Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70 % Akar Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai Biolarvasida Potensial Effectiveness of Giving 70% Ethanol Root Extract Kecombrang (Etlingera elatior) against Aedes aegypti lar

(1)

ABSTRACT

Effectiveness of Giving 70% Ethanol Root Extract Kecombrang (Etlingera elatior) against Aedes aegypti larvae instars III as Potential Biolarvacide

By

Nanang Hidayatulloh

Dengue disease is one public health problem in the countries that has the tropical climate, including Indonesia. DHF has a very rapid clinical course and often leads to death due to delayed treatment.Efforts to control and eradicate the dengue vector has been widely applied. The use of artificial insecticides as larvacide is the most commonly used by communities to control the growth of these vectors. However, the use of artificial insecticides may pose a danger to health or the environment. Dangers of using artificial insecticides can be minimized by using natural insecticides, one of the plants kecombrang (Etlingera elatior). Plants kecombrang contains active compounds are saponins and flavonoids that have potential as larvacide.

The purpose of this study was to determine the effectiveness, LC50 and LT50 values

kecombrang root extract (Etlingera elatior). The study design used was experimental, using completely randomized design. Trials were divided into 6 groups, namely 0% (negative control), 0.25%, 0.5%, 0.75%, 1% and 1% abate (positive control). The number of samples used in this study was 480 larvae. Each group contains 20 larvae in 200 ml solution containing ethanol root extract kecombrang. Repetition done 4 times and given food fish


(2)

The results showed that the average number of larvae that died of 26.25% at a concentration of 0.25%, 47.50% at concentration of 0.5%, 75% at concentrations of 0.75% and 96.25% at a concentration of 1 %. Based on these results the most effective concentration of 1% due to the concentration of power killed him faster and the number of death is almost equal to abate 1%. LC50 value was 4.38% in the 20th minute; 1.56% in the 40th minute; 1.01% in the 60th

minute; 0.83% minute 120; 0.71% to-240 minutes; 0 , 61% to 480 minutes; 0.54% in minute-1440; 0.48% at minute in 2880 and 0.44% in 4320 minutes. LT50 value was 380.88 minutes at

a concentration of 0.75% and 151.81 minutes at a concentration of 1%. Key word : Aedes aegypty, Kecombrang (Etlingera elatior) and Larvacides


(3)

ABSTRAK

Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70 % Akar Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai Biolarvasida Potensial

Oleh

Nanang Hidayatulloh

Penyakit demam berdarah dengue merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara – negara yang memilki iklim tropis, termasuk Indonesia. Penyakit DBD mempunyai perjalanan klinis yang sangat cepat dan sering menyebabkan kematian akibat penanganan yang terlambat. Upaya pengendalian dan pemberantasan terhadap vektor penyakit DBD telah banyak dilakukan. Penggunaan insektisida buatan sebagai larvasida merupakan cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan pertumbuhan vektor tersebut. Namun, penggunaan insektisida buatan dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan maupun lingkungan. Bahaya penggunaan insektisida buatan tersebut dapat diminimalisir dengan menggunakan insektisida alami, salah satunya tanaman Kecombrang (Etlingera elatior) . Tanaman Kecombrang memiliki kandungan senyawa aktif yaitu saponin dan flavonoid yang memiliki potensi sebagai larvasida.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas, nilai LC50 dan LT50 ekstrak

akar Kecombrang (Etlingera elatior). Desain penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Dibagi menjadi 6 kelompok uji yaitu 0% (kontrol negatif), 0,25 %, 0,5%, 0,75%, 1% dan abate 1% (kontrol positif). Jumlah sampel


(4)

dilakukan 4 kali dan diberi makanan ikan selama penelitian. Uji yang digunakan adalah uji Kruskal- wallis (p < 0,05), uji Post-hoc Man Whitney (p < 0,05) dan uji Probit untuk mencari nilai LC50 dan LT50.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah larva yang mati sebesar 26,25 % pada konsentrasi 0,25 %; 47,50 % pada kosentrasi 0,5 %; 75 % pada konsentrasi 0,75 % dan 96,25 % pada konsentrasi 1 %. Berdasarkan hasil tersebut konsentrasi yang paling efektif yaitu konsentrasi 1 % karena daya bunuhnya lebih cepat dan jumlah kematiannya hampir sama dengan abate 1 %. Nilai LC50 adalah 4,38 % di menit ke-20; 1,56 % menit ke-40; 1,01 %

menit ke-60; 0,83 % menit ke-120; 0,71% menit ke-240; 0,61 % menit ke-480; 0,54 % di menit ke-1440; 0,48 % di menit ke-2880 dan 0,44 % pada menit ke-4320 . Nilai LT50 adalah

380,88 menit pada konsentrasi 0,75 % dan 151,81 menit pada konsentrasi 1 %. Kata kunci : Aedes aegypti, Kecombrang (Etlingera elatior) dan larvasida


(5)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL 70 % AKAR KECOMBRANG (Etlingera elatior) TERHADAP LARVA INSTAR III Aedes aegypti SEBAGAI

BIOLARVASIDA POTENSIAL

Oleh :

Nanang Hidayatulloh 0918011122

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(6)

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL 70 % AKAR

KECOMBRANG (

Etlingera elatior

) TERHADAP LARVA INSTAR III

Aedes aegypti

SEBAGAI BIOLARVASIDA POTENSIAL

( Skripsi )

Oleh :

NANANG HIDAYATULLOH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(7)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR GRAFIK ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 7

E. Kerangka Penelitian ... 8

1. Kerangka teori...8

2. Kerangka konsep...9

F. Hipotesis ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Nyamuk Aedes aegypti ... 10

1. Taksonomi Aedes aegypti ... 10

2. Morfologi Aedes aegypti ... 11

3. Bionomik Aedes aegypti ... 17

4. Pengendalian Vektor ... 19

B. Kecombrang ( Etlingera elatior ) ... 20

1. Taksonomi Kecombrang ... 20

2. Morfologi Kecombrang ... 21

3. Manfaat Kecombrang ... 22

4. Fitokimia Kecombrang ... 23

C. Ekstrak...29

D. Demam Berdarah Dengue ... 33

1. Etiologi ... 33

2. Penyebaran Demam Berdarah Dengue ... 34

3. Diagnosis Demam Berdarah Dengue ... 35


(8)

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 39

A. Rancangan Penelitian ... 39

B. Waktu dan Tempat ... 39

C. Populasi dan Sampel ... 40

D. Alat dan Bahan ... 41

1. Alat...41

2. Bahan...42

E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 43

F. Prosedur Penelitian ... 45

1. Tahap Persiapan... 45

a. Sterilisasi alat ... 45

b. Persiapan sampel ... 46

c. Persiapan ekstrak kecombrang ... 46

2. Tahap Pelaksanaan ... 48

a. Pembagian kelompok ... 48

b. Uji efektifitas ... 49

c. Menentukan Nilai LC50 dan LT50 ... 50

d. Alur penelitian ... 51

3. Analisis Data ... 52

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil ... 53

1. Uji Efektivitas ... 53

2. Lethal Concentration 50 % ( LC50 ) ... 56

3. Lethal Time 50 % ... 57

B. Pembahasan ... 58

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(9)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Rincian jumlah sampel penelitian ... 42 2. Definisi operasional ... 44 3. Jumlah ekstrak akar Kecombrang yang dibutuhkan ... 48 4. Persentase rata-rata kematian larva Aedes aegypti pada berbagai

konsentrasi ekstrak akar kecombrang ( Etlingera elatior ) ... ...54 5. Uji statistik perbandingan antar kelompok (analisis Post-hoc

Mann- Whitney) ... 55 6. Persentase rata-rata nilai LC50 nyamuk Aedes aegypti pada

berbagai waktu pengamatan ...56 7. Nilai LT50 kematian larva Aedes aegypti pada berbagai


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ... 8

2. Kerangka Konsep ... 9

3. Telur Aedes aegypti ... 12

4. Larva Aedes aegypti ... 13

5. Pupa Aedes aegypti ... 14

6. Nyamuk Aedes aegypti dewasa ... 17

7. tumbuhan Kecombrang ... 21

8. Rumus bangun flavon dan flavonol ... 24

9. Rumus bangun isoflavon ... 26

10. Rumus bangun saponin ... 28

11. Diagram Alir Uji Efek Ekstrak Kecombrang ( Etlingera elatior ) Sebagai Larvasid ... 52


(11)

v

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman 1. Grafik respon konsentrasi terhadap kematian larva ...54 2. Grafik nilai LC50 dari menit ke-20 sampai menit ke-4320 ...57


(12)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr. Betta Kurniawan, M.Kes

Sekretaris : dr. Ari Wahyuni

Penguji

Bukan Pembimbing : Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(13)

Judul Skripsi :

Nama Mahasiswa : NANANG HIDAYATULLOH Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011122

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

dr. Betta Kurniawan, M.Kes dr. Ari Wahyuni

NIP. 197810092005011001 NIP. 198406102009122004

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETHANOL 70 % AKAR KECOMBRANG (Etlingera elatior) TERHADAP LARVA INSTAR III Aedes aegypti SEBAGAI BIOLARVASIDA POTENSIAL


(14)

Kupersembahkan karya

sederhana ini untuk

Ayahku dan Ibundaku


(15)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gisting pada tanggal 29 Januari 1990. Penulis merupakan anak ke 3 atau terakhir dari tiga orang bersaudara dari pasangan bapak Tarwo dan Ibu Watri. Riwayat pendidikan yang telah ditempuh oleh Penulis antara lain :

1. TK Roudhotul Athfal Mathla’ul Anwar Gisting tahun 1995-1996 2. Madrasah Ibtida’iyah Mathla’ul Anwar Gisting tahun 1996-2002 3. Madrasah Tsanawiyah Mathla’ul Anwar Gisting tahun 2002-2005 4. SMA Darul Ulum 1 Jombang tahun 2005-2008

5. Fakultas Kedokteran Unila tahun 2009-sekarang

Adapun riwayat Organisasi yang telah dilalui oleh Penulis antara lain : 1. Ketua Osis MTs MA Periode 2003-2004

2. Sekretaris SMA DU 1 Periode 2006-2007

3. Ketua Umum FSI Ibnu Sina FK Unila Periode 2010-2011 4. Kepala Dinas PSDMO BEM FK Unila Periode 2011-2012

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran dan melanjutkan pendidikan profesi dokter.


(16)

SANWACANA

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan hidayah Nya skripsi berjudul “Efektifitas pemberian Ekstrak Ethanol 70 % Akar Kecombrang (Etlingera elatior) Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti Sebagai Biolarvasida Potensial” ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam dihaturkan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan bagi kita semua.

Skripsi dalam bidang parasitologi kedokteran ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Sutyarso, M.Biomed, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang telah memberikan dukungan dan kemudahan dalam pembuatan skripsi ini..

2. dr. Betta Kuniawan, M.Kes, selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan waktu, bimbingan, motivasi, kritik dan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini.

3. dr. Ari Wahyuni, selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(17)

4. Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed, selaku penguji utama atas kesediaanya untuk memberikan waktu, saran, dan kritik dalam pembahasan proposal ini.

5. dr. TA Larasati M.Kes, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing memotivasi saya selama duduk dibangku perkuliahan.

6. Seluruh Dosen Fakultas Kedokteran Unila yang telah memberikan wawasan dan keilmuan kepada penulis selama di perkuliahan. Semoga ilmu yang diberikan dapat menjadi landasan dalam menggapai cita-cita dan mengamalkan ilmu yang saya dapatkan dengan baik dan bijak.

7. Mbak Romi selaku kepala Laboratorium Parasitologi atas kesediaanya memberikan izin dan membantu kami dalam melaksanakan penelitian ini.

8. Staff Laboratorium Kimia FMIPA Unila atas bantuannya dalam pembuatan ekstrak yang akan digunakan dalam penelitian kami.

9. Segenap karyawan Fakultas Kedokteran Unila atas kebaikan yang diberikan kepada saya selama masa perkuliahan.

Ucapan terimakasih khusus disampaikan kepada :

1. Ayah dan Ibu tercinta atas do’a, dukungan baik moril maupun materil serta kasih sayang yang diberikan kepada saya baik dalam keadaan sedih maupun bahagia. Terima kasih telah mendidik dan membesarkan saya sampai saat ini. Semoga saya menjadi anak yang sholeh dan sukses sesuai dengan ayah dan ibu harapkan.

2. My lovely brothers, M. Wahidin, ST. dan Abdul Walid, SE., yang telah memberikan do’a dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini sampai tuntas. Terima kasih telah menjadi kakak yang baik dan peduli terhadap saya meskipun memiliki kesibukan dalam bekerja.


(18)

dukungan yang besar selama masa perkuliahan sampai sekarang.

4. My Script Partner, Sulaiman, yang telah bersama-sama berjuang dan saling melengkapi satu sama lain dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Sahabat-sahabat saya : Ryan falamy, Syahrul Hamidi, Arif Yudho, Galih Wicaksono, Muslim Thaher, Ryan Wahyudo, Tri Agung Sanjaya, Ikbal Sidiq dan Hanif Fakhruddin atas keceriaan dan kebersamaan yang kalian berikan. Jazakumullah khoiran katsir

6. Seluruh teman-teman mahasiswa FK Unila angkatan 2009 yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih untuk kebersamaan, kekeluargaan dan perjuangan kita sejak tahun 2009 hingga sekarang.

7. Seluruh kakak-kakak angkatan 2002, 2003, 2004, 2005,2006,2007, 2008 serta adik-adik tingkat angkatan 2010, 2011, dan 2012 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis memohon maaf apabila skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi keilmuan, masyarakat maupun penulis.

Wassalamu’alaikum wr. Wb. Bandar Lampung, 21 Maret 2013 Penulis


(19)

I. PENDAHULUAN A. Latar belakang

Nyamuk Aedes aegypti merupakan salah satu vektor yang dapat menyebabkan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara – negara yang mempunyai iklim tropis, termasuk Indonesia. Menurut Mc Michael (2008), perubahan iklim menyebabkan perubahan curah hujan, suhu, kelembaban, arah udara sehingga berefek terhadap ekosistem daratan dan lautan serta berpengaruh terhadap kesehatan terutama terhadap perkembangbiakan vektor penyakit seperti nyamuk Aedes, malaria dan lainnya.

Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968, sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang meninggal dunia. Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Sampai akhir tahun 2008 juga belum ditemukan obat yang secara efektif dapat mengobati penyakit DBD (Depkes RI, 2010).


(20)

Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI 2011).

Bandar Lampung merupakan salah satu kota di Indonesia yang tercatat sebagai daerah endemis Demam Berdarah Dengue (DBD). Data dinas kesehatan kota Bandar Lampung menyebutkan bahwa pada tahun 2010 terdapat 763 kasus, tahun 2011 terdapat 399 kasus, akan tetapi pada bulan Januari – Februari 2012 terjadi peningkatan kasus demam berdarah dengue sebesar 440 kasus, 4 orang diantaranya meninggal dunia (Dinas Kesehatan kota Bandar Lampung 2012).

Pemberantasan larva merupakan salah satu pengendalian vektor Aedes aegypti yang diterapkan hampir diseluruh dunia. Penggunaan insektisida sebagai larvasida merupakan cara yang paling umum digunakan oleh masyarakat untuk mengendalikan pertumbuhan vektor tersebut. Insektisida yang sering digunakan di Indonesia adalah Abate. Penggunaan abate di Indonesia sudah ada sejak tahun 1976. Empat tahun kemudian yakni tahun 1980, temephos 1% (abate) ditetapkan sebagai bagian dari program pemberantasan massal Aedes aegypti di Indonesia. (Daniel 2008)


(21)

3

Penggunaan insektisida kimiawi yang berulang akan menimbulkan dampak kontaminasi residu pestisida dalam air, terutama air minum. Selain itu, Biaya yang tinggi dari penggunaan pestisida kimiawi dan munculnya resistensi dari berbagai macam spesies nyamuk yang menjadi vektor penyakit menjadi perhatian penting yang harus dicermati (Ndione RD, 2007). Laporan resistensi larva Aedes aegypti terhadap Temephos sudah ditemukan di beberapa negara seperti Brazil, Bolivia, Argentina, Kuba, French Polynesia, Karibia, dan Thailand. Selain itu juga telah dilaporkan resistensi larva Aedes aegypti terhadap temephos di Surabaya. (Raharjo B, 2006).

Salah satu alternatif dalam mengendalikan larva Aedes aegypti adalah dengan penggunaan insektisida nabati. Insektisida nabati merupakan insektisida yang berbahan aktif senyawa metabolit sekunder tumbuhan yang mampu memberikan satu atau lebih aktivitas biologi baik pengaruh pada aspek fisiologi maupun tingkah laku serangga, seperti penghambatan aktivitas makan dan peneluran, pengatur pertumbuhan dan perkembangan serangga, kematian/mortalitas, dan sebagainya; serta memenuhi syarat-syarat untuk digunakan dalam pengendalian vektor, seperti efektif, efisien, dan aman (Dadang dan Prijono 2008).

Tanaman kecombrang merupakan salah satu tumbuhan yang diduga mempunyai kegunaan sebagai biolarvasida alami. Tanaman ini tersebar luas di kawasan Asia Tenggara sehingga banyak dijumpai di Indonesia. Kecombrang banyak digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional dan


(22)

bumbu penyedap masakan yang digunakan di banyak negara. Tanaman ini memiliki saponin yang berfungsi sebagai ekspektoran dan digunakan untuk pengobatan excessive salivation, chlorosis dan migraines. Keberadaan tanin memiliki kegunaan sebagai antibakteri, antivirus dan antiparasit (Zakaria, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Naufalin (2005), kandungan fitokimia bunga, batang, rimpang dan daun kecombrang antara lain senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida yang berperan aktif sebagai antioksidan maupun antilarvasida. flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang memiliki sifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksis (Dinata, 2009). Tanin merupakan senyawa fenolik dengan berat molekul yang tinggi antara 500 Dalton sampai 3000 Dalton yang terdapat dalam daun tanaman, kulit kayu, kayu, dan akar pada jaringan vakuola. Tanin berkaitan erat dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap mamalia herbivora, burung, dan serangga (Hassanpour et. al., 2011).

Penilitian yang dilakukan Monica tahun 2011 melalui pengamatan terhadap mortalitas larva Culex quinquefasciatus yang diberi ekstrak bunga kecombrang (Etlingera elatior) selama 24 jam dan dihitung jumlah larva yang mati. Data yang diperoleh dianalisis Probit yaitu LC50 didapatkan pada konsentrasi 52.087,360 ppm dan LC80 memiliki pengaruh terhadap mortalitas larva Culex quinquefasciatus dengan LC50


(23)

5

didapatkan pada konsentrasi 52.087,360 ppm dan LC80 pada konsentrasi 61.294,941.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Edmi tahun 2012 menyebutkan bahwa pemberian ekstrak batang Kecombrang dengan konsentrasi 1 %, efektif dalam membunuh larva Aedes aegypti instar III . Nilai LC50 fraksi

n-heksana ekstrak batang Kecombrang antara lain 0,903%pada menit ke-40, 0,867% pada menit ke-60, 0,810% pada menit ke-120, 0,725 pada menit ke-240, 0,686 pada menit ke-1440 0,643% pada menit ke-4320, dan 0,579% pada menit ke-4320.

Akar merupakan salah satu komponen yang terdapat pada tanaman kecombrang (Etlingera elatior) yang memiliki kandungan saponin dan flavanoid didalamnya. Hal inilah yang mendasari dilakukannya penelitian ekstrak akar kecombrang sebagai salah satu biolarvasida potensial yang dapat diambil manfaatnya.

B. Rumusan Masalah

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit virus yang ditularkan melalui vektor nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meninggal dalam waktu yang relatif singkat. Nyamuk Aedes aegypti mengalami beberapa stadium dalam siklus hidupnya dimulai dari telur, larva, pupa, dan dewasa. Pencegahan penyebaran DBD dapat dilakukan pada stadium larva dengan menggunakan larvasida.


(24)

Salah satu cara pengendalian terhadap pertumbuhan Aedes aegypti adalah dengan mengendalikan larva dengan menggunakan larvasida alami, yaitu tanaman Kecombrang. Tanaman Kecombrang (Etlingera elatior) mengandung senyawa yang dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehinga dinding traktus digetivus larva menjadi korosif yang pada akhinya menyebabkan kematian larva. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut :

Bagaimanakah efektivitas ekstrak ethanol akar kecombrang (Etlingera elatior) sebagai biolarvasida potensial dalam membunuh larva instar III Aedes aegypti?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui efektivitas pemberian ekstrak ethanol akar kecombrang (Etlingera elatior) sebagai biolarvasida terhadap larva instar III Aedes aegypti.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui konsentrasi yang paling efektif ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai biolarvasida terhadap larva instar III Aedes aegypti.


(25)

7

b. Mengetahui Lethal Concentration 50 % (LC50) ekstrak akar

Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai biolarvasida terhadap larva instar III Aedes aegypti.

c. Mengetahui Lethal Time 50 % (LT50) ekstrak akar Kecombrang

(Etlingera elatior) sebagai biolarvasida terhadap larva instar III Aedes aegypti.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Memberikan informasi pada bidang parasitologi, khususnya entomologi, mengenai pengaruh ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) terhadap pertumbuhan larva nyamuk Aedes aegypti dan membuat dasar ilmiah mengenai penggunaan bahan-bahan ilmiah.

2. Bagi masyarakat

Memberikan informasi mengenai larvasida dari ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai pengendali vektor demam berdarah dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat untuk membunuh larva Aedes aegypti dalam upaya untuk menurunkan angka kejadian Demam Berdarah Dengue di Indonesia khususnya di kota Bandar Lampung.


(26)

3. Bagi peneliti

Menambah hasanah ilmu pengetahuan mengenai pengendalian vektor demam berdarah penyebab masalah kesehatan masyarakat serta sebagai bahan informasi dan perbandingan terhadap penelitian selanjutnya.

E. Kerangka Penelitian 1. Kerangka teori

Gambar 1. Kerangka teori

Biologis

Demam Berdarah Dengue ( DBD )

Dewasa Pupa Larva Mati Telur

Efek Upaya Pengendalian

Mekanik

Kimiawi

Insektisida nabati

Ekstrak akar kecombrang

Saponin : Menurunkan

aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan

Flavanoid : Menghambat makan serangga dan bersifat


(27)

9

2. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka konsep

F. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah ekstrak etanol akar Kecombrang (Etlingera elatior) efektif sebagai larvasida terhadap larva instar III nyamuk Aedes aegypti.

Ekstrak ethanol akar Kecombrang dalam berbagai

konsentrasi

Jumlah mortalitas larva Aedes aegypti persatuan waktu


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyamuk Aedes aegypti

1. Taksonomi Aedes aegypti

Klasifikasi Aedes aegypti adalah sebagai berikut (Djakaria, 2004) :

Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Subphylum : Uniramia Kelas : Insekta Ordo : Diptera Subordo : Nematosera Familia : Culicidae Sub family : Culicinae Tribus : Culicini Genus : Aedes


(29)

11

2. Morfologi Aedes aegypti

Morfologi nyamuk Aedes aegypti dibagi menjadi beberapa stadium antara lain :

a. Stadium telur Aedes aegypti

Seekor nyamuk betina rata-rata dapat menghasilkan 100 butir telur setiap kali bertelur dan akan menetas menjadi larva dalam waktu 2 hari dalam keadaan telur terendam air. Telur Aedes aegypti berwarna hitam, berbentuk ovale, kulit tampak garis-garis yang menyerupai sarang lebah, panjang 0,80mm, berat 0,0010-0,015 mg. Telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu yang lama pada keadaan kering. Hal tersebut dapat membantu kelangsungan hidup spesies selama kondisi iklim yang tidak memungkinkan (Depkes RI, 2007).

Pada interval 1-5 hari, telur yang diletakkan seluruhnya berkisar 300-750 butir dan waktu yang dibutuhkan untuk bertelur sekitar 6 minggu. Kemampuan telur bertahan dalam keadaan kering membantu kelangsungan hidup spesies dalam kondisi yang tidak menguntungkan (Cahyati dan Suharyo 2006). Pada umumnya nyamuk Aedes aegypti akan meletakan telurnya pada suhu sekitar 20° sampai 30°C. Pada suhu 30°C, telur akan menetas setelah 1 sampai 3 hari dan pada suhu 16°C akan menetas dalam waktu 7 hari. Telur nyamuk Aedes aegypti sangat tahan terhadap kekeringan (Sudarmaja dan Mardihusodo 2009).


(30)

Pada kondisi normal, telur Aedes aegypti yang direndam di dalam air akan menetas sebanyak 80% pada hari pertama dan 95% pada hari kedua. Berdasarkan jenis kelaminnya, nyamuk jantan akan menetas lebih cepat dibanding nyamuk betina, serta lebih cepat menjadi dewasa. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tetas telur adalah suhu, pH air perindukkan, cahaya, serta kelembaban disamping fertilitas telur itu sendiri. (Soedarto, 1992)

Gambar 3. Telur Aedes aegypti ( Sumber : entnemdept.ufl.edu ) b. Stadium Larva

Larva nyamuk Aedes aegypti selama perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit larva instar I memiliki panjang 1-2 mm, tubuh transparan, siphon masih transparan, tumbuh menjadi larva instar II dalam 1 hari. Larva intar II memiliki panjang 2,5 – 3,9 mm, siphon agak kecoklatan, tumbuh menjadi larva instar III selama 1-2 hari. Larva instar III berukuran panjang 4-5 mm, siphon sudah berwarna coklat, tumbuh menjadi larva instar IV selama 2 hari. Larva instar IV berukuran 5-7 mmm sudah terlihat sepasang mata dan sepasang antena,


(31)

13

tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur rata-rata pertumbuhan larva hingga pupa berkisar 5-8 hari. Posisi istirahat pada larva ini adalah membentuk sudut 450 terhadap bidang permukaan air (Depkes

RI, 2007).

Gambar 4. Larva Aedes aegypti (Sumber : Dept. Entomology ICPMR 2002)

c. Stadium Pupa

Pada stadium pupa tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu cephalothorax yang lebih besar dan abdomen. Bentuk tubuh membengkok. Pupa tidak memerlukan makan dan akan berubah menjadi dewasa dalam 2 hari. Dalam pertumbuhannya terjadi proses pembentukan sayap, kaki dan alat kelamin (Depkes RI, 2007).

Pupa berbentuk koma, gerakan lambat, sering ada di permukaan air. Jika pupa diganggu oleh gerakan atau tersentuh, maka pupa akan bergerak cepat untuk menyelam dalam air selama beberapa detik kemudian muncul kembali dengan cara menggantungkan badannya menggunakan tabung pernafasan pada permukaan air di wadah atau


(32)

tempat perindukan (Cahyati dan Suharyo 2006). Stadium pupa memerlukan waktu kurang lebih 1 sampai 2 hari. Nyamuk jantan dan betina dewasa memilki perbandingan 1:1, nyamuk jantan keluar terlebih dahulu dari pupa, baru kemudian disusul nyamuk betina dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang nyamuk sampai nyamuk betina keluar. Setelah nyamuk betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung mengawini nyamuk betina sebelum betina menghisap darah.

Gambar 5. Pupa Aedes aegypti (Sumber : Dept. Entomology ICPMR 2002)

d. Nyamuk dewasa

Tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3 bagian, yatu kepala (caput), dada (thorax) dan perut (abdomen). Badan nyamuk berwarna hitam dan memiliki bercak dan garis-garis putih dan tampak sangat jelas pada bagian kaki dari nyamuk Aedes aegypti. tubuh nyamuk dewasa memiliki panjang 5 mm. Pada bagian kepala terpasang sepasang mata majemuk, sepasang antena dan sepasang palpi, antena berfungsi sebagai


(33)

15

organ peraba dan pembau. Pada nyamuk betina, antena berbulu pendek dan jarang (tipe pilose). Sedangkan pada nyamuk jantan, antena berbulu panjang dan lebat (tipe plumose). Thorax terdiri dari 3 ruas, yaitu prothorax, mesotorax, dan methatorax. Pada bagian thorax terdapat 3 pasang kaki dan pada ruas ke 2 (mesothorax) terdapat sepasang sayap. Abdomen terdiri dari 8 ruas dengan bercak putih keperakan pada masing-masing ruas. Pada ujung atau ruas terakhir terdapat alat kopulasi berupa cerci pada nyamuk betina dan hypogeum pada nyamuk jantan (Depkes RI, 2007)

Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian punggung (dorsal) tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi, tergantung dari kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan dalam hal ukuran nyamuk jantan yang umumnya lebih kecil dari betina dan terdapatnya rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Aedes aegypti bersifat diurnal atau aktif pada pagi hingga siang hari. Penularan penyakit dilakukan oleh nyamuk betina karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Hal itu dilakukannya untuk memperoleh asupan protein yang


(34)

diperlukannya untuk memproduksi telur. Nyamuk betina akan menghisap darah manusia setiap 2–3 hari sekali, selama pagi sampai sore hari pada waktu-waktu tertentu seperti pukul 08.00–12.00 dan 15.00–17.00. Setelah kenyang menghisap darah, nyamuk betina memerlukan waktu istirahat selama 2–3 hari untuk mematangkan telur. Nyamuk jantan tidak membutuhkan darah, dan memperoleh energi dari nektar bunga ataupun tumbuhan. Jenis ini menyenangi area yang gelap dan benda-benda berwarna hitam atau merah. Demam berdarah kerap menyerang anak-anak karena anak-anak cenderung duduk di dalam kelas selama pagi hingga siang hari dan kaki mereka yang tersembunyi di bawah meja menjadi sasaran empuk nyamuk jenis ini. Nyamuk ini mendapatkan virus dengue sewaktu menggigit atau menghisap darah orang yang sakit DBD dan tidak sakit DBD, tetapi dalam darahnya terdapat virus dengue (Depkes RI, 2007).

Nyamuk jantan dan betina dewasa perbandingan 1:1, nyamuk jantan keluar terlebih dahulu dari kepompong, baru disusul nyarnuk betina, dan nyamuk jantan tersebut akan tetap tinggal di dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk jantan akan langsung mengawini betina sebelum mencari darah. Selama hidupnya nyamuk betina hanya sekali kawin. Dalam perkembangan telur tergantung kepada beberapa faktor antara lain temperatur dan kelembaban serta species dari nyamuk (Lestari, 2009).


(35)

17

Gambar 6. Aedes aegypti dewasa ( Sumber : Stephen el doggett 2003 )

3. Bionomik Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti mula-mula banyak ditemukan di kota-kota pelabuhan dan dataran rendah, kemudian menyebar ke pedalaman. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti terutama dengan bantuan manusia, mengingat jarak terbang rata-rata yang tidak terlalu jauh, yaitu sekitar 40 – 100 meter. Meskipun jarak terbang Aedes aegypti bisa mencapai 2 km namun jarang sekali terbang sampai sejauh itu karena tiga hal penting yang dibutuhkan untuk berkembang biak terdapat dalam satu rumah, yaitu tempat perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat (Soedarto, 1992).

Aedes aegypti jantan yang lebih cepat menjadi nyamuk dewasa tidak akan terbang terlalu jauh dari tempat perindukan untuk menunggu nyamuk betina yang muncul untuk kemudian berkopulasi. Aedes aegypti bersifat antropofilik dan hanya nyamuk betina saja yang menggigit. Nyamuk menggigit baik di dalam maupun di luar rumah, biasanya pada pagi hari pukul 08.00 – 11.00 WIB dan pada sore hari pukul 15.00 – 17.00 WIB.


(36)

Sifat sensitif dan mudah terganggu menyebabkan Aedes aegypti dapat menggigit beberapa orang secara bergantian dalam waktu singkat (multiple halter) dimana hal ini sangat membantu dalam memindahkan virus dengue ke beberapa orang sekaligus, sehingga dilaporkan adanya beberapa penderita DBD dalam satu rumah. Meskipun tidak menggigit, nyamuk jantan juga tertarik pada manusia apabila melakukan kopulasi (Soedarto, 1992).

Tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti adalah penampungan air bersih di dalam rumah ataupun berdekatan dengan rumah, dan air bersih tersebut tidak bersentuhan langsung dengan tanah (Ditjen PPM&PL, 2002:7).

Tempat perkembangbiakan tersebut berupa:

1) Tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat menampung air guna keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC dan ember.

2) Bukan tempat penampungan air (non TPA) yaitu tempat-tempat yang biasa digunakan untuk menampung air tetapi bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat minum hewan piaraan, kaleng bekas, ban bekas, botol, pecahan gelas, vas bunga dan perangkap semut.

3) Tempat penampungan air alami (TPA alami) seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang dan potongan bambu.


(37)

19

4. Pengendalian vektor

Pengendalian nyamuk dapat dibagi menjadi tiga yaitu :

1) Pengendalian secara mekanik

Cara ini dapat dilakukan dengan mengubur kaleng-kaleng bekas atau tempat-tempat sejenis yang dapat menampung air hujan dan membersihkan lingkungan yang berpotensial dijadikan sebagai sarang nyamuk Aedes aegypti misalnya got dan potongan bambu. Pengendalian mekanis lain yang dapat dilakukan adalah pemasangan kelambu dan pemasangan perangkap nyamuk baik menggunakan cahaya lampu dan raket pemukul.

2) Pengendalian secara biologis

Intervensi yang didasarkan pada pengenalan organisme pemangsa, parasit, pesaing untuk menurunkan jumlah Aedes aegypti. Pengendalian ini biasa dilakukan dengan memelihara ikan yang relative kuat dan tahan, misalnya ikan mujaer di bak atau tempat penampungan air lainnya sehingga sebagai predator bagi jentik dan pupa.

3) Pengendalian secara kimia

Penggunaan insektisida secara sembarangan untuk pencegahan dan pengontrolan infeksi dengue harus dihindari. Selama periode sedikit atau tidak ada aktifitas virus dengue, tindakan reduksi sumber secara rutin yang diuraikan dalam bagian metode pelaksana lingkungan dapat dipadukan dengan penggunaan larvasida dalam wadah yang tidak dapat dibuang di tutup, diisi atau ditangani dengan cara lain. Untuk pengendalian emergensi


(38)

menekan epidemik virus dengue atau untuk mencegah ancaman wabah, suatu program penghancuran yang tepat dan pasif terhadap Aedes aegypti harus dilakukan dengan insektisida.

B. Kecombrang

1. Taksonomi Kecombrang

Klasifikasi tanaman Kecombrang adalah sebagai berikut (Tjitrosoepomo, 2005) :

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub Kelas : Commelinidae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Etlingera


(39)

21

2. Morfologi Kecombrang

Gambar 7. Tumbuhan Kecombrang (Sukandar, 2011)

Tumbuhan kecombrang (Etlingera eliator) merupakan tumbuhan yang tersebar cukup luas di Indonesia. Penggunaan Etlingera eliator sebagai bahan obat sangat banyak ragamnya. Tumbuhan ini digunakan sebagai bahan pangan dan juga dapat digunakan untuk pengobatan (Antoro, 1995).

Tanaman kecombrang merupakan tanaman tahunan yang berbentuk semak dengan tinggi 1-3 m. Tanaman ini mempunyai batang semu, tegak, berpelepah, membentuk rimpang, dan berwarna hijau. Daunnya tunggal, lanset, ujung dan pangkal runcing tetapi rata, panjang daun sekitar 20-30 cm dan lebar 5-15 cm, pertulangan daun menyirip, dan berwarna hijau. Bunga kecombrang merupakan bunga majemuk yang berbentuk bongkol dengan panjang tangkai 40-80 cm. Panjang benang sari ± 7,5 cm dan berwarna kuning. Putiknya kecil dan putih. Mahkota bunganya bertaju, berbulu jarang dan warnanya merah jambu. Biji


(40)

kecombrang berbentuk kotak atau bulat telur dengan warna putih atau merah jambu. Buahnya kecil dan berwarna coklat. Akarnya berbentuk serabut dan berwarna kuning gelap (Syamsuhidayat, 1991).

3. Manfaat Kecombrang

Menurut Hasbah et al. (2005) tanaman kecombrang dapat dipakai untuk mengobati penyakit-penyakit yang tergolong berat yaitu kanker dan tumor. Bunga dari tanaman ini bisa digunakan sebagai bahan kosmetik alami dimana bunganya dipakai untuk campuran cairan pencuci rambut dan daun serta rimpangnya dipakai untuk bahan campuran bedak oleh penduduk lokal (Chan et. al., 2007).

Di Malaysia, bunga kecombrang direbus. Air rebusannya dijadikan untuk obat sakit telinga. Sedangkan daun kecombrang digunakan untuk pencuci luka. Selain bunganya, daun muda kecombrang juga berkhasiat menghilangkan bau badan. Juga berkhasiat memperbanyak air susu ibu. Honje, nama lain kecombrang, dapat dimanfaatkan sebagai sabun dengan dua cara yaitu mengosokkan langsung batang pohon honje ke tubuh dan wajah atau dengan mememarkan pelepah batang daun honje hingga keluar busa yang harum yang dapat langsung digunakan sebagai sabun. Tumbuhan ini juga dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit yang berhubungan dengan kulit, termasuk campak. Bunga pokok ini yang berwarna merah muda banyak digunakan sebagai gubahan hiasan manakala tunas bunga ini dijadikan bahan memasak dalam masakan Melayu seperti laksa.


(41)

23

Tumbuhan ini mengandung banyak bahan antioksidan yang amat baik untuk kesehatan (Ardita, 2009).

4. Fitokimia Kecombrang

Kandungan fitokimia bunga, batang, rimpang dan daun kecombrang hasil penelitian Naufalin (2005) diperoleh senyawa alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida yang berperan aktif sebagai antioksidan. Menurut Antoro (1995), pada rimpang ditemukan senyawa alkaloid, flavonoid dan minyak atsiri yang bertindak sebagai antioksidan. Tampubolon et al. (1983) menyebutkan bahwa kecombrang mengandung senyawa bioaktif seperti polifenol, alkaloid, flavonoid, steroid, saponin dan minyak atsiri yang diduga memiliki potensi sebagai antioksidan.

1) Flavanoid

Menurut Robinson (1995), senyawa golongan flavonoida dapat diklasifi-kasikan sebagai berikut:

a. Flavon dan flavonol

Flavon dan flavonol merupakan senyawa yang paling tersebar luas dari semua pigmen tumbuhan berwama kuning. Dari segi struktumya, flavon berbeda dengan flavonol, dimana pada flavonol terdapat gugus keton dan alkohol yakni gugus keton pada posisi 4 dan hidroksi pada posisi 3 sehingga berpengaruh terhadap serapan ultraviolet, gerakan kromatogram dan reaksi warnanya. Sedangkan


(42)

flavon hanya memiliki gugus keton yakni pada posisi 4 dan umumnya terdapat sebagai glikosida pada posisi 7-glikosida. Gula yang terikat biasanya glukosa, galaktosa, dan ramnosa. Aglikon flavonol yang umum dijumpai yaitu kaemferol dan kuersetin yang berkhasiat sebagai antioksidan pada penyakit kanker dan antiinflamasi (Hemani dan Rahardjo, 2005 ; Miller, 2005 ; Robinson, 1995 dan Sastrohamidjojo, 1996).

Gambar 8. Rumus bangun flafon dan flavonol

Dibandingkan dengan jenis flavonoid lain, jenis flavonol dan flavone merupakan dua dari jenis flavonoid yang paling banyak terdapat dalam tanaman sayur-sayuran (Robinson, 1995).

Senyawa quercetin merupakan golongan flavonol yang paling banyak terdapat dalam tanaman dan merupakan senyawa yang paling aktif dibandingkan senyawa lain dari golongan flavonol. Quercetin mampu menghambat oksidasi LDL dengan cara mengkelat ion tembaga, yang dapat menginduksi oksidasi dari LDL (Fuhrman dan Aviram, 2003).


(43)

25

Senyawa lain dari golongan flavonol yang memiliki peran penting pula adalah kaempferol. Kaempferol mampu menghambat oksidasi LDL dengan cara mengkelat ion tembaga, yang dapat menginduksi oksidasi dari LDL. Namun aktivitas dari kaempferol ini tidak seefektif seperti pada luteolin dan quercetin (Aviram dan Fuhrman, 2003).

Myricetin merupakan senyawa yang paling sedikit dijumpai di tanaman dibandingkan senyawa lain dari golongan flavonol. Namun demikian, myricetin juga memiliki khasiat sebagai antioksidan. Menurut Knekt et al. (2002) , hasil studi in vitro menunjukkan bahwa dengan konsentrasi myricetin yang tinggi dapat memodifikasi penyerapan kolesterol LDL oleh sel darah putih menjadi lebih cepat.

b. Isoflavon

Isoflavon merupakan golongan flavonoida yang jumlahnya sangat sedikit, dan sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi warna manapun, tetapi beberapa isoflavon berwarna biru muda bila dilihat dibawah sinar ultraviolet setelah diberi uap amonia (Harborne, 1987). Menurut Hernani dan Rahardjo (2005), senyawa isoflavon mempunyai aktivitas sebagai antioksidan yang dapat mengurangi resiko penyakit kanker, jantung koroner, dan osteoporosis. Senyawa ini mempunyai aktifitas biologis sebagai penangkap radikal bebas penyebab kanker. Aktifitas biologis


(44)

senyawa isoflavon telah diteliti dan menunjukkan bahwa aktifitas isoflavon berkaitan dengan struktur dan gugus-gugus yang berikatan pada struktur molekulnya. Adanya gugus OH ganda, gugus OH pada atom C3 ataupun C5 yang berdekatan dengan gugus C=O pada struktumya berhubungan terhadap aktifitas biologisnya (Pawiroharsono, 2004).

2) Saponin

Saponin adalah glikosidan yang setelah dihidrolisis akan menghasilkan gula (glikon). Senyawa aktif permukaan dari saponin bersifat seperti sabun dan dideteksi berdasarkan kemampuan membentuk busa dan memiliki rasa pahit yang dapat menimbulkan efek menurunkan tegangan permukaan sehingga merusak membran sel. Saponin ada pada seluruh bagian tanaman, misalnya pada akar, batang, daun dan bunga.

Saponin merupakan kelompok triterpenoid yang termasuk dalam senyawa terpenoid. Aktivitas saponin ini, ternyata dapat mengikat sterol bebas dalam pencernaan makanan, di mana sterol berperan sebagai prekusor hormon ekdison, sehingga dengan menurunya jumlah sterol bebas akan mengganggu proses pergantian kulit pada


(45)

27

serangga (moulting). Sedangkan untuk senyawa saponin ini, apabila dikocok dengan air maka akan menghasilkan buih dan bila dihidrolisis akan menghasilkan gula dan sapogenin (Mulyana, 2002).

Kaitannya dengan proses masuknya toksin dalam tubuh jentik, menurut Keilin dan Clement, seperti dikutip Muhaeni (2007), ekstrak air kulit jengkol yang mengandung saponin masuk ke dalam tubuh jentik nyamuk bersama dengan makanan dan air yang masuk melalui mulut. Penetrasi racun terjadi di daerah usus tengah di mana daerah tersebut terdapat aktivitas absorpsi makanan melalui jaringan epithelium dan hasilnya akan diedarkan ke seluruh tubuh oleh haemolimfe. Adapun mekanisme keracunannya berupa kerusakan pada jaringan epithelium pada usus tengah yang mengabsorpsi makanan. Kegagalan absorpsi tersebut mengakibatkan malnutrisi, sehingga pertumbuhan jentik terhambat dan akhirnya terjadi kematian jentik.

Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadaan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan (Gunawan dan Mulyani, 2004).


(46)

Menurut Sparg dkk (2004) saponin memiliki aksi sebagai insektisida dan larvasida. Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehinga dinding traktus digetivus larva menjadi korosif (Aminah dkk, 2001). Saponin yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi serangga dapat menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan (Dinata, 2009).

Gambar 10. Rumus bangun saponin 3) Minyak Atsiri

Minyak atsiri merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang mudah menguap (volatil) dan bukan merupakan senyawa murni tetapi tersusun atas beberapa komponen yang mayoritas berasal dari golongan terpenoid (Guenther 2006).

Minyak atsiri terdiri dari campuran zat yang mudah menguap dengan komposisi dan titik didih yang berbeda beda. Minyak atsiri yang mudah menguap terdapat dalam kelenjar minyak khusus


(47)

29

didalam kantung minyak atau di dalam ruang antar sel dalam jaringan tanaman. Minyak atsiri umumnya terdiri dari berbagai campuran persenyawaan kimia yang terbentuk dari unsur carbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O) dan beberapa senyawa kimia yang mengandung unsur Nitrogen (N) dan Belerang (S) (Guenther, 2006).

C. Ekstrak

Bioaktifitas tanaman sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia yang terdapat didalamnya. Sedangkan untuk mendapatkan senyawa kimia yang bersifat aktif tersebut dipengaruhi oleh metode pemisahan meliputi cara ekstraksi dan pelarut yang digunakan. Perbedaan kandungan senyawa kimia yang ada menunjukkan perbedaan aktifitas farmakologis dari tanaman yang bersangkutan (Halimah, 2010).

Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik dan memisahkan senyawa yang mempunyai kelarutan berbeda–beda dalam berbagai pelarut komponen kimia yang terdapat dalam bahan alam baik dari tumbuhan, hewan, dan biota laut dengan menggunakan pelarut organik tertentu. Proses ekstraksi ini didasarkan pada kemampuan pelarut organik untuk menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel secara osmosis yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dalam pelarut organik dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara di dalam dan di luar sel, mengakibatkan terjadinya difusi pelarut organik yang mengandung zat aktif keluar sel. Proses ini berlangsung terus menerus sampai terjadi keseimbangan


(48)

konsentrasi zat aktif di dalam dan di luar sel (Dirjen POM, 2000 dan Harborne 1987).

Metode ekstraksi menggunakan pelarut dapat dilakukan secara dingin yaitu maserasi dan perkolasi, dan secara panas yaitu refluks, soxhlet, digesti, infus, dan dekok (Dirjen POM, 2000).

Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat di desak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar sel dan didalam sel. Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, stiraks dan lain-lain. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan (Dirjen POM, 2000).

Cairan penyari yang digunakan dapat berupa air, etanol, air-etanol atau pelarut lain. Bila cairan penyari digunakan air maka untuk mencegah timbulnya kapang, dapat ditambahkan bahan pengawet, yang diberikan pada awal penyarian. Maserasi pada umumnya dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok


(49)

31

kedalam sebuah bejana, ditambahkan dengan 75 bagian penyari, dan ditutup, serta dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil sekali-kali diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya kemudian diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana kemudian ditutup dan dibiarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya, selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan (Dirjen POM, 2000).

Pada penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu dibiarkan selama waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari seperti malam dan lain-lain (Dirjen POM, 2000).

Adapun metode ekstraksi yang dapat digunakan selain maserasi adalah: 1) Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya.


(50)

2) Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3–5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

3) Soxhlet

Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

4) Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40–500C.

5) Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96–980C) selama waktu tertentu 15–20 menit.

6) Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (>300C) dan temperatur sampai titik didih air (Dirjen POM, 2000).


(51)

33

D. Demam Berdarah Dengue ( DBD ) 1. Etiologi

Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegepty, yang ditandai dengan demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa sebab yang jelas, lemah dan lesu, gelisah, nyeri ulu hati disertai tanda pendarahan di kulit berupa bintik pendarahan (petechiae), lebam (ecchymosis) atau ruam (purpura) kadang-kadang mimisan, bercak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau rejatan (syock) menyerang baik orang dewasa maupun anak-anak tetapi lebih banyak menimbulkan korban pada anak berusia dibawah 15 tahun. (Depkes RI, 2007).

Pertumbuhan penduduk Indonesia yang cukup tinggi, memberikan implikasi semakin rendahnya tingkat kesehatan terutama kebersihan lingkungan sehingga menimbulkan berbagai penyakit infeksi salah satunya penyakit demam berdarah dengue. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia dan sering menimbulkan suatu letusan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular (vektor) penyakit DBD yang penting adalah Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes scutellaris, tetapi sampai saat ini yang menjadi vektor utama dari penyakit DBD adalah Aedes aegypti. (Depkes RI, 2007).


(52)

Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B arthropod Borne Virus (Arboviruses) yang sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili flavividae, dan mempunyai 4 jenis serotype, yaitu : DEN-1 (Dengue 1), DEN-2 (Dengue 2), DEN-3 (Dengue 3), DEN-4 (Dengue 4). Infeksi salah satu serotype akan menimbulkan antibodi terhadap serotype yang bersangkutan, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotype lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotype virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotype ditemukan dan bersikulasi sepanjang tahun. Serotype DEN-3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat. (Depkes RI, Dirjen PPM & PL, 2007).

2. Penyebaran Demam Berdarah dengue

Penyebaran virus dengue dapat terjadi dalam beberapa tahap, yaitu perkembangbiakan virus dalam tubuh nyamuk kemudian ditularkan ke manusia. Tahap pertama nyamuk Aedes aegypti menggigit manusia yang terinfeksi virus dengue, kemudian virus akan berkembang di perut dan kelenjar ludah nyamuk Aedes. aegypti. Tahap kedua nyamuk Aedes Aegypti yang terinfeksi virus dengue menggigit manusia yang sehat,


(53)

35

kemudian virus berkembang pada jaringan dekat titik inokulasi atau lymph node, virus keluar dari jaringan inokulasi dan menyebar melalui darah untuk menginfeksi sel-sel darah putih, lalu virus keluar dari sel darah putih dan bersirkulasi ke darah, sistem kekebalan tubuh merusak sel-sel yang terinfeksi. Jika sel yang terinfeksi sedikit, demam akan berlangsung 6-7 hari. Tetapi jika sel yang terinfeksi banyak demam akan lebih parah dan pendarahan akan lebih banyak (Kristina dkk, 2010).

3. Diagnosis Demam Berdarah dengue Kriteria klinis DBD menurut WHO adalah :

a) Demam akut, yang tetap tinggi selama 2-7 hari (38 0C-40 0C), kemudian turun secara lisis. Demam disertai gejala tidak spesifik, seperti anoreksia, malaise, mual, muntah, sakit perut, diare kejang, nyeri pada punggung, tulang, persendian, dan sakit kepala.

b) Manifestasi pendarahan : - Uji Torniquet positif.

Uji Torniquet adalah salah satu cara untuk mengetahui perdarahan dini. Interpretasi positif; bila terdapat ≥ 20 petechiae (Depkes RI, 2007).

- Perdarahan di bawah kulit, selain petechiae dapat juga berupa echimosis dan seterusnya (Depkes RI, 2007).

- Bentuk-bentuk perdarahan lain yang dapat dijumpai pada pasien Demam Berdarah Dengue adalah : perdarahan hidung, gusi, berak darah, muntah darah, kadang-kadang kencing bercampur darah.


(54)

c) Hepatomegali (pembesaran hati) dan nyeri tekan tanpa ikterus.

d) Dengan / tanpa renjatan. Renjatan yang terjadi pada saat demam biasanya mempunyai prognosis yang buruk, dimana jika terjadi renjatan, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah.

e) Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai Hematokrit.

Trombositopeni, pada hari ke 3 - 7 ditemukan penurunan trombosit sampai 100.000 /mm3 (Depkes RI, 2007).

Derajat penyakit DBD secara klinis dibagi sebagai berikut :

a. Derajat I (ringan), terdapat demam mendadak selama 2-7 hari disertai gejala klinis lain dengan manifestasi perdarahan teringan, yaitu uji torniquet positif.

b. Derajat II (sedang), ditemukan pula perdarahan kulit dan manifestasi perdarahan lain.

c. Derajat III, ditemukan tanda-tanda dini renjatan, berupa kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20mmHg atau kurang) atau hipptensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin, lembab dan tampak gelisah.

d. Derajat IV, terdapat DSS (Dengue Shock Syndrome) dengan nadi dan tekanan darah yang tak terukur.


(55)

37

4. Pencegahan DBD

Pencegahan demam berdarah dengue terutama ditujukan kepada upaya untuk mengendalikan vektor penularan yaitu nyamuk aedes aegypti dan Aedes albopictus. Pemberantasan vektor dilakukan dengan atau tanpa insektisida. Pemberantasan dengan insektisda ditujukan baik terhadap nyamuk dewasa maupun terhadap larva nyamuk sebaiknya menggunakan organofosfat untuk mencegah pencemaran lingkungan. Masyarakat dapat terhindar dari penyakit asalkan pengetahuan tentang kesehatan ditingkatkan, sehingga perilaku dan keadan lingkungan sosialnya menjadi sehat (Notoatmodjo,2005).

Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk membunuh serangga. Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada bentuk, cara masuk ke dalam tubuh serangga, macam bahan kimia, konsentrasi dan jumlah (dosis) insektisida.

Menurut cara masuknya ke dalam badan serangga, insektisida dibagi dalam :

1. Racun kontak (contact poisons)

Insektisida masuk melalui eksoskelet ke dalam badan serangga dengan perantaraan tarsus (jari-jari kaki) pada waktu istirahat di permukaan


(56)

yang mengandung residu insektisida. Pada umumya dipakai untuk mengendalikan serangga yang mempunyai bentuk mulut tusuk isap.

2. Racun perut (stomach poisons)

Insektisida masuk ke dalam badan serangga melalui mulut. Biasanya serangga yang diberantas dengan menggunakan insektisida ini mempunyai bentuk mulut untuk menggigit, lekat isap, kerat isap dan bentuk mengisap.

3. Racun pernapasan (fumigants)

Insektisida masuk melalui sistem pernapasan (spirakel) dan juga melalui permukaan badan serangga. Insektisida ini dapat digunakan untuk mengendalikan semua jenis serangga tanpa harus memperhatikan bentuk mulutnya. Penggunaan insektisida ini harus hati-hati sekali terutama bila digunakan untuk pemberantasan serangga di ruang tertutup (Hoedojo dan Zulhasril, 2008).


(57)

III. METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratorium dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) atau completely randomized design yang terdiri dari 4 perlakuan dan 2 kontrol, positif dan negatif dengan pengulangan sebanyak 5 kali. Rancangan Acak Lengkap merupakan jenis rancangan percobaan yang paling sederhana. Metode ini dipilih karena satuan percobaan yang digunakan bersifat homogen atau tidak ada faktor lain yang mempengaruhi respon di luar faktor yang diteliti. Selain itu, percobaan ini dilakukan di laboratorium sehingga faktor luar yang dapat mempengaruhi percobaan dapat dikontrol.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Univeritas Lampung, prosedur uji efektivitas larvasida dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung, proses ekstraksi akar kecombrang (Etlingera elatior). Penelitian dilakukan pada bulan Oktober - November tahun 2012.


(58)

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar III Aedes aegypti yang diperoleh dari dari Loka Litbang P2B2 Ciamis dalam bentuk kering dengan media kertas saring. Untuk memudahkan dalam penentuan sampel maka dipakai kriteria inklusi dan ekslusi sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

1) Larva Aedes aegypti yang telah mencapai instar III 2) Larva bergerak aktif

b. Kriteria Eksklusi

1) Larva Aedes aegypti instar I dan II

2) Larva yang sudah mati sebelum pengujian

3) Larva yang telah berubah menjadi pupa atau nyamuk dewasa

4) Bukan larva bebas

2. Sampel

Menurut Wulandari et al (2006), larva pada tahap instar III dipakai sebagai bahan penelitian karena tahap ini dianggap cukup mewakili kondisi larva. Ukuran larva instar III tidak terlalu kecil sehingga mudah untuk diamati dan larva ini merupakan bentuk yang aktif mencari makan.


(59)

41

Menurut acuan WHO tahun 2005, besar sampel dalam penelitian larvasida adalah 20-30 ekor larva Aedes aegypti instar III untuk masing-masing perlakuan dengan pengulangan sebanyak 4-5 kali untuk setiap perlakuan. Pada penelitian ini, besar sampel adalah 20 ekor larva dengan 4 kali pengulangan sehingga pada penelitian ini diperlukan total sampel sebanyak 480 larva.

Adapun rincian sampel yang digunakan adalah sebagai berikut : Perlakuan Jumlah larva (ekor) x

jumlah pengulangan

Total (ekor) Kontrol (-) : 0% 20 larva x 4 80 larva Perlakuan I : 0,25% 20 larva x 4 80 larva Perlakuan II : 0,50% 20 larva x 4 80 larva Perlakuan III : 0,75% 20 larva x 4 80 larva Perlakuan IV : 1% 20 larva x 4 80 larva Kontrol (+) : Temephos 20 larva x 4 80 larva

Jumlah total larva yang dipakai dalam penelitian

480 larva

Tabel 1. Rincian jumlah sampel penelitian D. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat-alat yang dipakai dalam penelitian ini adalah : a. Alat Untuk Preparasi Bahan Uji

1. Nampan plastik dengan ukuran 30 x 15 cm 2. Kain kasa

3. Gelas plastik


(60)

b. Alat Untuk Pembuatan Larutan Uji 1. Neraca analitik ( timbangan ) 2. Blender

3. Toples 4. Baskom 5. Saringan

c. Alat Untuk Uji Efektifitas 1. Pipet larva

2. Pipet tetes 3. Akar pengaduk 4. Gelas ukur 250 ml

5. Kontainer atau gelas plastik 6. Kertas label

2. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah

a. akar kecombrang (Etlingera elatior), b. Larva Aedes aegypti instar III

c. larutan ethanol 70 % d. Temephos (abate) 1 % e. aquadest


(61)

43

E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel 1. Identifikasi Variabel

Variabel pada penelitian ini terdiri atas : a. Variabel Bebas

Variabel bebas atau independent variable penelitian ini adalah berbagai konsentrasi ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) dengan lima taraf konsentrasi yaitu 0 %, 0,25 %, 0,5 %, 0,75 % dan 1 % dan larva Aedes aegypti instar III

b. Variabel Terikat

Variabel terikat atau dependent variable penelitian ini adalah Lethal Concentration 50 (LC50), Lethal Time 50 (LT50) serta

konsentrasi yang paling efektif untuk kematian larva Aedes aegypti instar III

2. Definisi Operasional Variabel

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas maka dibuat definisi operasional sebagai berikut :

Tabel 2. Definisi Operasional

Variabel Definsi Skala

Efektivitas larvasida ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior)

Pengaruh pemberian ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) yang dapat dilihat dari mortalitas atau jumlah kematian larva Aedes aegypti instar III


(62)

Ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior)

Akar Kecombrang (Etlingera elatior) yang telah melalui prosedur pencucian dan pemotongan, dan diangin-anginkan

diblender dan direndam selama 1x24 dengan pelarut ethanol sehingga diperoleh ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior).

Kategorik

Mortalitas Larva Aedes aegypti

Kematian larva Aedes aegypti yang ditandai dengan larva yang tidak bergerak saat disentuh dengan jarum di daerah siphon atau lehernya. Larva yang hampir mati juga dikategorikan kedalam larva yang mati dimana ciri-ciri larva yang hampir mati adalah larva terebut tidak dapat meraih permukaan air atau tidak bergerak ketika air digerakkan (WHO guideline, 2005).

Numerik

Larva instar III Aedes aegypti

Larva instar III berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat hari setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman (Sikka, 2009)

Ordinal

Berbagai konsentrasi ekstak akar Kecombrang (Etlingera elatior)

Ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) dinyatakan dalam persen (%). Masing-masing

kosentrasi dibuat dengan cara pengenceran. Pada penelitian ini dipakai


(63)

45

konsentrasi 0,25%, 0,50%, 0,75%, 1% dan kontrol 0% yang kemudian akan dicari dosis subletalnya yaitu LC50 yang akan

ditentukan dengan analisis probit.

Lethal Concentration 50 ( LC50 )

Merupakan konsentrasi larvasida yang dapat menyebabkan kematian pada 50 % hewan uji

Numerik

Lethal Time 50 ( LT50 ) Merupakan panjang

waktu saat 50 % hewan uji sudah mati dan 50 % hewan uji lainnya masih hidup

Numerik

Konsentrasi efektif Konsentrasi ekstrak akar Kecombrang ( Etlingera eltior ) yang paling banyak membunuh larva Aedes aegypti instar III

Kategorik

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penenilian ini terdiri dari tiga tahap, yakni tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap analisis data.

1. Tahap Persiapan a. Sterilisasi alat

Alat dan bahan yang akan digunakan terlebih dahulu disiapkan, kemudian dibersihkan. Bahan-bahan yang akan digunakan ditimbang dengan neraca analitik terlebih dahulu sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu, alat dan bahan disterilisasi dengan autoklaf selama 15 menit pada suhu 121 C dengan tekanan 1,5 atm (Syulasmi et al., 2005).


(64)

b. Persiapan Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur nyamuk Ae.aegypti yang diperoleh dari Ruang Insektarium Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Ciamis, Pangandaran, Jawa Barat. Telur kemudian diletakkan di dalam nampan plastik yang berukuran 30 x 15 cm berisi air bersih ± 1000 cc untuk pemeliharaan larva agar tidak mati. Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Kemudian telur yang sudah menetas menjadi larva dipisahkan dengan menggunakan kasa untuk pengkolonisasian dan diberi fish food sebagai makanan larva. Dalam waktu kurang lebih 4 hari, larva akan mencapai instar III. Setelah usia larva mencapai instar III larva dipindahan dengan menggunakan pipet larva ke dalam gelas plastik yang berisi ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior).

c. Persiapan ekstrak akar Kecombrang

Pembuatan ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) ini menggunakan akar Kecombrang (Etlingera elatior) yang didapat dari lingkungan sekitar tempat tinggal peneliti. Akar kecombrang sebelumnya diidentifikasi terlebih dahulu di Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Lampung.

Akar Kecombrang (Etlingera elatior) ditimbang sebanyak 20 g kemudian dicuci menggunakan air sampai bersih. Akar yang sudah bersih, dicacah terlebih dahulu kemudian dihaluskan menggunakan


(65)

47

blender kering tanpa menggunakan air. Akar kecombrang ditimbang kembali setelah halus dan dikeringkan. Pengeringan tidak boleh dilakukan langsung dibawah terik matahari karena akan menghilangkan senyawa kimia yang terkandung dalam akar kecombrang. Akar kecombrang diekstraksi menggunakan metode meserasi dan menggunakan pelarut alkohol (etanol).

Metode Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambah pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya. (dirjen POM depkes RI, 2000)

Potongan halus akar Kecombrang direndam selama 24 jam ke dalam ethanol 70 % sebanyak 25 ml. Setelah direndam selanjutnya bahan tersebut disaring sehingga diperoleh hasil akhirnya berupa ekstrak Kecombrang dengan konsentrasi 100%. Untuk membuat berbagai konsentrasi yang diperlukan dapat digunakan digunakan rumus VІ MІ = VЇ MЇ.

Keterangan :

VІ = Volume larutan yang akan diencerkan (ml)


(66)

VЇ = Volume larutan (air + ekstrak) yang diinginkan (ml)

MЇ = Konsentrasi ekstrak akar Kecombrang yang akan dibuat (%)

Tabel 3. Jumlah Ekstrak Akar Kecombrang yang Dibutuhkan

M V M V = V . M

M

Pengulangan (V x 4)

100 % 200 ml 1 % 2 ml 8 ml

100 % 200 ml 0,75 % 1,5 ml 6 ml

100 % 200 ml 0,5 % 1 ml 4 ml

100 % 200 ml 0,25 % 0,5 ml 2 ml

Total 20 ml

2. Tahap Pelaksanaan 1) Pembagian kelompok

Penelitian ini dibagi menjadi 6 ( enam ) kelompok yang terdiri dari 4 perlakuan dan 2 kontrol dengan berbagai konsentrasi ekstrak akar kecombrang sebagai berikut :

a) Kelompok 1

Kontrol negatif (-) : Ekstrak ethanol akar kecombrang dengan konsentrasi 0 %

b) Kelompok 2

Perlakuan I : Ekstrak ethanol akar kecombrang dengan konsentrasi 0,25 %


(67)

49

c) Kelompok 3

Perlakuan II : Ekstrak ethanol akar kecombrang dengan konsentrasi 0,50 %

d) Kelompok 4

Perlakuan III : Ekstrak ethanol akar kecombrang dengan konsentrasi 0,75 %

e) Kelompok 5

Perlakuan IV : Ekstrak ethanol akar kecombrang dengan konsentrasi 1 %

f) Kelompok 6

Kontrol positif (+) : Ekstrak ethanol akar kecombrang dengan penambahan temephos (abate) 1 %

2) Uji Efektivitas

Larutan uji yang digunakan adalah ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) dengan konsentrasi 0,25 %, 0,50 %, 0,75 %, dan 1 % . Uji efektifitas ini dilakukan untuk menentukan nilai LC50 (Lethal Consentration 50), LT50 (Lethal Time 50) dan

konsentrasi yang paling efektif sebagai larvasida larva Aedes aegypti. Ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) dengan berbagai konsentrasi tersebut diletakkan dalam gelas plastik. Larva diletakkan ke dalam gelas plastik yang berisi berbagai konsetrasi akar Kecombrang (Etlingera elatior) dengan menggunakan pipet larva. Perlakuan menggunakan ekstrak akar


(68)

Kecombrang (Etlingera elatior) hanya diberikan pada kelompok eksperimen sebanyak 200 ml ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) pada tiap ulangan, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan perlakuan mengunakan air sumur dengan volume 200 ml pada tiap ulangan. Masing-masing perlakuan berisi 20 larva Aedes aegypti instar III dengan jumlah pengulangan sebanyak 4 kali. Jumlah sampel dan pengulangan berdasarkan kriteria WHO tahun 2005.

Menurut WHO (2005) pengukuran pada kelompok-kelompok sampel dilakukan dalam 24 jam dan pembagian pencatatan waktu selama perlakuan yaitu dengan interval waktu 5, 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480, 1440, 2880, dan 4320 menit. Pengukuran berakhir pada menit ke 4320 dengan cara menghitung larva yang mati.

3) Menentukan Nilai LC50 dan LT50

Kelompok perlakuan terdiri dari 1 kontrol negatif, 4 konsentrasi ekstrak akar Kecombrang dan 1 kontrol positif. Tiap kelompok perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 5 kali dan diamati pada menit ke-5, 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480, 1440, 2880, dan 4320. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah larva yang mati kemudian dihitung presentase rata-rata kematian larva pada tiap kelompok perlakuan. Kemudian dari rata-rata kematian masing-masing kelompok perlakuan pada tiap masing-masing


(69)

51

waktu pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis Probit hingga diperoleh nilai LC50 dan LT50.

4) Alur Penelitian

Untuk memperjelas proses penelitian, maka dibutuhkan diagram alur penelitian sebagai berikut :

Gambar 11. Diagram Alir Uji Efek Ekstrak Akar Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai Larvasid

Tiap kelompok dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali

Diamati setiap menit

ke-5, 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480, 1440, 2880, dan 4320

Analisis

Hitung jumlah larva yang mati

Ekstrak akar Kecombrang (100%)

Konsentrasi 0% Konsentrasi 0,25% Konsentrasi 0,5% Konsentrasi 0,75% Konsentrasi 1% Temephos 1% Kelompok 1 (kontrol -) Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5 Kelompok 6 (kontrol +)


(70)

3. Tahap Analisis Data 1) ANOVA satu arah.

Uji varian satu arah digunakan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rata-rata kematian nyamuk Ae. aegypti pada berbagai kelompok konsentrasi ekstrak akar kecombrang (Etlingera elatior). Untuk mengetahui adanya perbedaan antara perlakuan yang diberikan maka digunakan analisis ANOVA satu arah, tetapi bila sebaran data tidak normal atau varians data tidak sama dapat dilakukan uji alternatif yaitu uji Kruskal-Wallis. Uji ini bertujuan untuk mengetahui paling tidak terdapat perbedaan antara dua kelompok perlakuan. Apabila pada uji tersebut didapatkan hasil yang signifikan (bermakna) yaitu p value < 0,05 maka dilakukan analisis post-hoc untuk mengetahui kelompok perlakuan yang bermakna. Uji post-hoc untuk ANOVA satu arah adalah Bonferroni sedangkan untuk uji Kruskal-Wallis adalah Mann Whitney.

2) Uji Probit.

Untuk menilai toksisitas suatu insektisida dapat menggunakan suatu metode pengujian dengan menggunakan analisis probit. Lethal consentration merupakan suatu ukuran untuk mengukur daya racun dari jenis pestisida. Pada uji efektifitas ditunjukan LC50 yang berarti berapa

ppm atau persen konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan. Nilai subletal ditentukan dengan analisis probit. Analisi probit ini diolah dengan menggunakan program SPSS 19.0.


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) mempunyai efek sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III.

2. Konsentrasi yang efektif dalam membunuh larva Aedes aegypti

instar III adalah konsentrasi 1 %.

3. Nilai LC50 ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai

larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III adalah 0,83% pada menit 120; 0,71% pada menit 240; 0,61% pada menit ke-480; 0,54 % pada menit ke-1440; 0,48% pada menit ke-2880, dan 0,44% pada menit ke-4320.

4. Nilai LT50 ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai

larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III adalah 151,81 menit pada konsentrasi 1 %.


(2)

65

B. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, peneliti menyarankan agar :

1. Dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai biolarvasida dengan metode Fraksi n-heksana akar kecombrang yang berfungsi sebagai larvasida alami sebagai pengganti larvasida sintetik.

2. Penelitian dengan menggunakan pelarut lain untuk mendapatkan senyawa lain yang memiliki potensi sebagai larvasida.

3. Ekstrak akar kecombrang diteliti sebagai larvasida pada spesies larva nyamuk lainnya yang berpotensi sebagai vektor penyakit.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, D. 2007. Aplikasi Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia sp. Horan) Sebagai Pengawet Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Aminah, N.S. Sigit,S. Partosoedjono,S. Chairul. 2001. S. lerak, D. metel dan E. prostata sebagai Larvasida Aedes aegypti. Cermin Dunia Kedokteran No. 131

Antoro, E. D. 1995. Skrining Fitokimia Rimpang Nicolaia speciosa Horan Secara Mikrokimiawi Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotmetri UV. FF-UGM. Chan, E.W.C., Lim, Y.Y. & Omar, M. 2007. Antioxidant and antibacterial

activity of leaves of Etlingera species (Zingiberaceae) in Peninsular Malaysia. Food Chemistry 104: pp.1586–1593.

Dadang dan Prijono D. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Departemen Proteksi Tanaman. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Daniel. 2008. Ketika Larva dan Nyamuk Dewasa Sudah Kebal Terhadap Insektisida. FARMACIA. Vol.7 No.7

Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Dirjen POM. Jakarta. Hlm 13-38.

Depkes RI. 2007. INSIDE ( Inspirasi dan Ide) Litbangkes P2B2 vol II : Aedes aegypti Vampir Mini yang Mematikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

Depkes RI. 2010. Pusat Data dan Surveilens Epidemologi Demam Berdarah Dengue 2010. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. hlm 3.

Depkes RI. 2011. Informasi umum Demam Berdarah Dengue. Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI. Jakarta. hlm 1.

Dinata, A. 2009. Mengatasi DBD dengan Kulit Jengkol. www. miqraindonesia.blogspot.com. Diakses tanggal 17 September 2012


(4)

67

Djakaria, S. 2004. Pendahuluan Entomologi. Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-3.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. hlm 343.

Edmi, F.2012. Uji Efektifitas fraksi n-heksana Ekstrak Batang Kecombrang (Etlingera elatior) Sebagai Larvasida Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti.Skripsi.Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Fuhrman, B. dan Aviram, M. 2002. Polyphenols and flavonoids protect LDL against atherogenic modifications. Di dalam : Cadenas, E. dan L. Packer (Eds.). Handbook of Antioxidants, Second Edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York.

Guenther, E. 2006. The Essential Oil. Vol I. Robert W. Kringer, Article Publishing Co., Inc. Huntington, New York.

Gunawan, D. Mulyani, S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta.

Habsah, M., Lajis, N.H., Sukari, M.A., Yap, Y.H., Kikuzaki, H. Nakatani, N. & Ali, A.M.. 2005. Antitumour-Promoting and Cytotoxic Constituentss of Etlingera Elatior. MalaysianJournal of Medical Sciences, Vol12 (1), pp. 6-12.

Halimah. 2010. Uji Fiokimia dan Uji Toksisitas ekstrak tanaman Anting-Anting (acalypha indica Linn) terhadap larva udang (Artemia salina Leach).Skripsi.Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas IslamNegeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Hassanpour S., Sadaghian, M., MaheriSis, N., Eshratkhah, B., & ChaichiSemsari, M. 2011a. Effect of condensed tannin on controlling faecal protein excretion in nematode-infected sheep: in vivo study. J. Amer. Sci., Vol 7(5), pp : 896- 900.

Hassanpour, S., Maheri-Sis, N., Eshratkhah, B., and Mehmandar, F. B.,. 2011b. Plants and secondary metabolites (Tannins): A Review International Journal Forest, Soil and Erosion, Vol. 1 (1):47-53

Hoedojo R, Zulhasril.2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Lee, H. S. 2000. HPLC Analysis of phenolic compounds. Di dalam : Nollet, L. M. L. (Ed.). Food Analysis by HPLC, Second Edition, Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York.

Lestari, Bekti D; Gama Z.P; Rahardi Brian. 2009. Identifikasi Nyamuk Di Kelurahan Sawojajar Kota Malang. http://biologi.ub.ac.id/files/2010 /12/BSS2010ZPGBR.pdf.Diakses Tanggal 18 september 2012.


(5)

Mc Michael T. 2008. Global Warming and public health. paper presented at WHO Reg Office SEARO, New Delhi.

Monica Anjar W.A. 2011. Uji Daya Bunuh Ekstrak Kecombrang (Nicolaia speciosa (Blume) Horan.) terhadap Larva Nyamuk Culex quinquefasciatus Say. Universitas Atmajaya, Jogjakarta.

Naufalin, R. 2005. Kajian Sifat Antimikroba Ekstrak Bunga Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) Terhadap Berbagai Mikroba Patogen dan Perusak Pangan. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut PertanianBogor, Bogor.

Ndione, R.D., Faye, O., Ndiaye, M., Dieye, A., and Afoutou, JM. 2007.Toxic effects of neem products (Azadirachta indica A. Juss) on Aedes aegypti Linnaeus 1762 larvae. In African Journal of Biotechnology Vol. 6 (24), pp. 2846-2854 .

Notoatmodjo, S. 2005a. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta .

Notoatmodjo, S. 2005b. Promosi Kesehatan dan Aplikasi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Raharjo B. 2006. Uji Kerentanan (Susceptibility test) Aedes aegypti (Linnaeus) dari Surabaya, Palembang dan Beberapa Wilayah di Bandung terhadap Larvasida Temephos (Abate 1 SG).Skripsi. Sekolah Ilmu dan Teknologi HayatiITB,Bandung.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerbit ITB, Bandung.

Soedarto. 1992. Atlas Entomologi Kedokteran. EGC. Jakarta

Soegijanto S. 2006. Demam Berdarah Dengue edisi kedua. Surabaya: Airlangga University Press.

Subramanion, J., Sasidharan, S., Sumathy, V., Zuraini, Z. 2010.Pharmacological activity, phytochemical analysis and toxicity of methanol extract of Etlingera elatior (torch ginger) flowers. Asian Pacific Journal of Tropical Medicine , pp.769-774.

Sudarmaja, I.M., Mardihusodo, S. J. 2009. Pemilihan tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti pada air limbah rumah tangga di laboratorium. Vol. 10 ( 4): 205-207.

Sukandar, S., Radiastuti, N., Jayanegara, I., Ningtiyas R. 2011. Karakterisasi Senyawa Antibakteri Ekstrak Air Daun Kecombrang (Etlingera elatior).


(6)

69

Tampubolon, O. T., Suhatsyah, S., dan Sastrapradja, S. 1983. Penelitian Pendahuluan Kandungan Kimia Kecombrang (Nicolaia speciosa Horan)

dalam Risalah Simposium Penelitian Tumbuhan Obat III. Fakultas Farmasi UGM. DIY. Hlm 451-459.

Wulandari, D. N., H. Soetjipto., dan S. P. Hastuti. 2006. Skrining Fitokimia dan Efek Larvasida Ekstrak Biji Kecubung Wulung (Datura metel L.) terhadap Larva Instar III dan IV Aedes aegypti. Berkala Ilmiah Biologi, Vol. 5(2); 101-107.

Yunita, E. A., Nanik H. S., dan Jafron W. H. 2009. Pengaruh Ekstrak Daun Teklan (Eupatorium riparium) terhadap Mortalitas dan Perkembangan Larva Aedes aegypti. BIOMA 11(1); 11-17.