Nilai-nilai pendidikan islam dalam buku tasawuf modern Buya Hamka

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

RINI SETIANI NIM.106011000156

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011 M/1432 H


(2)

v

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 M/1432 H, hlm. xi+75.

Pendidikan Islam dewasa ini sangat mengalami kemajuan dan perkembangan yang signifikan, hal ini terlihat pendidikan saat ini banyak mengalami modifikasi, transformasi bahkan metamorphosis ke dalam model atau bentuk pendidikan Islam formal. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk manusia yang cerdas dan berakhlak mulia, memerlukan konsep yang matang. Ajaran Islam memiliki dua aspek yaitu aspek eksoteris (lahiriyah) dan aspek esoteris (batiniyah) yang seharusnya terintegrasi dalam pendidikan Islam. Hal yang bersifat esoteric dewasa masih relatif sering diabaikan dalam dunia pendidikan saat ini, oleh karena itu pembelajaran Islam hendaknya tidak hanya mementingkan aspek jasmaniyah semata, tetapi harus menyentuh ranah ruhani yang bisa membentuk peserta didik manjadi insan yang memahami hakikat kehidupan.

Tasawuf sebagai salah satu kajian dalam Islam sangat kaya akan nilai-nilai Islam yang bisa diaplikasikan dalam khazanah pendidikan Islam, terutama dalam bidang ruhani dan akhlak. Dengan nilai-nilai yang ada dalam tasawuf, pendidikan Islam akan lebih kaya makna, lebih dari itu peserta didik tidak hanya mengetahui pokok-pokok pendidikan Islam secara teoritis, tapi mereka juga dapat mengetahui ruh serta makna pendidikan Islam.

Hamka adalah salah satu tokoh ulama Indonesia yang concern dalam kajian keislaman salah satunya dalam bidang tasawuf. Dari beberapa karyanya ia menulis tentang tasawuf, yang salah satu karyanya adalah buku Tasawuf Modern. Pada masanya buku Tasawuf Modern adalah buku yang fenomenal dan mendapat animo yang luar biasa dari masyarakat. Dalam buku Tasawuf Modern banyak ditemukan nilai-nilai yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dan tentunya juga dalam dunia pendidikan Islam.

Dari buku tersebut setidaknya terdapat tiga pokok pembahasan mengenai nilai-nilai pendidikan Islam, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan akhlak dan pendidikan spiritual. Memperteguh keimanan dengan cara memahami dan memperbanyak

membaca Al Qur’an, memahami hadist Nabi, serta bertafakur kepada Allah adalah

contoh nilai pendidikan keimanan yang dibahas dalam buku Tasawuf Modern. Nilai pendidikan akhlak terlihat dengan penjelasan Hamka tentang macam-macam akhlak terpuji diantaranya adalah malu, sidiq, qona’ah, amanat, iklhlas dan tawakal. Sementara mencegah penyakit hati dan mengobatinya serta menjadikan iman sebagai terapi untuk menjaga kesehatan jiwa mendidik kita untuk memperkuat spiritualitas.

Pada penelitian ini penulis ingin mengetahui tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern buya Hamka. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriftif analisis dan kajian pustaka. Setelah data terkumpul dan tercatat dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data. Proses analisa dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, kemudian data tersebut dianalisis dan dipelajari secara cermat dan dideskripsikan yang selanjutnya memberikan gambaran dan penjelasan serta diuraikan.


(3)

vi

rahmat dan karunia yang tidak terhingga, sehingga penyusunan skripsi dengan

judul “ Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Buku Tasawuf Modern Hamka” dapat terselesaikan dengan baik.

Shalawat teriring salam semoga tetap tercurah kepada nabi akhir zaman,

suri tauladan yang paling baik, da’i yang telah melakukan reformasi dari kejahiliyahan kepada peradaban Islami, dengan menegakan ajaran Al Qur’an yang

suci, melalui gerakan dakwah yang hakiki. Nabi Besar Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini merupakan proses yang panjang, diawali dengan niat dan tekad, serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini bisa selesai. Penulis menyadari keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam Bapak Bahrissalim, M.Ag

3. Bapak Prof. Dr. H. M. Ardani dosen pembimbing yang telah tulus ikhlas memberikan petunjuk dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Zaimudin, MA dosen penasehat Akademik yang telah melayani konsultasi dan memberikan arahan kepada penulis.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta civitas akademika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang dengan penuh kesabaran dan keihklasan dalam mentransfer segala ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah

6. Kedua orang tuaku Bapak Nurrahman dan Ibu Juju Jubaedah serta adiku tercinta Rita hardianti dan Rian Hardiana yang telah memberikan dukungan moril dan materil serta doa restunya kepada penulis.


(4)

vii

8. Rekan rekan Mahasiswa PAI angkatan 2006 khususnya kelas D yang telah menemani penulis belajar di kampus peradaban selama empat tahun, serta kawan-kawan IMM Cabang Ciputat yang telah banyak memberikan pembelajaran kepada penulis, terutama Irma Tazkiyya, Tsauroh Arrisalati, Nursyakinah Nasution dan Mayang Maharani yang tinggal satu atap , terima kasih sudah bersedia menjadi tempat sharing dan berbagi cerita. Akhirnya hanya kepada Allah jualah penulis memohon perlindungan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya penulis, dan umumnya pembaca. Amin.

Jakarta, Februari 2011 Penulis


(5)

viii

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Penegasan Istilah ... 9

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

E. Metodologi Penelitian ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM PENDIDIKAN ISLAM A. Pengertian Pendidikan Islam ... 13

B. Nilai-Nilai Pendidikan Islam ... 18

C. Sumber-Sumber Pendidikan Islam ... 19


(6)

ix

A. Sekilas Biografi Buya Hamka ... 25

B. Latar Belakang Penulisan Buku Tasawuf Modern ... 28

C. Tasawuf dalam Persfektif Pemikiran Hamka ... 29

D. Bahagia Menurut Hamka ... 35

BAB IV NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA A. Nilai Pendidikan Keimanan ... 43

B. Nilai Pendidikan Akhlak ... 49

C. Nilai Pendidikan Spiritual ... 58

D. Relevansi Buku Tasawuf Modern dengan Nilai-Nilai ... 66

E. Pendidikan Islam ... 65

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(7)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tasawuf merupakan kajian yang menarik, baik dalam kerangka ajaran Islam maupun dalam konteks perkembangan peradaban Islam. Harun Nasution, Barmawi Umarie dan para ahli ilmu tasawuf lainnya, umumnya mengemukakan bahwa tasawuf berasal dari kata sufi, maknanya orang yang suci atau diliputi kesucian, tasawuf merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari cara seseorang berada sedekat mungkin dengan Allah.1

Al-Junaid menyebutkan bahwa tasawuf ialah keluar dari budi, perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.2Dan seseorang yang mengamalkan tasawuf disebut sufi, dalam bahasa Arab , kata sufi berasal dari kata sufah, siffah, sofie dan suffah. Masing-masing kata memiliki makna

yang berbeda, namun secara mendasar berarti “kesucian” dan “keikhlasan”

menerima segala ketentuan Allah yang di ekspresikan dengan berbagai cara.3 Dalam perkembanganya tasawuf dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, Departemen Agama (Depag) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) seperti dikutip oleh Muhammad Solikhin dalam buku Tasawuf Aktual (2004), mengklasifikasikan tasawuf menjadi tiga

1

Harun Nasution, Falsafat dan mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973), h.

56. 2

Hamka, Tasauf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987) h. 13.

3


(8)

macam, yaitu tasawuf akhlaqi, tasawuf amaly dan tasawuf falsafi.4 Tasawuf

akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas kesempurnaan dan kesucian

jiwa melalui proses pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku.

Taswauf amaly adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara

mendekatkan diri kepada Allah, yang konotasinya adalah thariqoh. Sedangkan

tasawuf falsafy adalah bentuk tasawuf yang memadukan antara visi mistis dan

visi rasional, baik dalam kerangka teoritis maupun praktis. Meskipun demikian, dalam prakteknya ketiganya tidak dapat dipisahkan. Hal ini sebagaimana kasyaf yang dialami oleh sufi falsafy tetap melakukan latihan rohani dengan mengendalikan kekuatan syahwat serta menggairahkan ruh dengan jalan melakukan zikir.

Para ilmuwan sejarah umumnya menyimpulkan bahwa tasawuf adalah sebagai dimensi mistik dalam Islam. Menurut mereka kemunculan tasawuf berawal pada abad ke-9 masehi, atau sekitar dua ratus tahun sesudah kelahiran Islam.5 Pada mulanya tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabi’in, kecenderungan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis sudah muncul, pada saat itu ajaran Islam dipandang dari dua aspek, yaitu aspek

lahiriyah dan aspek batiniyah. Pengalaman dan pendalaman aspek dalamnya

mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, namun tanpa mengabaikan aspek luarnya yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa.6

Sejarah mencatat adanya konflik tajam antara jenis penghayatan keagamaan yang bersifat lahiriyah dan batiniyah. Di kalangan umat Islam tidak sedikit yang menyebutkan bahwa tasawuf telah menyimpang dari ajaran Islam, bahkan ada para pemikir dan peneliti yang menyebutkan bahwa salah satu yang menjadi sebab mundurnya umat Islam adalah tasawuf.7 Hal ini dikarenakan ajaran tasawuf ada yang bercampur dengan mistis budaya lokal

4

Muhammad Solikhin, Tasawuf Aktual,(Semarang: Pustaka Nuun, 2004), h. 10.

5

Khalil, Merengkuh…, h. 7.

6

Rosihon Anwar dan. Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), h.

49. 7

SIMUH, Taswauf dan perkembanganya dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrapindo


(9)

tertentu, sehingga mereka meninggalkan kehidupan dunia dan banyak

menyimpang dari syari’at Islam.

Padahal Islam tidak mengharamkan kedudukan dan kenikmatan dunia, bahkan memandang harta kekayaan dan pangkat atau kedudukan sebagai sarana ibadah yang paling mulia. Selain itu ajaran-ajaran seperti Manunggaling Kawula Gusti dan sejenisnya yang dipopulerkan oleh beberapa ahli sufi adalah salah satu ajaran tasawuf yang dianggap sesat oleh sebagian umat Islam. Namun demikian gerakan tasawuf juga mendapat sambutan luas dari kalangan umat Islam bahkan penyebaran Islam menjadi lebih mudah berkat dakwah yang dilakukan oleh para sufi.

Buya Hamka adalah seorang intelektual muslim Indonesia kontemporer yang concern dalam berbagai pemikiran Islam, salah satunya dalam bidang ilmu tasawuf. Salah satu karya Hamka dalam bidang ilmu tasawuf termaktub dalam karyanya yang berjudul Tasawuf Modern (139). Tasawuf Modern merupakan karya Buya Hamka yang sangat fenomenal, sebelum dijadikan buku, “Tasawuf Modern” merupakan salah satu rubrik dalam majalah “Pedoman Masayarakat” (1937). Akan tetapi respon masayarakat sangat baik sehingga ada sebagian masyarakat yang menganggap bahwa tasawuf modern merupakan obat yang bisa menentramkan jiwanya. Hamka juga memberikan keterangan tentang mengapa rubrik yang dipakai di dalam menuangkan tulisannya itu bernama Tasawuf Modern. Menurutnya, meskipun tulisan yang ia tuangkan juga merujuk pada buku-buku tasawuf (klasik), akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk mengetengahkan ilmu tasawuf yang telah dipermodern.

Luasnya pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban Islam menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat Islam. Tasawuf

Modern Hamka sangat penting artinya bagi dunia saat ini, karena masyarakat

telah terperangkap dalam pola pikir rasional dan mencampakkan dimensi batin, hingga melahirkan gaya hidup yang materialis dan hedonis, dalam arti masyarakat hanya berfikir kehidupan duniawi semata tanpa menghiraukan kehidupan ukhrawi.


(10)

Dari fenomena disorientasi paradigma kehidupan masyarakat tersebut, telah mengakibatkan lahirnya berbagai penyimpangan kemanusian yang terjadi di segala sektor kehidupan, seperti: korupsi, penindasan terhadap kaum lemah, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, eksploitasi sumberdaya alam hingga menimbulkan kerusakan lingkungan, dekadensi moral dan lain sebagainya.

Di sisi lain ada sebagian orang yang terlalu terlena dengan tradisi

sufisme mistik, mereka meyakini dengan meninggalkan kehidupan dunia akan

mendapatkan kebahagian batin yang akhirnya menghantarkan mereka pada singgasana kemuliaan kelak di akhirat. Dengan pemahaman tersebut, mengakibatkan mereka tidak mau tahu terhadap berbagai penyimpangan yang terjadi di sekeliling mereka. Mereka acuh terhadap hiruk pikuk keramaian zaman, karena mengurusi yang demikian dianggap sebagai kesiasiaan belaka.

Menurut Hamka, tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merupakan jantung dari ke-Islaman. Oleh karena itu, sangat tepat jika pendekatan Tasawuf menjadi salah satu daya tarik diterimanya Islam di Indonesia. Lebih jauh lagi tasawuf telah meniupkan spiritnya ke dalam hampir seluruh kebudayaan Islam. Tarekat-tarekat sufi sebagai institusi terorganisasi, memiliki peran signifikan dalam matriks masyarakat muslim yang lebih besar, eksistensinya telah memainkan pengaruh besar atas seluruh struktur masyarakat.

Dalam refleksinya Hamka sering memperkenalkan konsep neo zuhud, yaitu ajaran yang menyatakan kecintaan terhadap dunia yang tidak proposional merupakan kenistaan. Dalam buku Tasawuf Modern, Hamka mengutip perkataan K.H Mas Mansur ”80 % didikan Islam kepada keakhiratan dan 20 % kepada keduniaan. Tetapi kita lupa memenangkan yang tinggal 20 % lagi itu sehingga menjadi hina”.8

Zuhud sendiri pada dasarnya berarti Manahan diri dari sesuatu yang mubah karena kekhawatiran kita terikat padanya. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa alasan bagi perlunya zuhud terletak pada ketidakbolehan kita

8


(11)

terikat pada sesuatu yang bersifat duniawi. Dengan kata lain tidak ada salahnya bila terlibat terhadap hal-hal yang bersifat duniawi selama masih bersifat proporsional.9

Hal ini dengan gamblang di dukung oleh firman Allah pada surat al Qasash ayat 77

















Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnhya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Karunia Allah di dunia sangat banyak diantaranya, kesehatan, kekuatan dan kesejahteraan. Manusia tidak dilarang untuk memiliki harta akan tetapi yang tidak boleh adalah terlalu sibuk dan tenggelam mengurus harta sehingga lupa kewajibannya sebagai makhluk kepada khaliknya. Jadi inti dari zuhud kuncinya adalah kata proposionalitas.

Dalam memaknai pengertian tasawuf, Hamka sepakat dengan definisi tasawuf menurut Al Junaid yaitu keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk pada budi pekerti yang terpuji. Menurut Hamka tasawuf yang suci dan murni bukanlah lari dari gelombang hidup, tasawuf yang sejati adalah paduan dalam menempuh hidup. Tasawuf yang sejati bukanlah lari ke hutan, melainkan lebur ke dalam masyarakat, sebab masyarakat perlu akan bimbingan rohani. Tasawuf yang sejati bukanlah “khilafayah dan ikhtilafiyah” (ilmu berselisih).

9


(12)

Hamka berpendapat, bertasawuf bisa dilakukan sambil melakukan aktifitas duniawi, bahkan sambil berdagang sekalipun kita dapat bertasawuf

pada saat yang sama. Junaid Al Bagdadi yang bergelar “Syaikh at Thaifah”

membuka kedai kain di tengah kota Bagdad, ia telah mempraktekan bertasawuf sambil berladang atau sambil bekerja.10

Hamka melihat bahwa tasawuf beroleh sumbernya yang otentik dari ajaran-ajaran islam sendiri, seperti telah dijelaskan di atas. Tapi aliran-aliran tasawuf yang ada sering menyimpang dari paham ortodoksinya. Sebagaimana diketahui bahwa Hamka memang berusaha membersihkan tasawuf dari unsur yang bertentangan dengan tauhid, namun demikian ia memang memilki apresiasi terhadap tasawuf dan berpandangan bahwa taswauf diperlukan oleh masyar akat.

Terhadap taswauf yang telah menyimpang dan mengalami deviasi,-yang mengajarkan sikap-sikap deviasi,-yang mengharamkan pada diri sendiri dan terhadap barang yang dihalalkan Tuhan, Hamka mengatakan bahwa tasawuf yang demikian tidaklah berasal dari islam. Selanjutnya ia berkata bahwa zuhud yang melemahkan itu bukanlah bawaan islam. Semangat Islam adalah semangat bekerja, berjuang bukan semangat malas, rapuh dan melempem. Menurut Hamka maksud dari tasawuf yang sebenarnya adalah membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi serta memerangi syahwat.

Muhammad Solihin dalam bukunya Tasawuf Aktual mengutip pendapat Hasan Hanafi seorang pemikir Islam kontemporer tentang istilah tasawuf progresif yang mengarahkan orang untuk bersikap progresif, aktif dan produktif. Sebagai akibat dari pencerahan spiritualnya melalui aplikasi tasawuf setiap harinya. Sehingga tidak ada istilah tasawuf sebagai anti kemoderenan, penghambat krativitas dan penghalang kemajuan. Bahkan menurut Hasan Hanafi tasawuf aplikatif, jika operasionalnya dilaksanakan secara benar, akan mampu membangkitkan semangat revolusioner, dalam produk pemikiran maupun aksi seorang muslim.11

10

Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h. 49-50.

11


(13)

Apabila tasawuf dimaknai dengan pemahaman yang lebih konstuktif, edukatif dan progresif sebagaimana telah diutarakan para pemikir muslim kontemporer di atas, maka tasawuf akan lebih memiliki peran signifikan dalam khazanah pendidikan Islam, yang bertujuan mencetak generasi muda yang cerdas, soleh dan berakhlak mulia.

Sejak awal budaya manusia, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses sosialisasi yang menyebarkan nilai-nilai dan pengetahuan yang terakumulasi dalam masyarakat. Dr. al A’la Afifi dalam studinya tentang tasawuf klasik memaparkan bahwa tasawuf berperan besar dalam mewujudkan sebuah revolusi moral spiritual dalam masyarakat. Bertasawuf yang benar berarti sebuah pendidikan bagi kecerdasan emosi dan spiritual. Dan bukankah aspek moral –spiritual ini merupakan ethical basic atau al

asasiatul akhlakiyah bagi suatu formulasi sosial seperti dunia pendidikan.12

Hal tersebut senada dengan definisi pendidikan Islam, seperti yang diungkapkan oleh Mohamad Kanal Hasan sebagaimana dikutip Taufiq Abdullah Dan Sharon mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu proses yang komprehensif dari pengembangan kepribadian manusia secara keseluruhan, yang meliputi intelektual, spiritual, emosi dan fisik. Sehingga seorang muslim disiapkan dengan baik untuk melaksanakan tujuan kehadirannya disisi Tuhan sebagai hamba dan wakilnya di muka bumi.

Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia seutuhnya. Seutuhnya dalam arti keutuhan antara jasmani dan rohani. Pendidikan yang merupakan derivasi (turunan dari) Education (inggris) , tarbiyah- ta’dib dan ta’lim (Arab) menunjuk adanya proses yang berkesinambungan bagi manusia. Proses meliputi keseluruhan unsur baik kognitif, afektif dan psikomotorik. Bila proses tidak berjalan secara simultan maka yang terjadi adalah split

personality (diri yang terpisah) pada setiap orang.13

12

Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai kritik Sosial, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006), h.

53. 13


(14)

Pembelajaran bervisi spiritual diharapkan bisa mengantisipasi adanya split personality dan mereposisi pendidikan pada tempatnya sebagai jalan mencari hakikat esensial diri manusia.

Ajaran Islam dapat di bagi dua aspek yaitu aspek eksoteris (lahiriyah) dan aspek esoteric (batiniyaniah). Dan seharusnya pendidikan Islam mementingkan kedua-duanya. Hal yang bersifat esoteric masih sering di abaikan dalam dunia pendidikan saat ini. Dalam mengajarkan ibdah misalnya, seperti shalat yang lebih ditekankan masih dalam tataran pengetahuan tentang syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkanya. Sementara aspek esoteric salat yaitu makna shalat untuk membentuk pribadi muslim yang baik masih kurang diperhatikan.

Aspek esoteric dalam Islam di sebut tasawuf . Dengan lemahnya pengajaran aspek esoteris dalam Islam berarti juga bahwa pengajaran tasawuf dalam pendidikan Islam masih kurang. Padahal seharusnya pengajaran taswauf dilakukan secara seimbang dengan aspek eksoteris Islam. Karena tanpa ada pengajaran tasawuf yang seimbang, maka anak didik kurang menghayati makna ajaran Islam.14

Tasawuf modern Hamka adalah sebuah karya yang tidak hanya berisi

pelajaran tentang kesucian batin, tetapi juga berisi tentang kekuatan iman dan jiwa yang merupakan pondasi dari pendidikan Islam. Buku Tasawuf Modern sangat kaya dengan nilai-nilai pendidikan islam yang bisa di aplikasikan dalam dunia pendidikan.

Dalam karya yang monumental ini ia memaparkan secara singkat tentang tasawuf. Kemudian secara berurutan ia paparkan pula tentang makna kebahagiaan disertai pendapat para ilmuan, bahagia dan agama, bahagia dan utama, kesehatan jiwa dan badan, harta benda dan bahagia, sifat qana’ah, kebahagiaan yang dirasakan Rasulullah, hubungan ridha dengan keindahan alam, tangga bahagia, celaka, dan munajat kepada Allah.

14

Sudirman Tebba, Tasawuf Positif; Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari,


(15)

Dari pembahasan sekilas di atas, penulis melihat bahwa begitu banyak nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf Modern karya Hamka yang perlu dikaji lebih dalam. Maka dari itu dalam penulisan

skripsi ini penulis mengambil judul “ NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM BUKU TASAWUF MODEREN BUYA HAMKA .”

B. Penegasan Istilah

Agar mempermudah dan tidak menimbulkan kesalahpahaman dalam memahami penelitian kami yang berjudul: Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam

buku Tasawuf Modern Buya Hamka, penulis menyertakan penegasan istilah

dalam judul tersebut. 1. Nilai Pendidikan Islam

Nilai, Inggris (value); Latin (valere) berarti: berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, kuat. Nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna atau dapat menjadi objek kepentingan Pendidikan diartikan pengubahan cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran, penyuluhan dan latihan. Sedangkan Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan hasil pendidikan tertentu yang sesuai dengan ajaran Islam.

2. Tasawuf Modern

Buku Tasawuf Modern adalah buku karya Buya Hamka tahun 1939 sebagai karangan bersambung dalam majalah pedoman masyarakat yang terbit di Medan. Atas permintaan pembaca tasawuf Modern diterbitkan sebagai sebuah buku pada tahun 1939.

Dari penegasan istilah di atas maksud dari penilitian yang berjudul nilai-nilai pendidikan Islam dalam buku Tasawuf Modern Buya Hamka yaitu nilai pendidikan Islam adalah kualitas suatu hal yang menjadikan berguna, untuk mengubah cara berfikir atau tingkah laku dengan cara pengajaran yang sesuai dengan ajaran Islam.


(16)

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.

Adapun batasan masalahnya adalah: 1. Tasauf dalam pandangan Buya Hamka

2. Makna nilai-nilai pendidikan Islam, landasan serta tujuan pendidikan Islam 3. Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam buku Tasawuf

Modern, yaitu nilai pendidikan keimanan, akhlak dan spiritual

Adapun perumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pemikiran tasawuf dalam persfektif Hamka

2. Nilai-nilai pendidikan Islam apa yang terkandung dalam buku Tasawuf

Modern Buya Hamka.

D. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan Islam dalam buku tasawuf modern Buya Hamka

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: a. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi tentang penentuan sikap-sikap yang seharusnya dimiliki manusia dan dapat memberikan manfaat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam pendidikan Islam.

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat mengajarkan bahwa terdapat banyak pelajaran yang didapatkan dari buku Tasawuf Modern yang bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode Pengumpulan Data

Teknik atau metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kepustakaan atau study literature (library research) yaitu


(17)

dengan melakukan penelitian pada buku, artikel dan dokumen yang berhubungan dengan tema skripsi. Penelitian kepustakaan dimaksudkan untuk menelaah, mengkaji dan mempelajari berbagai literature yang erat kaitanya dengan masalah yang dibahas.

Sebagai sumber data penulis menggunakan sumber data primer dan sekunder sumber data primer diperoleh dari buku Tasawuf Modern karya Hamka, sedangkan sumber data sekundernya yaitu buku-buku yang relevan dengan pembahasan baik karya Hamka seperti, Renungan Tasawuf,

Pandangan Hidup Muslim, Tasawuf perkembangan dan pemurnianya,

maupun karya orang lain yang berhubungan dengan penelitian ini. 2. Metode Analisis Data

Penelitian yang penulis lakukan tergolong pada penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan cara berfikir secara induktif, artinya penelitian kualitatif bergerak dari bawah, peneliti mengumpulkan data sebanyak mungkin tentang persoalan penelitian, kemudian data-data tersebut dicari pola, hukum dan prinsip-prinsip.15

Proses menganalisis data, penulis menggunakan metode deskriptif analisis yang terdiri dari tiga kegiatan, diantaranya adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Pertama, setelah pengumpulan data selesai, maka tahap selanjutnya adalah mereduksi data yang telah diperoleh, yaitu dengan menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data, dengan demikian maka dapat ditarik kesimpulan.

Tahap kedua, data akan disajikan dalam bentuk narasi, kemudian tahap ketiga akan dilakukan penarikan kesimpulan dari data yang diperoleh.

Kemudian penelitian ini menggunakan teknik analisis isi (Content

analysis). Content analysis adalah teknik analisis terhadap berbagai sumber

informasi termasuk bahan cetak dan bahan non cetak.

15

Prasetya Irawan, Penelitian kulaitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta:


(18)

3. Teknik Penulisan

Teknik atau metode penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.


(19)

13

BAB II

TINJAUAN UMUM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan education.

Menurut Frederick J. MC. Donald pendidikan adalah : “Education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producing desirable

changes in the behavior of human being”1 (pendidikan adalah proses yang

berlangsung untuk menghasilkan perubahan yang diperlukan dalam tingkah laku manusia).

Istilah pendidikan sesungguhnya berasal dari bahasa Yunani yaitu

paedagogy yang dimaknai dengan seseorang yang tugasnya membimbing

anak pada masa pertumbuhanya sehingga menjadi anak yang mandiri dan bertanggung jawab.2

Dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan bahwa pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.3

1

Frederick J. MC. Donald, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication

LTD,1959), h. 4. 2

Dr. Zurinal Z dan Wahdi Sayuti S. Ag, Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-Dasar

Pelaksanaan Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press), h. 2. 3

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II (Jakarta:Balai Pustaka,


(20)

Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati dalam bukunya “ilmu Pendidikan” (2001) telah mengemukakan beberapa pengertian pendidikan, diantaranya; 1).

John Dewey, mangartikan pendidikan sebagai proses pembentukan

kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. 2). SA. Bratanata dkk, mengartikan pendidikan sebagai usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembanganya menuju kedewasaan. 3). Kihajar Dewantara, mengartikan pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.4

Sedangkan dalam Undang-undang RI No. 20 tentang sisdiknas pada pasal satu menyebutkan bahwa :

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara.5

Menurut H. M. Arifin, pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal.6 Dan menurut Prof Dr. Moh Ardani pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.7

Dari beberapa pengertian yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi

4

Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, cet.2, (Jakarta:Rineka Cipta, 2001),

h.69. 5

Undang-undang RI No.20 tentang Sisdiknas, cet,II, (bandung: Fokusmedia, 2003), h. 3. 6

H.M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang,

1976) h. 12. 7

Moh. Ardani, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT mitra


(21)

pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang utama.

Di dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, terutama karya-karya ilmiah berbahasa Arab, terdapat berbagai istilah yang dipergunakan oleh ulama dalam memberikan pengertian tentang pendidikan Islam dan sekaligus diterapkan dalam konteks yang berbeda-beda.8

Pendidikan Islam menurut Langgulung setidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu al tarbiyah al diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al ta’lim al diny (pengajaran keagamaan), al ta’lim al islamy (pengajaran keislaman), tarbiyah almuslimin (pendidikan orang-orang Islam), al tarbiyah fi al islam (pendidikan dalam Islam), al

tarbiyah inda almuslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam), dan al

tarbiyah al islamiyah (pendidikan Islami).9

Dalam bahasa arab ada beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan, seperti kata ta’lim (ميلعت), tarbiyah (هيبرت), dan kata ta’dib (بيدات).

Ta’lim (مىلعت), berarti pengajaran, seperti dalam firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang berbunyi:





































































Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar." (QS. Al- Baqarah: 31).

8

Muhaimin. et. Al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2004), h. 36.


(22)

Tarbiyah (هيبرت) berarti pendidikan, dengan kata kerja rabba (ىبر) berarti mendidik.10 Sebagaimana firman Allah SWT :

                  

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil". (al-Isra:24).

Ta’dib (بيدات) berarti pendidikan yang berhubungan dengan prilaku atau akhlak dalam kehidupan yang lebih mengacu pada peningkatan martabat manusia.11 Seperti sabda Rasul yang berbunyi :

Dari abu Burdah Abu Musa al-Asy’ari ra Nabi saw bersabda: „’laki-laki

manapun yang memiliki perempuan hendaknya ia mendidiknya….(HR. Bukhari).

Apabila uraian di atas kita perhatikan, terdapat perbedaan pemaknaan di antara istilah-istilah tersebut. Ta’lim lebih bersifat informatif, yaitu usaha pemberian ilmu pengetahuan sehingga seseorang menjadi berilmu (tahu).

Istilah ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap sikap moral dan etika dalam kehidupan yang lebih mengacu kepada peningkatan martabat manusia. Sedangkan tarbiyah mengandung makna lebih luas, tercakup didalamnya

pengertian ta’lim dan ta’dib.

HAMKA memposisikan pendidikan sebagai proses ta’lim dan menyampaikan sebuah misi (tarbiyah) tertentu. Tarbiyah kelihatanya mengandung arti yang lebih komprehensif dalam memaknai pendidikan Islam, baik vertical maupun horizontal. Prosesnya merujuk kepada pemeliharaan dan pengembangan seluruh potensi fitrah peserta didik, baik jasmaniyah maupun rohaniyah.

Misi pendidikan Islam menitikberatkan pada tujuan penghambaan dan kekhalifahan manusia, yaitu hubungan pemeliharaan manusia terhadap makhluk Allah lainnya, sebagai perwujudan tanggung jawabnya sebagai

10

Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen

Lembaga Islam Depag RI, 1992), h. 25. 11

Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), h.


(23)

khalifah dimuka bumi, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya secara harmonis. Bila kata tarbiyah ditarik pada pengertian interaksi edukatif, pandangan Hamka tentang tarbiyah mengandung makna: 1). Menjaga dan memelihara pertumbuhan fitrah (potensi) peserta didik untuk mencapai kedewasaan. 2). Mengembangkan seluruh potensi yang dimilkinya, dengan berbagai sarana pendukung (terutama bagi akal dan budinya). 3). Mengarahkan seluruh potensi yang dimiliki peserta didik menuju kebaikan dan kesempurnaan seoptimal mungkin. 4). Kesemua proses tersebut kemudian dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan irama perkembangan peserta didik.12

Hamka membedakan pengertian pendidikan dan pengajaran. Menurutnya pendidikan Islam merupakan serangkaian upaya yang dilakukan pendidik. Untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta didik, sehingga ia dapat membedakan mana yang buruk dan mana yang baik. Sementara pengajaran Islam adalah upaya untuk mengisi intelektual peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.13

Secara Terminologi pendidikan Islam menurut Ahmad D Marimba adalah bimbingan jasmani maupun rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.14

Achmadi dalam bukunya Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (1992), mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan

kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya

kepribadian muslim.15

Athiyah al-Abrasyi menyatakan bahwa pendidikan Islam ialah untuk mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia,

12

Samsul Nizar, Memperbincangkan dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang

Pendidikan Iislam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 109-110.

13 Nizar, Memperbincangkan …,h. 111.

14 Marimba, Pengantar Filsafat …., h. 21.

15

Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya


(24)

mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur pikiranya, halus perasaanya, mahir dalam pekerjaanya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.16

Dari beberapa pengertian pendidikan Islam di atas, pendapat yang lebih terperinci adalah hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia tanggal 7 sampai dengan 11 Mei 1960, di Cipayung Bogor, menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.17

Masih banyak lagi pengertian pendidikan Islam menurut para ahli, namun dari sekian banyak pengertian pandidikan Islam yang dapat kita petik, pada dasarnya pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia berdasarkan hukum-hukum Islam menuju terbentuknya manusia ideal (insan kamil) yang berkepribadian muslim dan berakhlak terpuji serta taat pada Islam sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

B. Nilai-Nilai Pendidikan Islam

Nilai adalah substansi, esensi atau sifat-sifat yang melekat pada sebuah hakikat atau objek. Dalam kajian filsafat, nilai adalah salah satu kajian dari aksiologi yang membahas tentang ada (being) dengan nilai (value), kalau dirumuskan ada = sesuatu + nilai. Tidak ada sebuah nilai apabila tidak ada sesuatu yang menyemat nilai tersebut, jadi sebuah nilai akan sangat tergantung pada penegembannya, yaitu sesuatu.

Sidi Gazalba sebagaimana dikutip oleh Chabib Thoha dalam Kapita

Selekta Pendidikan (1996), Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia

ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang

16

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : kalam Mulia, 2002), h. 3.

17


(25)

dikehendaki dan tidak dikehendaki.18 Sedang menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini).19

Jadi nilai adalah sesuatu yang besifat objektif dan tetap, sesuatu yang menerangkan tentang baik, buruk, indah atau buruknya sesuatu yang terlebih dahulu telah diketahui. Nilai-nilai pendidikan Islam berarti sifat-sifat objektif Islam yang melekat pada sebuah system, model, metode ataupun aktifitas pendidikan yang bersumber dari ajaran Islam .

Lebih dari itu fungsi pendidikan Islam adalah pewarisan dan pengembangan nilai-nilai dienul Islam serta memenuhi aspirasi masyarakat dan kebutuhan tenaga disemua tingkat dan bidang pembangunan bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.

Dalam pendidikan Islam terdapat bermacam-macam nilai Islam seperti nilai keimanan, akhlak dan spiritual yang mendukung dalam pelaksanaan pendidikan bahkan menjadi suatu rangkaian atau sistem di dalamnya. Nilai tersebut menjadi dasar pengembangan jiwa peserta didik sehingga bisa memberi out put bagi pendidikan yang sesuai dengan harapan masyarakat luas.

C. Sumber-Sumber Pendidikan Islam

Pendidikan Islam sangat memperhatikan penataan individual dan social yang membawa penganutnya pada pemelukan dan pengaplikasian Islam secara komprehensif. Agar penganutnya mampu memikul amanat yang dikehendaki Allah, pendidikan Islam harus kita maknai secara rinci. Landasan Pendidikan Islam adalah fundamen atau asas agar pendidikan Islam dapat berdiri tegak dan tidak mudah roboh. Dasar Pendidikan Islam secara garis

besar ada dua yaitu Al Qur’an dan sunnah.

18

HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996), h. 61.


(26)

1. Al Qur’an

Al-Qur’an adalah kalam Allah (perkataan Allah) yang diturunkan sebagai wahyu dan merupakan mukjizat agung kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al-Qur’an ini juga dipandang sebagai keagungan (majid) dan penjelasan (mubin). Kemudian seringkali di sebut petunjuk (hidayah) dan buku (kitab).20

Kedudukan Al Qur’an sebagai sumber dapat dilihat dari kandungan

surat Al Baqarah ayat 2 :





























Ialah Kitab (al-Quran) yang tidak ada keraguan di dalamnya,

petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-baqoroh : 2).

Selanjutnya firman Allah SWT dalam surat Asy Syura ayat 17 :

                      

Allah SWT yang telah menurunkan kitab dengan membawa

kebenaran dan menurunkan neraca keadilan (QS. Asy Syura: 17).

Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam sudah barang tentu harus dijadikan dasar pijakan atau asas bagi pendidikan Islam. Banyak sekali terma-terma tentang pendidikan yang dapat kita temukan di dalam Al-Qur`an baik secara eksplisit maupun implisit. Abul A’la al-Maududi menjelaskan bahwa mendidik dan memelihara merupakan salah satu dari sekian banyak makna implisit yang terkandung di dalam kata rabb. Allah adalah rabbul alamin yang universal dan tiada batas. Karena manusia berkomunikasi dan menitikberatkan pendidikan bagi manusia yang ada di muka bumi ini, maka akan sangat relevan jika Allah diyakini yang telah mengajar manusia di muka bumi ini dengan nama-nama dari segala sesuatu yang ada.21

20

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an,

(Jakarta:Rieneka Cipta, 2007), h. 17. 21


(27)

Al-Qur’an memberikan pandangan yang mengacu kepada kehidupan di dunia ini, maka asas-asas dasarnya harus memberi petunjuk kepada pendidikan Islam. Seseorang tidak mungkin dapat berbicara tentang pendidikan Islam apabila tanpa mengambil Al-Qur’an sebagai salah satu rujukan. Salah satu contohnya di dalam Al-Qur’an terdapat ajaran yang berisi prinsip-prinsip yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan itu. Sebagai contoh dapat dibaca dalam kisah Luqman yang mengajari anaknya dalam surat Luqman.22

Al-Qur’an adalah petunjuk-Nya yang apabila dipelajari akan membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan menjadi pikiran rasa dan karsa mengarah pada realitas keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.23

2. Al-Sunnah

Selain Al-Qur’an yang berfungsi sebagai dasar pijakan dan prinsip pendidikan Islam, Al-Sunnah sebagai tuntunan hidup rasulullah Saw adalah sumber ke dua yang sama-sama memiliki peranan vital dalam membangun dasar-dasar dan prinsif pendidikan Islam. Secara harfiah sunnah berarti jalan, metode dan program. Secara istilah sunnah adalah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih baik itu berupa perkataan, perbuatan atau sifat Nabi Muhammad Saw.

Sebagaimana Al-Qur’an, al-sunnah berisi petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan manusia dalam segala aspeknya yang membina manusia menjadi muslim yang bertaqwa. Dalam dunia pendidikan, al-sunnah memiliki dua faedah yang sangat besar, yaitu :

1). Menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an atau menerangkan hal-hal yang tidak terdapat didalamnya.

22 Daradjat, ,Ilmu Pendidikan…,

h. 20. 23


(28)

2). Menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan rasulullah Saw bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan kedalam jiwa yang

dilakukannya. 24

D. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah kegiatan selesai dan memerlukan usaha dalam meraih tujuan tersebut. Pengertian tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu hidup.25

Adapun tujuan pendidikan Islam ini tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan para ahli, menurut Ahmadi, tujuan pendidikan Islam adalah sejalan dengan pendidikan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk Allah SWT yaitu semata-mata hanya beribadah kepada-Nya.26 Firman Allah

SWT dalam Al Qur’an:



























Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supayamereka

menyembahku (QS. Adz-Dzariyat : 56).27

Al-Gazali sebagaimana dikutip oleh Fatiyah Hasan Sulaiman menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasikan kepada: a. Membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri

kepada Allah SWT

b. Membentuk insan purna yang untuk mendapat kebahagiaan hidup baik dunia dan akhirat.28

24

Abdurrahman An Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung:

Diponegoro, 1992), h. 47. 25

Zuhairini, et. al. Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta : Bina Aksara, 1995) h. 159.

26

Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya

media,1992), h. 63.

27

RHA Soenardjo, et. al, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al Wa’ah, 1993), h.

862. 28

Fatiyah Hasan Sulaeman, Sistem Pendidikan Versi Al Ghazali, cet ke 11, terj.


(29)

Dari dua tujuan pendidikan Islam menurut Al Gahazali di atas dapat dipahami bahwa dalam merumuskan tujuan pendidikan Al-Ghazali tidak hanya mementingkan kehidupan ukhrowi semata akan tetapi juga kebahagiaan dunia.

Sedangkan tujuan pendidikan islam menurut Ibnu Khaldun terbagi menjadi dua yaitu:

1. Tujuan keagamaan, maksudnya adalah beramal untuk akhirat, sehingga ia menemui tuhannya dan telah menunaikan hak-hak Allah yang di wajibkan keatasannya.

2. Tujuan ilmiah yang bersifat keduniaan, yaitu apa yang di ungkapkan oleh pendidikan modern dengan tujuan kemanfaatan atau persiapan untuk hidup.29

Secara filosofis, pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk al insan kamil atau manusia paripurna. Beranjak dari konsep di atas, maka setidaknya pendidikan Islam seyogyanya diarahkan pada dua dimensi yaitu: pertama, dimensi dialektika horizontal terhadap sesamanya. Kedua, dimensi ketundukan vertical kepada Allah.30

Pada dimensi pertama pendidikan hendaknya mengembangkan pemahaman tentang kehidupan konkret dalam konteks dirinya, sesama manusia, dan alam semesta. Akumulasi berbagai pengetahuan, keterampilan dan sikap mental merupakan bekal utama pemahaman terhadap kehidupan. Sementara pada dimensi kedua memberikan arti bahwa pendidikan sains dan teknologi selain menjadi alat untuk memanfaatkan, memelihara dan melestarikan sumber daya alami, juga menjadi jembatan dalam mencapai hubungan yang abadi dengan sang pencipta. Untuk itu pelaksanaan ibbadah dalam arti seluas luasnya adalah merupakan sarana yang dapat menghantarkan manusia ke arah ketundukan vertical kepada khaliknya.

Dalam pandangan Hamka, tujuan pendidikan Islam adalah mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia,

29 Ramayulis, Ilmu …, h. 71.

30

A.M. Saepudin, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islami, (Bandung: Mizan,1991), h.


(30)

serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya.

Armai Arif dalam bukunya “Pengantar Ilmu dan metodologi Pendidikan Islam” secara rinci menjelaskan bahwa tujuan pendidikan Islam terbagi kepada: tujuan umum, tujuan sementara, tujuan akhir, dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah peserta didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia mengahabisi sisa umurnya. Sementara tujuan operasinal adalah tujuan praktis yang akan di capai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.31

Dari beberapa pemaparan dari para ahli tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam Islam adalah bagian dari perjalanan hidup dan tujuan diciptakannya manusia yaitu semata-mata untuk beribadah (menghamba) kepada Allah Swt. Selain itu pendidikan Islam juga bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia paripurna

(insan kamil), sesuai ajaran dan pribadi rasulullah Saw guna mendekatkan diri

kepada Allah SWT demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

31

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers,


(31)

25

BAB III

KAJIAN TERHADAP BUKU TASAWUF MODERN BUYA HAMKA

A. Sekilas Biografi Buya Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) adalah “anak Minang” yang lahir di sungai Batang Maninjau (sumatera Barat) pada hari ahad, tanggal 16 februari 1908 M/13 Muharam 1326 H dari kalangan keluarga yang terkenal sangat taat beragama.1Ayahnya adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau sering disebut Haji Rasul bin syekh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku Kisai) bin Tuanku Abdullah Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan kaum mudo. Dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung binti Haji Zakaria (w. 1934). Dari data di atas dapat diketahui bahwa Hamka berasal dari keturunan yang taat beragama dan memilki hubungan dari generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII dan awal abad XIX.

Sejak kecil ia menerima dasar-dasar agama dan memebaca Al-Qur’an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Pada usia 7 tahun , ia kemudian dimasukan ke sekolah desa --yang hanya sempat dienyam sekitar tiga tahun-- dan malamnya Hamka belajar mengaji dengan ayahnya sampai khatam.

Ketika berusia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Perceraian kedua orang tuanya ini merupakan pengalaman pahit yang dialaminya. Tak heran jika

1


(32)

pada fatwa-fatwanya, ia sangat menentang tradisi kaum laki-laki minangkabau yang menikah lebih dari satu perempuan (poligami), sebab menurut Hamka hal tersebut sangat berpotensi untuk merusak ikatan dan keharmonisan rumah tangga.2

Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916 sampai 1923 ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniah School Padang panjang, serta Sumatera Thawalib padang Panjang dan di Parabek.3 Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak punya ijazah. Guru-gurunya waktu itu antara lain4 Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syekh Zainuddin Labay El yunusi.

Di tahun 1924 ia berangkat ke Yogya, dan mulai mempelajari pergerakan pergerakan Islam yang mulai bergelora. Ia mendapat kursus pergerakan Islam dari H.O.S TJokroaminoto, H. Fakhrudin, RM suryo pranoto dan iparnya sendiri A.R. St. Mansur yang pada waktu itu ada di Pekalongan.5

Di tahun 1935 dia pulang ke Padang Panjang. Waktu itulah mulai tumbuh bakatnya sebagai pengarang. Buku yang mula-mula dikarangnya

adalah bernama “Khatibul Ummah”. Di awal tahun 1927 dia berangkat pula

dengan kemauanya ke Mekkah, sambil menjadi koresponden dari harian

Islam” Tanjung Pura Langkat”, dan pembantu dari “Bintang Islam” dan

“Suara Muhammadiyah” Yogyakarta.

Atas desakan iparnya, A.R. St. Mansur ia kemudian di ajak pulang ke Padang panjang untuk menemui ayahnya yang demikian merindukanya. Sesampainya di Padang Panjang, ia kemudian di nikahkan dengan Siti Raham binti Endah Sutan, yang merupakan anak mamaknya (anak paman) pada tanggal 5 april 1929. Pernikahan Hamka dengan Siti Raham berjalan harmonis dan bahagia. Dari perkawinanya dengan Siti Raham, Hamka memiliki beberapa putera dan peteri, yaitu: Zaki, Rusdy, Fakhri, Azizah, Irfan, Aliyah, Fathiyah, Hilmi, Afif dan Syakib. Stelah istrinya meninggal dunia, satu

2

HAMKA, Kenang-kenangan Hidup, h. 63-74

3

HAMKA, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987) h. xv.

4 HAMKA, Tasawuf…, h. 2.


(33)

setengah tahun kemudian, tepatnya tahun 1973, ia menikah lagi dengan perempuan asal Cirebon yaitu Hj. Siti Khadijah.6

Pada tahun 1928 keluarlah buku romanya yang pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabarariyah. Waktu itu pula ia memimpin majalah

“Kemajuan Zaman” yang terbit hanya beberapa nomor. Di tahun 1929 keluarlah buku-bukunya antara lain, Agama dan perempuan, Pembela Islam,

Adat Minangkabau dan Agama Islam, Kepentingan Tabligh, Ayat-Ayat Mi’raj

dan lain-lain.

Di tahun 1930 Hamka mulai menjadi penulis mengarang pada surat

kabar “Pembela Islam” Bandung, dan pada saat itu pula mulai berkenalan dengan M. Natsir, A Hasan dan tokoh Islam lainnya. Ketika beliau pindah ke Makassar diterbitkanya majalah Al Mahdi.7

Pada tahun 1934 ia meninggalkan Makasar dan kembali ke padang panjang untuk meneruskan cita-citanya dan mengelola kuliyatul mubalighin antara tahun 1934-1935. Tujuan lembaga ini adalah untuk mencetak para mubaligh. Pada beberapa mata pelajaran penting seperti ilmu usul fiqh dan

mantiq, ilmu ikhtilaful mazahib, ilmu tafsir dan ilmu arudh. Akan tetapi

karena honorarium tak cukup untuk menghidupi keluarganya, maka bulan januari 1936, ia memutuskan untuk berangkat ke Medan. Di Medan bersama

M Yunan Nasution ia mendapat tawaran dari H Asbiran Ya’kub dan Muhamad

Rosami (bekas sekertaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah mingguan Pedoman Masyarakat.

Meskipun banyak rintangan dan kritikan, sampai tahun 1938 peredaran majalah ini berkembang cukup pesat. Perkembangan majalah “Pedoman Masyarakat” yang cukup menggembirakan ini telah ikut meningkatkan ekonomi keluarganya. Melalui rubrik “Tasawuf Modern”, tulisanya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk menantikan dan membaca setiap terbitan pedoman masyarakat.

6

Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. HAMKA, (Jakarta Pustaka

Panjimas: 1983) h. ix, 34 dan 107. 7


(34)

Pemikiran-pemikiranya yang cerdas yang dituangkan dalam majalah

“Pedoman Masyarakat” merupakan alat yang menjadi penghubung anatara dirinya dengan kaum intelektual lainya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa Ansari.

Ketika zaman pendudukan Jepang banyak terjadi kejadian yang mengecewakan rakyat. Salah satu kekecewaannya yaitu diberangusnya majalah pedoman masyarakat. Namun kebijakan Jepang yang merugikan tersebut tidak membuat semangat HAMKA menjadi luntur, ia masih sempat menerbitkan majalah “Semangat Islam”. Namun demikian kehadiran majalah ini tidak dapat menggantikan majalah pedoman masyarakat yang telah demikian melekat di hati pembacanya.

Hamka juga dipercaya menjadi ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975. Namun dua bulan sebelum wafatnya, Hamka mengundurkan diri dari kepemimpinan MUI. Pengunduranya ini disebabkan adanya persepsi yang berbeda antara pemerintah dengan MUI tentang perayaan natal bersama antara umat Kristen dan umat Islam.

Setelah pengunduran dirinya dari MUI, Hamka masuk rumah sakit karea serangan jantung yang cukup parah. Setelah kurang lebih satu minggu di rawat di rumah sakit pusat Pertamina, tepatnya pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka menghembuskan nafas terakhirnya dengan di kelilingi oleh orang-orang tercintanya, istrinya khadijah, putranya Afif Amrullah dan sahabat-sahabat terdekatnya. Hamka berpulang ke rahmatullah pada usia 73 tahun.8

B. Sekilas Latar Belakang Penulisan Buku Tasawuf Modern

Pada tahun 1936 ketika Hamka hijrah ke Medan, ia beserta M Yunan

Nasution mendapat tawaran dari H Asbiran Ya’kub dan Muhamad Rosami (bekas sekertaris Muhammadiyah Bengkalis) untuk memimpin majalah

mingguan “Pedoman Masyarakat”. Pada majalah ini Hamka juga dipercaya menulis pada sebuah rubrik yang bertajuk “Tasawuf Modern”.

8

Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka


(35)

Pada rubrik tersebut Hamka mulai menulis sebuah tulisan berseri sejak

tahun 1937 dengan mengambil judul “Bahagia”.9

Tulisan Hamka yang berjudul

“Bahagia” ini menerangkan tentang bentuk-bentuk dan cara-cara menggapai kebahagiaan menurut ajaran Islam dan diperkaya dengan mengutip dari para pemikir dan filosof barat dan kontemporer.

Bagi Hamka, tulisannya tersebut selain sebagai kekayaan ilmu pengetahuan, tapi juga diharapkan dapat membantu setiap pembacanya yang mengalami kegundahan dan keresahan untuk menemukan ketentraman jiwa. Bahkan Hamka sendiri mengakui bahwa tulisannya tersebut kerap dibacanya sendiri guna menasihati dan menentramkan jiwanya. Jadi tulisan Hamka ini sesungguhnya lebih banyak bersifat tuntunan aplikatif dan mengambil permasalahan kehidupan sehari-hari sebagai objek kajiannya.

Seiring berjalannya waktu, banyak dari pembaca majalah “Pedoman Masyarakat” yang sangat menaruh perhatian apresiatif kepada artikel berseri tersebut, bahkan setiap majalah “Pedoman Masyarakat” mengeluarkan edisi

baru, maka hampir semua mata pembaca tertuju pada rubric “Tasawuf modern”.

Dengan animo yang cukup tinggi dari para pembaca, maka setelah seri

tulisan “Bahagia” ini berakhir pada tahun 1938 dengan edisi 43, banyak yang meminta supaya Hamka membukukan tulisannya tersebut. Berkat dukungan

dari majalah “Pedoman Masyarakat” dan penerbit “As-Syura”, kumpulan tulisan tersebut terbit untuk pertama kalinya pada bulan Agustus 1939 dalam bentuk buku yang berjudul Tasawuf Modern yang diambil dari nama rubrik

majalah “Pedoman Masyarakat” yang telah membesarkan dan mempopulerkan tulisan tersebut.

C. Tasawuf Dalam Persfektif Pemikiran HAMKA

Secara etimologi pengertian tasawuf dapat dilihat dari beberapa pengertian, pertama, tasawuf berasal dari istilah yang dikonotasikan dengan

ahlu suffah, yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya

9


(36)

banyak berdiam diserambi –serambi masjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.

Kedua, ada yang mengatakan tasawuf itu berasal dari kata shafa, kata

shafa ini berbentuk fi’il mabni majhul sehingga menjadi isim mulhaq dengan

huruf ya nisbah , yang berarti sebagai nama bagi orang-orang yang bersih atau suci. Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya dihadapan Tuhanya.

Ketiga, ada yang mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari kata

shaf yang bermakna harfiah barisan. Makna shaf ini dinisbahkan kepada orang-orang yang ketika salat selalu berada di shaf (barisan) yang paling depan.

Keempat, ada yang mengatakan istilah tasawuf dinisbahkan kepada

orang-orang bani shufah.10

Kelima , tasawuf ada yang menisbahkannya dengan kata dari bahasa

Grik atau Yunani, yakni saufi. Istilah ini disamakan maknanya dengan kata hikmah.

Keenam, ada juga yang mengatakan tasawuf berasal dari kata “shuf”

yang berarti bulu domba atau wol.11

Pengertian tasawuf secara terminologi telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Al-Junaid mengungkapkan pengertian tasawuf adalah membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (insthink) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, dan bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, memakai barang yang penting dan terlebih kekal, menaburkan nasihat kepada semua umat manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at.12

Tasawuf menurut Hamka adalah seperti apa yang dikatakan oleh Al Junaid yaitu keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk pada budi

10

Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, ( Bandung: Pustaka Setia, 2006 )

h. 9.

11Anwar dan Solihin, Ilmu…, h. 10.


(37)

perangai yang terpuji.13 Lebih lanjut Hamka mendefinisikan tasawuf dengan istilah membersihkan, yaitu membersihkan hati dari sifat khizit, khianat, loba.

tamak, takabbur dan sifat tercela lainnya dan mengisi jiwa dengan sifat-sifat

mulia.14

Sebagaimana diketahui bahwa Hamka bukanlah orang yang pertama kali memperkenalkan tasawuf di Indonesia, tatapi beliau memperkenalkan kembali tasawuf dalam bentuk yang berbeda, pemikiran tentang tasawuf Hamka bisa dilihat dalam buku-bukunya yaitu Tasawuf Modern, Renungan

Tasawuf, Tasawuf Perkembangan dan Permunianya, dan Pandangan Hidup

Muslim.

Dalam majalah “Pedoman Masayarakat” yang dipimpinya dalam judul

rubric “Tasawuf Modern” ia menulis tulisanya hampir dua tahun dan mendapat respon dari pembaca, karena dalam tulisanya itu dijumpai pembahasan-pembahasan tentang soal-soal kesucian batin yang tadinya hanya dapat dijumpai dalam teosofi. Di sinilah letak keistimewaan Hamka dibanding ulama-ulama lain, ia lebih menggunakan pendekatan tasawuf dalam menyerukan Islam dari pada pendekatan fiqih atau hukum.

Dalam perjalannya tasawuf sering dihadapkan atau dibenturkan dengan pendekatan fiqih yang legalistik. Dalam pendekatan fiqih, Islam digambarkan sebagai agama peraturan. Keterangan mengenai iman dan ibadah pun disajikan dalam logika dan argumen hukum, sehingga terkesan bahwa Islam adalah agama yang kering dan kaku yang mementingkan formalitas dan yang lahir , demikian M Dawam Rahardjo menjelaskan dalam bukunya Intelektual

Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa.15

Sebagai seorang tokoh Muhammadiyah tentu Hamka mengambil resiko dalam memperkenalkan tasawuf. Ia sudah tentu sadar tentang tujuan dan kehadiran Muhammadiyah. Yaitu untuk memurnikan ajaran Islam dari unsur tradisi yang sering mengandung bid’ah dan khurafat. Sasaranya adalah apa

13

HAMKA, Tasawuf…,h. 13.

14

Hamka, Renungan Tasawuf (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985) h. 21.

15

M. Dawam Raharjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung:


(38)

yang kemudian dikenal sebagai ajaran kebatinan. Terutama kebatinan jawa. Selain adat istiadat dan nilai-nilai budaya setempat di daerah-daerah lain yang sering tercampur dengan kepercayaan dinamisme dan animisme.

Islam seperti dikatakan Dawam Rahardjo yang mengutip dari berbagai ahli sejarah seperti prof. Dr Priyono, bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui India dengan membawa unsur-unsur tasawuf. Dengan pendekatan tasawuf ini, Islam jadi lebih mudah diterima, dengan konsekuensinya, Islam membiarkan dirinya tecampur dengan budaya lokal. Muhammadiyah datang untuk membersihkan dari unsur-unsur tersebut. Dengan keyakinan bahwa Islam yang demikian itu akan membawa umat ke arah kemajuan. Memperkenalkan tasawuf berarti melawan arus reformasi yang dibawa oleh Muhammadiyah.16

Hamka tidak seperti pembaharu-pembaharu Islam lain, karena beliau tidak menentang tasawuf sebagai ajaran yang menyimpang, sebab kebanyakan pembaharu beranggapan bahwa tasauf merupakan sumber kemunduran Islam, sehingga hampir kebanyakan dari pembaharu-pembaharu tersebut tidak banyak merespon ajaran-ajaran tasawuf.

Terhadap tasawuf yang menyimpang, yang mengajarkan sikap-sikap yang mengharamkan pada diri sendiri barang yang dihalalkan Tuhan, Hamka mengatakan bahwa tasawuf yang demikian bukanlah berasal dari ajaran islam. Selanjutnya Hamka mengatakan bahwa zuhud yang melemahkan bukanlah bawaan Islam. Semangat Islam adalah semangat berjuang, semangat berkurban, bekerja, bukan semangat malas, lemah rapuh dan melempem.

Timbulnya tasawuf yang keliru tersebut menurut Hamka adalah karena perbuatan yang hendak menipu. Perbuatan ini disebut korupsi rohaniah. Kalau dalam perkara yang terang banyak penipuan, apalagi dalam soal batin yang tidak dapat di tangkap oleh panca indera.17

Dalam hal ini Hamka mengkritik agar tidak terjerumus kedalam ajaran tasawuf yang keliru dengan jalan menghimbau untuk kembali kepada pokok pangkal tasawuf yang sebenarnya, yaitu kembali kepada tauhid yakni

16Raharjo, Intelektual…

, h. 204.

17


(39)

kepercayaan bahwa Tuhan hanya satu. Kita tundukan jiwa hanya kepada Allah tidak kepada guru atau syekh, tidak kepada benda dan berhala dan tidak kepada makam-makan keramat. Hendaklah kita isi pribadi kita dengan sifat-sifatNya yang dapat kita jadikan sifat kita menurut kesanggupan kita.18

Maka maksud Hamka menulis tentang Tasawuf Modern adalah meletakan tasawuf kepada rel-nya, dengan menegakan kembali maksud semula tasawuf, yakni guna membersihkan jiwa, mendidik, dan memperhalus perasaan, menghidupkan hati dalam menyembah Tuhan dan mempertinggi derajat budi pekerti.19

Dengan bukunya Tasawuf Modern para pembaca bisa meletakan di mana posisi Hamka di antara berbagai aliran tasawuf. Dia memang berusaha untuk mengembalikan tasawuf kepada Al-Qur’an dan sunnah. Tidak hanya itu dia berusaha membangun konsep baru tasawuf dalam kehidupan modern sekarang ini. Maka di sini kita bisa mendudukan Hamka sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah terpenting yang mermberikan sumbangan yang unik dalam pemikiran keagamaan.

“Buya Hamka„s Revitalisation and Sufism and Relevance in Modern Indonesia” demikian pengakuan seorang pengagum Hamka, Yulia Day Howell, seorang sarjana Barat. Ia menyatakan bahwa pemahaman tasawuf Hamka relevan dengan perkembangan kehidupan modern saat ini. 20

Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa Hamka berpendapat bertasawuf dengan tujuan mendekatkan diri kepada Tuhan tidaklah salah akan tetapi jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri tersebut tidak lain adalah ibadah sebagaimana yang diajarkan oleh agama kita, jalan inilah yang ditempuh oleh Nabi dan para sahabat beliau.21 Para sufi menurut Hamka dalam bermujahadah mempunyai kode-kode, istilah-istilah sendiri yang hampir mustahil dapat dimengerti oleh orang lain. Analisa Hamka terhadap huruf ja, ha, kha, adalah

18

HAMKA, Tasawuf Perkembangan dan Pemurnianya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993

h. 235 19

HAMKA, Pandangan…, h. 205.

20

Disampaikan di forum Seminar Internasional tentang Hamka, bertempat di Hotel Atlet Century Park, Jakarta Pusat, 8 April 2008.

21


(40)

bermakna : Takhalli=takhalli minal akhlak al madzmumah (lepaskan dirimu dari perangai yang tercela). Tahalli = Tahalli nafsaka bil akhlak al mahmudah (isilah akhlakmu dari jiwa yang terpuji). Tajalli = jelaslah Tuhan dihadapanmu.22

Takhalli diartikan secara umum sebagai upaya untuk membuang segala

sifat tercela dalam diri manusia, dari maksiat lahir maupun bathin. Hal ini bisa dicapai dengan cara menjauhkan diri dari kemaksiatan dan melenyapkan dorongan hawa nafsu kotor dan sifat tercela. Sifat-sifat tercela itu antara lain,

Hasad, Hiqd, Takabbur, Nifaq, Kikir, su’ul Dzann, Riya, Ghadab, Ghibah.

Tahalli artinya berhias. Maka berhiaslah diri dengan sifat-sifat yang

terpuji, sehingga bertambah naiklah roh dan jiwa kita mencapai martabat yang lebih tinggi. Bersihlah batin dari seluruh pengaruh yang buruk.

Maka menurut Hamka setelah huruf kha kemudian ha dan lama-lama

titiknya turun kebawah menjadi huruf “jim” (ج). Maka jadilah Tajalli artinya jelas dan nyatalah jalan kepada Tuhan. Karena Tajalli Tuhan dalm pandangan seorang hamba tidaklah mungkin kalau jiwa hamba itu masih belum kuat, dan kekuatan jiwa hanya di capai setelah dia dibersihkan.23

Hamka menyatakan bahwa nur ilahi dimasukan Allah ke dalam hati seseorang sehingga ia memperoleh ketentraman batin. Untuk mendapatkan nur kaum sufi mengadakan latihan jiwa yaitu berusaha mengosongkan dirinya dari sifat-sifat tercela, melepaskan segala sangkut paut dengan dunia, lalu mengisi diri mereka dengan sifat terpuji, dan segala tindakanya selalu dalam rangka ibadah dengan cara memperbanyak dzikir, menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri baik secara lahir maupun batin.24

Demikianlah pemikiran Hamka tentang bagaimana seorang sufi mendekatkan diri kepada Allah melalui mujahadah, yang pasti untuk mendekatkan diri kepada Allah ini harus melalui perilaku yang baik dan benar, atau akhlak al karimah. Inilah yang merupakan titik tekan dari ajaran

22

Ridjalaludin F.N, Mengungkap Rahasia; Tasawuf versi Hamka (Jakarta: Pusat Kajian

Islam FAI UHAMKA, 2008), h.137. 23

HAMKA, Pandangan…, h. 53-54.


(1)

pengalaman dan pengajaran. Menurut Hamka Hawa nafsu yang bisa merusak akhlak harus dikungkung dan diperangi.

Di dalam buku ini juga kaya dengan penjelasan macam-macam akhlakul karimah seperti, malu, sidiq, amanat, ikhlas, qona’ah dan tawakal yang bisa dijadikan sumber dan memperkaya khazanah pendidikan Islam.

3. Pendidikan Spiritual

Buku Tasawuf Modern terkenal dengan pengobat dan penentram jiwa, menurut Hamka jiwa adalah harta yang tiada ternilai mahalnya. Kesucian jiwa menyebabkan kejernihan diri, lahir dan batin. Pendidikan spiritual dalam buku Tasawuf Modern terlihat dalam pembahasan tentang kesehatan jiwa, meskipun penjelasan Hamka tidak selengkap dan sejelas ulama-ulama terdahulu dalam menjelaskan tazkiyatun nafs, tapi penjelasan Hamka tentang kesehatan jiwa ini mudah dipahami dan mudah diaplikasikan, karena uraianya mudah dimengerti dan sederhana.

Disini Hamka memaparkan bagaimana cara menjaga kesehatan jiwa, serta tentang penyakit hati dan obatnya. Hamka juga menjelaskan bahwa untuk menjaga kesehatan jiwa salah satu caranya adalah dengan memperteguh keimanan kepada Allah SWT, bergaul dengan orang budiman, membiasakan pekerjaan berfikir, menahan syahwat dan marah, bekerja dengan teratur dan memeriksa cacat diri sendiri.

Dari semua pembahasan pada skipsi ini, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa buku Tasawuf Modern karya Hamka sangatlah kaya dengan nilai-nilai Islam yang relevan dengan prinsip nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan Islam, atau dengan kata lain terdapat nilai-nilai pendidikan Islam dalam buku Tasawuf Modern. Selain itu, buku tersebut juga disuguhkan secara sederhana, sehingga sangat applicable untuk dipraktekan oleh siapapun, termasuk bagi anak didik yang rata-rata berusia dini dan muda.


(2)

71

B. Saran

Sebagaimana tujuan pendidikan Islam menurut Hamka adalah mengenal dan mencari keridhoan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah komunitas sosialnya, penulis menyarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pendidikan Islam saat ini hendaknya tidak hanya mementingkan aspek jasmaniyah tetapi juga harus memperhatikan sisi rohaniyah, sehingga pendidikan yang bervisi spiritual bisa terwujud.

2. Kepada para pendidik diharapkan tidak hanya mengajarkan nilai yang bersifat teoritis, yang menekankan pada hafalan dan pemahaman saja, tetapi lebih dari itu pendidik seharusnya mengajarkan nilai yang esensial tentang makna serta ruh dari pembelajaran pendidikan Islam itu sendiri. Maka perlu konsep serta perencanaan yang matang dari para pendidik. 3. Standar akhir dari sebuah proses pendidikan sudah selayaknya tidak lagi

diukur dari standar kuantitatif semata, tapi juga harus dilihat dari standar kualitatif, yang salah satunya dari sejauh mana peserta didik dapat menginternalisasi nilai-nilai pendidikan Islam ke dalam setiap individunya.


(3)

72

Abdurrahman, Meaningful Learning, (Yogyakarta: pustaka pelajar 2007).

Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an, (Jakarta:Rieneka Cipta, 2007).

Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya media,1992).

Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur, Ilmu Pendidikan, cet.2, (Jakarta:Rineka Cipta, 2001).

Al-Ghazali, Muhammad, Nazhariyah al Tarbiyah al-Islamiyah li al Fard wa al Mujtama’, (Makkah al Mukarramah; Jami’ah Umm al Qura, 1400 H). Al-Hufy, Ahmad Muhammad, Akhlak Nabi Muhammad SAW;Kemuliaan dan

Keluhuranya, (Jakarta: Bulan Bintang) .

Al-Maududi, Abul A’la, Menuju Pengertian Islam, Terj. Amirudin Jamil, cet 1 (Bandung: CV. Sulita, 1967).

Al-Munajjid, Syekh Muhammad Shalih, Jagalah Hati Raih Ketenangan, penerjemah: Saat Mubarak, cet 1, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2006). Al-Musawi, Khalil, Bagimana Membangun Kepribadian Anda: Resep-Resep

Sederhana dan Mudah Membentuk Kepribadian Islam Sejati, penerj. Ahmad Subandi (Jakarta: Lentera, 1999).

Al Qarni, Aid, Berbahagialah, (Jakarta: Pustaka Al kautsar, 2006).

An-Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung: Diponegoro, 1992).

An-Naisabury, Imam Qusyairi, risalah Qusyairiyah induk ilmu tasawuf,

Anwar, Rosihon dan. Solihin, Mukhtar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2006).

Aqil Siroj, Said, Tasawuf Sebagai kritik Sosial, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006).

Ardani, Moh, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT mitra cahayaUtama)

Arief, Armai Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002).


(4)

73

Arifin, H.M. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976).

Daradjat, Zakiyah, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. II, (Jakarta: Bumi Aksara dan Dirjen Lembaga Islam Depag RI, 1992).

---, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Departemen Agama Republik Indonesia, Alqur’an Tajwid dan Terjemah, (Jakarta

Khairul Bayan,2005).

F.N, Ridjalaludin, Mengungkap Rahasia; Tasawuf versi Hamka (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA, 2008).

Gazalba, Sidi, masyarakat Islam; Pengantar Sosiologi dan Sosiografi, jilid 1(Jakarta: Bulan Bintang, 1976).

Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jilid I, (Jakarta:Bulan Bintang, 1979). ---, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992). ---, Renungan Tasawuf (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1985).

---,Tasawuf Perkembangan dan Pemurnianya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993).

---, Tasauf Moderen, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987).

Hamka, Rusydi, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. HAMKA, (Jakarta Pustaka Panjimas: 1983) .

Hawwa, Sa’id, Mensucikan Jiwa (KOnsep tazkiyatun nafs Terpadu: Intisari Ihya Ulumudin Al Ghazali, (Jakarta: Rabbani Press, 1998).

---, Said, Mensucikan jiwa konsep tazkiyatun nafs terpadu, Cet. Ke-25 (Jakarta: Robbani Press, 2000).

---, Sa’id, Tarbiyatuna Al Ruhiyah, (Kairo; Maktabah al wahbah,1992). Ihsan, Fuad, Filsafat Pendidikan Islam, cet.2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001). Irfan, Muhammad, Teologi Pendidikan; Tauhid Sebagai Paradigm Pendidikan

Islam, (Friska Agung Insani, 2000).

Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2001). Khalil, Ahmad, Merengkuh Bahagia, (Malang: UIN Malang Press,2007).


(5)

Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Al Ma’arif, 1989).

Maududi, Abu A’la, Iman dan Ketaatan, Cet ke 1 (Darul Ulum Press, 1990). MC. Donald, Frederick J, Educational Psychology, (Tokyo: Overseas Publication

LTD,1959).

Muhaimin. et. Al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004).

Muhammad, M. Ahmad Qadir, Metodologi Pendidikan Agama islam, (Jakarta: Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama islam, 1985).

Nasution, Harun, Falsafat dan mistisisme Dalam Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1973).

Najati, M Utsman, Belajar SQ dan EQ dari sunah Nabi, Cet VI, (Jakarta: Hikmah, 2003).

Nata, Abudin, Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997).

Nizar, Samsul, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana,2008).

Qordhawi, Yusuf, Merasakan Kehadiran Tuhan, terj. Jazirotul Islamiyah, cet ke 2 (Yogyakarta: Pustaka pelajar Offset, 2000).

Raharjo, M. Dawam , Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1993).

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta : kalam Mulia, 2002).

Saepudin, A.M, Desekularisasi Pemikiran Landasan Islami, (Bandung: Mizan,1991).

Shihab, M. Qurais wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)

SIMUH, Taswauf dan perkembanganya dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 1997).

Sobahussurur (e.d) Mengenang 100 Tahun Hamka,(Jakarta: YPI Al Azhar, 2008). Soenardjo, RHA, et. al, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Al Wa’ah,

1993).


(6)

75

Suakidi, Kecerdasan Spiritual, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002). Sulaeman, Fatiyah Hasan, Sistem Pendidikan Versi Al Ghazali, cet ke 11, terj.

Fathurrahman, (Bandung : Al maarif, 1986).

Tebba, Sudirman, Tasawuf Positif; Manfaat Tasawuf dalam Kehidupan Sehari-hari, (Ciputat: Penerbit pustaka Irvan: 2003).

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II (Jakarta:Balai Pustaka, 1994).

Tebba, Sudirman, Hidup Bahagia Para sufi, (Jakarta:Pustaka Irvan, 2007). ---, Orientasi Sufistik Caknur, (Jakarta: Paramadina, 2004).

---, Sehat lahir batin, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004).

Thoha, HM. Chabib, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).

Undang-undang RI No.20 tentang Sisdiknas, cet,II, (bandung: Fokusmedia, 2003). Valiuddin, Mir, Zikir dan Kontemplasi dalam tasawuf, Cet. 2, (Bandung; Pustaka

Hidayah, 1997).

Z, Zurinal dan Sayuti, Wahdi, Ilmu Pendidikan Pengantar dan Dasar-Dasar Pelaksanaan Pendidikan, (Jakarta: UIN Jakarta Press).