Filsafat Hermeunetika. Revolusi Ilmu filsafat

HERMEUNETIKA
“Hermeunetika Sebagai sebuah Metode dan Disiplin Ilmu,
Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan”

Dosen Pengampuh: Prof. Dr. Rohimin. M, Ag

DISUSUN OLEH:
AJRUL MUHSININ
NIM. 214 303 0660

PROGRAM PASCA SARJANA (S2)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU
KONSENTRASI FILSAFAT AGAMA (FA)
2014

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang

interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa
yunani hermeneuien yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau
menerjemahkan. Jika dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari nama
Hermes, dewa Pengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai
pemberi pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh
para dewa-dewa di Olympus .
B. Sejarah
Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak
munculnya buku dasar-dasar logika, Peri Hermeneias karya Aristoteles. Sejak
saat itu pula konsep logika dan penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai
dasar tindakan hermeneutis.
Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki abad
pertengahan (medieval age). Hermeneutika diartikan sebagai tindakan
memahami pesan yang disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara
rasional. Dalam tradisi kristen, sejak abad 3 M , gereja yang kental dengan
tradisi paripatetik menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini untuk
menginterpretasikan Al-kitab. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, ulama
kalam menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk
menjelaskan ayat-ayat Mutasyabbihat.
Ketika Eropa memasuki masa pencerahan (rennaisance), dari akhir abad 18

M sampai awal 19 M, kajian-kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad
pertengahan dinilai tidak berbeda sama sekali dengan upaya para ahli Filologi
Klasik. Empat tingkatan interpretasi yang berkembang di abad pertengahan,
yaitu, literal eksegesis, allegoris eksegesis, tropologikal eksegegis, dan
eskatologis eksegesis, direduksi menjadi Literal dan gramatikal eksegesis .
Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli Filologi bernama Ernesti pada
tahun 1761, dan terus dikembangkan oleh Friederich August dan Friederich
Ast.1
C. Hermeunetika Sebagai Disiplin Ilmu
Hermeneutika kemudian keluar dari disiplin filologi bahkan melampaui
maksud dari empat tingkatan interpretasi abad pertengahan ketika
Schleiermacher menyatakan bahwa proses interpretasi jauh lebih umum dari
sekedar mencari makna dari sebuah teks. Ia kemudian menjadikan
hermeneutika sebuah disiplin filsafat yang baru. Hal tersebut disetujui dan
1

http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika

2


dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M. Ia memadukan konsep
sejarah dan filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk melahirkan
pemahaman yang baru terhadap Hermeneutika. Ia kemudian memahami bahwa
proses hermeneutika adalah sesuatu yang menyejarah, sehingga harus terusmenerus berproses di setiap generasi. Walaupun melahirkan pemahaman yang
tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis akan sangat berperan untuk
menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat obyektif.

hal yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasi

Abad 20 M, ditandai sebagai era post-modern dalam sejarah filsafat barat,
fenomenologi lahir sebagai paham baru yang merambah dunia hermeneutika.
Adalah Martin Heidegger, yang mengatakan bahwa proses Hermeneutis
merupakan proses pengungkapan jati diri dan permasalahan eksistensi manusia
yang sesungguhnya. Usahanya mendapat respon postif dari Hans-Georg
Gadamer yang kemudian memadukan Hermeneutika Heidegger dengan konsep
estetika. Keduanya sama-sama sepakat bahwa Yang-Ada berusaha
menunjukkan dirinya sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh
manusia, terutama bahasa.
Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan
ketika Paul Ricoeur memperkenalkan teorinya. Ia kembali mendefinisikan

Hermeneutika sebagai cara menginterpretasi teks, hanya saja, cara cakupan
teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh para cendikiawan abad pertengahan
maupun modern dan sedikit lebih sempit jika dibandingkan dengan yang
dimaksudkan oleh Heidegger. Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur bisa
berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol, maupun mitos.
Tujuannya sangat sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di
balik keberadaan teks tersebut.2

2

http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika

3

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hermeunetika
Kata "Hermeuneutik" berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang
berarti "menafsirkan", dan kata bendanya hermeneia yang berarti "penafsiran"
atau "interpretasi", dan kata hermeneutes yang berarti interpreter (penafsir).

Istilah Yunan iberkenaan dengankata "hennenuetik" ini dihubungkan dengan
nama dewa Hennes, yaitu seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesanpesan Jupiter kepada umat manusia. Tugas Hennes menerjemahkan pesanpesan dari dewa di Gunung Olympus ituke dalam bahasa yang dapatdimengerti
oleh manusia. Fungsi Hermes menjadi penting sebab jika terjadi kesalahpahaman dalam menginterpretasikan pesan dewa akibatnya akan fatal bagiumat
manusia. Sejak itu Hennes menjadi simbol seorang duta yang ditugasi
menginterpretasikan pesan, dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya
tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan. (Sumaryono, 1999:23-24).
Kata "hermeneutik" diartikan sebagai "proses mengubah sesuatu atau
situasi ketidak tahuan menjadi mengerti", terutama proses ini melibatkan bahasa
sebab bahasa merupakan mediasi paling sempuma dalam proses
(Palmer,2003:15).
Menurut Palmer (2003:15-36) bahwa mediasi dan proses membawa pesan
"agar dipahami" yang diasosiasikan dengan Dewa Hennes itu terkandung dalam
tiga bentukmakna dasardari herme-neuein dan herme-neia.Tiga bentuk tersebut
menggunakan verba dariherme-neuein, sebagaiberikut.
Pertama, herme-neuein sebagai "to express" (mengungkapkan), "to assert"
(menegaskan), atau "to say" (menyatakan), hal ini terkait dengan fungsi
"pemberitahuan" dari Hennes.
Kedua, herme-neuein sebagai "to explain" (menjelaskan), interpretasi
sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Interpretasi lebih
menitikberatkan pada penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal

yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu, menjelaskan
sesuatu, merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Seseorang dapat
mengekspresikan situasi tanpa menjelaskannya, dan mengekspresikannya
merupakan interpretasi, serta menjelaskannyajuga merupakan bentuk
interpretasi.
Ketiga, herme-neuein sebagai "to translate". Pada dimensi ini "to interpret"
(menafsirkan) bennakna "to translate" (menerjemahkan) yang merupakan
bentuk khusus dari proses interpretatif dasar "membawa sesuatu untuk
4

dipahami". Dalam konteks ini, seseorang membawa apa yang asing, jauh dan
tak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa seseorang itu sendiri, seperti
Dewa Hennes, penerjemah menjadi media antara satu dunia dengan dunia yang
lain.
"Penerjemahan" membuat kita sadar akan cara bahwa kata-kata
sebenamya membentuk pandangan dunia, bahkan persepsi-persepsi kita;
bahwa bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman kultural, kita
eksis di dalam dan melalui media ini,kita dapatmelihat melalui penglihatannya.
Dipilihnya penggunaan kata "Hermeunetika" merupakan bentuk singular dari
bahasa Inggris, hermeneutics dengan hump "s",

Dalam transliterasi Indonesia disertakan hurup "a" sehingga menjadi
"Hermeunetika". Dengan memilih istilah "Hermeunetika", menurut Palmer (2003:
vii), memiliki keuntungan antara lain: dapat menunjuk kepada bidang
Hermeunetika secara umum; dan membedakan spesifikasi, misalnya
henneneutik Hans-Georg Gadamer; di samping itu, membedakannya dengan
bentuk adjektif"hermeneutik" (hermeneutic tanpa hurup "s") atau "henneneutis"
(hermeneutical). Oleh sebab itu, "hermeneutik" cenderung terdengar sebagai
adjektif, kecuali disertai "the ".Kata "Hermeunetika" (hermeneutics) merupakan
kata benda (noun), kata ini mengandung tiga arti : (1) ilmu penafsiran, (2) ilmu
untuk mengetahui maksud3 yang terkandung dalam kata-kata dan ungkapan
penulis, dan (3) penafsiran yang secara khusus menunjukkepada penafsiran
kitab suci (Fakhruddin Faiz, 2003:21).
Namun, secara lebih aplikatif kata "hermeneutika" ini, menurut F. Budi Hardiman,
bisa didefinisikan dalam tiga hal yaitu : (1) mengungkapkan pikiran seseorang
dalam kata-kata, menerjemahkan, dan bertindak sebagai penafsir; (2) usaha
mengalihkan dan suatu bahasa asing yang maknanya tidak diketahui ke dalam
bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca; dan (3) pernindahan ungkapan
pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi ungkapan yang jelas (via Faiz,
2003:22).


Oleh sebab itu, "hermeneutika" selalu berurusan dengan tiga unsur dalam
aktivitas penafsirannya, yaitu : (1) tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber
atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa
oleh Hermes; (2) perantara atau penafsir (Hermes); (3) penyampaian pesan itu
oleh sang Perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima
(Faiz,2003:21).
Sebagai metode penafsiran, "hermeneutika" tidak saja berurusan dengan
teks yang dihadapi secara tertutup, melainkan penafsiran teks tersebut
membuka diri terhadap teks-teks yang melingkupinya. Sejalan dengan
pemahaman
tersebut,
Faiz
(2003:11)
menyebutnya
sebagai

3

Imaji, Vol.4, No.2, Agustus 2006 : 210 - 221


5

"mempertimbangkan horison-horison yang melingkupi teks tersebut", yakni
horison teks, horison pengarang, dan horison
Adapun alasan Faiz sebagai berikut. Dengan mempertimbangkan tiga
horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman ataupun penafsiran
menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang di samping
melacak bagaimana suatu teks itu dimuncuIkan oleh pengarangnya, dan muatan
apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks yang
dibuatnya;juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan
situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain,
sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal
sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks,kemudian
melakukan upaya kontekstualisasi. Jika ditarik sejarah ke belakang, berangkat
dan istilah yang diasumsikan kepada dewa Hermes itu, dan merunut
kepadajaman Yunaniklasik, pada masa itu Aristoteles pun sudah berminat
kepada penafsiran (interpretasi), dan ia pernah mengatakan dalam tulisannya
Peri Hermeneias (De Interpretatione) bahwa:
"Kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dan pengalaman mental kita, dan katakata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu.
Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang

lain, maka demikian pula ia tidak memiliki kesamaan bahasa ucapan dengan yang
lain. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya.4

Sejarah mencatat bahwa istilah "hermeneutika" dalarn pengertian sebagai
"ilmu tafsir" mulai muncul di abad ke-17, istilah ini dipaharni dalam dua
pengertian, yaitu hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis
penafsiran, dan hermenutika sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi
yang tidak bisa dibindarkan dari kegiatan memahami (palmer, 2003:8).
Hermeneutika pada awal perkembangannya lebih sebagai gerakan eksegesis di
kalangan gereja, kemudian berkembang menjadi "filsafat penafsiran" yang
dikembangkan oleh ED.E. Schleiermacher. Ia dianggap sebagai "Bapak
Hermeneutika Modem" sebab membakukan hermeneutika menjadi metode
umum interpretasi yang tidak terbatas pada kitab suci dan sastra. Kemudian,
Wilhelm Dilthey mengembangkan hermeneutika sebagai landasan bagi ilmu
kemanusiaan
(Geisteswissenschaften).
Lalu,
Hans-Georg
Gadamer
mengembangkan hermeneutika menjadi metode filsafat, terutama di dalam

bukunya yang terkenal
Truthand Method. Selanjutnya, hermeneutika lebih jauh dikembangkan oleh
para filosof seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, dan Jacques Derrida.
Perkembangan dari hermeneutika ini merambah ke berbagai kajian keilmuan,
dan ilmu yang terkait erat dengan kajian hermeneutika adalah ilmu sejarah,
filsafat, hukum, kesusastraan, dan ilmu pengetahuan tentang kemanusiaan.
Sekalipun hermeneutika mengalami perkembangan pesat sebagai "alat
4

Hermeneutika Sebagai Sistem Interpretasi (Abdul Wachid B.S.).

6

menafsirkan" berbagai kajian keilmuan, namun demikian jasanya yang paling
besar ialah dalam bidang ilmu sejarah dan kritiks teks, khususnya kitab suci.5
Dalam perkembangannya, hermeneutika mengalami perubahan-perubahan,
dan gambaran kronologis perkembangan pengertian dan pendifinisian
hermeneutika dengan lengkap diungkapkan oleh Richard E. Palmer dalam
bukunya Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heiddeger, and Gadamer (1969), yang diteIjemahkan oleh Musnur Hery menjadi
Hermeneutika Teori Baru mengenai Interpretasi (2003). Dalam buku tersebut
Palmer (2003:33) membagi perkembangan hermeneutika menjadi enam
kategori, yakni (I) hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci, (2)
hermeneutika sebagai metode filologi, (3) hermeneutika sebagai pemahaman
linguistik, (4) hermeneutika sebagai fondasi dari ilmu kemanusiaan
(Geisteswissenschaften), (5) hermeneutika sebagai fenomenologi dasein, dan
(6) hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Hal yang diungkapkan di depan
hanyalah problem umum hermeneutika. Hal tersebut hanya dimaksudkan
memberi gambaran singkat terhadap pengertian6 dan konsep dasar
Hermeunetika sehingga menjadi ancang-ancang pemahaman tatkala mengurai
Hermeunetika sebagai sistem interpretasi terhadap kesusastraan.
B. Ruang Lingkup Hermeunetika
Hermeunitika
dalam
sejarah
pertumbuhannya
mengalami
perkembangan dan perubahan-perubahan persepsi dan model pemakaiannya,
sehingga muncul keragaman pendefinisian dan pemahaman terhadap
hermeunitika itu sendiri. Gambaran perkembangan pengertian dan pendefinisian
tersebut oleh Richard E.Palmer dalam Hamidi (2007: 82-85) dibagi dalam enam
kategori hermeunitika sebagai berikut :
a. Hermeunetika sebagai Teori Penafsiran Kitab Suci
Terminologi Hermeunetika dalam pengertian ini pertama kali dimunculkan
sekitar abad 17-an oleh J.C Dannhauer. Meskipun sebenarnya kegiatan
penafsiran dan pembicaraan tentang teori-teori penafsiran, baik itu terhadap
kitab suci, sastra maupun dalam bidang hukum, sudah berlangsung sejak
lama. Misalnya dalam agama Yahudi, tafsir terhadap teks-teks Taurat telah
dilakukan oleh para Ahli Kitab. Dalam tradisi Kristen, juga pernah terjadi dua
macam penafsiran terhadap kitab sucinya, yaitu penafsiran harfiah yang
dianut oleh mazhab Anthiokia dan penafsiran simbolik yang banyak
digunakan oleh Mazhab Alexandria. Demikian juga dalam Islam, ilmu tafsir
(Hermeunetika Al-Qur’an) dipakai sebagai upaya untuk memahami
kandungan Al-Qur’an, sehingga muncul beraneka macam metode tafsir.
Hermeunetika Al-Qur’an dalam perspektif ini dijadikan sebagai sebuah teori

5
6

(Faiz,2003: II; Syarnsuddin,dkk.,2003:53).
Imaji, VolA, No.2, Agustus 2006 : 210 - 221

7

tafsir untuk mengungkapkan makna “tersembunyi” di balik teks atau kitab
suci.
b. Hermeunetika sebagai Metode Filologi
Dalam laju perkembangannya, Hermeunetika mengalami perubahan
dalam memperlakukan teks. Perkembangan ini merambat sejalan dengan
perkembangan rasionalisme dan filologi pada abad pencerahan. Dalam
wilayah ini, sekalipun suatu teks berasal dari kitab suci, harus juga
diperlakukan sebagaimana teks-teks buku lainnya. Semua teks dipandang
sama-sama memiliki keterkaitan dengan sejarah ketika teks itu muncul. Itu
artinya, metode Hermeunetika sebagai penafsiran kitab suci mulai
bersentuhan dengan teori-teori penafsiran sekuler seperti filologi. Sumbangan
yang berarti dalam memperkaya pengertian Hermeunetika ini berasal dari
seorang teolog modern yang bernama Rudolf Bultman dengan konsep
penafsiran demitologisasinya dan Wilhelm Dilthey dengan konsep historical
understandingnya. Demikian pula terjadi di kalangan pemaharu muslim,
seperti Ahmad Khan, Amir Ali dan Ghulam Ahmad Parves.
c. Hermeunetika sebagai Ilmu Pemahaman Linguistik
Hermeunetika linguistik sebagai kelanjutan dari Hermeunetika filologis, ia
telah melangkah lebih jauh di balik teks. Hermeunetika jenis ini menyatakan
bahwasanya sebuah teks yang dihadapi tidak sama sekali asing dan tidak
sepenuhnya biasa bagi seorang penafsir. Keasingan suatu teks di sini diatasi
dengan mencoba membuat rekonstruksi imajinatif atas situasi zaman dan
kondisi batin pengarangnya dan berempati dengannya. Dengan kata lain
harus juga dilakukan penafsiran psikologis atas teks itu sehingga dapat
mereproduksi pengalaman sang pengarang.
d. Hermeunetika sebagai Fondasi Metodologis dari (geites wissens chaften)
Dalam perkembangannya, Hermeunetika dalam perspektif ini dijadikan
sebagai metode untuk memperoleh makna kehidupan manusia secara
menyeluruh, sehingga garapan kerjanya tidak semata-mata interpretasi teks
saja, tetapi berusaha memperoleh makna kehidupan dari semua bentuk sinyal
dan simbol, praktik sosial, kejadian-kejadian sejarah dan termasuk juga karyakarya seni. Menurut Dilthey, suatu peristiwa sejarah itu dapat dipahami
dengan tiga proses. Pertama, memahami sudut pandang atau gagasan para
pelaku aksi. Kedua, memahami arti atau makna kegiatan-kegiatan mereka
yang secara langsung berhubungan dengan peristiwa sejarah. Ketiga, menilai
peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan gagasan yang berlaku pada saat
sejarawan yang bersangkutan hidup.
e. Hermeunetika sebagai Fenomenologi Dasein dan Pemahaman Eksistensial
Hermeunetika sebagai “Hermeunetika dasein” merupakan Hermeunetika
yang tidak terkait dengan ilmu atau peraturan interpretasi teks dan juga tidak
8

terjait dengan metodologi bagi ilmu sejarah (humaniora), tetapi terkait dengan
pengungkapan fenomologis dari cara beradanya manusia itu sendiri. Pada
intinya menurut Edmund Husserl mengatakan bahwa pemahaman dan
penafsiran adalah bentuk-bentuk eksistensi manusia.
f. Hermeunetika sebagai Sistem Penafsiran
Setelah Hermeunetika mengalami beragam pendefinisian di tangan
beberapa tokoh, dari mulai pengertian sebagai teori penafsiran konvensional
sampai merupakan bagian dari metode filsafat, kemudian muncullah seorang
tokoh bernama Paul Ricoeur yang menari kembali diskursus Hermeunetika ke
dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman teks. Lebih lanjut dia
mengatakan, Hermeunetika adalah teori mengenai aturan-aturan penafsiran
yaitu penafsiran terhadap teks tertentu atau sekumpulan tanda atau simbol
yang dianggap teks. Hermeunetika juga bertujuan untuk menghilangkan
misteri yang terdapat dalam simbol dengan cara membuka selubungselubung yang menutupinya. Hermeunetika membuka makna yang
sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaragaman makna dari
simbol-simbol. Langkah pemahaman Hermeunetika menurut Ricoeur ada tiga
langkah yakni Pertama, langkah simbolik atau pemahaman dari simbol ke
simbol. Kedua, pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat
atas makna. Ketiga, langkah filosofis yaitu berpikir dengan menggunakan
simbol sebagai titik tolaknya.
C. Hermeunetika Sebagai Ilmu Terapan.
Sebagai ilmu yang memahami sebuah teks, hermeneutika mempunyai
tingkat fleksibilitas yang tinggi. Ia dapat diterapkan di sejumlah ilmu-ilmu
kemanusiaan. Pengalaman kehidupan manusia menyimpan banyak pelajaran
tentang kehidupan. Pengalaman masa lalu manusia seringkali tidak selalu sama
dengan apa yang terjadi saat ini. Pengungkapan pengalaman manusia di masa
lalu selalu asing bagi pembaca berikutnya. Disinilah perlu adanya penafsiran
secara benar pengalaman itu. Pengalaman manusia tidak hanya berada dalam
satu ruang lingkup saja. Pengalaman manusia inilah yang telah mengajarkan
ilmu-ilmu kemanusiaan. Agar kita dapat belajar dan memahami tentang
pengalaman-pengalaman manusia masa lampai yang berguna bagi
kelangsungan kehidupan manusia maka ilmu-ilmu kemanusiaan itu sangat
memerlukan Hermeunetika (Dilthey dalam Subiyantoro, 2006: 80).
Hermeneutika sebagai proses penafsiran sudah berlangsung sejak dahulu,
namun hermeneutika sebagai istilah baru dikenal di seputar abad ketujuh belas.
Disiplin ilmu yang kerap kali menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab
suci. Semua karya yang berasal dari sebuha wahyu illahi seperti Al-Qur’an, Injil,
Taurat, Veda agar dapat dimengerti oleh umatnya memerlukan hermeneutika
untuk menafsirkannya. Tanpa adanya upaya penafsiran, maka sebuah prasasti
yang ada hanyalah sebuah batu dengan tulisan kuno yang tidak bermakna sama
9

sekali bagi orang yang melihatnya kecuali sekedar kekagumannya terhadap
prasasti tersebut.
Menurut Sumaryono dalam Subiyantoro (2006: 80) menyatakan bahwa
pentingnya hermeneutika dalam ilmu sejarah adalah memberikan penafsiran
terhadap produk sejarah yang telah ditunjukkan lewat sebuah prasasti. Dengan
hermeneutika orang akan tahu bagaimana sebenarnya sejarah tentang kehidupan
kerajaan masa lampau dan makna apa yang diperoleh dari sejarah melalui
prasasti. Tidak hanya dalam ilmu agama dan sejarah, hermeneutika juga dapat
berguna dalam hukum dan seni.

Kunci dari sebuah hermeneutika adalah bahasa. Karena melalui bahasa
kita dapat berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham
atau salah tafsir. Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah
tergantung dari banyaknya faktor yang ada yakni mengenai siapa yang
berbicara, keadaan khusus yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun
situasi yang dapat mewarnai arti sebuah peristiwa bahasa.
Hermeneutika yang merupakan ilmu penafsiran terhadap sesuatu
mempunyai pola kerja yakni sebagai pemberi potensi nilai terhadap suatu obyek.
Maksudnya disini ialah, sebelum kita menafsirkan sebuah obyek maka kita harus
lebih dahulu mengerti dan memahami. Memang pada kenyataannya untuk
mengerti lebih dahulu dan tidak dapat menentukan pada indikator-indikator
tertentu atau waktu-waktu tertentu. Mengerti seringkali terjadi begitu saja secara
alamiah. Bisa jadi seseorang menjadi mengerti setelah penafsiran atau
sebaliknya, mengerti dahulu setelah itu baru muncul penfasiran. Inilah yang
disebut dengan “lingkaran hermeneutika” (Sumaryono dalam Subiyantoro,
2006:82).
Kegiatan penafsiran adalah proses yang bersifat triadik (mempunyai tiga
segi yang saling berhubungan). Dalam hal ini seseorang yang melakukan
penafsiran hendaknya dua harus mengenal pesan atau teks yang ada, lalu
setelah itu ia harus meresapi isi teks yang ada sehingga seorang penafsir
tersebut seolah-olah bisa berada dalam keadaan dimana teks tersebut berada.
Dengan begitu maka penafsir bisa memahami secara sungguh-sungguh
terhadap suatu pengetahuan yang akan ditafsirkan tersebut dengan benar.
Seorang penafsir, tidak boleh bersifat pasif, ia harus melakukan suatu proses
rekontruksi makna. Rekontruksi makna merupakan suatu proses pemahaman
yang kita peroleh melalui proses menghubungkan semua bagian yang ada
dalam suatu obyek yang diteliti. Semua detail yang ada harus diperhatikan
karena apabila hal tersebut diabaikan maka tidak akan tercipta suatu
rekonstruksi yang menyeluruh. Dari keseluruhan proses yang dipaparkan diatas
itulah yang kemudian dikenal dengan metode hermeneutika yaitu suatu proses
memahami makna (Schleiermacher dalam Subiyantoro, 2006: 83).
Dari beberapa hal diatas dapat pula diketahui bahwa cara kerja
hermeneutika adalah mengenai penegasan makna otentik yang ingin dicapai
10

selalu dilihat dalam konteks ruang dan waktu. Memahami makna objek yang
diluar konteks akan mendapat sebuah makna yang kita lihat adalah pemahaman
makna semu. Keautentikan makna hanya bisa dimengerti dan dipahami dalam
ruang dan waktu yang persis tepat dimana ia berada. Artinya, setiap makna
selalu tersituasikan dan hanya benar-benar dapat dipahami dalam situasinya.
Pemahaman makna yang tidak autentik adalah makna yang dikontrol situasi.
Jadi inti dari pekerjaan hermeneutika adalah untuk mengmbalikan pada
pengalaman orisinil dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan
“kunci” makna kata-kata atau ungkapan pada konteks saat ini. Dalam mengkaji
sebuah teks yang ada dengan Hermeneutika kita tidak bisa lepas dari dua hal
yang sangat berpengaruh yakni mengenai subyektivitas teks dan subyektivitas
penafsir. Untuk lebih jelasnya akan dibahas sebagai berikut :
Subyektivitas Teks
Teks dalam arti yang lebih luas tidak hanya sebatas pada pengertian
tulisan. Para ahli Sejarah mulai memperkenalkan begaimana memahami sejarah
dengan tidak hanya dilakukan sebuah teks tertulis. Teks lisan mempunyai
otentisitas yang lebih dari teks tertulis (Guan dalam Subiyantoro, 2006:83). Teks
disini mengalami perluasan makna. Kata-kata yang akhirnya kita tulis adalah
sebuah teks tulis, maka untuk memahami makna dari apa yang dituliskan berarti
kita sedang mencari makna dari teks tulis. Memahami teks juga dapat dilakukan
dalam bentuk lain yakni dengan cara memahami teks secara lisan. Sebuah
rekaman wawancara dapat digunakan ketika ingin memahami makna dari
wawancara itu, maka hasil pemahaman itu berasal dari teks yang terkandung
dari hasil wawancara yaitu teks lisan.
Menurut Subiyantoro (2006:85) menyatakan bahwa teks juga merupakan relalitas
sosial yang mengalami fiksasi atau pemantapan. Oleh karena itu, menafsirkan
atau menganalisis teks tidak lain adalah kegiatan menganalisis atau menafsirkan
suatu realitas sosial yang telah diinterpretasikan ke dalam teks. Teks sendiri
dalam studi ini merupakan suatu ekspresi wacana lisan. Teks sebagai realitas
sosial mempunyai arti bahwa kehadiran teks itu tidak berdiri sendiri. Ia hadir
dalam apa pun bentuknya tidak terlepas peristiwa apa yang menghadirkannya.

Seperti sebuah prasyarat bahwa kebutuhan subyektifitas teks ini sangat
memegang peranan dalam studi hermeneutika. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Robinson menyatakan bahwa “suatu hermeneutika yang
diterima pada dasarnya adalah titik awal yang dipilih secara sadar dan berisikan
komponen ideologis, sikap, metodologis yang dirancang untuk membantu usaha
interpretasi dan memudahkan pemahaman yang maksimal (Esack dalam
Subiyantoro, 2006:86). Hal ini disampaikan karena hermeneutika tidak hanya
membutuhkan penafsiran teks secara tunggal tetapi hermeneutika
membutuhkan pula penafsiran yang terkait dengan terbentuknya teks tersebut
seperti ideologi, sikap, moral, religiusitas dan sebagainya.

11

D. Tujuan Hermeneutika
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa sangat
meramu dan merumuskan satu definisi tentang hermeneutik yang
mencakup seluruh aspek-aspeknya, hali ini karena faktor keluasan
keragaman pembahasan hermeneutik serta keberadaan aliran-aliran
berbeda.

sulit
bisa
dan
yang

Begitu pula tidak terdapat kesepakatan tentang ranah pengkajian
hermeneutik. Pada kesempatan ini kita akan mencermati bahwa apakah bisa
ditetapkan tujuan-tujuan yang sama dan bersifat menyeluruh untuk hermeneutik
yang dapat diterima oleh semua aliran dan kecenderungan yang terdapat dalam
hermeneutik?.
Pertama-tama akan ditegaskan bahwa sesungguhnya tak terdapat tujuantujuan yang sama dan bisa disepakati dalam hermeneutik ini. Hal ini bisa dilihat
di sepanjang sejarahnya bagaimana munculnya aliran, pemikiran, dan
kecenderungan fundamental yang berbeda satu sama lain dalam perumusan
aplikasi dan penentuan fungsionalnya.
Dengan memandang realitas itu, lantas bagaimana bisa ditetapkan suatu
arah dan tujuan yang sama di antara keragaman pemikiran tentang hermeneutik
dalam upaya pemahaman teks, penghapusan segala keraguan terhadap
pemahaman-pemahaman itu, penentuan metodologi bagi humaniora, dan
perumusan dasar-dasar yang menjadi tolok ukur pemahaman terhadap sejarah,
karya-karya seni dan tulis, prilaku, dan peradaban manusia?.
Pusaran yang dilahirkan oleh hermeneutik filosofis di awal abad
keduapuluh dalam penentuan arah kontemplasi hermeneutik berkonsekuensi
pada tajamnya perbedaan di antara hermeneutik abad keduapuluh ini dan
hermeneutik abad sebelumnya sedemikian sehingga sangat sulit (kalau bisa
dikatakan mustahil) kita menentukan tujuan-tujuan sama yang terdapat dalam
hermeneutik filosofis dan yang terdapat dalam aliran-aliran hermeneutik lainnya.
Bahkan penegasan arah dan tujuan yang sama di antara cabang-cabang
hermeneutik filosofis sendiri sangat sulit dilakukan. Apa yang hari ini dikenal
dengan nama hermeneutik filosofis tidak lain ialah aliran yang didirikan oleh
Martin Heidegger dan muridnya, Hans-Georg Gadamer, serta dipopulerkan oleh
dua filosof Perancis, Jacques Derrida, dan Paul Ricoeur.
Namun, keempat tokoh tersebut yang sama-sama penganut hermeneutik
filosofis memiliki pandangan yang berbeda dalam penentuan arah dan tujuan
hermeneutik. Di bawah ini akan diungkapkan beberapa perspektif mereka

12

supaya kita bisa mengetahui seberapa mendalam perbedaan yang ada
berhubungan dengan tujuan hermenutik filosofis tersebut:
Martin Heidegger dalam kitabnya, Being and Time, menyatakan bahwa filosof
Yunani Kuno mengungkapkan persoalan eksistensi secara filosofis dan berupaya
mengetahui hakikatnya secara apa adanya. Namun, sejak zaman Aristoteles
hingga filsafat masa kini, persoalan mengenai hakikat eksistensi itu menjadi
terlupakan dan pembahasan beralih pada pemahaman tentang fenomenafenomena wujud partikular.

Para filosof pasca Plato memandang bahwa eksistensi itu merupakan
konsep yang paling umum dan universal yang tidak bisa didefinisikan (aksioma)
serta bersifat sangat gamblang (badihi). Berpijak pada hal ini, mereka tidak
memandang masalah hakikat eksistensi itu sebagai persoalan filsafat.
Heidegger beranggapan bahwa eksistensi yang bersifat aksioma dan
konsep yang paling universal itu tidak menjadi halangan untuk melakukan
pencarian hakikat eksistensi itu. Ia menetapkan bahwa tujuan filsafat yang benar
adalah menemukan jawaban dan solusi universal atas persoalan hakikat
eksistensi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa filsafat itu mesti menemukan dan
merumuskan persoalan ini menjadi suatu kaidah dan metode dalam pencarian
hakikat eksistensi tersebut.
Dalam pandangannya, setiap maujud memiliki hakikat eksistensi yang
berbeda, bahkan di mana saja suatu maujud tertentu berada, maka di situ pula
hadir hakikat eksistensi. Kita tidak bisa mengetahui hakikat eksistensi itu dengan
cara mengamati dan melihat secara langsung, karena hakikat eksistensi itu
merupakan dimensi lain dari maujud-maujud yang tercipta, dengan demikian,
hakikat tersebut mesti diungkap dan dihadirkan dalam bentuk pertanyaanpertanyaan dan analisis.
Di antara maujud-maujud di alam, maujud manusia, oleh Heidegger disebut
sebagai dasein, memiliki satu jalan pengenalan terhadap hakikat eksistensi,
karena dasein itu adalah suatu maujud yang bisa melahirkan beri-ribu
pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat eksistensi dibanding maujud-maujud lain
dan penelitian terhadap hakikat eksistensi itu merupakan salah satu dari
kemampuan-kemampuan wujudnya yang luar biasa.
Namun, menurutnya, ini tidak berarti bahwa dari dimensi wujud, dasein itu
mendahului hakikat eksistensi. Oleh karena itu, dalam pengenalan dan
pengungkapan hakikat itu tidak ada cara lain kecuali mengenal secara hakiki
eksistensi manusia (dasein).7

7

Martin Heidegger, Being and Time, PP 21, 28.

13

Heidegger menegaskan bahwa bentuk pengenalan fenomenologikal dasein
yang dimaksudkan untuk memahami hakikat wujud itu tidak lain adalah tujuan
utama filsafat dan fenomenologikal ini disebut dengan hermeneutik, karena arti
hermeneuin itu ialah “membuat sesuatu itu bisa dipahami” dan feneomenologikal
dasein dirumuskan untuk memahami hakikat eksistensi. Maka dari itu, analisis
terhadap esensi wujud dasein itu dan fenomenologikalnya merupakan aktivitas
hermeneutik.
Inti tujuan kontemplasi filsafat Heidegger adalah pengenalan hakikat
keberadaan, yakni memiliki tujuan ontologikal. Berbeda dengan tokoh-tokoh
hermeneutik sebelumnya, ia tidak berusaha mencari rumusan untuk suatu
pemahaman dan metode baru yang akurat dalam memahami teks atau ilmu
humaniora. Ia mengangkat hermeneutik itu dari tingkat epistemologi dan
metodologi ke derajat filsafat serta memandang hermeneutik itu sejenis
fenomenologikal dan filsafat.
Perlu dikatakan di sini bahwa tujuan utama filsafat Heidegger tidak
bermaksud menganalisa substansi pemahaman manusia dan syarat-syarat
eksistensial kehadiran pemahaman itu, karena tujuan pertamanya adalah
menjawab pertanyaan tentang hakikat eksistensi dan analisis kerangka wujud
dasein merupakan tujuan menengah.
Sementara pengungkapan pertanyaan itu dan analisis hakikat pemahaman
serta penjelasan terhadap karakteristik-karakteristik fenomenologikalnya ialah
suatu perkara yang akan dituju oleh Heidegger dalam analisis kerangka wujud
dasein, dan hal ini bukanlah merupakan tujuan utama hermeneutiknya.
Hans-Georg Gadamer, murid utama Heidegger, dalam hermeneutik filosofisnya
sangat berpegang teguh pada gagasan-gagasan yang dihembuskan gurunya
tentang analisis dasein, terutama dalam bagian esensi pemahaman manusia. Ia
memandang
hermeneutik
filosofisnya
sebagai
basis
ontologi
dan
membedakannya dengan metodologi.

Dari sisi ini, ia searah dengan Heidegger. Ia pun tidak ingin merumuskan
secara umum suatu metodologi baru dalam pemahaman teks dan ilmu
humaniora. Namun, perlu diperhatikan poin ini bahwa tujuan utama dalam
hermeneutik Gadamer sama sekali tidak seirama dengan tujuan filsafat wujud
(ontologi) Heidegger.
Heidegger melangkah untuk menciptakan ontologi baru dan pengetahuan
atas hakikat eksistensi yang walaupun ia gagal dalam tujuan ini, dan sementara
Gadamer tidak menelusuri jejak itu dan tidak pula berupaya mengetahui hakikat
wujud.

14

Ontologi, dalam pandangannya, adalah ontologi pemahaman dari dimensi
bahwa pemahaman tersebut senantiasa merupakan suatu penafsiran dan
interpretasi. Ia menganalisa hakikat suatu penafsiran dan interpretasi. Ia tidak
merumuskan metode penafsiran, namun mengobservasi penafsiran itu sendiri
dan syarat-syarat eksistensial atas kehadiran interpretasi.
Analisis atas hakikat pemahaman dan interpretasi, bagi Heidegger, adalah
tujuan menengah dimana tangga mencapai tujuan-tujuan lain yang utama,
sementara bagi Gadamer analisis terhadap perkara itu dan basis-basis
eksistensialnya merupakan tujuan utama serta tidak dalam upaya mengejar
tujuan-tujuan yang lain.8
Perbedaan lain yang ada pada kedua hermeneutik ini adalah bahwa
Heidegger, yang berbeda dengan Dilthey, tidak memperhatikan problematika
bagi basis-basis ilmu manusia, yakni masalah obyektivitas.
Sementara dalam hermeneutik Gadamer, masalah ini ialah hal yang
utama, yakni Gadamer menempatkan ontologi pemahaman itu sebagai
jembatan menuju epistemologi dan kedua hal ini saling terkait.
Begitu pula ia memandang bahwa analisis terhadap hakikat pemahaman
dan syarat-syarat bagi perwujudannya niscaya akan memberikan hasil yang
sangat bermanfaat dalam pengembangan humaniora, dan ia juga menunjukkan,
yang berlawanan dengan Dilthey, bahwa metode itu tidak bisa mengungkap
suatu hakikat, dan secara mendasar, hakikat itu mesti dipandang secara
berbeda dengan apa-apa yang telah dikonsepsi mengenai hakikat dalam tradisi
filsafat dan ilmu.
Menurutnya, penekanan kepada metodologi dan penetapan tolok ukur
bukan hanya tidak mampu mengantarkan kita kepada pencapaian hakikat,
bahkan menyebabkan kita menjadi terasing dan teralienasi dengan subjek yang
dibahas.
Dalam magnum opusnya, Truth and Method, ia juga membagi
pembahasan menjadi tiga bagian dan masing-masing unsur ini (seperti estetika,
sejarah, bahasa, interpretasi teks) ia bahas berdasarkan pandangan-pandangan
filosofisnya yang berkaitan dengan pengkajian pemahaman dan interpretasi
serta juga menunjukkan bahwa objektivitas – yang sebagaimana dipandang oleh
penganut aliran Objektivisme dalam ilmu humaniora (human sciences) – dalam
unsur-unsur itu adalah mustahil.

8

Brice R. Wachterhausey. Hermeneutics and Modern Philoshophy.

15

Paul Ricoeur adalah pemikir kontemporer asal Perancis yang pikirannya banyak
dipengaruhi oleh Heidegger. Namun, ia berbeda pandangan dengan Heidegger
dalam penggabungan antara hermeneutik dan fenomenologi. Heidegger menggali
hakikat eksistensi dengan analisis suatu fenomena khusus yang bernama dasein
itu.

Dengan demikian, hermeneutiknya ialah ontologi fundamental yang lebih
tinggi dari epistemologi, metodologi, dan basis ontologi pemahaman. Sementara
ontologi Ricoeur tidak secara langsung menganalisa eksistensi dasein,
melainkan ia ingin menyelami persoalan eksistensi lewat pendekatan semantik
dan penjelasan linguistik atas seluruh dimensi interpretasi ontologis.
Menurut Ricoeur, segala bagian fenomenologi yang bertujuan untuk
memahami hakikat eksistensi tidak dihubungkan dengan persoalan semantik.
Oleh karena itu, seluruh ranah hermeneutik mesti dirujukkan kembali kepada
perkara-perkara semantik.
Mitologi dalam kesastraan dan keagamaan adalah salah satu bentuk
fenomenologi yang menafsirkan simbol-simbol alam, dunia, dan zaman supaya
dapat disingkap dan diketahui makna-maknanya yang tersembunyi.
Dalam pandangan Ricoeur, kita tak bisa memahami secara langsung dan
mandiri hakikat eksistensi itu yang sebagaimana dikonstruksi oleh Heidegger,
dan pada sisi lain, segala ontologi itu bersifat penafsiran dan takwil atas simbolsimbol. Dengan demikian, untuk mengenal wujud tidak ada metode selain dari
pengkajian semantik. Kita mesti mengkaji realitas keberadaan dengan
fenomenologi dan pengungkapan secara mendalam berbagai simbol-simbol
serta berupaya melangkah ke tingkatan berpikir yang lebih tinggi dari derajat
pemikiran yang lahiriah.9
Paul Ricoeur tidak seperti Heidegger yang menggali ontologi dan
pemahaman hakikat eksistensi melalui suatu ontologi dasein, dan juga tidak
sebagaimana Gadamer yang merumuskan ontologi pemahaman. Filsafatnya
tidak dalam rangka menegaskan suatu ontologi hermeneutical. Kalaupun
hermeneutik Ricoeur menguraikan persoalan ontologi interpretasi, hal itu tidak
dimaksudkan mengkaji dan menganalisa secara langsung substansi
pemahaman, akan tetapi, dalam hubungannya dengan korespondensi simbolsimbol dan linguistik. Dari hal ini, ia kemudian menggagas teori umum tentang
ontologi pemahaman.10

9

Paul Ricoeur, Hermeneutics, P 14.
Jeanrond G. Werner, Text and Interpretation as categories of theological thinking trans by
Thomas J. Wilson, P 40.
10

16

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kata "hermeneutik" diartikan sebagai "proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidak tahuan menjadi mengerti", terutama proses ini melibatkan bahasa sebab
bahasa merupakan mediasi paling sempuma dalam proses. (Palmer,2003:15).
Kunci dari sebuah hermeneutika adalah bahasa. Karena melalui bahasa kita
dapat berkomunikasi, tetapi melalui bahasa pun kita juga bisa salah paham atau
salah tafsir. Pengertian dan penafsiran yang diperoleh sangatlah tergantung dari
banyaknya faktor yang ada yakni mengenai siapa yang berbicara, keadaan khusus
yang berkaitan dengan waktu, tempat ataupun situasi yang dapat mewarnai arti
sebuah peristiwa bahasa.
Hermeneutika yang merupakan ilmu penafsiran terhadap sesuatu mempunyai
pola kerja yakni sebagai pemberi potensi nilai terhadap suatu obyek. Maksudnya
disini ialah, sebelum kita menafsirkan sebuah obyek maka kita harus lebih dahulu
mengerti dan memahami. Memang pada kenyataannya untuk mengerti lebih dahulu
dan tidak dapat menentukan pada indikator-indikator tertentu atau waktu-waktu
tertentu. Mengerti seringkali terjadi begitu saja secara alamiah. Bisa jadi seseorang
menjadi mengerti setelah penafsiran atau sebaliknya, mengerti dahulu setelah itu
baru muncul penfasiran. Inilah yang disebut dengan “Lingkaran Hermeneutika”
(Sumaryono dalam Subiyantoro, 2006:82).

Sebagai ilmu yang memahami sebuah teks, hermeneutika mempunyai tingkat
fleksibilitas yang tinggi. Ia dapat diterapkan di sejumlah ilmu-ilmu kemanusiaan.
Pengalaman kehidupan manusia menyimpan banyak pelajaran tentang kehidupan.
Pengalaman masa lalu manusia seringkali tidak selalu sama dengan apa yang
terjadi saat ini. Pengungkapan pengalaman manusia di masa lalu selalu asing bagi
pembaca berikutnya. Disinilah perlu adanya penafsiran secara benar pengalaman
itu. Pengalaman manusia tidak hanya berada dalam satu ruang lingkup saja.
Pengalaman manusia inilah yang telah mengajarkan ilmu-ilmu kemanusiaan. Agar
kita dapat belajar dan memahami tentang pengalaman-pengalaman manusia masa
lampai yang berguna bagi kelangsungan kehidupan manusia maka ilmu-ilmu
kemanusiaan itu sangat memerlukan Hermeunetika. (Dilthey dalam Subiyantoro,2006: 80).

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Faiz, Fakhruddin. 2002. Hermeneutika al-Qur'an. Yogyakarta: Qolam, Cet.III.
2. Hadi

W.M.,

Abdul.

2004.

Hermeneutika,

Estetika,

dan

Religiusitas.

Yogyakarta: Mahatari.
3. Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi,
terjemahan.Musnur Hery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
4. http://meitanun.blogspot.com/2013/06/ruang-lingkup-hermeneutika.html
5. http://teosophy.wordpress.com/2009/09/12/tujuan-dan-urgensi-hermeneutik/
6. http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika
Referensi
1. Mulyono, Edi. dkk (2012). Belajar Hermeneutika. IRCiSod. ISBN 978-602-255013-6. Unknown parameter |Location= ignored (|location= suggested) hal 2022, 34-35, 69-70, 155-156.
2. Hamilthon, Edith (2009). Yogyakarta: Lagung Pustaka. ISBN 979-1698-045-64-0.
Unknown parameter |tittle= ignored ; Missing or empty |title=
3. Palmquist, Stephen (2000). Hongkong. Unknown parameter |tittle= ignored ;
Unknown parameter |Publisher= ignored (|publisher= suggested) ; Missing or
empty |title= pekan VI. Filsafat bahasa. Kuliah 18. Hermeneutika
4. Corbyn,Henry (1962). London and New York: Kean Paul International.
Unknown parameter |tittle= ignored ; Missing or empty |title= hal. 1-5.
5. poespoporodjo, W. (2004). Bandung: pustaka setia. Unknown parameter
|tittle= ignored ; Missing or empty |title=hal

18