TUGAS EKSEKUSI PERDATA FAKULTAS HUKUM DA
TUGAS EKSEKUSI PERDATA
TUGAS PAPER TENTANG EKSEKUSI DWANGSOM
Disusun Oleh :
Kelompok :
1. Hermawan L.B
13.20.0013
2. Yoel Adi utomo
14.C1.0032
FAKULTAS HUKUM DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2016/2017
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dwangsom berasal dari Bahasa Belanda yang artinya uang
paksa. Dwangsom (uang paksa) yaitu hakim menetapkan suatu
hukuman tambahan kepada si terhukum untuk membayar sejumlah
uang kepada si penggugat didalam hal ini terhukum tersebut tidak
memenuhi
hukuman
pokok,
hukuman
tambahan
dimana
dimaksudkan untuk menekan agar si terhukum tersebut memenuhi
hukuman pokok secara sukarela (vrijwiling).
Masalah Dwangsom atau uang paksa di Indonesia tidak
diatur dalam HIR maupun Rbg. Sewaktu berlakunya Rv dwangsom
diatur dalam Pasal 606a Rv bahwa “ sepanjang suatu keputusan
hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada
pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan bahwa sepanjang
atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut,
olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan
dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang
paksa”. Dan dalam pasal 606b Rv bahwa “Bila putusan tersebut
tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk
melaksanakan putusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah
ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh alas hak baru
menurut hukum”
Penerapan
dwangsom ini
hanya
dimungkinkan
pada putusan kodemnatoir yang bukan merupakan pembayaran
sejumlah uang. Walaupun lembaga Dwangsom tersebut tidak
diatur dalam hukum acara perdata Indonesia (HIR dan RBg),
Namun di dalam dunia praktek lembaga ini tetap ada, terutama di
kota-kota besar. Dari banyak gugatan yang meminta uang paksa
tersebut sering ditemukan hal-hal yang tidak tepat. Hal ini mungkin
karena
ketentuan
hukum
perundang-undangan
kita
tidak
mengaturnya. Dwangsom tidak sama dengan ganti rugi, yang
masing-masing
dwangsom ini
harus
diatur
tersendiri. Peraturan
diundangkan
oleh Menteri
tentang
Kehakiman
Belanda pada saat itu Mr. J.Donner pada tanggal 29 Desember
1932 di dalam Stb. no. 676
yaitu ketentuan-ketentuan BRv
ditambah dengan pasal 611 b. Rumusan kedua pasal inilah yang
kemudian
dimasukkan
ke
dalam BRv
yang
berlaku
di
Indonesia yaitu dengan Stb. 1938 No. 360 yang dahulu dikenal
dengan pasal 606 a dan pasal 606 b.
Putusan hakim yang bersifat Condemnatoir saja yang
dapat di eksekusi. Hal ini berarti bahwa hanya putusan akhir dari
hakim yang berisi suatu perintah yang dapat dilaksanakan.
Putusan itu
mengandung
suatu
perintah
atau
yang
lazim
disebut putusan Kondemnatoir. Perintah dalam putusan tersebut
bisa
berupa:
(3)Melakukan
(1)Menyerahkan
sesuatu;
sesuatu;
(4)Tidak
(2)Mengosongkan;
melakukan
sesuatu;
(5)Menghentikan suatu perbuatan; atau (6)Membayar sejumlah
uang.
Tata cara pelaksanaan putusan terhadap Tergugat yang
tidak menjalankan putusan dengan sukarela, adalah dengan
melakukan
pemaksaan
terhadap
Tergugat
setelah
Tergugat
menerima peringatan (aan maaning) dari hakim dan menanggapi
peringatan (aan maaning) tersebut, atau dengan menerpakan
tuntutan uang paksa (dwangsom) untuk menekan secara psikologis
terhadap Tergugat agar melaksanakan putusan Hakim dengan
sukarela dan sewajarnya.
Berdasarkan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat
dwangsom adalah sebagai berikut: (1) merupakan Accesoir, Tidak
ada dwangsom jika tidak ada hukuman pokok , artinya dwangsome
harus selalu mengikuti hukuman poko dengan kata lain bahwa
dwangsome tidak mungkin dijatuhkan tanpa hukuman pokok; (2)
merupakan Hukuman Tambahan, Apabila hukuman pokok yang
diterapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat dengan sukarela
maka
dwangsome
diperlukan,
apabila
dwangsom
telah
dilaksanakan tidaklah berarti bahwa hukuman pokok telah hapus;
(3) merupakan Tekanan psychis bagi terhukum Terhukum ditekan
secara psychis agar ia dengan sukarela memenuhi hukuman pokok
yang ditetapkan oleh hakim bersama dengan dwangsom (uang
paksa) tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Fungsi dwangsom.
2. Penetapan dwangsom.
3. Tata cara eksekusi dwangsom.
4. Efektivitas
dwangsom
sebagai
langsung.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Fungsi Dwangsom
upaya
paksaan
tidak
Dwangsom
(uang
paksa)
merupakan
hukuman
yang
ditetapkan oleh hakim kepada terhukum untuk membayar sejumlah
uang kepada si penggugat karena terhukum tidak memenuhi
hukuman pokok.Dwangsom ditunjukan untuk menekan terhukum
agar
memenuhi
hukuman
pokok
secara
sukarela
(vrijwling).Dwangsom di indonesia tidak diatur dalam HIR atau
RBG,tetapi sewaktu dwangsom ditetapkan diatur dalam pasal 606a
bahwa “sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman
untuk sesuatu yang lain dari pada membayar sejumlah uang,maka
dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak
memenuhi hukuman tersebut,olehnya harus diserahkan sejumah
uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim dan uang
tersebut dinamakan uang paksa”.
Sifat-Sifat Dwangsom:
1.Accesoir
Yaitu tidak ada dwangsom jika tidak ada hukuman pokok,artinya
dwangsom harus selalu mengikuti hukuman pokok dengan kata lain
bahwa dwangsom tidak mungkin dijatuhkan tanpa hukuman pokok.
2.Hukuman Tambahan
Yaitu apabila hukuman pokok yang diterapkan oleh hakim tidak
dipenuhi
oleh
tergugat
dengan
sukarela
maka
dwangsom
diperlukan apabaila dengan dwangsom telah dilaksanakan tidaklah
berarti bahwa hukuman pokok lepas.
3.Tekanan psychis bagi terhukum
Yaitu terhukum ditekan secara psychis agar ia dengan sukarela
memenuhi hukuman pokok yang ditetapkan oleh hakim bersama
dengan sukarela memenuhi hukuman pokok yang ditetapkan oleh
hakim bersama dengan dwangsom tersebut.
Dwangsom sebagai bagian dari hukum perdata formil dan
materill,dalam praktiknya lebih banyak diterapkan pada perkaraperkara perdata yang menjadi wewenang absolut.Penerapan
dwangsom
memungkinkan
perceraian
di
pengadilan
dapat
dilakukan
negeri Agama
dalam
dengan
perkara
ketentuan
penggugat mengajukan permohonan yang isinya melarang pihak
tergugat
untuk
menunda
atau
enggan
melaksanakan
isi
putusan,dan bila tergugat melanggar larangan tersebut maka
dikenakan dwangsom.Dan menurut Pasal 611 a ayat (1) kalimat
terakhir B.Rv, lembaga uang paksa tidak dapat diterapkan dalam
suatu putusan yang mengandung diktum penghukuman membayar
sejumlah uang, karena penghukuman untuk membayar sejumlah
uang itu selalu dapat diwujudkan.
2. Penetapan Dwangsom
Seperti halnya penerapan dwangsom dalam putusan Hakim
Peradilan Umum, maka tidak semua putusan Hakim Peratun dapat
diterapkan dwangsom. Hanya putusan yang berisi penghukuman /
kewajiban melakukan tindakan tertentu kepada pihak yang kalah
(Putusan condemnatoir),
diterapkan dwangsom.
yang
Jadi
sifatnya declatoir (yang
dapat
untuk
bersifat
dan constitutief (putusan
yang
bersifat
dikenai/
putusan
yang
menerangkan)
meniadakan atau
menimbulkan keadaan hukum yang baru, tidak dapat dikenai/
diterapkan dwangsom.
Dalam konteks Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan
Tata
Usaha
Negara,
Putusan
yang
bersifat condemnatoir adalah berupa :
1. kewajiban mencabut keputusan TUN yang dinyatakan batal/
tidak sah.
2. kewajiban menerbitkan keputusan TUN pengganti/ baru.
3. kewajiban mencabut dan menerbitkan keputusan TUN baru
4. kewajiban membayar ganti rugi, dan
5. kewajiban
melaksanakan
rehabilitasi,
dalam
sengketa
kepegawaian.
Dwangsom baru diterapkan apabila pejabat yang dihukum
untuk melakukan tindakan tertentu berdasarkan putusan hakim, ia
tidak mematuhinya .
Jadi dwangsom diterapkan (dipaksakan) kepada pejabat apabila ia
melawan putusan hakim.
Ketika hakim menerbitkan suatu putusan, pada hakikatnya ia
adalah
berperan
sebagai pseudo
legislator (badan
pembuat
undang-undang semu), karenanya produk hakim (majelis Hakim)
adalah suatu produk hukum yang setingkat dengan perundangundangan. Oleh karenanya pada saat Pejabat TUN tidak mematuhi
putusan hakim, maka ketidak patuhan tadi adalah dikategorikan
pelanggaran hukum/ perundang-undangan. Dan pelanggaran yang
dilakukan pejabat tadi sifatnya adalah pelanggaran/ kesalahan
pribadi
(faute
personelle),
pertanggungjawabannya
sehingga
juga
membawa
harus
konsekuensi
secara
pribadi
(personal liability) dari orang yang sedang menjabat tersebut dan
bukan kelembagaan atau negara. Hal mana adalah sejalan dengan
teori
“kesalahan”
yang
dikembangkan
dari
Yurisprudensi Conseil d’Etat yang pada pokoknya membedakan
antara “kesalahan dinas” (faute de serve) dan “kesalahan pribadi”
(faute personnelle). Lihatlah Paulus Effendie Lotulung, Prof. DR.
SH. Beberapa System Tentang Control Segi Hukum Terhadap
Pemerintahan, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986. hal. 15).
Oleh karena itu adalah tepat apabila seorang pejabat tidak
mematuhi/
melaksanakan
pembebanan
uang
putusan
paksa
hakim
peratun,
(dwangsom/ astreinte)
maka
harus
dibebankan / dibayar dari uang pribadi orang yang sedang
menjabat/ pejabat saat itu. Sungguh tidak adil apabila orang yang
sedang menjabat/ Pejabat saat itu. Sungguh tidak adil apabila
pelanggaran hukum yang sifatnya pribadi tersebut akibatnya
(berupa pembayaran dwangsom) dibebankan kepada Negara. Hal
ini tentunya sangat berbeda dengan ketika ia sebagai pejabat
dalam melaksanakan tugas yang meskipun telah sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan
ternyata
dapat
menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Dalam keadaaan seperti ini, maka
kerugian
yang
diderita
masyarakat tersebut harus menjadi
tanggung jawab Negara untuk mengganti ruginya,
Jadi ditegaskan disini, tindakan pejabat yang tidak mematuhi
putusan tadi sifatnya adalah pelanggaran hukum yang bersifat
pribadi, dan justru tidak dalam rangka menjalankan peran Negara
yang tentunya selalu sesuai dengan hukum. Ini membawa
akibat dwangsom juga harus ditanggung/ dibayar secara pribadi
(dengan uang pribadi).
3. Tata Cara Eksekusi Dwangsom
Lilik
Mulyadi
(hal.
117-118)
menjelaskan
bahwa
eksekusi dwangsom dengan cara verthaal executie yang bertitik
tolak
pada
ketentuan Pasal
195-208 Herzien
Inlandsch
Reglement (HIR) dan kebiasaan praktik peradilan, yakni melalui
tahap-tahap berikut:
-
Adanya permohonan dari pemohon eksekusi terhadap putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Bentuk
permohonan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis dan
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara
itu dalam tingkat pertama. Dalam praktik secara administratif
setelah pemohon eksekusi membayar biaya eksekusi pada petugas
urusan kepaniteraan perdata, maka akan diregister pada Buku
Permohonan Eksekusi, Buku Induk Keuangan Biaya Eksekusi dan
apabila Ketua Pengadilan Negeri yakin bahwa permohonan
tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, maka Ketua
Pengadilan Negeri lalu mengeluarkan “Penetapan” yang asasnya
berisikan tentang:[7]
a. Perintah pemanggilan pihak tergugat/termohon eksekusi
supaya pada hari, tanggal, bulan dan tahun serta jam yang telah
ditetapkan dalam penetapan agar datang ke Pengadilan Negeri
untuk diberi peringatan/somasi menjalankan hukuman pokok dan
uang paksa/dwangsom; dan[8]
b. Dalam persidangan yang dilakukan secara insidental
tersebut Ketua Pengadilan Negeri memberi batas waktu kepada
pihak tereksekusi untuk membayar uang paksa dalam waktu
maksimal 8 hari.[9]
-
Apabila setelah tenggang waktu somasi dilampaui belum juga
tereksekusi melakukan pembayaran uang paksa, Ketua Pengadilan
Negeri akan meneliti apakah perkara tersebut telah dilakukan sita
jaminan atau tidak. Apabila diletakkan sita jaminan, maka dengan
sendirinya berkekuatan eksekutorial. Sedangkan apabila tidak
diletakkan sita jaminan, maka secara ex officio Ketua Pengadilan
Negeri
melakukan
sita
eksekusi
terhadap
harta
kekayaan
tereksekusi.
-
Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan pendapat dengan
perintah kepada panitera ata wakilnya yang sah untuk melakukan
pelelangan.
4. Efektivitas dwangsom sebagai upaya paksaan tidak langsung.
Dalam penerapan uang paksa (dwangsom) sebagai upaya
paksaan tidak langsung. Efektivitas yang terjadi sangatlah baik.
Dikarenakan jika adanya paksaan dalam pemberian uang paksa
(dwangsom) seseorang yang hendaknya membayar, namun tidak
melakukannya akan dikenakan sanksi.
Sanksi yang akan diberikan jika tidak membayar uang paksa
tersebut ialah:
pengenaan
sanksi
admnistratif
berupa
uang
paksa
(dwangsom) adalah suatu yang tepat dilakukan agar para
pelanggar peraturan yang telah disebutkan diatas bisa memnuhi
aturannya dan juga paksaan atas uang paksa itu harus dilakukan
dengan tegas dan tentunya dilakukan dengan sungguh-sungguh,
jangan
hanya
sebatas
peraturan
tetapi
penerapnnya
dan
pelaksanaannya terhadap pelangggarnya sangat minim.Karena
peraturan dibuat untuk dilaksankan sebagai sanksi terhadap
pelanggaranya dan untuk dipatuhi oleh semua kalangan yang
dicakup oleh peraturan itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Dwangsom (uang paksa) berupa hakim menetapkan suatu
tambahan hukuman kepada terhukum untuk membayar sejumlah
uang kepada si penggunggat di dalam hal si terhukum tersebut
tidak mampu memenuhi hukuman pokok, hukuman tambahan
mana dimaksudkan untuk menekan agar terhukum tersebut
memenuhi hukuman pokok dengan sukarela. Dwangsong tidak
dapat berlaku dalam perkara utang piutang. Apabila tergugat tidak
bersedia membayar maka dapat dijatuhi putusan membayar biaya
dan atau bunga.Dan Terhadap putusan pembayaran sejumlah uang
apabila tergugat tidak melaksanakan secara sukarela maka ada
lembaga pelaksanaan putusan (eksekusi) dengan upaya paksa.
Atau dapat pula dilakukan upaya paksa dengan pelaksanaan lelang
atas bantuan Kepala Kantor Lelang.
2. Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang Dwangsom
Penerapan lembaga dwangsong tidak serta merta dapat dilakukan
dalam tuntutan pembayaran sejumlah uang, sesuai dengan
Yurisprudensi tanggal 26 Pebruari 1973 No.793 K/SIP/1972 dalam
mana Mahkamah Agung dan mempertimbangkan bahwa uang
paksa tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang.
Maka dapat ditentukan bahwa pihak yang dikalahkan dihukum
untuk membayar sejumlah uang paksa selama ia belum memenuhi
isi putusan.
Dwangsom sebagai bagian dari hukum perdata formil dam materil,
dalam praktiknya lebih banyak diterapkan pada perkara-perkara
perdata yang menjadi wewenang absolut Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Tujuan diletakkan dwangsom
dalam
putusan
hakim,
agar
tergugat
bersedia
memenuhi
prestasinya juga mengetahui ada kewajiban yang harus dibayar
apabila ia tidak melakukan hukuman pokokyang dibebankan
kepadanya.
Penerapan dwangsom memungkinkan dapat dilakukan dalam
perkara perceraian di Pengadilan Agama dengan ketentuan
Penggugat mengajukan permohonan yang isinya melarang pihak
Tergugat untuk menunda atau enggan melaksanakan isi putusan,
dan
bila
Tergugat
melanggar
larangan
tersebut
maka
dikenakan dwangsom.
3. Hanya Putusan yang sifatnya berisi pemberian beban atau
kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu kepada Tergugat saja
yang dapat dikenakan Upaya Paksa.
4. Dalam pemeriksaan Persiapan sebaiknya dinasehatkan kepada
Penggugat agar tidak mencantumkan Petitum Upaya paksa karena
belum ada
peraturan
pelaksanaannya, akan
tetapi
apabila
Penggugat tetap mencantumkan Upaya Paksa dalam gugatannya
maka Hakim sebaiknya memutuskan hal tersebut sesuai dengan
pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
5. Efektivitas uang paksa (dwangsom) sebagai sanksi administrasi
belum terlaksana secara maksimal, karena masih banyak yang
melanggar peraturannya dan penerapan sanksinya pun kurang
tegas oleh pemerintah pelaksanaannya.
Demikianlah paper yang kami buat semoga bermanfaat bagi orang yang
membacanya dan menambah wawasan bagi orang yang membaca
makalah ini. Dan penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam
penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas, mengerti, dan lugas mohon
jangan dimasukan ke dalam hati.
Sekian penutup dari kami semoga berkenan di hati dan kami ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://kiemdhaninspiration.blogspot.co.id/2014/01/efektivitas-uangpaksa-dalam-sanksi.html
http://www.npslawoffice.com/dwangsom-uang-paksa/
kiemdhaninspiration.blogspot.com/2014/01/efektivitas-uang-paksa-dalamsanksi.html
www.hukumonline.com/.../tata-cara-pelaksanaan-uang-paksa-dan-sanksiadministratif..
www.hukumonline.com/.../cara-yang-dapat-ditempuh-jika-tergugat-tidakmembayar-...
hery-judge.blogspot.com/2009/01/dwangsom.html
www.hukum-hukum.com › PERDATA
pa-pasirpengaraian.go.id/new/index.php?option...id...dalam-perkara...
https://advosolo.wordpress.com/2010/06/20/uang-paksa-dwangsom/
https://krupukulit.com/2009/02/16/pengertian-uang-paksa-dwangsom/
TUGAS PAPER TENTANG EKSEKUSI DWANGSOM
Disusun Oleh :
Kelompok :
1. Hermawan L.B
13.20.0013
2. Yoel Adi utomo
14.C1.0032
FAKULTAS HUKUM DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2016/2017
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dwangsom berasal dari Bahasa Belanda yang artinya uang
paksa. Dwangsom (uang paksa) yaitu hakim menetapkan suatu
hukuman tambahan kepada si terhukum untuk membayar sejumlah
uang kepada si penggugat didalam hal ini terhukum tersebut tidak
memenuhi
hukuman
pokok,
hukuman
tambahan
dimana
dimaksudkan untuk menekan agar si terhukum tersebut memenuhi
hukuman pokok secara sukarela (vrijwiling).
Masalah Dwangsom atau uang paksa di Indonesia tidak
diatur dalam HIR maupun Rbg. Sewaktu berlakunya Rv dwangsom
diatur dalam Pasal 606a Rv bahwa “ sepanjang suatu keputusan
hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada
pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan bahwa sepanjang
atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut,
olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan
dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang
paksa”. Dan dalam pasal 606b Rv bahwa “Bila putusan tersebut
tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk
melaksanakan putusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah
ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh alas hak baru
menurut hukum”
Penerapan
dwangsom ini
hanya
dimungkinkan
pada putusan kodemnatoir yang bukan merupakan pembayaran
sejumlah uang. Walaupun lembaga Dwangsom tersebut tidak
diatur dalam hukum acara perdata Indonesia (HIR dan RBg),
Namun di dalam dunia praktek lembaga ini tetap ada, terutama di
kota-kota besar. Dari banyak gugatan yang meminta uang paksa
tersebut sering ditemukan hal-hal yang tidak tepat. Hal ini mungkin
karena
ketentuan
hukum
perundang-undangan
kita
tidak
mengaturnya. Dwangsom tidak sama dengan ganti rugi, yang
masing-masing
dwangsom ini
harus
diatur
tersendiri. Peraturan
diundangkan
oleh Menteri
tentang
Kehakiman
Belanda pada saat itu Mr. J.Donner pada tanggal 29 Desember
1932 di dalam Stb. no. 676
yaitu ketentuan-ketentuan BRv
ditambah dengan pasal 611 b. Rumusan kedua pasal inilah yang
kemudian
dimasukkan
ke
dalam BRv
yang
berlaku
di
Indonesia yaitu dengan Stb. 1938 No. 360 yang dahulu dikenal
dengan pasal 606 a dan pasal 606 b.
Putusan hakim yang bersifat Condemnatoir saja yang
dapat di eksekusi. Hal ini berarti bahwa hanya putusan akhir dari
hakim yang berisi suatu perintah yang dapat dilaksanakan.
Putusan itu
mengandung
suatu
perintah
atau
yang
lazim
disebut putusan Kondemnatoir. Perintah dalam putusan tersebut
bisa
berupa:
(3)Melakukan
(1)Menyerahkan
sesuatu;
sesuatu;
(4)Tidak
(2)Mengosongkan;
melakukan
sesuatu;
(5)Menghentikan suatu perbuatan; atau (6)Membayar sejumlah
uang.
Tata cara pelaksanaan putusan terhadap Tergugat yang
tidak menjalankan putusan dengan sukarela, adalah dengan
melakukan
pemaksaan
terhadap
Tergugat
setelah
Tergugat
menerima peringatan (aan maaning) dari hakim dan menanggapi
peringatan (aan maaning) tersebut, atau dengan menerpakan
tuntutan uang paksa (dwangsom) untuk menekan secara psikologis
terhadap Tergugat agar melaksanakan putusan Hakim dengan
sukarela dan sewajarnya.
Berdasarkan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat
dwangsom adalah sebagai berikut: (1) merupakan Accesoir, Tidak
ada dwangsom jika tidak ada hukuman pokok , artinya dwangsome
harus selalu mengikuti hukuman poko dengan kata lain bahwa
dwangsome tidak mungkin dijatuhkan tanpa hukuman pokok; (2)
merupakan Hukuman Tambahan, Apabila hukuman pokok yang
diterapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat dengan sukarela
maka
dwangsome
diperlukan,
apabila
dwangsom
telah
dilaksanakan tidaklah berarti bahwa hukuman pokok telah hapus;
(3) merupakan Tekanan psychis bagi terhukum Terhukum ditekan
secara psychis agar ia dengan sukarela memenuhi hukuman pokok
yang ditetapkan oleh hakim bersama dengan dwangsom (uang
paksa) tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Fungsi dwangsom.
2. Penetapan dwangsom.
3. Tata cara eksekusi dwangsom.
4. Efektivitas
dwangsom
sebagai
langsung.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Fungsi Dwangsom
upaya
paksaan
tidak
Dwangsom
(uang
paksa)
merupakan
hukuman
yang
ditetapkan oleh hakim kepada terhukum untuk membayar sejumlah
uang kepada si penggugat karena terhukum tidak memenuhi
hukuman pokok.Dwangsom ditunjukan untuk menekan terhukum
agar
memenuhi
hukuman
pokok
secara
sukarela
(vrijwling).Dwangsom di indonesia tidak diatur dalam HIR atau
RBG,tetapi sewaktu dwangsom ditetapkan diatur dalam pasal 606a
bahwa “sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman
untuk sesuatu yang lain dari pada membayar sejumlah uang,maka
dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak
memenuhi hukuman tersebut,olehnya harus diserahkan sejumah
uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim dan uang
tersebut dinamakan uang paksa”.
Sifat-Sifat Dwangsom:
1.Accesoir
Yaitu tidak ada dwangsom jika tidak ada hukuman pokok,artinya
dwangsom harus selalu mengikuti hukuman pokok dengan kata lain
bahwa dwangsom tidak mungkin dijatuhkan tanpa hukuman pokok.
2.Hukuman Tambahan
Yaitu apabila hukuman pokok yang diterapkan oleh hakim tidak
dipenuhi
oleh
tergugat
dengan
sukarela
maka
dwangsom
diperlukan apabaila dengan dwangsom telah dilaksanakan tidaklah
berarti bahwa hukuman pokok lepas.
3.Tekanan psychis bagi terhukum
Yaitu terhukum ditekan secara psychis agar ia dengan sukarela
memenuhi hukuman pokok yang ditetapkan oleh hakim bersama
dengan sukarela memenuhi hukuman pokok yang ditetapkan oleh
hakim bersama dengan dwangsom tersebut.
Dwangsom sebagai bagian dari hukum perdata formil dan
materill,dalam praktiknya lebih banyak diterapkan pada perkaraperkara perdata yang menjadi wewenang absolut.Penerapan
dwangsom
memungkinkan
perceraian
di
pengadilan
dapat
dilakukan
negeri Agama
dalam
dengan
perkara
ketentuan
penggugat mengajukan permohonan yang isinya melarang pihak
tergugat
untuk
menunda
atau
enggan
melaksanakan
isi
putusan,dan bila tergugat melanggar larangan tersebut maka
dikenakan dwangsom.Dan menurut Pasal 611 a ayat (1) kalimat
terakhir B.Rv, lembaga uang paksa tidak dapat diterapkan dalam
suatu putusan yang mengandung diktum penghukuman membayar
sejumlah uang, karena penghukuman untuk membayar sejumlah
uang itu selalu dapat diwujudkan.
2. Penetapan Dwangsom
Seperti halnya penerapan dwangsom dalam putusan Hakim
Peradilan Umum, maka tidak semua putusan Hakim Peratun dapat
diterapkan dwangsom. Hanya putusan yang berisi penghukuman /
kewajiban melakukan tindakan tertentu kepada pihak yang kalah
(Putusan condemnatoir),
diterapkan dwangsom.
yang
Jadi
sifatnya declatoir (yang
dapat
untuk
bersifat
dan constitutief (putusan
yang
bersifat
dikenai/
putusan
yang
menerangkan)
meniadakan atau
menimbulkan keadaan hukum yang baru, tidak dapat dikenai/
diterapkan dwangsom.
Dalam konteks Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan
Tata
Usaha
Negara,
Putusan
yang
bersifat condemnatoir adalah berupa :
1. kewajiban mencabut keputusan TUN yang dinyatakan batal/
tidak sah.
2. kewajiban menerbitkan keputusan TUN pengganti/ baru.
3. kewajiban mencabut dan menerbitkan keputusan TUN baru
4. kewajiban membayar ganti rugi, dan
5. kewajiban
melaksanakan
rehabilitasi,
dalam
sengketa
kepegawaian.
Dwangsom baru diterapkan apabila pejabat yang dihukum
untuk melakukan tindakan tertentu berdasarkan putusan hakim, ia
tidak mematuhinya .
Jadi dwangsom diterapkan (dipaksakan) kepada pejabat apabila ia
melawan putusan hakim.
Ketika hakim menerbitkan suatu putusan, pada hakikatnya ia
adalah
berperan
sebagai pseudo
legislator (badan
pembuat
undang-undang semu), karenanya produk hakim (majelis Hakim)
adalah suatu produk hukum yang setingkat dengan perundangundangan. Oleh karenanya pada saat Pejabat TUN tidak mematuhi
putusan hakim, maka ketidak patuhan tadi adalah dikategorikan
pelanggaran hukum/ perundang-undangan. Dan pelanggaran yang
dilakukan pejabat tadi sifatnya adalah pelanggaran/ kesalahan
pribadi
(faute
personelle),
pertanggungjawabannya
sehingga
juga
membawa
harus
konsekuensi
secara
pribadi
(personal liability) dari orang yang sedang menjabat tersebut dan
bukan kelembagaan atau negara. Hal mana adalah sejalan dengan
teori
“kesalahan”
yang
dikembangkan
dari
Yurisprudensi Conseil d’Etat yang pada pokoknya membedakan
antara “kesalahan dinas” (faute de serve) dan “kesalahan pribadi”
(faute personnelle). Lihatlah Paulus Effendie Lotulung, Prof. DR.
SH. Beberapa System Tentang Control Segi Hukum Terhadap
Pemerintahan, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986. hal. 15).
Oleh karena itu adalah tepat apabila seorang pejabat tidak
mematuhi/
melaksanakan
pembebanan
uang
putusan
paksa
hakim
peratun,
(dwangsom/ astreinte)
maka
harus
dibebankan / dibayar dari uang pribadi orang yang sedang
menjabat/ pejabat saat itu. Sungguh tidak adil apabila orang yang
sedang menjabat/ Pejabat saat itu. Sungguh tidak adil apabila
pelanggaran hukum yang sifatnya pribadi tersebut akibatnya
(berupa pembayaran dwangsom) dibebankan kepada Negara. Hal
ini tentunya sangat berbeda dengan ketika ia sebagai pejabat
dalam melaksanakan tugas yang meskipun telah sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan
ternyata
dapat
menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Dalam keadaaan seperti ini, maka
kerugian
yang
diderita
masyarakat tersebut harus menjadi
tanggung jawab Negara untuk mengganti ruginya,
Jadi ditegaskan disini, tindakan pejabat yang tidak mematuhi
putusan tadi sifatnya adalah pelanggaran hukum yang bersifat
pribadi, dan justru tidak dalam rangka menjalankan peran Negara
yang tentunya selalu sesuai dengan hukum. Ini membawa
akibat dwangsom juga harus ditanggung/ dibayar secara pribadi
(dengan uang pribadi).
3. Tata Cara Eksekusi Dwangsom
Lilik
Mulyadi
(hal.
117-118)
menjelaskan
bahwa
eksekusi dwangsom dengan cara verthaal executie yang bertitik
tolak
pada
ketentuan Pasal
195-208 Herzien
Inlandsch
Reglement (HIR) dan kebiasaan praktik peradilan, yakni melalui
tahap-tahap berikut:
-
Adanya permohonan dari pemohon eksekusi terhadap putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Bentuk
permohonan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis dan
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara
itu dalam tingkat pertama. Dalam praktik secara administratif
setelah pemohon eksekusi membayar biaya eksekusi pada petugas
urusan kepaniteraan perdata, maka akan diregister pada Buku
Permohonan Eksekusi, Buku Induk Keuangan Biaya Eksekusi dan
apabila Ketua Pengadilan Negeri yakin bahwa permohonan
tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, maka Ketua
Pengadilan Negeri lalu mengeluarkan “Penetapan” yang asasnya
berisikan tentang:[7]
a. Perintah pemanggilan pihak tergugat/termohon eksekusi
supaya pada hari, tanggal, bulan dan tahun serta jam yang telah
ditetapkan dalam penetapan agar datang ke Pengadilan Negeri
untuk diberi peringatan/somasi menjalankan hukuman pokok dan
uang paksa/dwangsom; dan[8]
b. Dalam persidangan yang dilakukan secara insidental
tersebut Ketua Pengadilan Negeri memberi batas waktu kepada
pihak tereksekusi untuk membayar uang paksa dalam waktu
maksimal 8 hari.[9]
-
Apabila setelah tenggang waktu somasi dilampaui belum juga
tereksekusi melakukan pembayaran uang paksa, Ketua Pengadilan
Negeri akan meneliti apakah perkara tersebut telah dilakukan sita
jaminan atau tidak. Apabila diletakkan sita jaminan, maka dengan
sendirinya berkekuatan eksekutorial. Sedangkan apabila tidak
diletakkan sita jaminan, maka secara ex officio Ketua Pengadilan
Negeri
melakukan
sita
eksekusi
terhadap
harta
kekayaan
tereksekusi.
-
Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan pendapat dengan
perintah kepada panitera ata wakilnya yang sah untuk melakukan
pelelangan.
4. Efektivitas dwangsom sebagai upaya paksaan tidak langsung.
Dalam penerapan uang paksa (dwangsom) sebagai upaya
paksaan tidak langsung. Efektivitas yang terjadi sangatlah baik.
Dikarenakan jika adanya paksaan dalam pemberian uang paksa
(dwangsom) seseorang yang hendaknya membayar, namun tidak
melakukannya akan dikenakan sanksi.
Sanksi yang akan diberikan jika tidak membayar uang paksa
tersebut ialah:
pengenaan
sanksi
admnistratif
berupa
uang
paksa
(dwangsom) adalah suatu yang tepat dilakukan agar para
pelanggar peraturan yang telah disebutkan diatas bisa memnuhi
aturannya dan juga paksaan atas uang paksa itu harus dilakukan
dengan tegas dan tentunya dilakukan dengan sungguh-sungguh,
jangan
hanya
sebatas
peraturan
tetapi
penerapnnya
dan
pelaksanaannya terhadap pelangggarnya sangat minim.Karena
peraturan dibuat untuk dilaksankan sebagai sanksi terhadap
pelanggaranya dan untuk dipatuhi oleh semua kalangan yang
dicakup oleh peraturan itu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Dwangsom (uang paksa) berupa hakim menetapkan suatu
tambahan hukuman kepada terhukum untuk membayar sejumlah
uang kepada si penggunggat di dalam hal si terhukum tersebut
tidak mampu memenuhi hukuman pokok, hukuman tambahan
mana dimaksudkan untuk menekan agar terhukum tersebut
memenuhi hukuman pokok dengan sukarela. Dwangsong tidak
dapat berlaku dalam perkara utang piutang. Apabila tergugat tidak
bersedia membayar maka dapat dijatuhi putusan membayar biaya
dan atau bunga.Dan Terhadap putusan pembayaran sejumlah uang
apabila tergugat tidak melaksanakan secara sukarela maka ada
lembaga pelaksanaan putusan (eksekusi) dengan upaya paksa.
Atau dapat pula dilakukan upaya paksa dengan pelaksanaan lelang
atas bantuan Kepala Kantor Lelang.
2. Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang Dwangsom
Penerapan lembaga dwangsong tidak serta merta dapat dilakukan
dalam tuntutan pembayaran sejumlah uang, sesuai dengan
Yurisprudensi tanggal 26 Pebruari 1973 No.793 K/SIP/1972 dalam
mana Mahkamah Agung dan mempertimbangkan bahwa uang
paksa tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang.
Maka dapat ditentukan bahwa pihak yang dikalahkan dihukum
untuk membayar sejumlah uang paksa selama ia belum memenuhi
isi putusan.
Dwangsom sebagai bagian dari hukum perdata formil dam materil,
dalam praktiknya lebih banyak diterapkan pada perkara-perkara
perdata yang menjadi wewenang absolut Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tata Usaha Negara. Tujuan diletakkan dwangsom
dalam
putusan
hakim,
agar
tergugat
bersedia
memenuhi
prestasinya juga mengetahui ada kewajiban yang harus dibayar
apabila ia tidak melakukan hukuman pokokyang dibebankan
kepadanya.
Penerapan dwangsom memungkinkan dapat dilakukan dalam
perkara perceraian di Pengadilan Agama dengan ketentuan
Penggugat mengajukan permohonan yang isinya melarang pihak
Tergugat untuk menunda atau enggan melaksanakan isi putusan,
dan
bila
Tergugat
melanggar
larangan
tersebut
maka
dikenakan dwangsom.
3. Hanya Putusan yang sifatnya berisi pemberian beban atau
kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu kepada Tergugat saja
yang dapat dikenakan Upaya Paksa.
4. Dalam pemeriksaan Persiapan sebaiknya dinasehatkan kepada
Penggugat agar tidak mencantumkan Petitum Upaya paksa karena
belum ada
peraturan
pelaksanaannya, akan
tetapi
apabila
Penggugat tetap mencantumkan Upaya Paksa dalam gugatannya
maka Hakim sebaiknya memutuskan hal tersebut sesuai dengan
pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
5. Efektivitas uang paksa (dwangsom) sebagai sanksi administrasi
belum terlaksana secara maksimal, karena masih banyak yang
melanggar peraturannya dan penerapan sanksinya pun kurang
tegas oleh pemerintah pelaksanaannya.
Demikianlah paper yang kami buat semoga bermanfaat bagi orang yang
membacanya dan menambah wawasan bagi orang yang membaca
makalah ini. Dan penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam
penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas, mengerti, dan lugas mohon
jangan dimasukan ke dalam hati.
Sekian penutup dari kami semoga berkenan di hati dan kami ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://kiemdhaninspiration.blogspot.co.id/2014/01/efektivitas-uangpaksa-dalam-sanksi.html
http://www.npslawoffice.com/dwangsom-uang-paksa/
kiemdhaninspiration.blogspot.com/2014/01/efektivitas-uang-paksa-dalamsanksi.html
www.hukumonline.com/.../tata-cara-pelaksanaan-uang-paksa-dan-sanksiadministratif..
www.hukumonline.com/.../cara-yang-dapat-ditempuh-jika-tergugat-tidakmembayar-...
hery-judge.blogspot.com/2009/01/dwangsom.html
www.hukum-hukum.com › PERDATA
pa-pasirpengaraian.go.id/new/index.php?option...id...dalam-perkara...
https://advosolo.wordpress.com/2010/06/20/uang-paksa-dwangsom/
https://krupukulit.com/2009/02/16/pengertian-uang-paksa-dwangsom/