BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK DAN KREDIT MACET A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit Bank 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Hukum Bank Dalam Menyelesaikan Kredit Macet (Studi pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Kaba

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK DAN KREDIT MACET A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit Bank

1. Pengertian Perjanjian Kredit

  18 Secara garis besar perjanjian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

  1. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak.

  2. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubugan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUHPerdata.

  Pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

  Menurut Handri Raharjo, S.H., penyempurnaan terhadap definisi perjanjian (Pasal 1313 KUHPerdata) adalah suatu hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan diantara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak

  19 tersebut serta menimbulkan akibat hukum. 18 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia,2009), hal.42. 19 Ibid.

  Menurut Apeldoorn perjanjian disebut faktor yang membantu pembentukan hukum, sedangkan menurut Lemaire perjanjian adalah

  20 determinan hukum.

  Pengertian perjanjian kredit adalah pokok (prinsipil) yang bersifat rill. Sebagai perjanjian prisipil, maka perjanjian jaminan adalah assesoirnya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergabung pada perjanjian pokok. Arti rill adalah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank

  21 kepada nasabah debitur.

  Perjanjian kredit adalah perjanjian pendahuluan dari penyerahan uang. Dan perjanjian bersifat konsensual obligator yang dikuasai oleh Undang-Undang Perbankan dan bagian umum KUHPerdata. Penyerahan-penyerahan yang dilakukan barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian

  22 kredit pada dua pihak.

  Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara debitur dengan kreditur yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana debitur berkewajiban membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh kreditur dengan berdasarkan

  23 syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.

  Oleh karena itu perjanjian kredit adalah perjanjian yang diikat antara nasabah atau peminjam kredit dengan bank atau pemberi kredit selaku pihak yang meminjamkan sejumlah uang tertentu yang harus dikembalikan oleh pihak nasabah atau sipeminjam kredit pada suatu waktu tertentu yang diperjanjikan.

  20 21 Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum (Yogyakarta:Liberty, 1985), hal. 117. 22 Hermansyah, Op. Cit., hal.71.

  Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Cetakan Keempat, (Bandung:Alumni,1978), hal.32. 23 Gazali S Djoni, Hukum Perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika,2010), hal.1. Berdasarkan pengertian diatas maka dapat dikemukakan bahwa unsur- unsur yang terkandung dalam perjanjian kredit antara lain:

  1. Adanya para pihak, yaitu debitur dan kreditur.

  2. Adanya suatu objek atau prestasi yang diperjanjikan.

  3. Adanya batas atau jangka waktu yang telah diperjanjikan.

  4. Adanya hak dan kewajiban para pihak.

  5. Adanya suatu bentuk jaminan yang diikat oleh pihak kreditur.

  6. Adanya kepercayaan atau keyakinan dari sipenerima kredit.

  Perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  R.Subekti (1991:3) berpendapat: “Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semua itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUHPerdata.

  ” Perjanjian yang berlaku bagi perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata mengenai perikatan, dalam Buku III tersebut, ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian mengenai perjanjian diatur dalam Bab II. Perjanjian dalam Buku III KUHPerdata karena perjanjian merupakan salah-satu sumber perikatan, memang ada, selain perjanjian, sumber perikatan yang lain adalah karena undang

  • –undang. Pengertian perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1313 KUHPerdata, disebutkan sebagai berikut:“Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

  Dalam rumusan tersebut digunakan istilah persetujuan bukan perjanjian. Namun kedua istilah yang berbeda tersebut tidaklah perlu dipertentangkan karena pada dasarnya mempunyai maksud yang sama, yaitu tercapai kata sepakat dari kedua belah pihak.

  Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tampak kurang lengkap karena yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian hanya salah satu pihak saja. Padahal yang sering kali dijumpai adalah perjanjian dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri satu sama lain. Seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa dan tukar-menukar, para pihak di dalamnya saling mengikatkan diri, sehingga mempunyai hak dan kewajiban yang bertimbal balik. Karena itu seharusnya rumusan tersebut ditambah dengan kata-kata atau saling mengikatkan dirinya satu

  24 sama lain.

  Selain itu rumusan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut juga sangat

  25

  luas, hal ini dapat terlihat dari kata “perbuatan”, yang berarti seluruh apa saja yang dapat diperjanjikan, termasuk perbuatan melawan hukum. Sehingga rumusan tersebut perlu dibatasi dengan perbuatan hukum saja.

  Dari sekian banyak bentuk perjanjian yang ada dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, salah satunya adalah perjanjian pinjam pengganti yang diatur dalam Bab XIII Buku III KUHPerdata.

  Adapun yang dimaksud dengan perjanjian pinjam pengganti diatur dalam

  Pasal 1754 KUH Perdata, yaitu:“Pinjam pengganti adalah persetujuan dengaan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. 24 25 Gatot Supramono, Op.Cit.,hal 36 R. Setiawan, Pokok Hukum Perikatan (Bandung : Bina Cipta Bandung, 1997), hal.49

  Dalam perjanjian ini pihak yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan sebelum jangka waktu yang diperjanjikan berakhir (Pasal 1759 KUHPerdata). Sedangkan pihak peminjam berkewajiban mengembalikan barang dalam jumlah dan keadaan yang sama dalam yang ditentukan (Pasal 1763 KUHPerdata). Selain itu berkewajiban pula membayar bunga, karena undang-undang memperbolehkan memperjanjikan bunga atas peminjaman uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian (Pasal 1765 KUHPerdata).

  Perjanjian kredit Bank adalah suatu perjanjian dimana objek perjanjiannya adalah pinjaman yang diberikan oleh suatu bank kepada seorang debitur. Subjek perjanjian kredit bank adalah pihak bank sendiri dan debitur, sedangkan objek perjanjian kredit bank adalah suatu pinjaman yang diberikan oleh bank kepada

  26 debitur.

  Perjanjian kredit bank dilaksanakan berdasarkan atas kesepakatan diantara kedua belah pihak yaitu pihak bank sebagai kreditur dan pihak nasabah sebagai debitur, yang dilandasi dengan kepercayaan, terutama kepercayaan dari pihak bank sebagai pemberi kredit kepada debitur.

  Objek perjanjian kredit bank biasanya memuat besarnya pinjaman yang diberikan, jenis pinjamannya, cara penarikan pinjaman, jangka waktunya, cara pembayaran kembali, suku bunga, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh debitur dan lainnya. Jadi perjanjian kredit bank adalah suatu perjanjian dimana objek perjanjiannya khusus mengenai pinjaman yang diberikan oleh suatu bank kepada

26 Ahmad Anwari, Praktek Perbankan Deposito Berjangka (Jakarta: PT. Balai Aksara, Jakarta, 1979), hal.30.

  debiturnya dimana suatu bank berhak atas suatu prestasi dan debitur wajib

  27 memenuhi prestasi tersebut dan sebaliknya.

2. Jenis-jenis Kredit

  28 Kredit dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain: a.

  Kredit dilihat dari tujuan penggunaan Dilihat dari tujuan penggunaan kredit, dibagi menjadi 3 yaitu: 1) Kredit Investasi

  Kredit Investasi merupakan kredit yang diberikan oleh Bank kepada debitur untuk pengadaan barang-barang modal (aktiva tetap) yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun. Secara umum, kredit investasi ini ditujukan untuk pendirian perusahaan baru atau proyek baru, maupun proyek pengembangan, modernisasi mesin, dan peralatan, pembelian kendaraan yang digunakan untuk kelancaran usaha, dan perluasan perusahaan. Kredit investasi ini nominalnya besar, maka pada umumnya jangka waktu lebih dari satu tahun, jangka menengah, dan panjang. Contoh: PT. Anugerah (industri sepatu) mengajukan kredit ke Bank MB Surabaya untuk membeli 100 unit mesin jahit sepatu. Masing-masing mesin jahit seharga Rp 5.000.000,- sehingga dana yang diperlukan sebesar Rp 500.000.000,-. Mesin jahit merupakan aktiva tetap atau barang modal, sehingga permohonan kredit tersebut tergolong kredit investasi.

  2) Kredit Modal Kerja 27 28 Ibid.

  Ismail, Manajemen Perbankan, (Jakarta : Kencana, 2010), hal 99-109.

  Kredit Modal Kerja merupakan kredit yang digunakan untuk memenuhi kebutuha modal kerja yang biasanya habis dalam satu siklus usaha.

  Kredit Modal kerja ini, biasanya diberikan dalam jangka pendek yaitu lamanya satu tahun. Kredit modal kerja diberikan untuk membeli bahan baku, biaya upah, untuk menutup piutang dagang, pembelian barang dagangan, dan kebutuhan dana lain yang sifatnya hanya digunakan selama satu tahun. Contoh: PT. Anugerah memerlukan tambahan dana sebesar Rp 500.000.000,- untuk meningkatkan volume penjualan yang ditargetkan sebesar 30% dari penjualan tahun sebelumnya. Tambahan dana tersebut untuk meng-

cover piutang dan membeli bahan baku maupun persediaan lainnya. PT.

  Anugerah mengajukan kredit kepada Bank MB Surabaya, maka MB Surabaya dapat memberikan kredit modal kerja.

  3) Kredit Konsumtif Kredit konsumtif merupakan kredit yang diberikan kepada nasabah untuk membeli barang dan jasa untuk keperluan pribadi dan tidak untuk digunakan keperluan usaha.Beberapa contoh kredit konsumtif antara lain kredit untuk pembelian rumah tinggal, kendaraan bermotor untuk dipakai sendiri, dan kredit untuk keperluan lain yang habis dipakai.

  Contoh: Andika mengajukan kredit untuk pembelian rumah dengan harga Rp 200.000.000,-. Atas pembelian rumah tersebut di sudah membayar uang muka sebesar Rp 50.000.000,- sisanya diajuan kredit ke Bank MB

  Surabaya. Bank MB Surabaya dapat memberikan kredit konsumtif kepada Andika.

  b. Kredit dilihat dari jangka waktu Sesuai dengan jangka waktu kredit dibagi menjadi 3, yaitu: 1) Kredit Jangka Pendek

  Kredit jangka pendek merupakan kredit yang diberikan dengan jangka waktu maksimal satu tahun. Kredit tersebut biasanya diberikan oleh bank untuk membiayai modal kerja perusahaan yang mempunyai siklus usaha dalam satu tahun.

  2) Kredit Jangka Menengah Kredit jangka menengah merupakan kredit yang diberikan dengan jangka waktu antara satu tahun sampai tiga tahun. Kredit ini dapat diberikan untuk ketiga jenis kredit yaitu modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumtif. Kredit modal kerja yang pada umumnya jangka waktunya satu tahun, akan tetapi apabila nilai kreditnya besar maka bisa diberikan sampai dengan tiga tahun. Kredit investasi yang nilainya kecil bisa diberikan sampai dengan tiga tahun, akan tetapi bila nominalnya besar akan diberikan jangka panjang. Kredit konsumtif akan disesuaikan dengan kemampuan debitur dalam mengansur, sehingga dapat diberikan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.

  3) Kredit jangka panjang Kredit yang jangka waktunya lebih dari tiga tahun. Kredit ini diberikan untuk kredit investasi, contoh: untuk pembelian gedung, pembangunan proyek, pengadaan mesin dan peralatan, dan lain-lain yang nominalnya besar serta kredit konsumtif yang nilainya besar, misalnya KPR.

  c. Kredit dilihat dari cara penarikan Kredit dapat dibagi sesuai dengan cara penarikan, maupun pembayaran kembali menjadi 3 jenis yaitu kredit sekaligus, bertahap, dan rekening koran. 1) Kredit Sekaligus

  Kredit sekaligus bisa disebut dengan aflopend credit yaitu kredit yang dicairkan sekaligus sesuai dengan dengan plafon kredit yang disetujui.

  Kredit tersebut bisa dicairkan secara tunai, maupun nontunai yaitu melalui pemindah-bukuan. Dalam praktik bank akan mencairkan kredit sekaligus melalui rekening giro atau tabungan debitur, tidak diberikan tunai. Debitur akan menarik dari rekening yang telah dimiliki.

  Dilihat dari cara pengembalian, kredit sekaligus dapat dibagi menjadi dua macam yaitu: a)

  Kredit sekaligus yang cara pembayaran kredit yaitu dilakukan dengan angsuran sampai dengan lunas setelah jangka waktu tertentu.

  Angsuran tersebut dapat dilakukan setiap bulan, tiga bulan sekali, dan seterusnya. Hal ini disesuaikaan dengan perjanjian dan kemampuan debitur untuk membayar kembali. Jenis kredit ini cocok untuk investasi.

  b) Kredit sekaligus yang cara pembayaran kembali kredit yaitu sekaligus pada akhir masa kredit. Misal: kredit modal kerja dengan jangka waktu satu tahun. Debitur hanya diwajibkan membayar bunga setiap bulan, dan pinjaman pokok akan dibayar pada akhir tahun atau pada akhir masa perjanjian kredit.

  2) Kredit bertah ap Kredit yang pencariannya tidak sekaligus, akan tetapi dilakukan secara bertahap 2,3,4, kali pencairan dalam masa kredit. Pencarian disesuaikan dengan dana yang dibutuhkan oleh debitur. Kredit ini cocok untuk investasi pembangunan, sehingga bank akan mencairkan sesuai dengan termin pembayaran proyek. Misalnya: Plafon kredit yang disetujui oleh bank sebesar Rp.1.000.000.000,- untuk pembangunan gedung, maka kredit tersebut akan dicairkan selama satu tahun sesuai dengan termin penyelesaian proyek pembangunan gedung. Bank akan mencairkan secara tidak langsung sebesar Rp.1.000.000.000,- akan tetapi sesuai dengan tingkat penyelesaian pembangunan. Bunga yang harus dibayar oleh nasabah sesuai dengan pencairan kredit atau kredit yang telah dinikmati oleh nasabah. Adapun, cara pengembalian yang biasa dilakukan secara angsuran sesuai dengan jangka waktu tertentu sampai dengan lunas pada akhir masa kredit. 3) Kredit Rekening Koran

  Kredit rekening koran adalah kredit yang penyediaan dana dilakukan melalui pemindah-bukuan. Bank akan memindahkan kredit tersebut kedalam rekening giro nasabah, sedangkan penarikan dilakukan dengan menggunakan sarana berupa cek, bilyet giro atau surat pemindah- bukuan lainnya

  Penarikan kredit ini dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan pembayaran atas pinjaman rekening koran juga dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan menyetorkan ke rekening giro debitur, bank akan memotong dari rekening giro debitur tersebut.

  d. Kredit Dilihat dari Sektor Usaha Dilihat dari sektor usaha, kredit dapat dibagi antara lain sebagai berikut: 1) Sektor Industri

  Kredit yang diberikan kepada nasabah yang bergerak dalam sektor industri, yaitu sektor usaha yang mengubah bentuk dari bahan baku menjadi barang jadi atau mengubah suatu barang menjadi barang lain yang memiliki faedah yang lebih tinggi.

  Beberapa contoh sektor industri antara lain:

  a) Industri Elektronik

  b) Industri Pertambangan

  c) Industri Kimia

  d) Industri Tekstil 2) Sektor Perdagangan

  Kredit ini, diberikan kepada pengusaha yang bergerak dalam bidang perdagangan, baik perdagangan kecil, menengah, dan perdagangan besar.

  Kredit ini, dimaksudkan untuk memperluas usha nasabah dalam usaha perdagangan. Misal: untuk memperbesar jumlah penjualan atau memperbesar pasar. Beberapa contoh kredit perdagangan antara lain kredit yang diberikan kepada usaha: supermarket, distributor, eksportir, importir, rumah makan, dan usaha perdagangan lainnya.

  3) Sektor Pertanian, Peternakan, Perikanan, dan Perkebunan Kredit ini, diberikan dalam rangka meningkatkan hasil di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. Kredit tersebut biasanya diberikan dalam bentuk kredit modal kerja maupun investasi kepada tambak, petani, dan nelayan.

  4) Sektor Jasa Sektor jasa sebagaimana tersebut di bawah ini yang dapat diberikan kredit oleh bank antara lain: a) Jasa Pendidikan

  Pada kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, jasa pendidikan merupakan jasa yang menarik bagi bank, karena jenis usaha tersebut mudah diestimasikan pendapatannya. Jenis kredit yang cocok adalah kredit investasi dengan jangka panjang.

  b) Jasa Rumah Sakit Bank dapat memberikan kredit kepada rumah sakit apabila jaminan yang diberikan tidak memiliki banyak risiko, sehingga apabila terjadi masalah kredit, maka bank dapat menjual jaminan tersebut sebagai sumber perlunasan utang. Kredit yang sesuai untuk jasa rumah sakit ialah kredit investasi jangka panjang.

  c) Jasa Angkutan Kredit yang diberikan untuk sektor angkutan, misal: kredit kepada pengusaha taksi, bus, angkutan darat, laut, dan udara, termasuk juga adalah kredit yang diberikan untuk biro perjalanan,pergudangan, dan komunikasi. Kredit yang sesuai adalah kredit investasi jangka panjang untuk membeli kendaaraan alat angkutan.

  d) Jasa Lainnya Kredit yang diberikan kepada jasa lainnya, misal: kredit untuk profesi, pengacara, dokter, insinyur, kantor, dan akuntan.

  5) Sektor Perumahan Bank memberikan kredit kepada debitur yang bergerak di bidang pembangunan perumahan. Pada umumnya, diberikan dalam bentuk kredit konstruksi, yaitu kredit untuk pembangunan perumahan. Adapun cara pembayaran kembali yaitu dipotong dari produk rumah yang telah terjual. Kredit ini diberikan oleh bank tertentu, misalnya BTN memberikan kepada pengembang untuk membangun rumah di kawasan perumahan tertentu.

  e. Kredit Dilihat dari Segi Jaminan 1)

  Kredit dengan jaminan Kredit dengan jaminan merupakan jenis kredit yang didukung dengan jaminan (agunan). Kredit dengan jaminan ini dapat digolongkan menjadi jaminan perorangan, benda berwujud, dan benda tidak berwujud.

  a) Jaminan Perorangan Jaminan perorangan merupakan jenis kredit yang di dukung dengan jaminan seorang (personal securities) atau badan sebagai pihak ketiga yang bertindak sebagai penanggung jawab apabila terjadi wanprestasi dari pihak debitur.

  b) Jaminan Benda Berwujud

  Jaminan benda berwujud merupakan jaminan kebendaan yang terdiri dari barang bergerak maupun barang tidak bergerak, misal: kendaraan bermotor, mesin dan peralatan, inventaris kantor, barang dagangan. Jaminan yang bersifat barang tidak bergerak antara lain, tanah dan gedung yang berdiri di atas tanah tersebut atau tanah tanpa gedung, kapal api dengan bobot 20 m3.

  c) Jaminan Benda Tidak Berwujud Beberapa jenis jaminan yang dapat diterima adalah jaminan benda tidak berwujud. Benda tidak berwujud tersebut antara lain, promes, obligasi, saham, dan surat berharga lainnya. Barang tidak berwujud tersebut dapat diikat dengan cara pemindah-tanganan atau cessie.

  2) Kredit tanpa jaminan (Unsecured Loan) Kredit yang diberikan kepada debitur tanpa didukung adanya jaminan.

  Kredit tersebut diberikan atas dasar kepercayaan yang diberikan oleh bank kepada debitur. Kredit tanpa jaminan ini berisiko tinggi karena tidak ada pengaman yang dimiliki oleh bank apabila debitur wanprestasi. Bank dapat memberikan kredit tersebut kepada debitur yang dapat diyakini bahwa debitur tersebut dapat membayar pinjaman dengan lancar. Bank akan menderita apabila debitur tidak dapat membayar pinjaman tersebut. Bank tidak memiliki sumber pelunasan kedua karena bank tidak dapat memiliki jaminan yang dapat dijual. Contoh: kredit tanpa jaminan antara lain:

  a) Kredit dengan jaminan SK (Surat Keputusan) pengangkatan menjadi pegawai tetap.

  Bagi bank SK tersebut tidak ada artinya, karena bukan merupakan sumber pendapatan, akan tetapi bagi nasabah, apalagi nasabah tersebut adalah pegawai negeri sipil, maka SK tersebut merupakan hal yang sangat penting, sehingga sangat berharga. Debitur tidak ingin SK tersebut ditahan, sehingga berusaha untuk membayar kembali pinjaman tersebut.

  b) Kredit dengan jaminan ijazah

  Jaminan ijazah bagi bank tidak ada nilainya, akan tetapi bagi nasabah sangat berarti, sehingga nasabah berusaha membayar angsuran.

  f. Kredit Dilihat dari Jumlah Jenis kredit ini terdiri dari UMKM (usaha mikro kecil dan menengah), kredit UKM (usaha kecil dan menengah), kredit korporasi.

  1) Kredit UMKM

  Kredit UMKN merupakan kredit yang diberikan kepada pengusaha dengan skala usaha sangat kecil. Misal: kredit yang diberikan bank kepada pengusaha tempe, dan peracangan. 2) Kredit UKM Kredit yang diberikan kepada pengusaha dengan batasan antara Rp.

  50.000.000,- dan tidak melebihi Rp. 350.000.000,- UKM sudah memiliki modal yang cukup, serta administrasi yang lebih baik dibanding dengan UMKM, sehingga bank juga dapat memenuhi permohonan kredit. Kredit UKM antara lain kredit untuk koperasi, pengusaha kecil (perdagangan, toko, dan grosir).

  3) Kredit Korporasi

  Jenis kredit ini merupakan kredit yang diberikan kepada debitur dengan jumlah besar dan diperuntukkan kepada debitur besar (korporasi). Pada umumnya, bank lebih mudah melakukan analisis terhadap debitur korporasi karena data keuangan lebih lengkap, administrasi baik, dan struktur pemodalan yang kuat.

3. Bentuk- Bentuk Perjanjian Kredit

  Perjanjian kredit merupakan kesepakatan para pihak, dengan demikian bentuknya juga tergantung kepada para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Suatu perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, asalkan pada pokok yang telah memenuhi syarat-syarat dalam membuat perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Praktik yang lazim pada masyarakat sekarang dalam membuat perjanjian kredit adalah secara tertulis. Hal ini dikarenakan dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat pembuktian apabila dikemudian hari terjadi masalah. Akan berbeda apabila perjanjian dibuat secara tertulis yang mana lebih memudahkan para pihak dalam mengingat isi perjanjian termasuk mengenai hak dan kewajiban para pihak.

  Namun bagaimanapun, perjanjian kredit yang dibuat secara lisan tetap diakui sebagai bentuk perjanjian kredit, sepanjang dibuktikan dengan baik oleh para pihak.

  Sutarno berpendapat bahwa dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis mengacu pada Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan. Meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis umun dalam organisasi bisnis modern dan manapun untuk kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian sehingga pembuatan bukti tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis. Dasar hukum lain yang mengharuskan perjanjian kredit dalam bentuk tertulis adalah Instruksi Presidium Kabinet No. 15/EK/IN/10/1996 tanggal 10 Oktober 1996, yang didalamnya menegaskan : “Dilarang melakukan pemberian kredit tanpa adanya perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan debitur atau antara Bank Sentral dengan Bank-

  Bank lainnya”. Juga dalam surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap Bank Devisa No.03/1093/UPK/KPD tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang pada

  29 intinya berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat suatu perjanjian kredit.

  Dalam perjanjian Pasal 8 ayat (2) huruf a Undang-Undang Perbankan, ditentukan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis. Dalam Pasal 1 Rancangan Undang- Undang Perkreditan Perbankan telah ditentukan bentuk perjanjian kredit, yaitu secara tertulis dalam bentuk standar yang dibuat oleh Bank Indonesia dan sesuai dengan kelaziman di dunia perbankan. Setiap perjanjian kredit yang dibuat wajib

  30

  memuat sekurang-kurangnya :

  1. Identitas kreditur dan debitur secara benar, lengkap, dan jelas; 2.

  Tujuan penggunaan kredit; 3. Jumlah uang dan jenis mata uang tertentu; 4. Jangka waktu perjanjian; 5. Besar dan tata cara perhitungan bunga; 6. Jaminan kredit; 7. Hak dan kewajiban kreditur dan debitur; 29 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank (Bandung: Alfabeta, 2003), hal.

  99.

8. Syarat-syarat penarikan kredit; 9.

  Hal-hal yang menimbulkan kewajiban materiil bagi debitur; dan 10. Pernyataan debitur bahwa debitur telah mengerti dan menyetujui isi perjanjian kredit.

  Perjanjian kredit merupakan ikatan atau bukti tertulis antara bank dengan debitur sehingga harus disusun dan dibuat sedemikian rupa agar setiap orang mudah mengetahui bahwa perjanjian yang dibuat itu merupakan perjanjian kredit. Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai alat bukti. Dalam praktik bank dan juga dalam kamus hukum ada dua bentuk perjanjian kredit yang tertulis, yaitu : 1.

  Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan, dinamakan akta dibawah tangan.

  Akta di bawah tangan ini sesuai Passal 1874 KUHPerdata adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti. Dengan demikian semua perjanjian yang dibuat di antara para pihak sendiri dikategorikan sebagai akta di bawah tangan. Jadi akta di bawah tangan dapat dibuat oleh siapa saja, bentuknya bebas, terserah bagi para pihak yang membuat dan tempat membuatnya dimana saja diperbolehkan. Dengan akta di bawah tangan, sesuai dengan asa kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

  Terpenting bagi akta di bawah tangan itu terletak pada tanda tangan para pihak, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1876 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa barangsiapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan (akta) di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tandatangannya. Kalo tanda tangan sudah diakui, maka akta di bawah tangan berlaku sebagai bukti sempurna seperti akta otentik bagi para pihak yang membuatnya. Sebaliknya, jika tanda-tangan itu dipungkiri oleh pihak yang telah membubuhkan tanda-tangan maka pihak yang mengajukan akta di bawah tangan itu harus berusaha mencari alat-alat bukti lain yang membenarkan bahwa tanda- tangan tadi dibubuhkan oleh pihak yang memungkiri. Selama tanda-tangan terhadap akta di bawah tangan masih dipersengketakan kebenarannya, maka tidak mempunyai banyak manfaat yang diperoleh bagi pihak yang mengajukan akta dibawah tangan.

2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan di hadapan notaris, yang dinamakan akta otentik atau akta materill.

  Menurut pasal 1868 KUHPerdata, akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, tempat dimana akta dibuat tersebut. Perjanjian kredit saat ini lazim sudah menggunakan akta notaril. Yang menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris, namun dalam praktik semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh para pihak dan kemudian diberikan kepada notaris untuk dirumuskan dalam bentuk akta otentik. Pemberian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta otentik dilakukan untuk pemberian kredit dalam jumlah yang benar dengan jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal kerja (termasuk di dalam kredit yang diberikan kepada kontraktor), dan kredit sindikasi.

  Melihat kedua macam akta tersebut, pada praktik hampir semua perjanjian kredit antara bank dengan debitur dibuat dalam akta otentik. Alasan utama tentu demi menjamin legalitas dari perjanjian itu, sebab kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna.

  Selain dari bentuk-bentuk diatas, sebagai suatu bentuk perkembangan dari perjanjian tertulis, maka dalam perjanjian kredit bank dikenal pula istilah kontrak baku (standard form atau standaart contract ). Perjanjian dalam bentuk kontrak baku yaitu suatu bentuk perjanjian yang dibuat dan disiapkan oleh salah satu pihak (dalam hal ini dilakukan oleh pihak bank) dalam bentuk ketentuan- ketentuan tertentu yang kemudian diberikan kepada pihak lain untuk ditanda- tangani. Pihak yang disodori perjanjian hanya mempunyai dua pilihan, menerima (dalam bentuk membubuhkan tanda-tangan) atau menolak perjanjian, yang saat ini lazim disebut sebagai semboyan “take it or not”. Poin-poin perjanjian dibuat oleh pihak bank untuk kemudian diberikan kepada nasabah debitur untuk diterima sebagai perjanjian yang mengikat satu sama lain. Praktik ini sudah diberlakukan hampir pada semua perjanjian, tidak hanya kredit, meski keabsahan sampai saat ini masih dipertentangkan.

  Undang

  • –Undang Perbankan yang diubah tidak menentukan bentuk perjanjian kredit bank, berarti pemberian kredit bank dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Dalam praktik perbankan, guna mengamankan pemberian kredit atau pembiayaan, umumnya perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk tertulis dan dalam perjanjian baku (standards contract). Perjanjian kredit bank bisa dibuat dibawah tangan dan bisa secara notarial. Praktik perbankan yang demikian ini didasarkan pada ketentuan sebagai berikut: 1.

  Instruksi Presidium Nomor 15/IN/10/66 Tentang Pedoman Kebijakan di Bidang Perkreditan tanggal 3 Oktober 1966 junto Surat Edaran Bank

  Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb. Tanggal 8 Oktober 1966, Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/649/UPK/Pemb. Tanggal 20 Oktober 1996 dan Instruksi Presidium Kabinet Nomor 10/EK/2/1967 Tanggal

  6 Pebruari 1967, menyatakan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam berbagai bentuk tanpa ada perjanjian yang jelas antara bank dengan nasabah atau Bank Sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini jelaslah bahwa dalam memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib dibuatkan perjanjian atau akad kredit; 2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat

  Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/uppb masing-masing tanggal 31 Maret 1995 Tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum,yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis.

  Dengan demikian pemberian kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit secara tertulis, baik dengan akta dibawah tangan maupun akta notarial.

  Perjanjian kredit disini berfungsi sebagai panduan bank dalam perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian dan pengawasan pemberian kredit yang dilakukan oleh bank, sehingga bank tidak dirugikan dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dana kepada bank terjamin dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, sebelum pemberian kredit dilakukan, bank harus sudah memastikan bahwa seluruh aspek yuridis yang berkaitan dengan kredit telah diselesaikan dan telah memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.

B. Tinjauan Umum Tentang Kredit Macet

1. Pengertian Kredit Macet

  Dalam perkembangan pemberian kredit, yang paling tidak menggembirakan bagi pihak adalah apabila kredit yang diberikannya ternyata menjadi kredit bermasalah. Hal ini disebabkan oleh kegagalan pihak debitur dalam memenuhi kewajiban untuk membayar angsuran atau cicilan, pokok kredit, beserta bunga yang telah disepakati oelh kedua belah pihak dalam perjanjian kredit.

  Yang dikategorikan sebagai kredit macet atau nonperforming loan tersebut adalah apabila kualitas kredit tersebut tergolong pada tingkat kolektibilitas kurang lancar, diragukan atau macet. Kredit macet adalah suatu keadaan dimana seseorang nasabah tidak mampu membayar uang kredit bank tepat pada

  31 waktunya.

  Sebenarnya kredit macet itu merupakan salah satu dari penggolongan kredit bermasalah. Istilah kredit penggolongan kredit bermasalah merupakan istilah yang dipakai untuk menunjukkan penggolongan kolektibilias kredit yang

  32

  menggambarkan kualitas dari kredit itu sendiri. Jadi, untuk menentukan apakah suatu kredit dikatakan bermasalah didasarkan pada kolektibilitas kredit.

  Kolektibilitas adalah keadaan pembayaran pokok atau angsuran dan bunga kredit

  33 oleh debitur serta tingkat kemungkinan diterimanya kembali dana tersebut.

  Kemudian pengertian kredit macet ialah kredit yang telah jatuh tempo, namun belum dilunasi dan tunggakan angsuran lebih dari 270 hari atau 9 bulan.

  Kemudian dapat dikatakan kredit macet ialah debitur tidak mampu lagi untuk 31 32 Gatot Supramono, Op.Cit.,hal 92 33 Muhammad Djumhana, Op.Cit, hal. 427 Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 251. mengansur hutang pokoknya dan bunganya dari hasil usaha yang dimodali dengan

  34 fasilitas kredit.

  Dari pengertian di atas, dapat dijelaskan lagi lebih luas bahwa pengertian kredit macet adalah dimana kredit itu mengalami kesulitan dalam pelunasan pembayaran akibat dari berbagai faktor-faktor ataupun ada unsur sengaja yang disebabkan oleh kondisi atau kemampuan debitur yang lemah, sehingga debitur tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajiban kepada pihak bank sesuai seperti apa yang telah diperjanjikan.

  Dari uraian di atas, maka dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam kredit macet antara lain : a.

  Adanya kredit yang tidak memenuhi persyaratan sesuai yang diperjanjikan.

  b. Adanya kredit yang mengalami cidera janji dalam pembayaran kembali sesuai perjanjian sehingga terdapat tunggakan, atau potensi kerugian.

  c.

  Mengalami kesulitan di dalam penyelesaian kewajiban-kewajiban terhadap kreditur baik dalam bentuk pembayaran pokok, pembayaran bunga, pembayaran ongkos-ongkos kreditur yang menjadi beban nasabah yang bersangkutan.

  d.

  Adanya kredit dalam pelaksanaannya belum mencapai atau memenuhi target yang diinginkan oleh pihak kreditur.

  e.

  Adanya kredit yang dimana mengalami kesulitan atau kemungkinan timbulnya resiko dikemudian hari bagi kreditur dalam arti luas.

  2. Kredit Macet Menurut Bank Indonesia (BI)

  34 Mantayborbir, S., dkk., Hukum Piutang dan Lelang Negara di Indonesia (Medan:Penerbit Pustaka Bangsa,2002), hal.23. Kondisi perbankan di Indonesia sejak terjadi krisis multi dimensional pertengahan tahun 1997 dapat dikatakan sebuah risiko. Dari pengalaman Perbankan dimasa lalu dapat diambil hikmah bahwa terpuruknya dunia perbankan nasional adalah risiko kegiatan organisasi yang tidak sungguh-sungguh memanajemeni ketidakpastian dalam dunia yang berubah sangat cepat. Perubahan itu disebabkan ketidakpastian dalam dunia yang berubah sangat cepat. Perubahan tersebut didorong oleh deregulasi dan pergeseran paradigma dunia usaha dari berorientasi pasar nasional kepada pasar bebas melampaui batas-batas negara.

  Situasi eksternal perbankan yang diwarnai dengan kompleksitas risiko yang tinggi bagi dunia perbankan. Tujuannya adalah untuk memahami, mengidentifikasikan, mengukur, memantau dan akhirnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan atau mengontrol risiko agar aktivitas atas kegiatan usaha perbankan terhindar dari

  35 risiko kerugian atau menekankan sekecil mungkin dampak resiko tersebut.

  Bank Indonesia selaku otoritas tertinggi dunia perbankan di Indonesia dengan kewenangan regulasinya telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 tanggal 19Mei 2003 yang mengatur tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Menurut Pasal 2 ketentuan ini setiap bank wajib menerapkan Manajemen Resiko (MR) secara efektif yang paling tidak mencakup empat bidang yaitu: Pengawasan aktif dewan komisaris dan direksi, kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit, kecukupan proses identifikasi, pengukuran pemantauan dan pengendalian risiko, serta sistem

  36 informasi manajemen risiko, dan sistem pengendalian intern yang menyeluruh.

  Adapun jenis risiko menurut Pasal 4 ayat (1) meliputi delapan risiko, yaitu: 35 Jurnal Hukum Bisnis, Memanajemeni Resiko: Sebuah Keniscayaan, Volume 23-No. 3, 2004, hal 4. 36 Ibid

1. Risiko Kredit 2.

  Pasar 3. Likuiditas 4. Operasional 5. Hukum 6. Reputasi 7. Strategik 8. Kepatuhan

  Semakin besar risiko yang dihadapi oleh bank, semakin besar potensi kerugian yang ada. Meskipun telah menerapkan delapan jenis risiko yang harus dikelola Bank Umum baru memperhitungkan dua jenis risiko saja yaitu risiko

  37 kredit dan risiko pasar.

  Kredit macet adalah bagian dari kredit bermasalah. Namun tidak semua kredit bermasalah adalah kredit macet. Kredit bermasalah dapat diartikan sebagai kredit yang pembayaran kembali utang pokok dan kewajiban bunganya tidak sesuai dengan prasyarat atau ketentuan yang ditetapkan bank, serta mempunyai risiko penerimaan pendapatan dan bahkan punya potensi untuk rugi.

  Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/148/KEP/DIR Tanggal 12 November 1998 Tentang Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, dalam Pasal 1 huruf (m), dijelaskan tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif atau PPAP adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari nominal berdasarkan

37 Jurnal Hukum Bisnis, Kegunaan Penerapan Risk Management untuk Perbankan, Volume 23-No. 3 Tahun 2004, hal.15.

  penggolongan kualitas aktiva produktif. Sementara itu kategori PPAP dijelaskan

  38

  lebih lanjut dalam pasal 2 berbunyi: (1)Bank wajib membentuk PPAP berupa cadangan umum dan cadangan khusus guna menutupi risiko kemungkinan kerugian.

  (2)Cadangan umum PPAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar 1% (satu per-seratus) dari Aktiva Produktif Bank Indonesia dan Surat Utang Pemerintah. (3)Cadangan khusus PPAP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar: a.

  5% (lima per-seratus) dari aktiva produktif yang digolongkan dalam perhatian khusus; dan b. 15% (lima belass per-seratus) dari aktiva produktif yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan; dan c.

  50% (lima puluh per-seratus) dari aktiva produktif yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan d.

  100% (seratus per-seratus) dari aktiva produktif yang digolongkan macet setelah dikurangi nilai agunan.

  Disamping menggunakan unsur-unsur kuantitatif, penentuan kolektibilitas juga atas dasar judgement. Berdasarkan pertimbangan kuantitaif dan juga atas dasar judgement diatas sesuai Surat Keputusaan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1999 tentang Kualitas Aktiva Produktif maka kualitas kredit digolongkan menjadi lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet menurut kriteria: 38 Johannes Ibrahim, Polemik Penerapan Asas Lex Specialia Derogat Lex Generalis

  daalam Penyelesaian Kredit Antara Bank dan Debitur, Jurnal Hukum Bisnis Volume 23-No. 1 Tahun 2004, hal. 66.

1. Prospek Usaha 2.

  Kondisi Keuangan dengan penekanan pada arus kas debitur 3. Kemampuan Membayar

  Ketiga kriteria tersebut diterapkan dengan pedoman seperti tertera dalam

  39

  hal berikut ini:

  a. Lancar Suatu pinjaman digolongkan lancar apabila memenuhi kriteria di bawah ini: 1)

  Untuk pinjaman dengan angsuran

  a) Tidak terdapat tunggakan angsuran pokok maupun bunga.

  b) Terdapat tunggakan angsuran pokok, tetapi belum melampaui satu masa angsuran berikutnya, atau belum melampaui 6 bulan bagi pinjaman yang masa angsuran ditetapkan 6 bulanan atau lebih.

  c) Terdapat tunggakan bunga, tetapi belum melampaui 2 bulan.

  d) Tidak terdapat cerukan (overdraft) karena penarikan. 2)

  Untuk pinjaman tanpa angsuran Pinjaman belum jatuh waktu dan tidak terdapat tunggakan bunga:

  a) Tidak terdapat cerukan (overdraft) karena penarikan, atau

  b) Terdapat tunggakan bunga yang melampaui 2 bulan. 3)

  Untuk pinjaman dalam penyelamatan Memenuhi ketentuan tersebut pada angka 1.a atau 1.b. ditambah ketentuan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari pokok pinjaman dalam penyelamatan telah dilunasi. Selama 1 (satu) tahun sejak timbulnya 39 kewajiban pembayaran bunga tidak ada tunggakan bunga. Dalam hal Muhammad Djumhana, Op.Cit., hal. 430. penyelamatan disertai dengan tambahan pinjaman yang jumlahnya melebihi 20% dari pokok pinjaman dalam penyelamatan, jumlah pelunasan sekurang-kurangnya sebesar tambahan pinjaman tersebut. Disamping memenuhi kriteria seperti diatas, suatu pinjaman hanya dapat digolongkan lancar jika menurut penilaian yang wajar diperkirakan debitur yang bersangkutan akan dapat melunasi utangnya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.

  a.

  Kurang Lancar Suatu pinjaman digolongkan kurang lancar apabila memenuhi kriteria tersebut di bawah ini: 1)

  Untuk pinjaman dengan angsuran

  a) Terdapat tunggakan angsuran pokok yang melampaui satu masa angsuran berikutnya, tetapi belum melampaui dua masa angsuran atau melampaui 6 bulan. Belum melampaui 12 bulan bagi pinjaman yang masa angsurannya ditetapkan 6 bulanan atau lebih.

  b) Terdapat tunggakan bunga yang melampaui 2 bulan tetapi belum melampaui 3 bulan.

  c) Terdapat Cerukan (overdraft) karena penarikan tetapi belum melampaui 3 bulan.

  2) Untuk pinjaman tanpa angsuran

  a) Pinjaman belum jatuh waktu

  b) Terdapat cerukan (overdraft) karena penarikan tetapi belum melampaui 3 bulan. c) Terdapat tunggakan bunga yang telah melampaui 2 bulan, tetapi belum melampaui 3 bulan.

  d) Pinjaman telah jatuh waktu dan belum dibayar, tetapi belum melampaui 3 bulan.

  3) Untuk pinjaman dalam penyelamatan

  a) Belum memenuhi ketentuan tersebut pada angka 1.c. dan tidak ada tunggakan dan atau cerukan (overdraft) yang melampaui batas waktu yang ditentukan pada angka 2.a. atau 2.b.

b) Memenuhi kriteria tersebut pada angka 2.a atau 2.b.

  4) Untuk pinjaman tanpa perjanjian tertulis

  Belum melampaui 3 bulan sejak tanggal pemberian. Dalam pengertian pinjaman tanpa perjanjian tertulis ini termasuk pemberian perjanjian hanya atas dasar aksep. Disamping melampaui kriteeria di atas, suatu pinjaman hanya dapat digolongkan kurang lancar. Jika menurut penilaian diperkirakan debitur yang bersangkutan akan dapat melunasi seluruh utangnya.

  b. Diragukan Suatu pinjaman digolongkan diragukan apabila pinjaman yang bersangkutan tidak memenuhi kriteria lancar dan kurang lancar seperti tersebut pada angka 1 dan 2 tetapi berdasarkan penilaian yang wajar. 1)

  Pinjaman masih dapat diselamatkan dan jaminan bernilai sekurang- kurangnya 75% dari utang debitur.

  2) Pinjaman tidak dapat diselamatkan tetapi jaminan masih bernilai sekurang-kurangnya 100% dari utang debitur. c.

  Macet Suatu pinjaman digolongkan macet apabila: 1)

  Tidak memenuhi kriteria lancar, kurang lancar, dan diragukan seperti tersebut pada angka 1,2, dan 3.

  2) Memenuhi kriteria diragukan tersebut pada angka 3, tetapi dalam waktu 18 bulan sejak digolongkan diragukan belum ada pelunasan atau usaha penyelamatan yang tercermin dalam akad penyelamatan pinjaman.

  Jangka waktu tertentu dapat diperpendek, apabila berdasarkan penilaian yang wajar diketahui bahwa bank sulit untuk memperoleh pelunasannya dan sulit untuk diusahakan penyelamatannya.

3. Pandangan KUHPerdata mengenai Kredit Macet

  Untuk menentukan apakah suatu kredit dikatakan bermasalah atau macet, didasarkan pada kolektibilitas kredit tersebut. Kolektibilitas adalah keadaan pembayaran pokok atau angsuran dan bunga kredit oleh debitur, serta tingkat kemungkinan diterima kembalinya dana yang ditanamkan dalam surat-surat berharga atau penanaman lainnya.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang - Pengaruh Brand Equity Sari Roti Terhadap Kepuasan Pelanggan Di Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan

0 1 8

A. Keamanan - Asuhan Keperawatan Pada An. T dengan Masalah Gangguan Kebutuhan Dasar Rasa Aman Nyaman di RSUD. Dr. Pirngadi Medan

0 0 36

BAB II TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DI INDONESIA A. Pengertian dan Sejarah Perusahaan Pembiayaan 1. Defenisi Perusahaan Pembiayaan - Implikasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaa

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Implikasi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Selaku Pembina dan Pengawas Perusahaan Pembiayaan (Studi Pada : PT. Adira Dinamika Multi Finance Med

0 0 19

IMPLIKASI PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29POJK.052014 TENTANG PENYELANGGARAAN USAHA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN SELAKU PEMBINA DAN PENGAWAS PERUSAHAAN PEMBIAYAAN. (STUDI PADA : PT ADIRA DINAMIKA MULTI FINANCE MEDAN)

0 0 11

BAB II GAMBARAN UMUM KPP PRATAMA MEDAN POLONIA 2.1 Sejarah Singkat Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia - Praktik Kerja Lapangan Mandiri Tentang Mekanisme Penagihan Tunggakan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia

0 1 16

SURAT PERJANJIAN KERJASAMA Waralaba Franchise Kemitraan BMC

2 6 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA A. Sejarah dan Perkembangan Waralaba - Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Waralaba Apabila Terjadi Sengketa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Waralaba Apabila Terjadi Sengketa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007

0 0 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK DAN KREDIT MACET A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit Bank 1. Pengertian Perjanjian Kredit - Tanggung Jawab Hukum Bank Dalam Menyelesaikan Kredit Macet (Studi pada Bank Rakyat Indonesia Cabang Kaba

0 1 34