Laporan Praktikum Penyiapan Contoh Tanah

LAPORAN PRAKTIKUM
DASAR-DASAR ILMU TANAH

ACARA I
PENYIAPAN CONTOH TANAH

Oleh :
Nama

: MARTHA WIRA PRATAMA

NIM

: A1L114013

Rombongan

: AGROTEKNOLOGI Pararel A1

PJ Asisten


: Ardi Luqman Hakim

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2015

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tanah adalah benda alam yang terdapat di permukaan bumi yang
memiliki panjang, lebar, dan kedalaman. Tanah merupakan habitat bagi
mikroorganisme. Bagi manusia dan hewan darat, tanah menjadi tempat
untuk hidup dan bergerak. Tanah juga memiliki pernana penting bagi
tumbuhan sebagai media tanam, media unsur hara, dan air serta sebagai
penopang akar untuk bertumbuh.
Tanah berasal dari pelapukan batuan bahan organik. Pembentukan

tanah memakan waktu yang lama, bisa ribuan hingga jutaan tahun. Proses
pelapukan dibedakan menjadi tiga, yaitu pelapukan mekanik, kimiawi, dan
organik.
Pelapukan mekanik adalah peluruhan yang menghasilkan partikel
yang lebih halus. Pelapukan ini meliputi pemanasan, pengendapan dan
penekanan. Pelapukan kimiawi terjadi karena peristiwa hancurnya dan
terlepasnya material dari batuan induk disertai perubahan unsur kimia.
Sedangkan pelapukan organik terjadi karena peristiwa hancurnya atau
terlepasnya material dari batuan induk yang disebabkan oleh kegiatan
makhluk hidup.
Ilmu yang mempelajari proses-proses pembentukan tanah, faktorfaktor pembentuknya, klasifikasi tanah, survey tanah, dan cara-cara

pengamatan tanah di lapang disebut pedologi. Apabila tanah dipelajari dan
memiliki hubungan dengan pertumbuhan tanaman disebut edapologi.
B. Tujuan
1. Untuk menyiapkan contoh tanah yang digunakan untuk acara
penetapan kadar air, derajat kerut tanah, dan pengenalan contoh tanah
dengan indra.

I.


TINJAUAN PUSTAKA

Pengambilan contoh tanah merupakan tahapan penting untuk penetapan
sifat-sifat fisik tanah di laboratorium. Prinsipnya, hasil analisis sifat-sifat tanah di
laboratorium harus dapat menggambarkan keadaan sesungguhnya sifat fisik tanah
di lapangan (Suganda et al, 2002).
Sifat-sifat fisik tanah yang dapat ditetapkan di laboratorium mencakup
berat volume (BV), berat jenis partikel (PD = particle density), tekstur tanah,
permeabilitas tanah, stabilitas agregat tanah, distribusi ukuran pori tanah termasuk
ruang pori total (RPT), pori drainase, pori air tersedia, kadar air tanah, kadar air

tanah optimum untuk pengolahan, plastisitas tanah, pengembangan atau
perngerutan tanah (COLE = coefficient of linier extensibility) dan ketahanan geser
tanah (Suganda et al, 2002).
Ada beberapa jenis contoh tanah, diantaranya:
1. Contoh tanah utuh (Undisturbed soil sample)
Contoh tanah utuh merupakan contoh tanah yang diambil dari
lapisan tanah tertentu dalam keadaan tidak terganggu, sehingga kondisinya
hampir menyamai kondisi di lapangan. Contoh tanah tersebut digunakan

untuk penetapan angka berat volume (berat isi, bulk density), distribusi
pori pada berbagai tekanan (pF 1, pF 2, pF 2,54, dan pF 4,2) dan
permbeabilitas.
2. Agregat utuh (Undisturbed soil agregate)
Contoh tanah agregat utuh adalah contoh tanah berupa bongkahan
alami yang kokoh dan tidak mudah pecah. Contoh tanah ini diperuntukkan
bagi analisis indeks kestabilitas agregat (IKA). Contoh diambil
menggunakan cangkul pada kedalaman 0-20 cm.
3. Contoh tanah tidak utuh/terganggu (Disturbed soil sample)
Contoh tanah terganggu dapat juga digunakan untuk analisis sifatsifat kimia tanah. Kondisi contoh tanah terganggu tidak sama dengan
keadaan di lapangan, karena sudah terganggu sejak dalam pengambilan
contoh. Contoh tanah ini dapat dikemas mengunakan kantong plastik tebal
atau tipis. Kemudian diberi label yang berisikan informasi tentang lokasi,
tanggal pengambilan, dan kedalaman tanah. Label ditempatkan di dalam
atau di luar kantong plastik (Suganda et al, 2002).

Andisol adalah salah satu jenis tanah yang relatif subur, namun
mempunyai tingkat jerapan P yang tinggi. Hal ini dikarenakan adanya mineral
amorf seperti alofan, imogolit, ferihidrit, dan oksida-oksida hidrat Al dan Fe
dengan permukaan spesifik yang luas (Munir, 1996).

Ultisol didefinisikan sebagai tanah yang mempunyai penciri horison
argilik atau kandik dan kejenuhan basa < 35%. Ultisol merupakan salah satu jenis
tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau
sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo, 2004).

Kata Inceptisol berasal dari kata Inceptum yang berarti permulaan.
Inceptisol menduduki golongan tanah terluas kedua di dunia. Ciri khas Inceptisol
ini adalah tanah mulai berkembang, mempunyai epipedon Ochric (pucat),
meskipun masih sedikit memperlihatkan bukti adanya eluviasi dan iluviasi.
Golongan tanah ini dapat terjadi hampir dalam semua zone iklim yang
memungkinkan terjadinya proses pencucian. Inceptisol merupakan tanah yang
mempunyai horizon alterisasi yang telah kehilangan basa-basa atau besi dan
aluminium tetapi mengandung mineral-mineral terlapuk, tampa horizon iluviasi
yang diperkaya dengan liat silikat yang mengandung aluminium dan bahan
organik amorf (Sevindrajuta, 2013).
Entisol merupakan ordo tanah yang umumnya masih muda, hampir belum
mengalami perkembangan horizon pedogenik. Beberapa ada yang memiliki
horizon epipedonochrik dan sedikit pada Psaments memiliki horizon albik

(horizon B) (Fanning dan Fanning, 1989). Bahan penyusun tanah ini kebanyakan

berupa bahan tanah yang masih lepas dengan perkembangan tanah yang sangat
lemah dan daya menahan air sedikit (Notohadiprawiro, 1991).
Vertisols adalah tanah-tanah yang telah mempunyai perkembangan profil,
yang dicirikan oleh terbentuknya bidang kilir (slickenside) di lapisan bawah,
kandungan liat cukup tinggi (> 30%) dan terdapat rekahan-rekahan di permukaan
tanah selebar > 1 cm dan dalam > 50 cm pada musim kemarau (Soil Survey Staff,
1998). Tanah ini terbentuk dari bahan aluvium yang kaya akan basa-basa dan
batuan sedimen pada fisiografi dataran aluvial dan dataran. Umumnya solum
tanah dalam, warna tanah kelabu, tekstur halus, reaksi tanah netral sampai basa,
dan kandungan bahan organik rendah. Faktor pembatas utama adalah sifat
mengembang dan mengkerut sehingga terjadi rekahan yang cukup dalam dan
lebar terutama pada musim kemarau panjang (Susanto A.N. dan Marthen P. S.,
2007).

II.

METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan saat praktikum penyiapan contoh tanah, yaitu mortir

dan alu (penumbuk), saringan (2 mm, 1 mm dan 0,5 mm), tambir untuk
peranginan, wadah tertutup dan spidol untuk menulis label. Bahan yang
digunakan adalah contoh tanah terganggu yang telah diambil dari lapang dan
sudah dikeringanginkan selama kurang lebih satu minggu. Jenis contoh tanah
terganggu yang digunakan pada praktikum ini, yaitu ultisol, inceptisol, vertisol,
entisol, dan andisol.
B. Prosedur Kerja
1. Contoh tanah yang sudah dikeringanginkan ditumbuk dalam mortir
secara hati-hati.
2. Contoh tanah diayak dengan saringan berturut-turut dari berdiameter 2
mm, 1 mm dan 0,5 mm. Hasil yang tertampung di atas saringan 1 mm

adalah contoh tanah yang berdiameter 2 mm, sedangkan yang lolos
saringan 0,5 mm adalah contoh tanah halus (< 0,5 mm).
3. Contoh tanah yang diperoleh dimasukkan ke dalam wadah tertutup.
Wadah tersebut diberi label seperlunya.

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
Karena pada praktikum acara satu ini kita tidka melakukannya, dan hanya
sebatas pengenalan dan pengantar saja, jadi praktikan tidak diwajibkan untuk
menulis dari hasil acara satu ini.
B. Pembahasan
Menurut Christianty Agustina,

2012

Pengambilan

contoh

tanah

dimaksudkan untuk memperoleh data karakteristik tanah yang tidak dapat
diperoleh langsung dari pengamatan lapangan. Lokasi pengambilan contoh tanah
harus dipilih sedemikian rupa sehingga dapat mewakili areal yang diambil contoh
tanahnya. Berdasarkan cara pemilihan lokasi pengambilan contoh tanah,

dihasilkan beberapa macam contoh tanah, antara lain:
a. Contoh terduga (Judgement Sample) Satu atau lebih contoh tanah yang
diambil dipilih berdasarkan satuan pemetaan yang ditemui pada areal
survei. Lokasi pengambilan contoh tanah ditentukan secara subyektif
sehingga agak bias (Gambar 1.1a). Tingkat kepercayaan data yang
diperoleh bisa tinggi bisa rendah tergantung dari tingkat pengalaman
(keahlian) si pengambil contoh.
b. Contoh acak (Random Sample) Contoh tanah diambil sedemikian rupa
sehingga setiap tanah di dalam daerah survei mempunyai kesempatan yang
sama. Pemilihan lokasi dilakukan dengan menggunakan tabel bilangan
random (gambar 1.1b). Satu pasangan angka random yang diperlukan
untuk pemilihan lokasi contoh berdasarkan atas sistem koordinat.
c. Contoh acak bertingkat (Stratified Random Sample) Pengelompokkan
populasi dari yang heterogen ke strata homogen adalah suatu cara yang
paling efektif untuk dapat meningkatkan akurasi pengambilan contoh. Hal
ini berarti dapat meningkatkan akurasi atau mengurangi jumlah contoh

tanah yang diperlukan apabila kita dapat mengelompokkan areal survei ke
dalam areal yang seragam. Pemilihan lokasi pada masing-masing satuan
pemetaan ditentukan dengan bilangan random (Gambar 1.1c).

d. Contoh sistematik (Systematic Sample) Lokasi pengambilan contoh
tanah dengan cara ini ditentukan dengan sistim Grid yaitu berjarak sama
pada kedua arah (Gambar 1.1d). Cara ini merupakan cara yang paling
mudah dan praktis terutama bagi tenaga yang kurang terampil. Penetapan
sifat fisik dan kimia tanah di laboratorium memerlukan tiga macam contoh
tanah, yaitu :
a.1
Contoh Tanah Utuh (Undisturbed Soil Sample) untuk
penetapan bobot isi (bulk density), susunan pori tanah, pF, dan
permeabilitas tanah.
b.2. Contoh Tanah Agregat Utuh (Undisturbed Soil Agregat) untuk
penetapan stabilitas agregat.
c.3 Contoh Tanah Biasa (Disturbed Soil Sample), untuk penetapan
kandungan air, tekstur angka Atterberg, dan sifat-sifat kimia.

Pada praktikum ini digunakan beberapa contoh tanah, yakni Entisol,
Inceprisol, Andisol, Vertisol, dan Ultisol.
A. Entisol
Entisol merupakan tanah yang baru berkembang. Walaupun demikian
tanah ini tidak hanya berupa bahan asal atau bahan induk tanah saja tetapi harus

sudah terjadi proses pembentukan tanah yang menghasilkan epipedon okhrik.
Banyak tanah Entisol yang digunakan untuk usaha pertanian misalnya di daerah
endapan sungai atau daerah rawa-rawa pantai. Padi sawah banyak ditanam di
daerah-daerah Aluvial ini (Hardjowigeno, 1993).
Di Indonesia tanah Entisol banyak diusahakan untuk areal persawahan
baik sawah teknis maupun tadah hujan pada daerah dataran rendah. Tanah ini
mempunyai konsistensi lepas-lepas, tingkat agregasi rendah, peka terhadap erosi
dan kandungan hara tersediakan rendah. Potensi tanah yang berasal dari abu
vulkan ini kaya akan hara tetapi belum tersedia, pelapukan akan dipercepat bila

terdapat cukup aktivitas bahan organik sebagai penyedia asam-asam organik (Tan,
1986).
Entisol mempunyai kejenuhan basa yang bervariasi, pH dari asam, netral
sampai alkalin, KTK juga bervariasi baik untuk horison A maupun C, mempunyai
nisbah C/N < 20% di mana tanah yang mempunyai tekstur kasar berkadar bahan
organik dan nitrogen lebih rendah dibandingkan dengan tanah yang bertekstur
lebih halus. Hal ini disebabkan oleh kadar air yang lebih rendah dan kemungkinan
oksidasi yang lebih baik dalam tanah yang bertekstur kasar juga penambahan
alamiah dari sisa bahan organik kurang daripada tanah yang lebih halus.
Meskipun tidak ada pencucian Universitas Sumatera Utara hara tanaman dan
relatip subur, untuk mendapatkan hasil tanaman yang tinggi biasanya
membutuhkan pupuk N, P dan K (Munir, 1996).
Entisol dapat juga dibagi berdasarkan great groupnya, beberapa
diantaranya adalah Hydraquent, Tropaquent dan Fluvaquents. Ketiga great group
ini merupakann subordo Aquent yaitu Entisol yang mempunyai bahan sulfidik
pada kedalaman ≤ 50 cm dari permukaan tanah mineral atau selalu jenuh air dan
pada semua horizon dibawah 25 cm terdapat hue dominan netral atau biru dari 10
Y dan warna-warna yang berubah karena teroksidasi oleh udara. Jenuh air selama
beberapa waktu setiap tahun atau didrainase secara buatan (Hardjowigeno, 1993).
Hydraquent adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan subordo
Aquent yang pada seluruh horison di antara kedalaman 20 cm dan 50 cm di bawah
permukaan tanah mineral, mempunyai nilai-n sebesar lebih dari 0,7 dan
mengandung liat sebesar 8 persen atau lebih pada fraksi tanah halus (Soil survey
staff, 1998). Tropaquent adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan
subordo Aquent. Tanah ini dibedakan karena memiliki regim suhu tanah iso

(perbedaan suhu musim panas dan dingin kurang dari 50. Tanah ini terbentuk
karena selalu basah atau basah pada musim tertentu. Jika dilakukan perbaikan
drainase akan berwarna kelabu kebiruan (gley) atau banyak ditemukan karatan
(Hardjowigeno, 1993).
Fluvaquents adalah great group dari ordo tanah Entisol dengan subordo
Aquent yang mengandung karbon organik berumur Holosen sebesar 0,2 persen
atau lebih pada kedalaman 125 cm di bawah permukaan tanah mineral, atau
memiliki penurunan kandungan karbon organik secara tidak teratur dari
kedalaman 25 cm sampai 125 cm atau mencapai kontak densik, litik, atau paralitik
apabila lebih dangkal (Soil survey staff, 1998).
B. Inceptisol
Inceptisol adalah tanah yang belum matang (immature) dengan
perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang,
dan masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Penggunaan
Inceptisol untuk pertanian atau nonpertanian adalah beraneka ragam.
Daerah-daerah yang berlereng curam atau hutan, rekreasi atau wildlife,
yang berdrainase buruk hanya untuk tanaman pertanian setelah drainase
diperbaiki (Hardjowigeno, 1993).
Inceptisol yang banyak dijumpai pada tanah sawah memerlukan
masukan yang tinggi baik untuk masukan anorganik (pemupukan
berimbang N, P, dan K) maupun masukan organik (pencampuran sisa
panen kedalam tanah saat pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang
atau pupuk hijau) terutama bila tanah sawah dipersiapkan untuk tanaman
palawija setelah padi. Kisaran kadar C-Organik dan kapasitas tukar kation

(KTK) dalam inceptisol dapat terbentuk hampir di semua tampat, kecuali
daerah kering, mulai dari kutub sampai tropika (Munir, 1996).
Inceptisol dapat dibedakan berdasarkan great groupnya. Salah satu
great group dari Inceptisol adalah Tropaquepts. Tropaquepts adalah great
group dari ordo tanah Inceptisol dengan subordo Aquept yang memiliki
regim suhu tanah isomesik atau lebih panas. Aquept merupakan tanahtanah yang mempunyai rasio natrium dapat tukar (ESP) sebesar 15 persen
atau lebih (atau rasio adsorpsi natrium, (SAR) sebesar 13 persen atau lebih
pada setengah atau lebih volume tanah di dalam 50 cm dari permukaan
tanah mineral, penurunan nilai ESP (atau SAR) mengikuti peningkatan
kedalaman yang berada di bawah 50 cm, dan air tanah di dalam 100 cm
dari permukaan tanah mineral selama sebagian waktu dalam setahun (Soil
survey staff, 1998)
C. Andisol
Andisol adalah salah satu jenis tanah yang relatif subur, namun
mempunyai tingkat jerapan P yang tinggi. Hal ini dikarenakan adanya mineral
amorf seperti alofan, imogolit, ferihidrit dan oksida-oksida hidrat Al dan Fe
dengan permukaan spesifik yang luas (Triana, 1996). Tanah Andisol
mempunyai unsur hara yang cukup tinggi, sehingga tanah jenis ini baik untuk
ditanami. Kebanyakan tanah Andisol memiliki pH antara 5 - 7, dan memiliki
kandungan C-organik berkisar antara 2-5%.
Andisol adalah tanah yang berkembang dari bahan vulkanik seperti abu
vulkan, batu apung, silinder, lava dan sebagainya, dan atau bahan volkanik
lastik, yang fraksi koloidnya didominasi oleh mineral “Short-range order”

(alofan, imogolit, ferihidrit) atau kompleks Al-humus. Dalam keadaan
lingkungan tertentu, pelapukan alumino silikat primer dalam bahan induk nonvulkanik dapat menghasilkan mineral “Short-range order”, sebagian tanah
seperti ini yang termasuk dalam Andisol (Saridevi, 2013).
Tanah yang terbentuk dari abu vulkanik ini umumnya ditemukan didaerah
dataran tinggi (>400 m di atas permukaan laut). Jenis tanah ini banyak
ditemukan di dataran sekiar gunung api. Di Indonesia tanah ini dapat
ditemukan di Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Maluku (Darmawijaya, 1990).
Proses pembentukan tanah yang utama pada Andisol adalah pelapukan
dan transformasi (perubahan bentuk). Proses pemindahan bahan (translokasi)
dan

penimbunan bahan-bahan tersebut di dalam solum sangat sedikit.

Akumulasi bahan organik dan terjadinya kompleks bahan organik dengan Al
merupakan sifat khas pada beberapa Andisol (Hardjowigeno, 1993). Tanah
andisol terbentuk di wilayah dataran tinggi lebih dari 1000 mdpl yang
memiliki curah hujan antara 2.500-7000 mm/tahun. Produktivitas tanah ini
sedang hingga tinggi. Penggunaannya terutama untuk tanaman sayuran, kopi,
buah-buahan, teh, kina dan pinus. (Sri dan dkk, 2007)
D. Ultisol
Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai
sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan
Indonesia

(Subagyo,

2004).Sebaran

terluas

terdapat

di

Kalimantan

(21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua
(8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha),dan Nusa
Tenggara (53.000 ha). Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai
dari datar hingga bergunung. Ultisol dapat berkembang dari berbagai bahan
induk, dari yang bersifat masam hingga basa. Namun sebagian besar bahan
induk tanah ini adalah batuan sedimen masam. Ultisol dicirikan oleh adanya
akumulasi liat pada horizon bawah permukaan sehingga mengurangi daya
resap air dan meningkatkan aliran permukaan dan erosi tanah (Prasetyo dan
Suriadikarta, 2006).
Tanah Ultisol mempunyai tingkat perkembangan yang cukup lanjut,
dicirikan oleh penampang tanah yang dalam, kenaikan fraksi liat seiring
dengan kedalaman tanah, reaksi tanah masam, dan kejenuhan basa rendah.
Pada umumnya tanah ini mempunyai potensi keracunan Al dan miskin
kandungan bahan organik. Tanah ini juga miskin kandungan hara terutama P
dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi,
kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan
Mulyadi 1993).
Proses pembentukan tanah Ultisol meliputi beberapa proses sebagai
berikut :
1. Pencucian yang ekstensif terhadap basa-basaan merupakan
prasyarat. Pencucian berjalan sangat lanjut hingga tanah bereaksi

masam dan kejenuhan basa rendah sampai lapisan bawah tanah
(1,8 m dari permukaan).
2. Karena suhu yang cukup panas (lebih dari 8˚C) dan pencucian
yang kuat dalam waktu yang cukup lama, akibatnya adalah terjadi
pelapukan yang kuat terhadap mineral mudah lapuk, dan terjadi
pembentukan mineral liat sekunder dan oksida-oksida. Mineral liat
yang terbentuk biasanya didominasi oleh kaolinit, dan gibsit.
3. Lessivage (pencucian liat), menghasilkan horison albik dilapisan
atas (eluviasi), dan horison argilik dilapisan bawah (iluviasi).
Sebagian liat di horison argilik merupakan hasil pembentukan
setempat (in situ) dari bahan induk.Di daerah tropika horison E
mempunyai tekstur lebih halus mengandung bahan organik dan
besi lebih tinggi daripada di daerah iklim sedang.
Bersamaan dengan proses lessivage tersebut terjadi pula proses
podsolisasi dimana sekuioksida (terutama besi) dipindahkan dari
horison albik ke horison argilik.
4. Biocycling
Meskipun terjadi pencucian intensif tetapi jumlah basa-basa di
permukaan tanah cukup tinggi dan menurun dengan kedalaman.
Hal ini disebabkan karena proses Biocycling basa-basa tersebut
oleh vegetasi yang ada di situ.
5. Pembentukan plinthite dan fragipan.
Plinthite dan fragipan bukan sifat yang menentukan tetapi sering
ditemukan pada Ultisol. Biasanya ditemukan pada subsoil di

daerah tua. Plinthite terlihat sebagai karatan berwarna merah
terang. Karatan ini terbentuk karena proses reduksi dan oksidasi
berganti-ganti. Jikamuncul di permukaanakan menjadi keras
irreversibie dan disebut laterit. Fragipan terdapatpada ultisol
drainase burukdanfragipan menghambat gerakan air dalam tanah.
Proses pembentukan fragipan masih belum jelas.
6. Perubahan horison umbrik menjadi mollik
Ultisol dengan epipedonumbrik (umbraquult) dapat berubah
menjadi epipedonmollik akibat pengapuran. Walaupun demikian
klasifikasi tanah tidak berubah selama lapisan-lapisan yang lebih
dalam mempunyai kejenuhan bas arendah. Hal ini disebabkan
untuk menunjukkan adanya pencucian yang intensif dan agar
klasifikasi

tanah

tidak

berbuah

akibat

pengelolaan

tanah

(Hardjowigeno, 1987).
Di Indonesia, Ultisol umumnya belum tertangani dengan baik. Dalam
skala besar, tanah ini telah dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit, karet
dan hutan tanaman industri, tetapi pada skala petani kendala ekonomi
merupakan salah satu penyebab tidak terkelolanya tanah ini dengan baik
(Suriadikarta dan Widjaja, 1986).
E. Vertisol
Vertisol adalah tanah hitam yang suburdandapat terbentuk dari berbagai
macam bahan induk tanah, mineral liatnya didominasi oleh smektit, dan
mempunyai sifat yang retak-retak bila kering. Tanah Vertisol umumnya terbentuk

dari bahan sedimen yang mengandung mineral smektit dalam jumlah tinggi, di
daerah datar, cekungan hingga berombak (Driessen and Dudal, 1989).
Pembentukan tanah Vertisol terjadi melalui dua proses utama, pertama
adalah proses terakumulasinya mineral 2:1(smektit) dan yang kedua adalah proses
mengembang dan mengkerut yang terjadi secara periodik sehingga membentuk
slickenside atau relief mikro gilgai. Dalam perkembangannya mineral 2:1 yang
sangat dominan dan memegang peran penting pada tanah ini. Komposisi mineral
liat dari Vertisol selalu didominasi oleh mineral 2:1, biasanya monmorilonit, dan
dalam jumlah sedikit sering dijumpai mineral liat lainnya seperti illit dan kaolinit.
Tanah ini sangat dipengaruhi oleh proses argillipedoturbation, yaitu proses
pencampuran tanah lapisan atas dan bawah yang diakibatkan oleh kondisi basah
dan kering yang disertai pembentukan rekahan-rekahan secara periodik (Fanning
and Fanning, 1989). Proses-proses tersebut menciptakan struktur tanah dan pola
rekahan yang sangat spesifik. Ketika basah, tanah menjadi sangat lekat dan palstis
serta kedapair, tapi ketika kering, tanah menjadi sangat keras dan masif atau
membentuk pola prisma yangterpisahkan oleh rekahan (Van Wambeke, 1992).
Secara kimiawi vertisol tergolong tanah yang relatif kaya akan hara karena
mempunyai cadangan sumberhara yang tinggi, dengan kapasitas tukar kation
tinggi dan pH netral hingga alkali. Di Indonesia,penyebaran vertisol mencapai
sekitar 2.1 juta hektar dan tersebar di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, Lombok,
Sumbawa, Sumba dan Timor. Umumnya tanah vertisol baik untuk ditanami tebu,
kapas, tembakau, jagung, dan kedelai (Subagjo, 1983).

Manfaat dari pengambilan contoh tanah menurut Nurhajati Hakim, 1986
adalah

agar

kita

mengetahui

cara pengambilan contoh tanah dengan metode yang disesuaikan dengan sifatsifattanah yang akan kita amati. Pengambilan sampel tanah digunakan untuk
suatumetode analisis tanah. Analisis tanah dilakukan terhadap suatu sampel.
Tanahyang diambil di lapangan dengan metode tertentu sesuai tujuan yang
diharapkan.Pengambilan contoh tanah untuk penetapan sifat-sifat fisik tanah
dimaksudkanuntuk mengetahui sifat-sifat fisik tanah pada satu titik pengamatan,
misalnya padalokasi kebun percobaan atau penetapan sifat fisik tanah yang
menggambarkansuatu hamparan berdasarkan poligon atau jenis tanah tertentu
dalam suatu petatanah. Penetapan tekstur tanah dan stabilitas agregat tanah
dilakukanmenggunakan contoh tanah komposit tidak terganggu (undisturbed soil
sample), dengan harapan dapat memberikan gambaran sifat-sifat fisik tanah suatu
bidanglahan dengan luasan tertentu yang relatif homogen.

IV.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Jenis tanah yang ditentukan sifat fisiknya adalah Andisol, Ultisol,
Inceptisol, Entisol, dan Vertisol.
2. Kelima jenis tanah berasal dari pelapukan batu dan membutuhkan
waktu yang lama untuk menjadi tanah.
3. Kelima jenis tanah tersebut tersebar di Indonesia dan tanamantanaman pertanian cocok ditanam di kelima jenis tanah tersebut
dengan ketentuan dan kapasitan dari tanaman dan tanah tersebut.
4. Ada tiga macam cara pengambilan contoh tanah ,yaitu contoh
tanah utuh (undisturbed soil sample), agregat utuh (undisturbed
soil aggregate), dan contoh tanah tidak utuh atau terganggu
(disturbed soil sample).
B. Saran
Walaupun tanah sudah tersedia di laboratorium namun sebaiknya
pada acara praktikum ini juga dilakukan secara langsung di lapang,
dimaksudkan agar praktikan mengetahui dan mempelajari bagaimana
teknik atau cara pengambilan contoh tanah yang baik secara langsung.
Selain itu untuk peralatan yang dipakai dalam praktikum sebaiknya segera
di perbaiki dan di perbaharui agar bisa sebagai penunjang praktikum
antara praktikan dengan asisten mendapatkan hasil yang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Christianty Agustina, 2012. Pencarian Percontohan Tanah untuk Bahan Dasar
Budidaya Tanaman Musim. (http://tanah.ub.ac.id/2012/modul_dit_14.pdf ) Di akses pada tanggal 09 April 2015, Pukul 20.53

Darmawijaya, Muslim. 1990. Klasifikasi Tanah di Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka.
Drissen and Dudal, M. 1989. “Soil, Morphology, Genesis and Classification”.
Chapter 28. Entisols. John Wiley & Sons. USA. p. 226 – 233.
Hakim, Nurhajati. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas
Lampung Press
Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Maniah, Triana Muyassir dan Syafruddin. 1996. “Penggunaan Bakteri
Pseudomonas fluorescens dan Pupuk Kandang dalam Bioremediasi
Inceptisol Tercemar Hidrokarbon”. Jurnal Konservasi Universitas
Syiah Kuala. Volume 1 No 1: 2-4.
Marthen, Chald. 1987. “Soil, Morphology, Genesis and Classification”. Chapter
15. Inceptisols. Wirberg & Darry Hans. UK. OL.Page: 178 – 188.
Munir, M.S. 1996. Tanah-Tanah Utama Indonesia. Karakteristik; Klasifikasi dan
Pemanfatannya. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Notoh adi prawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Nugrohotomo. 2009. “Upaya Peningkatan Hasil Benih Padi pada Berbagai Taraf
Genangan Air dan Takaran Vermi kompos di Lahan Sawah Irigasi
Entisol”. Jurnal Ilmu Pertanian. Volume 5 Nomor2 :136-137.
Prasetyo B.H dan Suriadikarta D.A. 2006. “Karakteristik, Potensi, danTeknologi
Pengelolaan Tanah Ultisol untuk Pengembangan Pertanian Lahan
Kering di Indonesia”.Jurna lLitbang Pertanian. 25(2) : 39-43.

Saridevi, G.A.A.R, I Wayan D Atmaja, I Made Mega. 2013. “Perbedaan Sifat
Biologi Tanah pada Beberapa Tipe Penggunaan Lahan di Tanah
Andisol, Inceptisol, dan Vertisol”. E-Jurnal Agroekoteknologi
Tropika. Vol 2 No 4: 215-217.
Suriadikarta D.A dan Widjaja. 1993. “Upaya Peningkatan Hasil Benih Strawberry
pada Berbagai Taraf Genangan Air dan Takaran NPK di Lahan Sawah
Irigasi Entisol”. Jurnal Ilmu Pertanian. Volume 3 Nomor 2 :124-132.
Sevindrajuta. 2013. “Efek Pemberian Beberapa Takaran Pupuk Kandang Sapi
Terhadap Sifat Kimia Inceptisol dan Pertumbuhan Tanaman Bayam
Cabut”. Jurnal Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Hlm 3-4.
Sri, Turnamaya dkk. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Yogyakarta: Univeritas
Gajah Mada Press
Sri Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. “Alternatif teknik rehabilitasi dan
pemanfaatan lahan alang-alang”. Hlm. 29−50. Dalam S. Sukmana,
Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H. Suhardjo, Y.
Prawirasumantri (Ed.). “Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usaha
tani berkelanjutan”. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang, Bogor,
Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Litbang Pertanian.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. “Tanah-tanah pertanian di
Indonesia”. Vol: 4. Hlm. 21−66. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien,
F. Agus, D. Djaenudin (Ed.). “Sumberdaya Lahan Indonesia dan

Pengelolaannya”. Jurnal Ilmu Pertanaian dan Perikanan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Suganda H., Achmad R., dan Sutono. 2002. Petunjuk Pengambilan Contoh Tanah
untuk Penanaman Tanamamn Anggrek Bulan, Trubus Action. Artikel.
Hlm 3-12. Jakarta: PT Grassindo Pustaka.
Soil Survey Staff. 2010. “Karakteristik dan Permasalahan Tanah Marginal dari
Batuan Sedimen Masam di Kalimantan”, Jurnal Litbang Pertanian,
29(4): 144.
Susanto A.N. dan Marten P.S. 2007. “Karakteristik dan Ketersediaan Data Sumber
Daya Lahan Pulau-Pulau Kecil untuk Perencanaan Pembangunan
Pertanian di Maluku”. Jurnal Litbang Pertanian. Vol: 23(4):123-128.
Tan, Subharja. 1986. Ilmu Tanah dan Klasifikasi Dasar. Bandung: PT Hardika
Medika.
Wambake, Van. 1992. Fundamentals of Soils Science, Fifth Ed, John Willey &
Sons, Inc.