Tasawuf sebagai metode terapi krisis manusia modern menurut pemikiran Buya Hamka

(1)

10

Diajukan kepada Fakultas Ushuludin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.fil.I)

Oleh: Husnul Khotimah

104033101055

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia -Nya kepada kita.

Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sebagai suri teladan kita yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang.

Dengan penuh syukur, pada akhirnya skripsi ini telah diselesaikan oleh penulis. Walaupun demikian penulis sangat menyadari, bahwa hasil dari penelitian skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan . Namun Alhamdulillah berkat bantuan dari banyak pihak akhirnya penulis dapat menyelesaikan kendala-kendala dengan baik.

Dengan ketulusan hati, melalui skripsi ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bpk Dr. M. Amin Nurdin, MA Selaku dekan Fakultas Ushuludin dan Filsafat yang telah memberikan nasehat pada penelitian skripsi ini

2. Bpk Drs.Agus Darmaji, M Fils, Selaku ketua Jurusan yang telah memberikan pengarahan pada penulis.

3. Ibu Dra. Wiwik Siti Sajaroh, M.Ag Selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak bimbingan dengan baik dan motivasi yang tiada henti pada penulis.

4. Pemimpin perpustakaan utama yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan.

5. Pimpinan perpustakaan Fakultas Ushuludin dan Filsafat yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan.

6. Para Ibu dan Bapak dosen selaku pengajar dan staf pengajar di Fakultas Ushuludin dan Filsafat yang telah membuka wawasan penulis.

7. Orang tua serta Kakak dan Adik-Adik sekeluarga di Jakarta dan jawa Timur yang telah memberikan segalanya, sumber inspirasi dan Motivasi.


(3)

8. Rony Herwindo Poernomo sumber semangat dan inspirasi yang tiada henti-hentinya mendorong penulis untuk segera lulus dan menyelesaikan skripsi dengan baik sesegera mungkin. Thanx Beyb for your love..

9. Penerjemah, Penulis dan Penerbit yang bukunya saya gunakan dalam penelitian ini.

10.Abang Agam, Dedi Mulyana, Bapak Idris Thaha, selaku penasehat yang senantiasa memberikan bimbinngan dalam penulisan skripsi ini.

11.Teman-Teman di Multy Lingua Community ( MLC ), DCHL, kawan-kawan UI dan FLP. Serta di PT. Gesindo Surin dan Education Centre of Nusa Bangsa yang selalu ada dalam suka dan duka.

Demikianlah, semoga dengan kebaikan-kebaikan yang telah saya dapatkan ini, akan mendapatkan balasan dan membuka rahmat bagi kita sekalian. Amien.

Billahi Taufiq Walhidayah

Jakarta 10 Maret 2009 Husnul Khotimah


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... iv

PEDOMAN TRANSLITRASI... v

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tinjauan dan Kegunaan Penelitian... 6

D. Sistematika Penulisan ... 7

BAB II TINJAUAN TEORITIS... 10

A. Pengertian, Sumber-sumber, dan Perkembangan Tasawuf ... 10

B. Penjelasan tentang Krisis Manusia Modern ... 23

C. Tasawuf Sebagai Metode Terapi ... 24

BAB III BIOGRAFI BUYA HAMKA ... 27

A. Latar Belakang Sosial dan Intelektual... 27

B. Pendidikan dan Pengalaman ... 30

C. Karya dan Pengaruh Tasawuf Hamka ... 37

BAB IV ANALISIS ATAS PEMIKIRAN BUYA HAMKA... 39

A. Krisis Manusia Modern... 39

B. Tasawuf dalam Perspektif Buya Hamka ... 43

C. Metode Terapi Krisis Manusia Modern ... 54

BAB V PENUTUP... 63

A. Kesimpulan ... 63

B. Saran-saran... 64


(5)

I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejak kebangkitan zaman modern, manusia Barat telah mencapai kemajuan di segala bidang. Kemajuan signifikan tercermin di dalam kehidupan yang serba mekanis dan otomat. Sehingga tidak heran, dengan perangkat sains dan teknologi mutakhir, mereka digolongkan the post industrial society. Sebuah peradaban yang telah mencapai puncak kemakmuran materil sedemikian rupa.

Kemakmuran yang berlebihan itu telah menjadikan kehidupan modern saat ini demikian keras dan tak bersahabat lagi bagi manusia. Manusia menjadi serba rasional, dan mekanisme ibarat robot atau mesin. Irama kehidupan pun sedemikian tinggi. Manusia menjadi serba berlari cepat untuk mengejar prestasi dan mewujudkan ambisi lahiriah keduniawiannya yang tak terbatas, baik untuk kepentingan individu maupun kolektif.1

Manusia tidak lagi berpijak pada kualitas kemanusiaan, melainkan berpijak pada keberhasilannya dalam mencapai kekayaan materil. Keadaan ini memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk mulia. Keutamaan dan kemuliaannya menyatu dengan kekuatan kepribadiannya, bukan bergantung pada sesuatu di luar dirinya. Karena itu, masyarakat modern mengalami depersonalisasi, kehampaan, dan ketidak bermaknaan hidup. Eksistensinya

1

Nurcholish Majid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, (Jakarta: Media Cita, 2000), h. 3


(6)

bergantung pada pemilikan dan penguasaan pada simbol kekayaan. Hasrat mendapatkan harta yang berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial. Ini didorong pandangan bahwa orang banyak harta merupakan manusia unggul.2

Seharusnya, ia sebagai penguasa di muka bumi, secara partikal berfungsi sebagai hamba Allah, sedangkan secara horizontal ia berfungsi sebagai khalifah Allah. Dengan ini manusia akan dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan hidup, dan tidak menjadi budak bagi egonya sendiri. Pengetahuan yang diraih manusia modern tidak lebih dari pengetahuan fragmentatif atau terpecah-pecah, tidak utuh lagi, dan bukan wawasan yang mendatangkan kearifan untuk melihat hakikat alam semesta secara utuh. Peradaban Modern dengan sains-sains yang mereka ciptakan, tidak dilandaskan atas cahaya intelek. Hal tersebut telah membawa manusia berisolasi kearah bawah, menuju citranya yang eksternal.3

Apabila dikaji lebih dalam, berbagai problem dan krisis yang terlihat di dalam kehidupan manusia modern, seperti krisis ekologis, kekerasan, dehumanisasi, moral, kriminalitas, kesenjangan sosial, serta ancaman kelaparan dan penyakit yang masih menghantui dunia. Berikut problem-problem yang telah merambah kehidupan domestik dan personel. Maraknya kasus-kasus percerain, penggunaan obat-obat terlarang, depresi, psikopat,

2

Ahmad Najib Burhani, Sufisme Kota, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), h. 2 Haidar Natsir, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1990), h. 6


(7)

skizofrenia dan bunuh diri. Seluruhnya merupakan perluasan dari esensi krisis yang sesungguhnya4

Esensi krisis manusia modern yang sesungguhnya adalah cara pandang manusia modern (weltanschauung) terhadap realitas. Realitas dipandang tidak memiliki sisi intrinsik atau kesakralan di dalamnya. Sehingga mempengaruhi perbuatan, kepercayaan, tingkah laku sosial dan kehidupan pribadinya. Memperlakukan sesuatu di luar dirinya dengan semena-mena, tanpa adanya “kontrol”. Kecemasan, ketakutan, stress dll, mewarnai kehidupan mereka sebagai “konsekwensi” yang harus mereka hadapi. Secara ontologis mereka hanya mengakui eksistensi-eksistensi materil saja, dan menapikan spritualistis. Padahal di sisi lain, kebutuhan manusia pada realitas hakikinya, bukan hanya kebutuhan-kebutuhan materil saja. Tetapi ada kebutuhan lain, yaitu kebutuhan spiritual yang ada secara permanen dan imortal di dalam dirinya5

Munculnya minat terhadap jalan spiritual (the spiritual path) adalah mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengatasi problem alienasi yang diakibatkan modernitas. Modernitas memberikan kemudahan hidup, tetapi tidak selalu memberikan kebahagiaan6

Pencarian khazanah spiritual yang banyak dilakukan manusia-manusia modern saat ini di latarbelakangi oleh kesadaran dan kekecewaannya atas

Moh. Thalhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 26

Said Aqil Siraj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Penerbit Mizan, 2006), h. 12 Ruslani, Wacana Spritualitas Timur dan Barat, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001), h. vi


(8)

modernitas, yang sudah dianggap tidak memadai untuk dijadikan pandangan hidup.7

Dalam situasi seperti ini sangat tepat, apabila kita mengangkat nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka), pemikiran Hamka menyajikan dimensi dalam Islam yaitu Tasawuf yang di jadikan sebagai metode terapi atas krisis-krisis yang di dahapi manusia modern, sebagaimana dia jelaskan dalam bukunya: "Tidaklah dapat diragui lagi bahwasanya tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang memengaruhi perasaan dan pikiran kaum Muslimin".8

Sepanjang kurun sejarah, jalan ini telah menciptakan orang-orang suci, orang-orang yang telah melebur dalam pengalaman batin, dan sekaligus mendapatkan keyakinan yang tidak dapat tergoyahkan (haqqul yakin), dimana tampak di dalamnya pengetahuan tentang hakikat realitas, sebagai anugrah dari yang Maha Pengasih (al-rahman).

Sehingga tasawuf dapat menyibakkan realitas kehidupan dan memenuhi kehausan spiritual yang dirasakan manusia modern yang terjebak di dalam ilusi dan keraguan. Pada akhirnya ia pun dapat menghayati kehidupan, dan menghayati arti penting menjadi hamba Allah. 9

Hal tersebut dapat berimplikasi terhadap aspek-aspek kehidupan, sebagaimana yang digambarkan dalam Visi modernitas. Yang memberikan sebuah gambaran akan hilangnya ketimpangan-ketimpangan kultural, politis,

Abdullah Azam, Kelelahan Mental Umat Islam, (Bandung: Mizan 2004), h. 9 Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1987), cet:XVI h. 20

Abduh al-Manar, Pemikiran Hamka: Kajian Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Prima Aksara, 1993), h. 7


(9)

dan ekonomis, mewujudkan kebahagiaan pribadi dan kesejahteraan umum, menyingkirkan deskriminasi seksual dan diskriminasi rasial, serta menghapuskan pertumpahan darah di muka bumi. Sebagaimana dituliskan oleh Marquis de Condoret melalui karya monumentalnya yang bisa dianggap sebagai manifesto “Janji-janji pencerahan Prancis”10

Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban Islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan ummat. Menurut Hamka, tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung dari keislaman. Hamka sering memperkenalkan konsep neo-zuhud, yaitu ajaran yang menyatakan kecintaan terhadap dunia yang tidak proporsional merupakan kenistaan. Pendekatan tasawuf semacam ini sangat relevan dalam mengatasi krisis eksistensi masyarakat modern, agar dapat menormalkan cara pandangnya tentang relasi dirinya (manusia) dengan sesamanya, pekerjaannya, dan eksistensinya.11

Hal itu menunjukkan bahwa kontribusi pemikiran keagamaan Hamka sangat signifikan dalam perkembangan masyarakat modern. Dengan Tasawuf Modern, Buya Hamka mengembalikan kedudukan Tasawuf sebagai wahana peribadatan yang mendekatkan seorang muslim dan Allah.12

Hana Djumhana Bastaman, “Makna Hidup bagi manusia Modern, Tinjauan Psikologis,dalam, Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), cet. Ke-1, hal. 143

11 Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka

Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2008), h. 3

Nasir Tamara, (ed) Hamka dimata Hati Ummat, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983), h. 31


(10)

Dari uraian di atas maka penulis melakukan penelitian terhadap pemikiran Buya Hamka sebagai materi bahasan skripsi dengan judul:

“TASAWUF SEBAGAI METODE TERAPI KRISIS MANUSIA MODERN”. MENURUT PEMIKIRAN BUYA HAMKA.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah saya paparkan di atas, penelitian ini dibatasi pada pemikiran Buya Hamka tentang tasawuf yang di jadikan sebagai metode terapi atas krisis yang dihadapi manusia modern.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pemikiran Buya Hamka tentang krisis manusia modern, meliputi penyebab serta akibat akibatnya?

2. Bagaimana pemikiran Buya Hamka tentang tasawuf?

3. Bagaimana pemikiran Buya Hamka tentang tasawuf sebagai metode terapi krisis manusia modern?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian ini adalah memberikan kejelasan terhadap pemikiran Buya Hamka tentang tasawuf sebagai metode terapi krisis manusia modern. 2. Kegunaan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk menambah khazanah bagi civitas akademika UIN Jakarta, khususnya yang berada di jurusan Ushuludin dan Filsafat

b. Dapat dijadikan sebagai stimulus bagi sivitas akademika Ushuludin UIN Jakarta, untuk mengembangkan warisan-warisan intelektual Islam


(11)

yang tidak kalah menarik dan bergunanya, apabila dibandingkan dengan tradisi-tradisi intelektual yang lain khususnya bagi para filosof dan kaum sufi Islam yang berada dalam ruang lingkup atmosfir modernitas.

D. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian kualitatif deskriptif, yaitu menggunakan pengumpulan data yang menekankan pertanyaan mengenai apa yang dipikirkan oleh peneliti sekaligus menemukan jawaban dan menggambarkan data apa adanya.

Adapun teknik pengumpulan data dalam Penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Yaitu penelaahan terhadap berbagai literatur misalnya buku, jurnal, koran, majalah, internet, dokumen-dekumen/arsip-arsip, dll. Sumber-sumber tersebut dapat dikategorikan ke dalam data primer dan data sekunder. Data primer yang dimaksud adalah karya-karya yang berasal dari Hamka sendiri yang berkaitan dengan bahasan tasawuf modern. Sedangkan data sekunder adalah berdasarkan tulisan-tulisan orang tentang Hamka, baik mengenai pemikirannya maupun tentang tasawuf modern.

Teknik pembahasan data dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Dan sebagai pedoman teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang di terbitkan oleh CeQDA cetakan tahun 2007.


(12)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I Pembahasan di awali dengan pendahuluan yang menguraikan argumentasi seputar signifikansi studi ini. Selain itu, pendahuluan di isi dengan latar belakang masalah yang menjadi landasan alas an penelitian ini dilaksanakan, batasan dan perumusan masalah menjadi pembahasan topik selanjutnya, lalu kami menguraikan tentang tujuan dan kegunaan penelitian ini, serta metode penelitian yang kami gunakan yaitu menggunakan library reseach, kemudian penjelasan terakhir tentang sistematika penulisan yang kami gunakan dalam penelitian ini.

BAB II Di dalam bab ini merupakan tinjauan teoritis atas penelitian yang saya lakukan. Adapun isi dari bab ini adalah, pengertian dari tasawuf yang ditinjau dari sisi etimologis bahasa, kemudian asal-usul tasawuf yang sejak kemunculannya sudah memberikan dimensi bagi keberagaman ajaran Islam, danpenjelasan selanjutnya tentang perkembangan tasawuf itu sendiri mulai dari awal zaman Rasulullah yang lebih dikenal dengan nama zuhud lalu berkembang pada abad 3 dengan istilah tasawuf, serta penjelasan tentang krisis manusia modern yang terjadi di zaman modern yang telah menjadi fenomena kehidupan masyarakat yang jauh dari agama dan kehidupan rohaniyah, dan memaparkan bagaimana tasawuf memberikan penilaian sebagai sebuah metode terapi utnuk menangani krisis yang melanda mereka.


(13)

BAB III Pembahasan diarahkan kepada biografi hidup intelektual Buya Hamka yang berisi latar belakang sosial intelektual beliau selama hidup dan tinggal di Padang, pendidikan dan pengalaman semasa hidupnya dalam berkarir dan berpolitik, pengembangan pemikiran beliau yang menjadi corak tasawuf akhlaki yang mana cukup memberikan andil dalam dinamika pemikiran kehidupan masyarakat saat itu dan tak lupa karya-karya beliau yang saat ini masih banyak diburu oleh berbagai kalangan.

BAB IV Bab ini menguraikan pemikiran Buya Hamka tentang tasawuf sebagai metode krisis manusia modern yang mana corak pemikiran beliau ini merupakan corak tasawuf akhlaki, yang mementingkan perbuatan baik dan meninggalkan sifat tercela. Dengan rincian sub bab sebagai berikut: krisis manusia modern yang belakangan marak terjadi akibat dari kekosongan jiwa manusia, serta beberapa pemikiran tasawuf dalam perspektif Buya Hamka yang mana pemikiran Hamka tersebut menjadi dinamika pemikiran masyarakat Indonesia untuk lebih variatif dalam mencari corak pemikiran, karena hamka lebih mementingkan perbuatan yang baik dan akhlak yang terpuji sebagaimana agama mengajarkan kita, dan pada akhirnya di paparkan pula bagaimana tasawuf sebagai metode terapi krisis manusia modern.

BAB V Penutup yang terdiri dari kesimpulan secara singkat dari tasawuf yang telah kami paparkan dan saran-saran untuk perbaikan skripsi bagi penulis untuk menjadi motivasi bagi kita semua dan pembaca sekalian.


(14)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian, Asal-usul dan Perkembangan Tasawuf 1. Pengertian Tasawuf

Istilah tasawuf menjadi sesuatu yang menarik perhatian bagi sebagian ilmuwan untuk mengkaji fenomena kehidupan religius yang dipandang unik. Adapun asal kata tasawuf secara etimologis dapat dikategorikan sebagai berikut:

a. Shifa yang artinya suci bersih, ibarat kilat kaca

b. Shuf artinya Bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki tasawuf itu memakai baju dari bulu binatang, karena benci kepada pakaian yang indah-indah

c. Shuffah ialah segolongan sahabat-sahabat nabi yang menyisihkan dirinya di suatu tempat terpencil di samping masjid nabi

d. Sufanah ialah semacam kayu yang tumbuh di padang pasir tanah arab Tetapi setengah dari ahli bahasa dan riwayat terutama di zaman akhir-akhir ini mengatakan bahwa perkataan “sufi” itu bukanlah dari bahasa Arab tetapi bahasa Yunani lama “theo-sofie” yang artinya ilmu ketuhanan.kemudian di Arab kan dan di ucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi “tasawuf”13

Dalam kajian ilmiyah, menurut para ilmuwan dari sekian banyak kesimpulan dan argumentasi tentang asal-usul tasawuf, hanya yang keempat inilah yang memiliki akurasi dibandingkan dengan yang lainnya.14

13

Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1977), cet ke-XII h. 17 Abu al-wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), cet. Ke-2 h. 21


(15)

Walau dari manapun asal pengambilan kata itu, entah dari bahasa Arab ataukah Yunani sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan kaum Tasawuf, atau kaum sufi itu ialah kaum yang telah menyisihkan diri dari orang banyak, dengan maksud membersihkan hati, seperti kilat kaca terhadap Tuhan, atau memakai baju yang sederhana, yang tidak menyerupai pakaian orang dunia, biarkan hidup kelihatan kurus kering seperti kayu dipadang pasir, atau memperdalam penyelidikan tentang perhubungan makhluk dengan khaliknya.15

Menurut Drs. H. A Mustofa. Tasawuf adalah: “Suatu kehidupan rohani yang merupakan fitrah manusia dengan tujuan untuk mencapai hakikat yang tinggi, berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah, dengan jalan mensucikan jiwa, berikut dengan melepaskan jiwanya dari belenggu jasadnya, di samping itu juga mereka melepaskan jiwanya dari noda-noda sifat dan perbuatan yang tercela.16

Dalam hal ini tasawuf dapat dipahami sebagai jalan spiritual. Jalan yang memberikan cara kepada seseorang untuk dapat sampai sedekat mungkin dengan memberikan cara kepada seseorang untuk dapat sampai sedekat mungkin dengan Tuhan, dengan melakukan disiplin-disiplin yang dapat memungkinkan perjalanannya menuju Tuhan melalui ketersingkapan (kasyaf). Di mana dapat terjalin komunikasi langsung pada hirarki tertinggi dari diri manusia yaitu ruh, Sebuah komunikasi yang dapat dipahami dalam pengalaman bathin. Dimana

15

Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panji mas, 1977 ), h. 17

16


(16)

ketersingkapan meleburkan pengetahuan yang dapat menyingkapkan hakkikat dari realitas wujud sebagai anugerah dari Yang Maha Pengasih17

Menurut Dr. Abu Al-wafa Tasawuf adalah moralitas-moralitas berdasarkan Islam. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu al-Qayyim dalam Madarij al- Salikhin. “Para pembahas ilmu ini telah sependapat, bahwa tasawuf adalah moral. Al-Kattani berkata: “Tasawuf adalah moral. Barang siapa diantara kalian semakin bermoral, tentu jiwanya pun semakin bening.” Selanjutnya Dr. Abu Al-wafa menerangkan: “Dengan pengertian ini jelas bahwa tasawuf berarti semangat Islam, sebab seluruh hukum Islam didadarkan pada landasan moral.”18

Memang tidak mudah untuk mendapatkan pengertian tasawuf, sebab secara historis tasawuf telah melewati berbagai fase dari setiap pengalaman-pengalaman batiniah para penempuhnya. Para sufi selalu berusaha untuk mengungkapkan pengalamannya dalam kerangka ideologi dan pemikiran yang berkembang di tengah masyarakat pada zamannya, terhitung sejak masa awal dan kedua Hijriyyah yang diyakini sebagai cikal bakal tasawuf, sampai pada para sufi kontemporer. Dari sudut pandang sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultur dan realitas sosial kehidupan umat manusia. Tasawuf telah hadir dan mengejawantahkan dirinya dalam institusi-institusi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan dinamika ruang dan waktu.19

Kendati demikian, tasawuf pada esensinya adalah kehidupan rohaniyah. Keragaman pemahaman tentang tasawuf tidak lepas dari sisi mana kita melihat.

Hamka, Renungan Tasawuf, (Jakarta: Pustaka Panji Mas 1985), h. 2

Abu al-wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka,1997), cet. Ke-2 h. 10-16

19


(17)

Sesungguhnya seluruh pengertian-pengertian tentang tasawuf tidak lepas dari sisi mana kita melihat. Sesungguhnya seluruh pengertian-pengertian tentang tasawuf tidak lepas dari latar belakang, berikut tujuan-tujuan dari para penempuhnya. Beberapa sumber Al-Qur’an memang menyatakan tentang hubungan dan kedekatan antara manusia dengan Tuhan. Di antaranya:

(QS.Al-Baqarah. 2: 186)

Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)- Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Dr. Harun Nasution mengatakan demikian, bahwa Tuhan mengatakan ia dekat dengan manusia dan mengabulkan permintaan yang memintanya. Oleh kaum sufi da’a disini diartikan berseru, yaitu Tuhan mengabulkan seruan yang ingin dekat kepada-Nya.20

Dalam ayat ini, Dr. Harun Nasution mengatakan bahwa: “Kemana saja manusia berpaling, ia akan berjumpa dengan Tuhan. Demikianlah dekatnya manusia dengan Tuhan. Bahkan di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa Tuhan

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan BIntang, 1999),cet. Ke-10. h. 57


(18)

lebih dekat daripada urat nadi yang ada di lehernya, dan masih ada ayat-ayat lain yang berhubungan dengan hal ini.21

Seorang sufi dalam rangka pendekatan diri dengan Allah SWT, selain melakukan disiplin spritual penyucian jiwa, ia pun harus menempuh jalan tertentu yang sangat rumit. Jalan tersebut dinamakan maqam atau stasiun yang harus di laluinya, adapun jumlah maqam yang ditempuh oleh setiap sufi tidak tentu sama. Abu bakar Muhammad al-Kalabadi mengungkapkan, maqam-maqam yang harus dilalui yaitu: Taubat, zuhud, shabar, faqr, tawadhu, taqwa, tawakal, ridha, mahabbah, dan ma’rifah. Sedangkan maqam dalam al-Ghazali berawal dari tauhid, wara, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, kerelaan hati.22

Tasawuf merupakan dimensi batin Islam (esoterik), Dapat dibedakan dengan masalah keimanan dan syari’ah, karena dua hal tersebut menitik tekankan pada dimensi eksoterik Tasawuf digambarkan sebagai sebuah aktivitas dalam bentuk pendakian spiritual yang bersifat ruhiyah.

Tentang perbedaan tersebut Ibnu khaldun berpendapat

Ilmu agama itu menjadi dua bagian yang satu berkaitan dengan fuqaha dan para pemberi fatwa, yaitu mengenai hokum-hukum ibadah yang umum, adat-istiadat, maupun niaga. Dan yang satu lagi berkaitan dengan para sufi yang melakukan latihan rohaniyah, intropeksi diri, memperbincangkan rasa dan intuisi yang ditempuh dalam perjalanannya, dan cara peningkatan diri dari satu rasa ke rasa yang lain, ataupun menerapkan terminology-terminologi yang berkaitan dengan hal tersebut.23

Dalam kitab al-Lu’ma, seperti yang di tulis oleh Abu al-wafa’ Taftazani bahwaal-Thusi menjelaskan tentang posisi ilmmu bathin (esoteris) dan ilmu lahir

21

Ibid, h. 57

22

Ibid,. h. 60

Abu al-wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani,. Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), cet. Ke-2, h. 92-95


(19)

(esoterik). Kedua ilmu tersebut merupakan pengertian yang terkandung di dalam syari’at. Hal ini pun terlihat di dalam karya al-Qusyairi yaitu, Risalah al-Qusyairiyah. Bahwa: “Syariat (ilmu eksoterik) berkaitan dengan konsistensi seorang hamba Allah, sedangkan hakikat (ilmu esoterik) adalah penyaksian.”24

Yang dimaksud dengan tasawuf di dalam penelitian ini adalah spiritual, yaitu tasawuf sebagai jalan “mendekatkan diri” kepada Allah. Sehingga dengan kedekatan seorang hamba kepada-Nya, dapat membuka pintu rahmat yang dapat memberikan kejelasan tentang hakikat realitas yang sesungguhnya.

2. Sumber-sumber tasawuf

Sumber-sumber tasawuf dapat ditelusuri dari sumber Islam yaitu Al-Quran dan Sunnah.25 Adapun teori-teori lain tentang sumber-sumber tasawuf sebagaimana dikemukakan oleh para orientalis, yang menyebutkan bahwa asal-usul tasawuf bukanlah dari ajaran Islam, melainkan dari luar ajaran Islam. Hal ini sebagaimana di uraikan oleh Dr. Harun Nasution, dengan uraian sebagai berikut:

a. Pengaruh para rahib-rahib Kristen yang hidup sederhana dan mengutamakan kehidupan spiritual.

b. Pengaruh filsafat mistik Pytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal. Meyakini bahwa roh terpenjara di dalam raga. Dengan demikian manusia harus berusaha melepaskan dan membersihkannya, dengan

24

Ibid

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan BIntang, 1999),cet. Ke-10, h. 57


(20)

berusaha meninggalkan kehidupan materil dan berontemplasi untuk mendapat kebahagiaan yang abadi.

c. Filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa realitas terpancar dari zat Yang Maha Esa.

d. Ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atma dan Brahman.

e. Ajaran Budha dengan paham nirwananya. Orang yang ingin mencapai nirwana harus masuk kepada kehidupan kontemplatif dan meninggalkan kehidupan duniawi.26

Aspek-aspek eksternal tersebut hanyalah sebatas pengaruh yang menambah khazanah tasawuf sebagaimana ia menghasilkan pemahaman-pemahaman yang sangat beragam. Di dalam penelitian ini aspek-aspek tersebut adalah aspek-aspek yang hanya mempengaruhi interpretasi-interpretasi para sufi terhadap sumbernya yaitu Al-Qur’an dan sunnah.

3. Perkembangan Tasawuf

Para ilmuwan yang mengkaji tasawuf mengindikasi asketisme (zuhud )pada masa abad pertama dan kedua Hijriyyah sebagai cikal bakal dari tasawuf. Asketisme di sini adalah ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala-pahala akhirat, dan memelihara diri dari adzab-azab akhirat. Hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan penuh, sedikit makan maupun minum, banyak beribadah dan mengingat Allah, dan berlebih-lebihan dalam merasa berdosa, tunduk mutlak

Harun Nasutionh. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan BIntang, 1999),cet. Ke-10, h. 55


(21)

kepada kehendak Allah, dan berserah diri kepada-Nya. Asketisme ini mengarah kepada tujuan moral.27

Ajaran Islam menjadi faktor utama dalam asketisme. Karena di dalamnya terdapat ajaran tentang zuhud. Ada pula beberapa faktor lain yang menyebabkan umat Islam pada masa itu memiliki kecenderungan kuat terhadap pola hidup asketis.28

Abu al-Afifi mengatakan bahwa salah satu faktor perkembangannya adalah “revolusi rohaniah kaum muslim terhadap sistem sosial politik yang berlaku.” Pada waktu itu posisi Islam sebagai kekuatan politik telah menuai hasil dari ekspansinya ke berbagai wilayah, setelah berhasil menaklukkan imperium Persia, dimana umat Islam berkecukupan dalam hal materil dan berada dalam keadaan ekonomi yang kuat. Keadaan itu ternyata telah membawa perpecahan akibat perbuatan kekuasaan. Konflik-konflik politik sejak akhir masa khalifah Utsman ibn Affan, mempunyai dampak signifikan terhadap kehidupan religius, sosial dan politik kaum muslim, kira-kira sampai pada masa kekhalifahan Bani Umayyah. Faktor berikutnya adalah pengaruh dari agama Masehi. Faktor ini hanya sebatas pengaruh bukan pada tataran sumber. Karena yang dijadikan sumber adalah Al-Qur’an dan sunnah.29

Pada abad ini para asketis mendasarkan amalnya pada rasa takut pada tokoh-tokoh sebelumnya seperti Hasan al-Basri, lebih mengutamakan hal praktis,

Abu al-wafa’ al Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), cet. Ke-2, h. 55-90

28

A. Mustofa,. Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1999),cet. Ke-2, h 209-214

29

Abu al-wafa’ al Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), cet. Ke-2, h. 55-68


(22)

berbeda dengan Rabi’ah al-Adawiyyah yang melakukan analisis terhadap ajaran-ajarannya tentang cinta Ilahi. Rabi’ah al-Adawiyyah bukan hanya terkenal karena kata cinta. Tetapi dia yang pertama-tama menganalisa pengertian cinta dan menguraikannya, antara yang berdasarkan rasa ikhlas dan tulus dengan cinta yang mengharapkan pamrih.30

Tasawuf pada periode ini telah mengarah pada suatu sistem yang sempurna. Bahasan ditekankan pada permasalahan moral, tingkah-laku dan peningkatannya, pengenalan intuitif langsung kepada Allah, kefanaan dalam realitas mutlak, Allah serta pencapaian ketentraman kalbu ataupun kebahagiaan. Para sufi menggunakan simbol-simbol dalam menggambarkan hakekat realitas-realitas tasawuf. Tasawuf ditandai dengan adanya ciri-ciri psikologis disamping ciri-ciri moral.31

Di sini Tasawuf dapat digolongkan menjadi dua aliran. Aliran pertama adalah para sufi yang berpandangan moderat, sedangkan aliran yang kedua memiliki kecenderungan atau terpesona dengan keadaan fana. Pada aliran kedua menumbuhkan konsep-konsep hubungan antara manusia dengan Tuhan, seperti penyatuan (hulul) dan sedikit banyak aliran mereka berkecenderungan terhadap metafisika. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah Abu Yazid Bustami dan al-Hallaj. Ajarannya telah sampai pada pemikiran tentang penyatuan dan mendorong terjadinya penyatuan tersebut.32

30

Ibid, h. 82-88

31

A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1999),cet. Ke-., h. 219

32

Abu al-wafa’ al-Ghanimi al-taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), cet. Ke-2 h. 95


(23)

Aliran kedua inilah yang kemudian memberikan corak dan pengaruh terhadap para sufi periode selanjutnya. Perkembangan aliran ini menimbulkan reaksi-reaksi kuat, bahkan ada usaha memberikan koridor atau batasan-batasan dalam tasawuf yang dianggap telah mengalami banyak penyimpangan dari sumber al-Qur’an dan sunnah khususnya dalam aqidah Islam.

Kemunculan tokoh-tokoh sufi berikutnya lebih memberikan tekanan terhadap pembaharuan-pembaharuan di bidang tasawuf. Sebuah usaha untuk mengarahkan umat Islam pada pemahaman-pemahaman al-Qur’an dan sunnah yang lebih otentik, di dalam perspektif sunni. Memang pada abad ke lima Hijriyyah, aliran kalam dari ahlus sunnah wal jama’ah berada pada puncaknya dan memiliki dominasi kuat. Dengan kritikan-kritikannya yang keras terhadap keekstriman tasawuf Abu Yazid al-Bustami dan al-Hallaj maupun sufi-sufi lain yang ungkapan-ungkapannya terkenal ganjil, termasuk kecamannya terhadap berbagai bentuk penyimpangan lain yang mulai timbul di dalam tasawuf.33

Di dalam hal pembaharuan tasawuf, tokoh yang menonjol adalah al-Qusyairi dan al-Hawari. Kemudian pada penggal kedua abad ke lima Hijriyyah metode keduanya dalam pembaharuan diikuti oleh al-Ghazali. Dari tiga tokoh tersebut, tasawuf sunni memiliki pengaruh kuat yang begitu dalam, terpancang untuk jangka waktu yang sangat panjang.

Salah satu tokoh yang lain adalah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad al-Anshari yang lebih dikenal dengan al-Harawi. Dalama karyanya manazil al-Sa’irin ila Rabb al-‘Alamin, ia melakukan reinterpretasi terhadap salah satu

33


(24)

doktrin tasawuf yang berhubungan dengan kefanaan yang menjadi pusat perhatian pada saat itu. Dalam bukunya itu, dijelaskan tentang prinsip-prinsip yang menjadi batasan bagi seseorang yang hendak melakukan perjanjian rohani agar terpelihara dari penyimpangan.

Menurut al-Harawi, ketika seseorang yang berada dalam tingkatan fana berpotensi mengucapkan ucapan ganjil (syatani). Karena menurut al-Hawari: ”Hakikat dari kefanaan adalah ketidaksadaran atas segala sesuatu selain Yang Disaksikan, bahkan juga ketidak sadaran terhadap penyaksiannya berikut dirinya sendiri.” Menurut al-Harawi seseorang yang mengucapkan ucapan ganjil merupakan bagian dari ketidaktentraman di dalam bathin, diakibatkan dari kondisi tersebut. Dimana kejamakan sirna dalam kesatuan. Selanjutnya menurut al-harawi: ”Ketentraman itu timbul dari perasaab ridha atas bagian yang diterima. Ketentraman tersebut bisa mencegah ungkapan ganjil (buruk), dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batasan tingkatannya.” Jadi seseorang harus menanamkan di dalam kalbunya yang paling dalam berupa batasan. Bahwa tingkatan kedudukannya tidak lebih dari seorang hamba.34

Seiring perkembangan tradisi intelektual di dunia Islam yang begitu pesat di penggal kedua abad Hijriyyah. Para sufi-sekaligus pemikir Islam-pada saat itu bukan hanya disibukkan dengan permasalahn doktrinal di dalam tasawuf, sebagaimana al-Qusyairi dan al-Harawi. Hal ini tidak lepas dari permasalahan filsafat, teologi, dan pengaruh perkembangan aliran batiniyah Syi’ah. Nama al-Ghazali mulai mencuat pada abad ini. Dengan wawasan dan pengetahuannya yang

34


(25)

bercorak ensiklopedis, sekaligus kritis –dengan kritik-kritiknya yang tajam- dan hal lain yang menjadi pertimbangan adalah kedudukannya sebagai ulama yang gigih membela tasawuf. Maka tidak heran pada masanya ia digelari Hujjatul Islam

di kalangan ummat. Ini menjadi tolak ukur bagi posisinya yang terkemuka.35 Pada masa al-Ghazali dapat di katakan bahwa tasawuf telah sampai pada metodenya yang lebih praktis dan teliti. Petunjuk bagi para penempuh jalan tasawuf telah di deskripsikan secara komprehensif oleh al-Ghazali di dalam karya-karyanya seperti di antaranya Ihya’ ‘Ulum al-Din. Tasawuf sunni telah memiliki dominasi kuat dibandingkan tasawuf-tasawuf lain yang cenderung tersisihkan di bawah pengaruh kuat al-Ghazali.36

Pada jangka satu abad kemudian mulai terlihat adanya pengkompromian antara ajaran tasawuf dan filsafat. Yang sekaligus memberikan coraknya pada aliran tasawuf ini. Aliran ini dikenal dengan tasawuf filosofis, Pada esensi ajaran tersebut berupa pemaduan antara visi dan misi rasional. Dalam ajarannya aliran tasawuf ini banyak mengadopsi terminologi-terminologi ajaran filsafat yang sudah disesuaikan dengan ajaran tasawuf yang mereka anut. Menurut Dr. abu al-wafa’, yang didasarkan pada para pengkaji tasawuf filosofis. “Perhatian para penganut aliran ini terutama diarahkan untuk menyusun teori-teori wujud berdasarkan rasa

(dzawq) yang dijadikan dasar bagi tasawuf mereka. ”Walaupun aliran tasawuf ini menggunakan termonologi filsafat di dalam doktrinnya.

Aliran tasawuf ini dari satu sisi lebih dikenal dengan istilah hikmah sebagai sintesa dari tasawuf dan filsafat. Tokoh yang pertama kali

35

Ibid, h. 148

36


(26)

memperkenalkan istilah ini adalah al-Syuhrawardi al-Maqtul dalam karyanya yang berjudul Hikmah al-Isyraqi. Beliau diyakini sebagai tokoh pertama aliran tasawuf jenis ini, yang berhasil menggambarkan realitas pengetahuan intuitif dalam kerangka pemahaman yang bersifat rasional.

Walaupun pada abad ini dalam perspektif perkembangan tasawuf lebih difokuskan pada jenis tasawuf falsafi tetapi pada kenyataan sejarahnya tasawuf sunni dibawah pengaruh al-Ghazali tetap mengalami perkembangan pesat. Tasawuf praktis dan konseptual al-Ghazali tetap memiliki pengaruh.

Dr. Abu al-Wafa’ menyebutkan bahwa: Periode abad keenam dan ketujuh HIjriyyah ini pun tidak kalah pentingnya dengan periode-periode sebelumnya. Pada periode ini justru tasawuf telah menjadi semacam filsafat bagi sebagianmasyarakat Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturan-aturan, prinsip system khusus; dimana sebelumnya ia hanya dipraktekkan secara individual, dalam dunia Islam tampa adanya ikatan satu sama lain.37

Hamka menanggapi perkembangan tasawuf dengan sangat teliti, Ia mengatakan bahwa perkembangan tasawuf dalam percaturannya dengan pergerakan waktu dan perubahan-perubahan sosial, hanya dalam bentuk-bentuk aksidentalnya saja, tidak pada tingkatan prinsipil. Ia sendiri pun dalam pemikiran tasawuf lebih kepada menyesuaikan dengan kondisi-kondisi kemodernan. Mengemas tasawuf agar dapat diterima dikalangan masyarakat modern.

Ia memperkenalkan tasawuf kepada masyarakat modern, bahwa Islam memiliki tradisi esoterik yang merupakan bagian integral sekaligus jantung dari ajaran Islam. Ia menawarkannya sebagai metode terapi atas manusia modern yang sedang mengalami krisis.

37


(27)

Sehingga menurut saya tasawuf dalam perspektif Hamka lebih dapat diteima secara luas dalam dunia kontemporer. Menimbang posisi Hamka, dalam hal ini ia selain seorang ulama, ia adalah seorang penulis dalam berbagai disiplin ilmu seperti sastra, filsafat, tafsir, dan filsafat. Yang mempunyai cita-cita terciptanya system pendidikan modern38

B. Penjelasan tentang Krisis Manusia Modern

Manusia modern yang dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah manusia dengan cara pandangnya yang didasarkan pada asumsi-asumsi filosofis, yang di antaranya yaitu rasionalisme dan sains-sains modern, bukan cara pandang yang sempit, mengisolasi diri, yang sejatinya adalah ajaran yang tidak melenceng dari ajaran hakikat Islam sehingga menjadi khalifah di muka bumi ini.39

Dalam penelitian ini, cara pandang manusia terjebak di dalam berbagai problem dan krisis, khususnya sejak manusia mulai memasuki milenium ke tiga ini, yang sekaligus merupakan krisis kompleks dan mulitidimensional. Krisis ekologis, kekerasan, moral, kriminalitas, kesenjangan sosial, serta ancaman kelaparan dan penyakit yang masih menghantui dunia. Dan problem kehidupan pada era reformasi ini pun telah merambah kehidupan personal. Terbukti makin maraknya Kasus-kasus yang sangat memprihatinkan kita semua.40

Dengan maraknya kasus-kasus yang diakibatkan oleh krisis di dunia modern ini berkaitan dengan bagaimana Cara kita hidup dan cara pandang kita.

38

Biografi Hamka “Ensiklopedi Islam Indonesia” disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ketua Prof. Dr. H. harun Nasution, (Jakarta: Penerbit Djambatan 1992) h. 294

Husein Harianto.,Paradigma Holistik, ( Jakarta: Penerbit Teraju 2003 ). h. 6-8

40


(28)

Citra yang dimiliki manusia tentang realitas, akan mempengaruhi perbuatan, kepercayaan, tingkah laku sosial dan kehidupan pribadi manusia itu sendiri.41 Cara pandang tersebut di atas telah menciptakan kekacauan, yaitu sebuah kondisi yang sedemikian rupa berbahaya dan menuntut sebuah keputusan untuk penanganan secara intensif untuk menangani krisis tersebut.42

Esensi dari krisis manusia modern pada dasarnya adalah bahwa cara pandang manusia modern yang serba mekanis dan memandang sesuatu dengan materialistis sebagaimana di sebutkan di atas ternyata sudah tidak memadai lagi dan tidak relevan di praktekkan dalam kehidupan nyata saat ini, karena pada akhirnya mereka terjebak pada sebuah kondisi dimana mereka berada di dalam keraguan akan adanya jalan lain yang bisa dijadikan pegangan hidup. Mereka terjebak di dalam kabut kegelapan yang tidak dapat memungkinkannya untuk memilih antara kebenaran yang benar-benar riil dan ilusi. Setelah mereka sadari bahwa modernisme yang telah mereka jadikan pandangan hidup, ternyata tidak selalu berkorelasi positif terhadap diri dan lingkungannya.

C. Tasawuf Sebagai Metode Terapi

Di dalam penelitian ini penulis mengemukakan bahwa tasawuf bisa dijadikan sebagai metode terapi dalam penanganan krisis yang terjadi. Tasawuf bisa dijadikan sebagai cara yang sistematis atau cara yang teratur dan berpikir dengan baik dalam melakukan penyembuhan. Hal ini dimaksudkan untuk

41

Ibid., h. 24

Tim Penyunting Pusat pengembangan dan Pembinaan Bahasa (ed.), “Krisis”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1990), cet. Ke-4, h. 465


(29)

pencapaian sebuah tujuan secara efektif, dengan didasarkan pada tasawuf dari pemikiran Buya Hamka.43

Metode terapi di dalam penelitian ini menitiktekankan pada pendekatan holistik dan tidak ditujukan kepada pendekatan yang bersifat partikular dari setiap problem-problem yang dihadapi manusia modern. Maksudnya, secara teknis tidak menitiktekankan pada aspek-aspek mentalitas manusia, seperti depresi, psikopat, dan stress dll. Tetapi ditujukan kepada esensi krisis yang sesungguhnya. Tentunya ini telah disesuaikan dengan pemikiran Hamka yang akan dibahas lebih lanjut di dalam bab berikutnya.

Untuk memahami konteks ini, perlu kiranya kita melakukan penelusuran atas hubungan tasawuf dengan terapi. Terapi dalam konteks keilmuan di identikkan dengan permasalahan medis yang bersifat klinis. Tentu saja tasawuf tersisihkan di dalam klaim riset ilmiah ini. Ketidaklayakan tersebut dilihat dari sisi metodologi keilmuan tasawuf yang mengandalkan pola pengetahuan intuitif. Sebagaimana pandangan Fazlur Rahman: “Kecenderungan kaum sufi guna mengapresiasikan masalah pengobatan hanya melalui pemahaman intuitif, tanpa Kajian sistematik ilmiah berdasarkan hukum-hukum alam sebagaimana yang dikemukakan dalam ilmu ilmu kedokteran.”44

Di kalangan dunia Islam sendiri, tasawuf -dalam hal ini para sufi- dipandang tidak memiliki kontribusi terhadap perkembangan ilmu medis,

43

Ibid., “Terapi”, h. 580

44

Amsal Bahtiar, Tasawuf dan Gerakan Tarekat, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2003), h. 125-134


(30)

khususnya sejak kemajuan pesat di paruh abad keempat Hijriyyah. Dengan ditandai oleh kemunculan Abu ‘Ali Husein ‘Abdullah Ibnu Sina.

Literatur- literatur klasik Islam dipandang telah membuktikan, bahwa ilmu tersebut bukan maju ditangan para sufi, melainkan filosof, fuqaha’, politisi (penguasa) dan para hartawan-dermawan. Pustaka-pustaka Islam menyebutkan mereka yang berjasa dalam ilmu ini seperti: Ibnu Sina yang menulis Al-Qanun fi al-Tibb san Al-Syifa’, Abu Zakariyya al-Razi yang menulis Hidayah al-Hukama’

(sejarah para dokter dan filosof), Abu ‘abdullah Muhammad Dzahabi, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah penulis karya Al-Tib al-Nawawi (pengobatan Nabi), dua dari yang tercantum terakhir adalah muhaddits dan selebuhnya adalah filosof. Semua sarjana ini menulis seluruh tatacara pengobatan rasulullah, baik yang berkaitan dengan penyakit hati maupun lahir, baik melalui pengobatan alami, Ilahi maupun melalui kombinasi antara keduanya.45

Terapi di dalam penelitian ini merupakan usaha untuk memulihkan keadaan yang sedang sakit, sebagaimana dalam kamus besar bahasa Indonesia.46 Tetapi spesifikasinya lebih kepada pengobatan atau penyembuhan penyakit hati (spritualitas). Seperti terdapat di berbagai literature dari para sufi seperti Jalal al-Din Rumi, al-Ghazali, Ibnu al-‘Arabi dan sebagainya.

Diharapkan dari efektifitas tasawuf yang dijadikan sebagai metode terapi ini, dapat menyembuhkan manusia modern dari krisis yang dihadapinya. Pada

45 Dr. Abdurrahman Abdul Khaliq, Tasawuf dan Islam (Jakarta: Penerbit AMZAH,

2000), h. 2

46

Tim Penyunting Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (ed.), “Terapi”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1990), cet. Ke-4


(31)

akhirnya keraguan dapat melebur di dalam pengalaman batiniah yang tidak akan tergoyahkan.


(32)

27 A. Latar Belakang Sosial dan Intelektual

Buya Hamka adalah salah satu seorang tokoh besar islam Indonesia yang sangat populer setelah zaman kemerdekaan. Hamka tidak hanya dikenal sebagai ulama dan pemuka Islam, Disisi lain beliau pun seorang budayawan, sejarawan, dan juga seorang tokoh Muhammadiyah yang sangat besar peranannya dalam mengembangkan faham dan cita-cita Muhammadiyah.

Di tepi danau Maninjau, di suatu kampung bernama Tanah sirah, termasuk daerah negeri sungai batang. Pada hari ahad petang malam senin tanggal 13 Muharram 1326 H atau tanggal 16 Februari 1908, lahirlah seorang Bayi laki-laki dalam keluarga ulama Dr. H. Abdul Karim Amrullah47. Ayahnya Dr. H. Abdul Karim Amrullah merasa sangat bahagia lantaran yang lahir dari rahim istrinya Siti Syafiyah adalah seorang bayi laki-laki yang selalu di dambakannya. Menurut nenek Hamka, ayahnya sangat ingin mempunyai anak lakilaki yang jika nanti sudah dewasa akan di kirim ke Mekkah untuk belajar agama agar nantinya menjadi ulama seperti dirinya. Hal ini dikisahkan sendiri oleh Hamka dalam bukunya Kenang-Kenangan Hidup.

Waktu kelahiran Hamka, Ayahnya bergumam tentang makna sepuluh tahun, ketika beliau ditanya apa makna sepuluh tahun itu, beliau menjawab; sepuluh tahun ia akan dikirim belajar ke Mekkah, supaya kelak ia akan menjadi

47

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta, Bulan Bintang 1974), Jilid I, cet Ke-3, h 7-9


(33)

orang alim seperti aku pula, seperti neneknya, dan seperti neneknya yang terdahulu.48

Predikat keulamaan Hamka yang melekat pada dirinya adalah faktor keturuan, terutama dari ayah dan kakeknya. Ayahnya adalah seorang ulama terkenal di Sumatera Barat, sewaktu muda Hamka dikenal dengan nama Haji Rasul yang dikenal sebagai tokoh ulama ”kaum muda” gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau.49 Kakek Hamka adalah seorang ulama penganut tarekat Naqsyabandiyah,50 keturunan salah satu pahlawan Paderi Abdul Arif, yang bergelar Tuanku Pauh Pariaman atau Tuanku Nan Tuo yang menyiarkan Islam ke Padang Barat sampai Maninjau.51

Hamka kecil diberi nama Abdul Malik, nama itu di ambil dari Dr. Haji Abdul Karim Amrullah syekh Ahmad Khatib di Mekkah, yang bernama Abdul malik pula.52 Hamka mengawali pendidikannya dengan membaca Al-qur’an pada ayahnya. Setahun kemudian Abdul Malik telah berusia tujuh tahun, barulah ayahnya mendaftarkannya sekolah desa (sekolah dasar) pada pagi hari, kemudian di masukkan lagi sekolah diniyah (sekolah agama) yang belajar sore harinya.

Pada waktu malam hari Hamka kecil mengaji pada kakak perempuannya seperti yang di utarakannya “…bila anak telah khatam mengaji Al-Quran (juz

48

Ibid ., h. 9

Rusydi Hamka, Pribadi dan martabat Buya Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1993), cet. Ke-2, h. 1

50

Suatu ajaran tarekat dengan menghadirkan guru dalam ingatan. Cara ini harus ditempuh oleh penganutnya bila mereka sedang mengerjakan Shuluk

51

Hamka, Ayahku , (Jakarta: Uminda,1992), cet. Ke-4, h. 46

52


(34)

‘amma), diadakan upacara khataman “.53 Namun di sekolah dasar Hamka kecil hanya sampai kelas 2 SD.

Rutinitas kegiatan belajar yang begitu padat, membuat Hamka kecil merasa tertekan, ditambah lagi dengan sikap ayahnya yang otoriter sehingga menimbulkan perilaku menyimpang dalam pertumbuhan Hamka. Hampir setiap hari Hamka bergaul dengan para “Parewa” , 54 sehingga Hamka terpengaruh dengan tingkah laku kelompok itu seperti berkelahi, menyabung ayam, memanjat pohon jambu, dan mengambil ikan di tebat milik orang lain.55

Pada tahun 1918, ayah Hamka Haji Rasul mendirikan madrasah yang bernama “Thawalib School” kemudian ayahnya memasukkan Hamka kecil ke sekolah tersebut, dengan harapan jika dewasa Hamka juga menjadi ulama seperti dirinya.56

Sementara Hamka kecil mencoba terus untuk menyesuaikan hidupnya dengan prinsip sang Ayah, Sejak kecil Hamka hidup terlantar dalam kekecewaan, Ia lebih banyak bermain dari pada belajar serius, sehingga pada akhirnya“ kenakalannya” berubah menjadi semacam “pemberontakan”.57

Berbagai rintangan yang dilalui Hamka, tidak melemahkan semangatnya untuk ke tanah Jawa. Setahun kemudian ketika Hamka berusia 16 tahun, tanpa

53

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta, Bulan Bintang 1974), Jilid I, cet Ke-3, h.11

54

Parewa adalah segolongan orang muda yang berusaha untuk tidak mengganggu kehidupan keluarga hidup mereka berjudi, menyabung ayam, berkelahi, dan lain-lain.

55

Hamka, Kenang-kenangn Hidup, (Jakarta, Bulan Bintang 1974), Jilid I, cet Ke-3, h. 43-44 & 58

56

M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta :Pustaka Panji Mas, 1990), cet. Ke-1, h. 36

57

Fachri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: catatan pendahuluan dan riwayat perjuangan dalam kenang-kenangan 70thn Buya Hamka (Jakarta: Pusaka Panji Mas, 1983), cet. Ke-3, h. 468


(35)

bisa dihalangi oleh ayahnya, berangkatlaah Hamka untuk yang kedua kalinya ke tanah Jawa pada tahun 1942. Dalam pencarian ilmu di tanah Jawa Hamka memulainya dari kota Jogjakarta, kota kelahiran organisasi Muhammadiyah.

B. Pendidikan dan Pengalaman Hamka

Akhir tahun 1924 Hamka muda berangkat ke Yogyakarta dengan menumpang seorang saudagar yang akan pergi ke kota itu. Tampaknya kota Yogyakarta memberi angin segar bagi Hamka muda.

Hamka untuk bertemu dan berkenalan dan beberapa guru yang kedudukannya sebagai tokoh penggerakan Islam modern seperti berguru kepada Ki Bagus Hadikusuma dalam penafsiran dalam kitab suci Al-Qur’an, berguru kepada H.O.S Cokroaminoto tentang paham “Sosialisme dan Islam“, berguru kepada H. Fakhruddin tentang agama Islam dalam tafsiran modern dan berguru kepada R.M. Suryapranoto tentang “Sosiologi“ 58

Setelah beberapa hari di Yogyakarta Hamka kemudian berangkat menuju pekalongan, menetap di rumah suami kakaknya yang juga aktifis Gerakan Syarikat Islam yang dipelopori oleh H.O.S Cokroaminoto. Dia adalah AR. Sultan Mansur, ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan. Beliaulah yang menanamkan bekal “jiwa perjuangan” pada diri Hamka, sekaligus seorang guru yang sangat berpengaruh dalam pertumbuhan pribadi Hamka selanjutnya. Sejak itu Hamka

58


(36)

mulai berpidato, memberi ceramah di berbagai tempat sebagai penyiar Islam. Usianya waktu itu masih relatif muda, yaitu masih 16 tahun.59

Pada pertengahan tahun 1925 Hamka muda pulang kembali ke Maninjau, kampung halamannya, dengan semangat “revolusioner” dan bekal selama setahun di tanah Jawa, Hamka mulai berani berpidato dimana-mana. Kemampuan beretorika maupun menulis telah menjadikannya pada posisi istimewa di kalangan teman-temannya. Hamka kemudian membuka kursus pidato di surau Jembatan besi,60 tempatnya dulu mengaji. Kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai orang pergerakan semakin terbukanya lebar dengan di dirikannya organisasi Muhammadiyah di maninjau dan tabligh Muhammadiyah di Padang Panjang, yang kedua organisasi itu didirikan oleh ayahnya, wadah ini dijadikan Hamka sebagai motivasi dalam melatih diri sebagai Mubaligh. Dalam buku

Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, dijelaskan:

“Sebagai orang gerakan, ia memperluaskan cakrawala pemikiran dan kemampuan komunikasi intelektualnya. Ia mulai berlangganan surat-surat kabar dari Jawa, yang terpenting pengetahuan perkembangan dunia Islam. Untuk memperluas cakrawala tentang pengetahuan perkembangan dunia Islam berlangganan ‘Seru Azhar’ yang dipimpin oleh Mukhtar Luthfi dan Ilyas Ya’kub di Mesir. Dari sini diperoleh informasi tentang perkembangan dan gerakan Islam internasional”61

Pengalaman Hamka dalam mengelola pendidikan ayahnya, ia terapkan dengan mengadakan kursus-kursus Muhadharah (pidato) bagi anak-anak muda lainnya. Kemudian hasil dari kumpulan-kumpulan pidato itu disusun menjadi

59

Moh. Damami, Tasawuf Positif (Yogyakarta: Fajar Pustaka baru 2000) cet ke 1, h. 42

60

Fachri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia : catatan pendahuluan dan riwayat perjuangan dalam kenang-kenangan 70thn Buya Hamka (Jakarta : Pusaka Panji Mas, 1983), cet. Ke-3,h. 91

61


(37)

majalah yang bernama “Khatibul Ummah” Majalah ini yang pertama diasuhnya pada tahun 1925. Setelah itu Hamka menerbitkan majalah “Tabligh Muhammadiyah”, pada tahun yang sama dimana ia sendiri sebagai pimpinannya.

Maka pada Februari 1927, berangkat Hamka ke tanah suci. Dengan bekal seadanya dan bahasa yang “pas-pasan”, ia bersama teman-temannya sesama jama’ah haji lainnya mendirikan organisasi Persatuan Hindia Timur. Tujuan utamanya memberikan pelajaran manasik haji kepada calon jama’ah haji Indonesia.

Sepulang Hamka dari tanah suci, dengan predikat haji di depan namanya, memperjelas “legitimasi” Hamka sebagai ulama di Minangkabau. Sedikit demi sedikit pengukuhan sebagai ulama penganjur Islam mendapat tempat di hati masyarakatnya. Julukan semua si “tukang pidato” dahulu berubah sekarang menjadi orang alim, anak yang akan mengganti kedudukan ayahnya sebagai ulama terpandang ketika itu.62

Setelah ayahnya melihat perubahan pada diri hamka, kemudian Hamka di nikahkan dengan seorang gadis berusia 15 tahun yang bernama Siti Raham. Ketika itu Hamka berusia 21 tahun. Hamka diserahi ayahnya mengelola sekolah

Tabligh School. Setelah itu ia mengaktifkan dirinya pada organisasi Muhammadiyah. Menurut Fachri Ali :

“… beberapa saat setelah pernikahannya ia aktif sebagai pengurus Muhammadiyah cabang Padang Panjang, yang akan mengadapi kongres Muhammadiyah ke-19 di Munangkabau. Setahun kemudian (1930), ia mendirikan cabang Muhammadiyah di Bengkalis dan langsung menghadiri konges Muhammadiyah yang ke-20 di Yogyakarta pada tahun itu juga. Setahun kemudian (1931), ia diutus oleh pengurus besar Muhammadiyah Yogyakarya ke Makasar

62


(38)

menjadi mubaligh Muhammadiyah. Pada tahun 1933 ia menghadiri kongres Muhammadiyah di semarang dan pada tahun 1934 ia menjadi anggota tetap majlis kongres Muhammadiyah sumatera Tengah.”63

Berbagai jabatan yang telah di sandangnya dalam organisasi, membuatnya seringkali diundang untuk tampil diberbagai forum resmi sebagai pembicara. Hamka kemudian dipercayakan oleh pimpinan pusat Muhammadiyah untuk ditugaskan ke Makasar sebagai mubaligh. Sepulangnya dari Makasar Hamka mendirikan pergutuan “Kullyatul Muballighin” Muhammadiyah di Padang Panjang.

Setelah dari Medan Hamka pulang ke Sumatera Barat (Padang Panjang) pada tahun 1945. Kemudian ia kembali di serahi ayahnya untuk memimpin lagi

Kullyatul Muballighin, Ia mulai lagi dari sini melanjutkan misi perjuangannya, lewat ketajaman penanya, ia mempelopori dan memberikan dorongan kepada kawan-kawan seperjuangannya untuk maju merebut kemerdekaan Indonesia. Adapun buku-buku hamka yang menggugah itu antara lain; Islam dan Demokrasi, Negara Islam Revolusi Agama, Revolusi Pikiran, Dari Lembah Cita-cita, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi.64

Tahun 1946 Hamka terpilih menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang, melalui konferensi Muhammadiyah yang di adakan di kota itu. Posisi demikian membuat Hamka mempunyai banyak kesempatan untuk mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah di Sumatera Barat. Peluang itu dipergunakan untuk memotivasi kegiatan-kegiatan cabang dalam rangka

Fakhri Ali, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia : catatan pendahuluan dan riwayat perjuangan dalam kenang-kenangan 70thn Buya Hamka (Jakarta: Pusaka Panji Mas, 1983), cet. Ke-3, h. 472


(39)

menggalang kesatuan dan persatuan bangsa, sehingga Hamka dipandang masyarakat tidak hanya sebagai ulama akan tetapi ia juga sebagai pejuang kemerdekaan.65

Pada tahun 1947 Hamka dipercayakan oleh masyarakat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah Belanda, yang dikenal dengan nama Front Pertahanan Nasional (FPN).66 Pada situasi yang seperti itupun Hamka masih sempat menerbitkan sebuah majalah di padang Panjang denga nama “Menara”67 Hamka telah membuktikan ucapannya, bahwa dengan kegiatan politik praktis ternyata tidak mengganggu akitifitas utamanya sebagai mubaligh. Kegiatan ini diperkuat oleh Dr. M. Yunan Yusuf, dalam bukunya Corak Pemikiran Tafsir Al-Azhar, sebagai berikut :

Pada tahun 1955 berlangsung pemilihan umum di Indonesia, dan Hamka terpilih sebagai anggota konstituante dari partai Masyumi. Hamka membuktikan bahwa dengan kegiatan politik praktis, tugas utamanya sebagai mubaligh dan pejuang Islam tidaklah terganggu. Lewat konstituante Hamka dengan gigih memperjuangkan kepentingan Islam sesuai dengan garis kebijakan partainya Masyumi.68

Kemudian Hamka diangkat pemerintah Indonesia untuk menjabat sebagai penasehat Departemen Agama (DEPAG). Menjadi pejabat tinggi Negara membuatnya banyak mengikuti berbagai pertemuan dan konferensi di dalam dan luar negeri. Pada tahun 1952 Pemerintah Amerika Serikat mengundang Hamka untuk berkunjung selama empat bulam di negaranya. Banyak hikmah yang di

65

Ibid h. 478 Ibid

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, (Jakarta, Bulan Bintang 1974), Jilid I, cet Ke-3, h. 292

68


(40)

dapatnya sekembalinya dari Negara tersebut, antara lain terbukanya pandangan terhadap Negara non Islam, kemudian diterbitkanlah sebuah buku Perjalan Empat Bulan di AS sebanyak dua jilid, Sesudah itu secara berturut-turut Hamka menjadi anggota misi kebudayaan ke Muangtahi pada tahun 1953, mewakili DEPAG menghadiri peringatan mangkatnya Budha yang ke 2500 di Burma (1945). 69 kemudian Hamka menghadiri undangan dari Universitas Al-Azhar di Kaio Mesir dengan memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia. Di perguruan tinggi itulah Hamka dianugerahi gelar “Doktor Honoris Cause”. Pergulatan politik yang terjadi di Indonesia kian hari kian tak menentu”… Soekarno mulai memamerkan kekuasaannya, sementara PKI bangkit sebagai kekuatan yang cukup signifikan, Hamka bersama Natsir termasuk yang menentang ide Soekarno…70 yang dikenal dengan nama “Demokrasi Terpimpin” Secara perlahan-lahan demokrasi terpimpin mulai diselewengkan akibat pengaruh PKI, sehingga Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan semboyan belaka, sebagai gantinya oleh PKI diisi dengan “Nasional Agama dan Komunis (NASAKOM).71 Setelah Soekarno membubarkan Masyumi pada tahun 1960, otomatis peta kekuatan umat Islam mulai melemah. Hamka tidak lagi berpolitik praktis, kemudian ia mengalihkan perhatiannya kepada dakwah Islamiyah, yang berpusat di Mesjid Agung Kebayoran Baru. Dari sinilah terbitnya Majalah “Panji Masyarakat” dan “Gema Islam”.72

69 Ibid

Fachri Ali Hamka dan Masyarakat Indonesia: Catatan pendahuluan dalam riwayat kenang-kenagan 70th buya Hamka (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983) cet ke-3 h. 91

71

Ali Mustapa, Strategi Politik Nasional, (Jakarta: Yayasan Proklamasi (SIS) 1974), h. 8

72


(41)

Pada tahun 1975 untuk pertama kalinya pemerintah Republik Indonesia membentuk organisasi Ulama Indonesia, yang disebut MUI. Pada waktu itu pemerintah mempercayakan Hamka sebagai ketua umumnya. Dari berbagai macam kegiatan yang telah dilalui, usianya sudah mulai menua, membuat kesehatannya terganggu secara serius, “… hamka masuk rumah sakit menjelang peringatan hari ulang tahun yang ke-70, jatuh pada tanggal 16 february 1978”. Setelah kesehatannya agak membaik hamka pulang ke rumah, para sahabanyamenyerahkan buku dengan judul kenang-kenangan 70 tahun Buya Hamka. “..Sejak itu Hamka tidak lagi banyak melakukan kegiatan ke luar negeri, ia lebih banyak menunggu orang datang ke rumahnya untuk berkonsultasi tentang masalah keagamaan dan persoalan kehidupan”.73

Hamka meninggal dunia pada tanggal 24 Juli 1981 dalam usia 73 tahun, dengan dikelilingi oleh sanak keluarganya dan teman dekatnya. Hamka wafat dalam suatu penyelesaian tugas yang telah ia selesaikan, “Ia meninggalkan dunia ini denan senyum, nyaris suatu keajaiban. Dada orang yang ditinggalkannya menyesak dan bergelimbung oleh tangis. Teapi setelah tangis reda, masa berkabung telah lewat, yang mengental dalam dada adalah semangat hidupnya”.74 Dalam kapasitasnya sebagai mantan ketua umum MUI, Hamka memastikan eksistensinya sebagai ulama dan menggenapi koridor hidupnya sendiri “Sekali bakti, sudah itu mati”.75

73

Ibid , h. 53

Nasir Tamara, Hamka di Mata Hati Umat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), cet. Ke-3, h. 97

75


(42)

C. Beberapa Karya Hamka dan yang mempengruhi Pemikirannya

Sebagai seorang cendekiawan dengan pengetahuan yang begitu luas, Hamka telah mencurahkan perhatiannya kepada hampir seluruh segi-segi kehidupan. Perhatian Hamka itu terefleksi dalam sejumlah karya intelektualnya. Lewat karya-karya inilah Hamka terus bersama generasi yang ditinggalkannya.

Karya-karya sangat banyak dan mencakup berbagai pembahasan yang beraneka ragam, dari pembahasan filsafat, tasawuf, theologi, akhlak dan tafsir dll, Adapun diantara sekian banyak karya-karya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini adalah :

1. Hamka, Khatibul Ummah I 2. Hamka, Khatibul Ummah II 3. Hamka, Khatibul Ummah III

4. Hamka, Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929) 5. Hamka, Hikmat Isra’ Mi’raj

6. Hamka, Arkanul Islam (1932)

7. Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah ( 1934) 8. Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (1937) 9. Hamka, Pedoman Mubaligh Islam (1937)

10.Hamka, Di Dalam Lembah Kehidupan (1939) 11.Hamka,Keadilan Ilahi (1939)

12.Hamka, Tasawuf Modern (1939) 13.Hamka, Falsafah Hidup (1939)

14.Hamka, Agama dan Perempuan (1939) 15.Hamka, Merantau ke Deli (1940) 16.Hamka, Lembaga Hidup (1940) 17.Hamka, Lembaga Budi (1940) 18.Hamka, Islam dan Demokrasi (1946) 19.Hamka, Revolusi dan Pemikiran (1946) 20.Hamka, Revolusi Agama (1946) 21.Hamka, Merdeka (1946)

22.Hamka, Di dalam Lembah Cita-cita (1946)

23.Hamka, Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman (1946) 24.Hamka, Sesudah Naskah Renvile (1947)


(43)

25.Hamka, Pidato Pembelaan Peristiwa 3 maret (1947) 26.Hamka, Cemburu (Ghirah) (1949)

27.Hamka, Menunggu Beduk Berbunyi (1949) 28.Hamka, Ayah ku ( 1950)

29.Hamka, Pribadi (1950)

30.Hamka, 1001 Soal Hidup (1950) 31.Hamka, Falsafah Ideologi Islam (1950) 32.Hamka, Keadilan Sosial dalam Islam (1950)

33.Hamka, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad (1952) 34.Hamka, Urat Tunggang Pancasila

35.Hamka, Bohong di Dunia

36.Hamka, Empat Bulan di Amerika, Jilid I, II, III, & IV 37.Hamka, Lembaga Hikmat

38.Hamka, Kenang-kenanngan Hidup, Jilid I, II, III, & IV 39.Hamka, Sejarah Umat Islam, JIlid I, II, III, & IV 40.Hamka, Pelajaran Agama Islam

41.Hamka, Pengaruh Ajaran Muhammad Abduh di Indonesia 42.Hamka, Mandi cahaya di Tanah Suci

43.Hamka, Mengembara di Lembah Nyl 44.Hamka, Soal Hidup

45.Hamka, Pandangan Hidup Muslim 46.Hamka, Dari Perbendaharaan Lama

47.Hamka, Ekspansi Ideology (Al-Ghazwul Fikri) 48.Hamka, Syaid Jamaluddin Al-Afghani

49.Hamka, Hak-hak Asasi Manusia di Pandang dari Segi Islam. 50.Hamka, Fakta dan Khayal Tuan Rao

51.Hamka, Cita-cita Kenegaraan Dalam Ajaran Islam 52.Hamka, Kedudukan Perempuan dalam Islam 53.Hamka, Islam dan Kebathinan

54.Hamka, Study Islam

55.Hamka, mengambil Tasawuf ke Pangkalnya.

Dari sekian banyak tokoh yang mempengaruhi pemikiran Hamka pada setiap karya nya adalah Imam al-Ghazali yang banyak mempengaruhi pemikiran beliau, itu karena disebabkan oleh kedua tokoh sufi ini mempunyai corak pemikiran yang sama yaitu tasawuf akhlaki. Seorang tokoh pembaharu di Mesir Abduh yang mempengaruhi pemikiran Hamka dalam setiap pemikiran modernnya..juga sahabat-sahabat Rasulullah seperti sayyidina Ali, dan Umar ibnu


(44)

Khataab yang pendapat-pendapatnya sering di tulis Hamka dalam setiap buku literature keagamaan .


(45)

39 A. Krisis Manusia Modern

Penjelasan secara detail dan terperinci tentang pemikiran Hamka yang menyangkut krisis manusia modern yang terjadi saat ini memang tidak di paparkan secara kongkrit oleh Hamka dalam artian Hamka memang tidak berbicara khusus tentang krisis manusia mdern dalam beberapa karyanya, namun analisa Hamka tentang pola hidup manusia sehingga mengakibatkan krisis di zaman modern ini banyak beliau paparkan dalam hampir semua karya tulisnya yang menyangkut dengan keislaman dan pengetahuan ilmu agama, maka dalam penelitian ini penulis dapat meramu dan mengambil inti dari beberapa pemikiran Hamka yang tersebar dalam beberapa karyanya yang sedikit banyak berbicara tentang krisis manusia modern.

Sejatinya kehidupan manusia modern bukan hanya berdampak negative dalam kehidupan kita saat ini, banyak pengaruh positif yang ditimbulkan oleh dunia modern seperti kemajuan teknologi yang mempermudah kehidupan masyarakat kita. Juga dampak pola piker yang rasional bisa diarahkan kea rah yang positif pula, namun dalam penelitian ini penulis hanya mencoba memaparkan dampak negative yang ditimbulkan oleh zaman modern ayang berakibatkan krisis pada masyarakat kita.

Menurut Hamka krisis manusia modern yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah Pertama manusia modern yang terlalu


(46)

mencintai dunia dan mengejar kebutuhan materi yang terlalu jauh. Yang dicari adalah keuntungan materi, pangkat dan martabat. Manusia modern telah terjebak dalam kemusyrikan, membela Allah tapi untuk mendewakan pangkat dan materi kebendaan.76Manusia modern selalu menjadikan harta sebagai ukuran kesuksesan, sehingga manusia tersebut lupa akan nilai-nilali agama, dan perintah Tuhan sudah tidak dijalankan kembali karena terlalu sibuk dengan duniawi.

Dalam pandangan Hamka kehidupan manusia modern serba dinilai dari ukuran rasionalitas pikiran manusia, ia lupa makna hidupnya, ia lupa akan kekuatan Tuhan dalam dirinya, manusia modern hanya menpercayai sesuatu bila sejalan dengan pikirannya, tapi tidak pernah menggunakan hati sebagai bahan pertimbangan hidupnya.

Faktor Kedua penyebab mengapa manusia modern saat ini adalah sudah hilangnya rasa malu dalam diri manusia. Karena apabila seseorang telah menanamkan sifat malu di dalam dirinya maka ia tidak akan mudah berbuat kejahatan karena ia akan malu bila namanya menjadi buah bibir orang lain, dan ia tidak akan berbuat kejahatan karena ia akan merasa malu jika ia sudah tidak menggunakan lagi kepercayaan orang lain dengan baik.77

Faktor ketiga menurut Hamka mengapa terjadi krisis manusia modern adalah disebabkan manusia yang tidak bisa mempertahanka harga dirinya sebagai

76

Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1994), cetakan IV h. 82


(47)

makhluk Tuhan yang paling sempurna sehingga otomatis ia tidak bisa pula mempertahankan harga diri bangsa dan negaranya, dan mempertahankan kepercayaan yang dianutnya, Sehingga hidupnya hanya berlomba-lomba mencari kehormatan dan kemuliaan dalam segi harta dan tahta dalam lingkungannya, ia lupa bahwa kehormatan dan kemuliaan itu hanya di dapatkan dengan jalan iman dan Taqwa kepada Allah, sehingga efek yang di dapatkan slalu timbul dalam dirinya perasaan tidak mau kalah, tidak mau tertinggal dengan kawan dan tetangganya dalam hal menumpuk materi, ia malu jika orang lain lebih kaya darinya. Fenomena seperti inilah yang menurut Hamka menyebabkan bangsa ini tidak lagi mempunyai budi pekerti yang kuat dan teguh memegang kokoh tali agama Allah, yang menyebabkan manusia modern tidak sanggup lagi menahan hawa nafsu duniawi.78

Adapun faktor yang bisa menyelamatkan krisis manusia modern saat ini menurut Hamka yang Pertama adalah harus terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang Amanah, terpercaya karena ini akan menjadi tiang utama dari masyarakat setelah sifat malu tadi. Seorang ayah harus amanah terhadap anak-anaknya, seorang suami amanah terhadap istrinya, seorang tetangga amanah terhadap tetangga yang lain. Karena pola hidup manusia di zaman modern ini adalah pola hidup yang bermasyarakat dan bersosialisasi, manusia yang satu berhubungann dengan manusia yang lain. Seperti perkataan Herbert Spencer yang di kutip oleh Hamka bahwa hidup adalah “lancarnya hubungan kita dengan dunia


(48)

luar”. Hamka mengambil contoh seperti kita makan sesuap nasi adalah jasa dari para petani, kita makan ikan adalah jasa para nelayan dll.79

Faktor Kedua yang bisa menyelamatkan krisis manusia modern yang terjadi saat ini menurut Hamka adalah harus ada campur tangan pemerintah untuk mengatur masyarakat, karena pemerintah ibaratkan seperti sebuah bangunan yang mana antara dinding, lantai, dan atap harus saling bekerja sama agar tercipta kehidupan yang amanah dan lurus tadi, agar bisa saling timbul kepercayaan antara aparat pemerintah dan masyarakat bawah dan menanamkan budi pekerti terpuji sehingga krisis yang terjadi dalam masyarakat kita bisa di atasi dengan baik.80

Penurut pendapat penulis mengapa manusia modern sekarang ini mengalami krisis karena adanya beberapa faktor penyebab:

1. Dari segi faktor pendidikan sedini mungkin manusia tersebut tidak di tanamkan nilai-nilai agama yang kuat dan benar sehingga ia terlahir sebagai manusia yang kurang berilmu, akibatnya yang ia tahu adalah bagaimana memuaskan hawa nafsu dan kepuasan dunia yang sesaat tanpa mengetahui bahwa akan ada kehidupan di akhirat kelak yang kekal yang mana kita di mintai pertanggung jawaban oleh Sang Pencipta.

2. Faktor lingkungan yang membentuk dirinya sehingga ia menjadi manusia yang melenceng dari fitrahnya, karena bagaimanapun hebatnya manusia, ia pasti butuh sesuatu yang Maha Kuat dan Maha Besar melebihi dirinya sebagai tempat

Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Penerbit Yayasan Nurul Islam, 1977) h. 105 Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Penerbit Yayasan Nurul Islam 1951) h. 194


(49)

berkeluh kesah dalam mengarungi hidup ini, karena ia tidak kenal dan lupa dengan Tuhannya maka jika mendapatkan masalah ia lebih percaya pada narkoba, pergaulan bebas dan melakukan kesenangan semata dalam hidupnya.

3. Pemahaman rasionalitas terlalu menguasai dirinya, sehingga ia tidak lagi menggunakan mata hati dalam bertindak Sebagai contoh ia percaya bahwa ilmu-ilmu sains dan teknologi mampu membantu manusia dalam kehidupan ini, maka ia merasa sudah tidak perlu campur tanganTuhan dalam hidupnya.

Jadi solusi yang bisa mengatasi krisis tersebut memang harus di timbulkannya kembali nilai-nilai agama dan moralitas dan selalu menanamkan dalam diri kita sifat-sifat yang di anjurkan dalam ilmu tawasuf seperti iman, tawakal. Sabar, wara’, ikhlas, qana’ah.dll

Maka setiap muslim harus kembali kepada ajaran murni islam dan aqidah yang benar, tauhid yang murni, supaya dapat memahaminya arti hidupnya dengan benar agar tidak terperosok ke dalam kehinaan karena kemaksiatan. Hawa nafsu yang telah membawa dirinya menjauh dari Allah.

B. Tasawuf dalam Perspektif Buya Hamka

“Buya hamka’s Revitalisation of Sufism and its Relevance in Modern Indonesia” demikian pengakuan seorang pengagum Hamka, Yulia Day Howell81,

Disampaikan di forum Seminar Internasional tentang Hamka, bertempat di Hotel Atlet Century Park, Jakarta Pusat, 8 April 2008.


(50)

seorang sarjana Barat. Ia menyatakan bahwa pemahaman tasawuf Hamka relevan dengan perkembangan kehidupan modern saat ini.

Pendapat diatas bukan tidak beralasan, dapat dikatakan bahwa Hamka memiliki pemikiran sendiri tentang tasawuf, diantaranya ada beberapa maqamat yang menurut Hamka harus dimiliki oleh seorang sufi, tapi dalam hal maqamat ini tidak harus dilalui secara berurutan.

Ide-ide atau ajaran tasawuf Hamka antara lain pemikirannya tentang hal-hal dibawah ini:

1. Iman

Iman bisa berada pada tingkat keabstrakan yang sangat tinggi, menurut Hamka keimanan mempunyai pengaruh yang besar dalam diri seseorang yang bisa meningkatkan kemampuan diri untuk sabar dan kuat menahan cobaan dalam kehidupan, membangkitkan rasa tenang dan tentram dalam jiwa, menimbulkan kedamaian hati dan memberi parasaan bahagia. Hendaklah Keimanan kepada Allah diikuti oleh ketaqwaan kepada-Nya. Karena iman dan taqwa mempunyai hubungan erat dengan kejiwaan dan kesehatan mental manusia karena hal itu merupakan hak azazi manusia. Menurut Hamka dari segi kejiwaan iman dan taqwa bisa dijadikan landasan bagi pembinaan mental spiritual khususnya manusia modern yang sedang mengalami krisis, karena Iman merupakan penggerak utama bagi seorang muslim untuk melakukan amal. Seperti contohnya jika manusia mempunyai iman yang kuat ia tidak mungkin melakukan perbuatan yang dilarang Agama82


(51)

2. Qana’ah

Dalam tasawuf Hamka, qana’ah merupakan suatu maqam yang harus di tempuh oleh seorang sufi, menurut Hamka qana’ah adalah menerima dengan hati cukup, untuk dikatakan qanaah seseorang harus memiliki 5 perkara:

a. Menerima dengan rela akan apa yang ada b. Memohon kepada Tuhan tambahan yang pantas c. Berusaha menerima dengan sabar ketentuan Tuhan d. Bertawakal kepada Tuhan

e. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia83

Hamka membedakan antara qana’ah dengan malas. Qana’ah adalah berikhtiar semaksimal mungkin untuk mendapatkan rizki yang disediakan Allah dan merasa puas dengan rizki yang telah dimilikinya, sedangkan malas adalah merasa puas dengan rizki yang dimiliki tanpa mau melakukan ikhtiar.

3. Tawakal

Menurut Hamka arti tawakal disini bukan semata-mata menyerahkan seluruhnya kepada Allah tanpa berusaha sama-sekali, tapi tawakal adalah menyerahkan ketetapan Allah setelah melakukan ikhtiar semaksimal mungkin. Orang mukmin dikatakan benar-benar beriman bila ia menyerahkan seluruh ikhtiar kepada kehendak Allah. Hamka sendiri mendefinisikan tawakal yaitu menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada semesta Tuhan

Ridjaluddin F.N, Mengungkap Rahasia; Tasawuf Versi HAMKA (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI (UHAMKA) 2008 h. 196


(52)

alam84 Hamka mencontohkan bukan tawakal namanya jika seorang yang hendak bepergian pintu rumah tidak di kunci dan apabila sakit tidak minum obat.

4.Ikhlas

Adalah melaksanakan suatu amal semata-mata karena Allah, semata-mata niat karena Allah dan semata-mata takut karena Allah, ikhlas menurut Hamka adalah pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu selain dari Allah, ikhlas dalam hal ini tidak hanya berlaku untuk Allah, tapi untuk siapa saja Hamka mengambil contoh bila seorang melakukan sesuatu untuk dipuji majikannya maka ia ikhlas untuk majikannya.85 Ikhlas menurut Hamka merupakan pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu, Ikhlas adalah hal penting dari pekerjaan hati, ia berperan sebagai kunci ibadah. Makna ikhlas yang sesungguhnya adalah melakukan ketaatan kepada Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan mengharap ridha-Nya semata, dan bukan untuk dipuji orang lain.

Itulah beberapa ide pemikiran Hamka tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang sufi. Karena Hamka berpendapat seorang sufi sejati adalah bersih hatinya, murni perangainya dan selalu di hiasi sifat terpuji.

Hamka juga merasa terpanggil untuk membersihkan tasawuf dari berbagai penyimpangan. Bagi Hamka bertasawuf dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan tidaklah salah akan tetapi jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri tersebut tidak lain adalah ibadah sebagaimana yang diajarkan oleh agama kita,

Ibid, h. 232


(1)

63 A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa:

Menurut Hamka krisis-krisis yang menimpa mereka sebenarnya diakibatkan oleh essensi yang mendasar dari krisis besar yang dihadapi umat manusia.antara lain krisis spiritual, moralitas atau krisis akhlak. Krisis semacam ini di sebabkan karena manusia modern lupa akan fitrahnya sebagai manusia, akibatnya kehidupan materi dan kebutuhan dunia menjadi hal utama yang diperebutkan sehingga terjadi pada berbagai sisi kehidupan manusia yang intinya berpangkal pada matinya spirit keimanan dan akhlak.

Penyebabnya menurut Hamka antara lain adalah kurang ditanamkannya budi pekerti yang luhur, seperti kurangnya sifat malu, dan tidak bisa mempertahankan harga dirinya sebagai makhluk Tuhan, ia tidak lagi mempunyai budi pekerti yang baik dan benar padahal dalam ajaran agama Islam dan tasawuf umat islam harus di tanamkan dalam dirinya sifat-sifat yang terpuji seperti keimanan, tawakal, sabar, qana’ah, ikhlas, bersyukur, dll sehingga manusia yang mempunyai sifat terpuji akan tercermin dalam kehidupan dan perilaku sehari-harinya, contohnya seoranng yang mempunyai sifat qana’ah ia akan selalu merasa puas dengan rizki yang diberikan Allah, sehingga ia senantiasa bersyukur dan tidak akan terbesit dalam hidupnya untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji seperti yang terjadi pada manusia modern yang sedang mengalami krisis.


(2)

Akibat yang ditimbulkan oleh krisis yang terjadi pada manusia modern tersebut menurut Hamka maka orientasi hidupnya hanya bergelut di bidang materi dan kekayaan, hatinya tidak lagi bersih dan selalu ada rasa iri dengki, hasut, riya’, tidak bersyukur atas nikmat Allah. Contonya bila tetangga membeli mobil baru maka ia akan berusaha membeli mobil baru juga meskipun kemampuannya belum sanggup. Karena ia takut dikucilkan dalam pergaulan.

Lain halnya jika manusia modern telah mempunyai iman dan taqwa, menurut Hamka iman dan taqwa itu mempunyai hubungan antara budi dan perangai. Karena jika seorang telah mempunyai keimanan yang kuat dalam hati maka kepercayaan itu mendorongnya untuk mencari ridha Allah dan selalu melakukan perbuatan yang dapat diterima oleh Allah. Dan senantiasa menempuh jalan yang lurus, aqidah yang kuat itu didukung oleh amal saleh yang terus menerus, maka ia akan menjadi pribadi yang tangguh, sosok kuat yang diridhai Allah. Bila dalam masyarakat terkumpul pribadi yang seperti itu maka masyarakat akan kokoh, negeri akan makmur, dan kebahagiaan akan diraih.

B. Saran-saran

Sebagai mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat, kita harus memberdayakan segenap kemampuan dan potensi yang kita miliki untuk menggali dan mengkaji seluruh tradisi intelektual Islam yang pernah hadir di dalam putaran sejarah, karena sebenarnya kita sebagai calon filosof, sebenarnya memiliki akar tradisi yang kuat untuk dijadikan sebagai sarana pendukung dalam menghadapi fenomena-fenomena modern pada saat ini.


(3)

Sebagai akademisi yang menghargai logika intelektual, diharapkan bersikap kritis dalam menerima tradisi-tradisi intelektual yang lain, terutama dari tradisi Barat modern agar tradisi yang bersumber dari ajaran Islam tidak luntur oleh arus Globalisasi.

Penulis mengharapkan kepada mahasiswa fakultas Ushuludin dan Filsafat untuk tidak berhenti dan merasa cukup dengan keterbatasan kurikulum yang menjadikan kita pesimis dalam menghadapi wacana-wacana kemodernan. Dengan adanya karya skripsi ini, berikut skripsi-skripsi lain agar dapat dijadikan motivasi untuk mengangkat tema-tema skripsi dari literature-literatur tradisi intelektual Islam dan diantaranya untuk memperkuat identitas kita sebagai mahasiswa Ushuludin dan Filsafat, dan berani menggunakan bentuk metode penelitian kepustakaan (library research) yang pada saat menjadi momok menakutkan dikalangan mahasiswa.

Kerjakan skripsi semaksimal mungkin maka dengan itu akan mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Yakinlah kesungguhan tidak akan mengecewakan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ali,Fachri, Hamka dan Masyarakat Islam Indonesia: catatan pendahuluan dan riwayat perjuangan dalam kenang-kenangan 70thn Buya Hamka (Jakarta: Pusaka Panji Mas, 1983), cet. Ke-3

A’dam,Syahrul, dalam Potret pemikiran dan Gerakan tasawuf di Indonesia

Kontemporer, Jurnal Agama dan Budaya Mimbar, Vol.23, no. 3 2006

Azam, Abdullah, Kelelahan Mental Umat Islam,(Bandung: Mizan 2004).

Bahtiar, Amsal. Dkk. Tasawuf dan Gerakan Tarekat, (Bandung: Penerbit Angkasa, 2005)

Bastaman,Hana Djumhana, “Makna Hidup bagi manusia Modern, Tinjauan Psikologis,dalam, Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi dan

Renungan Religius Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), cet. Ke-1,

Burhani, Ahmad Najib, Sufisme Kota, (Jakarta: PT. serambi ilmu semesta, 2001) Damami, Mohammad, Tasawuf Positif, (Yogyakarta: Fajar Pustaka

Baru,2000),cet.1

Hamka,Tasawuf modern,(Jakarta: Penerbit Yayasan Nurul Islam, 1977) ---, Iman dan Amal Saleh (Jakarta: Penerbit Pustaka Panji mas , 1984) ---, Falsafah Hidup, (Jakarta:Uminda, 1982) cet-ke 8

---, Pandangan Hidup Muslim (Jakarta: Bulan BIntang 1992), cetakan ke IV, ---, Kenang-Kenangan Hidup,(Jakarta, Bulan Bintang 1974), Jilid I, cet Ke-3 ---, Ayahku , (Jakarta: Uminda,1992), cet. Ke-4

---, Renungan Tasawuf, (Jakarta: Penerbit Pustaka panji mas,1985) ---, Iman dan Amal Shaleh (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982)

---, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Penerbit yayasan Nurul Islam 1951)

---, Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pustaka Panji Mas 1952)

---, Rusydi, dalam Hamka, Kepribadian, Sejarah dan Perjuangannya

(Makalah Seminar Kebudayaan Masyarakat Melayu, 2002), pada Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia dan Majelis Bahasa dan Sastera Sabah


(5)

---, Rusydi, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983)cet. II

Harianto, Husein, Paradigma Holistik, ( Jakarta: Penerbit Teraju 2003 ).

Hasan,Moh Thalhah, Islam dan Masalah Sumber Daya manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2005.

Khaliq, Abdurrahman Abdul, Tasawuf danI slam( Jakarta: Penerbit AMZAH, 2000)

Majid, Nurcholish, Kehampaan Spiritual masyarakat modern, (Jakarta; Penerbit media Cita, 2000.)

Manar, abduh al-, Pemikiran Hamka Kajian Filsafat dan Tasawuf (Jakarta: Penerbit Prima aksara, 1993)

Mustapa,Ali, Strategi Politik Nasional, (Jakarta: Yayasan Proklamasi (SIS) 1974) Mustofa,A, Akhlak tasawuf, (bandung: Penerbit Pustaka, 1999),cet. Ke-2

Nasution,Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan BIntang, 1999),cet. Ke-10

Nasution, Harun, (e.d) “Ensiklopedi Islam Indonesia” disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, (Jakarta: Penerbit Djambatan 1992)

Natsir, Haidar, Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern, (Yogyakarta: Pustaka pelajar 1990)

Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentanng

Ppendidikan Islam, (Jakarta: Penerbit Kencana,2008)

Ridjaluddin F.N, Mengungkap Rahasia: Tasauf Versi HAMKA (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA) 2008

Ruslani, Wacana Spritualitas Timur dan Barat (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001)

Siraj, Said Aqil, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, (Bandung: Penerbit Mizan, 2006) Sobahussurur (e.d) Mengenang 100 Tahun Hamka, (Jakarta: YPI al-Azhar, 2008)

cet-1

Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rafi’Utsmani, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997),cet. Ke-2


(6)

Tamara, Nasir Hamka dimata Hati Ummat, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan,1983)

Tebba, Sudirman, Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan sehari-hari, (Banten:

Penerbit Pustaka irVan) Cet.Ke-2 2008

Tim Penyunting Pusat pengembangan dan Pembinaan Bahasa (ed.), Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1990), cet. Ke-4

Yusuf, M. Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta :Pustaka Panji Mas, 1990), cet. Ke-1