BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Studi Pemilihan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah dengan Metode Sistem Informasi Geografis (GIS) di Kota Tebing Tinggi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

2.1.1 Defenisi TPA Sampah

  Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.

  Definis tempat pembuangan akhir sampah berdasarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah sarana fisik untuk berlangsungnya kegiatan pemrosesan akhir sampah, yang selanjutnya disebut TPA sampah. Proses akhir sampah adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.

  TPA sampah menjadi tempat akhir dan bisa jadi menjadi komponen paling penting dalam proses panjang dan kompleks dari pengelolaan sampah suatu daerah. Oleh karena itu TPA sampah termasuk mengenai pengambilan keputusan untuk penentuan lokasi TPA sampah menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena pengelolaan sampah yang tidak efektif akan berdampak negatif terhadap kehidupan sehari-hari warga di suatu daerah tersebut.

  Pengelolaan sampah yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, dalam hal TPA sampah dapat berupa TPA sampah regional dengan kabupate/kota tetangganya. Oleh karena itu penentuan lokasi TPA sampah ini menjadi suatu keputusan yang strategis bagi pemerintah di daerah yang bersangkutan. Dibutuhkan suatu studi khusus dengan pedoman peraturan pengelolaan sampah yang berlaku untuk memastikan pengambilan keputusan lokasi TPA sampah ini tepat berdasarkan pertimbangan aspek-aspek yang ada dalam peraturan pedoman pemilihan lokasi TPA sampah yang berlaku.

  Dengan demikian maka perlu ada suatu upaya yang harus dilakukan untuk pengamanan pencemaran lingkungan. Upaya pengamanan lingkungan TPA sampah diperlukan dalam rangka mengurangi terjadinya dampak potensial yang mungkin terjadi selama kegiatan pembuangan akhir berlangsung (dampak potensial dapat dilihat pada tabel 2.1). Upaya tersebut antara lain meliputi:

  • Penentuan lokasi TPA yang memenuhi syarat (SNI No. 03-3241-1994 tentang Tata Cara Pemilihan Lokasi TPA).
  • Pembangunan fasilitas TPA yang memadai, pengoperasian TPA sesuai dengan persyaratan dan reklamasi lahan bekas TPA sesuai dengan peruntukan lahan dan tata ruang .
  • Monitoring pasca operasi terhadap bekas lahan TPA.

  Selain itu perlu juga dilakukan perbaikan manajemen pengelolaan TPA secara lebih memadai terutama ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang handal serta ketersediaan biaya operasi dan pemeliharaan TPA.

  Tabel 2.1: Dampak potensial kegiatan pembuangan akhir Tahap Kegiatan Perkiraan Dampak Pembangunan Prakonstruksi

  • Pemilihan lokasi • Lokasi yang tidak memenuhi persyaratan akan mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat.
  • Perencanaan • Perencanaan yang tidak didukung dengan data yang akurat akan menghasilkan konstruksi yang tidak memadai.

  • Ganti rugi yang tidak memadai akan menimbulkan konflik dengan
  • Pembebasan lahan masyarakat.

  Konstruksi

  • Mobilisasi alat berat • Meningkatkan polusi udara (debu dan dan tenaga kebisingan)
  • Pembersihan lahan • Keresahan sosial apabila tenaga setempat tidak dilibatkan. Pengurangan tanaman.
  • Pekerjaan sipil • Pembuatan konstruksi yang tidak memenuhi persyaratan akan menyebabkan kebocoran lindi, gas dan lain-lain.

  Operasi

  • Pengangkutan • Pengankutan sampah dalam keadaan terbuka dapat menyebabkan bau dan sampah berceceran di sepanjang jalan yang dilalui truk pengangkut.
  • Penimbunan sampah yang tidak beraturan dan pemadatan >Penimbunan dan pemadatan kurang baik menyebabkan masa pakai TPA lebih singkat.
  • Penutupan tanah yang tidak memadai dapat menyebabkan bau, popu>Penutupan tanah lalat tinggi dan pencemaran udara.
  • Ventilasi gas yang tidak memadai menyebabkan pencemaran udara, kebakaran dan bahaya asap.
  • Ventilasi
  • Lindi yang tidak terkumpul dan terolah dengan baik dapat menggenangi jalan dan mencemari
  • Pengumpulan lindi dan pengelolaan lindi badan air dan air tanah.

  Pasca operasi

  • Reklamasi lahan • Reklamasi yang tidak sesuai dengan peruntukan lahan apalagi digunakan untuk perumahan dapat membahayakan konstruksi bangunan dan kesehatan masyarakat.
  • Tanpa upaya pemantauan yang memadai, maka akan menyuli
  • Pemantauan kualitas lindi dan gas upaya perbaikan kualitas lingkungan.

  Dari tabel 2.1 di atas, terlihat sangat jelas bahwa pemilihan lokasi TPA yang salah sangat rentan terhadap kemungkinan konflik dengan warga sekitar lokasi. Selain itu, pengelolaan TPA yang tidak memadai juga sangat mungkin menyebabkan pencemaran lingkungan yang tentunya akan merugikan masyarakat sekitar lokasi TPA.

2.1.2 TPA Sampah dengan Metode Sanitary Landfill

  TPA yang dimaksud di sini adalah TPA dengan sistem pengurugan berlapis terkendali (controlled landfill) dan sistem pengurugan berlapis bersih (sanitary landfill) yang merupakan tempat yang digunakan untuk pemrosesan akhir sampah. Tempat pemrosesan dapat berupa tempat pengolahan, maupun tempat pemusnahan yang digunakan untuk memperlakukan sampah.

  Penyingkiran limbah ke dalam tanah (land disposal) merupakan cara yang paling sering dijumpai dalam pengelolaan limbah. Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah dengan pengurugan atau penimbunan dikenal sebagai landfilling, yang diterapkan mula-mula pada sampah kota. Cara ini dikenal sejak awal tahun 1900-an, dengan nama yang dikenal sebagai sanitary landfill, karena aplikasinya memperhatikan aspek sanitasi lingkungan. Definisi yang sederhana tentang

  

sanitary landfill adalah: Metode pengurugan sampah ke dalam tanah, dengan

menyebarkan sampah secara lapis-perlapis pada sebuah site (lahan) yang telah disiapkan, kemudian dilakukan pemadatan dengan alat berat, dan pada akhir hari operasi, urugan sampah tersebut kemudian ditutup dengan tanah penutup.

  Metode tersebut dikembangkan dari aplikasi praktis dalam peyelesaian masalah sampah yang dikenal sebagai open dumping. Open dumping tidak mengikuti tata cara yang sistematis serta tidak memperhatikan dampak pada kesehatan. Metode sanitary landfill kemudian berkembang dengan memperhatikan juga aspek pencemaran lingkungan lainnya, serta percepatan degradasi dan sebagainya, sehingga terminologi sanitary landfill sebetulnya sudah kurang relevan untuk digunakan.

  Landfilling dibutuhkan karena: 1.

  Pengurangan limbah di sumber, daur-ulang, atau minimasi limbah, tidak dapat menyingkirkan limbah semuanya.

  2. Pengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut.

  3. Kadangkala sebuah limbah sulit untuk diuraikan secara biologis, atau sulit untuk dibakar, atau sulit untuk diolah secara kimia.

  Metode landfilling saat ini digunakan bukan hanya untuk menangani sampah kota. Beberapa hal yang perlu dicatat adalah:

  1. Banyak digunakan untuk menyingkirkan sampah, karena murah, mudah dan luwes.

  2. Digunakan pula untuk menyingkirkan limbah industri, seperti sludge (lumpur) dari pengolahan limbah cair, termasuk limbah berbahaya.

  3. Bukan pemecahan masalah limbah yang baik. Dapat mendatangkan pencemaran lingkungan, terutama dari lindi (leachate) yang mencemari air tanah.

  4. Untuk mengurangi dampak negatif dibutuhkan pemilihan lokasi yang tepat, penyiapan prasarana yang baik dengan memanfaatkan teknologi yang sesuai, dan dengan pengoperasian yang baik pula.

2.1.3 Zona di Sekitar TPA Sampah

  Secara umum, kawasan sekitar TPA dibagi menjadi zona penyangga, zona budi daya terbatas dan zona budi daya. Zona yang diatur dalam pedoman ini adalah zona penyangga dan zona budi daya terbatas. Aturan di dalam zona budi daya disesuaikan dengan RTRW kabupaten/kota setempat.

2.1.3.1 Penentuan Jarak Zona

  Ketentuan zona penyangga diukur mulai dari batas terluar tapak TPA sampai pada jarak tertentu sesuai dengan Pedoman Pengoperasian dan Pemeliharaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sistem Controlled Landfill dan

  Sanitary Landfill , yakni 500 meter dan/atau sesuai dengan kajian lingkungan yang dilaksanakan di TPA.

  Zona budi daya terbatas ditentukan mulai dari batas terluar zona penyangga sampai pada jarak yang telah aman dari pengaruh dampak TPA yang berupa: a.

  Bahaya meresapnya lindi ke dalam mata air dan badan air lainnya yang dipakai penduduk untuk kehidupan sehari-hari; b.

  Bahaya ledakan gas metan; c. Bahaya penyebaran vektor penyakit melalui lalat; dan d. Lain-lain.

  .

  Gambar 2.1: Pembagian Zona di Sekitar TPA Baru

2.1.3.2 Fungsi Zona

  Zona penyangga berfungsi untuk menunjang fungsi perlindungan bagi penduduk yang melakukan kegiatan sehari-hari di sekitar TPA dan berfungsi: a.

  Mencegah dampak lindi terhadap kesehatan masyarakat, yang melakukan kegiatan sehari-hari di kawasan sekitar TPA; b.

  Mencegah binatang-binatang vektor, seperti lalat dan tikus, merambah kawasan permukiman; c.

  Menyerap debu yang beterbangan karena tiupan angin dan pengolahan sampah; d.

  Mencegah dampak kebisingan dan pencemaran udara oleh pembakaran dalam pengolahan sampah.

  Zona budi daya terbatas berada di luar zona penyangga. Pemanfaatan ruang pada zona tersebut harus sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam RTRW kabupaten/kota bersangkutan. Fungsi zona tersebut adalah memberikan ruang untuk kegiatan budi daya yang terbatas, yakni kegiatan budi daya yang berkaitan dengan TPA. Zona budi daya terbatas hanya dipersyaratkan untuk TPA dengan sistem selain pengurugan berlapis bersih (sanitary landfill).

2.2 Perencanaan Lokasi TPA Sampah

  TPA sampah dalam alur panjang dan kompleks proses pengelolaan sampah menjadi titik paling penting karena merupakan titik akhir dalam proses pengelolaan sampah tersebut. Berangkat dari pemikiran tersebut maka TPA sampah harus mendapat perhatian khusus terutama dalam hal penentuan lokasi, agar tercipta efektifitas dan efisiensi sehingga proses pengelolaan sampah khususnya di lokasi TPA sampah dapat diminamalisir dampak negatifnya terhadap kehidupan sehari-hari warga daerah tersebut.

  Proses pemilihan lokasi TPA idealnya hendaknya melalui suatu tahapan penyaringan. Dalam setiap tahap, lokasi-lokasi yang dipertimbangkan akan dipilih dan disaring. Pada setiap tingkat, beberapa lokasi dinyatakan gugur, berdasarkan kriteria yang digunakan di tingkat tersebut. Penyisihan tersebut akan memberikan beberapa calon lokasi yang paling layak dan baik untuk diputuskan pada tingkat final oleh pengambil keputusan. Di negara industri, penyaringan tersebut paling tidak terdiri dari tiga tingkat tahapan, yaitu:

  • penyaringan awal,
  • penyaringan individu, dan • penyaringan final.

  Penyaringan awal biasanya bersifat regional biasanya dikaitkan dengan tata guna dan peruntukan yang telah digariskan di daerah tersebut. Secara regional, daerah tersebut diharapkan dapat mendefinisikan secara jelas lokasi- lokasi mana saja yang dianggap tidak/kurang layak untuk lokasi pengurugan limbah. Pada taraf ini parameter yang digunakan hanya sedikit.

  Tahap kedua dari tahap penyisihan ini adalah penentuan lokasi secara individu, kemudian dilakukan evaluasi dari tiap individu. Pada tahap ini tercakup kajian-kajian yang lebih mendalam, sehingga lokasi yang tersisa akan menjadi sedikit. Parameter beserta kriteria yang diterapkan akan menjadi lebih spesifik dan lengkap. Lokasi- lokasi tersebut kemudian dibandingkan satu dengan yang lain, misalnya melalui pembobotan. Pada tahap kedua ini ada 3 (tiga) cara yang umum digunakan, yaitu: SNI 19-3241-1994; Metode LeGrand; Metode Hagerty.

  Tahap terakhir adalah tahap penentuan. Penyaringan final ini diawali dengan pematangan aspek-aspek teknis yang telah digunakan di atas, khususnya yang terkait dengan aspek sosioekonomi masyarakat dimana lokasi calon berada. Tahap ini kemudian diakhiri dengan aspek penentu, yaitu oleh pengambil keputusan suatu daerah. Aspek ini bersifat politis, karena kebijakan pemerintah daerah/pusat akan memegang peranan penting. Kadangkala pemilihan akhir ini dapat mengalahkan aspek teknis yang telah disiapkan sebelumnya.

2.2.1 Pedoman Penentuan Lokasi TPA Sampah

  Tahapan dalam proses pemilihan lokasi landrilling adalah menentukan satu atau dua lokasi terbaik dari calon lokasi yang dianggap potensial. Dalam proses ini kriteria digunakan semaksimal mungkin guna proses penyaringan. Guna memudahkan evaluasi pemilihan sebuah lahan yang dianggap paling baik, digunakan beberapa tolok ukur untuk merangkum semua penilaian dari parameter yang digunakan. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara pembobotan. Ada beberapa metode penilaian calon lokasi yang diterapkan di Indonesia, yang paling sederhana adalah SNI No. 03-3241-1994, khususnya untuk site di kota kecil.

  Metode lain antaranya adalah Metode Le Grand.

  Pedoman umum dalam pengelolaan sampah di Indonesia adalah Undang- undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sedangkan khusus untuk pemilihan lokasi TPA sampah di Indonesia berpedoman pada SNI No. 19-3241- 1994 tentang tata cara pemilihan lokasi tempat pembuangan akhir sampah.

  Seperti dipaparkan dalam SNI No. 19-3241-1994, bahwa lokasi TPA sampah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut.

  2. Disusun berdasarkan tiga tahapan yaitu: a.

  Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan.

  b.

  Tahap penyisihan yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona- zona kelayakan pada tahap regional.

  c.

  Tahap penentuan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh PEMDA.

  3. Dalam hal suatu wilayah belum bisa memenuhi tahapan regional, pemilihan lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah ini dapat dilihat pada kriteria yang berlaku pada tahap penyisihan (tabel 2.2).

  Kriteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian:

  1. Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau zona tidak layak sebagai berikut: a.

  Kondisi geologi;

  • tidak berlokasi di zona holocene fault;
  • tidak boleh di zona bahaya geologi b.

  Kondisi hidrogeologi;

  • tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 m;
  • tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm/det;
  • jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 m di hilir aliran;
  • dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, maka harus diadakan masukan teknologi; c.

  Kemiringan zona harus kurang dari 20%; d. Jarak dari lapangan terbang harus lebih dari 3.000 m untuk penerbangan turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 m untuk jenis lain; e. Tidak boleh ada daerah lindung/ cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25 tahun.

  2. Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik terdiri dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut: a.

  Iklim;

  • hujan intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik;
  • angin arah angin dominan tidak menuju ke permukiman dinilai makin baik;
b.

  Utilitas: tersedia lebih lengkap dinilai makin baik; c. Lingkungan biologi:

  • habitat kurang bervariasi, dinilai makin baik;
  • daya dukung kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik; d.

  Kondisi tanah:

  • produktifitas tanah: tidak produktif dinilai lebih baik;
  • kapasitas dan umur: dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama dinilai lebih baik;
  • ketersediaan tanah penutup: mempunyai tanah penutup yang cukup, dinilai lebih baik;
  • status tanah: makin bervariasi dinilai tidak baik; e.

  Demografi: kepadatan penduduk lebih rendah, dinilai makin baik; f. Batas administrasi: dalam batas adminitrasi dinilai semakin baik; g.

  Kebisingan: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik; h. Bau: semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik; i. Estetika: semakin tidak telihat dari luar dinilai semakin baik;

  3 j.

  /ton) Ekonomi: semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m dinilai semakin baik;

  Parameter dan bobot dari penilaian tersebut dapat dilihat dalam tabel 2.2 di bawah ini:

Tabel 2.2 : Bobot dan penilaian parameter-parameter penentu lokasi TPA No Parameter Bobot Nilai Umum

  I

1 Batas Administrasi

  5

  • Dalam batas administrasi
  • Di luar batas administrasi tetapi dalam satu sistem pengelolaan TPA sampah terpadu
  • Di luar batas administrasi dan di luar sistem pengelolaan TPA sampah terpadu
  • Di luar batas administrasi
  • Pemerintah daerah/ pusat
  • Pribadi (satu)
  • Swasta/perusahaan (satu)
  • Lebih dari satu pemilik hak dan atau status kepemilikan
  • Organisasi sosial/agama
  • > 10 tahun
  • 5 tahun – 10 tahun
  • 3 tahun – 5 tahun
  • Kurang dari 3 tahun
  • Satu (1) kk
  • 2-3 kk
  • 4-5 kk
  • 6-10 kk
  • Lebih dari 10 kk

  3 Sistem aliran air tanah

  1 Tanah (diatas muka air tanah)

  5

  10

  5

  1

  2 Air Tanah

  5

  10

  8

  3

  1

  3

  5

  10

  5

  1

  4 Kaitan dengan pemanfaatan air tanah

  3

  10

  5

  1

  5 Bahaya banjir

  2

  10

  1 II LINGKUNGAN FISIK

  10

  5

  3 Kapasitas Lahan

  10

  8

  3

  1

  2 Pemilik hak atas tanah

  3

  10

  7

  5

  3

  1

  5

  3

  10

  8

  3

  1

  4 Jumlah pemilik tanah

  3

  10

  7

  5

  3

  1

  5 Partisipasi Masyarakat

  • Spontan • Digerakkan • Negosiasi
  • Harga kelulusan < 10-9 cm/dtk
  • Harga kelulusan 10-9 cm/dtk – 10-6 cm/dtk
  • Harga kelulusan > 10-6 cm/dtk tolak (kecuali ada masukan teknologi)
  • ≥ 10 m dengan kelulusan < 10-6 cm/dtk
  • < 10 m dengan kelulusan < 10-6 cm/dtk
  • ≥ 10 m dengan kelulusan 10-6 cm/dtk - 10-4 cm/dtk
  • < 10 m dengan kelulusan 10-6 cm/dtk - 10-6 cm/dtk
  • Discharge area/local
  • Recharge area dan discharge area local
  • Recharge area regional dan local
  • Kemungkinan pemanfatan rendah dengan batas hidrolis
  • Diproyeksikan untuk dimanfaatkan dengan batas hidrolis
  • Diproyeksikan untuk dimanfaatkan tanpa batas hidrolis
  • Tidak ada bahaya banjir
  • Kemungkinan banjir > 25 tahunan

  • Kemungkinan banjir < 25 tahunan tolak (kecuali ada masalah teknologi)
  • Tanah penutup cukup
  • Tanah penutup cukup sampai ½ umur pakai
  • Tanah penutup tidak ada
  • Di bawah 500 mm per tahun
  • Antara 500 min sampai 1000 min per tahun
  • Di atas 1000 min per tahun
  • Datar dengan kondisi baik
  • Datar dengan kondisi buruk
  • Naik/turun
  • Kurang dari 15 menit dari centroid sampah
  • Antara 16 menit – 30 menit dari centroid sampah
  • Antara 31 menit – 60 menit dari centroid sampah
  • Lebih dari 60 menit dari centroid sampah

  1

  11 Lalu lintas

  3

  10

  8

  3

  1

  12 Tata guna tanah

  5

  10

  5

  13 Pertanian

  5

  3

  10

  8

  3

  1

  14 Daerah lindung/cagar alam

  2

  10

  5

  1

  15 Biologis

  1

  10

  3

  1

  1

  6 Tanah penutup

  4

  10

  5

  1

  7 Intensitas Hujan

  3

  10

  5

  8 Jalan menuju lokasi

  4

  5

  10

  5

  1

  9 Transport Sampah (satu jalan)

  5

  10

  8

  3

  1

  10 Jalan masuk

  • Ttruk sampah tidak melalui daerah permukiman
  • Truk sampah melalui daerah permukiman berkepadatan sedang ( ≤ 300 jiwa/ha)
  • Truk sampah melalui daerah permukiman berkepadatan sedang ( ≥ 300 jiwa/ha)
  • Terletak 500 m dari jalan umum
  • Terletak < 500 m pada lalu lintas rendah
  • Terletak < 500 m pada lalu lintas sedang
  • Terletak pada lalu lintas tinggi
  • Mempunyai dampak sedikit terhadap tata guna tanah sekitar
  • Mempunyai dampak sedang terhadap tata guna tanah sekitar
  • Mempunyai dampak besar terhadap tata guna tanah sekitar
  • Berlokasi di lahan tidak produktif
  • Tidak ada dampak terhadap pertanian sekitar
  • Terdapat pengaruh negatif terhadap pertanian sekitar
  • Berlokasi di tanah pertanian produktif
  • Tidak ada daerah lindung/cagar alam di sekitarnya
  • Terdapat daerah lindung/cagar alam di sekitarnya yang tidak terkena dampak negative
  • Terdapat daerah lindung/cagar alam di sekitarnya terkena dampak negative

  • Nilai habitat yang rendah
  • Nilai habitat yang tinggi
  • Habitat kritis
  • Terdapat zona penyangga
  • Terdapat zona penyangga yang terbatas
  • Tidak terdapat penyangga

  17 Estetika

  2.2.2.1.1 Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis Sistem informasi geografis (SIG) adalah sebuah sistem atau teknologi berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan, menyimpan, mengolah dan menganalisa, serta menyajikan data atau informasi dari suatu obyek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadaannya di permukaan bumi (Ekadinata, 2008). Gambar 2.2 memperlihatkan ilustrasi sistem informasi geografis.

  Catatan: lokasi dengan jumlah angka tertinggi dari perkalian antara bobot dan nilai merupakan pilihan pertama, sedangkan lokasi dengan angka-angka yang lebih rendah merupakan alternatif yang dipertimbangkan.

  1 Sumber: SNI 03-3241-1994

  5

  10

  3

  1

  5

  10

  2

  16 Kebisingan dan bau

  1

  5

  10

  • Operasi penimbunan tidak terlihat dari luar
  • Operasi penimbunan sedikit terlihat dari luar
  • Operasi penimbunan terlihat dari luar

2.2.2 Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Analisa Penentuan Lokasi TPA Sampah

2.2.2.1 Aplikasi Sistem Informasi Geografis

  Gambar 2.2: Ilustrasi Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis dibagi menjadi dua kelompok yaitu system manual (analog), dan sistem otomatis (yang berbasis digital komputer).

  Perbedaan yang paling mendasar terletak pada cara pengelolaannya. Sistem Informasi manual biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar transparansi untuk tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik dan laporan survey lapangan. Kesemua data tersebut dikompilasi dan dianalisis secara manual dengan alat tanpa komputer. Sedangkan SIG otomatis telah menggunakan komputer sebagai sistem pengolah data melalui proses digitasi. Sumber data digital dapat berupa citra satelit atau foto udara digital serta foto udara yang terdigitasi.

  Pengertian SIG saat ini lebih sering diterapkan bagi teknologi informasi spasia atau geografi yang berorientasi pada penggunaan teknologi komputer.

  Dalam hubungannya dengan teknologi komputer. SIG merupakan suatu sistem berbasis komputer yang memiliki kemampuan dalam menangani data bereferensi geografi yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), memanipulasi dan analisis data, serta keluaran sebagai hasil akhir (output). SIG juga dapat diartikan sebagai sebagai sistem berbasis komputer yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengelola, menganalisis dan mengaktifkan kembali data yang mempunyai referensi keruangan untuk berbagai tujuan yang berkaitan dengan pemetaan dan perencanaan. Komponen utama Sistem Informasi Geografis dapat dibagi kedalam 4 komponen utama yaitu: perangkat keras (digitizer, scanner, Central Procesing Unit/CPU, hard-disk, dan lain-lain), perangkat lunak (ArcView, Idrisi, ARC/INFO, ILWIS, MapInfo, dan lain-lain).

  2.2.2.1.2 Komponen Sistem Informasi Geografis (SIG) Komponen utama yang membangun SIG adalah perangkat lunak, perangkat keras, data, pengguna dan aplikasi (Ekadinata, 2008), komponen tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar 2.3 berikut ini.

  Gambar 2.3: Komponen Sistem Informasi Geografis (SIG) (Ekadinata, 2008) Sistem komputer untuk SIG terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak dan prosedur untuk penyusunan pemasukan data, pengolahan, analisis, pemodelan, dan penayangan data geospatial. Setiap data yang merujuk lokasi di permukaan bumi dapat disebut sebagai data spasial bereferensi geografis.

  Misalnya data kepadatan penduduk suatu daerah, data jaringan jalan suatu kota, data distribusi lokasi pengambilan sampel, dan sebagainya. Data SIG dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu data grafis dan data atribut atau tabular. Data grafis adalah data yang menggambarkan bentuk atau kenampakan objek di permukaan bumi. Sedangkan data tabular adalah data deskriptif yang menyatakan nilai dari data grafis tersebut. Berikut penjelasan mengenai komponen SIG.

  2.2.2.1.3 Data Sistem Informasi Geografis (SIG) Data geografis (gambar 2.4) pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting yaitu data spasial dan data atribut. Data spasial merepresentasikan posisi atau lokasi geografis dari suatu obyek di permukaan bumi, sedangkan data atribut memberikan deskripsi atau penjelasan dari suatu obyek. Data atribut dapat berupa infomasi numerik, foto, narasi dan lain sebagainya, yang diperoleh dari data statistik, pengukuran lapangan sensus dan lain sebagainya. Data spasial dapat diperoleh dari berbagai sumber dan dalam berbagai format, sumber data spasial antara lain mencakup data grafis peta analog, foto udara, citra satelit, surver lapangan, pengukuran theodolit, pengukuran menggunakan global positioning systems (GPS).

  Gambar 2.4: Berbagai sumber data dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) (Ekadinata, 2008) A.

   Perangkat Keras (Hardware) SIG membutuhkan komputer untuk penyimpanan dan pemproresan data.

  Ukuran dari sistem komputerisasi bergantung pada tipe SIG itu sendiri. SIG dengan skala yang kecil hanya membutuhkan PC (personal computer) yang kecil dan sebaliknya. Ketika SIG yang di buat berskala besar di perlukan spesifikasi komputer yang besar pula serta host untuk client machine yang mendukung penggunaan multiple user.

  B.

   Perangkat Lunak (Software)

  Dalam pembuatan SIG di perlukan software yang menyediakan fungsi tool yang mampu melakukan penyimpanan data, analisis dan menampilkan informasi eografis. Dengan demikian, elemen yang harus terdapat dalam komponen software SIG adalah:

  • Tool untuk melakukan input dan transformasi data geografis
  • Sistem Manajemen Basis Data (DBMS)

  • Tool yang mendukung query geografis, analisa dan visualisasi
  • Graphical User Interface (GUI) untuk memudahkan akses pada tool geografi. Inti dari software SIG adalah software SIG itu sendiri yang mampu menyediakan fungsi-fungsi untuk penyimpanan, pengaturan, link, query dan analisa data geografi.

  Beberapa contoh software SIG adalah ArcView, MapInfo, ArcInfo untuk SIG; CAD sistem untuk entri grafik data; dan ERDAS serta ER-MAP untuk proses remote sensing data.

  C.

   Sumberdaya Manusia (User)

  Teknologi SIG menjadi sangat terbatas kemampuanya jika tidak ada sumberdaya yang mengelola sistem dan mengembangkan untuk aplikasi yang sesuai. Pengguna dan pembuat system harus saling bekerja sama untuk mengembangkan tekhnologi SIG.

  2.2.2.1.4 Representasi Grafis Suatu Objek Sistem Informasi Geografis (SIG)

  A Titik

  Titik (gambar 2.5) adalah representasi grafis yang paling sederhana untuk suatu objek. Tidak memiliki dimensi tetapi dapat diidentifikasikan di atas peta dan dapat ditampilkan pada layer monitor dengan menggunakan simbol-simbol. Contoh representasi objek titik untuk data posisi sumur stasium curah hujan:

  Gambar 2.5: Contoh Representasi Objek Titik (Gumelar, 2007)

  B. Garis

  Garis (gambar 2.6) adalah bentuk linier yang akan menghubungkan paling sedikit dua titik dan digunakan untuk merepresentasikan objek-objek satu dimensi. Contoh representasi objek garis untuk data lokasi jalan:

  Gambar 2.6: Contoh Representasi Objek Garis (Gumelar, 2007)

  C. Poligon

  Poligon (Gambar 2.7) digunakan untuk merepresentasikan objek-objek dua dimensi, seperti danau, bataspropinsi, batas kota, batas persil tanah, dan lain-lain. Suatu poligon paling sedikit dibatasi oleh tigagaris yang saling terhubung diantara ketiga titik. Di dalam basis data, semua bentuk area duadimensi direpresentasikan oleh bentuk poligon.

  Gambar 2.7: Contoh Representasi Objek Poligon (Gumelar, 2007)

D. Objek Tiga Dimensi

  Setiap fenomena fisik memiliki lokasi di dalam ruang. Akibatnya, model data yang lengkap harus mencakup dimensi yang ketiga (ruang 3 dimensi). Hal ini berlaku untuk permukaan tanah, menara, sumur, bangunan, batas-batas, dan lain-lain. Gambar 2.8 memperlihatkan representasi objek tiga dimensi.

  

Gambar 2.8: Contoh Representasi Objek Tiga Dimensi (Gumelar, 2007)

  2.2.2.1.5 Model Data Spasial Perkembangan pemanfaatan data spasial dalam dekade belakangan ini meningkat dengan sangat drastis. Hal ini berkaitan dengan meluasnya pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) dan perkembangan teknologi dalam memperoleh, merekam dan mengumpulan data yang bersifat keruangan (spasial). Teknologi tinggi seperti GPS (Global Positioning System) dan

  

Penginderaan Jauh (remote sensing) telah membuat perekaman data spasial digital relatif lebih cepat dan mudah. Kemampuan penyimpanan yang semakin besar, kapasitas transfer data yang semakin meningkat, dan kecepatan proses data yang semakin cepat menjadikan data spasial merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari perkembangan teknologi informasi.

  A.

   Pengertian Data Spasial

  Data spasial mempunyai pengertian sebagai suatu data yang mengacu pada posisi, obyek, dan hubungan diantaranya dalam ruang bumi. Data spasial merupakan salah satu item dari informasi, dimana di dalamnya terdapat informasi mengenai bumi termasuk permukaan bumi, dibawah permukaan bumi, perairan, kelautan dan bawah atmosfir. Data spasial dan informasi turunannya digunakan untuk menentukan posisi dari identifikasi suatu elemen di permukaan bumi.

  Karakteristik utama dari data spasial adalah bagaimana cara mengumpulkannya dan memeliharanya untuk berbagai kepentingan. Selain itu juga ditujukan sebagai salah satu elemen yang kritis dalam melaksanakan pembangunan sosial ekonomi secara berkelanjutan dan untuk pengelolaan lingkungan. Berdasarkan perkiraan hampir lebih dari 80% informasi mengenai bumi berhubungan dengan informasi spasial. Perkembangan teknologi yang cepat dalam pengambilan data spasial telah membuat perekaman terhadap data berubah menjadi bentuk digital, selain itu relatif cepat dalam melakukan prosesnya. Salah satunya perkembangan teknologi yang berpengaruh terhadap perekeman data pada saat ini adalah teknologi penginderaan jauh (remote sensing) dan Global Positioning System (GPS).

  Tujuannya adalah membantu pengambilan keputusan berdasarkan kepentingan dan tujuannya masing-masing, terutama yang berkaitan dengan aspek keruangan. Oleh karena itu data spasial yang telah dibangun, sedang dibangun dan yang akan dibangun perlu diketahui keberadaanya.

  B.

   Sumber Data Spasial

  Data spasial dapat dihasilkan dari berbagai sumber, diantaranya adalah: citra satelit; peta analog; foto udara (Aerial Photographs); data tabular; data survei (Pengamatan atau pengukuran di lapangan); dan lain-lain C.

   Model Data Spasial

  Pada pemanfaatannya data spasial yang diolah dengan menggunakan komputer (data spasial digital) menggunakan model sebagai pendekatannya. model data bisa dikatakan sebagai suatu set logika atau aturan dan karakteristik dari suatu data spasial. Model data merupakan representasi hubungan antara dunia nyata dengan data spasial. Terdapat dua model dalam data spasial, yaitu model data raster dan model data vektor.

1. Data Raster

  Model data raster (Gambar 2.9) mempunyai struktur data yang tersusun dalam bentuk matriks atau piksel dan membentuk grid. Setiap piksel memiliki nilai tertentu dan memiliki atribut tersendiri, termasuk nilai koordinat yang unik. Tingkat keakurasian model ini sangat tergantung pada ukuran piksel atau biasa disebut dengan resolusi.

  Model data ini biasanya digunakan dalam penginderaan jauh (remote

sensing ) yang berbasiskan citra satelit maupun airborne (pesawat terbang).

  Selain itu model ini digunakan pula dalam membangun model ketinggian digital (DEM-Digital Elevatin Model) dan model permukaan digital (DTM-Digital Terrain Model ).

  Model raster memberikan informasi spasial terhadap permukaan di bumi dalam bentuk gambaran yang di generalisasi. Representasi dunia nyata disajikan sebagai elemen matriks atau piksel yang membentuk grid yang homogen. Pada setiap piksel mewakili setiap obyek yang terekam dan ditandai dengan nilai- nilai tertentu. Secara konseptual, model data raster merupakan model data spasial yang paling sederhana.

  Gambar 2.9: Struktur Model Data Raster (Gumelar, 2007) Karakteristik yang utama data raster adalah bahwa dalam setiap sel/piksel mempunyai nilai. Nilai sel/piksel merepresentasikan fenomena atau gambaran dari suatu kategori. Nilai sel/piksel dapat meiliki nilai positif atau negatif, integer, dan floating point untuk dapat merepresentasikan nilai

  continuous. Data raster disimpan dalam suatu urutan nilai sel/piksel.

  Dimensi dari setiap sel/piksel (Gambar 2.10) dapat ditentukan ukurannya sesuai dengan kebutuhan. Ukuran sel/piksel menentukan bagaimana kasar atau halusnya pola atau obyek yang akan direpresentasikan. Semakin kecil ukuran sel/piksel, maka akan semakin halus atau lebih detail. Akan tetapi semakin besar jumlah sel/piksel yang digunakan maka akan berpengaruh terhadap penyimpanan dan kecepatan proses. Gambar berikut memperlihatkan bagaimana obyek poligon direpresentasikan dalam raster dengan berbagai macama ukuran sel/piksel.

  Gambar 2.10: Poligon yang direpresentasikan dalam berbagai ukuran sel/piksel (Gumelar, 2007)

  Pemanfaatan model data raster banyak digunakan dalam berbagai aplikasi, akan tetapi ESRI (Environmental Systems Research Institute), Inc.

  (2006) membagi menjadi empat kategori utama, yaitu: a.

  Raster sebagai peta dasar Raster biasanya digunakan sebagai tampilan latar belakang (background) untuk suatu layer dari obyek yang lain (vektor). Sebagai contoh foto udara ortho ditampilkan sebagai latar dari obyek jalan (Gambar 2.11). Tiga sumber utama dari peta dasar raster adalah foto udara, citra satelit, dan peta hasil scan.

  

Gambar 2.11: Foto Udara (Raster) Sebagai Latar dari Layer Jalan (Vektor)

(Gumelar, 2007)

  b.

  Raster sebagai peta model permukaan Data sangat cocok untuk merepresentasikan data permukaan bumi. Data dapat menyediakan metode yang efektif dalam menyimpan informasi nilai ketinggian yang diukur dari permukaan bumi. Selain dapat merepresentasikan permukaan bumi, data raster dapat juga merepresentasikan curah hujan, temperatur, konsentrasi, dan kepadatan populasi.

  Gambar 2.12: Data raster memodelkan permukaan bumi (Gumelar, 2007)

  Pada gambar 2.12 sebelumnya memperlihatkan nilai ketinggian suatu permukaan bumi. Warna hijau memperlihatkan permukaan yang rendah, dan berikutnya merah, pink dan putih menunjukan permukaan yang semakin tinggi. c.

  Raster sebagai peta tematik Data raster yang merpresentasikan peta tematik dapat diturunkan dari hasil analisis data lain. Aplikasi analisis yang sering digunakan adalah dalam melakukan klasifikasi citra satelit untuk menghasilkan kategori tutupan lahan (land cover). Pada dasarnya aktifitas yang dilakukan adalah mengelompokan nilai dari data multispektral kedalam kelas tertentu (seperti tipe vegetasi) dan memberikan nilai terhadap kategori tersebut. Peta tematik juga dapat dihasilkan dari operasi geoprocessing yang dikombinasikan dari berbagai macam sumber, seperti vektor, raster, dan data permukaan. Sebagai contoh dalam menghaslkan peta kesesuaian lahan dihasilkan melalui operasi dengan menggunakan data raster sebagai masukannya. Gambar 2.13 di bawah ini memperlihatkan penggunaan data raster dalam menentukan perbedaa tutupan lahan.

  

Gambar 2.13: Data Raster dalam Mengklasifikasi Data Tutupan Lahan

(Gumelar, 2007)

2. Data Vektor

  Model data vektor merupakan model data yang paling banyak digunakan, model ini berbasiskan pada titik (points) dengan nilai koordinat (x,y) untuk membangun obyek spasialnya. Obyek yang dibangun terbagi menjadi tiga bagian lagi yaitu berupa titik (point), garis (line), dan area (polygon). Tabel 2.3 memperlihatkan vontoh representasi data vektor dan atributnya.

Tabel 2.3 Contoh Representasi Data Vektor dan Atributnya

  Jenis Contoh Representasi Contoh Atribut Titik Garis Poligon Sumber: Gumelar (2007 )

2.2.2.2 Pengenalan ArcView

  2.2.2.2.1 Mengenai ArcView Perangkat lunak sistem informasi geografi saat ini telah banyak dijumpai di pasaran dan digunakan secara umum oleh masyarakat. Masing-masing perangkat lunak ini mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam menunjang analisis informasi geografi. Salah satu yang sering digunakan saat ini adalah ArcView. ArcView yang merupakan salah satu perangkat lunak sistem informasi geografi yang dikeluarkan oleh ESRI (Environmental Systems

  Research Institute). ArcView dapat melakukan pertukaran data, operasi-operasi matematik, menampilkan informasi spasial maupun atribut secara bersamaan, membuat peta tematik, menyediakan bahasa pemograman (script) serta melakukan fungsi-fungsi khusus lainnya dengan bantuan extensions (ESRI, 1996). Saat ini ESRI telah mengeluarkan ArcView yang terakhir adalah seri 3.3 dimana setiap pengeluaran seri terbaru secara terus-menerus dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan di dalamnya.

  Sebelum menjalankan program ArcView terlebih dahulu user harus menginstal program ArcView ini. Setelah program ArcView terinstal, langkah selanjutnya adalah menjalankan program ArcView ini. Klik “ Start Programs” ESRI ArcView atau bila di desktop telah ada shortcutnya, klik shortcut (ikon) tersebut.

  Tampilan pertama saat membuka ArcView adalah seperti terlihat pada gambar 2.22, dimana pada kotak dialog tersebut, user dipersilahkan membuka ArcView dengan langsung membuka view baru, dan pada gambar 2.23 ditunjukkan tampilan ruang kerja baru (new view) padad ArcView.

  Gambar 2.14: Tampilan awal ArcView

  2.2.2.2.2 Data Atribut Selanjutnya adalah memasukkan data atribut di dalam peta-peta tersebut.

  Ada dua cara proses pemasukkan data atribut: 1.

  Mengetikkan langsung didalam tabel yang terdapat di ArcView.

2. Join dengan tabel external (*.dbf, *.txt dll)

  

Gambar 2.15: Tampilan data atribut

  Apabila user ingin menambahkan informasi pada sebuah data tabular ini, apakah data baru atau data turunan yang berasal dari kalkulasi data yang ada, kita dapat menggunakan langkah-langkah berikut: 1.

  Buatlah tabel menjadi Editable agar tabel tersebut bisa dimanipulasi, dengan mengklik menu Table, Start Editing. Memang tidak ada perubahan apa-apa. Akan tetapi apabila anda perhatikan dengan seksama, maka judul tabel sekarang akan menjadi tegak dari yang semula miring. Posisi huruf pada judul tabel dalam posisi tegak menandakan tabel tersebut telah siap dimanipulasi.

  2. Sekarang kita akan menambahkan 1 field atau kolom, dengan tipe String dan lebar 30. Untuk itu, pilih menu Edit, Add Field, kotak dialog berikut ini akan muncul.

  3. Isikan nama kolom, misalkan ‘Jumlah Penduduk’ pada Name, “Number” pada Type, 30 pada Width sehingga tampilan kotak dialog tersebut akan tampak seperti pada gambar di bawah ini. Klik OK, tampilan tabel akan berubah seperti gambar berikut:

  

Gambar 2.16: Tampilan penambahan informasi jumlah penduduk

4.

  Bila anda telah selesai melakukan penambahan dan editing data, pilih menu Table Stop Editing, kotak dialog konfirasi penyimpanan akan tampil. Klik Yes, untuk menyimpan hasil penambahan data yang telah dilakukan, No untuk tidak menyimpan, dan Cancel untuk melanjutkan editing.

  2.2.2.2.3 Geoprocessing Operasi tumpang tindih (overlay) dalam SIG umumnya dilakukan dengan salah satu dari empat cara yang dikenal, yaitu: a.

  Pemanfaatan fungsi logika seperti gabungan (union), irisan (intersection), pilihan (and dan or), perbedaan (difference) dan pernyataan bersyarat (if, then dan else).

  b.

  Pemanfaatan fungsi relasional seperti ukuran lebih-besar, lebih-kecil, sama besar dan kombinasinya.

  c.

  Pemanfaatan fungsi aritmatika seperti penambahan, pengurangan, pengalian dan pembagian.

  d.

  Menyilangkan dua peta langsung berbagai manipulasi teknik tumpang- tindih ini umumnya bervariasi yang ditentukan pengetahuan operator dan tingkat kemampuan perangkat lunak. Selain itu salah satu faktor utama adalah struktur data yang sedang dipakai.

  Gambar 2.17: Contoh analisis overlay Analisis ini lebih sering disebut Query, sedangkan overlaynya menggunakan suatu program pendukung yang di dalam ArcView disebut dengan

  Extensions. Extensions yang digunakan adalah extensions Geoprocessing.

  Untuk memunculkan kotak dialoggeoprocessing sehingga bisa digunakan. Maka pilih menu view geoprocessing wizard. Ada 4 operasi dasar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1.

  Dissolve: merupakan analisis yang menghasilkan sebuah peta (theme) baru dari penggabungan data baris (record) yang sama dari sebuah kolom (field).

  2. Marge: merupakan analisis penggabungan dua buah theme menjadi sebuah theme.

  3. Clip One Theme: merupakan analisis pemotongan sebuah theme dengan memanfaatkan theme lain sebagai batas pemotongan.

  Intersect: merupakan analisis penggabungan sekaligus pemotongan dua 4. buah theme. Theme pertama mrupakan theme yang akan dipotong sedangkan theme yang kedua merupakan batas pemotongan.

  2.2.2.2.4 Output Hasil akhir dari suatu pekerjaan adalah output. Bisa dalam bentuk peta hard copy ataupun soft copy, bias dalam bentuk tabel dan dalam bentuk grafik. Proses pembuatan hasil akhir ini sering disebut dengan pembuatan layout. Umumnya dalam bentuk peta. Adapun proses dalam pembuatan layout ini adalah sebagai berikut:

  1. pilih menu view, layout

2. maka akan uncul kotak dialog bentuk-bentuk layout yang akan user

  hasilkan. Misalkan kita memilih landscape

Dokumen yang terkait

Studi Sistem Informasi Geografis (SIG) Bagi Perencanaan Penghijauan Di Kota Tebing Tinggi

1 68 58

Analisis Kandungan Kadmium (Cd) dalam Udang Windu (Penaeus monodon) yang Berada di Tambak Sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kelurahan Terjun Kota Medan Tahun 2014

6 114 95

Pengukuran Tingkat Kepadatan Lalat Pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kota Binjai Tahun 2000

2 65 79

Studi Perencanaan Ulang Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Desa Telekung Kecamatan Junrejo Kota Batu.

0 13 2

Analisis Kualitas Air Tanah Masyarakat Di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Kelurahan Sumur Batu Bantar Gebang, Bekasi 2013

2 18 91

Karakteristik Air Lindi (Leachate) di Tempat Pembuangan Akhir Sampah Air Dingin Kota Padang

0 1 7

Studi Sistem Informasi Geografis (SIG) Bagi Perencanaan Penghijauan Di Kota Tebing Tinggi

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sistem Informasi Geografis - Implementasi Sistem Informasi Geografis Untuk Menentukan Jarak Terpendek Menggunakan Algoritma Dijkstra Berbasis Web (Studi Kasus : Tempat Wisata di Kota Banda Aceh)

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Air Bersih - Hubungan Jarak Sumur Gali dengan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Terhadap Kandungan Fosfat (PO4-3) dan Nitrat (NO3-) pada Air Sumur Gali Masyarakat di Desa Namo Bintang, Kecamatan Pancur Batu, Kabupat

0 1 34

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sampah dan TPA - Penyerapan Logam Kromium (Cr VI) Oleh Tumbuhan Purun (Typha latifolia), Mendong (Scirpus californicus) dan Padi Liar (Zizaniopsis miliaceae) sebagai Upaya Pengolahan Lindi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah

0 0 22