EVALUASI KURIKULUM lagi memimpin dunia

EVALUASI KURIKULUM
Gefany Nur Islamiah R (1501539), Laras Dyah K (1505713)
Tiara Arfah (1504319), Widia Damayanti (1505098)
Program Studi Pendidikan Akuntansi
Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis
widiadmy@student.upi.edu
Dr. H. Dadang Sukirman, M.Pd
Ence Surahman, S.Pd., M.Pd
A. PENDAHULUAN
Kurikulum senantiasa berubah dan bersifat dinamis, tidak ada yang mampu membuat
kurikulum tetap statis karena adanya tantangan yang timbul dari dalam maupun dari luar
lingkungan sistem pendidikan yang menyebabkan kurikulum harus senantiasa menyesuaikan
diri agar mampu memenuhi permintaan dari semua dimensi kehidupan. Pendidikan pada
dasarnya harus relevan dengan kebutuhan masyarakat umum, maka hal ini menjadi tanggung
jawab dari kurikulum yang harus mampu memberikan kesempatan kepada para siswa untuk
mempersiapkan diri sehingga siap diterjunkan ke masyarakat.
Hamalik (2008:262) berpedapat bahwa mutu pendidikan Indonesia saat ini masih perlu
ditingkatkan karena banyak para lulusan yang belum memenuhi tuntutan mutu dilihat dari
kebutuhan di lapangan kerja, norma-norma sosial yang berlaku, penguasaan nilai-nilai
budaya nasional dan daerah, terutama anak-anak yang bersekolah dipedalaman jauh dari
dunia modern seperti diperkotaan. Kekurangan dalam berbagai unsur penunjang tersebut

akan menyebabkan tidak terlaksananya pendidikan yang efektif.
Ditambah lagi tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi di Indonesia menjadi
tantangan besar bagi pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan fasilitas belajar dan personal
bimbingan terhadap siswa-siswa penerus bangsa ini. Permasalahan juga timbul dari semakin
derasnya arus ilmu pengetahuan dan teknologi yang diakibatkan oleh berkembangnya aspirasi
manusia berkat kebebasan berpikir dan kebebasan mengeluarkan gagasan. Sehingga perlu
adanya media yang dapat menyalurkan fenomena tersebut kearah yang positif.
Arus globalisasi yang sedang terjadi saat ini juga telah menjadi fenomena yang patut
diperhatikan. Jangan sampai masyarakat Indonesia tertinggal dalam aspek-aspek kehidupan
dari masyarakat dunia lainnya.
Berangkat dari permasalahan tersebut sudah sangat jelas bahwa kurikulum sebagai
seperangkat rencana, pengaturan isi, serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan pendidikan harus senantiasa dievaluasi sehingga sesuai dengan keadaan
yang sedang terjadi.
Dari latar belakang diatas penulis bermaksud menyusun makalah ini sebagai pengantar
yang memberikan gambaran dasar mengenai evaluasi kurikulum yang penting diketahui oleh
para calon pendidik untuk memeriksa kinerja kurikulum dalam hal efektivitas, efisiensi,
relevansi dan kelayakan.
Tujuan ditulisnya makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami:


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Pengertian evaluasi kurikulum
Prinsip evaluasi kurikulum
Tujuan evaluasi kurikulum
Fungsi evaluasi kurikulum
Landasan evaluasi kurikulum
Kriteria evaluasi kurikulum
Ruang lingkup evaluasi kurikulum

8. Jenis evaluasi kurikulum
9. Prosedur evaluasi kurikulum
10. Pendekatan evaluasi kurikulum
11. Model evaluasi kurikulum

12. Standar
pelaksanaan
evaluasi
kurikulum

13.
14.
Adapun manfaat penulisan makalah bagi pembaca diantaranya :
1.
Mampu memahami konsep evaluasi kurikulum
2.
Dapat mengidentifikasi prinsip evaluasi kurikulum
3.
Dapat menguraikan ruang lingkup evaluasi kurikulum
4.
Mampu membandingkan berbagai pendekatan dan model evaluasi
kurikulum
Sedangkan manfaat bagi penulis makalah diantaranya:
1. Dapat menyimpulkan konsep kurikulum dari berbagai ahli
2. Memahami prinsip dan ruang lingkup evaluasi kurikulum

3. Memahami beragam model dan pendekatan evaluasi kurikulum
Dalam penyusunan makalah ini penulis mengambil rujukan dari beberapa
buku lokal dan buku internasional yang dilengkapi dengan pencarian
kelengkapan materi melalui mesin penelusur (search engine). Sedangkan metode
penyusunan makalah mengikuti sistematika yang telah diberikan sebelumnya
oleh dosen pengampu mata kuliah kurikulum dan pembelajaran.

B. PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN EVALUASI KURIKULUM

15.
a) Pengertian Evaluasi
16.
Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris
evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran (John M. Echols dan Hasan Shadily,
1983). Menurut Stufflebeam, dkk (1971) mendefinisikan evaluasi sebagai the process of
delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision
alternatives,” Artinya evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan
menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan.
17.

Evaluasi adalah proses penilaian yang sistematis mencakup pemberian
nilai, atribut, apresiasi, dan pengenalan permasalahan serta pemberian solusi-solusi atas
permasalahan yang ditemukan.
18.
b) Pengertian Kurikulum
19.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Pasal 1 Butir 19 UU
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
20.
Sedangkan menurut Harsono (2005), kurikulum merupakan gagasan
pendidikan yang diekpresikan dalam praktik. Dalam bahasa latin, kurikulum berarti atau
jalur pacu. Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud
kurikulum tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program
pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan.
21.
Dari pengertian evaluasi dan kurikulum di atas maka penulis
menyimpulkan bahwa pengertian evaluasi kurikulum adalah penelitian yang sistematik
tentang manfaat, kesesuaian efektifitas dan efisiensi dari kurikulum yang diterapkan.

Atau evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk
mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk membuat keputusan tentang
kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan.
22.
2. PRINSIP EVALUASI KURIKULUM
23.
berikut :

Program evaluasi kurikulum didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai

a. Evaluasi kurikulum didasarkan atas tujuan tertentu
24.
Setiap program evaluasi kurikulum terarah untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan secara jelas dan spesifik. Tujuan-tujuan itu pula yang mengarah
kegitan-kegiatan sepanjang proses evaluasi kurikulum itu dilaksanakan.
b. Evaluasi kurikulum harus bersifat objektif
25.
Pelaksanaan dan hasil evaluasi kurikulum harus bersifat objektif ,
berpijak pada pada apa adanya dan bersumber dari data yang nyata dan akurat
yang diperoleh melalui instrument yang terandalkan.

c. Evaluasi kurikulum bersifat komprehensif
26.
Pelaksanaan evaluasi mencakup semua dimensi atau aspek yang terdapat
dalam ruang lingkup kurikulum. Seluruh komponen kurikulum harus
mendapatkan perhatian dan pertimbangan secara seksama sebelum pengambilan
keputusan.

d. Evaluasi kurikulum dilaksanakan secara kooperatif
27.
Tanggung jawab dalam perencanaan, pelaksanaan, dan keberhasilan
suatu program evaluasi kurikulum merupakan tanggung jawab bersama pihakpihak yang terlibat dalam proses pendidikan seperti guru, kepala sekolah, penilik,
orang tua, bahkan siswa sendiri di samping menjadi tanggung jawab utama
lembaga penelitian dan pengembangan.
e. Evaluasi kurikulum harus dilaksanakan secara efisien
28.
Pelaksanaan evaluasi kurikulum harus memperhatikan factor efisiensi,
khususnya dalam penggunaan waktu, biaya, tenaga, peralatan yang menjadi unsur
penunjang, dan oleh karenanya harus diupayakan agar hasil evaluasi lebih tinggi
atau paling tidak berimbang dengan material yang digunakan.
f. Evaluasi kurikulum dilaksanakan secara berkesinambungan

29.
Hal ini perlu mengingat tuntutan di dalam dan diluar system sekolah
yang meminta diadakannya perbaikan kurikulum. Untuk itu peran guru dan kepala
sekolah sangat penting karena merekalah yang paling mengetahui tentang
keterlaksanaan dan keberhasilan kurikulum serta permasalahan yang dihadapi.
30.
3. TUJUAN EVALUASI KURIKULUM
31.
32.
Berikut adalah beberapa tujuan diadakannya evaluasi kurikulum:
33.
a. Evaluasi kurikulum merupakan dasar dalam pengembangan kurikulum
selanjutnya. Sehingga setelah evaluasi kurikulum selesai muncul model
kurikulum perbaikan dari kurikulum sebelumnya atau bahkan model kurikulum
terbaru.
b. Evaluasi atau penilaian kurikulum merupakan salah satu bagian dari evaluasi
pendidikan, yang memusatkan perhatian kepada program-program pendidikan
untuk anak didik.
c. Evaluasi kurikulum adalah untuk meningkatkan program yang sedang
dilaksanakan, sebagai alat untuk mengontrol kualitas dan juga sebagai dasar untuk

membuat keputusan bagi program berikutnya.
d. Evaluasi kurikulum adalah sebagai suatu alat untuk mempertanggungjawabkan
keberadaan dan hasil sebuah program pendidikan teknik kepada masyarakat.
e. Evaluasi kurikulum adalah proses memahami, mendapatkan dan mengumumkan
informasi sebagai petunjuk pembuatan keputusan pendidikan dengan
memperhatikan program yang tepat.
34.
4. FUNGSI EVALUASI KURIKULUM
35.
36.
Fungsi evaluasi meliputi seluruh kegiatan evaluasi, apabila seseorang
melakukan evaluasi kurikulum terlepas dari jenis evaluasi yang dilakukannya, maka
harus ada kesadaran akan fungsi dari kegiatan evaluasi tersebut. Jika tidak,
dikhawatirkan akan terjadi kesulitan baik sewaktu merencanakan kegiatan maupun pada
waktu pelaksanaannya. Beberapa ahli memiliki perbedaan dalam memformulasikan
fungsi kurikulum ini.
37.
Menurut Cronbach (1982) ada dua fungsi evaluasi kurikulum yang
berbeda yaitu memberikan bantuan untuk memperbaiki kurikulum dan untuk


memberikan penghargaan. Sedangkan Scriven (1967) memformulasikan fungsi evaluasi
kurikulum menjadi fungsi formatif dan sumatif.
38.
a. Fungsi Formatif
39.
Evaluasi difungsikan untuk memberikan informasi dan pertimbangan
yang berkenaan dengan upaya untuk memperbaiki kurikulum. Fungsi ini dilakukan
ketika kurikulum masih dalam tahap pengembangan, evaluasi akan memberikan
masukan secara langung mengenai aspek yang sudah memenuhi kriteria dan aspek yang
belum memenuhi kriteria. Aspek tersebut diantaranya adalah filosofi, model serta
komponen kurikulum.
40.
Menurut Cowen (1977) fungsi formatif hanya dapat diterapkan ketika
kurikulum masih bersifat cair sehingga upaya pembentukan dan perbaikan masih bisa
dilakukan. Artinya fokus perhatian dari fungsi formatif ini berkenaan dengan proses
kurikulum itu sendiri.
41.
b. Fungsi Sumatif
42.
Ketika kurikulum masih dalam proses pengembangan, fungsi sumatif

tidak bisa dilakukan karena fokus dari fungsi ini adalah memberikan pertimbangan
terhadap hasil dari pengembangan kurikulum. Hasil pengembangan dapat berupa
dokumen kurikulum, hasil belajar, atau dampak kurikulum terhadap masyarakat.
Pertimbangan yang muncul dari fungsi sumatif ini adalah apakan kurikulum perlu
dilanjutkan atau perlu diganti.
43.
44.
Evaluasi kurikulum harus mempergunakan kedua fungsi ini secara baik
karena keduanya membantu kurikulum dalam pengembang maupun dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa dengan kedua fungsi tersebut
evaluasi membuktikan akuntabilitas dirinya baik terhadap para pengembangan
kurikulum, peminta jasa evaluasi lainnya, maupun terhadap masyarakat luas yang telah
memberikan kepercayaan kepada evaluasi sebagai suatu institusi kemasyarakatan.
45.
5. LANDASAN EVALUASI KURIKULUM
46.
Di Amerika Serikat pada akhir tahun 50-an dan awal tahun 60-an,
pemerintahan federal mengeluarkan uang banyak untuk pendidikan. Pengarahan dana
yang besar tersebut dilakukan dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Pada awal
tahun 60-an timbul pertanyaan apakah dana yang dikeluarkan tersebut dapat
meningkatkan kualitas pendidikan. Presiden Nixon menekankan pentingnya
pertanggung jawaban terhadap masyarakat atas pemakaian dana pendidikan dari
pemerintah federal tersebut dengan mengeluarkan kebijakan mengenai akuntabilitas.
47.
Untuk mendukung kebijakan itu maka dikeluaran undang-undang yang
dikenal dengan nama Elementary and Secondary Education Act (ESEA). Berdasarkan
undang-undang ini maka setiap sen dana yang diterima dari pemerintahan federal untuk
pendidikan dasar dan menengah harus dipertanggung jawabkan kepada publik. Oleh
karena itu, setiap proyek pendidikan yang didanai dari dana pemeritahan federal harus
terbuka untuk dievaluasi. Kebijakan ini menyebabkan kegiatan evaluasi menjadi sesuatu
yang dibutuhkan dan berkembang pesat. Oleh sebab tu, kelahiran kebijakan mengenai
akuntabilitas ini dianggap banyak para ahli evaluasi sebagai dasar atau landasan bagi
kegiatan evaluasi (Hamid Hasan. 2008:54-55).

48.
Suatu bangunan kurikulum memiliki empat komponen yaitu komponen
tujuan, isi/materi, proses pembelajaran, dan komponen evaluasi. Sebelum kurikulum
tersebut direncanakan atau dievaluasi ada beberapa kriteria pokok landasan dalam
pelaksanaan, pembinaan, pengembangan, dan evaluasi kurikulum. Landasan tersebut
hendaknya berdasarkan Kriteria :
1) Arah kurikulum itu sendiri dilandaskan pada sesuatu yang diyakini sebagai
suatu kebenaran atau kebaikan
2) Isi kurikulum sesuai dengan tuntutan masyarakat yang bersifat dinamis sebagai
pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi
3) Proses pembelajaran memperhatikan prinsip psikologis, baik teori tentang
belajar maupun perkembangan individu (Muhamad Ali,1984 )
49.
Berdasarkan kriteria di atas maka ada beberapa landasan yang mendasari
kegiatan evaluasi kurikulum menurut para ahli yang sesuai dengan kebijakan mengenai
akuntabilitas sebagai landasan dalam evaluasi. Akuntabilitas itu sendiri menurut Scriven
(1991) selalu berhubungan dengan hasil, memberikan dasar pembenaran bagi dana yang
telah dikeluarkan berdasarkan hasil yang dicapai dan waktu yang digunakan.
50.
Berbeda dengan McDavid dan Hawthorn (2006:435) berpendapat bahwa
akuntabilitas merupakan pertanggung jawaban hanya dapat dilakukan oleh orang yang
memiliki wewenang formal seperti orang yang mengembangkan kurikulum, kepala
sekolah, guru dan sebagainya.
51.
Sedangkan Menurut Rossi dan Freeman(1985:95) mengemukakan bahwa
ada enam jenis akuntabilitas dan dengan demikian, evaluasi harus mengumpulkan
informasi mengenai keenam bidang itu. Keenam jenis akuntabilitas itu meliputi:
Akuntabilitas Dampak (Impact Accountability), akuntabilitas Efisien (Efficiency
Accountability), akuntabilitas Lingkup (Coverage Accountability), akuntabilitas
Pemberian jasa (Service Delivery Accountability), akuntabilitas Keuangan (Financial
Accountability), akuntabilitas Hukum (Legal Accountability).
52.
Mengacu pendapat Rossi dan Freeman (1985), Scriven (1991), dan
McDaviddan Hawthorn (2006) maka terdapat 5 jenis akuntabilitas sebagai dasar
Landasan Evaluasi Kurikulum, yaitu :
53.
1) Akuntabilitas Legal
54.
Akuntabilitas legal berkaitan dengan kegiatan pengembangan kurikulum
yang secara hukum dapat dipertanggung jawabkan. Artinya, kegiatan pengembangan
kurikulum tersebut haruslah merupakan kegiatan yang secara hukum sah baik ketika
proses konstruksi kurikulum, implementasi kurikulum, dan evaluasi kurikulum (Hasan
Hamid.2009:58).
55.
Evaluasi kurikulum memiliki landasan legal yang lebih kuat sejak
diberlakukannya Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pasal 55 dan 56 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menetapkan bahwa
setiap unit pendidikan harus dievaluasi secara eksternal oleh lembaga internal.
56.
2) Akuntabilitas Akademik
57.
Akuntabilitas akademik berkaitan dengan filosofi, teori, prinsip dan
prosedur yang digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pertanyaan mendasar yang
dikemukakan dalam akuntabilitas akademik adalah apakah filosofi, teori, prinsip, dan
prosedur yang digunakan dalam pengembangan kurikulum dapat dipertanggung

jawabkan secara akademik. Artinya apakah filosofi yang digunakan adalah filosofi yang
dikenal oleh dunia akademik (Hasan Hamid.2009:60).
58.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa proses pengembangan
kurikulum terdiri atas tiga kegiatan besar yaitu konstruksi, implementasi dan evaluasi.
Akuntabilitas akademik harus ditegakkan oleh para pengembang kurikulum selama
proses konstruksi, implementasi, dan evaluasi. Para pengembang harus dapat
mempertanggung jawabkan secara akademik landasan filosofi dan teoritik yang
digunakan, prinsip dan prosedur yang ditempuh.
59.
Pertanggung jawaban tersebut dilakukan berdasarkan persyaratan yang
dikenal dan diakui oleh dunia akademik, pengembang kurikulum dan para evaluator.
Para pengembang kurikulum dapat melakukan evaluasi internal maupun eksternal.
60.
3) Akuntabilitas Finansial
61.
Akuntabilitas finansial adalah akuntabilitas yang dianggap sebagai cikal
bakal lahirnya konsep akuntabilitas. Secara mendasar akuntabilitas finansial berkenaan
dengan pertanggungjawaban keuangan yang diperoleh untuk pengembangan suatu
kurikulum. Dalam pertanggungjawaban ini maka setiap rupiah yang diterima harus
dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prosedur yang berlaku, jumlah uang untuk
suatu aktivitas, dan efisiensi penggunaan uang.
62.
Akuntabilitas yang berkenaan dengan prosedur dan jumlah uang dalam
kaitannya dengan kegiatan tidak menjadi kepedulian evaluasi kurikulum. Evaluasi
kurikulum memperdulikan masalah efisiensi pemanfaatan dana. Dalam konsep efisiensi
ini evaluasi kurikulum sangat peduli. Bahkan evaluasi kurikulum menjadikan fokus ini
sedemikian rupa sehingga berbagai model kurikulum dihasilkan. Model yang terkenal
seperti cost-benefit model dan cost-effectiveness model dikembangkan untuk
melakukan evaluasi yang berkenaan dengan akuntabilitas finansial. Oleh karena itu,
ketika evaluasi kurikulum membahas mengenai akuntabilitas finansial maka pengertian
akuntabilitas finansial dibatasi pada cost-benefit dan cost effectiveness dan bukan pada
akuntabilitas finansial yang dibahas pada bagian awal (Hamid Hasan.2009:63).
63.
Dalam konteks pengembangan kurikulum di Indonesia, evaluasi
kurikulum tidak mungkin melepaskan diri dari akuntabilitas finansial. Sebab, kondisi
umum keuangan negara dan masyarakat menyebabkan adanya keharusan yang
mendesak untuk memperhitungkan aspek akuntabilitas finansial.
64.
4) Akuntabilitas Pemberian Jasa
65.
Dimensi akuntabilitas pemberian jasa yang berkenaan dengan kurikulum
mempertanyakan apakah kurikulum dalam proses implementasi telah terlaksana dengan
sebaik-baiknya.
66.
Akuntabilitas pelayanan meliputi pemberian jasa pendidikan kepada
kelompok masyarakat yang seharusnya mendapatkan pelayanan tersebut. Konsep
seperti angka partisipasi adalah salah satu bentuk akuntabilitas pemberian jasa. Pada
saat sekarang dimana angka partisipasi pendidikan untuk penduduk usia 13-15; 16-19;
dan 20-24 masih sangat rendah merupakan petunjuk bahwa pemberian jasa pendidikan
terhadap masyarakat masih rendah. Mungkin saja rendahnya angka partisipasi tersebut
disebabkan oleh kurangnya fasilitas pendidikan, kemampuan masyarakat untuk
mendanai pendidikan putra-putri mereka masih minim, tetapi mungkin juga disebabkan
oleh rendahnya aspirasi dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan (Hamid
Hasan.2009: 64).

67.
Fungsi pelayanan pendidikan pemerintah dan masyarakat terhadap
generasi muda adalah suatu keawajiban moral yang konstitusional. Dilihat dari
kewajiban moral maka pemerintah dan masyarakat secara moral bertanggung jawab
dalam mempersiapkan generasi muda untuk mengembangkan kehidupan pribadinya dan
mengembangkan tugas sebagai anggota masyarakat. Dilihat dari aspek
konstitusionalnya maka rendahnya angka partisipasi merupakan pelanggaran
konstitusional yang serius, masa depan bangsa berada dalam bahaya. Demokratisasi
pendidikan memperlakukan setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh
pelayanan pendidikan. Demokratisasi pendidikan mensyaratkan setiap anggota
masyarakat harus terdidik dengan kualitas dan tingkat pendidikan yang tinggi.
Pendidikan adalah salah satu aspek dari kesejahteraan sosial yang harus dinikmati oleh
seluruh anggota bangsa.
68.
Dalam konteks ini maka pertanyaan utama evaluasi kurikulum adalah
apakah guru telah memberikan pelayanannya dengan sebaik-baiknya, apakah fasilitas
dan kondisi serta suasana kerja mendukung guru untuk memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya, dsb.
69.
5) Akuntabilitas Dampak
70.
Pada masa awal kehadiran evaluasi kurikulum, dampak belum menjadi
kepedulian apalagi fokus evaluasi kurikulum. Oleh karena itu, banyak evaluasi
kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli tidak mencantumkan dampak sebagai
sesuatu yang harus menjadi perhatian evaluasi kurikulum. Namun, pada saat sekarang,
dampak sudah merupakan sesuatu yang mendapat perhatian evaluasi kurikulum karena
kurikulum tidak saja berkenaan dengan hasil belajar yang dimiliki peserta didik.
Kurikulum harus pula memperlihatkan hasilnya dalam bentuk dampak pada masyarakat
dan pada kualitas lulusan. Hal ini mengandung arti bahwa hasil belajar yang diperoleh
peserta didik dari suatu kurikulum dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
(Hasan, 2008: 64-65).
71.
Evaluasi terhadap dampak akan memberikan pengaruh yang positif
terhadap pengembangan kurikulum. Prinsip pendidikan yang berakar dari lingkungan
masyarakat yang dilayaninya dapat dipenuhi oleh kurikulum. Kurikulum yang demikian
tidak tercabut dari akar budaya dan tidak menghasilkan tamatan yang buta terhadap
masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu evaluasi kurikulum harus mampu membantu
pendidikan dan pengembangan kurikulum menegakkan prinsip tersebut.
72.
Banyak contoh lain yang dapat dikemukakan dalam evaluasi dampak
untuk menegakkan akuntabilitas dampak suatu kurikulum. Ketika kurikulum CBSA
(Cara Belajar Siswa Aktif) di Cianjur diperkenalkan dan dalam proses belajar peserta
didik banyak menggunakan barang bekas, maka masyarakat mulai memberikan
perhatiannya terhadap barang-barang bekas. Mereka tidak membuangnya sembarangan
tetapi mengumpulkannya untuk digunakan oleh putra-putri mereka. Sayangnya evaluasi
kurikulum yang dilakukan pada waktu itu tidak sampai menelusuri apakah kreativitas
masyarakat meningkat dalam aspek lain seperti menciptakan atau menginovasi barang
bekas tersebut.
73.
Akuntabilitas dampak memberikan kesempatan kepada evaluator,
pengembang kurikulum, pengambil kebijakan, dan masyarakat sebagai “stakeholders”
untuk menempatkan kurikulum pada posisi yang lebih baik.
74.
75.

76.
77.
6. KRITERIA EVALUASI KURIKULUM
78.
Kriteria yang dapat dipertanggungjawabkan adalah ukuran yang akan
digunakan dalam menilai suatu kurikulum. Kriteria penilainan harus relevan dengan
kriteria keberhasilannya, sedangkan kriteria harus dilihat dalam hubungannya dengan
sasaran program. Kriteria evaluasi menurut Morrison (1940) harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut :
1) Relevan dengan kerangka rujukan dan tujuan evaluasi program kurikulum.
2) Ditetapkan pada data deskrivtif yang relevan dan menyangkut program/kurikulum
79.
80.
Landasan pengelompokan kriteria evaluasi kurikulum adalah :
1) Hubungan antara kurikulum dengan evaluasi
81.
Hal ini dapat diartikan sebagai posisi sumber kriteria terhadap
kurikulum. Dengan kata lain apakah kriteria itu berasal dari kurikulum ataukah
berada diluar kurikulum ataukah berada diantaranya.
2) Waktu pada saat kriteria untuk evaluasi tersebut dikembangkan
82.
Hal ini berkaitan dengan situasi dan kondisi terhadap kegiatan
pelaksanaan evaluasi kurikulum. Oleh karena itu penetapan waktu dengan
penetapan kriteria haruslah disesuaikan.
83.
84.
Berdasarkan landasan tersebut diatas, maka Fullan dan Pomfret (1977)
mengklasifikasikan empat pengembangan kelompok kriteria evaluasi kurikulum, yakni :
1) Pendekatan kriteria Pre-ordinate
85.
Karakteristik pendekatan Pre-ordinate ada dua, yakni :
a. Kriteria ditetapkan pada waktu kegiatan evaluasi kurikulum belum
dilaksanakan yang masih dalam bentuk rancangan.
b. Kriteria tidak dikembangkan dari karakteristik kurikulum yang dievaluasi
melainkan dikembangkan dari sesuatu yang sudah dianggap baku (standar).
86.
Kriteria pre-ordinate juga sudah dikembangkan dalam bentuk instrumen
evaluasi. Kebanyakan instrumen evaluasi tersebut berhubungan dengan dimensi
kurikulum sebagai hasil belajar, yakni kegiatan pemusatan perhatian terhadap
pencapaian hasil belajar. Alat evaluasi yang digunakan juga bersifat baku, seperti
validitas dan reabilitas yang dilakukan menurut prosedur tradisi psikometrik (evaluator
tetap menguji kedua atribut penting psikometrik tersebut berdasarkan data yang telah
dikumpulkan).
87.
2) Pendekatan Kriteria Fidelity
88.
Pendekatan pengembangan kriteria fidelity menggunakan kriteria yang
dikembangkan sebelum evaluator turun kelapangan untuk mengumpulkan data.
Pendekatan fidelity tidak menggunakan kriteria yang bersifat umum tetapi dengan
kurikulum yang dikembangkan dari kurikulum itu sendiri. Pendekatan pengembangan
kriteria fidelity juga mengandung pengertian, apabila evaluator mengembangkan
kriterianya berdasarkan persepsi para pengembang kurikulum.
89.
3) Pendekatan mutually adaptive

90.
Pendekatan yang menggunakan criteria baik yang dikembangkn dari
karakteristik kurikulum yang dijadikan evaluan maupun dari luar. Pendekatan ini
merupakan gabungan dari pendekatan gabungan antara pre-ordinate, fidelity, dan
proses. Untuk evaluasi kurikulum, kriteria gabungan itu untuk suatu dimensi kurikulum,
evaluasi dengan pendekatan pengembangan kriteria gabungan menggunakan berbagai
sumber kriteria untuk mengukur berbagai dimensi kurikulum terjadi untuk suatau sttudi
evaluasi, tetapi masing – masing kriteria digunakan untuk mengukur dimensi kurikulum
yang berbeda.
91.
4) Kriteria dari Lapangan (Proses)
92.
Pendekatan proses bertumbuh dan berkembang menjadi suatu
pendekatan penting dalam evaluasi kurikulum dan merupakan suatu konsekuensi dari
pandangan baru terhadap evaluasi evaluasi dan penggunaan metode yang dikembangkan
dari naturalistic inquiry, atau kualitatif dari pandangan aliran filsafat fenomenologi.
Karakteristik pendekatan proses ialah:
a. Kriteria yang digunakan untuk tidak dikembangkan sebelum evaluator berada
dilapangan tetapi dikembangkan selam evaluator berada dilapangan.
b. Berhubungan erat dengan kenyataan yang ada dilapangan
c. Kurikulum yang ada dipelajari dan dijadikan kerangka berpikir kasar ketika
evaluator akan mengunjungi lapangannya.
d. Evaluator sangat perduli terhadap dengan masalah yang dihadapi oleh para
pelaksana kurikulum dilapangan.
e. Pada waktu mengembangkan criteria evaluator secara langsung harus
berhubungan dengan masalah – masalah lapangan yang dihadapi oleh para
pelaksana kurikulum.
f. Model pendekatan proses berhubungan erat dengan pemakaian/aplikasi
pendekatan kualitatif.
93.
7. RUANG LINGKUP EVALUASI KURIKULUM
94.
95.
Evaluasi kurikulum merupakan bagian integral dari proses
pengembangan kurikulum, dimana perlu ditentukan ruang lingkup pelaksanaan evaluasi
itu sendiri. Proses mengidentifikasi permasalahan yang hadir ditengah masyarakat
merupakan pekerjaan dari evaluasi kurikulum (Hasan, 2008:104). Berikut akan
diuraikan mengenai ruang lingkup yang perlu menjadi fokus bagi evaluasi kurikulum.
96.
a. Evaluasi Kurikulum Pada Tingkat Nasional
97.
Pada tingkat nasional pengembangan kurikulum memuat Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI), artinya setiap satuan pendidikan dalam
melakukan pengembangan kurikulum harus memperhatikan Standar Kompetensi
Lulusan dan Standar Isi yang ditetapkan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan RI
dalam Permen Dikbud Nomor 20 dan 21 tahun 2016.
98.
Standar Kompetensi Lulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi
kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
digunakan sebagai acuan utama pengembangan standar isi, standar proses, standar
penilaian pendidikan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan. Evaluasi kurikulum dalam

tahap ini berperan untuk mengetahui ketercapaian dan kesesuaian antara Standar
Kompetensi Lulusan dan lulusan dari masing-masing satuan pendidikan.
99.
Selain itu Standar Isi juga penting menjadi dasar evaluasi terhadap
kurikulum, kriteria mengenai ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk
mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu tertuang dalam
Standar Isi. Peran evaluasi kurikulum dalam tahap ini adalah mengkaji kesesuaiannya
dengan perkembangan masyarakat, berbagai teori pendidikan dan kurikulum. Hasan
(2008:112) mengungkapka bahwa evaluasi terhadap Standar Isi harus mampu
mengungkapkan konsistensi internal antara berbagai ketetapan seperti pengelompokan
mata pelajaran, beban belajar dan kalender akademik.
100.
b. Evaluasi Kurikulum Pada Tingkat Satuan Pendidikan
101.
Pada tingkat ini para pengembang kurikulum harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan lingkungan disekitarnya serta tetap berpedoman kepada
SKL dan SI yang telah ditetapkan secara nasional dalam mengkontruksi kurikulum.
102.
Dalam mengkontruksi kurikulum para pengembang memulainya dari
pembuatan ide kurikulum, yang merupakan rumusan dari posisi filosofis pendidikan
yang dianut, pandangan teoritik tentang konsep kurikulum model kurikulum yang
digunakan, konsep tentang konten, organisasi kurikulum dan posisi peserta didik dalam
belajar.
103.
Pengembangan kurikulum sebagai dokumen menjadi langkah
selanjutnya setelah pembuatan ide kurikulum. Pada tahap ini ide diperjelas melalui
komponen proses, komponen asesmen hasil belajar dan komponen pendukung yang
harus dilakukan dalam pelaksanaan pendidikan. Dokumen kurikulum selanjutnya akan
diperjelas lagi dengan pembuatan silabus yang dilakukan oleh guru berkenaan dengan
mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
104.
Setelah dokumen kurikulum siap, pengembangan proses menjadi tahap
selanjutnya. Tahap ini sering disebut “curriculum in action”, dimana harus terciptanya
kesesuaian antara apa-apa yang tercantum dalam dokumen dengan pelaksanaan
dilapangan.
105.
Keseluruhan tahap pengembangan kurikulum pada tingkat satuan
pendidikan akan berakhir pada hasil belajar. Dalam model pengembangan kurikulum
yang digagas oleh Tyler (1949) mengatakan bahwa kurikulum sebagai rencana dan
sebagai proses tidak menjadi fokus utama, hasil belajarlah yang perlu dijadikan fokus.
Namun dewasa ini model seperti itu tidak bisa diterapkan, tetap saja bahwa rencana dan
proses harus tetap mendapatkan evaluasi. Karena walau bagaimana pun rencana dan
proses itu sendiri yang akan mempengaruhi hasil.
106.
Evaluasi hasil belajar juga harus memperhitungkan faktor-faktor peserta
didik seperti minat, perhatian, cita-cita serta kebiasaan yang dikenal dengan istilah
“aptitude”. Proses evaluasi harus mampu memberikan solusi agar kurikulum yang
dikembangkan dapat memanfaatkan aptitude sehingga dapat berpengaruh positif bagi
hasil belajar.
107.
8. JENIS EVALUASI KURIKULUM
108.
109.
Cronholm dan Godkuhl (2003:65) membagi evaluasi kurikulum menjadi
tiga jenis, yaitu goal-based evaluation, goal-free evaluation dan criteria-based
evaluation. Sedangkan pembagian jenis evaluasi yang lebih tua dikemukakan oleh

Worthen dan Sanders (1987) yang mengelompokan evaluasi kurikulum menjadi enam
jenis, yaitu objectives-oriented, management-oriented, consumer-oriented, expertiseoriented, adversary-oriented, naturalistic & participant oriented.
110.
Sedangkan Hasan (2008:135) mengelompokan evaluasi kurikulum
berdasarkan tiga faktor yaitu berdasarkan evaluan,berdasarkan posisi evaluator dan
berdasarkan metodologi. Pada makalah ini akan dibahas jenis evaluasi kurikulum
menurut Hasan (2008).
a. Evaluasi Kurikulum Berdasarkan Bentuk Evaluan
111.
Jenis evaluasi kurikulum yang dikelompokan berdasarkan evaluan terdiri
atas evaluasi konteks, dokumen, proses dan hasil yang merupakan kegiatan proses
pengembangan suatu kurikulum.
112.
Pertama,evaluasi konten. Evaluasi ini berkaitan dengan berbagai aspek
yang melahirkan dokumen kurikulum yaitu tuntutan masyarakat terhadap dunia
pendidikan berkaita dengan kesesuaian kurikulum terhadap keadaan lingkungan sosial,
ekonomi, budaya, seni, politik, agama, teknologi dan sebagainya.
113.
Kedua, evaluasi dokumen. Dokumen yang dievaluasi terdiri dari
dokumen yang dihasilkan oleh pemerintah berupa ketetapan peraturan pemerintah,
peraturan menteri, keputusan direktur jendral dan sebagainya. Sedangkan evaluasi
dokumen kurikulum pada tingkat satuan pendidikan lebih berfokus kepada apakah
dokumen tersebut sesuai dengan standar isi dan standar kompetensi lulusan yang
diamanatkan oleh pusat? Serta apakan kurikulum satuan pendidikan mempunyai
kesinambungan dengan silabus yang dikembangkan oleh guru.
114.
Ketiga, evaluasi proses. Dimana kegiatan utama pendidikan yang
ditandai dengan adanya interaksi dan komunikasi antar dua komponen pendidikan yaitu
guru dan peserta didik dengan sumber belajar. Selain itu fokus yang mulai dilirik pada
evaluasi proses adalah suasana kelas, fasilitas belajar dan mengajar, jadwal, pekerjaan
yang harus dilakukan guru dan peserta didik diluar kelas, suasana kerja di sekolah dan
juga dukungan masyarakat.
115.
Keempat, evaluasi hasil. Hasil belajar merupakan fokus dari evaluasi
jenis ini, Benjamin Bloom dan kawan-kawannya telah membuat kategori hasil belajar
(Taxonomy Bloom) yang banyak digunakan sampai masa kini. Dimana hasil belajar
dikategorikan menjadi kognitif, afektif dan psikomotor.
116.
Hasil belajar kognitif berkenaan dengan kemampuan otak dalam
menerima, mengolah dan menggunakan informasi. Hasil belajar afektif berkenaan
dengan kemampuan untuk menginternalisasi nilai, sikap, moral dan nurani yang tercipta
selama proses pembelajaran sehingga menghasilkan kebiasaan. Sedangkan hasil belajar
psikomotor berkenaan dengan kemampuan menggerakan otot tangan, kaki, muka dan
anggota tubuh lainnya yang terpadu dengan kemampuan kognitif dan afektif.
117.
Sebagai contoh, peserta didik yang mempelajari penyusunan laporan
keuangan dalam akuntansi. Secaa kognitif dia akan mampu mengetahui konsep laporan
keuangan dan cara-cara penyusunannya, selanjutnya secara afektif dia mengenal bagianbagian laporan keuangan tanpa harus membuka contoh dalam buku dan terakhir dia
mampu membuat laporan keuangan tersebut secara mandiri dengan tepat.
118.
b. Evaluasi Kurikulum Berdasarkan Posisi Evaluator
119.
Jenis evaluasi ini dikelompokkan menjadi evaluasi internal dan eksternal.
Evaluasi internal dilakukan oleh guru dan kepala sekolah disatuan pendidikan masingmasing dengan berfokus kepada penyempurnaan dokumen kurikulum dan

penyempurnaan proses implementasi kurikulum. Evaluasi yang disebut juga monitoring
ini, akan memudahkan evaluator dalam menyampaikan hasilnya karena dia sudah
membangun komunikasi sejak kurikulum itu dibuat.
120.
Evaluasi eksternal dilakukan oleh orang yang tidak terlibat dalam proses
pengembangan kurikulum, keuntungan menggunakan evaluator dari luar adalah
mudahnya mengembangkan objektivitas karena tidak adanya keterkaitan secara
emosional dengan evaluan. Sedangkan kelemahannya sendiri ialah dalam hal
pemahaman mengenai karakteristik evaluan, dimana evaluator hanya membaca
karakteristik evaluan dari dokumen yang ada saja dan tidak mendalami proses
pengembangan kurikulum. Sehingga evaluator perlu waspada ketika memaknai apa-apa
yang dibaca, dilihat dan diolah olehnya. Wawancara intensif dengan para pengembang
kurikulum perlu dilakukan untuk meminimalisir kekeliruan pemahaman terhadap
evaluan.
121.
c. Evaluasi Kurikulum Berdasarkan Metodologi
122.
Dalam evaluasi jenis ini terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama
adalah evaluasi kuantitatif dan yang kedua adalah evaluasi kualitatif. Penggunaan
metode experimen sangat khas digunakan dalam evaluasi kuantitatif, yang pada
dasarnya menghendaki adanya manipulasi dari keadaan sehari-hari menjadi keadaan
yang diinginkan oleh kurikulum yang sedang dikembangkan. Pada dasarnya evaluasi
jenis ini memiliki kesamaan dengan prosedur penelitian kuantitatif.
123.
Pada akhir tahun 60-an pandangan filosofi fenomenologi melahirkan apa
yang kemudian deikenal dengan pendekatan kualitatif. Fokus dari evaluasi jenis ini
adalah perolehan data secara mendalam atau down to earth dari responden yang terlibat
dalam pengembangan kurikulum.
124.
9. PROSEDUR EVALUASI KURIKULUM
125.
126.
Prosedur merupakan pedoman untuk membantu evaluator agar berada
pada jalur yang sesuai dan dapat dipertanggung jawabkan. Prosedur yang diakui akan
melahirkan pengakuan dari pengguna jasa evaluasi. Dalam praktiknya prosedur evaluasi
kurikulum harus disesuaikan dengan metodologi yang digunakan, namun perbedaan
metodologi tersebut secara umum mempunyai persamaan dalam langkah-langkah yang
sistematis yang harus dilakukan evaluator.
127.
Evaluasi kurikum haruslah dilakukan secara berkelanjutan mulai dari
analisis awal terhadap situasi yang ada, pada saat pengembangan dan pemilihan
alternatif untuk mengatasi masalah-masalah pada situasi yang ada dengan
memperhatikan prinsip-prinsip yang ada.
128.
Prinsip-prinsip tersabut mencakup bahwa evaluasi dilakukan untuk
memberi bantuan bagi pengguna jasa, dilakukan secara objektif, tidak menyakiti
perasaan pengguna jasa dan pelaksana kurikulum, tidak ditunjukan untuk mencari
kesalahan, komprehensif, tepat waktu, efisien, politically viable, administratively, dan
suitable.
129.
Hamalik (2008) mengemukakan bahwa evaluasi kurikulum harus
dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut:
1) Memulai dengan kurikulum yang ada
130. Mempelajari kurikulum yang ada dimaksudkan untuk mengetahui
pelaksanaan proses intruksional yang diterapkan pada satuan pendidikan.

2) Perencanaan filsafat pendidikan dan menentukan prinsip-prinsip
kepemimpinan
131. Disini evaluator mendiskusikan keterkaitan antara kurikulum dan
kebutuhan nyata yang sedag atau akan terjadi.
3) Menentukan masalah-masalah dalam kehidupan dan penentuan tujuan-tujuan
pendidikan
132. Evaluator menentukan bidang-bidang permasalahan dan tujuan-tujuan
pendidikan yang hendak dicapai berkenaan dengan masalah tersebut.
4) Penilaian kurikulum yang ada
133. Disini kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum dengan teliti
dan menyeluruh.
5) Perencanaan progam pendidikan
134. Sebelum melaksanakan perubahan yang besar program pendidikan
secara seksama harus direncanakan terlebih dahulu.
6) Rencana pelaksanaan perbaikan
135. Berdasarkan kebijakan dan hasil evaluasi evaluator membuat
perencanaan untuk melaksanakan perbaikan sebagai pedoman guna
memperoleh hasil yang baik.
7) Evaluasi program dan perubahan
136. Hasil evaluasi kemudian dilaporkan dan dilaksanakan oleh pengguna jasa
evaluasi.
137.
Sedangkan Stephen Romine mengemukakan sepuluh langkah dalam
prosedur evaluasi kurikulum sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)

Mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat
Menentukan tujuan perbaikan kurikulum
Menginventarisasi kebutuhan program perbaikan kurikulum
Melaksanakan pencarian dan pengumpulan data dan informasi mengenai
kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi dalam rangka penyusunan program
perbaikan kurikulum
5) Merencanakan program perbaikan kurikulum
6) Merencanakan pelaksanaan program kegiatan perbaikan kurikulum
7) Pelaksanaan program perbaikan kurikulum
8) Mengevaluasi program perbaikan kurikulum
9) Revisi program perbaikan kurikulum
10) Pelaksanaan kurikulum yang telah diperbaiki
138.
(1992):

Prosedur evaluasi kurikulum juga dikemukakan oleh Storange dan Helm

1) Kajian terhadap evaluan
139. Pemahaman akan evaluan yang hendak dievaluasi akan menjadi landasan
kuat bagi evaluator dalam mengembangkan pekerjaan evaluasinya serta dapat
menentukan fokus evaluasi yang akan dilakukan. Kajian dapat dimulai dari
mengkaji berbagai keputusan tingkat nasional yang berkenaan dengan
pengembangan dokumen dan proses kurikulum tingkat satuan pendidikan.
2) Pengembangan proposal

140. Disini evaluator merumuskan dan menentukan pendekaan dan jenis
evaluasi yang akan dilakukan. Tujuan evaluasi juga harus tertuang didalam
proposal, yaitu tujuan yang hendak dicapai dari hasil evaluasi. Tujuan ini akan
saling berpengaruh dengan pendekatan yang digunakan.
3) Pertemuan atau diskusi proposal dengan pengguna jasa evaluasi
141. Proposal yang diajukan akan dilaksanakan atau tidak bergantung kepada
hasil diskusi yang dilakukan antara evaluator dan pengguna jasa evaluasi.
Setiap komponen dibicarakan sehinggan memperoleh suatu kesamaan hasil
yang diharapkan dari proses evaluasi ini.
4) Revisi proposal
142. Revisi dilakukan hanya jika terjadi perbedaan pendapat antara evaluator
dan pengguna jasa yang terjadi pada kegiatan diskusi. Jika proposal bisa
diterima, revisi tidak perlu dilakukan.
5) Rekruitmen personalia
143. Dalam proses evaluasi tentu membutuhkan sejumlah orangdengan
kualifikasi yang relevan dengan proses yang hendak dilakukan. Kejelasan
peran setiap orang perlu tercantum didalam proposal sehingga akan
menciptkan pelaksanaan evaluasi secara efektif dan efisien.
6) Pengurusan persyaratan administrasi
144. Formalitas administrasi diperlukan bagi evalutor, persyaratan tersebut
meliputi surat izin melakukan evaluasi, surat permohonan kesediaan menjadi
responden, surat identitas anggota tim dan sebagainya. Hal ini penting sebagai
bukti legalitas proses evaluasi.
7) Pengorganisasian pelaksanaan
145. Evaluator utama tidak bisa bekerja sendiri apalagi jika ruang lingkup
pekerjaan evaluasi cukup luas, maka pengorganisasian penting dilakukan.
Evaluator perlu menetapkan bagian-bagian yang diperlukan seperti tim khusus
administrasi dan tim khusus keuangan.
8) Analisis data
146. Setelah perolehan data maka data tersebut perlu ditindak lanjut secara
profesional dan bertanggung jawab serta memerlukan wawasan dan
pemahaman terhadap evaluan. Jika metode yang digunakan kualitatif, proses
analisis data dilakukan oleh evaluator utama yang melaksanakan evaluasi
tersebut.
9) Penulisan laporan
147. Hasil evaluasi kemudian dituangkan dalam laporan yang selanjutnya
akan diserahkan kepada para eksekutif yang selanjutnya disebut laporan
eksekutif. Selain itu laporan lengkap juga perlu dibuat oleh evaluator, laporan
lengkap memuat rincian dari laporan eksekutif.
10) Pembahasan laporan dengan pemakai jasa
148. Pada langkah ini, kelengkapan laporan dibahas dan jika ada hal-hal yang
masih diperlukan oleh pengguna jasa namun tidak tercantum didalam laporan,
evaluator wajib memenuhinya.
11) Penulisan laporan akhir
149. Disini disajikan laporan yang sudah lengkap dan sesuai dengan
kebutuhan dari pengguna jasa evaluasi, dan akan dijadikan pedoman bagi
pelaksanaan kurikulum yang baru atau yang sudah dievaluasi.

150.
10. PENDEKATAN EVALUASI KURIKULUM
151.
152.
Pendekatan dalam evaluasi kurikulum menyediakan cara memutuskan
perhatian pada pertanyaan evaluasi. Cronbach (1982) menyebutkan ada dua pendekatan
dasar yaitu saintis ideal dan humanistis ideal.
153.
Pendekatan saintis ideal memusatkan perhatian pada sisa dalam skor
hasil tes. Kebanyakan informasi yang dikumpulkan melalui pendekatan ini adalah data
kuantitatif yang bisa dianalisis secara statistik.
154.
Sedangkan pendekatan humanistis ideal tidak menerima penemuan
eksperimen, observasi menjadi sangat penting guna mengamati program secara
langsung dan dapat dianalisis secara mendalam.
155.
11. MODEL EVALUASI KURIKULUM
156.
Mulai tahun 60-an merupakan dekade dimana pemikiran mengenai
model evaluasi kurikulum berkembang dengan pesat. Sehingga pada masa kini
kemudian dikenal ada dua kelompok model evaluasi kurikulum, yaitu model kuantitatif
dan model kualitatif.
a) Model Evaluasi Kuantitatif
157.
Fokua dari model kuantitatif adalah dimensi kurikulum sebagai hasil
belajar, karena dianggap sangat penting bahkan dapat dikatakan bahwa hasil belajar
merupakan kriteria pokok bagi model-model kuantitatif.
158.
1) Measurement
159.
Evaluasi pada dasarnya adalah pengukuran perilaku siswa untuk
mengungkapkan perbedaan individual maupun kelompok. Hasil evaluasi digunakan
terutama untuk seleksi siswa, bimbingan pendidikan, dan perbandingan eveftivitas
antara dua atau lebih program/metode pendidikan. Objek evaluasi dititikberatkan pada
hasil belajar terutama dalam aspek kognitif dan khususnya yang dapat diukur dengan
alat evaluasi yang objektif dan dapat dibakukan. Jenis data yang dikumpulkan dalam
evaluasi adalah data objektif khususnya skor hasil tes. Dalam kegiatan evaluasi,
cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut:
1) Menempatkan “kedudukan” setiap siswa dalam kelompoknya melalui
pengembangan norma kelompok dalam evaluasi hasil belajar.
2) Membandingkan hasil belajar antara dua atau lebih kelompok yang
menggunakan program/metode pengajaran yang berbeda-beda melalui
analisis secara kuantitatif.
3) Teknik evaluasi yang digunakan terutama tes yang disusun dalam bentuk
objektif, yang terus dikembangkan untuk menghasilkan alat evaluasi yang
reliable dan valid.
160.
161.
2) Model Black Box Tyler
162.
Menurut model ini evaluasi kurikulum hanya berhubungan dengan
dimensi hasil belajar yang dilandasi oleh evaluasi yang ditujukan kepada tingkah laku

awal peserta didik dan evaluasi yang dilakukan pada saat peserta didik telah
melaksanakan kurikulum. Evaluator harus dapat menentukan perubahan tingkah laku
yang terjadi sebagai hasil belajar yang diperoleh dari kurikulum. Informasi mengenai
perubahan tersebut dapat diperoleh dengan mengadakan tes awal (pre-rest) yang
merupakan gambaran mengenai kemampuan awal peserta didik dan tes akhir (post-test)
yang menggambarkan kemampuan peserta didik setelah melaksanakan kurikulum.
163.
Model ini pernah diberlakukan di Indonesia pada Kurikulum 1975
dimana guru diwajibkan mengembangkan satuan belajar instruksional dengan
melakukan tiga prosedur yaitu:
a. Menentukan tujuan kurikulum yang akan dievaluasi
b. Menentukan situasi dimana peserta didik mendapatkan kesempatan untuk
memperlihatkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan.
c. Menentukan alat evaluasi yang akan digunakan untuk mengukur tingkah laku
peserta didik
164.
165.
Keunggulan dari model ini adalah dari kesederhanaannya yang hanya
memfokuskan kajian evaluasinya hanya kepada hasil belajar. Sedangkan kekurangannya
adalah pengabaian proses belajar, mengingat proses belajar merupakan komponen
penting yang akan mempengaruhi hasil belajar.
166.
3) Model Teoritik Taylor dan Maguire
167.
Pertimbangan teoritik menjadi sangat dominan dalam model ini, dimana
terdapat dua kegiatan utama yang harus dilakukan evaluator. Pertama, mengumpulkan
data objektif yang dihasilkan dari berbagai sumber mengenai komponen tujuan,
lingkungan, personalia, metode dan konten serta hasil belajar. Kedua, hasil dari
pengumpulan data dimasukan kedalam matriks tujuan, penafsiran, strategi dan hasil
belajar.
168.
Cara kerja model ini dimulai dengan keinginan dari masyarakat terhadap
pendidikan yang kemudian dijadikan tujuan dari kurikulum yang selanjutnya dirinci
lebih khusus. Eluvator kemudian memberikan pertimbangan mengenai relevansi antara
tujuan kurikulum (umum) dan tujuan mata pelajaran (khusus) yang dilihat dari hasil
belajar peserta didik. Pesera didik harus mampu menggunakan hasil belajarnya kedalam
kehidupan bermasyarakat.
169.
4) Model Pendekatan Alkin
170.
Pendekatan ini memiliki keunikan dimana selalu dimasukannya unsur
ekonomi mikro dalam pekerjaan evaluasi. Pengaruh ekonometrik sangat terasa dalam
model ini, dimana pengukuran dan kontrol variabel merupakan dua hal penting yang
harus diperhatikan evaluator. Model ini dikembangkan berdasarkan enam komponen,
yaitu:
a. Sistem luar
171. Merupakan lingkungan sosial, politik, budaya dan ekonomi.
b. Masukan peserta didik
172. Merupakan semua informasi yang berhubungan dengan karakteristik
peserta didik (kemampuan intelektual, hasil belajar sebelumnya, kepribadian,
kebiasaan, latar belakang keluarga, latar belakang lingkungan sosial dan
sebagainya.
c. Masukan keuangan

173. Merupakan dana bantuan yang diterima oleh sekolah yang berasal dari
komite sekolah, dinas, departemen maupun dari masyarakat.
d. Faktor perantara
174. Merupakan komponen yang akan menentukan keluaran, mencakup rasio
guru dan peserta didik, jumlah peserta didik dalam satu kelas, pengaturan
administrasi akademis, penyediaan buku, prosedur pengajaran dan bantuan
profesional.
e. Keluaran peserta didik
175. Merupakan setiap perubahan yang terjadi pada peserta didik sebagai
akibat dari pengalaman belajar yang diperolehnya.
f. Keluaran bukan peserta didik
176. Perubahan yang terjadi akibat pengalaman belajar membawa perubahan
juga kedalam masyarakat dimana mereka tinggal.
177.
Kelebihan dari model ini adalah keterikatannya dengan sistem,
sehingga kegiatan sekolah dapat diikuti dengan seksama. Sedangkan
kelemahannya adalah bahwa model ini hanya dapat mengevaluasi kurikulum yang
sudah siap dilaksanakan di sekolah.
178.
5) Model Countenance Stake
179.
Evaluasi pada dasarnya merupakan pemeriksaan kesesuaian atau
congruence antara tujuan pendidikan dan hasil belajar yang dicapai, untuk melihat
sejauhmana perubahan hasil perubahan pendidikan telah terjadi. Hasil evaluasi
diperlukan dalam rangka penyempurnaan program, bimbingan pendidikan, dan
pemberian informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan. Objek evaluasi
dititikberatkan pada hasil belajar dalam bentuk kognitif, psikomotorik maupun nilai dan
sikap. Jenis data yang dikumpulkan adalah data objektif khususnya skor hasil tes.
Dalam kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut:
1. Menggunakan prosedur pre-and post-assessment dengan menempuh langkahlangkah pokok sebagai berikut: penegasan tujuan, pengembangan alat evaluasi,
dan penggunaan evaluasi.
2. Analisis hasil evaluasi dilakukan secara bagian demi bagian.
3. Teknik evaluasi mencakup tes dan teknik-teknik evaluasi lainnya yang cocok
untuk menilai berbagai jenis perilaku yang terkandung dalam tujuan.
4. Kurang menyetujui diadakannya evaluasi perbandingan antara dua atau lebih
program.
180.
6) Model CIPP
181.
Model ini menitikberatkan pada pandangan bahwa keberhasilan program
pendidikan dipengaruhi oleh berbagai factor, di antaranya: karakteristik peserta didik
dan lingkungan, tujuan program, dan peralatan yang digunakan, serta prosedur, dan
mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi kurikulum pada model ini
dimaksudkan untuk membandingkan performance atau kinerja dari berbagai dimensi
program dengan sejumlah kriteria tertentu untuk menghasilkan judgment atau
pertimbangan-pertimbangan mengenai kekuatan dan kelemahan dari kurikulum
tersebut.
182.
Dalam buku Educational Evaluation and Decision Making, dari
Stufflebema (1972), CIPP merupakan model evaluasi de