ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEJAH

ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEJAHATAN
PERANG YANG DILAKUKAN OLEH ISLAMIC STATE OF IRAQ AND
SYRIA (ISIS) DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL
Dwi Wisnu Kurniawan
Email: dwiwisnukurn@students.unnes.ac.id
Abstract
Akhir-akhir ini dunia dihebohkan dengan aksi terorisme yang terjadi di Timur Tengah, khususnya
konflik di Iraq dan Suriah. Konflik yang disebabkan oleh Islamic State Of Iraq and Syria (ISIS) yang
melakukan klaim mendirikan negara khilafah islam (Daulah Islamiyah) dengan luas wilayah setengah
dari keseluruhan Iraq dan beberapa wilayah di Suriah, kemudian terjadinya perang dengan
pemerintahan yang sah hingga saat ini. Jika dilihat dari awal lahirnya, ISIS tidak lepas dari jaringan
Al-Qaeda. ISIS merupakan pecahan dari Al-Qaeda yang berfokus pada pendirian negara khilafah islam
di Iraq dan Suriah. ISIS yang dipimpin oleh Abu Bakar Al-Baghdadi banyak membuat konflik dengan
cara pembunuhan warga sipil, pelecehan terhadap wanita, dan perebutan sumberdaya minyak. Beberapa
kejadian yang dilakukan ISIS dengan menjadikan warga sipil sebagai tameng hidup dan melakukan
pembantaian warga sipil apabila tidak mau mengikuti ISIS pada saat perang membuat banyak negara
geram dan menyulut emosi masyarakat internasional. ISIS yang dikenal memiliki banyak cadangan
dana untuk membiayai segala aktivitasnya dengan penguasaan kilang minyak dan menjual secara illegal
ke negara-negara disekitarnya. Jika melihat kondisi saat ini, diperlukan perlindungan hukum bagi warga
sipil baik yang menjadi korban perang maupun yang bukan. Hak Asasi Warga Sipil dalam kondisi

perang harus diutamakan dan dijunjung tinggi dalam perspektif Hukum Humaniter Internasional.
Kata Kunci: ISIS, Kejahatan, Perang, HAM, Hukum.
PENDAHULUAN

Konsep nilai-nilai dasar HAM dalam hubungannya dengan Hukum peperangan memang
menarik untuk dibahas. Kontroversi di sekitar nilai-nilai dasar hak asasi manusia di
negara-negara muslim tidak akan oernah sirna, baik dalam wacana berfikir maupun
berkehendak.1

Rumusan antara hak-hak dasar dan kewajiban berbeda dengan rumusan HAM Barat tidak
dapat dihindarkan. Dalam ISlam nilai-nilai HAM mengacu pada Al Quran dan As-Sunnah,
sehingga objek yang dibicarakan hak dan kewajiban tidaklah semata hubungannya dengan
manusia.2
Secara formal negara-negara Muslim menempatkan hukum dan HAM sesuai dengan nilainilai dasar Islam. Karena itu, tidak mengherankan jika negara-negara islam terikat oleh
kesatuan hukum internasional tersebut dan mempertegas bahwa kerangka relativitas,
pluralistik penerapan HAN menjadi karakter negara-negara Muslim dan juga sekaligus
karakter budaya timur.

Perang adalah suatu hal yang amat ditakuti oleh setiap orang karena dampak yang
ditimbulkan, bukan saja kerugian secara jasmani, melainkan juga kerugian secara rohani. Para

1
Jawahir Thontowi, HAM di Negara-Negara Muslim dan Realitas Perang Melawan Teroris di Indonesia, Jurnal Pandecta Vol 8 No. 2
Juli 2013, hlm 129
2
Ibid

korban perang bukan hanya dari kalangan militer atau tentara (combatant), tetapi juga
masyarakat sipil, termasuk diantaranya perempuan dan anak-anak, yang pada umumnya
berada di luar lingkungan konflik.3

Perang yang terjadi saat ini di Iraq dan Suriah merupakan perang yang terjadi antara
Pemerintah Iraq dan Suriah dibantu oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat, Perancis,
Inggris melawan pemberontak Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Pada perang tersebut
banyak menimbulkan korban dari warga sipil, seperti laporan dari PBB yang dimuat dalam
koran Suara Merdeka terbit tanggal 26 Oktober 2016 menyebutkan bahwa Militan Islamic
State (IS) membantai sejumlah warga sipil disekitar Kota Mosul. Militan ISIS juga dilaporkan
menembak mati tiga wanita, tiga gadis dan melukai empat anak disebabkan karena korban
tertinggal pada saat relokasi.
Kementerian Imigrasi Iraq juga tidak tinggal diam, dari pemerintah telah melakukan
evakuasi terhadap warga sipil yang terdampak perang, dilaporkan sebanyak 3800 warga sipil

mengungsi ke daerah-daerah disekitar Mosul. Juru bicara Kementerian Imigrasi Iraq, Qassim
Atiyye, seperti dikutip situs Anadolu Agency menyebutkan sekitaran 904 orang telah
dipindahkan ke kamp pengungsi di Distrik Sheikhan, selatan Mosul, agar terhindar dari
serangan.
Selama dua tahun terakhir, militer Iraq terus berjuang untuk mendapatkan kembali kendali
atas sebagian besar wilayah yang jatuh ke genggaman ISIS. Pertempuran ini telah
menyebabkan lebih dari tiga juta warga Iraq tewas dan diperkirakan 10 juta lainnya
membutuhkan bantuan kemanusiaan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan menyebut
bahwa krisis yang terjadi di negeri Seribu Satu Malam ini sebagai salah satu yang terburuk di
dunia. Islamic State sebelumnya merebut Mosul dari pemerintah Iraq pada pertengahan 2014.

Berdasarkan realitas yang telah diuraikan diatas, menarik untuk mendiskusikan kaitan
antara perlindungan hukum bagi korban kejahatan perang yang dilakukan oleh ISIS dengan
perangkat Hukum Humaniter Internasional dan mengantarkan pada suatu pertanyaan:
1. Bagaimana penerapan Hukum Humaniter Internasional sebagai perangkat Hukum
Internasional dalam perlindungan hukum bagi warga sipil korban kejahatan perang?
2. Apa peran PBB dalam pemberian sanksi bila hukum humaniter Internasional dilanggar?
PEMBAHASAN

Dalam pemahaman yang sederhana, istilah perang dengan konflik bersenjata seringkali

dianggap sama, namun dalam kajian teoritis masih diperdebatkan apakah keduanya memang
merupakan istilah yang mempunyai pengertian yang sama.4

Dalam Black’s Law Dictionary dinyatakan bahwa perang adalah permusuhan (pertikaian)
dengan menggunakan angkatan bersenjata yang terjadi antara bangsa-bangsa, negara-negara
atau penguasa-penguasa, atau warga-warga dalam satu bangsa atau satu negara.5

Nita Triana, Perlindungan Perempuan dan Anak ketika Perang dalam Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Studi Gender &
Anak Vol 4 No. 2 2009, hlm 320
4
Yustina Trihoni, Kejahatan Perang dalam Hukum Humaniter Internasional dan Hukum Nasional,Jakarta, Raja Grafindo,2013, hlm
26
5
Ibid

3

Sedangkan menurut Edward K. Kwakwa mengungkapkan bahwa istilah konflik bersenjata
merupakan ungkapan penghalusan (eufenisme) dari istilah perang.6 istilah perang memberikan
gambaran bahwa intensitas konflik yang terjadi sangat tinggi, sementara konflik bersenjata

memandang bahwa hanya pada penggunaan senjata saja, tanpa memandang intensitas kondisi
konflik itu sendiri. Kriteria ataupun tolak ukur dalam melihat, apakah ini perang atau konflik
tidak ditemukan secara jelas maka tidak dapat membedakan antara istilah perang dan konflik
bersenjata.
Apapun istilahnya konflik bersenjata dengan perang memiliki maksud yang sama tanpa
harus memandang siapakah pihak yang berkonflik.

Jika melihat sumber-sumber Hukum Humaniter dapat ditemukan berbagai perjanjian
internasional yang bersifat multilateral, dalam berbagai bentuk seperti konvensi, protokol,
deklarasi dan sebagainya. Mengingat banyaknya perjanjian tersebut, maka yang biasanya
dianggap sebagai sumber utama sebagai berikut:7
1. Konvensi-Konvensi Den Haag 1907= Hukum Den Haag
2. Konvensi-konvensi Jenewa-Hukum Jenewa 1949
3. Protokol Tambahan1997

Krisis kemanusiaan akibat konflik bersenjata antara Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)
dengan tentara pemerintah Irak dan Suriah menjadi perhatian serius dunia Internasional.
Meningkatknya intensitas konflik bersenjata di berbagai wilayah negara Irak dan Suriah
menyebabkan jumlah korban dari penduduk sipil semakin bertambah. Operasi militer tentara
pemerintah Iraq dan Suriah serta agresi dari serangan ISIS mengakibatkan korban sipil luka,

tewas, pengungsian kerusakan infrastruktur, masalah akses bantuan dan kebutuhan dasar.
Pada tahun 2014, penduduk sipil yang tewas disebabkan oleh operasi ISIS di Iraq sebanyak
4.325 orang.8
Hukum humaniter internasional bertujuan memberikan perlindungan kepada penduduk
sipil dari berbagai tindakan selama konflik bersenjata berlangsung seperti pembunuhan,
penculikan, intimidasi kekerasan seksual, dan terorisme.9

Secara eksplisit hukum humaniter internasional merupakan sebuah perangka yang
melindungi para korban pertikaian bersenjata atau berperang dan mencegah terjadinya perang
secara membabi buta. Ketentuan-ketentuan tersebut agar peperangan hanya ditujukan
terhadap objek-objek militer dan tidak ditujukan terhadap objek masyarakat sipil.
Dari pengertian tersebut memunculkan prinsip-prinsip dasar dalam Hukum Humaniter
Internasional, yaitu prinsip pembeda (distinction principle), larangan penyerangan terhadap
mereka yang telah meletakkan senjata (hors de combat), larangan melakukan tindakan yang
menimbulkan kerugian yang tidak perlu (unnecessary suffering), prinsip kegunaan (necessity
principle), dan prinsip proporsionalitas (proportionality principle).10
Salah satu azas yang menjadi landasan utama Hukum Humaniter Internasional adalah
pembagian penduduk suatu negara yang sedang berperang, bermusuhan atau terlibat

Ibid, hlm 27

Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2012, hlm 45
8
Al Wasilah Untung Sukowati, Belli ac Pacis Vol 1 No. 1 Juni 2015, hlm 59
9
Ibid
10
Nita Triana, Perlindungan Perempuan dan Anak ketika Perang dalam Hukum Humaniter Internasional, Jurnal Studi Gender &
Anak Vol 4 No. 2 2009, hlm 322
6
7

pertikaian bersenjata ke dalam dua kategori, yaitu kombatan (combatant) dan penduduk sipil
(non combatant atau civilians). perempuan dan anak masuk ke dalam kategori penduduk sipil,
tetapi perempuan yang tergabung dalam kesatuan angkatan perang dan dipersenjatai tetep
masuk ke dalam kategori kombatan.11
Aspek yuridis dalam aturan ini adalah bahwa penduduk sipil (semua orang selain
kombatan) tidak boleh dijadikan objek kekerasan dan harus dilindungi dari segala kaitannya
dengan peperangan, sedangkan kombatan (anggota angkatan perang) adalah orang yang
terlibat langsung dalam perang dan dapat dijadikan sebagai objek kekerasan tetapi harus
dilindungi ketika menjadi tawanan perang.12

Perlindungan Hukum Humaniter Internasional terhadap Masyarakat Sipil Korban Perang

Dalam konflik bersenjata yang terjadi antara pemerintah Iraq dan Suriah melawan Islamic State
Iraq and Syria (ISIS) berdasarkan ketentuan yang berlaku adalah pasal 3 (common article)
Konvensi Jenewa 1949. Maksud dan arti dari pasal 3 tersebut menurut Haryomataram dalam
bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Humaniter Internasional bahwa perikaian
bersenjata yang tidak bersifat Internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak
peserta agung, tiap pihak dalam pertikaian itu akan diwajibkan untuk melaksanakan
sekurang-kurangnya ketentuan berikut:13

1. Orang-orang aktif dalam pertikaian itu, yang tidak turut serta aktif dalam pertikaian itu,
termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata mereka yang
tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanaan, atau sebab lain
apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlaukan dengan perikemanusiaan, tanpa
perbedaan yag dapat merugikan semua manapun juga yang didasarkan atas ras, warna
kulit, agama, atau kepercayaan, kelamin, keturunan, atau kekayaan atau setiap kriteria
lainnya yang mencerminkan diskriminasi.

a.


Dalam hal yang dimaksudkan diatas, maka tindakan-tindakan berikut dilarang untuk
dilakukan terhadap orangporang tersebut diatas pada waktu dan ditempat manapun juga:

Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga terutama setiap macam pembunuhan,
pengurungan, perlakuan, dan penganiyaan.
b. Penyanderaan
c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan
martabat
d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan
oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan
peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.
2. Korban-korban luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.

Sebuah badan humaniter independen atau tidak berpihak, seperti Komite Internasional
Palang Merah, dapat menwarkan jasa-jasanya kepada para pihak dalam pertikaian.
Pihak-pihak dalam pertikaina harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan khusus, semua
atau sebagaimana dari ketentuan lainnya dalam konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan tersebut
diatas tidak akan memengaruhi kedudukan ISIS di dalam pertikaian.14
11
12

13
14

Ibid
Ibid
Al Wasilah Untung Sukowati, opcit, hlm 70
Ibid

Berdasarkan ketentuan yang berlaku ini merupakan kewajiban (obligation), bersifat mutlak
bagi setiap pihak dan tidak tergantung darimkewajiban dari pihak lain. Kewajiban ini bersifat
reciprocitas. Dalam hal ini pihak pemberontak ISISdapat melaksanakan pasal 3 atau dapat
menolak untuk berbuat demikian. Apabila pemberontak melaksanakannya, hal ini akan
menguntungkan bagi para korban dari konflik dan tidak akan ada yang mengajukan protes.
Sebaliknya, apabila ISIS tidak melaksanakannya maka kelompok ISIS sendiri akan rugi karena
dianggap melakukan kejahatan perang. Pelaksanaan ketentuan Konvensi Jenewa 1949 tidak
mengurangi hak pemerintah de jure yakni pemerintah Iraq dan Suriah untuk mengadakan
tindakan-tindakan terhadap ISIS. Dari penerapan Pasal 3 pemerintah Iraq dan Suriah
diharuskan memperlakukan korban konflik bersenjata menurut asas kemanusiaan.15
Dalam Hukum Humaniter terdapat 2 jenis perlindungan yang nilai dan normanya
tercantum dalam setiap konvensi. Perlindungan ini merupakan kebiasaan Hukum Humaniter

Internasional yang ditujukan untuk melindungi penduduk sipil dan tidak boleh diskriminatif.
Dalam segala kondisi, penduduk sipil berhak atas penghormatan diri, hak kekeluargaan,
kekayaan dan keagamaannya. Sedangkan perlindungan khusus adalah perlindungan bagi
penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi sosial yang melaksanakan tugas-tugas
yang bersifat sosial untuk membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa bersenjata.
Mereka merupakan penduduk sipil yang berhimpun dalam Palang Merah Nasional dan
anggota Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota pertahanan sipil. Pada
saat melaksanakan tugas yang bersifat sosial, biasanya mereka dilengkapi dengan berbagai
fasilitas seperti transportasi, bangunan-bangunan, lambang khusus. Apabila mereka sedang
melaksanakan tugasnya, mereka dihormati dan dilindungi.
Peran PBB dalam memberikan sanksi terhadap Hukum Humaniter Internasional yang
dilanggar

Pada tahun 1949, komisi hukum internasional tidak memasukkan hukum tentang perang
dalam agendanya. Namun, sejak awal badan-badan PBB telah memberikan dukungan pada
Konvensi Jenewa dan Protokolnya, dan telah mengajak negara-negara meratifikasinya atau
menjadikannya sebagai sebuah pedoman. Akhirnya pada tahun1960-an, PBB memperluas
keterlibatannya dalam pembentukan sistem Hukum Humaniter Internasional.

Pada tahun 1967 Dewan Keamanan PBB menegaskan kembali bahwa hak asasi manusia
harus dihormati oleh semua pihak yang terlibat dalam perang. Mereka harus memenuhi semua
kewajiban yang telah mereka terima dalam Konvensi Jenewa IV.16
Pelanggaran terhadap Hukum Humaniter atau deklarasi dan resolusi yang dikeluarkan
oleh PBB harus dipertanggungjawabkan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan Hukum
Internasional. Dalam hal ini, PBB beserta alat atau organisasinya, yaitu Dewan Keamanan,
berperan untuk menetapkan sanksi-sanksi ini terhadap pelanggarnya.
Menurut pandangan PBB, yang dapat dikatakan sebagai tolok ukur kasus pelanggaran
Hukum Humaniter Internasional adalah:

1) Mengancam perdamaian dunia
2) Melanggar ketentuan-ketentuan konvensi internsioanl yang membawa akibat buruk
terhadap kemanusiaan dan hubungan damai antar negara
3) Adanya akibat buruk terhadap segi-segi keberadaban manusia dalam jumlah yang besar.
15
16

Ibid
Nita Triana,opcit, hlm 325

Bentuk brutal dan banyaknya korban dari setiap peperangan menetapkan PBB untuk
melakukan tindakan. Cara yang ditempuh adalah dengan membentuk komisi pencari fakta
pelanggaran hukum humaniter internasional, membentuk komisi ahli, mengeluarkan
resolusi-resolusi yang mengikat secara umum bagi pihak yang bersangkutan, dan membentuk
Mahkamah Ad Hoc pelanggaran Hukum humaniter Internasional.17

Jika melihat aspek hukum dengan adanya Resolusi DK PBB dalam memeriksa dan
memberikan sanksi, maka suatu negara harus mematuhi resolusi tersebut dengan syarat.
Artinya Dewan Keamanan PBB dapat menggunakan cara apapun juga, termasuk sanksi
mandatori (Mandatory sanction) yang dianggap perlu agar suatu negara mematuhi keputusan
Dewan Keamanan PBB.18
Dalam hal ini PBB dapat memberikan tindakan langsung terhadap negara yang
membahayakan kedamaian dunia. Tindakan ini adalah realisasi dari Bab VII Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa. Dewan Keamanan PBB dapat secara mutlak menetapkan
sanksi-sanksi terhadap individu ataupun negara pelaku kejahatan Hukum Humaniter
Internasional dan atau kejahatan Perang. Individu pelaku kejahatan terhadap Hukum
Humaniter Internasional dan kejahatan perang bisa dihukum melalui mekanisme peradilan
yang dibentuk oleh dewan keamanan PBB seperti Nuremberg Indictmen, Tokyo Indicment,
ICTY, ICTR, dll.19

Negara memiliki prinsip state responsibility dapat menerima sanksi dari Dewan
Keamanan PBB melalui mekanisme yang diatur dalam pasal 41 dan 42 Piagam PBB sebagai
upaya pemaksa, seperti tindakan pemutusan seluruhnya atau sebagian hubungan-hubungan
ekonomi (embargo), termasuk hubungan kereta api, laut, udara, pos, telegraf, radio, dan
alat-alat komunikasi lainnya, serta pemutusan hubungan diplomatik. Pasal 42 menentukan jika
ketentuan dalam pasal 41 tidak mencukupi dan tidak dapat dilaksanakan, maka dewan
keamanan PBB bisa mengambil tindakan dengan menggunakan angkatan udara, laut dan
darat yang mungkin diperlukan untuk memulihkan perdamaian serta keamanan
internasional.20 Sanksi yang diterapkan oleh Dewan Keamanan PBB terhadap kejahatan
Hukum Humaniter atau kejahatan perang berfungsi untuk mengembalikan rasa keadilan yang
telah dilanggar, serta realisasi tugas utamanya sebagai organisasi pemelihara perdamaian
dunia.
KESIMPULAN

Pertikaian bersenjata atau perang merupakan kenyaaan paling kejam di abad 20.
walaupun telah dilakukan berbagai upaya mediasi, negosiasi damai terlebih dahulu daripada
pertikaian bersenjata, tetapi tetap saja masuk dalam kategori kejahatan perang. Perang selalu
membawa korban yang ditimbulkan dalam jumlah yang besar. Korban terbesar dalam perang
adalah masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai kelompok yang rentan dalam peperangan.
Pencegahan pertikaian bersenjata menjadi prioritas utama dari kerja sama internasional,
selanjutnya melindungi hak-hak kemanusiaan di tengah kenyataan perang. Hal itulah maksud
dari hukum internasional, dengan prinsip utamanya distinction principle. Dalam ini terdapat
seperangkat aturan yang mengatur pembedaan penduduk ketika terjadi peperangan yang
bertujuan sebagai perlindungan terhadap korban perang yaitu masyarakat sipil.
17
18
19
20

Ibid
Ibid
Ibid, hlm 326
Ibid

Masyarakat sipil yang menjadi korban dalam konflik yang terjadi antara Islamic State of Iraq
and Syria dengan pemerintah Iraq dan Suriah, harus mendapat perlindungan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dalam pasal 3 Konvensi Jenewan1949.
Hukum Humaniter Internasional membagi konflik bersenjata menjadi 2 yaitu konflik
bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. konflik bersenjata antara
ISIS dengan pemerintah Iraq dan Suriah merupakan konflik bersenjata non-internasional,
meskipun secara yuridis tidak diatur mengenai ambang atas dan bawah mengenai intensitas
konflik bersenjata. Pemberian ambang batas dapa memudahkan negara peserta konvensi untuk
menerapkan ketentuan konvensi dalam setiap penggunaan militernya.
Ketentuan perlindungan hukum terhadap korban peperangan secara yuridis bergantung
pada status konflik bersenjata. Dalam hukum kebiasaan internasional perlindungan terhadap
penduduk sipil dibagi menjadi 2 yaitu, perlindungan umum dan perlindungan khusus.
Perlindungan hukum terhadap konflik peperangan yang terjadi merupakan tujuan utama dari
Hukum Humaniter Internasional khususnya konvensi-konvensi Jenewa.

Dari mulai dikeluarkannya konvensi jenewa tahun 1949 sampai saat ini, seperangkat
hukum dan resolusi-resolusi, dan kesepakatan-kesepakatan telah dikeluarkan oleh berbagai
negara dan organisasi internasional, terutama PBB sebagai organisasi bangsa-bangsa di dunia.
Akan tetapi, tanpa keinginan dan perjuangan yang teguh untuk menegakannya maka konvensi
dan resolusi tidak akan efektif.

PBB sebagai organisasi internasional, mampu secara tegas menerapkan sanksi-sanksi
kepada negara yang melanggar konvensi dan resolusi. Jika faktor politik dan ekonomi lebih
dikedepankan daripada aturan hukum, maka resolusi dan konvensi hanya akan menjadi aturan
tertulis yang tertuang dalam meja perjanjian. Mengoptimalkan fungsi Dewan Keamanan akan
banyak membatu dalam menciptakan perlindungan penduduk sipil ketika berperang.

Dalam kondisi perang diperlukan keterlibatan semua negara dalam pengambilan
keputusan dalam hal pertikaian bersenjata baik pengambilan keputusan pasukan perang, untuk
menyadari bahwa dalam situasi apapun ketika perang, masalah pokoknya adalah
penghormatan terhadap hak asasi manusia dan perlindungan terhadap warga sipil. Tidak ada
toleransi bagi negara manapun yang melakukan kejahatan perang walaupun negara itu
didukung oleh negara-negara besar, PBB harus dapat menerapkan sanksi tegas yang dapat
dipatuhi oleh negara tersebut tanpa syarat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. KGPH. Haryomataram. 2012. Pengatar Hukum Humanite. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
2. Dr. Yustina Trihoni Naleswati Dewi, S.H.,M.Hum,. 2013. Kejahatan Perang dalam Hukum
Humaniter Internasional dan Hukum Nasional. Jakarta:PT.RajaGrafindo Persada.
3. Al Wasilah Untung Sukowato. 2015. Status Konflik dan perlindungan hukum terhadap korban
pada konflik islamic state of iraq and syria (ISIS) dalam perspektif hukum humaniter internasional.
Jurnal Bellu ac Pacis Vol. 1 No 1 Juni 2015
4. Jawahir Thontowi. 2013. HAM di Negara-Negara Muslim dan Realitas Perang Melawan
Terorisme di Indonesia. Jurnal Pndecta Vol 8 No 2 Juli 2013
5. Nita Triana. 2009. Perlindungan Perempuan dan Anak Ketika Perang dalam Perspektif Hukum
Humaniter Internasional. Jurnal Studi Gender&Anak Vol 4 No 2 Jul-Des 2009 pp. 320-334

LAMPIRAN

Kasus dalam koran: PBB: IS Bantai Warga di Mosul_Suara Merdeka_Rabu, 26
Oktober_2016