BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ergonomi 2.1.1. Definisi Ergonomi - Gambaran Keluhan Muskuloskletal pada Pekerja Pembuat Tas di Jalan Bajak V Kecamatan Medan Amplas Tahun 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ergonomi

2.1.1. Definisi Ergonomi

  Ergonomi adalah suatu ilmu dimana dalam penerapannya berusaha untuk menyerasikan pekerjaan dan lingkungan terhadap orang atau sebaliknya, yang melalui pemanfaatan faktor manusia seoptimal-optimalnya. Ergonomi adalah komponen kegiatan dalam ruang lingkup hiperkes yang antara lain meliputi penyerasian pekerjaan terhadap tenaga kerja secara timbale balik untuk efisiensi dan kenyamanan kerj (Suma’mur,1989).

  Sasaran ergonomi adalah seluruh tenaga kerja, baik sektor modern, maupun pada sektor tradisional dan informal. Pada sektor modern penerapan ergonomi dalam bentuk pengaturan sikap, tata cara kerja dan perencanaan kerja yang tepat adalah syarat penting bagi efisiensi dan produktivitas kerja yang tinggi. Pada sektor tradisional pada umumnya dilakukan dengan tangan dan memakai peralatan serta dalam sikap-sikap badan dan cara-cara kerja yang secara ergonomi dapat diperbaiki (Suma’mur, 1989).

  Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka. Sasaran penelitian ergonomi adalah manusia pada saat bekerja dalam lingkungan. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ergonomi adalah penyesuaian tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh manusia yang ditujukan untuk menurunkan stress yang akan dihadapi. Upayanya antara lain berupa penyesuaian ukuran tempat kerja dengan dimensi tubuh agar tidak melelahkan, pengaturan suhu, cahaya dan kelembaban sesuai dengan kebutuhan tubuh manusia (Departemen Kesehatan RI, 2007).

  Menurut International Ergonomic Association (IEA), ergonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ergon yang artinya kerja dan nomos yang artinya hukum alam, sehingga ergonomi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara mengaplikasikan teori, prinsip, data dan metode untuk merancang suatu sistem yang optimal, dilihat dari sisi manusia dan kinerjanya (Nurmianto, 2008).

  Ergonomi adalah praktek dalam mendisain peralatan dan rincian pekerjaan sesuai dengan kapasitas pekerja dengan tujuan untuk mencegah cidera pada pekerja (OSHA, 2010). Ergonomi juga didefinisikan sebagai suatu penerapan ilmu pengetahuan yang lebih menitik-beratkan rancangan fasilitas peralatan, perkakas sesuai dengan karakteristik anatomi, fisiologi, biomekanik, persepsi serta sikap kebiasaan manusia (NIOSH, 2007).

  Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan segala kemampuan, kebolehan dan keterbatasan manusia secara fisik maupun mental sehingga dicapai suatu kualitas hidup secara keseluruhan yang lebih baik (Tarwaka, 2010).

2.1.2. Ruang Lingkup Ergonomi

  Ruang lingkup ergonomi tidak hanya sebatas bagaiman cara mengatur posisi kerja yang baik, namun juga mencakup tehnik, antropometri, dan disain. Pusat Kesehatan dan Keselamatan Kerja Departemen Kesehatan RI (2008), menyatakan bahwa ruang lingkup ergonomi mencakup beberapa aspek keilmuan yaitu:

  1. Tehnik, yaitu cara-cara melakukan pekerjaan dengan baik sehingga dapat 2.

  Fisik, yaitu dimana penampilan seseorang mencerminkan keseimbangan antara kemampuan tubuhnya dengan tuntutan tugas. Apabila tuntutan tugas lebih besar daripada kemampuan tubuh maka akan terjadi ketidaknyamanan, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit, serta menurunya produktivitas. Sebaliknya, apabila tuntutan tugas lebih kecil dari kemampuan tubuh, akan terjadi understress, seperti kejenuhan, kebosanan, kelesuhan, kurang produktif dan sakit.

  3. Anatomi, yaitu berhubungan dengan kekuatan dan gerakan otot dan persendian.

  4. Antropometri, yaitu suatu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan karakteristik fisik tubuh manusia yang meliputi ukuran, bentuk dan kekuatan yang nantinya berfungsi untuk mendisain tempat kerja seseorang.

  5. Fisiologi, yaitu berhubungan dengan fungsi-fungsi dan kerja tubuh, seperti temperature tubuh, oksigen yang didapat saat bekerja, aktifitas otot dan lain- lain.

6. Disain, yaitu berupa perancangan tempat kerja yang sesuai dengan pekerja supaya dapat bekerja secara layak, aman dan nyaman.

2.1.3. Tujuan Ergonomi

  Tujuan penerapan perilaku ergonomi yang baik adalah untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja di suatu instansi, organisasi ataupun tempat-tempat manusia melakukan aktivitasnya. Menurut Santoso (2004), ada empat tujuan utama keselamatan kerja, menganjurkan agar bekerja aman, nyaman dan bersemangat, dan memaksimalkan bentuk kerja yang meyakinkan.

  Menurut Tarwaka (2004), ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penerapan ergonomi, antara lain sebagai berikut:

  1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cidera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.

  2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial dan mengkoordinasi kerja secara tepat, guna meningkatkan jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.

  3. Menciptakan keseimbangan rasional antara aspek teknis, ekonomis, dan antropologis dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi.

2.2. Sikap Kerja

  Sikap kerja adalah sikap tubuh yang menggambarkan bagaimana posisi badan, kepala badan, tangan dan kaki baik dalam hubungan antar bagian-bagian tersebut maupun letak pusat gravitasinya. Faktor-faktor yang paling berpengaruh meliputi sudut persendian, inklinasi vertical badan, kepala, tangan dan kaki serta derajat penambahan atau penguranngan bentuk kurva tulang belakang. dilakukan, dimana setiap posisi kerja memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap tubuh. Menurut Suma’mur (1996), dalam pekerja, sikap tubuh sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan tata letak peralatan seperti macam gerak, arah dan kekuatan.

2.2.1. Sikap Kerja Duduk

  Menurut Grandjean (2000), bekerja dengan posisi duduk mempunyai keuntungan antara lain : pembebanan pada kaki, pemakaian energi dan keperluan untuk sirkulasi darah dapat dikurangi. Namun demikian sikap duduk yang terlalu lama dapat menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang akan melengkung sehingga mempercepat kelelahan.

  Pada saat posisi duduk, otot rangka (muskuloskletal) dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar dari rasa nyeri dan cepat lelah. Jika posisi duduk tidak benar maka tekanan pada tulang belakang semakin meningkat (Nurmianto, 2008).

  Sanders & McCormick (1982) memberikan pedoman untuk mengatur ketinggian landasan kerja pada posisi duduk sebagai berikut :

  1. Jika memungkinkan menyediakan meja yang dapat diukur turun dan naik.

  2. Landasan kerja memungkinkan lengan menggantung pada posisi rileks dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horizontal atau sedikit menurun (shoping

  down slightly ).

  berlebihan.

  Pekerjaan sejauh mungkin sebaiknya dilakukan sambil duduk. Keuntungan bekerja sambil duduk adalah mengurangi kelelahan pada kaki, terhindar dari sikap- sikap yang tidak alamiah, berkurangnya pemakaian energi, berkurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah (Suma’mur,1989)

2.2.2. Sikap Kerja Berdiri

  Menurut Sutalaksana (2001), sikap berdiri merupakan sikap siaga baik fisik, maupun mental, sehingga aktivitas kerja yang dilakukan lebih cepat, kuat dan teliti.

  Pada dasarnya berdiri itu sendiri lebih melelahkan daripada duduk dan energi yang dikeluarkan untuk berdiri lebih banyak 10-15% dibandingkan dengan duduk.

  Salah satu hal yang harus diperhatikan oleh pekerja yang berdiri adalah sikap kepala. Dimana keadaan kepala harus member kemudahan saat bekerja. Leher yang berada dalam keadaan fleksi atau ekstensi secara terus menerus dapat mengakibatkan kelelahan. Sudut penglihatan yang baik untuk sikap berdiri adalah antara 23°-27° kea rah bawah dari garis horizontal. Manuaba (1983), Sanders & McCormick (1982), Grandjean (1993) memberikan rekomendasi ergonomis tentang ketinggian landasan kerja posisi berdiri didasarkan pada ketinggian siku berdiri sebagai berikut ini : 1.

  Untuk pekerjaan memerlukan ketelitian dengan maksud untuk mengurangi pembebanan statis pada otot bagian belakang, ketinggian landasan kerja adalah 5- 10 cm di atas tinggi siku berdiri. Selama kerja manual, di mana pekerja sering memerlukan ruangan untuk peralatan, material dan kontainer dengan berbagai jenis, ketinggian landasan kerja adalah 10-15 cm di bawah tinggi siku berdiri.

3. Untuk pekerjaan yang memerlukan penekanan yang kuat, ketinggian landasan kerja adalah 15-40 cm di bawah tinggi siku berdiri.

  Sikap kerja yang monoton dengan posisi yang sama baik duduk maupun berdiri dapat mengakibatkan ketidaknyamanan. Orang yang bekerja berdiri dalam waktu yang lama akan berusaha untuk menyeimbangkan posisi tubuhnya sehingga mengakibatkan terjadinya beban kerja statis pada otot-otot punggung dan kaki sehingga akan berakibat aliran darah akan mengumpul pada anggota tubuh bagian bawah.

2.3. Sikap Tubuh Alamiah

  Baird dalam Merulalia (2010), mengemukakan bahwa sikap tubuh yang alamiah merupakan sikap atau postur tubuh yang sesuai dengan anatomi tubuh selama proses kerja, sehingga tidak ada pergeseran maupun penekanan pada bagian-bagian penting organ tubuh yang akhirnya tercapai suatu keadaan tubuh yang rileks tanpa adanya keluhan muskuloskletal ataupun keluhan lainnya. melakukan pekerjaan dalam kurun waktu yang cukup lama dan dilakukan terus menerus akan mengakibatkan berbagai gangguan pada pekerja antara lain:

  1. Rasa sakit pada bagian-bagian tertentu sesuai jenis pekerjaan yang dilakukan seperti pada tangan, kaki, perut, punggung, pinggang, leher, dan lain-lain.

  2. Menurunnya motivasi dan kenyamanan kerja.

  3. Gangguan gerakan pada bagian tubuh tertentu, misalnya kesulitan menggerakkan kaki, tangan maupun leher/kepala.

  4. Jika berkepanjangan, dapat mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk tubuh (tulang miring, bongkok).

2.4. Mekanika Tubuh

  Mekanika tubuh adalah suatu usaha mengkoordinasikan sistem muskuloskletal dan sistem saraf dalam mempertahankan keseimbangan, postur, dan kesejajaran tubuh selama mengangkat, membungkuk, bergerak, dan melakukan aktifitas sehari-hari. Penggunaan mekanika tubuh yang tepat dapat mengurangi resiko cidera pada sistem muskuloskletal. Selain itu, mekanika tubuh juga berfungsi untuk mendukung pergerakan tubuh yang memungkinkan mobilisasi fisik tanpa terjadi ketegangan otot dan penggunaan energi otot yang berlebihan (Potter & Perry, 2006).

  Mekanika tubuh meliputi kesejajaran tubuh, keseimbangan tubuh, dan koordinasi gerakan tubuh. Kesejajaran tubuh (postur tubuh) mengacu pada posisi sendi, tendon, ligamen dan otot selama berdiri, duduk dan berbaring, dimana jika dilakukan dengan benar dapat mengurangi ketegangan pada struktur muskuloskletal, Keseimbangan tubuh diperlukan untuk mempertahankan posisi, memperoleh kestabilan selama bergerak dari satu posisi ke posisi lain, dan melakukan aktifitas sehari-hari. Koordinasi gerakan tubuh merupakan fungsi yang terinteraksi dari sistem skletal, otot skelet, dan sistem saraf (Potter & Perry, 2006).

2.5. Gangguan Muskuloskeletal

2.5.1. Definisi Gangguan Muskuloskeletal

  Gangguan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot rangka (skletal) yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit, apabila otot menerima beban statis secara berulang dalam waktu yang lama akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen, dan tendon (Tarwaka, 2004). Keluhan inilah yang yang disebut dengan istilah keluhan muskuloskletal atau Muskuloskletal Disorders (MSDs) atau cidera pada sistem muskuloskletal.

  Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun kemudian keluhan itu akan segera hilang apabila pemberian beban dihentikan.

2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang yang bersifat menetap .

  walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot Pada umumnya keluhan otot skletal terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan waktu lama dan bersifat monoton. Kemungkinan adanya keluhan otot ini dapat dihindari apabila kontraksi otot berkisar antara 15-20% dari kekuatan otot maksimum. Namun jika kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah dari otot akan berkurang sesuai tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang diperlukan. Hal ini mengakibatkan suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat juga terhambat dan akhirnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan timbul nya rasa nyeri pada otot (Suma’mur,1989).

  Harianto (2010), mengatakan bahwa rasa nyeri di daerah leher, bagian atas punggung, bahu, lengan atau tangan merupakan gejala yang sering dirasakan oleh pekerja. Biasanya dimulai dari suatu tempat tertentu yang dapat menyebar ke seluruh anggota tubuh bagian atas dan kadang-kadang diikuti oleh gangguan sensibilitas.

  Dijelaskan juga bahwa kerja otot dinamis selalu diikuti oleh relaksasi otot sesaat. Pada saat kontraksi otot akan bekerja sebagai pompa pembuluh darah balik guna memeras darah keluar dari otot. Sebaliknya, pada saat relaksasi otot akan memberikan peluang aliran darah segar memasuki otot. Dengan demikian suplai darah menjadi 10-20 kali lebih besar dari keadaan normal. Otot akan penuh dengan darah yang banyak mengandung sari makanan dan O

  2 . Sementara itu metabolit yang

  dihasilkan dapat dibersihkan dan dibuang tanpa menimbulkan kelelahan otot. Pada kerja otot statis, peredaran darah terhambat karena pembuluh darah otot terjepit oleh tekanan internal jaringan otot, sehingga kerja otot hanya mengandalkan cadangan sari metabolisme (asam laktat) terakumulasi di sel-sel otot, sehingga kelelahan otot terjadi dengan cepat.

  Menurut Suma ’mur (1996), gejala-gejala Musculoscletal Disorders (MSDs) yang biasa dirasakan oleh seseorang adalah:

  1. Leher dan punggung terasa kaku.

  2. Bahu terasa nyeri, kaku ataupun kehilangan fleksibelitas.

  3. Tangan dan kaki terasa nyeri seperti tertusuk.

  4. Siku ataupun mata kaki mengalami sakit, bengkak dan kaku.

  5. Tangan dan pergelangan tangan merasakan gejala sakit atau nyeri disertai bengkak.

  6. Mati rasa, terasa dingin, rasa terbakar ataupun tidak kuat.

  7. Jari menjadi kehilangan mobilitasnya, kaku dan kehilangan kekuatan serta kehilangan kepekaan.

  8. Kaki dan tumit merasakan kesemutan, dingin, kaku ataupun sensasi rasa panas.

  Gambaran gejala Muskuloskletal Disorders (MSDs) dapat diperoleh dengan menggunakan Nordic Body Map (NBM) dengan tingkat keluhan mulai dari rasa tidak nyaman (sedikit sakit), sakit hingga sangat sakit. Dengan melihat dan menganalisis peta tubuh (NBM) maka dapat diestimasi tingkat dan jenis keluhan otot skelektal yang dirasakan oleh pekerja. Cara ini sangat sederhana, namun kurang teliti karena mengandung nilai subjektifitas yang tinggi (Kuorinka et al, 1997).

  Hubungan sebab akibat faktor penyebab timbulnya MSDs sulit untuk dijelaskan secara pasti. Namun ada beberapa faktor risiko tertentu yang selalu ada dan berhubungan atau turut berperan dalam menimbulkan MSDs. Faktor-faktor risiko tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu pekerjaan, lingkungan dan manusia atau pekerja (Pheasant, 1991; Oborne, 1995) dan ditambah lagi dengan faktor psikososial (Susan Stock, et al, 2005).

1. Faktor Pekerjaan a.

  Postur Kerja Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiahnya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi, semakin tinggi pula terjadi keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah pada umumnya karena ketidaksesuaian pekerjaan dengan kemampuan pekerja (Grandjen, 1993).

  Berdasarkan hasil penilitian Hendra dan Raharjo (2008), diperoleh bahwa skor risiko (REBA) pada pekerjaan pemuatan kelapa sawit ke dalam truk sebesar 8-10/high risk, dan 83,7% dari 117 pekerja merasakan keluhan MSDs pada leher dan punggung bawah. Adapun postur-postur janggal adalah sebagai berikut : Berdiri. Duduk tanpa dukungan lumbar. Duduk tanpa footrest (tumpuan kaki) yang baik dengan ketinggian yang sesuai.

  Duduk dengan mengistirahatkan bahu pada permukaan alat kerja yang terlalu tinggi.

  Tangan bagian atas terangkat tanpa dukungan dari alas vertikal. Kepala mendongak. Posisi membungkuk, punggung yang mengarah ke depan. Membawa beban berat dengan cara memanggul atau memikul. Semua posisi tegang. Posisi ekstrim yang terus menerus pada setiap sendi.

  Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja dimana aktivitas kerjanya menuntut pergerakan tenaga yang besar dan apabila terjadi secara terus menerus, dapat meningkatkan terjadinya keluhan otot bahkan dapat menyebabkan cedera otot skletal.

  b.

  Tekanan.

  Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak, sebagai contoh pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat, dan apabila hal ini sering terjadi, dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap.

  c.

  Getaran.

  Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Suma’mur, 1989).

  Mikrolimat.

  Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan, dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlalu besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan terpakai oleh tubuh untuk beradaptasi terhadap lingkungan tersebut. Apabila tidak diimbangi dengan pemasukan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan energi otot dan akan berakibat peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen ke otot menurun sehingga metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeeri otot (Astrand & Rohl, 1977).

2. Aktivitas berulang

  Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus seperti pekerjaan mencangkul, membelah kayu besar, angkat-angkut, dsb. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan relaksasi.

3. Sikap kerja tidak alamiah

  Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang mengakibatkan pergerakan posisi bagian-bagian tubuh menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat, dsb. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan muskuloskletal. Penyebab kombinasi

  Risiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat apabila disaat bekerja, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor risiko dalam waktu yang bersamaan, misalnya pekerjaan yang harus melakukan aktivitas angkat angkut di bawah tekanan panas matahari seperti yang dilakukan pekerja bangunan.

  Disamping ke-empat faktor penyebab terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal tersebut di atas, beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh dapat menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skeletal (Tarwaka, 2004).

  a.

  Umur.

  Chaffin (1979) dan Guo et al.(1995) menyatakan bahwa pada umumnya keluhan muskuloskeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 26-65 tahun.

  Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. b.

  Jenis kelamin.

  Secara fisiologis kemampuan otot wanita memang lebih rendah daripada pria. Hasil penelitian Bettie at.al (1989) menunjukkan bahwa rata-rata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60 % kekuatan otot pria, khususnya untuk otot lengan, punggung dan kaki.

  c.

  Kebiasaan merokok. merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot.

  d.

  Kesegaran Jasmani Pada umumnya keluhan otot jarang dialami oleh seseorang yang dalam aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk beristirahat.

  Sebaliknya, apabila dalam pekerjaan tenaga yang diperlukan pekerja tersebut besar tetapi waktu untuk istirahatnya tidak cukup maka akan sering mengalami keluhan otot. Tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot. Keluhan otot akan meningkat sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik.

  e.

  Kekuatan fisik.

  Chaffin and Park (1973) yang dilaporkan oleh NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan punggung yang tajam pada pekerja yang melakukan tugas yang menuntut kekuatan melebihi batas kekuatan otot. f.

  Ukuran tubuh (antropometri).

  Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan dan massa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal. Vessy at.al (1990) menyatakan bahwa wanita gemuk memiliki resiko 3 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita kurus.

2.6. Nordic Body Map

  untuk mengukur rasa sakit otot pada pekerja (Wilson and Corlett, 1995). Untuk mengetahui letak rasa sakit atau ketidaknyamanan pada tubuh pekerja dapat digunakan kuesioner Nordic Body Map sebagai salah satu bentuk kuesioner checlist ergonomi yang sudah terstandarisasi.

  Joanne O. Crawford dalam Jurnal Oxford (2007), mengemukakan bahwa

  

Nordic Body Map dapat digunakan sebagai kuesioner atau sebagai wawancara

  terstruktur. Namun, frekuensi jauh lebih tinggi dari masalah muskuloskeletal yang dilaporkan saat kuesioner diberikan sebagai bagian dari studi difokuskan pada isu-isu muskuloskeletal dan faktor kerja dibandingkan bila diberikan sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan berkala secara umum.

  Kuesioner ini menggunakan gambar tubuh manusia yang sudah dibagi menjadi 9 bagian utama, yaitu leher, bahu, punggung bagian atas, siku, punggung bagian bawah, pergelangan tangan/tangan, pinggang/pantat, lutut dan tumit/kaki (Kroemer, 2001). Adapun gambarnya sebagai berikut:

  0.leher bagian atas 1 leher bagian bawah 2 bahu kiri

  3 Sakit di bahu kanan 4 lengan atas kiri 5 punggung 6 lengan atas kanan 7 pinggang 8 bokong 9 pantat

10 Siku kiri

  11 Siku kanan 12 lengan bawah kiri 13 lengan bawah kanan 14 pergelangan tangan kiri 15 pergelangan tangan kanan 16 jari-jari tangan kiri 17 jari-jari tangan kanan 18 paha kiri 19 paha kanan 20 lutut kiri 21 lutut kanan 22 betis kiri 23 betis kanan 24 pergelangan kaki kiri 25 pergelangan kaki kanan 26 jari kaki kiri 27 jari kaki kanan

  Gambar 1. Nordic Body Map

2.7. Industri Informal

  Industri informal adalah unit usaha kecil yang melakukan kegiatan produksi dan/atau distribusi barang dan jasa untuk menciptakan lapangan kerja dan penghasilan bagi mereka yang terlibat unit tersebut, bekerja dengan keterbatasan, baik modal, fisik, tenaga maupun keahlian (KBBI, 2010).

  Menurut Notoatmodjo (1989) dalam Departemen Kesehatan RI (1994) sebagai sektor kegiatan ekonomi marginal atau kegiatan ekonomi kecil-kecilan.

  Biasanya dikaitkan dengan usaha kerajinan tangan dagang, atau usaha lain secara kecil-kecilan.

  Menurut Simanjuntak (1985) dalam Depkes RI (1994), sektor informal adalah kegiatan ekonomi tradisional, yaitu usaha-usaha ekonomi di luar sektor modern atau sektor formal seperti perusahaan, pabrik dan sebagainya, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Kegiatan usaha biasanya sederhana, tidak tergantung pada kerja sama banyak orang bahkan kadang-kadang usaha perorangan dan sistem pembagian kerja yang tidak ketat.

  2. Skala usaha relatif kecil, biasanya dimulai dengan modal dan usaha-usaha kecil-kecilan.

  3. Biasanya tidak mempunyai izin usaha seperti halnya Firma, Perseroan Terbatas atau CV.

  4. Sebagai akibat yang pertama, kedua dan ketiga membuka usaha disektor informal relatif lebih mudah daripada formal.

  Timbulnya sektor informal adalah akibat dari meluapnya atau membengkaknya angkatan kerja disatu pihak dan menyempitnya lapangan kerja dipihak yang lain. Hal ini berarti bahwa lapangan kerja yang tersedia tidak cukup menampung angkatan kerja yang ada. Permasalahan ini menimbulkan banyaknya penganggur dan setengan penganggur. Oleh karenanya, secara naluri masyarakat ini berusaha kecil-kecilan sesuai dengan kebiasaan mereka. Inilah yang memunculkan

  Dalam kelompok masyarakat desa dan kota terdapat perbedaan tantangan hidup. Oleh karenanya sektor informal dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu (Depkes RI, 1994): 1.

  Kelompok sektor informal desa Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di desa pada umumnya meliputi bidang pertanian/perikanan, perkebunan dan kerajinan tangan seperti anyaman, menyulam, pembuatan tempe/tahu, keramik dan sebagainya.

2. Kelompok sektor informal kota

  Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di kota pada umumnya meliputi bidang-bidang perdagangan (pedagang baso, warung nasi, jamu gendong, pedagang es, tukang koran dan pedagang bermacam-macam minuman dan makanan baik keliling maupun disuatu tempat), kerajinan tangan (tukang jahit, tukang bordir, pembuat dan penjaja mainan anak-anak, pemahat, dan sebagainya), bidang jasa seperti tukang tambal ban, tukang jam, tukang becak, dan bermacam-macam usaha perantara atau calo, bidang keuangan seperti tukang membungan uang atau “rentenir”. Disamping itu sekarang ini pemulung juga diperhitungan sebagai usaha sektor informal di kota.

  Menurut Departemen Kesehatan RI (2002), sektor informal adalah kegiatan ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun penerimaanya.

  Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang diterapkan oleh pemerintah.

  3. Modal, peraturan dan perlengkapan maupun pemasukan biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian.

  4. Pada umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan tidak terpisah dengan tempat tinggal.

  5. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar.

  6. Pada umumnya dilakukan oleh golongan masyarakat yang berpendapatan rendah.

  7. Tidak selalu membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan. Menurut ICHOIS (1997), gambaran umum industri sektor informal mempunyai mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Timbulnya resiko bahaya pekerjaan yang tinggi.

  2. Keterbatasan sumber daya dalam mengubah lingkungan kerja dan menentukan pelayanan kesehatan kerja yang adekuat.

  3. Rendahnya kesadaran terhadap faktor-faktor resiko kesehatan kerja.

  4. Kondisi pekerjaan yang tidak ergonomis, kerja fisik yang berat dan jam kerja yang panjang.

  5. Pembagian kerja di struktur yang beraneka ragam dan rendahnya pengawasan manajemen serta pencegahan bahaya-bahaya pekerjaan.

  6. Anggota keluarga sering kali terpajan bahaya-bahaya akibat kerja.

  Masalah perlindungan lingkungan tidak terpecahkan dengan baik.

  8. Kurangnya pemeliharaan kesehatan, jaminan keamanan, social (asuransi kesehatan) dan fasilitas kesejahteraan.

2.8. Kerangka Konsep Pekerja Pembuat tas

  Keluhan Muskuloskletal

Dokumen yang terkait

Gambaran Keluhan Muskuloskletal pada Pekerja Pembuat Tas di Jalan Bajak V Kecamatan Medan Amplas Tahun 2013

1 44 84

Gambaran Tingkat Risiko Ergonomi Terhadap Terjadinya Keluhan MSDs Pada Pekerja Mekanik di Unit Produksi TCW PT GMF AeroAsia Tahun 2015

0 12 204

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menstruasi 2.1.1. Definisi Menstruasi - Gambaran Pola Menstruasi pada Siswi SMA As-Syafi’iyah Medan Tahun 2014

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sales Promotion Girl 2.1.1. Definisi - Keluhan Musculoskeletal Disorders (MSDs) pada Sales Promotion Girl (SPG) Pengguna Sepatu Hak Tinggi di Suzuya Medan Plaza pada Tahun 2015

0 0 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ergonomi 2.1.1 Defenisi Ergonomi - Hubungan Sikap Kerja dengan Keluhan Musculoskeletal pada Penyortir Tembakau di Gudang Sortasi Tembakau Kebun Klumpang SUTK PTPN II Tahun 2015

0 1 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gizi 2.1.1. Definisi Gizi - Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu terhadap Status Gizi Anak Balita di RSUP.H.Adam Malik, Medan Tahun 2013

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis 2.1.1. Definisi Tuberkulosis - Gambaran Peran Serta Petugas Kesehatan Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Kelurahan Gambir Baru Kecamatan Kisaran Timur Tahun 2014

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pernafasan 2.1.1. Definisi Pernafasan - Gambaran Gejala Pernafasan Pada Pekerja Bagian Quality Control Pabrik Pengolahan Crude Palm Oil (Cpo) Pt.Smart,Tbk Di Belawan Tahun 2013

0 0 21

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kejang Demam 2.1.1. Definisi - Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Yang Berobat Jalan Di Puskesmas Amplas Mengenai Kejang Demam pada Tahun 2014

0 1 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Miopia 2.1.1. Definisi - Gambaran Faktor Risiko yang Menyebabkan Terjadinya Miopia pada Siswa SMA Shafiyyatul Amaliyyah Medan Tahun 2013

0 4 19