Pengaruh Pemberian Variasi Konsentrasi Maserat Bunga Kecombrang (Etlingera elatior Jack R. M. Sm) sebagai Bioinsektisida terhadap Nyamuk Aedes spp

  NyamukAedes spp Aedes aegypti merupakan pembawa utama (primary vector) dan bersama menciptakan siklus persebaran dengue di desa dan kota, A. Aedes albopictus

aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab

  penyakit demam berdarah. Selain dengue, A. aegypti juga merupakan pembawa virus demam kuning (yellow fever) dan chikungunya.Penyebaran jenis ini sangat luas, meliputi hampir semua daerah tropis di seluruh dunia.Mengingat keganasan penyakit demam berdarah, masyarakat harus mampu mengenali dan mengetahui cara-cara mengendalikan jenis ini untuk membantu mengurangi persebaran penyakit demam berdarah.Banyaknya jumlah korban yang berjatuhan membuat publik tersadarkan betapa penyakit infeksi yang tergolong tua ini masih dan bahkan kian membahayakan.Penyakit DBD terjadi karena virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk A. aegypti.Penyakit itu dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, terutama pada anak, serta menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah (Anies, 2006). a.Klasifikasi Nyamuk Aedes spp

  Aedes spp penyebarannya sangat luas, meliputi hampir semua daerah

  tropis di seluruh dunia. Nyamuk Aedes Egypti dan Aedes Albopictus menyebarkan virus denggi.Sebagai pembawa virus dengue, A. aegypti merupakan pembawa utama (primary vektor) dan bersama A. albopictus menciptakan siklus persebaran dengue di desa dan di kota. Terdapat dua jenis denggi yang paling berat iaitu demam hemoragik denggi (DHF) dan Sindrom Kejutan Denggi (DSS), selain demam denggi yang biasa dilaporkan, nyamuk Aedes Egypti dan Aedes Albopictus juga menyebarkan alfavirus yang menyebabkan penyakit chikungunya. Nyamuk

  

Aedes Egypti juga menyebarkan arbovirus dari famili Flaviviridae, yang

  menyebabkan demam kuning. Mengingat keganasan penyakit DBD masyarakat harus mampu mengenali dan mengetahui cara – cara mengendalikan jenis nyamuk ini untuk membantu mengurangi persebaran penyakit DBD (Wikipedia, 2008). Kedudukan nyamuk Aedes spp dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda (hewan yang memiliki kaki berbuku-buku) Kelas : Insecta (serangga) Bangsa: Diptera (bersayap) Suku : Culicidae Marga : Aedes Spesies : Aedes spp (Gandahusada, dkk, 2000).

  b. Morfologi Nyamuk Aedes spp Nyamuk Aedes spp biasanya berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus). Telur Aedes spp mempunyai dinding bergaris-garis dan membentuk bangunan menyerupai gambaran kain kasa. Sedangkan larva nyamuk Aedes spp dewasa memiliki ukuran sedang, dengan tubuh berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan (Judarwanto, 2007).

  c. Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp Spesies ini mengalami metamorfosis yang sempurna. Nyamuk betina meletakkan telur di atas permukaan air dalam keadaan menempel pada diding tempat permukaannya. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan rata-rata sebanyak 100 butir telur tiap kali bertelur, setelah kira-kira dua hari baru menetas menjadi larva, lalu mengadakan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi pupa dan untuk menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9-10 hari (Gandahusada, dkk, 2000).

  Gambar 1. Siklus Hidup Nyamuk Aedes spp (docstoc.com)

  Bioinsektisida

  Secara umum bioinsektisida atau insektisida nabati di artikan sebagai suatu insektisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Insektisida nabati relatif mudah di buat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas, oleh karena terbuat dari bahan alami nabati. Penggunaan insektisida nabati dimaksudkan bukan untuk meninggalkan dan menganggap tabu penggunaan insektisida sintetis, hanya merupakan suatu cara alternatif dengan tujuan agar pengguna tidak hanya tergantung kepada insektisida sintetis. Tujuan lainnya adalah agar penggunaan insektisida sintetis dapat di minimalkan sehingga lingkungan yang di akibatkannya pun diharapkan dapat di kurangi pula (Naria, 2005).

  Setiap tumbuhan atau tanaman mengandung sejenis zat yang disebut fito kimia, merupakan zat kimia alami yang terdapat di dalam tumbuhan dan dapat memberikan rasa, aroma atau warna pada tumbuhan itu. Sampai saat ini sudah sekitar 30.000 jenis fitokimia yang ditemukan dan sekitar 10.000 terkandung dalam makanan. Beberapa studi pada manusia dan hewan membuktikan zat-zat kombinasi fitokimia ini di dalam tubuh manusia memiliki fungsi tertentu yang berguna bagi kesehatan. Kombinasi itu antara lain menghasilkan enzim-enzim sebagai penangkal racun (detoksifikasi), merangsang sistem pertahanan tubuh (imunitas), mencegah penggumpalan keping-keping darah (trombosit), menghambat sintesa kolesterol di hati, meningkatkan metabolisme hormon, meningkatkan pengenceran dan pengikatan zat karsinogen dalam liang usus, menimbulkan efek anti bakteri, anti virus dan anti oksidan, mengatur gula darah serta dapat menimbulkan efek anti kanker (Harborne, 1984).

  Pestisida alami adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman atau tumbuhan. Pestisida nabati bisa dibuat secara sederhana yaitu dengan menggunakan hasil perasan, maserat, rendaman atau rebusan bagian tanaman baik berupa daun, batang, akar, umbi, biji ataupun buah misalnya maserat kulit kayu

  Accacia auricoliformis A (Yanti, dkk, 2008), maserat daun mimba (Priadi, 2007) .

  Ada beberapa senyawa bioaktif yang terdapat di alam yang memiliki sifat racun terhadap larva nyamuk A. aegypti seperti saponin, alkaloid, dan kuinon (Mulyana 2002, Cheng et al. 2003, Chapagain et al. 2008).Senyawa bioaktif dapat bersifat racun dalam dosis tertentu yang berasal dari ekstrak tumbuhan. Tingkat konsentrasi suatu senyawa bioaktif yang dapat menyebabkan keracuanan ditentukan dengan lethal concentration (LC).LCada beberapa tingkatan, seperti LC50 yaitu konsentrasi dari suatu senyawa bioaktif yang menyebabkan 50% dari suatu populasi organisme mengalami mortalitas dan LC90 yaitu konsentrasi dari suatusenyawa bioaktif yang menyebabkan 90% dari suatu populasi organisme mengalami mortalitas (Andriani, 2008).

  Penolakan serangga atau binatang untuk memakan tumbuhan tersebut dapat disebabkan karena tumbuhan memiliki kandungan senyawa kimia yang sifatnya sebagai allomone, yakni memberi efek negatif terhadap perkembangan serangga.Senyawa-senyawa kima tersebut dikenal dengan istilah metabolit sekunder, yang bersifat sebagai senyawa bioaktif.Senyawa bioaktif yang terkandung tersebut diduga memiliki peranan yang sangat besar dalam meningkatkan sifat anti nyamuk dalam mematikan nyamuk.Senyawa-senyawa bioaktif tersebut juga dapat merusak sistem saraf nyamuk menyebabkan sistem saraf tidak berfungsi dan pada akhirnya dapat mematikan nyamuk (Nasir dan lasmini, 2008).

  Pembuantan insektisida nabati dapat di lakukan secara sederhana atau secara laboratorium. Cara sederhana (jangka pendek) dapat di lakukan dengan penggunaan maserat sesegera mungkin setelah pembuatan maserat di lakukan. Cara laboratorium (jangka panjang) biasanya di lakukan oleh tenaga ahli yang sudah terlatih hal tersebut menyebabkan produk insektisida nabati menjadi mahal.

  Hasil kemasannya memungkinkan untuk disimpan relatif lama. Untuk menghasilkan bahan insektisida nabati dapat di lakukan teknik sebagai berikut:

  1. Penggerusan, penumbukan atau pengepresan untuk mengahasilkan produk berupa tepung, abu atau pasta.

  2. Rendaman untuk produk maserat.

  3. Ekstraksi dengan menggunakan bahan kimia pelarut disertai perlakuan khusus oleh tenaga yang terampil dan dengan peralatan yang khusus (Kardinan, 2004).

  Kecombrang(Etlingera elatior Jack R. M. Sm)

  Kecombrang atau asam cekala (Etlingera elatior) merupakan salah satu keluarga Zingiberacea yang asli tumbuh di Indonesia. Kecombrang atau yang biasa dikenal masyarakat Sumatera Utara sebagai kencong atau kincung atau honje di kalangan masyarakat Sunda telah lama dipergunakan sebagai penyedap masakan untuk mendapatkan rasa asam yang sedap dan menyegarkan.Tanaman ini sendiri adalah tanaman tahunan berbentuk semak dengan ketinggian 1-3 m dengan batang semu yang tegak dan berpelepah serta bentuknya menyerupai rimpang. Daun kecombrang sendiri merupakan daun tunggal dengan bagian ujung dan pangkal runcing. Panjang daun kecombrang sekitar 20-30 cm, dengan lebar 5- 15 cm. Daunnya berwarna hijau dengan pertulangan daun menyirip. Sedangkan bunga kecombrang, yang dipakai dalam penelitian ini, merupakan bunga majemuk berbentuk bongkol dengan panjang tangkainya sekitar 40-80 cm. Bunga kecombrang berwarna merah jambu, berbulu jarang dan didalamnya terdapat benang sari berwarna kuning dan putik berwarna putih (Naufalin, 2005).

  Pada dasarnya, yang disebut dengan bunga kecombrang adalah suatu karangan bunga yang terdiri atas bagian bunga, daun pelindung, daun gagang, daun gantilan, kelopak, mahkota, putik, dan buah. Bunga kecombrang adalah bunga majemuk yang terdiri atas bunga-bunga kecil di dalam karangan bunga dan muncul pada saat bunga sudah tua. Rimpang bunga kecombrang digunakansebagai pewarna untuk mendapatkan warna kuning. Batang semunya berpotensi sebagai bahan baku pembuatan kertas dan digunakan untuk membuat anyam-anyaman. Buah kecombrang juga dapat digunakan untuk membuat manisan (Soedarsono, 1994).

  Kandungan kimia yang terdapat di daun, batang, bunga, dan rimpang kecombrang adalah saponin dan flavonoid. Selain itu, kecombrang juga mengandung polifenol dan minyak atsiri. Kecombrang mengandung flavonoid, tanin, dan steroid/triterpenoid, pada minyak atsiri yang bagian utamanya terpenoid, zat inilah penyebab wangi, harum, atau bau yang khas pada minyak tumbuhan. Secara ekonomi senyawa tersebut penting sebagai dasar wewangian alam dan juga untuk rempah rempah serta sebagai senyawa cita-rasa di dalam industri makanan (Harbone,1897).Kecombrang juga dapat dijadikan pengawet alami serta memiliki senyawa antioksidan berupa vitamin E (Tokoferol). Fungsi vitamin E adalah sebagai antioksidan, merangsang reaksi kekebalan, mencegah penyakit jantung koroner, mencegah keguguran dan sterilisasi dan sebagainya (Antoro ,1995).

  Klasifikasi Kingdom : Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil) Sub Kelas : Commelinidae Ordo : Zingiberales Famili suku jahe-jahean)

  Genus : Etlingera Spesies : Etlingera elatior (Jack) R. M. Sm.

  Kecombrang memiliki aroma yang khas, Bau tersebut dihasilkan oleh cairan fenol yang ada di dalam bunga.Tampubolon et al. (1983) menyebutkan bahwa kecombrang mengandung senyawa bioaktif seperti polifenol, alkaloid, flavonoid, steroid, saponin dan minyak atsiri yang diduga memiliki potensi sebagai antioksidan.Kandungan minyak atsiri pada kecombrang mempunyai bau yang sangat menyengat dan tidak disukai oleh nyamuk, sebab efek kandungan tersebut bisa mempengaruhi syaraf pada nyamuk dan akibat yang ditimbulkannya adalah nyamuk mengalami kelabilan dan akhirnya mati (Ika Sartika , 2012).

  Ekstraksi

  Ekstraksi merupakan suatu metode yang sering digunakan untuk memisahkan dua zat atau komponen dalam suatu bahan.Ekstraksi biasanya digunakan untuk memisahkan dua zat berdasarkan beda kelarutan antara satu zat dengan zat lain. Ekstraksi adalah proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda, biasanya air dan yang lainnya Pembagian metode Ekstraksi menurut DiJen POM (2000) adalah :

  A. Cara Dingin

  1. Maserasi Maserasi istilah aslinya adalah macerare (bahasa Latin, artinya merendam)

  : adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi bahan nabati yaitu direndam menggunakan pelarut bukan air (pelarut nonpolar) atau setengah air, misalnya etanol encer, selama periode waktu tertentu sesuai dengan aturan dalam buku resmi kefarmasian (Farmakope Indonesia, 1995).

  Bahan nabati dalam dunia farmasi lebih dikenal dengan istilah “simplisia nabati”.Langkah kerjanya adalah merendam simplisia dalam suatu wadah menggunakan pelarut penyari tertentu selama beberapa hari sambil sesekali diaduk, lalu disaring dan diambil beningannya.Pelarut-pelarut tersebut ada yang bersifat “bisa campur air” (contohnya air sendiri, disebut pelarut polar) ada juga pelarut yang bersifat “tidak campur air” (contohnya aseton, etil asetat, disebut pelarut non polar atau pelarut organik).Metode Maserasi umumnya menggunakan pelarut non air atau pelarut non-polar. Teorinya, ketika simplisia yang akan di maserasi direndam dalam pelarut yang dipilih, maka ketika direndam, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel yang penuh dengan zat aktif dan karena ada pertemuan antara zat aktif dan penyari itu terjadi proses pelarutan (zat aktifnya larut dalam penyari) sehingga penyari yang masuk ke dalam sel tersebut akhirnya akan mengandung zat aktif, katakan 100%, sementara penyari yang berada di luar sel belum terisi zat aktif (nol%) akibat adanya perbedaan konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel ini akan muncul gaya difusi, larutan yang terpekat akan didesak menuju keluar berusaha mencapai keseimbangan konsentrasi antara zat aktif di dalam dan di luar sel. Proses keseimbangan ini akan berhenti, setelah terjadi keseimbangan konsentrasi (istilahnya “jenuh”). Dalam kondisi ini, proses Ekstraksi dinyatakan selesai, maka zat aktif di dalam dan di luar sel akan memiliki konsentrasi yang sama, yaitu masing-masing 50% (Hidayatulfathi, 2003).

  2. Perkolasi

  Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai penyarian sempurna, umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan maserat) yang terus menerus sampai maserat yang diinginkan habis tersari(Hidayatulfathi, 2003).

  B. Cara Panas

  1. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  2. Dekok Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (± 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air.

  3. Digesti Digesti adalah ekstraksi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu pada temperatur 40-50ºC.

  4. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98ºC selama waktu tertentu (15-20 menit).

  5. Sokhletasi Sokhletasi adalah suatu metode / proses pemisahan suatu komponen yang terdapat dalam zat padat dengan cara penyaringan berulang ulang dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga semua komponen yang diinginkan akan terisolasi (Hidayatulfathi, 2003).

Dokumen yang terkait

Analisis Kandungan Besi, Kalium, Kalsium, dan Magnesium pada Bunga Kecombrang (Etlingera elatior) Secara Spektrofotometri Serapan Atom

8 108 121

Formulasi Sediaan Pewarna Pipi Menggunakan Ekstrak Bunga Kecombrang (Etlingera elatior Jack) sebagai Pewarna

202 729 72

Pengaruh Pemberian Variasi Konsentrasi Maserat Bunga Kecombrang (Etlingera elatior Jack R. M. Sm) sebagai Bioinsektisida terhadap Nyamuk Aedes spp

2 54 57

Pengaruh Pemberian Beberapa Konsentrasi Hasil Maserasi Bunga Krisan (Chrysantemum cinerariaefolium) Terhadap Kematian Nyamuk Aedes Aegypti

4 76 82

Efektifitas Ekstrak Kulit Durian (Durio zibethinus Murr) Sebagai Pengendali Nyamuk Aedes spp Tahun 2010.

13 67 71

Granulasi Senyawa Toksik sebagai Bioinsektisida Baru Pemberantas Larva Nyamuk Aedes aegypti yang Strategis di Indonesia

4 54 13

Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70 % Daun Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai Biolarvasida Potensial

5 67 55

Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70 % Akar Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai Biolarvasida Potensial Effectiveness of Giving 70% Ethanol Root Extract Kecombrang (Etlingera elatior) against Aedes aegypti lar

2 34 76

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bunga Kecombrang - Formulasi Sediaan Pewarna Pipi Menggunakan Ekstrak Bunga Kecombrang (Etlingera elatior Jack) sebagai Pewarna

0 2 15

Formulasi Sediaan Pewarna Pipi Menggunakan Ekstrak Bunga Kecombrang (Etlingera elatior Jack) sebagai Pewarna

0 2 13