Pengaruh Globalisasi Terhadap Pendidikan Dan

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP PENDIDIKAN INDONESIA
Mohammad Rachmatul ‘Aziz***
Email: rachmatul.aziz@outlook.com
ABSTRAK
Kita memasuki era yang sulit untuk diprediksi pada tata letak sosial tingkat
makro juga mikro, percepatan zaman mengubah kehidupan kita, maka
pendidikan harus mampu menjawab tantangan global. Fakultas pendidikan
dituntut mampu mendidik calon guru untuk siap saji menjadi pengemban
peradaban, guru yang melek keaksaraan ilmiah adalah guru yang dibutuhkan
dewasa ini, makalah ini menganalisis pengaruh globalisasi terhadap pendidikan
Indonesia dengan teknik pendalaman materi (verstehen) dengan analisis kritis.
Globalisasi berpengaruh secara signifikan terhadap pendidikan di Indonesia,
fragmentasi ilmu pengetahuan menjadi tantangan terberat dan teknologi adalah
elemen kunci yang menentukan kemajuan pendidikan Indonesia di masa yang
akan datang, tujuan pendidikan mengalami peralihan drastis dari mencerdaskan
anak bangsa menjadi Ajang Perjudian (mengundi nasib melalui ijazah sekolah
formal dan perguruan tinggi demi kesejahteraan ekonomi) yang membentuk
Darwinisme sosial, demi menanggulangi hal tersebut seyogianya guru memiliki
wewenang yang lebih besar demi menegakkan peradaban. Seorang guru lebih
memahami keadaan peserta didiknya, dalam sains pendidikan, seorang guru
harus memiliki “keaksaraan ilmiah” dalam menyelesaikan segala permasalahan

kelas beserta atributnya berdasarkan prinsip sains pendidikan. Guru yang
rasional adalah guru yang memiliki keaksaraan ilmiah dan senantiasa
menjunjung tinggi fungsi dan tugas guru, terutama dan utama adalah
mempertahankan peradaban.
Kata Kunci: Globalisasi, Teknologi, Pendidikan
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Peter Worsley (dalam Piötr Sztompka, 2004: 101) mengatakan “sebelum dekade 1980an, masyarakat global belum terwujud”, namun perdebatan perihal globalisasi sudah lama ada,
hanya saja baru terasa dan dibicarakan banyak pihak di luar akademik adalah hal yang baru,
yang membuat kaburnya istilah tersebut. Perubahan yang sangat signifikan dalam tata letak
politik dunia semenjak meletusnya revolusi komunikasi di permulaan abad 21, ditandai dengan
hilangnya tapal batas antar negara, antar bangsa, dan munculnya teknologi komunikasi canggih
yang menyebar di seluruh belahan dunia. Ini adalah era globalisasi yang biasanya dikenang

Mohammad Rachmatul ‘Aziz adalah mahasiswa tingkat akhir FITK Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN
Syekh Nurjati Cirebon 2015.
***

1


dengan May Day (1 Mei 2000) di mana demonstran anti global marak di Amerika. Menurut Pip
Jones (2010: 248) bagi Back dan Giddens abad 21 ditandai dengan:
... tidak hanya semakin tidak pasti dan berisiko dalam hal manajemen perubahan yang
tak terduga dan ketidaktahuan apa yang terjadi di masa depan pada tingkat makro.
Tetapi juga semakin besar ketidakpastian dan penuh risiko bagi kita sebagai individu
dalam kehidupan pribadi kita, [maka] ... kita perlu memahami risiko dan ketidakpastian
... pada tatanan mikro pula.
Dualitas fokus analisis Back dan Giddens, mengingatkan pada Chirot (dalam Piötr
Sztompka, 2004: 101) mengenai saling tergantungnya antar negara yang menggelobal, bahwa
“tidak ada satu negara pun di dunia yang mampu mencukupi kebutuhannya sendiri” sebagai
risiko pada tatanan makro yang juga pasti berimbas pada tatanan mikro, maka tentu saja setiap
negara harus membentuk masyarakat terdidik karena adanya risiko yang tidak dapat diprediksi,
hal ini harus dijawab oleh pendidikan di setiap negara sebagai ‘warga desa global’.
Seperti yang kita ketahui tujuan pendidikan adalah menegakkan peradaban, maka
seorang guru harus menyadari arti peradaban dengan serius, seperti yang dikatakan Bertrand
Russell (1991: 9) “peradaban [secara esensial] adalah sesuatu yang terdapat dalam jiwa, bukan
pada peralatan materi dari sisi fisik kehidupan”. Bagi Russell, peradaban bukan bangunan
gedung yang menjulang tinggi atau kemajuan teknologi yang canggih, akan tetapi moralitas
dan daya nalar yang maju, dengan kata lain Russell menghendaki untuk mengaktifkan ‘akal
budi murni’ dan ‘akal budi praktis’ sebagai manifestasi dari ‘mempertahankan peradaban’.

Pertanyaan besarnya adalah apa dampak globalisasi terhadap pendidikan Indonesia? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut akan coba kami jawab dengan makalah ini dan kami merinci
pertanyaan tersebut dalam rumusan masalah di bawah ini.
2. Rumusan Masalah
A. Apa yang dimaksud globalisasi?
B. Bagaimana hubungan globalisasi dengan pendidikan Indonesia?
C. Bagaimana peran pendidikan meningkatkan sumber daya manusia (SDM) di era global?
3. Tujuan
A. Teoritis
Memperkaya khazanah keilmuan mengenai pengaruh globalisasi terhadap pendidikan
Indonesia dan peranan pendidikan yang berkemungkinan mampu meningkatkan kualitas SDM
Indonesia.
B. Praktis
2

Memberikan sarana pertimbangan dalam membentuk kebijakan pendidikan, mengajar
di ruang kelas serta mendidik anak-anak kita di rumah dengan berkaca pada pertimbangan
zaman dan menjadi background analis untuk mengidentifikasi risiko yang tidak dapat
diprediksi.
4. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penulisan makalah ini didasarkan pada paradigma
dan metodologi analitik dengan teknik pendalaman materi (verstehen) dengan analisis kritis
menggunakan data kualitatif. proses yang dilakukan secara terus menerus sejak kami berupaya
memahami data sampai seluruh data terkumpul.
GLOBALISASI
Tidak ada definisi baku mengenai globalisasi, meski demikian sedikit gambaran dapat
dilakukan, istilah ini mengacu pada hilangnya tapal batas antar negara-bangsa, di mana antar
individu dapat berkomunikasi tanpa ada batas ruang dan waktu. Abercrombie dkk (2010: 235)
menjelaskan bahwa:
Meskipun tidak ada definisi baku mengenai globalisasi, dapat dicatat adanya komponen
penting berikut ini: (1) adanya pertumbuhan pesat dalam kesalingterkaitan budaya,
komoditas dan masyarakat melintasi ruang dan waktu; (2) adanya perkembangan
teknologi dan sistem informasi untuk memadatkan [ruang dan waktu]; (3) difusi prilaku,
praktek dan kode standar untuk memproses arus informasi, uang, komoditas dan orangorang; (4) munculnya sistem yang mendukung, mengendalikan, mengawasi atau
menolak globalisasi; dan (5) munculnya tipe kesadaran yang mengenali, mendukung,
merayakan atau mengkritik proses global seperti kosmopolitanisme.
Lebih jauh lagi, George Ritzer dan Douglas J. Goodman (2014: 634) menjelaskan poin
penting dalam analisis globalisasi adalah:
Globalisasi dapat dianalisis secara kultural, ekonomis, politis dan/atau institusional.
Pada masing-masing kasus, perbedaan utamanya adalah apakah orang melihat semakin

besarnya homogenitas atau heterogenitas. Pada kutub ekstrem, globalisasi
‘kebudayaan’ bisa dipandang sebagai ekspansi transnasional kode-kode dan praktek
utama (homogenitas) atau sebagai proses di mana input-input lokal dan global
berinteraksi untuk menciptakan semacam pastiche, atau campuran, yang mengarah ke
berbagai persilangan kultural (heterogenitas). Kecenderungan ke arah homogenitas
sering kali diasosiasikan dengan ‘imperialis kultural’, atau, dengan kata lain,
meningkatnya pengaruh internasional dari kebudayaan tertentu.
Terdapat banyak perbedaan mengenai epistemologi teori globalisasi, di sini, kami tidak
akan menganalisis ‘konsep globalisasi’ karena berdasarkan konsensus praktis mustahil
melakukan hal tersebut. Dari dua epistemologi yang dikemukakan Ritzer dan Goodman, terlihat
3

jelas bagaimana heterogenitas dan homogenitas sebagai pijakan dalam memandang dunia
global dalam diskursus kontemporer. Kendati demikian, kami memandangnya sebagai
heterogenitas sekaligus homogenitas seperti yang dikatakan Shils (dalam Piötr Sztompka, 2004:
74) bahwa “manusia [tidak] mampu hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa [tidak]
puas terhadap tradisi mereka [sendiri]”, lebih jauh lagi, Robert Mackenzie (dalam Francis
Fukuyama, 2004: 23) menulis:
Sejarah manusia adalah sebuah catatan tentang kemajuan—sebuah rekaman tentang
akumulasi pengetahuan dan kearifan yang meningkat, sebuah kemajuan secara terusmenerus dari intelegensi dan kesejahteraan sampai tingkat yang lebih tinggi. Setiap

generasi mewariskan pada generasi berikutnya sesuatu yang berharga, kemudian
dimodifikasi dengan pengalaman yang mereka miliki, diperluas dengan hasil usaha dari
semua kemenangan yang telah dicapai sendiri ... pertumbuhan kesejahteraan manusia
yang selamat dari pangeran yang suka menipu dan menyuap, sekarang ditinggalkan
menuju peraturan-peraturan yang bersifat dermawan dari hukum-hukum besar ....
1. Homogenitas
Dari Ritzer dan Goodman kita mengetahui aspek apa saja yang dapat dianalisis dalam
globalisasi, bagi yang menekakan pada ekonomi yang dengannya lahir diskursus kapitalisme
global, akan cenderung memandang homogenitas, di mana dunia disatukan dengan satu sistem
ekonomi global atau yang disebut ‘Grand Area’. Noam Chomsky (2015: 8) mengatakan bahwa
istilah itu ditujukan pada “wilayah yang harus tunduk pada kepentingan ekonomi Amerika”.
Dalam aspek kultur, Piötr Sztompka (2004: 108) mengatakan bahwa dalam masyarakat
modern “reaksi serupa ditimbulkan oleh pertumbuhan kultur ‘westernisasi’ (atau juga
Amerikanisasi)”, lebih lanjut lagi, Hamelink (dalam Piötr Sztompka, 2004: 108) menegaskan
“dalam pemikiran awam dan pemikiran ideologis pun terdapat keluhan bahwa berbagai sistem
kultur dunia yang menonjol telah mengalami kemerosotan karena proses ‘penyelarasan
kultural’ ...”, selain itu munculnya minat masyarakat dunia pada teknologi yang membentuk
McDonaldisasi yang akan kami bahas nanti.
Ritzer (2012: 977) mengatakan bahwa “tren yang mengarah pada homogenitas sering
kali disamakan dengan ‘penjajahan budaya’, pengaruh sebuah kebudayaan tertentu pada

sejumlah besar kebudayaan lainnya”. Kendati demikian, terdapat beberapa pemikir yang
memandangnya sebagai glokal dan menentang ekspansi kultural (penjajahan budaya) yang
akan di bahas pada poin berikutnya, namun di sini hanya memperjelas bahwa pemikir yang
menekankan homogenitas cenderung melihat globalisasi sebagai penyatu sistem ekonomi dan
ekspansi kultural atau penjajahan budaya atau dengan istilah yang lebih halus adalah
4

konvergensi kultur yang berasumsi bahwa “globalisasi yang menyebabkan meningkatnya
kesamaan di seluruh dunia” (Ritzer, 2012: 992).
2. Heterogenitas
Selain pandangan yang menekankan homogenitas ada juga yang menekankan pada
heterogenitas, asumsinya adalah terjadinya dialektis antara lokal dan global sehingga menjadi
hibridisasi budaya dan glokalisasi. Abercrombie dkk (2010: 239) menjelaskan bahwa
glokalisasi adalah:
... istilah yang dipinjam oleh para sosiologi untuk strategi pemasaran global yang
memperkenalkan modifikasi produk global untuk pasar lokal yang berbeda, untuk
memenuhi selera lokal. Dalam sosiologi; ini menunjukkan ketegangan antara budaya
lokal dan global. Sebagai sebuah proses, istilah ini mengacu pada globalisasi yang lokal
dan lokalisasi yang global.
Sedangkan perihal hibridisasi, mereka menjelaskan bahwa;

Awalnya istilah ini adalah interpretasi antropologi mengenai hubungan antara
westernisasi dan kebudayaan lokal. Idenya adalah bahwa kebudayaan pribumi tidak
hanya hancur tetapi juga bergabung dengan kebudayaan Barat melalui proses adaptasi.
Konsep ini telah digunakan dalam sosiologi postmodernitas untuk mempertanyakan
dugaan kurangnya otentisitas dalam pengaturan kebudayaan hibrida. Jika tidak ada
kebudayaan ‘murni’, maka ‘hibriditas’ adalah komponen umum difusi kebudayaan ....
(2010: 263).
Menurut hemat kami, dalam globalisasi tidak hanya homogenitas tetapi juga
heterogenitas, keduanya hadir dalam kehidupan masyarakat global, homogenitas melalui
Amerikanisasi, McDonaldisasi dll, juga membawa pada heterogenitas di kawasan lokal,
penggabungan kultur lokal dan global sulit diatasi, terlebih konfrontasi ideologi lokal dan
teknologi yang membawa aras global mengakibatkan tak terelakkannya hibridisasi kultur,
sekaligus tidak dapat menafikan homogenitas. Pasi Sahlberg (2014: 205) menegaskan bahwa
“...

globalisasi

adalah

paradoks


kultural—globalisasi

menyatukan

dan

sekaligus

menceraiberaikan manusia dan kultur”.
3. ASEAN Economic Community (AEC)
ASEAN Economic Community (AEC) yang akan dilaksanakan pada akhir Desember
2015 ini, adalah awal pertarungan global di kawasan Asia Tenggara. Direktur Jenderal Kerja
Sama Perdagangan Internasional dalam “Menuju ASEAN Economic Community 2015”
mengatakan bahwa;

5

AEC adalah bentuk integrasi ekonomi regional yang direncanakan untuk dicapai pada
tahun 2015. Dengan pencapaian tersebut maka ASEAN akan menjadi pasar tunggal dan

basis produksi di mana terjadi arus barang, jasa, investasi dan tenaga terampil yang
bebas serta aliran modal yang lebih bebas. Adanya aliran komoditi dan faktor produksi
tersebut diharapkan membawa ASEAN menjadi kawasan yang makmur dan kompetitif
dengan perkembangan ekonomi yang merata, serta menurunnya tingkat kemiskinan dan
perbedaan sosial-ekonomi di kawasan ASEAN.
Tantangan yang dihadapi Indonesia adalah peningkatan SDM harus diupayakan secepat
mungkin. Seperti yang dikatakan ketua Bappenas (dalam Ace Suryadi, 2014: 2) mengenai
empat tahap pokok kerangka pembangunan jangka panjang 2005-2025 Indonesia adalah:
(1) tahap pertama (2005-2009); menata kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), membangun Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis,
dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. (2) tahap kedua (2010-2014);
memantapkan penataan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (SDM), membangun kemampuan IPTEK, dan
memperkuat daya saing perekonomian. (3) tahap ketiga (2015-2020); memantapkan
pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pada pembangunan keunggulan
kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam (SDA) yang tersedia, SDM
yang berkualitas serta berkemampuan IPTEK. dan (4) tahap keempat (2020-2024);
mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui
percepatan pembangunan di segala bidang dan struktur perekonomian yang kokoh
berlandaskan keunggulan kompetitif.

Kami berpendapat bahwa, dalam rangka mewujudkan program tersebut, maka
pendidikan adalah basis utama, hal tersebut hanya dapat diwujudkan dengan basis masyarakat
pengetahuan yang akan kami bahas nanti.
GLOBALISASI DAN PENDIDIKAN
Seperti yang kita ketahui, dalam pendidikan formal misalnya, kurikulum 2013
mensyaratkan penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran. Hal ini menunjukkan banyak
dari aktivitas kehidupan kita menggantungkan diri pada teknologi, meskipun data ini lemah
untuk melakukan generalisasi, namun pengalaman aktual kita dapat membuktikan secara lebih
akurat, seperti yang kita ketahui, teknologi dapat membantu kita dalam menyelesaikan aktivitas
kita secara efisien, namun juga dapat mengurangi kreativitas manusia, maka kepiawaian
individu dalam memanfaatkan teknologi ditentukan oleh tingkat pendidikan yang didapatnya,
bukan dalam arti mengoperasikannya melainkan memanfaatkannya sebagai media mencapai
tujuan tanpa kehilangan makna yang menjadi prinsip (rasional instrumen).
Dewasa ini, pendidikan beralih definisi menjadi pelatihan untuk menjadi ‘santapan
borjuis’ atau ‘budak kapitalis’. Joe L. Kinchelo (2014: 17) menegaskan bahwa “ketika tujuan
pendidikan didefinisikan sebagai proses pelatihan tentang sesuatu yang diperlukan bisnis dan
6

industri secara khusus, maka kualitas pendidikan akan menurun”. Desakkan ekonomi global
membawa masyarakat mencari sertifikat pendidikan demi kelangsungan hidup mereka, yaitu
lapangan pekerjaan yang lebih menjanjikan, meski harus ditukar dengan hilangnya esensi
pendidikan itu sendiri.
Di sisi lain, teknologi bermain peran secara dominan, informasi yang berbasis
komputerisasi dan alat komunikasi yang super canggih memberikan informasi kepada
masyarakat global dari berbagai belahan dunia, sayangnya validitas informasi tersebut masih
dipertanyakan, sedangkan persaingan individu abad 21 adalah persaingan berbasis
pengetahuan. Hal ini memberi stimulus “fetisisme materi” dan menggiring umat manusia pada
‘penyembahan raja Demos’ (irasionalitas massa). Sehingga lahir mitos di abad 21 “siapa yang
menguasai teknologi, ia menguasai dunia”.
1. McDonaldisasi
Dewasa ini masyarakat global dilanda dengan apa yang disebut McDonaldisasi. Di
mana hampir dalam segala sendi kehidupan menerapkan prinsip restoran cepat saji,
konsekuensi riil dari McDonaldisasi adalah hilangnya banyak lapangan pekerjaan yang
membutuhkan tenaga fisik (kerja kasar) manusia dan mesin menggantikannya manusia dengan
yang lebih menghemat biaya, serta munculnya “ekonomi pengetahuan”.
Dalam dunia pendidikan, McDonaldisasi mulai diterapkan sebagai landasan
rasionalisasi di zaman global ini. Pada prinsipnya Ritzer diilhami “rasionalisasi bertujuan” atau
“rasional instrumen” Durkheim, namun Ritzer mengadopsi restoran cepat saji, yaitu efisiensi,
kemudahan diperhitungkan, kemudahan diprediksi, kontrol melalui teknologi, dan
ketidakrasionalan rasionalitas (lihat Ritzer, 2012; Abercrombie dkk, 2010).
Dalam dunia pendidikan, kami berpendapat, tidak ada salahnya menerapkan
McDonaldisasi selama tidak menghancurkan esensi pendidikan itu sendiri, misalnya
menggunakan media pembelajaran mengiakan media yang terkomputerisasi, selama prinsip
media pembelajaran diutamakan dan mampu membantu peserta didik untuk meningkatkan
kualitasnya sebagai manusia, adalah hal yang baik, akan tetapi jika jatuh pada fitur-fitur yang
disediakan teknologi tersebut dengan mengorbankan arti pendidikan itu sendiri adalah hal yang
sangat membahayakan.

7

2. Fragmentasi Ilmu Pengetahuan
Hadirnya internet dapat memberikan banyak informasi dengan cepat, akan tetapi
paradoks teknologi informasi ini adalah terfragmentasikannya ilmu pengetahuan. Edward Said
(2010) dalam prolog edisi ulang tahun orientalisme yang ke-5 mengatakan bahwa “...
mahasiswa kita saat ini justru sering terganggu oleh pengetahuan yang terfragmentsi (terpecahpecah) yang sebagian besar bersumber dari internet dan media massa”.
Hal yang sangat memprihatinkan adalah ketidaksadaran dunia pendidikan akan
fragmentasi tersebut. Adalah contoh yang sangat paradoksal, seorang mahasiswa yang lebih
suka bunuh diri dengan cara ‘meninabobokan’ diri sendiri dengan cara menyalahgunakan
fasilitas internet sebagai ajang ‘maling massal’ dunia ilmiah (plagiat).
Ayn Rand (2003: 16) menegaskan “secara psikologis, pilihan untuk berpikir atau tidak
adalah pilihan untuk fokus atau tidak. Secara eksistensial, pilihan untuk fokus atau tidak adalah
pilihan untuk sadar atau tidak. Secara metafisik, pilihan untuk sadar atau tidak adalah pilihan
untuk hidup atau mati”, inilah yang kami sebut bunuh diri.
Dalam hadis al-qudsi dikatakan (Asy-Syahrastani, 196 :54):

َِِ‫ال َو َِِِِّ ِو َََا‬
َ َ‫ أَقْبِ ْل فَأَقْبِ َل ُُثَّ ق‬:ُ‫ال لَه‬
َ ‫ أ َْدبِْر فَأ َْدبََر فَ َق‬:ُ‫ال لَه‬
َ ‫الع ْق َل فَ َق‬
َ ‫أ ََوَل َما َخلَ َق اهللُ تَ َع‬
َ ‫اَل‬
.‫ك أ َْمنَ ُع‬
َ ِ‫ك أ َِْ ِطي َوب‬
َ ِ‫ك أ َُُِِّّ َوب‬
َ ‫َح َس َن ِمْن‬
ُ ‫َما َخلَ ْق‬
ْ‫تأ‬
Artinya:
“yang pertama-tama yang diciptakan oleh Allah ialah akal, Allah berfirman kepadanya
‘menghadaplah’ maka ia menghadap, kemudian Allah berfirman ‘berpalinglah’ maka
ia berpaling. Allah berfirman: Demi ke Muliaan-Ku dan ke Agungan-Ku tidak
kuciptakan suatu makhluk yang lebih baik selain engkau. Karena aku memberimu
kemuliaan, karena engkau Aku memberi (pahala) dan karena engkau Aku tidak
memberi (pahala)”
Berpikir yang kami maksud adalah menyerahkan segala putusan kepada akal seperti
hadis di atas, bukan asumsi common sense dengan maksud akal yang dikuasai oleh ego.
3. Moralitas Global
Barry Smart (2011: 1020) mengatakan “bagi Durkheim, moralitas selalu terhubung
dengan masyarakat; moralitas menjadi mungkin dikarenakan oleh masyarakat ...”, dari sini
8

kami berpendapat bahwa pandangan Durkheim justru menimbulkan masalah besar, Durkheim
hampir sama dengan pandangan common sense (pandangan umum atau awam) dari segi
epistemologi. Keberatan kami adalah moralitas yang sandarkan pada masyarakat.
Di era global, salah satu etika yang sesuai adalah etika objektif Ayn Rand, di mana akal
budi adalah tolok ukur moral, mampu berpikir adalah kualitas primer manusia. Ayn Rand
terpengaruh oleh Hegel dan Kant, kontribusi kedua filosof tersebut sangat kentara, terutama
asumsi Ayn Rand (2003: 24) mengenai “tiga nilai utama etika objektif ... [yang] merupakan
sarana bagi dan realisasi secara bersaman realisasi dari nilai tertinggi seseorang ... adalah:
[A]kal Budi, Tujuan, Harga-Diri bersama tiga kebajikan padanya: Rasionalitas, Produktivitas
[dan] kebanggaan”.
Jika “moralitas menjadi mungkin dikarenakan oleh masyarakat” maka individu menjadi
irasional, apa-apa yang dipandang baik oleh masyarakat belum tentu baik dan apa-apa yang
dibenarkan oleh masyarakat belum tentu benar. Seperti yang kita ketahui dari para filosof
Yunani dan agama kita, berpikir adalah memisahkan antara yang “haq” dan yang “bathil” yang
hanya ada pada individu, bukan masyarakat.
Era global adalah era yang menceraiberaikan umat manusia, tentu saja menuntut
individu untuk menjaga satu-satunya kualitas untuk dapat dikatakan manusia: berpikir. Maka
sejalan dengan hakikat tujuan pendidikan, yaitu “memanusiakan manusia”, di mana manusia
mempertahankan kualitas primernya sekecil apa pun semampunya demi mempertahankan
peradaban manusia. Menurut hemat kami, pendidikan karakter harus berlandaskan pada prinsip
moral demi menjaga kelangsungan hidup umat manusia, dengan patokan kebenaran moral yang
jelas.
PERAN PENDIDIKAN DI ERA GLOBAL
Dewasa ini, zaman telah menuntut pendidikan formal untuk mampu mencetak lulusan
yang berdaya saing dalam dunia bisnis, bukti riilnya adalah target pendidikan formal adalah
dapat hidup lebih baik lewat lapangan pekerjaan yang menyaratkan ijazah pendidikan formal
sebagai tolok ukur karier. Ivan Illich (2002:218) mengatakan bahwa “para pendidik memancing
naluri berjudi seluruh populasi ketika mereka mengumpulkan uang untuk sekolah-sekolah.
Mereka mengiklankan hadiah-hadiah tanpa menyebutkan rintangan-rintangan”.
Meski sangat metaforis, Illich sangat keras mengkritik dunia pendidikan, pendidikan
memberi kita janji-janji manis akan kemakmuran hidup, namun tidak memberikan kejelasan
9

kepada kita rintangan apa saja yang ada di dalamnya, maka adalah hal wajar banyak sarjana
pengangguran. Pendidikan harus kembali pada tujuannya yaitu mempertahankan peradaban.
1. Menegakkan Peradaban di Era Global
Banyak yang salah mengartikan peradaban, lazimnya term tersebut ditujukan pada
teknologi maju dan bidang material lainnya, Russell (1988: 9) mengatakan bahwa “peradaban
dalam arti penting adalah sesuatu yang terdapat dalam jiwa, bukan pada peralatan materi dari
sisi fisik kehidupan. Peradaban juga menyangkut soal pengetahuan dan sebagian lagi soal
perasaan”.
Menurut hemat kami, hadirnya teknologi canggih dapat menjaga peradaban, akan tetapi
juga dapat menghancurkan peradaban, contoh kecilnya adalah Nagasaki dan Hiroshima yang
hancurkan Amerika dengan bom atom. Pendidikan harus meningkatkan daya nalar peserta
didik dan perasaan yang beradab, maka sejalan dengan Bruce Joyce dkk (2011: 7) mengatakan
bahwa:
pada hakikatnya, hasil instruksi jangka panjang yang paling penting adalah bagaimana
siswa mampu meningkatkan kapabilitas mereka untuk dapat belajar lebih mudah dan
lebih efektif pada masa yang akan datang, baik karena pengetahuan dan skill yang
mereka peroleh maupun karena penguasaan mereka tentang proses belajar yang lebih
baik.
Apabila hal ini disadari secara serius oleh para pendidik dan pemerintah maka
masyarakat pengetahuan akan terwujud.
2. Masyarakat Pengetahuan
Masyarakat pengetahuan yang kami maksud adalah masyarakat yang rasional, Russell
(1988: 17) menegaskan bahwa rasionalitas adalah:
kebiasaan memperhitungkan [segala] hal yang relevan sebelum menetapkan suatu
keyakinan. Jika kepastian [tidak] mungkin dicapai, seorang rasional akan memilih
pendapat yang paling mendekati kebenaran, sambil tidak membuang pendapatpendapat lainnya yang juga berkemungkinan untuk benar sebagai hipotesis (praduga)
yang siapa tahu [kelak] dapat didukung oleh bukti-bukti baru sebagai lebih benar.
Pendidikan adalah basis utama mewujudkan rasionalitas tersebut, tanpa terciptanya
masyarakat berpengetahuan, maka peradaban manusia akan musnah, karena sesama manusia
akan saling menghancurkan satu sama lain. Jürgen Habermas (2012: 4) mengatakan bahwa “di
antara ilmu-ilmu sosial, sosiologi adalah disiplin yang paling banyak punya masalah dengan

10

problematika rasionalitas”. Pendidikan adalah bagian dari sains sosial, maka tak heran di
dalamnya pun membahas persoalan rasionalitas, terlebih dalam sosiologi pendidikan.
Kami berpendapat bahwa guru harus memiliki wewenang yang lebih besar, di mana
guru menjadi individu mandiri dan senantiasa mentransformasi peserta didiknya ke arah
kemajuan dan menjunjung tinggi peradaban. Masyarakat pengetahuan diperlukan karena
adanya ketidakpastian dan semakin besar risiko kehidupan global seperti yang Back dan
Giddens katakan.
3. Guru Sebagai Peneliti
Guru sebagai peneliti akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, di tengah
ketidakpastian zaman, hanya guru itu sendiri yang mengetahui secara langsung kehidupan para
peserta didik, tentu saja akan lebih mudah mentransformasikan peserta didik sesuai keadaan.
Hal ini tidak akan terwujud tanpa adanya peningkatan pendidikan guru atau fakultas
pendidikan. Pasi Sahlberg (2014: 181) mengatakan bahwa “pendidikan guru berbasis riset
berarti bahwa integrasi teori pendidikan , metodologi penelitian dan praktek semuanya
memegang peranan penting dalam program pendidikan guru ...”, singkatnya setiap guru tidak
buta keaksaraan ilmiah.
Laugksch (dalam Lawrence Neuman, 2013: 12) mendefinisikan keaksaraan ilmiah
sebagai:
Kapasitas untuk memahami pengetahuan ilmiah; menerapkan konsep, prinsip dan teori
ilmiah; menggunakan proses-proses ilmiah untuk memecahkan masalah dan mengambil
keputusan; serta berinteraksi dalam cara yang mencerminkan nilai-nilai ilmiah inti.
Buta keaksaraan ilmiah berarti tidak memiliki kapasitas tersebut, karakteristik guru
yang bermutu meliputi prinsip-prinsip sebagai berikut: prinsip otonomi, pekerjaan sebagai
tempat belajar, prinsip variasi kerja, prinsip kerja sama antar pekerja, prinsip kerja individual
sebagai kontribusi untuk kesejahteraan sosial dan prinsip bermain adalah kebajikan yang harus
menyatu dalam kerja (lihat Joe L. Kinchelo, 2014).
Seorang guru lebih memahami keadaan peserta didiknya, dalam sains pendidikan,
seorang guru harus memiliki “keaksaraan ilmiah” dalam menyelesaikan segala permasalahan
kelas beserta atributnya. Guru yang rasional menurut hemat kami adalah guru yang memiliki
keaksaraan ilmiah dan senantiasa menjunjung tinggi fungsi dan tugas guru, terutama dan utama
adalah mempertahankan peradaban.
11

KESIMPULAN

Globalisasi adalah hilangnya tapal batas antar bangsa-negara, menyatukan manusia juga
memisahkannya secara bersamaan, lahirnya teknologi informasi yang canggih adalah ciri has
abad 21.
Dalam pendidikan kegiatan belajar mengajar berubah secara signifikan, hal ini terjadi
karena masuknya teknologi dalam dunia pendidikan, namun pendidikan beralih tujuan menjadi
sarana merespons dunia bisnis. Pendidikan harus segera dibenahi demi mempertahankan
peradaban.
Dengan demikian, fakultas pendidikan harus meningkatkan kualitas calon guru agar
lebih melek keaksaraan ilmiah. Alternatifnya adalah menjadikan guru sebagai peneliti, hal ini
dimaksudkan agar terciptanya masyarakat pengetahuan untuk menjawab tantangan dunia yang
tidak dapat diprediksikan ini.
Seorang guru lebih memahami keadaan peserta didiknya, dalam sains pendidikan,
seorang guru harus memiliki “keaksaraan ilmiah” dalam menyelesaikan segala permasalahan
kelas beserta atributnya berdasarkan prinsip sains pendidikan. Guru yang rasional adalah guru
yang memiliki keaksaraan ilmiah dan senantiasa menjunjung tinggi fungsi dan tugas guru,
terutama dan utama adalah mempertahankan peradaban.

12

DAFTAR PUSTAKA

Abercrombie, N., Hill, S., & Turner, B. S. (2010). Kamus Sosiologi. (D. Noviyani, E.
Adinugraha, & Widada, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asy-Syahrastani. (1961). al-Milal wa al-Nihal. (A. Syukur, Penerj.) Surabaya: Bina Ilmu.
Chomsky, N. (2015). How The World Works. (T. Setiadji, Penerj.) Bentang Pustaka:
Yogyakarta.
Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional. (2014). Menuju ASEAN Economic
Community 2015. Departemen Perdagangan Republik Indonesia.
Fukuyama, F. (2004). The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan
Demokrasi Liberal. (M. Amrullah, Penerj.) Yogyakarta: Qalam.
Habermas, J. (2012). Teori Tindakan Komunikatif: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat (Vol.
I). (Nurhadi, Penerj.) Bantul: Kreasi Wacana.
Illich, I. (2002). Perayaan Kesadaran: Sebuah Panggilan Untuk Revolusi Institusional Agama,
Pendidikan, Kesejahteraan Sosial. (S. Pasaribu, Penerj.) Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Jones, P. (2010). Pengantar Teori-Teori Sosial: dari Teori Fungsionalisme Hingga PostModernisme. (A. F. Saifuddin, Penerj.) Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. (2011). Models of Teaching: Model-Model Pembelajaran.
(A. Fawaid, & A. Mirza, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kinchelo, J. L. (2014). Guru Sebagai Peneliti: Pemberdayaan Mutu Guru dengan Metode
Panduan Penelitian Kualitatif. (N. Sya'ran, Penerj.) Yogyakarta: IRCiSod.
Rand, A. (2003). Kebajikan Sang Diri: Konsep Baru Ego. (A. Asnawi, Penerj.) Yogyakarta:
Ikon Teraliteria.
Ritzer, G. (2012). Teori Sosiologi: dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (Kedelapan ed.). (S. Pasaribu, Widada, & E. Adinugraha, Penerj.)
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

13

Ritzer, G., & Goodman, D. D. (2014). Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. (Nurhadi, Penerj.) Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Russell, B. A. (1988). Pergolakan Pemikiran. (M. Pabottinggi, Penerj.) Jakarta: Gramedia.
Sahlberg, P. (2014). Finnish Lessons: Mengajar Lebih Sedikit, Belajar Lebih Banyak a la
Finlandia. (A. Muchlis, Penerj.) Bandung: Kaifa.
Said, E. W. (2010). Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukkan Timur
Sebagai Subjek. (A. Fawaid, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Smart, B. (2011). Sosiologi, Moralitas dan Etika: Tentang Kebersamaan Dengan Yang Lain.
Dalam G. Ritzer, & B. Smart, Hand Book Teori Sosial (I. Muttaqien, D. S. Widowatie,
& Waluyati, Penerj., hal. 1016-1038). Bandung: Nusa Media.
Suryadi, A. (2014). Pendidikan Indonesia Menuju 2025. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sztompka, P. (2004). Sosiologi Perubahan Sosial. (Alimandan, Penerj.) Jakarta: Pernada
Media.

14