BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kejang Demam 2.1.1. Definisi - Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Yang Berobat Jalan Di Puskesmas Amplas Mengenai Kejang Demam pada Tahun 2014

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kejang Demam

  2.1.1. Definisi

  Kejang demam adalah kejang yang disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih

  o

  dari 38,4 C tanpa adanya infeksi susunan saraf pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat kejang sebelumnya (IDAI, 2009).

  2.1.2. Faktor Risiko

  Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et al, 2009) .

  Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009) Riwayat kejang demam dalam keluarga

  • Usia kurang dari 18 bulan
  • Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin
  • sering berulang Lamanya demam.
  • Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI, 2009)

  Adanya gangguan perkembangan neurologis

  • kejang demam kompleks
  • riwayat epilepsi dalam keluarga
  • lamanya demam
  • 2.1.3. Epidemiologi

  Kejang demam terjadi pada waktu anak berusia antara 3 bulan hingga 5 tahun. Di Amerika insidensinya 2%-5% anak dengan usia dibawah 5 tahun. Sedangkan di Asia insidensinya meningkat dua kali lipat, seperti di jepang berkisar 8,3% - 9,9% bahkan di kepulauan Guam sudah mencapai 14%. (Sapiman, 2005)

  Pada umumnya kasus kejang demam sembuh sempurna, sebagian kecil berkembang menjadi epilepsi (2%-7%), dengan angka kematian 0,64%-0,75%. Maka dari itu prognosis kejang demam biasanya baik .(Knudzen, 2010)

  2.1.4. Etiologi

  Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu

  

o

  tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8 C dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong L, 2008).

  Jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam yang dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih ( Soetomenggolo,2000).

  2.1.5. Klasifikasi

  Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia (Lumbantobing, 2004).

  Studi epidemiologi membagi kejang demam menjadi 3 bagian yaitu: kejang demam sederhana, kejang demam kompleks, dan kejang demam berulang (Baumann, 2001).

  Berikut penjelasannya menurut Soetomenggolo (2010) mengenai klasifikasi kejang demam : kejang demam kompleks ialah kejang demam yang lebih lama dari 15

  • menit, fokal atau multiple (lebih dari 1 kali kejang per episode demam).

  Kejang demam sederhana ialah kejang demam yang bukan kompleks.

  • satu episode demam. Epilepsi ialah kejang tanpa demam yang terjadi lebih dari satu kali

  Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari

2.1.6. Patofisiologi

  Terjadinya infeksi di ekstrakranial seperti otitis media akut, tonsillitis dan bronchitis dapat menyebabkan bakteri yang bersifat toksik tumbuh dengan cepat, toksik yang dihasilkan dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui hematogen dan limfogen. Pada keadaan ini tubuh mengalami inflamasi sistemik. Dan hipotalamus akan merespon dengan menaikkan pengaturan suhu tubuh sebagai tanda tubuh dalam bahaya secara sistemik. Disaat tubuh mengalami peningkatan suhu 1°C secara fisiologi tubuh akan menaikkan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.

  Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38°C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.

  Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2002).

  2.1.7. Manifestasi Klinis

  kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti hemiparesis sementara (Hemeparesis Tood) yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang berulang dalam 24 jam ditemukan pada 16% paisen (Soetomenggolo, 2000).

  Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 39°C atau lebih. Kejang khas yang menyeluruh, tonik-klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca-kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang memerlukan pengamatan menyeluruh (Nelson, 2000).

  2.1.8. Diagnosa

  Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang demam antara lain:

  1. Anamnesis, dibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis ke arah kejang demam, seperti: (Dewanto et al, 2009, dalam Pohan, 2010)

  • sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar susunan saraf pusat.

  Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu

  • genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39° C.

  Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti

  • adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam akomlpeks.

  Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang

  2. Gambaran Klinis, yang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah: (Dewanto et al, 2009, dalam Pohan, 2010) Suhu tubuh mencapai 39°C.

  • Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang
  • Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan
  • mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung pada jenis kejang.

  Kulit pucat dan mungkin menjadi biru.

  • Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar.
  • 3. Pemeriksaan fisik dan laboratorium

  Kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik neurologi berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari (Soetomenggolo, 2000).

  2.1.9. Diagnosa Banding

  Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiperesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan kejang demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat, dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam (Soetomenggolo, 2000).

  2.1.10. Penatalaksanaan

  Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:

1. Pengobatan fase akut

  Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila muntah untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pengisapan lendir dilakukan secra teratur, diberikan oksiegen, kalau perlu dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital sperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama dengan pemberian secara intravena atau intrarektal (Soetomenggolo, 2000).

  Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan utuk mencari penyebab (Soetomenggolo, 2000).

3. Pengobatan Profilaksis

  Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila kejang demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang menetap (cacat). Adapun 3 upaya yang dapat dilakukan: - Profilaksis intermitten, pada waktu demam.

  • Profilaksis terus-menerus, dengan obat antikonvulsan tiap hari - Mengatasi segera bila terjadi kejang.

  Profilaksis intermitten

  Antikonvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam dengan ketentuan orangtua pasien atau pengasuh mengetahui dengan cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat diabsorpsi dan cepat masuk ke otak. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih baik kerena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5°C atau lebih. Diazepam dapat pula diberikan sacara oral dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ hari dibagi dalam 3 dosis pada waktu pasien demam. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk, dan hipotonia (Soetomenggolo, 2000).

  Profilaksis terus- menerus dengan antikonvulasan tiap hari

  Pemberian fenobarbital 4-5 mg/kg BB/hari dengan kadar darah sebesar 16 mgug/ml dalam darh menunjukkan hasil yang bermakna untuk mencegah berulanggnya kejang demam. Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam adalah asam valproat yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan efek fenobarbital tetapi kadang-kadang menunjukkan efek samping hepatotoksik. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg BB/hari. Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah terjandinya epilepsi di kemudian hari (Soetomenggolo, 2000).

  Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang

  dapat dipakai untuk pemberian terapi rumat. Profilaksis tiap hari dapat diberi pada keadaan berikut:

  1. Bila terdapat kelainan perkembangan neurologi (misalnya cerebral palsy, retardasi mental, mikrosefali).

  2. Bila kejang demam berlangsung lama dari 15 menit, bersifat fokal, atau diikuti kelainan neurologis sepintas atau menetap.

  3. Terdapat riwayat kejang-tanpa-demam yang bersifat genetik pada orang tua atau saudara kandung.

  Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang , hindarilah rasa panik dan lakukanlah langkah-langkah pertolongan sebagai berikut :

  1. Telungkupkan dan palingkan wajah ke samping

  2. Ganjal perut dengan bantal agar tidak tersedak

  3. Lepaskan seluruh pakaian dan basahi tubuhnya dengan air dingin. Langkah ini diperlukan untuk membantu menurunkan suhu badanya.

  4. Bila anak balita muntah, bersihkan mulutnya dengan jari.

  5. Walupun anak telah pulih kondisinya, sebaiknya tetap dibawa ke dokter agar dapat ditangani lebih lanjut (Widjaja, 2001).

2.2. PENGETAHUAN

  2.2.1. Defenisi

  Pengetahuan adalah proses belajar dan mengetahui apa yang terjadi dalam cara yang dapat diramalkan (Kaplan, 1998). Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Sudigdo, 2006).

  2.2.2. Tingkat Pengetahuan

  Menurut Sudigdo, (2006) pegetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat yaitu: a)

  Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,yang termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu apa yang dipelajarinya, antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

  Memahami (Comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

  c) Aplikasi (Application)

  Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi ini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

  d) Analisis (Analysis)

  Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.

  e) Sintesis (Synthesis)

  Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun, merecanakan, meringkaskan, dan dapat menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusanrumusan yang telah ada.

  f) Evaluasi (Evaluation) justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian- penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.1.3. Pengukuran Pengetahuan

  Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan tingkatan domain diatas (Notoatmodjo, 2003) Beberapa teori lain yang telah dicoba untuk mengungkapkan determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain teori Lawrence Green (Green, dalam Notoatmodjo, 2003). Mencoba menganalisa perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi perilaku (non behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau dibentuk dari 3 faktor, yaitu :

  a) Faktor-faktor pengaruh (predisposing factor) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, dan nilai–nilai.

  b) Faktor-faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.

  c) Faktor–faktor penguat (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan.

Dokumen yang terkait

Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Yang Berobat Jalan Di Puskesmas Amplas Mengenai Kejang Demam pada Tahun 2014

0 50 80

Tingkat Pengetahuan Ibu yang Berkunjung ke Poliklinik Anak RSUP Haji Adam Malik Medan Tentang Kejang Demam pada Anak

0 53 96

Gambaran Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Mengenai Kejang Demam pada Anak di Kelurahan Tembung Tahun 2010.

13 61 72

Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu Mengenai Kejang Demam di Puskesmas Ciputat Timur 2012

1 9 66

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menstruasi 2.1.1. Definisi Menstruasi - Gambaran Pola Menstruasi pada Siswi SMA As-Syafi’iyah Medan Tahun 2014

0 0 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam Berdarah Dengue 2.1.1. Pengertian - Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bajenis Kota Tebing Tinggi Tahun 2014

0 1 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi OA. - Gambaran Gaya Hidup Pada Penderita Osteoartritis Yang Berobat Jalan Di Poliklinik Reumatologi Rsud Dr. Pirngadi Medan Tahun 2014

0 0 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Osteoartritis - Gambaran Pengetahuan dan Faktor Risiko Pada Pasien Osteoartritis Yang Berobat Jalan di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2014

0 0 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kinerja 2.1.1. Definisi Kinerja - Determinan Kinerja Petugas Kesehatan Ibu Dan Anak (KIA) Di Puskesmas Kota MedanTahun 2014

0 1 19

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Demam Tifoid 2.1.1. Definisi - Profil Penderita Demam Tifoid pada Orang Dewasa di RSUD dr. Pirngadi Medan pada April 2012 – April 2013

0 0 13