapun tambahan uang. Akan tetapi kemungkinan diizinkan untuk mendapatkan tambahan waktu penyelesaian pekerjaan proyek.

  2.1.1.5 Keterlambatan proyek yang kritis (critical delays)

  Menurut Wei (2010), keterlambatan proyek yang berakibat pada perubahan waktu pelaksanaan proyek. Hal ini mengakibatkan terjadinya perpanjangan waktu pelaksanaan dalam milestone, dan ini umumnya disebut dengan critical delays. Sedangkan keterlambatan proyek yang tidak mempunyai pengaruh adanya perubahan pelaksanaan atau milestone dan disebut non critical delays. Sementara itu jika kegiatan pelaksanaan proyek mengalami keterlambatan, maka kegiatan ini dapat dikontrol dengan adanya perpanjangan waktu pelaksanaannya antara lain dengan mengakibatkan:

  1. Permasalahan yang terjadi pada proyek tersebut.

  2. Perencanaan pekerjaan kontraktor dan skedulnya (critical path).

  3. Persyaratan kontrak selanjutnya.

  4. Kendala dalam proyek seperti bagaimana merealisasi pelaksanaan penyebab keterlambatan proyek.

  5. Adanya input untuk pekerjaan penyelesaian pelaksanaan proyek dari pandangan praktisi ahli.

2.1.1.6 Pelaksanaan progress atau terjadinya pada waktu bersamaan

  (concurrent delay)

  Al-Najjar (2008) mengatakan bahwa hal ini terjadi jika ada satu faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek. Umumnya diantara kedua faktor tersebut adalah waktu dan uang. Akan tetapi yang lebih kompleks kemajuan progress skedul critical path method (CPM). Penyebab keterlambatan waktu pelaksanaan proyek khususnya lebih spesifik adalah lebih dari satu faktor penyebab keterlambatan proyek sekaligus terjadi pada waktu bersamaan atau tumpang tindih (overlapping) pada kemajuan progress skedul critical path method (CPM). Ini mengakibatkan pemilik (owner) dan kontraktor yang bertanggung jawab pada keterlambatan proyek ini. Jika keterlambatan pekerjaan proyek tersebut sulit diselesaikan dan tidak juga dapat di perbaiki (recover), maka ini ada kaitannya dengan pihak yang terlibat yaitu pemilik. Sehingga kemajuan progress skedul critical path method (CPM) berbeda antara pemilik dan kontraktor. Tetapi hanya kontraktor mendapat efeknya terhadap perbedaan progress skedul critical path method (CPM).

  Jika ditinjau penjelasan diatas, keterlambatan pelaksanaan proyek concurrent

  

delay terjadi dengan adanya kedua belah pihak terkait yang bertanggung jawab,

  kontraktor dan pemilik (owner). Hal kemungkinan terjadi jika keterlambatan proyek tersebut sulit diselesaikan, yang disebabkan adanya kemungkinan terjadi pergantian progress critical path method.

  Dengan adanya concurrent delay menurut Abdullah et al. (2010) berpendapat bahwa keterlambatan ini kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya perselisihan antara kontraktor dan pemilik, sehingga kontraktor hanya mendapat tambahan waktu pelaksanaan pekerjaan atau kompensasi pada keterlambatan proyek kategori

  excusable delay. Akan tetapi penalti atau denda pada kategori non excusable delay.

  Untuk lebih jelasnya penjelasan diatas tentang jenis-jenis keterlambatan proyek dapat di gambarkan secara skematik pada Gambar 2.1: Excusable delay

  Non excusable delay Concurrent

  Non concurrent Non

  Compensable Non

  Critical compensable critical

  Kategori keterlambatan Proyek (Vitalis et al. dalam

  Gambar 2.1

  Al- Najjar, 2008)

  

2.2 Klasifikasi Penyebab Keterlambatan Proyek ditinjau dari Aspek

Manajemen dalam Pelaksanaan Proyek Konstruksi

  Terdapat 2 jenis aspek manajemen pelaksana proyek konstruksi yaitu: aspek manajemen proyek dan aspek manajemen konstruksi. Karena kedua aspek manajemen tersebut sangat berpengaruh dalam menentukan variabel dan sub faktor penyebab keterlambatan pelaksanaan proyek. Seperti penjelasan diatas, maka penulis merangkumnya didalam menentukan variabel penelitian disamping aspek-aspek lain yang dikombinasi, Definisi manajemen proyek adalah semua perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan koordinasi suatu proyek dari awal (gagasan) hingga berakhirnya proyek untuk menjamin pelaksanan proyek secara tepat waktu, tepat biaya dan tepat mutu (Ervianto, 2005).

  Manajemen konstruksi (construction management) menurut Ervianto (2005) adalah bagaimana agar sumber daya yang terlibat dalam proyek konstruksi dapat diaplikasikan oleh manajer proyek secara tepat. Sumber daya dalam proyek konstruksi dapat dikelompokkan menjadi manpower, material, machines, money,

  method.

  Disisi lain, Proboyo mengklasifikasikan penyebab keterlambatan berdasarkan aspek manajemen yang diambil sesuai definisi manajemen proyek, manajemen konstruksi dan dokumen kontrak.

  Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009) mengatakan bahwa terdiri 45 jenis penyebab keterlambatan dan diklasifikasikan dalam aspek manajemen yang diambil 6 aspek kajian dalam penelitian antara lain: A.

  Aspek Perencanaan dan Penjadwalan Pekerjaan antara lain: 1.

  4. Proses pembuatan gambar kerja oleh kontraktor.

  2. Kualifikasi personil/pemilik yang tidak professional dibidangnya.

  Keterbatasan wewenang personil pemilik dalam pengambilan keputusan.

  Aspek system organisasi, koordinasi dan komunikasi antara lain: 1.

  C.

  8. Adanya permintaan perubahan atas pekerjaan yang telah selesai.

  7. Ada banyak (sering) pekerjaan tambah.

  6. Ketidak sepahaman aturan pembuatan gambar kerja.

  5. Proses permintaan dan persetujuan gambar kerja oleh pemilik.

  3. Perubahan lingkup pekerjaan pada waktu pelaksanaan.

  Penetapan jadwal proyek yang amat ketat oleh pemilik.

  2. Perubahan desain/detail pekerjaan pada waktu pelaksanaan.

  Perencanaan (gambar/spesifikasi) yang salah atau tidak lengkap.

  Aspek lingkup dan dokumen pekerjaan (kontrak) antara lain: 1.

  B.

  6. Metode konstruksi/pelaksanaan kerja yang salah atau tidak tepat.

  5. Rencana kerja pemilik yang sering berubah-ubah.

  4. Penentuan durasi waktu kerja yang tidak seksama.

  3. Rencana urutan kerja yang tidak tersusun dengan baik/terpadu.

  2. Tidak lengkapnya identifikasi jenis pekerjaan yang harus ada.

  3. Cara inspeksi dan kontrol pekerjaan yang birokratis oleh pemilik.

  4. Kegagalan pemilik mengkoordinasi pekerjaan dari banyak kontraktor/sub kontraktor.

  5. Kegagalan pemilik mengkoordinasi penyerahan/penggunaan lahan.

  6. Keterlambatan penyediaan alat/bahan dll yang disediakan oleh pemilik.

  7. Kualifikasi dan teknis manajerial yang buruk dari personil-personil dalam organisasi kerja kontraktor.

  8. Koordinasi dan komunikasi yang buruk antar bagian-bagian dalam organisasi kerja kontraktor.

  9. Terjadinya kecelakaan kerja.

  D.

  Aspek kesiapan/penyiapan sumber daya antara lain: 1.

  Mobilisasi sumber daya (bahan, alat, tenaga kerja) yang lambat.

  2. Kurangnya keahlian dan ketrampilan serta motivasi kerja para pekerja- pekerja yang langsung di lapangan.

  3. Jumlah pekerja yang kurang memadai/sesuai dengan aktifitas pekerjaan yang ada.

  4. Tidak tersedianya bahan yang secara cukup pasti/layak sesuai kebutuhan.

  5. Tidak tersedianya alat/peralatan kerja yang cukup memadai/sesuai kebutuhan.

  6. Kelalaian/keterlambatan oleh pekerjaan sub kontraktor.

  7. Pendanaan kegiatan proyek yang tidak terencana dengan baik (kesulitan pendanaan di kontraktor).

  8. Tidak terbayarnya kontraktor secara layak sesuai haknya.

  7. Proses tata cara evaluasi kemajuan pekerjaan yang lama dan lewat jadwal yang disepakati.

  4. Adanya pemogokan buruh.

  3. Terjadi yang hal-hal yang tidak terduga seperti kebakaran, banjir, badai/angin ribut, gempa bumi, tanah longsor, cacat amat buruk.

  2. Transportasi ke lokasi proyek yang sulit.

  Kondisi dan lingkungan tapak ternyata tidak sesuai dengan dugaan.

  Aspek lain-lain (aspek diluar kemampuan pemilik dan kontraktor) antara lain: 1.

  F.

  6. Banyak hasil pekerjaan yang harus diperbaiki/diulang karena cacat/tidak benar.

  (kesulitan pembayaran oleh pemilik).

  5. Kegagalan kontraktor melaksanakan pekerjaan.

  4. Proses persetujuan ijin kerja yang bertele-tele.

  3. Proses pengujian dan evaluasi uji bahan dari pemilik yang tidak relevan.

  2. Proses permintaan dan persetujuan contoh bahan oleh pemilik yang lama.

  Pengajuan contoh bahan oleh kontraktor yang tidak terjadwal.

  Aspek sistem inspeksi, kontrol dan evaluasi pekerjaan antara lain: 1.

  E.

  5. Adanya huru hara/kerusuhan, perang.

  6. Terjadinya kerusakan/pengerusakan akibat kelalaian atau perbuatan pihak ketiga.

  7. Perubahan situasi atau kebijaksanaan politik/ekonomi pemerintah. Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009) menentukan 45 jenis (faktor-faktor) penyebab keterlambatan karena yang menjadi objek penelitiannya adalah proyek konstruksi bangunan gedung. Sedangkan peneliti melakukan penelitian adalah proyek konstruksi jembatan yang berlokasi di Sumatera Utara dan Aceh. Dengan demikian peneliti mengambil sumber kajian jenis penyebab keterlambatan berdasarkan peneliti- peneliti (researches) sebelumnya yaitu:

  1. Kraiem dan Dickman dalam Proboyo (2009).

  2. Vidalis et al dalam Al-Najjar (2008).

  3. Theodore dalam Wei (2010).

  4. Ahmed et al (2002). Dengan sumber kajian berdasarkan peneliti-peneliti (researches) sebelumnya, maka peneliti menentukan sebanyak 61 jenis faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan di Sumatera Utara dan Aceh. Namun selanjutnya enam puluh satu (61) jenis faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan ini akan dijelaskan pada bab tiga metodologi, apa saja jenis (faktor-faktor) tersebut.

2.3 Hal-hal yang berkaitan dengan Pelaksanaan Proyek Konstruksi Jembatan

  Terdapat hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek konstruksi jembatan, diantaranya adalah:

  2.3.1 Dampak Keterlambatan Proyek Konstruksi Jembatan

  Keterlambatan pelaksanaan proyek konstruksi jembatan tidak diinginkan semua pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), akibatnya dapat merugikan.

  Terlambatnya waktu penyelesaian proyek dari yang dijadwalkan semula, dan biaya tambah pelaksanaan penyelesaiannya. Termasuk juga pengguna jembatan adalah masyarakat. Dengan adanya masalah ini, maka pengguna jembatan yang seharusnya sampai ketempat tujuan dengan waktu sudah terjadwal. Akan tetapi lebih lama sampai ketempat tujuan dan termasuk biaya ongkos minyak kendaraan yang meningkat. Akibat menempuh perjalanan ketempat tujuan lebih jauh dan lama dari perjalanan yang normal. Dengan adanya keterlambatan penyelesaian waktu pelaksanaan proyek maka semua pihak dirugikan.

  2.3.2 Pembuktian Keterlambatan Proyek

  Adanya permasalahan keterlambatan pelaksanaan proyek yang terjadi, maka dapat menyebabkan perubahan pelaksanaan penyelesaian progress yang sudah dijadwalkan. Meningkatnya biaya dan kemungkinan putusnya kontrak (contract

  

termination ) (Arditi & Pattanakitchamrron dalam Wei, 2010). Oleh karena itu

  diperlukan pembuktian keterlambatan proyek sesuai kriteria penilaian terhadap kondisi keterlambatan pekerjaan, karena hal ini berhubungan dengan faktor-faktor apa penyebab keterlambatan proyek. Seperti diketahui bahwa pada saat progress pekerjaan dinyatakan kritis maka menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 07/PRT/M/2011 pasal 39.1 bahwa apabila penyedia terlambat melaksanakan pekerjaan sesuai jadwal maka PPK harus memberikan peringatan secara tertulis atau dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis. Pada pasal kritis 39.2 apabila: a

  Dalam periode I rencana fisik pelaksanaan 0% - 70% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana. b

  Dalam periode II rencana fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana. c

  Rencana fisik pelaksanaan 70% - 100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana dan akan melampaui tahun anggaran berjalan. Kondisi keterlambatan pekerjaan berdasarkan Permen PU No.43/PRT/M/2007. Langkah selanjutnya adalah: 1.

  Berita acara dengan program kerja yang telah disepakati sebagai uji coba I.

  Kontraktor melakukan uji coba I untuk dievaluasi.

2. Dan bila uji coba I gagal, maka diingkatkan dengan SCM tahap II dan dibuat berita cara dengan program kerja yang telah disepakati sebagai uji coba II.

  3. Namun, jika uji coba II gagal, maka ditingkatkan dengan SCM tahap III dan dibuat berita acara dengan program kerja yang telah disepakati sebagai uji coba III.

4. Pada akhirnya bila uji coba III gagal, maka akan dilakukan putus kontrak (contract termination by employer).

  Proses contract termination harus sesuai dengan Dokumen Kontrak (General

  Conditions

  pasal 15) antara lain, harus ada Surat Pemberitahuan (notice) dengan waktu yang telah ditentukan. Dijelaskan kembali urutan Permen PU No. 43/PRT/M/2007 menurut Pusjatan- Balitbang PU bahwa perlu adanya pembuktian keterlambatan proyek. Untuk itu diadakan pertemuan dalam hal terjadinya keterlambatan progress phisik oleh penyedia jasa berdasarkan jadwal kontrak (Contract schedule). Dalam hal terjadinya keterlambatan progress fisik oleh penyedia jasa, maka harus diikuti dalam pengambilan keputusan yakni:

  a) Jika terjadinya keterlambatan progress fisik antara 5% ─ 10 %, maka rapat pembuktian keterlambatan akan diadakan antara Direksi Pekerjaan, Direksi

  Teknis (SE/supervision engineer ) dan penyedia jasa.

  b) Jika terjadinya keterlambatan progress fisik antara 10% ─ 15%, maka rapat pembuktian keterlambatan akan dilaksanakan antara Pejabat Eselon II pada pemerintah pusat atau daerah yang memiliki kewenangan pembinaan jalan, Direksi Pekerjaan, Direksi Teknis, dan Penyedia Jasa.

  c) Jika terjadinya keterlambatan progres fisik pada periode I (rencana fisik 0% ─ 70 %) lebih besar dari 15% dan pada periode II ( rencana fisik 70%

  ─ 100%) lebih dari 10% mengacu pada syarat-syarat umum kontrak pasal 33 (kontrak kritis). d) Selanjutnya kegiatan rapat pembuktian keterlambatan harus dibuat dalam

  Berita Acara rapat pembuktian keterlambatan yang ditandatangani oleh pimpinan dari masing-masing pihak sebagai catatan untuk membuat persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan berikutnya. Dengan diketahuinya faktor penyebab keterlambatan proyek maka akan dapat ditentukan langkah selanjutnya jenis keterlambatan proyek.

  Perlunya pengendalian pelaksanaan pekerjaan terhadap kuantitas dan kualitas dilaksanakan berdasarkan dokumen kontrak dan program mutu yang telah disepakati.

  Untuk lebih jelasnya kriteria penilaian terhadap kondisi keterlambatan pekerjaan Permen PU No. 43/PRT/M/2007 menurut Pusjatan-Balitbang PU dapat digambarkan pada Tabel 2.1 sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kriteria Keterlambatan Proyek

  Periode Rencana Fisik Kriteria Keterlambatan Keterangan Wajar Terlambat Kritis

  I II 0% ─ 7% 0%

  ─ 7% >7% ─ 10% >10% Apabila sampai dengan Rapat Pembuktian Ketiga, Kontraktor gagal, maka dapat diusulkan: 1.

  Kesepakatan tiga pihak, atau

  2. Putus Kontrak (Termination) 70% ─ 100% 0% ─ 4% > 4% ─ 5% > 5%

  III 70% ─ 100% < 5% Melampaui tahun anggaran

  Komposisi Tim Show Cause Meeting Diserahkan pada PPK

  Diserahkan pada PPK Sumber: Permen PU No. 43/PRT/M/2007 Dengan adanya Permen PU No. 43/PRT/M/2007 menurut Pusjatan-Balitbang PU, maka setiap proyek yang mengalami kriteria penilaian terhadap kondisi keterlambatan penyelesaian proyek akan mengacu pada Permen PU No. 43/PRT/M/2007. Namun sekarang sudah diterbitkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 07/PRT/M/2011 tentang penanganan kontrak kritis pasal 39.3 yaitu: a.

  Dalam hal keterlambatan pada pasal 39.1 dan penanganan kontrak pada pasal kritis 39.2 penanganan kontrak kritis dilakukan dengan rapat pembuktian

  (show cause meeting/SCM).

  1) Pada saat kontrak dinyatakan kritis direksi pekerjaan menerbitkan surat peringatan kepada penyedia dan selanjutnya menyelenggarakan

  SCM. 2)

  Dalam SCM direksi pekerjaan, direksi teknis dan penyedia membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba pertama) yang dituangkan dalam berita acara SCM tingkat tahap I.

  3) Apabila penyedia gagal pada uji coba pertama, maka harus diselenggarakan SCM tahap II yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba kedua) yang dituangkan dalam berita acara SCM tahap II.

  4) Apabila penyedia gagal pada uji coba kedua, maka harus diselenggarakan SCM tahap III yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba ketiga) yang dituangkan dalam berita acara SCM tahap III.

  5) Pada setiap uji coba yang gagal, PPK harus menerbitkan surat peringatan kepada penyedia atas keterlambatan realisasi fisik pelaksanaan pekerjaan. b

  Dalam hal keterlambatan pada pasal 39.2 c PPK setelah dilakukan rapat bersama atasan PPK sebelum tahun anggaran berakhir dapat langsung memutuskan kontrak secara sepihak dengan mengesampingkan pasal 1266 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.

2.3.3 Penghentian Kontrak dan Pemutusan Kontrak

  Sesuai dokumen kontrak Dinas Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga antara lain: 1.

Pasal 41.1 menyatakan bahwa penghentian kontrak dapat dilakukan karena pekerjaan sudah selesai.

  2. Namun pada pasal 41.4 menyatakan pemutusan kontrak dilakukan para pihak terbukti melakukan kolusi, kecurangan atau tindak korupsi baik dalam proses pelelangan maupun pelaksanaan pekerjaan.

  Diketahui juga didalam Dokumen Kontrak (General Conditions pasal 15) dapat dilakukan proses contract termination seperti pada penjelasan diatas sebelumnya (dapat dilihat pada Tabel 2.2 Permen PU No. 43/PRT/M/2007).

  Menurut pasal 41.5 dokumen kontrak Dinas PU Direktorat Jenderal Bina Marga, pemutusan kontrak oleh pengguna jasa sekurang-kurangnya 30 hari setelah pengguna jasa menyampaikan pemberitahuan rencana pemutusan kontrak secara tertulis kepada penyedia jasa untuk kejadian (menurut pasal 41.5 dokumen kontrak Dinas PU Direktorat Jenderal Bina Marga) antara lain:

  a) Penyedia jasa tidak mulai melaksanakan pekerjaan berdasarkan kontrak pada tanggal mulai kerja sesuai dengan pasal 15.2.

  b) Penyedia jasa gagal pada uji coba ketiga dalam melaksanakan SCM sesuai pasal 33.2.a.6.

  c) Penyedia jasa tidak berhasil memperbaiki suatu kegagalan pelaksanaan, sebagimana dirinci dalam surat pemberitahuan penangguhan pembayaran sesuai dengan pasal 58.2.

  d) Penyedia jasa tidak mampu lagi melaksanakan pekerjaan atau bangkrut.

  e) Penyedia jasa gagal mematuhi keputusan akhir penyelesaian perselisihan.

  f) Denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan melampaui besarnya jaminan pelaksanaan.

  g) Penyedia jasa menyampaikan pernyataan yang tidak benar kepada pengguna jasa dan pernyataan tersebut berpengaruh pada hak, kewajiban, atau kepentingan pengguna jasa. h) Terjadinya keadaan kabar dan penyedia jasa tidak dapat melaksanakan pekerjaan sesuai dengan pasal 37.7.c.

  Dengan adanya kejadian yang timbul seperti diatas sebagaimana dirinci dalam huruf a) sampai h), pasal 1.266 maka Kitab Undang Undang Perdata tidak diberlakukan.

  Seperti penjelasan diatas, dapat dibedakan antara penghentian kontrak dan pemutusan kontrak. Namun demikian, penelitian ini hanya terjadi penghentian kontrak yang dilaksanakan, karena pelaksanaan pekerjaan proyek jembatan sudah selesai meskipun penyelesaian pelaksanaan proyek jembatan terlambat dari yang sudah dijadwalkan dan bukan pemutusan kontrak. Masalah analisis faktor-faktor penyebab keterlambatan proyek jembatan yang terlambat dari yang sudah dijadwalkan semula adalah penelitian yang dilakukan peneliti, dan diharapkan solusi penelitian ini diperoleh hasil sesuai dengan tujuan penelitian.

2.4 Penelitian sebelumnya berkaitan dengan Penyebab Keterlambatan Proyek

  Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan riset dan mempublikasikannya dalam bentuk jurnal, tesis, literature, handbook. Dibawah ini dijelaskan penelitian peneliti-peneliti sebelumnya, dan ini sebagai acuan untuk menyelesaikan tesis ini.

2.4.1 Beberapa Penelitian Terdahulu

  Analisis faktor faktor penyebab keterlambatan proyek konstruksi jembatan telah banyak dijadikan bahan penelitian. Beberapa penelitian menggunakan kuesioner, pengujian statistik, analisa tools yang sering digunakan adalah SPSS.

  Dewati et al (2010) melakukan penelitian dengan judul Proyek Pembangunan

  

Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR) WI Ruas Kebon Jeruk-Penjaringan Paket 4

& 5. Hasil penelitian mereka menemukan faktor faktor resiko yang paling dominan

  menyebabkan penurunan kinerja waktu, sehingga menyebabkan keterlambatan proyek pembangunan JORR (Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta) W 1 ruas Kebon Jeruk

  • – Penjaringan (Paket 4&5). Penemuan ini membuka jalan dalam mendapatkan penanganan yang tepat untuk memperbaikinya.

  Nainggolan et al (2010) melakukan penelitian dengan judul Manajemen

  

Resiko Kinerja Biaya dan Waktu Proyek Central Park Jakarta. Hasil penelitian yang

  diperoleh adalah proyek konstruksi apartemen termasuk salah satu proyek yang dipengaruhi oleh resiko dan ketidakpastian. Mengidentifikasi faktor faktor resiko dominan yang berpengaruh terhadap kinerja biaya dan waktu proyek pada konstruksi pembangunan Apartemen Central Park Jakarta Barat. Kuesioner ditujukan kepada

  

stakeholder seperti Developer dan Main Contractor, dianalisa secara statistik untuk

  mendapatkan model hubungan antara faktor faktor resiko terhadap kinerja waktu dan biaya proyek serta bobot variabel yang mempengaruhinya.

  Proboyo (1999) melakukan penelitian dengan judul Keterlambatan Waktu

  

Pelaksanaan Proyek. Hasil penelitian yang diperoleh adalah keberhasilan

  melaksanakan proyek konstruksi tepat pada waktunya adalah salah satu tujuan terpenting, baik bagi pemilik maupun kontraktor. Keterlambatan adalah sebuah kondisi yang sangat tidak dikehendaki karena akan sangat merugikan kedua belah pihak dari segi waktu dan biaya. Penelitian ini bertujuan menemukan faktor faktor yang sangat berperan atau mendominasi segala penyebab keterlambatan dengan maksud agar proses perencanaan dan penjadwalan proyek konstruksi dapat dilakukan dengan lebih lengkap dan cermat, sehingga keterlambatan sedapat mungkin dihindari atau dikendalikan. Temuan penyebab-penyebab keterlambatan yang dikonfirmasikan dengan segi lapangan menggunakan kuesioner yang didistribusikan kepada kontraktor, menunjukkan bahwa masalah-masalah tidak seksamanya rencana kerja, tidak tersedianya sumber daya dan kurangnya komunikasi, koordinasi, merupakan faktor-faktor yang dominan sehingga penyebab keterlambatan dari sisi kontraktor.

  Dari sisi pemilik masalah ketidaklengkapan dan ketidakjelasan desain dan lingkup pekerjaan, masalah sistem pengawasan dan pengendalian proyek merupakan faktor yang dominan sebagai penyebab keterlambatan.

  Widhiawati (2009) melakukan penelitian dengan judul Analisis Faktor-Faktor

  

Penyebab Keterlambatan Pelaksanaan Proyek Konstruksi. Hasil penelitian yang

  diperoleh bahwa pelaksanaan proyek konstruksi umumnya mempunyai rencana dan jadwal pembuatan, rencana proyek mengacu pada perkiraan saat rencana pembangunan dibuat. Masalah dapat timbul apa bila ada ketidaksesuaian antara rencana dengan pelaksanaannya. Dampaknya adalah keterlambatan pelaksanaan dan meningkatnya biaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui penyebab utama dan faktor-faktor penyebab keterlambatan kuesioner didistribusikan kepada kontraktor yang berada di kotamadya Denpasar dan terdaftar sebagai anggota Gapensi Bali. Dari 216 kontraktor gred 2-7 dikotamadya Denpasar, diambil sampel 56 dengan menggunakan metode stratified proportionate sampling. Metode analisis data yang digunakan adalah uji statistik non parametrik dengan analisis Kendall W menggunakan program SPSS 14.0 for windows.

  Menurut Andi et al (2003) dan Proboyo (1999), faktor-faktor keterlambatan dikelompokkan menjadi 10 faktor. Selanjutnya dipaparkan dalam kuesioner site

  

manager dan pelaksanaan lapangan pada masing-masing kontraktor. Dari 168

  responden yang turut berpartisipasi dapat disimpulkan bahwa faktor tenaga kerja mempunyai tingkat kesepakatan/keselarasan yang paling dominan, penyebab utama adalah keahlian tenaga kerja. Dapat ditunjukkan dengan nilai statistik hubungan > statistik tabel (242.260 > 12.592) dan probabilitas < 0.05 (0.00 < 0.005). Ho ditolak berarti ada keselarasan diantara responden tentang pengaruh faktor keterlambatan yang mempengaruhi serta nilai W sebesar 0.241 berada diantara 0.20-0.399 berarti tingkat keselarasan antara responden adalah rendah.

  Assaf et al (2006) melakukan penelitian dengan judul Change Order in

  

Construction Projects in Saudi Arabia. Hasil penelitian yang diperoleh

mengemukakan tentang perbedaan kategori proyek konstruksi di Saudi Arabia.

  Ditetapkan bahwa penyebab keterlambatan proyek dengan melakukan survei terhadap pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan proyek yaitu; pemilik, konsultan dan kontraktor maka dari hasil survei terhadap 23 kontraktor, 19 konsultan dan 15 pemilik, terdapat 73 penyebab keterlambatan yang ditetapkan selama riset. 76% dari kontraktor, 56% konsultan menetapkan bahwa rata-rata keterlambatan pelaksanaan proyek sekitar 10% dan 30% dari waktu yang yang telah ditetapkan sesuai kontrak.

  Umumnya penyebab keterlambatan proyek yang didapatkan terhadap pihak-pihak yang terlibat (kontraktor, konsultan dan pemilik) tentang adanya perubahan rencana (change order). Hasil dari survei diperoleh 70% terdapat proyek yang diperpanjang waktu pelaksanaannya dari yang dijadwalkan, dan 45 dari 76 proyek konstruksi terjadi keterlambatan pelaksanaan pekerjaan proyek. Digunakan koefisien korelasi Spearman untuk hubungan menyatakan setuju atau tidak didalam rangking penyebab penting keterlambatan konstruksi proyek dengan pihak-pihak yang terlibat, pemilik, kontraktor dan konsultan. Dengan demikian diperoleh hasil penelitian ini melalui responden terhadap pemilik, konsultan dan kontraktor. Untuk penelitian ini digunakan korelasi Spearman dengan koefisien korelasi antara +1 dan

  ─1, dimana +1 menyatakan setuju, sedangkan ─1 menyatakan tidak setuju. Korelasi rangking

  Spearman digunakan menentukan langkah selanjutnya yaitu perbandingan korelasi antara penyebab penting keterlambatan proyek terhadap pihak-pihak yang terkait yaitu: kontraktor, konsultan dan pemilik.

2.4.2 Resume Penyebab Keterlambatan Proyek dari Peneliti sebelumnya

  Penelitian penyebab keterlambatan proyek jembatan didasari latar belakang dari peneliti-peneliti (researches) sebelumnya, seperti pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Penyebab Keterlambatan Proyek didasari latar belakang dari peneliti-peneliti (researches) sebelumnya

  

Peneliti Project Jumlah Kasus Keterlambatan

(research) penyebab yg diidentifikasi

Tabel 2.2 Penyebab Keterlambatan Proyek didasari latar belakang dari peneliti- peneliti (researches) sebelumnya

  Peneliti Project Jumlah Kasus Keterlambatan (research) penyebab yg diidentifikasi

  Keterlambatan waktu

  45 Kontraktor: tidak seksamanya rencana ke Menurut Kraiem dan Dickman pelaksanaan proyek : tersedianya sumberdaya, kurangnya (1987) dalam Klasifikasi dan peringkat komunikasi/koordinasi. dari penyebab-

  Proboyo (2009) Pemilik: masalah ketidaklengkapan, ketida penyebabnya. dan lingkup pekerjaan, masalah sistem pen pengendalian proyek.

  Acharya et al Analysis of Construction

  85 Konsultan : pekerjaan yang berlebihan, tid Delay Factor: A Korean gambar,tidak lengkapnya spesifikasi, peren (2006)

  Perspective (error), adanya perubahan keputusan, mela pekerjaan kembali yang salah, perubahan ko perubahan spesifikasi selama pelaksanaan p Kontraktor : perubahan personil staff, kur ahli, kurangnya dana (insufficient cash flow pengalaman tenaga ahli.

  Pemilik: Perubahan lokasi proyek (site), p yang salah, waktu pelaksanaan proyek yang Causes of Delay in MARA

  18 Kontraktor: Cash flow, kesulitan keuangan ( Abdullah et al (2010) Management Procurement manajemen yang buruk dilokasi lapangan,

  Construction Projects. perencanaan, progress, skedul yang tidak e Assaf et al (2011) Change Orders in

  21 Pemilik: kurang terlibatnya pengembangan Construction Projects in terlambatnya material di proyek, adanya pe Saudi Arabia. material, pergantian material.

  Konsultan: adanya konflik dalam perubah perencanaan, adanya perubahan setelah pe Construction Delays in

  50 Pemilik: Bencana alam, perubahan permin Ahmed et al

(2002) Florida: An Empirical spesifikasi, kesulitan keuangan, terlambat p

  Study kepada kontraktor, kesulitan ekonomi, dim kembali kontrak.

  Kontraktor: terlambatnya fabrikasi bahan, tidak memadai dilokasi proyek, tidak mam

   Lanjutan Tabel 2.2 Penyebab Keterlambatan Proyek didasari latar belakang dari

  peneliti - peneliti (researches) sebelumnya

  / pekerja dilokasi proyek, rusaknya konstru tersedianya peralatan, terjadinya perselisiha lokasi proyek antar pekerja, perencanaan d yang tidak memadai, kurang koordinasi dil keterlambatan transportasi, keahlian manaj buruk.

  Analysis of

  46 Kontraktor:kondisi lokasi proyek (site) ya Rider et al Concurrent/Pacing Delay terduga, berbeda dari yang direncanakan. ( 2011) Soon et al (2007) Causes and Effects of

  28 Kontraktor: Perencanaan yang tidak sesua Delays in Malaysian yang buruk di lokasi proyek (site),pengala Construction Industry kurang, pembayaran yang tidak tepat wakt padahal sudah menyelesaikan proyek, Mas sub kontraktor, material yang tidak mencuk tenaga kerja, peralatan yang tersedia akan t kurang komunikasi antar staff, kesalahan ya selama pelaksanaan proyek

  Bordat et al An Analysis of Cost