BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA A. Pengaturan Hukum Perjanjian - Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Pemenuhan Hasil Produksi Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Perjanjian Antara Karyawan Dengan Ptpn Iv Perkebunan Pabatu)
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA A. Pengaturan Hukum Perjanjian Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313,disebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seorang atau lebih berjanji kepada seorang lain atau lebih atau saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Ini merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan
hukum antara orang-orang yang membuatnya, yang disebut perikatan.
Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan defenisi mengenai perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata yang didefenisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sekalipun dalam KUHPerdata defenisi dari perikatan tidak dipaparkan secara tegas, akan tetapi dalam Pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa perikatan selain dari Undang-Undang, perikatan juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu
15 I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Jakarta, Kesaint Blanc, 2003, hal. 21
merupakan perjanjian sedangkan perjanjian merupakan perikatan, karena
perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.
Menurut para ahli hukum, ketentuan pasal 1313 KUH Perdata memiliki beberapa kelemahan yaitu tidak jelas karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, tidak terlihat asas konsensualisme, dan bersifat dualisme. Menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah suatu persetujuan di mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan. Sedangkan menurut Setiawan, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian menurut
Communis Opinio Doctorum (pendapat para ahli) adalah suatu perbuatan hukum
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Menurut Prof. R. Subekti menulis bahwa suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian didefenisikan sebagai suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.
Yang menjadi Subjek dari suatu Perjanjian adalah:
1. Manusia Biasa
diakses Kamis, 05 Maret 2015 pukul 21:55 17 18 Abdulkadir Muhamad, Hukum Perjanjian, Bandung, PT. Alumni, 2013, hal.93 diakses Selasa,
10 Maret 2015 pukul 22:20 20 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta, PT. Intermasa, 2001, hal.122
I.G. Rai Widjaya, Op.Cit., hal.22
Manusia biasa (natuurlijke persoon), manusia sebagai subyek hukum telah mempunyai hak dan mampu menjalankan haknya dan dijamin oleh hukum yang berlaku dalam hal itu menurut pasal 1 KUH Perdata menyatakan bahwa menikmati hak perdata tidak tergantung pada hak kenegaraan. Setiap manusia pribadi (natuurlijke persoon) sesuai dengan hukum dianggap cakap bertindak sebagai subyek hukum kecuali dalam Undang-Undang dinyatakan tidak cakap seperti halnya dalam hukum telah dibedakan dari segi perbuatan-perbuatan hukum adalah sebagai berikut : a. Cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang dewasa menurut hukum (telah berusia 21 tahun dan berakal sehat).
b. Tidak cakap melakukan perbuatan hukum berdasarkan pasal 1330 KUH perdata tentang orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah :
- orang yang belum dewasa ;
- mereka yang ditaruh dibawah pengampuan ;
- orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
2. Badan Hukum Badan hukum (rechts persoon) merupakan badan-badan perkumpulan yakni orang-orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum. Badan hukum sebagai subyek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti manusia dengan demikian, badan hukum sebagai pembawa hak dan tidak berjiwa dapat melalukan sebagai pembawa hak manusia seperti dapat melakukan persetujuan-persetujuan dan memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya, oleh karena itu badan hukum dapat bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.
Objek dari perjanjian , Hak dan kewajiban untuk memenuhi sesuatu yang dimaksudkan disebut prestasi, yang menurut undang-undang bisa berupa
menyerahkan sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.
Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi
yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.
Setelah subjek hukum dala perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Secara umum kontrak atau perjanjian lahir pada saat tercapainya kesepakatan para pihak mengenai hal yang pokok atau unsur esensial dari perjanjian tersebut. Walaupun dikatakan bahwa perjanjian lahir pada saat terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, namun masih
21 ibid Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Jakarta, Rajawali Pers, 2013, hal.149 ada hal lain yang harus diperhatikan, yaitu syarat sahnya suatu perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu hal tertentu; dan d. suatu sebab yang halal.
Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut diatas akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Kesepakatan Kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu
perjanjian. Tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak ada pihak yang saling berkomunikasi, menawarkan sesuatu yang kemudian diterima oleh pihak lainnya. Artinya, tawar-menawar merupakan proses awal yang terjadi sebelum terwujud kata sepakat diantara para pihak yang berjanji. Selama perundingan, setiap pihak bebas menarik diri tanpa sanksi, setelah persetujuan itu dicapai
penarikan diri dapat menjadi pelanggaran perjanjian. Cara untuk terjadinya penawaran dan penerimaan dapat dilakukan secara tegas maupun dengan tidak tegas, yang penting dapat dipahami atau dimengerti oleh para pihak bahwa telah terjadi penawaran dan penerimaan. Komunikasi yang mendahului itu bertujuan untuk mencari titik temu agar bisa tercapai kata sepakat secara bebas. 23 Ibid, hal.13 25 Ibid, hal.14 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal.108
Sesungguhnya yang dijumpai disini bukanlah suatu kesamaan kepentingan para pihak, melainkan keinginan yang satu justru sebaliknya dari keinginan yang lain.
Namun “keberlawanan” itu menghasilkan kesepakatan. Dengan adanya
keterbalikan atau keberlawanan itu, maka terjadilah pertemuan kehendak yang saling setuju mengenai barang dan harga serta syarat-syaratnya sehingga terjadilah kesepakatan. Sebagai hal mendasar yang harus diketahui adalah bahwa suatu kesepakatan itu harus diberikan secara bebas. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 1321 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu kesepakatan itu sah apabila siberikan tidak karena kekhilafan, atau tidak dengan paksaan, ataupun tidak karena penipuan. Dengan kata lain, suatu kesepakatan harus diberikan bebas dari kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Apabila sebaliknya yang terjadi kesepakatan itu menjadi tidak sah dan perjanjian yang dibuat menjadi perjanjian
yang cacat (defective agreement).
Ketidaksahan yang disebabkan karena kesepakatan yang diberikan secara tidak bebas, mengakibatkan perjanjian itu dibatalkan. Sebenarnya ada dua kemungkinan yang terjadi dalam hal syarat perjanjian tidak dipenuhi yaitu:
a. Kemungkinan pertama adalah, pembatalan atas perjanjian tersebut yang pembatalannya dimintakan kepada hakim atau melalui pengadilan. Ini yang disebut dapat dibatalkan.
b. Kemungkinan kedua adalah, perjanjian itu batal dengan sendirinya, artinya batal demi hukum. 27 I.G. Rai Widjaya, Op.Cit., hal.46
Ibid , hal.47 Kesepakatan dapat terjadi secara tertulis dan tidak tertulis, yang mana kesepakatan yang terjadi secara tidak tertulis tersebut dapat berupa kesepakatan lisan, symbol-simbol tertentu, atau diam-diam.
Seseorang yang melakukan kesepakatan secara tertulis biasanya dilakukan dengan baik dengan akta dibawah tangan maupun dengan akta autentik. Akta dibawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak tanpa melibatkan pejabat yang berwenang membuat akta seperti notaris, PPAT, atau pejabat lain yang diberi wewenang untuk itu. Berbeda dari akta dibawah tangan yang tidak melibatkan pihak berwenang dalam pembuatan akta, akta autentik adalah akta
yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
Perbedaan prinsip antara akta dibawah tangan dengan akta autentik adalah karena jika pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta dibawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta autentik selalu dianggap asli kecuali terbukti kepalsuannya. Artinya, jika suatu akta dibawah tangan disangkali oleh pihak lain, pemegang akta dibawah tangan dibebani untuk membuktikan keaslian tersebut, sedangkan kalau suatu akta autentik disangkali, pemegang akta autentik tersebut tidak perlu membuktikan keaslian akta tersebut tetapi pihak yang menyangkalilah yang harus membuktikan bahwa akta autentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta dibawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta autentik
adalah pembuktian kepalsuan. 29 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal.15 ibid Kesepakatan secara lisan merupakan bentuk kesepakatan yang banyak terjadi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sering terjadi pada penjual yang hanya menjual satu macam jualan pokok, contoh kecilnya yaitu seperti pada penjual soto, pembeli hanya mengacungkan jari telunjuknya saja. Maka penjual soto tersebut akan mengantarkan satu mangkok soto. Cara terjadinya kesepakatan dengan simbol-simbol tertentu mungkin juga banyak terjadi pada perjanjian-
perjanjian yang terlarang, seperti jual beli narkoba dan hal-hal terlarang lainnya.
Kesepakatan dapat pula terjadi dengan hanya berdiam diri, seperti halnya dalam perjanjian pengangkutan. Jika kita mengetahui jurusan mobil-mobil penumpang umum, kita biasanya tanpa bertanya mau kemana tujuan mobil tersebut dan berapa biayanya, tetapi kita hanya langsung naik dan bila sampai ditujuan kita pun turun dan membayar biaya sebagaimana biasanya sehingga tidak mengucapkan sepatah katapun kepada supir mobil tersebut, namun pada dasarnya
sudah terjadi perjanjian pengangkutan.
Berdasarkan syarat sahnya perjanjian, khususnya syarat kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian, berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak maka tidak terjadi kontrak. Akan tetapi, walaupun terjadi kesepakatan para pihak yang melahirkan perjanjian, terdapat kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh
30 Ibid, hal.16
diakses Selasa, 10 Maret 2015 pukul 23:00 perjanjian tersebut. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena
hal-hal diantaranya:
a. kekhilafan atau kesesatan (dwaling);
b. ancaman atau paksaan (bedreiging, dwang);
c. penipuan (bedrog); d. penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).
Tiga cacat kehendak yang pertama diatur dalam BW sedangkan cacat kehendak yang terakhir tidak diatur di dalam BW, namun lahir kemudian dalam perkembangan hukum kontrak. Ketiga cacat kehendak yang diatur dalam BW dapat dilihat dalam Pasal 1321 dan Pasal 1449 BW yang masing-masing menentukan sebagai berikut.
Pasal 1321 BW: “Tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Pasal 1449 BW: “Perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya”.
Secara sederhana keempat hal yang menyebabkan terjadinya cacat pada kesepakatan tersebut secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
diakses Rabu, 11 Maret 2015 pukul 21:00 Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru. Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan fisik karena jika yang terjadi adalah paksaan fisik pada dasarnya tidak ada kesepakatan.
Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif mempengaruhi pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu. Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya. Penyalahgunaan keadaan ini disebut juga cacat kehendak yang keempat karena tidak diatur dalam BW, sedangkan tiga lainnya yaitu
penipuan, kekhilafan, dan paksaan telah diatur didalam BW.
2. Kecakapan Cakap atau bekwaam menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berumur 21 tahun (Pasal 1330 BW). Dalam hal ini undang-undang beranggapan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan atau perjanjian apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Jadi, pada prinsipnya semua orang adalah cakap untuk membuat perjanjian 33 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal.18 kecuali ia dinyatakan tidak cakap oleh undang-undang, ini merupakan general legal presumption (Pasal 1329 BW) .
Mengenai ketidakcakapan ini, pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah “Orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan semua orang-orang yang telah dilarang oleh undang-undang untuk membuat perjanjian-perjanjian
tertentu”. Khusus mengenai perempuan dalam hal yang telah ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki- laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian sedangkan untuk orang-orang yang dilarang oleh perjanjian untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya tidak berwenang membuat
perjanjian tertentu.
Pada dasarnya seseorang yang mengadakan perjanjian mempunyai niat serius untuk mengikatkan diri (niat kontraktual), mengerti aka nisi dan persyaratan perjanjian, sadar akan tanggung jawab yang dipikulkan dipundaknya serta
akibatnya sehingga orang tersebut haruslah cakap menurut hukum.
Secara sederhana dapat dipahami bahwa apabila ada orang yang pemikirannya belum matang, sakit ingatan atau gila, atau dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh obat-obat terlarang dapat diperkirakan orang yang bersangkutan tidak cukup mampu (onbevoegd) untuk memahami situasi yang dihadapi atau tanggung jawab yang dipikul serta akibatnya. Orang tersebut 34
ibid , hal.30 36 I.G. Rai Widjaya, Op.Cit., hal.48 ibid digolongkan tidak pantas sehingga tidak cakap (onbekwaam) untuk melakukan perbuatan hukum. Oleh karena itu, untuk melakukan tindakan hukum, orang belum dewasa (minderjarig atau underage) diwakili oleh walinya sedangkan untuk orang yang tidak sehat pikirannya (mental incompetent) diwakili oleh
pengampunya karena dianggap tidak mampu untuk bertindak sendiri.
3. Suatu Hal Tertentu Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 BW menentukan hanya barang- barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 BW barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. Selanjutnya barang tersebut harus suatu barang yang paling sedikit dapat
ditentukan jenisnya atau een bepaalde onderwerp. Jadi, satu hal tertentu yang dimaksudkan adalah paling sedikit ditentukan jenisnya, atau asalkan kemudian jumlahnya dapat ditentukan atau dapat dihitung. Sebab apabila suatu objek perjanjian tidak tertentu, yaitu tidak jelas jenisnya dan tidak tentu jumlahnya, perjanjian yang demikian adalah tidak sah. 38 ibid ibid, hal.49
4. Suatu Sebab Yang Halal Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum islam, tetapi yang dimaksud sebab yang hal adalah bahwa isi kontrak atau perjanjian tersebut
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang. Suatu sebab dikatakan halal apabila:
a. Tidak bertentangan dengan undang-undang
b. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum
c. Tidak bertentangan dengan kesusilaan Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena menyangkut subyek. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena menyangkut obyek. Terdapatnya cacat kehendak (keliru, paksaan, penipuan) atau tidak cakap untuk membuat perikatan, mengenai subyek mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sementara apabila syarat ketiga dan keempat
mengenai obyek tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
39 40 Ahmadi Miru, Op.Cit., hal.31 diakses Jumat, 13 Maret 2015 pukul 20:50 diakses Jumat, 13 Maret 2015 pukul 21:05
C. Hapusnya Suatu Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut: 1.
Pembayaran Pembayaran adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri Penawaran adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri. Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang
diakses Sabtu, 14 Maret 2015 pukul 19:20 yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera
Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
3. Pembaharuan utang atau novasi Pembaharuan utang atau novasi adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek
dari perjanjian itu.
4. Perjumpaan utang atau Kompensasi Perjumpaan utang atau Kompensasi adalah suatu cara penghapusan atau pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya. Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali: i.
Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum. ii.
Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan. 44 ibid ibid iii.
Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang
telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
5. Percampuran utang Percampuran utang adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang- piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
6. Pembebasan utang Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari
segala kewajibannya.
7. Musnahnya barang yang terutang Musnahnya barang yang terutang adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. 46 ibid ibid
8. Batal atau Pembatalan Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian. Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu: i. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim; ii.
Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
9. Berlakunya suatu syarat batal Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
10. Lewat waktu Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat 47 yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam pasal 1967 KUH Perdata
ibid disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka
perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
D. Pengertian Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai beberapa pengertian. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 14 memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai berikut, “Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak”.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Ketenagakerjaan, ketentuan mengenai perjanjian kerja tunduk pada Pasal 1601 a KUHPerdata yang memberikan pengertian perjanjian kerja sebagai berikut, “Perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang kesatu, buruh, mengikatkan untuk di bawah pimpinan pihak yang lain, majikan, untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan
menerima upah”.
Imam Soepomo mengkritisi perumusan ini, karena dianggapnya tidak lengkap. Hal ini disebabkan dalam pengertian diatas yang mengikatkan diri hanyalah pihak buruh saja, tidak pihak lainnya yaitu majikan. Padahal pada tiap 49 ibid Agusmidah, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010, hal.45 perjanjian, ada 2 pihak timbal balik yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak yang bersangkutan.
Sarjana lain memberikan pengertian perjanjian kerja dengan lebih tegas, merangkum pendapat dari Imam Soepomo, antara lain oleh Aloysius Uwiyono sebagai berikut, “Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara buruh atau pekerja dengan pengusaha, dimana buruh mengikatkan diri untuk bekerja pada pengusaha, dilain pihak pengusaha mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh
dengan membayar upah”.
Perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha menimbulkan hubungan hukum, yaitu hubungan kerja dan mengandung 3 ciri khas, yaitu adanya
pekerjaan, adanya perintah, adanya upah.
Hubungan kerja dilakukan oleh pekerja atau buruh dalam rangka untuk mendapatkan upah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang No.
13 Tahun 2003, upah adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Perjanjian kerja dibuat secara terrtulis atau lisan. Perjanjian kerja 50
ibid 52 ibid Asri Wijayanti, Op.Cit., hal.42 yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat-syarat perjanjian kerja pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu syarat materiil dan syarat formil.
Syarat materiil dari perjanjian kerja berdasarkan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, dibuat atas dasar:
a. kesepakatan kedua belah pihak
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila dikaji lebih jauh sebenarnya ketentuan Pasal 52 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 itu mengadopsi ketentuan Pasal 1320 BW. Perjanjian kerja adalah salah satu bentuk perjanjian, sehingga harus memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian berdasarkan ketentuan Pasal 1320 BW yaitu adanya
kesepakatan, kecakapan berbuat hukum, hal tertentu, dan sebab yang halal.
Selanjutnya suatu perjanjian kerja harus memenuhi syarat formil.
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No.13 Tahun 2003, yaitu:
(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha; 54 Ibid, hal.42-43 Ibid, hal.46 b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja atau buruh;
c. jabatan atau pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja atau buruh; g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yan berlaku. (3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang- kurangnya rangkap dua, yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja atau buruh dan pengusaha masing-masing mendapat satu perjanjian kerja.
Selain itu, masih terdapat beberapa ketentuan mengenai perjanjian kerja yang diatur didalam Pasal 55 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau dirubah, kecuali atas persetujuan para pihak.
E. Bentuk-bentuk Perjanjian Kerja
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, perjanjian kerja dapat
dibuat secara lisan dan tertulis.
55 Hidayat Muharam, Op.Cit., hal.2
1. Bentuk Perjanjian Kerja secara Lisan Menurut ketentuan Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 syarat sahnya perjanjian kerja dibuat atas dasar: a. kesepakatan kedua belah pihak
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kata-kata sepakat mengikatkan diri pada Pasal 52 ayat (a) Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 ini adalah asas konsensualisme yang menentukan adanya perjanjian. Artinya, pada dasarnya perjanjian dan perikatan itu telah dilahirkan sejak tercapainya kata sepakat. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dan
tidak memerlukan bentuk yang formil (tertulis).
Pasal 52 ayat (b) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, mempersyaratkan para pihak yakni pengusaha sebagai pemberi kerja dan pekerja sebagai penerima kerja mempunyai kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum. Dalam memori penjelasan Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau cakap menurut hukum untuk membuat 56 Ibid, hal.3 perjanjian, sedangkan bagi tenaga kerja anak, yang menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya.
Berdasarkan Pasal 1320, 1329, dan 1330 KUHPerdata, subjek hukum yang membuat perjanjian harus cakap untuk melakukan tindakan hukum menurut hukum. Hakikat subjek hukum dibedakan antara pribadi kodrati (natuurlijk
person ), yaitu manusia tanpa terkecuali, pribadi hukum (recht person), dan
badan hukum seperti perseroan terbatas.Mengenai syarat subjektif, Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menentukan bahwa pihak dalam perjanjian kerja adalah subjek hukum dan tidak membatasi hanya untuk subjek hukum menurut hukum perdata tetapi juga termasuk subjek hukum publik, yakni badan hukum yang mengemban
kepentingan publik yang dikelola atau ditangani oleh negara.
Berdasarkan Pasal 52 ayat (c) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, suatu perjanjian kerja harus mempunyai pekerjaan yang diperjanjikan. Hal tersebut mengandung makna bahwa yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian kerja harus mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Berdasarkan Pasal 52 ayat (d) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Pasal 1320 KUHPerdata, 1335-1337 KUHPerdata, suatu perjanjian kerja harus berdasarkan suatu sebab yang halal. Maksud sebab disini adalah tujuan atau maksud yang dikehendaki dari suatu perjanjian kerja. Adapun yang dimaksud
57 Ibid
dengan halal adalah isi perjanjian kerja tersebut tidak boleh melanggar undang-
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
2. Bentuk Perjanjian Kerja secara Tertulis Beberapa bentuk perjanjian kerja mengecualikan asas konsensualitas, yakni untuk perjanjian-perjanjian yang memerlukan atau dipersyaratkan oleh undang- undang harus diadakan secara tertulis. Dalam Pasal 51 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 ditentukan bilamana peraturan perundang-undangan menentukan bahwa suatu bentuk perjanjian harus tertulis, harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti halnya ketentuan mengenai perjanjian kerja waktu yang dipersyaratkan dalam Pasal 57 Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 harus tertulis. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang No.13 Tahun 2003, ditentukan hal-hal yang harus terdapat dalam suatu perjanjian kerja tertulis,
yaitu:
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja atau buruh;
c. jabatan atau pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja atau buruh; 59 ibid, hal.4 ibid g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian kerja yang dibuat tidak memenuhi syarat-syarat awal sahnya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 butir (a) dan (b), yakni jika tidak ada kesepakatan dari pihak pekerja dan pihak pengusaha atas suatu perjanjian kerja, serta bila ada dari para pihak, baik itu pihak pekerja ataupun pengusaha tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan (Pasal 52 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
Berdasarkan jangka waktu (sementara atau terus menerus) dan jenis suatu pekerjaan (berulang-ulang atau selesainya suatu pekerjaan tertentu), hubungan kerja dapat dibuat dalam suatu perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (Pasal 56 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003).
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Sebagaimana ketentuan yang mengatur masalah ketenagakerjaan sebelumnya, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga mengatur hubungan kerja untuk waktu tertentu yaitu hubungan kerja yang
didasarkan pada perjanjian kerja untuk waktu terrtentu (PKWT).
60 Maimun, Op.Cit., hal.44
Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, yang dimaksud dengan perjanjian waktu tertentu adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat didasarkan pada:
a. Jangka waktu tertentu; b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dalam huruf latin dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kewajiban menuangkan perjanjian kerja jenis ini kedalam bentuk tertulis adalah untuk melindungi salah satu pihak apabila ada tuntutan dari pihak lain setelah selesainya perjanjian kerja.
Bukan tidak mungkin jika salah pihak misalnya pekerja atau buruh tetap minta dipekerjakan setelah selesainya perjanjian kerja waktu tertentu yang diperjanjikan.
Apabila tidak ada perjanjian tertulis yang dibuat sebelumnya maka pihak pengusaha dapat dituntut untuk terus mempekerjakan pekerja atau buruh sehingga hubungan kerja berubah menjadi hubungan kerja untuk waktu tidak tentu (PWKTT) yang biasa disebut pekerja atau buruh tetap.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat dalam bentuk tertulis dengan huruf latin dan tidak menggunakan bahasa Indonesia maka dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu sejak terjadinya hubungan 61 Hidayat Muharam, Op.Cit., hal.5 kerja. Perjanjian kerja waktu tertentu dilarang mensyaratkan adanya masa percobaan. Apabila syarat masa percobaan tersebut dicantumkan, maka syarat tersebut batal demi hukum. Perjanjian kerja jenis ini hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat, dan kegiatan pekerjaan akan selesai dalam waktu tertentu, jadi bukan pekerjaan yang bersifat tetap.
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan pada jangka waktu tertentu dapat diandalkan untuk paling lama 2(dua) tahun dan hanya dapat
diperpanjang 1(satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1(satu) tahun.
2. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja atau buruh dan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang
bersifat tetap (Pasal 1 angka 2 Kep. 100/Men/VI/2004).
Perjanjian kerja waktu tidak tertentu dapat mempersyaratkan masa percobaan selama tiga bulan. Selama masa percobaan tersebut pengusaha dilarang membayarkan upah minimum yang berlaku (Pasal 60 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003). Jika diperjanjikan mengenai masa percobaan dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu, selama waktu itu (tiga bulan) masing-masing pihak berhak mengakhiri seketika hubungan kerjanya dengan pemebritahuan penghentian (Pasal 1603 l. KUHPerdata). 63 Maimun, Op.Cit., hal.44-46 Hidayat Muhamaram, Op. Cit., hal.10
Dalam memori penjelasan Pasal 60 ayat (1) ditentukan bahwa syarat masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja waktu tidak tertentu harus dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja dilakukan secara lisan, syarat masa percobaan kerja harus diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan dan dapat dicantumkan dalam perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Dalam hal perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara lisan, apabila pekerja telah selesai melalui masa percobaan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan (Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003). Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat (Pasal 63 Undang-Undang
64 No. 13 Tahun 2003):
a. nama dan alamat pekerja;
b. tanggal mulai bekerja;
c. jenis pekerjaan; dan d. besarnya upah.
64 ibid