Riwayat Hidup Buya Hamka. docx

A. Riwayat Hidup Buya Hamka
Hamka yang nama lenkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim
Amrullah dilahirkan disebuah Desa Tanah Sirah yang terdapat sungai Batang,
ditepi Danau Maninjau Sumatra Barat pada tanggal 13 Muharram1362 H atau
bertepatan dengan 16 Februari 1908 M.1
Hamka dibesarkan dalam keluarga yang ‘alim dan taat terhadapajaran
agama, ayahnya bernama Syeikh Abdul Karim Amrullah. 2 Hamkamengawali
pendidikannya dengan membaca Al-Qur’an dirumahnya ketikamereka
sekeluarga pindah dari Meninjauke Padang Panjang pada tahun1914 M. dan
satu tahun kemudian ketika berusia 7 tahun ia dimasukkanayahnya ke sekolah
Desa.
Pada tahun 1916 M, Hamka dimasukkan ayahnya ke SekolahDiniyah
di Pasar Usang Padang Panjang. Padi hari Hamka ke SekolahDesa dansore
hari ia belajar di Sekolah Diniyah.Dua tahun kemudian, pada tahun 1918
Mketika ia berumur 10tahun, ayahnya mendirikan Pondok Pesantren di
Padang Panjang dengannama Sumatra Thawalib. Keinginan ini timbul agar
anaknya (Hamka) kelak menjadi ulama seperti dia, Hamka dimasukkan ke
Pesantren ini danberhenti dari sekolah Desa.3
Selama belajar di Sekolah asuhan ayahnya ia tidak bersemangat untuk
menimba ilmu karena sistem yang berlaku ditempat ini masih bercorak lama,
yaitu keharusan menghafal. Inilah yang membuatnya cepatbosan dalam

istilahnya sendiri ia berkata “memusingkan kepala”. Tetapitiap tahun ia tetap
naik kelas, sampai ia menduduki kelas empat.
Hal ini menyebabkan timbulnya ketidak seriusan pada dirinya, dan
keadaan inilah yang menyebabkan Hamka selalu mengasingkan diri
diPerpustakaan milik Zainuddin Labai Elyusunusi dan Bagindo Sinaro.Hamka
menjadi lebih asyik diperpustakaan tersebut membaca buku ceritadan sejarah.
1 Hamka,Kenang-kenangan Hidup,Bulan bintang, Jakarta, 1979, hal. 9
2 Hamka, Ayahku; Riwayat Hidup Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum
Agama di Sumatra, Umida, Jakarta, 1982).
3 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Hamka, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983,
hal. 1

1

Perpustakaan tersebut memberikan gairah tersendiri bagi Hamka. Tentu saja a
pa yang dilakukan oleh Hamka tidak mendapatdukungan dari ayahnya,
sehingga pada suatu waktu ayahnya pernahmenegurnya dengan berkata,
“apakah engkau ingin menjadi orang yang‘alim nantinya atau menjadi seorang
tukang cerita?”. Semangat Hamka dalam mencari ilmu memang terlihat sangat
besar sekali,ketidakpuasannya dengan metode yang diterapkan di sekolah

ayahnyamembuat ia meninggalkan Sumatra Barat dan menuju Pulau Jawa,di
jawayakni dikota Yogyakarta, ia mengakui menemukan Islam sebagai sesuatu
yang hidup yang menyodorkan sesuatu pendirian dan perjuangan yang
dinamis.
Yogyakarta yang merupakan kota tempat lahirnya Organisasi
Muhammadiyah selaku organisasi pembaharu, Hamka lewat Ja’far Amrullah
yakni pamannya, mendapat kesempatan untuk mengikuti kursuskursus yang
diselenggarakan oleh Muhammadiyah dan Serikat Islam.
Dalam kesempatan ini ia bertemu dengan Ki Bagus Hadikusuma yang
darinya Hamka mendapatkan pelajaran tafsir Al-Qur’an, kemudian Hos
Cokroaminoto, dan sempat pula bertukar fikiran dengan Haji Fakhruddin,
Syamsul Ridjal serta tokoh Jong Islamieten Bond. Setelah mengadakan
perjalanan ke Yogyakarta lebih kurang 1 tahun, Hamka kembali kembali ke
Sumatra Barat. Sejak itu ia mulai menapaki jalan yang telah dipilihnya sebagai
tokoh ulama dalam arus perkembangan pemikiran dan pergerakan Islam di
Indonesia. Kesadaran baru dalam melihat Islam yang diperoleh Hamka di
Yogyakarta kemudian mendapat pengukuhan ketika ia berada di Pekalongan
selama 6 bulan dari AR. Sutan Mansyur yang merupakan menantu ayahnya
yang tinggal di Pekalongan.4
Dalam usia yang relatif muda yakni 16 tahun, Hamka telah berpidato

kemana-mana dengan jiwa dan semangat kesadaran baru. Pada usia 17 tahun
Hamka dipercaya menjadi pemimpin dilingkungannya. Ia berhasilmembuka
kursus pidatobagi teman-teman sebayanya di Surau Jembatan Besi, dan ia
4 Yunus Amir Hamzah, Hamka Sebagai Pengarang Roman, Puspita Sari Indah, Jakarta,
1993, hal. 36
2

mencatat semua semua temannya serta menerbitkan kedalam sebuah majalah
yang diberinya nama “Khotibul Ummah” yang berarti tukang pidato ummat.
Jalan yang ditempuh Hamka dalam pembaharuan pemikiran Islam
dinegeri asalnya bukanlah tanpa hambatan, dalam pandangan masyarakat
Minang, Hamka hanya diakui sebagai tukang pidato dan bukan seorang yang
ahli dalam agama karena tidak memahami bahasa Arab secara mendasar. Ia
mendapat kritikan keras tidak hanya dari orang-orang yang meragukan
kemampuannya, tetapi juga dari teman-temannya yang sudah menamatkan
sekolah pelajaran di kelas VII Thawalib School. Akhirnya Hamka pergi
merantau ke Mekkah pada bulan Februari 1927. Menjelang pelaksanaan ibdah
haji, Hamka bersama dengan beberapa calon jemaah haji lainnya mendirikan
organisasi Persatuan Hindia Timur.
Setelah pulang dari tanah suci terjadi perubahan besar, yaitu kualitas

Hamka yang dulunya hanya dianggap sekedar tukang pidato, kini telah
berubah menjadi orang ‘alim. Dengan gelar haji yang diperolehnya setelah
melaksanakan ibadah haji memberikan legitimasi sebagai ulama dalam
pandangan masyarakat Minang Kabau.5
Meskipun demikian ia tidak menggeser jiwanya sebagai orang
pergerakan, ia tetap aktif sebagai pengurus Muhammadiyah cabang Padang
Panjang dan ia menjadi pemimpin yang sekolah yang bernama “Tabligh
School”. Dalam kongres Muhammadiyah di Bukit Tinggi tahun 1930 M,
Hamka tampil sebagai pemakalah “Agama Islam dan Adat Minang Kabau”,
Muktamar Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta pada tahun 1931 M,
Hamka muncul sebagai penceramah dengan judul “Muhammadiyah di
Sumatra”.

Kemudian

Pengurus

Besar

Muhammadiyah


Yogyakarta

mengangkatnya menjadi Muballigh Pengurus Besar Muhammadiyah di
Makassar.
Setelah kembali dari Makassar, Hamka mendirikan “Kulliatul
Muballighien” di Padang Panjang pada tahun 1935 M. Kemudian pada tahun
5 Fikri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia; Catatan Riwayat Hidup dan
Perjuangannya, Prisma, Jakarta, 1983, hal. 417
3

1936 M, Hamka pindah ke Medan. Bersama M. Yunan Nasution Hamka
menerbitkan Majalah “Pedoman Masyarakat”, dan selanjutnya kembali ke
Padang Panjang pada tahun 1945 M. Pada tahun 1949 M Hamka datang ke
Jakarta, dan di Jakarta ia memasuki dunia politik dengan menjadi seorang
anggota partai Masyumi dan tampil dengan usulan ide untuk menjadikan
Indonesia sebagai Negara Islam yang berdasarkan Al- Qur’an dan Sunnah.6
Pada tahun 1951-1958 M, Hamka pernah menjabat beberapa jabatan,
diantaranya anggota Badan Konsultasi Kebudayaan P & K, dosen pada
Universitas Muhammadiyah Universitas Doktor Murtopo, Pegawai Tinggi dan

Penasehat Menteri Agama RI.7 Pada masa ini perkembangan politik Indonesia
bertambah buruk setelah melaksanakan bentuk Negara demokrasi terpimpin.
Banyak para pemimpin Islam yang dipenjarakan seperti Muhammad Natsir,
Muhammad Roem, Muhammad Isa Anshari dan Buya Hamka sendiri.8
Hamka difitnah menyelenggarakan rapat gelap menyusun rencana
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, dan Lembaga Kebudayaan Rakyat
yang merupakan Lembaga Kebudayaan PKI menuduh Hamka sebagai
plagistor karya Mustafa Luthfi al-Manfaluthi. Akhirnya ia dijebloskan dalam
penjara pada tanggal 27 Januari 1964 hingga 23 Januari 1966 M sebagaimana
dalam ungkapannya, “saya meringkuk dalam tahanan sebagai kebiasaan
nasib orang-orang yang berpikiran merdeka dalam negara yang totaliter,
sesudah tanggal 23 Januari 1966 saya masih dikenakan tahanan rumah 2
bulan dan tahanan kota 2 bulan pula. Pada tanggal 26 Mei 1966 barulah
saya bebas sama sekali”.
Belajar dari pengalaman tersebut Hamka kemudian memusatkan
perhatiannya pada kegiatan dakwah. Pada tahun 1967 M setelah berdiri Orde
Baru masa kepemimpinan Mayjen Soeharto, majalah Panji Masyarakat
kembali di terbitkan dan Hamka menjadi pimpinan umumnya. Ia juga sering
6 Hamka, Islam Revolusi, Ideologi dan Keadilan Sosial, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1984,
hal.27


7 Hasyim, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung,
1989, hal. 220
8 Daliar Noer, Partai-partai Islam di Pentas Nasional ,Grafiti Press, Jakarta, 1987, hal.
46
4

dipercaya untuk mewakili pemerintah Indonesia dalam berbagai pertemuan
Islam Internasional seperti, Konferensi Negara-negara Islam di Rabat tahun
1968 M, Muktamar Masjid di Mekkah, dan seminar tentang Islam dan
Peradaban di Malaysia. Pada tahun itu juga Hamka mendapat gelar Honoris
Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia karena beliau mempunyai jasa
besar dalam perkembangan bahasa dan pengetahuan Islam.
Jasa Hamka yang paling besar dalam pemerintahan Indonesia adalah
kemampuannya memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari tahun 1975
hingga tahun 1981 ketika ia mengundurkan diri. Dua bulan setelah
mengundurkan diri, Hamka masukrumah sakit karena serangan jantung. Ia
terbaring dirumah sakit sekitar satu minggu, dan pada tanggal 24 Juli 1981
beliau menghembuskan nafas terakhirnya.9
B. Karya-karya Hamka

Hamka merupakan seorang tokoh ulama yang sangat produktif dalam
menulis, ia telah banyak menulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti, sejarah, tasawuf, filsafat, sastra, politik dan tafsir Al- Qur’an,
karyanya yang sangat populer yaitu tafsir Al-Azhar. Dalam bidang sastera,
pengamat sastera Indonesia Prof. Andies Teeuw mengakui bahwa Hamka
harus dibicarakan secara khusus sebagai seorang pengarang roman indonesia
yang bernuansa Islami yang bernilai sastera.10
Karya-karya Hamka dalam bidang sastera antara lain, Mati
mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.; Di Bawah Lindungan
Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.; Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.; Di Dalam
Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.; Merantau ke
Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.; Margaretta
Gauthier (terjemahan) 1940.; Tuan Direktur 1939.; Dijemput mamaknya,1939, dan masih ada lagi karya-karya yang lainnya yang belum dapat
penulis sebutkan disini.
9 Rusydi Hamka, Op. Cit., hal.220
10 Nasir Tamara, Hamka di Mata Hati Umat, Sinar Harapan, Jakarta, hal. 139

5


Paparan diatas merupakan bukti keterlibatan Hamka dalam dunia
sastra di Indonesia. Selain dari karya-karya mengenai sastra tersebut masih
banyak karyanya yang tidak bernuansa satra seperti, Pelajaran Agama Islam
1956, Bulan Bintang, Kenangan-kenangan Hidup jilid 1-4, autobiografi sejak
lahir tahun 1908 sampai pada tahun 1950, Sejarah Ummat Islam Jilid 1-4,
ditulis sejak tahun 1938 hingga sampai tahun 1950, Perkembangan
Tashawwuf dari Abad ke Abad,1952. Dari Perbendaharaan Lama, 1963
dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta. Islam dan Kebatinan,
1972; Bulan Bintang. Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970. Renungan
Tasauf 1985, Pustaka Panjimas, Lembaga Hidup 1984, Pustaka Panjimas,
Lembaga Budi 1983, Pustaka Panjimas, Filsafat Ketuhanan 1985, Cv.
Karunia Surabaya, Tasauf Modern 1990, Pustaka Panjimas, Pandangan
Hidup Muslim 1992, Bulan Bintang. Tafsir Al-Azhar Juz 1-30, ditulis pada
masa beliau dipenjara oleh Soekarno.
Selain dari judul-judul buku yang telah dituliskan diatas, sebenarnya
masih ada lagi buku-buku lainnya hasil dari tulisan Hamka yang belum dapat
disebutkan dikarenakan hanya judul-judulnya saja yang penulis ketahui dan
penulis belum menemukannya secara langsung. Pada sisi lain eksistensi
keulamaan Hamka dapat lihat melalui karyanya yang paling monumental

sebagaimana yang dikatakan oleh M. Dawam Rahardjo bahwa, dalam masamasa terakhir hidupnya, Buya Hamka dikenal sebagai tokoh ulama.
Keulamaannya ini dikukuhkan oleh kedudukannya sebagai Ketua Majelis
Ulama Indonesia yang pertama, yang mana prediket ini bukan hanya sematamata keputusan politik, melainkan Hamka yang sebelumnya telah diakui
sebagai seorang ulama, paling tidak dibuktikan dengan karya terbesarnya
Tafsir Al-Azhar.11

11 M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, Prilaku Politik Bangsa, Mizan,
Bandung, 1993, hal. 199
6

C. Lingkungan Sosial Kehidupan
Jika di perhatikan perjalan hidup dan karier Hamka, maka ia dapat
dikatagorikan sebagai Ulama dan sekaligus aktifis pergerakan Islam. Pada
tahun 1924 ia berangkat ke Yogyakarta, dan mulai mempelajari pergerakanpergerakan Islam yang pada masa itu sedang bergelora. Ia mendapatkan
kursus pergerakan Islam dari H.O.S. Tjokroaminoto, H. Fakhruddin, R.M.
Suryopranoto dan iparnya sendiri A.R. St. Mansur yang pada waktu itu ada di
Pekalongan.
Hamka tumbuh dan berkembang dalam masa pergerakan politik
Indonesia mulai memanas dimana perseteruan antara sayap kiri (komunis)
dan agamis serta nasionalis berkobar. Situasi seperti inilah yang secara tidak

langsung menjadikan pribadi Hamka sebagai seorang pendakwah, sekaligus
pejuang pergerakan politik berjiwa teguh yang digelutinya dibawah naungan
payung Masyumi dikala itu.
D. Pemikiran
Hamka tidak hanya dikenal sebagai Ulama, Hamka juga dikenal
sebagai pujangga dan sejarawan. Ia telah banyak melahirkan pemikiran dalam
bidang filsafat, tasawuf dan sastra. Dan diantara karyanya yang paling
monumental adalah dalam bidang Tafsir yaitu Tafisr Al-Azhar. Banyak hasil
buah pikiran Hamka yang dipublikan dalam majalah yang dikelolanya sendiri
yaitu Majalah Panji Masyarakat yang kemudian belakangan tulisan-tulisan itu
dirangkum dan dikumpulkan untuk diterbitkan dalam bentuk buku.
1. Tasawuf
Tasawuf selalu menjadi perhatian penting bagi Hamka, baginya
tasawuf merupakan bagian dari esensi Islam itu sendiri, atau dengan kata lain
tasawuf adalah dimensi spritual dari Islam. Tasawuf merupakan pengalaman
syariat Islam dalam tingkat ihsan, ia adalah ibadah yang dikuatkan dengan
pencerahan intelektual yang menuntut pemahaman spritual tentang realitas.
Hamka menegaskan bahwa tasawuf didasarkan pada keyakinan, karena ia
berlandaskan hikmah kebijaksanaan spritual yang dianugrahkan Tuhan

7

kepada siapapun yang ia kehendaki maka tasawuf merupakan titik akhir dari
perjalanan ilmu dan filsafat.12
Inti dari pemahaman kesufian Hamka sebagaimana yang dirinci oleh
Nurcholish Madjid, yaitu; Tauhid, dalam arti faham ketuhanan yang semurnimurninya, yang tidak mengizinkan adanya mitologi terhadap alam dan
sesama manusia serta pengkultusan. Kemudian tanggung jawab pribadi dalam
memahami agama. Artinya, tidak boleh “pasrah” kepada otoritas orang lain
yang mengakibatkan taklid buta. Selanjutnya ialah Taqarrub, artinya
menghayati sebaik-baiknya makna ibadah yang telah ditetapkan oleh agama,
dan melalui ibadah itu mendekatkan diri sedekat-dekatnya Kepada Allah
SWT. Terakhir, Akhlakul Karimah, yakni budi pekerti yang luhur merupakan
symbol ekspresi lahiriah keagamaan kesemuanya itu mengharuskan adanya
hubungan keduniawian yang baik. Bertasawuf artinya mengisi pribadi dengan
sifat-sifat yang ada pada Tuhan, yakni sifat-Nya yang dapat kita jadikan sifat
kita menurut kesanggupan yang ada pada kita. Bertasawuf bukan berarti
menolak hidup. Bertasawuf artinya meleburkan diri kedalam masyarakat.13
2. Filsafat dan Sejarah
Hamka senantiasa melakukan kombinasi filsafat dalam setiap
penulisannya. Hampir dalam setiap tema penulisannya melakukan pendekatan
filsafat seperti dalam buku Filsafat Ketuhan, ia menjelaskan proses
perkembangan pemikiran manusia secara filosofis dalam mecari Tuhan, mulai
dari mempertanyakan apa hakikat manusia itu sendiri hingga sampai kepada
hakikat alam semesta yang pada akhir membuktikan tentang adanya “sesuatu”
yang serba maha yaitu Tuhan itu sendiri.14
Selanjutnya dalam bidang sejarah karyanya yang paling lengkap
adalah buku yang ditulisnya dengan judul sejarah Umat Islam Jilid 1-4, yang
ditulisnya sejak tahun 1938 hingga sampai tahun 1950. Dalam buku ini
Hamka mengulas sejarah perkembangan dan peradaban Islam mulai dari
12 Hamka, Renungan Tasauf, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1985, hal. 63
13 Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di
Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 2008, hal. 17
14 Hamka, Filsafat KeTuhanan, CV. Karunia, Surabaya, 1985, hal. 13-24

8

Dinasti awal hingga sampai pada perkembangan Islam pasca runtuhnya
Dinasti Ottoman.

A. Biografi Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang
berjuang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama
Perang Padri. Perang ini merupakan peperangan yang terjadi akibat
pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan
melawan penjajahan.
Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan
seorang ulama yang memiliki cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan
mencerdaskan rakyat nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu
agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin basa.15
Biodata Tuanku Imam Bonjol
1. Nama : Muhamad Shahab
2. Tanggal Lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat, Indonesia
3. Meninggal : 6 November 1864, Minahasa
4. Kebangsaan : Minangkabau
5. Agama : Islam
6. Orang tua : Bayanuddin (ayah), Hamatun (ibu)
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya
adalah Muhammad Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun.
15 Sjafnir Aboe Nain, Memorie Tuanku Imam Bonjol. (Padang: PPIM, 2004).
Hal.33

9

Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam
Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar
Malin Basa.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam
Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa,
dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah
seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya sebagai
Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal
masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

B. Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut
melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan
ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan
kepada ajaran agama islam yang murni.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan
pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan
syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh
pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan
meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta
Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan
Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri
dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung
bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku
Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di
Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa
melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

10

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan
pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian
yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak
akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau).
Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di
bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang
waktu itu.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh
sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu
Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak
pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824.
Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan
menyerang nagari Pandai Sikek.
Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan
kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan
Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan
Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam
konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya
kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang
mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh
Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus
1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan
tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai
suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.
Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol 3 kali,
yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya
dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng
Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

11

Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh
untuk berunding. Tiba di tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang
ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke
Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia
pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat
tersebut.16
C. Kemunculan dan Perkembangan Kaum Padri
Sebelum dua dasawarsa terakhir abad ke-18, Minangkabau terkenal
sebagai

penghasil emas yang utama dengan basis andala nnya terletak di

Tanah Datar. Desa-desa penghasil emas di Tanah datar dan desa-desa yang
menjadi rute untuk ekspor emas ke pantai barat yang merupakan Laras Koto
Piliang adalah pendukung keluarga kerajaan.
Namun sejak masa-masa akhir abad itu, perd agangan emas mengalami
penurunan drastis. Pada sisi yang lain, sejak tahun 1780-an, Minangkabau di
luar Tanah Datar menemukan arah perdagangan baru. Sebagai misal, Agam
menjadi daerah penghasil kapas dan daerah perdagangan garam dari Jawa,
dan Lima Puluh Kota dengan pengolahan gambier.
Semua perdagangan ini, berbeda dengan emas yang berada di bawah
kontrol penghulu, bersifat lebih terbuka bagi perseorangan. Pada akhir dekade
1790-an hingga 1830-an Minangkabau, terutama daerah Agam dan Limapuluh
Kota, menemukan berkah lagi dengan terjadinya booming kopi dalam bentuk
meningkatnya permintaan kopi dari luar (Nusantara) dan adanya mitra
perdagangan dengan Amerika Serikat. Hal ini telah merubah secara total
perimbangan kekuasaan di dalam masyarakat Minangkabau.
Pada awalnya gerakan Padri merupakan gerakan sporadis yang ada di
berbagai tempat di Minangkabau. Dengan berlalunya waktu para pemukanya
16 Mardjani Martamin Tuanku Imam Bonjol. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional. 1984.

12

saling berhubungan satu dengan yang lain sehingga gerakan Padri menjadi
satu komunitas yang relatif terorganisir. Kekuatan kaum Padri mulai
menemukan pijakan yang kokoh ketika pada tahun 1811 Haji Miskin sampai
di Bukit Kamang dan bertemu dengan Tuanku Nan Renceh, pemuka agama
yang

juga

bervisi

sama.

Di

sana

mereka

sepakat

merencanakan

“pembaharuan” masyarakat secara total.
Mereka didukung oleh enam “pemuka” lain yang kemudian disebut
Harimau Nan Selapan (karena jumlahnya delapan orang). Mereka adalah
Tuanku di Kubu Sanang, Tuanku di Ladang Lawas, Tuanku di Padang Luar,
Tuanku di Galung, Tuanku di Koto Ambalan, dan Tuanku di Lubuk Aur.
Selanjutnya pada tahun 1813 Tuanku Lintau ikut bergabung dan
menjadi penganut fanatik ajaran-ajaran kaum Padri. Sejatinya jauh sebelum
itu, sekitar tahun 1807, Tuanku Muda dari Alahan Panjang dan nantinya
disebut Tuanku Imam Bonjol ikut memperkuat posisi kaum Padri. Melalui
tangan dingin para pemuka itu, kaum Padri –sebagaimana akan dijelaskan
nanti –berkembang menjadi gerakan yang menyebar di alam Minangkabau
dengan segala karakteristiknya dan nantinya menguasai seluruh nagari di sana.
Sejarah mencatat, kaum Padri tidak hanya melakukan “pembaharuan”
keislaman di daerah Minangkabau semata. Kelompok ini juga melakukan
“islamisasi” ke Tapanuli Selatan yang terletak di utara alam Minangkabau dan
daerah-daerah sekitarnya. Untuk daerah ini, gerakan dipimpin, di antaranya,
oleh Tuanko Rao, dan Tuanku Tambusai di bawah kendali Tuanku Imam
Bonjol.

13