BAB II LANDASAN TEORI A. PENYESUAIAN SOSIAL A.1. Pengertian Penyesuaian Sosial - Perbedaan Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu Ditinjau dari Metode Komunikasi

BAB II LANDASAN TEORI A. PENYESUAIAN SOSIAL A.1. Pengertian Penyesuaian Sosial Penyesuaian sosial merupakan salah satu bagian dari penyesuaian diri. Oleh karena itu, ketika membahas penyesuaian sosial akan banyak merujuk pada

  konsep penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan di sekitarnya. Penyesuaian sosial merupakan keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya (Hurlock, 1997).

  Schneiders (1964) mendefinisikan p enyesuaian sosial sebagai “the

  capacity to react adequately to social realities, situation and relations

  .” Penyesuaian sosial menandakan kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar pada realitas sosial, situasi dan relasi sosial.

  Lebih jelasnya, Schneiders (1964) menyatakan penyesuaian sosial sebagai berikut, “Social adjustment signifies the capacity to react effectively and

  wholesomely to social realities, situation and relations so that the requirements for social living are fulfilled in an acceptable and satisfactory manner

  .” Penyesuaian sosial adalah kemampuan atau kapasitas yang dimiliki individu untuk bereaksi secara efektif dan wajar terhadap realita, situasi, dan hubungan sosial sehingga tuntutan hidup bermasyarakat terpenuhi dengan cara yang dapat diterima dan memuaskan.

  Mu’tadin (dalam Vianawati, 2008) mendefinisikan penyesuaian sosial sebagai suatu proses saling mempengaruhi antar individu yang menghasilkan suatu pola kebudayaan dan tingkah laku yang sesuai dengan aturan, hukum, adat dan nilai-nilai yang dipatuhi, demi tercapainya penyelesaian bagi persoalan- persoalan hidup.

  Menurut Mu’tadin (dalam Wahyuni, 2009) individu juga mempelajari keterampilan-keterampilan sosial yang diperlukan dalam penyesuaian sosial, meliputi: a.

  Kemampuan berkomunikasi, b. Menjalin hubungan dengan orang lain, c. Menghargai diri sendiri dan orang lain, d. Mendengarkan pendapat dan keluhan dari orang lain, e. Memberi dan menerima kritik, f. Bertindak sesuai norma dan aturan yang berlaku.

  Penyesuaian sosial adalah kesanggupan untuk mereaksi secara efektif dan harmonis terhadap realitas sosial dan situasi sosial, bisa mengadakan reaksi sosial yang sehat, bisa menghargai hak-hak sendiri di dalam masyarakat, bisa bergaul dengan orang lain dan membina persahabatan yang kekal sehingga rasa permusuhan, iri hati, persaingan, dengki dan emosi negatif dapat terkikis (Kartono, 1989). Gerungan (1996) menyatakan bahwa penyesuaian sosial merupakan usaha yang dilakukan individu untuk mengubah diri dan keinginan agar sesuai dengan keadaan lingkungan atau kelompok.

  Berdasarkan beberapa definisi penyesuaian sosial yang telah dikemukakan di atas dapat disimpulkan penyesuaian sosial adalah kemampuan seseorang untuk berperilaku sesuai dengan harapan orang lain, yang ditunjukkan dengan memperlihatkan sikap dan tingkah laku yang menyenangkan, serta dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga ia mampu merasa puas terhadap dirinya dan orang lain.

  A.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Sosial

  Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial erat kaitannya dengan penyesuaian diri karena penyesuaian sosial merupakan bagian dari penyesuaian diri. Schneiders (1964) mengelompokan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri sebagai berikut: a.

  Physical condition (kondisi jasmaniah) meliputi: 1.

  Pengaruh pembawaan dan struktur jasmaniah Beberapa ciri kepribadian memiliki hubungan dengan struktur jasmaniah yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pembawaan, dapat diwariskan secara genetis terutama dengan perantara temperamen.

2. Kesehatan dan kondisi jasmaniah

  Kualitas penyesuaian diri yang baik dapat diperoleh dan dipelihara dalam kondisi kesehatan jasmani yang sehat. Orang yang memiliki penyakit jasmani kemungkinan memiliki kurang percaya diri, perasaan rendah diri, ketergantungan, dan perasaan ingin diperhatikan oleh orang lain. Namun tidak semua orang yang memiliki penyakit jasmani tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik.

  b.

  Development and maturation (perkembangan dan kematangan) Perkembangan dan kematangan mempunyai hubungan yang erat dengan proses penyesuaian diri, dalam arti bahwa proses penyesuaian diri itu akan banyak tergantung pada tingkat perkembangan dan kematangan yang dicapai. Dalam proses perkembangan, respon anak berkembang dari respon yang bersifat instingtif menjadi respon yang diperoleh melalui belajar dan pengalaman. Dengan bertambahnya usia, anak juga matang untuk melakukan respon, proses ini menentukan pola-pola penyesuaian sosial.

  c.

  Psychological condition (kondisi psikologis) Banyak sekali faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi penyesuaian diri.

  Diantaranya adalah faktor pengalaman, frustasi, konflik, iklim psikologis dan lain-lain. Proses belajar merupakan suatu dasar yang fundamental dalam penyesuaian diri, karena melalui proses belajar ini akan berkembang pola- pola respon yang akan membentuk kepribadian.

  d.

  Environmental condition (kondisi lingkungan) 1.

  Pengaruh rumah dan keluarga. Lingkungan rumah dan keluarga merupakan faktor lingkungan yang paling besar pengaruhnya terhadap penyesuaian diri individu. Hal ini karena keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam kehidupan individu.

  2. Pengaruh masyarakat. Lingkungan masyarakat merupakan tempat individu bergerak, bergaul dan melakukan peran sosial. Sehingga individu sedikit banyak akan terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Pengaruh masyarakat merupakan kondisi-kondisi yang menentukan proses dan pola-pola penyesuaian diri.

  3. Pengaruh sekolah. Sekolah mempunyai peran yang penting dalam menentukan pola penyesuaian seseorang, karena sekolah mempunyai peran sebagi medium untuk mempengaruhi kehidupan intelektual, sosial, dan moral siswa sehingga individu diharapkan mampu mengembangkan kemampuan menyesuaikan diri.

  e.

  Culture and religion (budaya dan agama) 1.

  Faktor budaya. Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh terhadap pembentukan watak dan tingkah laku individu yang diperoleh melalui media pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat secara bertahap dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan. Budaya yang sehat dalam suatu lingkungan masyarakat akan memberikan pengaruh yang baik kepada anggota masyarakat, begitu pula sebaliknya budaya yang tidak sehat akan mempengaruhi perilaku anggota yang ada di lingkungan tersebut.

  2. Pengaruh agama. Agama merupakan sumber nilai, kepercayaan, dan pola- pola tingkah laku yang akan memberikan arti, tujuan, dan kestabilan hidup kepada umat manusia. Agama memberikan suasana psikologis tertentu dalam mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan lainnya kemudian memberikan suasana tenang dan damai.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyesuaian sosial dapat dipengaruhi oleh faktor dalam diri individu tersebut dan juga dari luar diri individu. Adapun faktor dalam diri inidividu seperti kondisi jasmani yang sehat, perkembangan dan kematangan melalui proses belajar dan pengalaman, serta kondisi psikologis. Sedangkan faktor luar diri individu, yaitu kondisi lingkungan seperti pengaruh keluarga, masyarakat dan sekolah, serta budaya dan agama juga menjadi indikasi penyesuaian sosial yang baik jika semua berjalan selaras.

  A.3. Kriteria Penyesuaian Sosial

  Hurlock (1997) mengatakan terdapat empat kriteria dalam menentukan sejauh mana penyesuaian sosial seseorang mencapai ukuran baik, yaitu sebagai berikut :

  a) Penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata

  Perilaku sosial individu sesuai dengan standar kelompok atau memenuhi harapan kelompok maka individu akan diterima sebagai anggota kelompok. Bentuk dari penampilan nyata adalah (1) aktualisasi diri yaitu proses menjadi diri sendiri, mengembangkan sifat-sifat dan potensi diri, (2) keterampilan menjalin hubungan antar manusia yaitu kemampuan berkomunikasi, kemampuan berorganisasi, dan (3) kesediaan untuk terbuka pada orang lain, yang mana sikap terbuka adalah sikap untuk bersedia memberikan dan sikap untuk bersedia menerima pengetahuan atau informasi dari pihak lain.

  b) Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok

  Individu dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok, baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasa.

  Bentuk dari penyesuaian diri adalah (1) kerja sama dengan kelompok yaitu proses beregu (berkelompok) yang mana anggota-anggotanya mendukung dan saling mengandalkan untuk mencapai suatu hasil mufakat, (2) tanggung jawab yaitu sesuatu yang harus kita lakukan agar kita menerima sesuatu yang dinamakan hak, dan (3) setia kawan yaitu saling berbagi, saling memotivasi dalam kebaikan.

  c) Sikap sosial

  Individu dapat menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, terhadap partisipasi sosial, serta terhadap perannya dalam kelompok maka individu akan menyesuaikan diri dengan baik secara sosial. Bentuk dari sikap sosial adalah ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat, berempati, dapat menghormati dan menghargai pendapat orang lain.

  d) Kepuasan pribadi

  Individu harus dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial, merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi sosial. Bentuk dari kepuasan pribadi adalah kepercayaan diri, disiplin diri dan kehidupan yang bermakna dan terarah. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria dalam penyesuaian sosial adalah penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata seperti kemampuan berkomunikasi dan kemampuan berorganisasi, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap sosial, dan kepuasan pribadi.

  A.4. Penyesuaian Sosial Remaja

  Salah satu perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah.

  Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial (Hurlock, 1993).

  Dengan meluasnya kesempatan untuk melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial, maka wawasan sosial semakin membaik pada remaja. Sekarang remaja dapat menilai teman-temannya dengan lebih baik, sehingga penyesuaian diri dalam situasi sosial bertambah baik dan pertengkaran menjadi berkurang.

  Semakin banyak partisipasi sosial, semakin besar kompetensi sosial remaja, seperti terlihat dalam mengadakan pembicaraan, dalam melakukan olahraga, dan permainan yang populer, serta berperilaku baik dalam berbagai situasi sosial.

  Dengan demikian remaja memiliki kepercayaan diri yang diungkapkan melalui sikap tenang dan seimbang dalam situasi sosial (Hurlock, 1993). Keberhasilan remaja tersebut akan mengantarkannya ke dalam suatu kondisi penyesuaian sosial yang baik dalam keseluruhanya sehingga remaja yang bersangkutan dapat merasa bahagia, harmonis dan dapat menjadi orang yang produktif (Nurdin, 2009).

  Mereka diharapkan dapat memenuhi tanggung jawab orang dewasa, tetapi berhubung antara pertumbuhan fisik dan pematangan psikisnya masih ada jarak yang cukup lebar, maka kegagalan yang sering dialami remaja dalam memenuhi tuntutan sosial ini menyebabkan frustasi dan konflik-konflik batin pada remaja terutama bila tidak ada pengertian pada pihak orang dewasa (Monks, 2006).

  Mereka dituntut untuk dapat menentukan sikap pilihannya dan kemampuannya dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungannya agar partisipasinya selalu relevan dalam kegiatan masyarakat. Berdasarkan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, kenyataan memperlihatkan bahwa tidak semua remaja berhasil atau mampu melakukan penyesuaian sosial dalam lingkungannya. Hal ini tampak dari banyaknya keluhan remaja yang dapat diketahui dari berbagai berita atau ulasan mengenai masalah dan perilaku menyimpang remaja dalam berbagai media, baik media cetak maupun elektronik (Setianingsih dkk, 2006).

  Jika remaja tidak mampu melakukan penyesuaian sosial, maka akan menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks. Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut suatu penyelesaian agar tidak menjadi beban yang dapat mengganggu perkembangan selanjutnya. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa masa remaja dinilai lebih rawan daripada tahap-tahap perkembangan manusia yang lain (Hurlock, 1997).

  Menghadapi masalah yang begitu kompleks, banyak remaja dapat mengatasi masalahnya dengan baik, namun tidak jarang ada sebagian remaja yang kesulitan dalam melewati dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapinya. Remaja yang gagal mengatasi masalah seringkali menjadi tidak percaya diri, prestasi sekolah menurun, hubungan dengan teman menjadi kurang baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi (Milarsari dalam Setianingsih dkk, 2006).

  Remaja-remaja bermasalah ini kemudian membentuk kelompok yang terdiri dari teman sealiran dan melakukan aktivitas yang negatif seperti perkelahian antar pelajar (tawuran), membolos, minum-minuman keras, mencuri, memalak, mengganggu keamanan masyarakat sekitar dan melakukan tindakan yang dapat membahayakan bagi dirinya sendiri (Setianingsih dkk, 2006).

  A.5. Penyesuaian Sosial Remaja Tunarungu

  Penyesuaian sosial sebagai salah satu aspek dari penyesuaian diri individu yang menuju kepada kesesuaian antara kebutuhan dirinya dengan keadaan lingkungan tempat ia berada dan berinteraksi secara efektif dan efisien. Penyesuaian sosial seseorang mencapai ukuran baik menurut Hurlock (1997) dapat dilihat dari penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata, penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, sikap sosial yang menunjukan sikap menyenangkan terhadap orang lain dan kepuasan pribadi. Penyesuaian sosial akan terasa menjadi penting, manakala individu dihadapkan pada kesenjangan-kesenjangan yang timbul dalam hubungan sosialnya dengan orang lain. Betapapun kesenjangan-kesenjangan itu dirasakan sebagai hal yang menghambat, akan tetapi sebagai makhluk sosial, kebutuhan individu akan pergaulan, penerimaan, dan pengakuan orang lain atas dirinya tidak dapat dielakkan sehingga dalam situasi tersebut penyesuaian sosial akan menjadi wujud kemampuan yang dapat mengurangi atau mengatasi kesenjangan-kesenjangan tersebut (Nurdin, 2009).

  Kehilangan pendengaran yang dialami remaja tunarungu berdampak pada kemiskinan kosakata, kesulitan berbahasa dan berkomunikasi, efeknya dapat mengalami berbagai hamabatan dalam meniti perkembangannya, terutama pada aspek kecerdasan, dan penyesuaian sosial (Efendi, 2006). Penyesuaian sosial pada remaja tunarungu mengalami hambatan sebagai dampak gangguan pendengaran yang dideritanya. Keterbatasan dalam kemampuan berbahasa/bicara sebagai alat untuk kontak sosial dan mengekspresikan emosinya mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalam mengadakan kontak sosial. Hal tersebut juga berdampak pada sikap menarik diri dari lingkungannya, ditambah lagi bila orang sekelilingnya kurang memiliki kepedulian terhadap keberadaannya (Edja Sadjaah dalam Heryati, 2010).

  Sejalan dengan hal tersebut, Efendi (2006) menjelaskan bahwa terganggunya pendengaran seseorang menyebabkan terbatasnya penguasaan bahasa. Hal ini dapat menghambat kesempatan untuk berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Berangkat dari kondisi yang demikian, seseorang tunarungu seringkali tampak frustasi. Akibatnya ia sering menampakkan sikap-sikap bermusuhan atau menarik diri dari lingkungannya. Keadaan ini semakin tidak menguntungkan ketika beban ini ditambah dengan sikap lingkungan atau tekanan lain yang berasal dari luar diri (keluarga, teman sebaya, masyarakat sekitar) yang berupa cemoohan, ejekan, dan bentuk penolakan lain sejenis dan berdampak negatif. Hal ini tentu membuat penyandang tunarungu semakin merasa tidak aman, bimbang dan ragu-ragu terhadap keberadaan diriya.

  Beberapa dari mereka yang berhasil mengatasi permasalahannya dikarenakan adanya konsep diri yang positif mengenai dirinya sehingga menampilkan kesan yang baik jika berhubungan dengan orang di sekitarnya (Alfi, 2005). Di samping itu penerimaan yang baik di dalam kelompok sosial juga membantu proses penyesuaian sosial dengan lingkungannya (Wasito, 2010).

  Mereka mendapat harga diri seperti apa yang mereka harapkan karena orang lain mengakui dan menerima kehadirannya, sehingga mereka merasa aman akan kedudukannya dalam masyarakat (Sastrawinata, 1977).

B. METODE KOMUNIKASI B.1. Pengertian Komunikasi

  Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa latin communico yang berarti membagi. Yang dimaksud membagi adalah membagi gagasan, ide atau pikiran antara seseorang dan orang lain (Cangara dalam Shoelhi, 2009).

  Communico berakar dari kata communis yang berarti sama, sama arti atau sama

  makna (Effendy dalam Shoelhi, 2009). Dalam komunikasi, hakikatnya harus terkandung kesamaan makna atau kesamaan pengertian. Tidak ada kesamaan pengertian diantara mereka yang melakukan komunikasi, komunikasi tidak akan berlangsung.

  Secara terminologis, para ahli komunikasi mendefinisikan komunikasi dari berbagai perspektif, yakni perspektif filsafat, sosiologis dan psikologis. Dalam perspektif filsafat, komunikasi dimaknai untuk mempersoalkan apakah hakikat komunikator-komunikan, dan bagaimana mereka menggunakan komunikasi untuk berhubungan dengan realitas di alam semesta (Rakhmat dalam Shoelhi, 2009). Aristoteles merumuskan komunikasi pada tiga komponen pokok, yaitu siapa yang berbicara, apa yang dibicarakan dan siapa yang mendengarkan.

  Dari perspektif sosiologis, Colin Cherry (dalam Shoelhi, 2009) mendefinisikan komunikasi sebagai upaya untuk membuat satuan sosial yang terdiri dari individu-individu dengan menggunakan satuan sosial yang terdiri dari individu-individu dengan menggunakan bahasa atau tanda. Harnack dan Fest (dalam Shoelhi, 2009) menganggap komunikasi sebagai proses interaksi di antara orang-orang untuk tujuan integrasi intrapersonal dan interpersonal. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa sosiologi menitikberatkan komunikasi dalam konteks interaksi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok.

  Dari perspektif psikologis, Hovland, Janis dan Kelly (dalam Shoelhi, 2009) mendefinisikan komunikasi sebagai proses yang ditempuh seorang individu (komunikator) untuk menyampaikan stimulus (biasanya dengan lambang kata- kata) guna mengubah tingkah laku orang lain (komunikan). Komunikasi dilakukan untuk mengubah perilaku orang lain, yakni bagaimana caranya agar orang berperilaku atau melakukan tindakan tertentu.

  Kesimpulannya komunikasi adalah proses interaksi sosial yang dilakukan seorang komunikator untuk menyampaikan pesan kepada pihak komunikan dengan tujuan untuk mencapai tujuan-tujuan individu atau kelompok.

  B.2. Proses Komunikasi

  Dari pengertian komunikasi sebagaimana diutarakan di atas, tampak adanya sejumlah komponen atau unsur yang merupakan persyaratan terjadinya komunikasi. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut:

  • : pernyataan yang didukung oleh lambang;

  : orang yang menyampaikan pesan; Komunikator

  • : orang yang menerima pesan;

  Pesan

  • : sarana atau saluran yang mendukung pesan bila

  Komunikan

  • komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya; : dampak sebagai pengaruh dari pesan (Effendy, 2004).

  Media

  • Dalam komunikasi salah satu pihak menyampaikan pesan (pengirim atau komunikator) kemudian pihak lain yang menerimanya (penerima atau komunikan). Agar dapat berkomunikasi dengan baik dibutuhkan kemampuan komunikasi yaitu kemampuan individu dalam mengolah kata-kata, berbicara secara baik dan dapat dipahami oleh lawan bicara (Sarwono, 1997).

  Efek

  Cara penyampaian suatu pesan yang dilakukan seorang komunikator sedemikian rupa, sehingga menimbulkan dampak tertentu pada komunikan. Pesan yang disampaikan komunikator adalah pernyataan sebagai paduan pikiran dan perasaan, dapat berupa ide, informasi, keluhan, keyakinan, imbauan, anjuran, dan sebagainya (Effendy, 2004).

  B.3. Metode Komunikasi Tunarungu B.3.1. Komunikasi Manual

  Metode ini didasari oleh pandangan yang menyatakan bahwa sesuai dengan kodratnya bahasa yang paling cocok untuk anak tunarungu. Pada abad ke

  18 Abbe de L Eppee, seorang pendidik di Perancis memelopori mengajar dengan bahasa isyarat kepada anak-anak tunarungu. Oleh karena itu metode manual sering juga disebut metode Perancis. Isyarat itu dicoba digambarkan menjadi tanda-tanda gambar, seperti tulisan Hieroglyph di Mesir dan tulisan Kanji di Cina.

  Isyarat-isyarat yang sederhana membutuhkan 3000 sampai 4000 buah tanda gambar (Sastrawinata, 1977).

  Pengikut Abbe de L Eppee kemudian menyempurnakan tanda gambar isyarat menjadi abjad jari yang lebih sederhana, karena disesuaikan dengan abjad latin. Dengan media abjad jari anak tunarungu dapat mengetahui dan memberitakan namanya, nama-nama anggota keluarganya, nama-nama benda di sekitarnya, pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya dan hal-hal yang konkrit lainnya. Buku-buku sederhana yang khusus ditulis untuk anak-anak tunarungu disusun dengan mempergunakan kalimat-kalimat sederhana yang pendek-pendek dengan menghindarkan kata-kata yang bersifat abstrak. Mula-mula abjad jari mempergunakan dua tangan kemudian dipergunakan satu tangan saja (Sastrawinata, 1977).

  Metode manual memiliki dua komponen dasar (Smith dalam Muawanah. 2009) yaitu bahasa isyarat dan fingerspelling. Yang pertama adalah bahasa isyarat. Adapun isyarat dibagi atas dua yaitu isyarat alamiah dan isyarat formal (Van Uden dalam Bunawan, 1997). Isyarat alamiah yaitu suatu isyarat sebagaimana digunakan penyandang tunarungu (berbeda dari bahasa tubuh), merupakan suatu ungkapan manual (dengan tangan) yang disepakati bersama antar pemakai (konvensional), dikenal secara terbatas dalam kelompok tertentu (esoteric), dan merupakan pengganti kata. Isyarat formal yaitu isyarat yang sengaja dikembangkan dan memiliki struktur bahasa yang sama dengan bahasa lisan masyarakat. Berbagai bentuk bahasa isyarat formal yang dikembangkan antara lain, bahasa isyarat yang dinamakan Sign English atau juga disebut Pidgin

  Sign English (PSE) yang merupakan gabungan atau campuran antara bahasa

  isyarat asli/alami dengan bahasa Inggris, bahasa isyarat standar American Sign Language (ASL) untuk menjelaskan kata dan konsep.

  Metode manual yang kedua adalah fingerspelling. Fingerspelling menggambarkan alfabet secara manual. Posisi-posisi tangan menunjukkan tiap huruf alfabet huruf latin. Fingerspelling biasanya digunakan sebagai pelengkap bahasa isyarat. Jika tidak ada bahasa isyarat untuk satu kata, maka digunakan

  fingerspelling . Fingerspelling biasanya juga digunakan untuk menyebutkan nama

  secara tepat atau bila orang tidak yakin akan bahasa isyarat untuk kata tertentu (Smith dalam Muawanah, 2009).

  Keuntungan metode komunikasi manual adalah metode komunikasi yang sesuai dengan penyandang tunarungu yaitu dunia tanpa suara, sesuai dengan kemampuan remaja tunarungu untuk menerima dan mengeluarkan pikiran-pikiran melalui lambang visual sesuai dengan bahasa ibunya. Kelemahan-kelemanhan metode ini adalah tidak efisien karena banyaknya isyarat yang harus diperlajari, tidak semua pengertian dapat diisyaratkan, dan keragaman isyarat sesuai dengan daerah serta dapat membatasi remaja tunarungu pada lingkungan masyarakat luas (Sastrawinata, 1977).

  B.3.2. Komunikasi Oral

  Metode oral dipelopori oleh Samuel Heinecke seorang tokoh pendidikan yang dikembangkan di Jerman. Oleh karena itu metode tersebut kadang-kadang disebut metode Jerman. Secara eksperimental kemampuan berbicara anak tunarungu telah dibuktikan oleh Pedro Ponce de Leon seorang pendidik khusus gangguan pendengaran di Spanyol. Metode ini cepat sekali termashur dengan terjadinya polemik antara pengikut-pengikut Ake de L Eppe dengan pengikut- pengikut Samuel Heinicke, dan ternyata metode ini lebih memberikan hari depan yang baik bagi pendidikan anak tunarungu. Dari Jerman metode ini dibawa oleh Johann Conrad Amman ke negeri Belanda dan kemudian meluas ke negara-negara yang lain (Sastrawinata, 1977).

  Metode komunikasi oral menekankan pada pembimbingan ucapan dan

  speechreading (membaca ujaran) (David Smith dalam Muawanah, 2009; Moores,

  2001, Bunawan, 1997). Dalam program bagi siswa-siswa yang ditekankan pada penggunaan bahasa oral, siswa-siswa tidak didorong untuk menggunakan komunikasi manual. Speechreading menggunakan informasi visual untuk membantu memahami ucapan orang lain. Siswa dilatih memperhatikan gerak bibir, posisi bibir, serta gigi agar dapat memahami apa yang sedang diucapkan.

  Mereka diajarkan membaca ekspresi wajah yang akan mempermudah pemahaman mereka terhadap apa yang sedang diucapkan (David Smith dalam Muawanah, 2009). Metode ini juga disertakan dengan penggunaan ekspresi wajah dan gesture secara natural (Gravel, 2003).

  Keuntungan dari penggunaan metode ini adalah penyandang tunarungu dapat menerima akses kebahasaan yang lebih besar dari lingkungannya, membawa dan mengarahkan penyandang tunarungu kepada kehidupan yang mendekati kehidupan normal atau kehidupan seperti layaknya orang-orang pada umumnya, serta dapat menerima pesan atau mengekspresikan gagasan, pikiran, dan perasaannya diharapkan melalui cara-cara yang lazim digunakan oleh anak- anak yang mendengar pada umumnya (Gravel, 2003). Keuntungan metode oral yang telah dijabarkan yakni mampu berkomunikasi melalui cara-cara yang lazim digunakan oleh orang normal, yang pada gilirannya dapat memberi remaja tunarungu berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial (Somad, 2010).

  Kelemahan utama terletak pada keterbatasan kemampuan penyandang tunarungu dalam menangkap dan mengeluarkan bahasa lisan (Sastrawinata, 1977). Sulit dilaksanakan ketika berinteraksi pada jarak yang berjauhan, dan lawan bicaranya seringkali meminta untuk mengulangi pembicaraan berkali-kali

  (Suparno, 1997). Penggunaan metode komunikasi ini saat membaca ujaran tidak jarang pada akhirnya mereka hanya menebak-nebak karena intonasi dan tanda baca yang tidak nampak (Parmawati, 2012).

  B.3.3. Komunikasi Total

  Sejak tahun 1960-an mulai diperkenalkan perpaduan antara metode manual dan metode oral yang disebut dengan metode total (Efendi, 2006). Diawali dari Negara-negara Amerika dan Skandinavia, telah terjadi adanya perubahan secara besar-besaran dari komunikasi oral menuju ke arah komunikasi total dalam program di sekolah-sekolah bagi para penyandang tunarungu, baik sekolah- sekolah yang berasrama maupun yang tidak berasrama (Suparno, 1997).

  Metode komunikasi total dapat berupa gabungan dari metode oral, isyarat, serta fingerspelling (abjad jari). Anak menerima input melalui membaca ujaran, isyarat, dan fingerspelling, kemudian mengekspresikannya melalui bicara, isyarat dan fingerspelling. Isyarat berbeda dengan fingerspelling, dengan isyarat memungkinkan mereka menggambarkan ide atau kata-kata secara lengkap dari pada menggunakan fingerspelling (Moores, 2001).

  Sasaran penggunaan metode komunikasi total adalah agar penyandang tunarungu tetap menguasai keterampilan berbicara dengan memberi penunjang visual yang lebih nyata dan membaca ujaran karena dalam metode ini unsur bicara digunakan bersamaan dengan unsur isyarat (Bunawan, 1997). Metode komunikasi ini dapat meningkatkan pencapaian pendidikan umum, kemampuan membaca ujaran, dan kemampuan bahasa tulis dan kematangan sosial (Efendi, 2006).

  Kelebihan penggunaan komunikasi total adalah komunikasi tersebut memuat spektrum model bahasa yang lengkap. Dengan komunikasi total berarti hak setiap tunarungu untuk bisa belajar menggunakan segala bentuk komunikasi agar mereka memiliki kesempatan penuh mengembangkan kemampuan bahasa pada usia sedini mungkin (Somantri, 2007). Komunikasi total juga memungkinkan terciptanya iklim komunikasi yang fleksibel, bebas dari rasa keraguan dan tekanan (Suparno, 1997). Kelemahan penggunaan komunikasi ini lebih mengarah pada adanya penggunaan isyarat dan fingerspelling, yang umumnya kurang diketahui oleh masyarakat luas.

  Jordan, Gustason, dan Rosen (1976) melaporkan bahwa dari Tahun 1968 sampai tahun 1975, 302 program pada beberapa Negara bagian tetap pada pengajaran metode oral, dan 333 program diubah kepada pengajaran komunikasi total. Dalam kurun waktu 10 tahun sebanyak 481 program tetap pada pengajaran metode oral, dan sebanyak 538 program beralih kepada komunikasi total (Moores, 2001).

  Metode komunikasi yang dapat digunakan penyandang tunarungu baik manual, oral maupun total, tidak semata-mata berdasarkan pada status pendengarannya, sehingga tidak berbeda secara signifikan dalam pemilihan penggunaan metode komunikasi pada individu yang deaf (tuli) atau hard of

  hearing (lemah pendengaran). Umumnya dalam pemilihan penggunaan metode

  komunikasi lebih ditekankan peranan orangtua yang bekerjasama dengan para profesional seperti pihak sekolah untuk berdiskusi dan mempelajari mengenai metode komunikasi yang paling efektif untuk perkembangan bahasa anak mereka (Department of Health and Human Services, 2011).

C. REMAJA C.1. Pengertian Remaja

  Masa remaja adalah masa transisi dalam rentang kehidupan manusia yang menghubungkan masa kanak-kanak dan masa dewasa. Istilah remaja atau

  adolescence berasal dari kata Latin yaitu adolescere (kata bendanya, adolescentia

  yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” , yang mempunyai arti yang lebih luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Masa remaja awal dimulai pada saat anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat remaja mencapai matang secara hukum. Masa remaja awal dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal dan akhir masa remaja. Masa remaja awal berlangsung dari usia 13 sampai 16 tahun, dan akhir masa remaja dari usia 16 sampai 18 tahun (Hurlock, 1993).

  Monks, dkk (2006) masa remaja secara global berlangsung antara umur 12-21 tahun, dengan pembagian: 1.

  Masa remaja awal : 12-15 tahun, umumnya disebut dengan masa puber yaitu terjadinya pemasakan seksual yang akan berdampak pada perkembangan psikososialnya.

2. Masa remaja pertengahan : 15-18 tahun 3.

  Masa remaja akhir : 18-21 tahun, yakni usia di mana seseorang mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara, dengan begitu dapat melakukan kewajiban-kewajiban tertentu tidak tergantung pada orangtua.

  Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1993) menyatakan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang- orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang- kurangnya dalam masalah hak.

  Beberapa definisi yang telah dikemukakan sebelumnya dapat disimpulkan masa remaja adalah masa transisi atau peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial.

  C.2. Ciri-ciri Masa Remaja

  Masa remaja memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan masa-masa sebelumnya dan sesudahnya. Menurut Hurlock (1993) ciri-ciri remaja antara lain sebagai berikut.

  a.

  Masa remaja sebagai periode yang penting Pada masa remaja terjadi perkembangan fisik dan mental yang cepat dan penting dimana semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru.

  b.

  Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan tidak berarti terputus dengan atau berubah dari apa yang telah terjadi sebelumnya. Tetapi peralihan merupakan perpindahan dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan berikutnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekas pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang, serta mempengaruhi pola perilaku dan sikap yang baru pada tahap berikutnya.

  c.

  Masa remaja sebagai periode perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Ketika perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perilaku juga menurun.

  d.

  Masa remaja sebagai usia bermasalah Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan.Ada dua alasan bagi kesulitan ini, yaitu :

  • diselesaikan oleh orangtua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah.

  Sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian

  • mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orangtua dan guru- guru.

  Karena para remaja merasa diri mandiri, sehingga mereka ingin e.

  Masa remaja sebagai masa mencari identitas Pencarian identitas dimulai pada akhir masa kanak-kanak, penyesuaian diri dengan standar kelompok lebih penting daripada bersikap individualistis. Pada awal masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan perempuan, namun lambat laun mereka mulai mendambakan identitas diri dengan kata lain ingin menjadi pribadi yang berbeda dengan orang lain.

  f.

  Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal.

  g.

  Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Pada masa ini, remaja melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistik cita-citanya ia semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri.

  h.

  Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Dengan semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberi citra yang mereka inginkan. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwasanya ciri-ciri masa remaja antara lain terjadi perubahan fisik, psikis maupun sosialnya. Selain itu remaja juga dianggap sebagai periode penting dan rawan dengan berbagai masalah, masa mencari identitas, masa yang tidak realistik serta ambang masa dewasa.

  C.3. Tugas-tugas Perkembangan Remaja

  Tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1993), yaitu :

  1. Mencari hubungan baru dan yang lebih matang dengan memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

  2. Mencapai peran sosial pria dan wanita

  3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif

  4. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab

  5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya

  6. Mempersiapkan karir ekonomi

  7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga

  8. Memperoleh peringkat nilai dan sistem etis Tugas-tugas perkembangan remaja, menurut Havighurst (dalam Dariyo, 2004) ada beberapa, yaitu sebagai berikut.

  a.

  Menyesuaiakan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis Diketahui bahawa perubahan fisiologis yang dialami oleh individu, mempengaruhi pola perilakunya. Di satu sisi, ia harus dapat memenuhi kebutuhan dorongan biologis, namun bila dipenuhi hal itu pasti akan melanggar norma-norma sosial, padahal dari sisi penampilan fisik, remaja sudah seperti orang dewasa. Oleh karena itulah, remaja menghadapi dilema. Dengan demikian, dirinya dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik.

  b.

  Belajar bersosialisasi sebagai seorang laki-laki maupun wanita Dalam hal ini, seorang remaja diharapkan dapat bergaul dan menjalin dengan individu lain yang berbeda jenis kelamin, yang didasarkan atas saling menghargai dan menghormati antara satu dengan yang lainnya, tanpa menimbulkan efek samping yang negatif. Pergaulan dengan lawan jenis ini sebagai suatu hal yang amat penting, karena dianggap sebagai upaya untuk mempersiapkan diri guna memasuki kehidupan pernikahan nanti. c.

  Memperoleh kebebasan secara emosional dari orangtua Ketika sudah menginjak remaja, individu memiliki hubungan pergaulan yang lebih luas, dibandingkan dengan masa anak-anak sebelumnya yaitu selain dari teman-teman tetangga, teman sekolah, tetapi juga dari orang dewasa lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa individu remaja tidak lagi bergantung pada orangtua. Bahkan mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bergaul bersama dengan teman-temannya.

  d.

  Remaja bertugas untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab Untuk dapat mewujudkan tugas ini, umumnya remaja berusaha mempersiapkan diri dengan menempuh pendidikan formal maupun non formal agar memiliki taraf ilmu pengetahuan, keahlian yang profesional. Warga negara yang bertanggung jawab ditandai dengan kepemilikan taraf keahlian dan profesi yang dapat disumbangkan oleh seorang individu untuk mengembangkan dan memajukan seluruh warga masyarakat.

  e.

  Memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomis Tujuan utama individu melakukan persiapan diri dengan menguasai ilmu dan keahlian tersebut ialah untuk dapat bekerja sesuai dengan bidang keahlian dan memperoleh penghasilan yang layak sehingga dapat menghidupi diri sendiri maupun keluarga nantinya. Sebab keinginan terbesar seorang individu adalah menjadi orang yang mandiri dan tak bergantung dari orangtua secara psikis maupun secara ekonomis.

  Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tugas-tugas perkembangan remaja adalah mencari hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga dan memperoleh peringkat nilai dan sistem etis.

  C.4. Remaja Tunarungu C.4.1. Pengertian dan Klasifikasi Tunarungu

  Secara medis tunarungu adalah kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan dan mal-/dis-/non-fungsi dari sebagian atau seluruh alat-alat pendengaran (Sastrawinata, 1977). Menurut Somantri (2007) tunarungu adalah suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.

  Seseorang dikategorikan normal pendengarannya apabila hasil tes pendengarannya dinyatakan dengan angka 0 dB. Kondisi hasil tes pendengaran yang menunjukkan angka 0 mutlak tersebut jarang atau hampir tidak ada, sebab derajat minimum setiap orang masih ditemui kehilangan ketajaman pendengarannya. Oleh karena itu, berdasarkan nilai toleransi ambang batas, seseorang yang kehilangan ketajaman pendengaran sampai 0-20 dB masih dianggap normal, sebab pada kenyataannya orang kehilangan pendengaran pada gradasi 20 dB tidak menunjukkan kekurangan yang berarti (Efendi, 2006).

  Hallahan dan Kaufman (1991) mendefinisikan tunarungu sebagai istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, dan diklasifikasikan dalam tuli (deaf) dan lemah pendengaran (hard of

  hearing ). Seseorang dikategorikan deaf jika ia kehilangan kemampuan

  mendengar 70 dB atau lebih menurut ISO (International Standard Organization) sehingga ia akan mengalami kesulitan untuk mengerti atau memahami pembicaraan orang lain walaupun menggunakan alat bantu dengar atau tanpa menggunakan alat bantu dengar. Sedangkan seseorang yang dikategorikan hard of

  hearing jika ia kehilangan kemampuan mendengar antara 35-69 dB menurut ISO

  (International Standard Organization) sehingga mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara wajar, namun tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar.

  C.4.2. Penyebab Tunarungu

  Penyebab terjadinya tunarungu menurut S.C. Brown (dalam Heward, 1996) ada empat faktor yaitu: 1.

  Faktor keturunan, dapat mengakibatkan seorang anak mengalami ketulian atau gangguan pendengaran. Ada bukti kuat yang menyatakan bahwa kerusakan pendengaran tipe congenital menurun pada beberapa keluarga. Faktor keturunan terjadi karena perpindahan gen-gen dominan dan gen-gen resesif, yang erat kaitannya dengan anggota keluarga terutama ayah dan ibu.

  Anak mengalami ketunarunguan karena di antara aggota keluarganya ada yang mengalami ketunarunguan.

  2. Faktor kondisi ibu saat mengandung, jika seorang ibu yang tengah mengandung terserang virus rubella (terutama pada tiga bulan pertama waktu kehamilan), maka anak yang dikandungnya memiliki potensi untuk mengalami ketulian atau masalah serius lainnya.

  3. Faktor kelahiran, proses lahir bayi yang terlalu dini sehingga berat badannya atau panjang badannya relatif di bawah normal, dan jaringan-jaringan tubuhnya sangat lemah, akibatnya anak lebih mudah terkena anoxia (kekurangan oksigen) yang berpengaruh pada kerusakan inti cochlea.

4. Meningitis, adalah infeksi bakteri atau virus. Infeksi ini dapat mengakibatkan hancurnya bagian-bagian sensitif yang terletak di telinga bagian dalam.

  Kesulitan keseimbangan juga dapat terjadi akibat penyakit ini. Brown (dalam Heward, 1996) menyatakan bahwa anak yang mengalami ketulian akibat meningitis umumnya mengalami kerusakan pendengaran yang parah, namun tidak mengalami permasalahan lainnya.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebab terjadinya tunarungu adalah faktor keturunan, faktor kondisi ibu saat mengandung, faktor kelahiran dan faktor meningitis.