BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ulat Sutera (Bombyx mori L.) 2.1.1. Klasifikasi Ulat Sutera (Bombyx mori L.) - Pengaruh Kualitas Daun Murbei Morus cathayana Terhadap Indeks Nutrisi Ulat Sutera Bombyx mori L. (Lepidoptera:Bombicidae)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ulat Sutera (Bombyx mori

   L.)

2.1.1. Klasifikasi Ulat Sutera (Bombyx mori

   L.)

  Menurut Borror et al., 1992, Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan serangga yang memiliki keuntungan yang ekonomis bagi manusia karena mampu menghasilkan benang sutera.

  Gamabar 1. Ulat sutera (Bombyx mori L.) Klasifikasi dari Bombyx mori L. adalah sebagai berikut:

  Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata Klass : Insecta Sub Klass : Pterygota Ordo : Lepidoptera Family : Bombycidae Genus : Bombyx Spesies : Bombyx mori L.

  Ulat sutera adalah serangga penghasil benang sutera yang siklus hidupnya mengalami metamorfosa sempurna yaitu dari larva (ulat), pupa sampai dengan kupu-kupu. Pengetahuan mengenai cara melakukan pemeliharaan ulat sutera perlu dikuasai terlebih dahulu karena ulat sutera dalam perkembangannya sangat tergantung kepada para pemeliharanya. Untuk itu sebelum melakukan pemeliharaan ulat sutera, para pemelihara hendaknya dilatih atau belajar terlebih dahulu agar keterampilan dalam pemeliharaan ulat sutera dapat di pahami dan dikuasai oleh peternak (Suteja, 2008).

  Sifat dari ulat sutera kecil berbeda dengan sifat ulat sutera besar. Ulat kecil mempunyai daya tahan yang lemah terhadap serangan hama dan penyakit, sehingga pada waktu pemeliharaan dapat menjaga kesehatan dan kebersihan tempat. Pertumbuhan ulat sutera kecil, terutama instar pertama sangat cepat, tetapi tidak tahan terhadap kekurangan makanan. Kondisi lingkungan juga berbeda,

  • – untuk pertumbuhannya ulat sutera kecil membutuhkan kelembaban antara 80% 90%. Sesuai dengan sifat ulat sutera kecil yang rawan terhadap serangan hama dan penyakit, agar pemeliharaan dapat berhasil maka pemeliharaan ulat sutera kecil sebaiknya dilakukan di ruangan khusus, dimana temperatur, kelembaban, cahaya dan aliran udara dapat diatur. Pemeliharaan ulat sutera kecil tidak memerlukan ruangan yang terlalu luas, maka sebaiknya pemeliharaan dilakukan secara bersama atau kelompok agar pengelolaannya lebih efisien (Atmosoedarjo et al. , 2000).

2.1.2. Siklus Hidup Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

  Siklus hidup ulat sutera diawali dayang siap bertelur lagi. Selama menjadi ulat, merupakan masa makan dan terjadi 4 kali pergantian kulit. Sebelum terjadi pergantian kulit ulat sutera dinamakan instar I, instar II, instar III, instar IV dan instar V, dan ulat sutera sama sekali berhenti makan, saat ini dinamakan masa tidur atau masa istirahat. Setelah instar V berakhir ulat mengokon untuk berubah menjadi pupa. Selanjutnya pupa berubah menjadi kupu dan siklus akan berulang dimulai lagi dari telur dan seterusnya (Suyono, 2006).

  Telur ulat sutera berbentuk bulat lonjong dengan berat sekitar 1 g. panjang telur 1

  • –1,3 mm, lebar 0,9–1,2 mm dan tebal 0,5 mm dengan warna putih-putih kekuningan. Telur biasanya menetas 10 hari setelah perlakuan khusus, pada suhu 25°C dan kelembaban udara 80
  • –85 %. Ulat sutera terbagi lima instar, yaitu: a. Instar I, II dan III disebut ulat kecil dengan umur sekitar 12 hari.

  b. Instar IV dan V disebut ulat besar dengan umur 13 hari

  • – Tempat untuk pemeliharaan ulat kecil harus bersih dengan kelembaban udara 80 90% dengan cahaya dan sirkulasi udara cukup. Pakan untuk ulat sutera adalah daun murbei. Untuk ulat kecil daun yang baik berumur pangkasan 25
  • –30 hari dengan waktu pengambilan pagi atau sore hari. Cara pengambilan daun untuk setiap instar pada ulat kecil berbeda. untuk instar I lemb
  • –5 dari pucuk, untuk instar II lembar 5 –7 dari pucuk, dan instar III 8–12 dari pucuk (Suyono, 2006).

  Larva ulat sutera ini tumbuh dan memintal kokon dalam waktu kira-kira enam minggu. Apabila digunakan dalam kepentingan perdagangan, pupa dibunuh sebelum berubah menjadi ngengat, karena pemunculan ngengat akan merusak serat-serat di dalam kokon. Tiap-tiap kokon terdiri dari satu benang tunggal yang panjangnya kira-kira 914 meter. Diperlukan kira-kira 3000 kokon untuk membuat 0,5 kg sutera (Borror et al., 1992).

  Kegiatan yang dilakukan dalam mempersiapkan pemeliharaan ulat adalah desinfeksi. Desinfeksi dilakukan sebelum dan sesudah pemeliharaan secara menyeluruh dan intensif sebagai pencegahan berkembangnya bibit penyakit ulat sutera. Desinfeksi dapat dilakukan dengan penyemprotan atau mencelupkan peralatan dalam larutan formalin 2% atau kaporit untuk membasmi bibit virus, bakteri atau jamur. Untuk desinfeksi bagian dalam ruangan pemeliharaan

  2

  diperlukan kira-kira 3 liter larutan untuk tiap 3,3 m luas lantai. Bila digunakan formalin maka semua jendela dan pintu perlu ditutup rapat-rapat selama 15 jam sesudah perlakuan untuk menghindari keluarnya gas beracun dari desinfektan (Purnomo, 2010).

  Tahap-tahap perkembangan Ulat Sutera antara lain

  a. Telur bentuk lonjong, warna putih kekuningan. Telur biasanya menetas 10 hari setelah menjalani perlakuan khusus pada suhu 25°C dan pada RH 80-85%. Secara nonalamiah penetasan dapat dengan memberikan larutan HCl (Purnomo, 2010).

  b. Larva Menurut Wyman (1974), perkembangan ulat sutera terjadi perubahan instar dimana pada setiap perubahan instar ditandai dengan adanya molting.

  Lamanya dalam tahapan instar adalah instar I berlangsung selama 3-4 hari, instar

  II lamanya 2-3 hari, instar III lamanya 3-4 hari, instar IV lamanya 5-6 hari dan instar V lamanya 6-8 hari.

  Peralihan instar ke instar berikutnya ditandai dengan berhentinya makan, tidur dan pergantian kulit. Pada akhir instar V tidak terjadi pergantian kulit, tetapi badannya berangsur-angsur transparan seolah-olah tembus cahaya dan larva berhenti makan. Larva sudah mulai mengeluarkan serat sutera dan membuat kokon (Sunanto, 1996).

  Gambar 2. Siklus hidup ulat sutera (Bombyx mori L.) (sumber. b.

  Pupa Perubahan dari larva menjadi pupa ditandai dengan berhentinya aktivitas makan. Proses pergantian kulit larva menjadi pupa akan terjadi di dalam kokon.

  Pembentukan pupa berlangsung 4-5 hari setelah ulat selesai mengeluarkan serat sutera untuk membentuk kokon. Lama masa pupa 9-14 hari. Menurut Siregar (2009), bentuk pupa tidak tampak gejala hidup. Tungkai tambahan yang terdapat disepanjang perut ulat menghilang. Bagian dada muncul tiga pasang tungkai baru berbentuk tungkai dewasa. Selain itu disusun sayap, system otot baru.

  Ulat akan memasuki masa fase pupa. Lamanya waktu untuk perkembangan instar ini antara 8-16 hari untuk betina dan jantan dengan kisaran waktu antara 6-18 hari. Kisaran waktu keseluruhan antara instar I hingga V adalah 26 hingga 50 hari untuk betina dan 22-54 hari untuk jantan (Herliana, 2008).

  c.

  Imago Pada tahapan imago berlangsung selama 5-7 hari. Pada tahap imago merupakan tahapan yang reproduktif dimana terjadi perkawinan, dan betina mengeluarkan telur-telurnya. Kupu-kupu ini tidak dapat terbang dan kehilangan fungsional dari bagian mulutnya, sehingga tidak dapat mengkonsumsi makanan.

  Atmosoedarjo et al., (2000), menyatakan bahwa pertumbuhan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim di lokasi pemeliharaan, yaitu suhu, kelembaban, kualitas udara, aliran udara, cahaya, dan sebagainya.

  Daya reproduksi serangga sangat tinggi. Kapasitas setiap hewan untuk membentuk jumlah populasinya melalui reproduksi tergantung dari tiga sifat: jumlah telur yang fertil yang diletakkan oleh tiap betina (yang pada serangga dapat bervariasi dari satu sampai ribuan), lama waktu suatu generasi (yang dapat bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa tahun), dan perbandingan tiap generasi yaitu betina yang akan memproduksi generasi berikutnya (pada beberapa serangga tidak ada jantan). Di alam perkembangan dan siklus hidup, serangga mengalami tingkatan-tingkatan yang sangat sederhana sampai kompleks (Borror

  et al ., 1992).

2.2. Indeks Nutrisi

  Indeks nutrisi merupakan suatu nilai yang dihitung untuk mendapatkan gambaran yang terjadi di dalam tubuh serangga ketika serangga memakan suatu jenis makanan tertentu. Efisiensi tersebut akan menggambarkan respon serangga terhadap adanya perubahan komponen dalam makanan yang mempengaruhi pertumbuhan serangga tersebut. Parameter dan konsumsi makan serta indeks nutrisi larva diukur berdasarkan gravimetri. Jumlah pakan yang dimakan larva dihitung dengan mengurangi jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan (Herliana, 2008).

  Parameter penghitungan indeks nutrisi dibuat oleh Waldbauer (1968) dan dalam pengembangannya dimodifikasi oleh Scriber dan Slansky (1981). Lima parameter indeks nutrisi yang umum digunakan dan dianggap dapat menggambarkan kinerja di dalam tubuh serangga adalah: laju konsumsi (Consumption Rate/CR), laju pertumbuhan (Growth Rate/GR), perkiraan jumlah pakan yang dicerna (Approximate Digestibility/AD), efisiensi konversi makanan yang dicerna (Efficiency of Conversion of Digested Food/ECD), dan efisiensi konversi makanan yang dikonsumsi (Efficiency of Conversion of

  Ingested Food /ECI). Nilai laju konsumsi (CR) merupakan nilai yang memberikan

  gambaran jumlah makanan yang dikonsumsi serangga selama waktu (periode) pengukuran. Nilai CR dipengrauhi oleh beberapa faktor, misalnya nilai CR akan menurun bila organisme tidak menyukai makanan yang disediakan untuk dimakan atau di dalam bahan makanan terdapat materi yang berbahaya untuk dimakan. Hal ini terjadi sebagai respon adaptif oleh serangga dimana organisme berusaha mereduksi masuknya racun yang berpotensi (Slansky dan Scriber,1985).

  Laju pertumbuhan (GR) menggambarkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tahap akhir instar. Jika nilai GR berada di bawah nilai ideal maka ada kemungkinan kondisi fisik organisme tereduksi yang berimbas pada tereduksinya pula keseimbangan larva. Pereduksian ini terjadi akibat dari perpanjangan periode kerentanan organisme terhadap predator atau parasitoid, juga karena gangguan dalam sinkronisasi antara siklus hidup dengan perubahan lingkungan abiotik, waktu kawin, fenologi tanaman inang, dan faktor lainnya (Herlina, 2008).

  Jika berat akhir larva (juga berat dewasa) tereduksi hingga berada di bawah berat ideal, maka ada kemungkinan terjadi gangguan pada proses reproduksi ketika dewasa. Nilai GR dipengaruhi oleh beberapa interaksi yaitu nilai laju konsumsi (CR), perkiraan pencernaan (AD), dan nilai efisiensi konversi makanan yang dicerna (ECD) (Slansky dan Scriber, 1985).

  Efisiensi konversi dari makanan yang dicerna (ECD) merupakan nilai yang mengukur proporsi dari asimilasi nutrisi yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan. Nilai ini dipengaruhi oleh faktor-faktor berupa laju metabolisme, defisiensi vitamin, dan ketidakseimbangan nutrisi lainnya (Waldbauer dan Friedman, 1991).

  Menurut Slansky dan Scriber (1985) menuliskan bahwa nilai ECD akan menggambarkan proporsi dari asimilasi makanan antara produksi biomassa dan nilai respirasi serta faktor-faktor lain yang diperkirakan dapat mempengaruhi nilai ECD termasuk jumlah dan laju metabolisme yang berhubungan dengan (1) laju pertumbuhan dan lamanya perkembangan, (2) taraf penyimpanan makanan terhadap pertumbuhan, (3) katabolisme dari kelebihan nutrisi, (4) produksi, pemeliharaan dan penggunaan enzim detoksifikasi, (5) produksi air metabolik dan panas metabolik, dan aktivitas metabolik lainnya, disamping aktivitas tingkah laku seperti makan, berlari, merayap, terbang (Slansky dan Scriber, 1985).

2.3. Tanaman Murbei Morus cathayana

  Tanaman Murbei berasal dari Cina, tumbuh baik pada ketinggian lebih dari 100 m diatas permukaan laut dan memerlukan cukup sinar matahari. Tanaman murbei berbentuk perdu, tingginya mencapai 5

  • –6 m. Di Indonesia terdapat sekitar 100 varietas murbei. Beberapa varietas tanaman murbei yang tumbuh dan berkembang dan mempunyai percabangan banyak. Daun tunggal, letak berseling dan bertangkai dengan panjang 1-4 cm. Helai daun bulat telur, berjari atau berbentuk jantung, ujung runcing, tepi bergerigi dan warnanya hijau. Bunga majemuk bentuk
tandan, keluar dari ketiak daun, warnanya putih. Ukuran dan bentuk buah tergantung kepada jenis murbei. Warna buah ada yang putih, putih kemerahan, ungu atau ungu tua sampai hitam. Di India utara murbei dibiarkan tumbuh sebagai pohon di belakang rumah dengan tujuan untuk buah yang enak dan harum (Pudjiono & Septina 2008).

  Tanaman murbei disamping sebagai pakan ulat sutera juga sebagai tanaman konservasi tanah dan penghijauan. Tanaman ini sudah lama dikenal di Indonesia dan mempunyai banyak nama antara lain : Besaran (Jawa Tengah dan Jawa Timur), Kertu (Sumatra Utara), Gertu (Sulawesi) Kitaoc (Sumatra Selatan), Kitau (Lampung), Ambatuah (Tanah Karo), Moerbei (Belanda), Mulberry (Inggris), Gelsa (Italia) dan Murles (Perancis).

  B A

  Gambar 3. Murbei (Morus cathayana) a. Diberi pupuk dan b. Tanpa pupuk Klasifikasi daun murbei menurut De Pradua, L S, et al., 1999 adalah sebagai berikut:

  Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Ordo : Urticales Famili : Moraceae Genus : Morus Spesies : Morus cathayana

  Perkembangan murbei biasanya melalui biji dan stek. Biji berkecambah selama 9-14 hari tergantung pada musim. Perbanyakan vegetatif pada tanaman murbei lebih banyak dilakukan untuk memperbanyak bibit tanaman murbei. Cara yang biasa dilakukan adalah dengan stek. Stek diambil dari tanaman induk yang unggul dan berumur sekitar 12-20 bulan dengan pertumbuhan yang bagus, bebas hama penyakit, batang tegak, produksi daun tinggi, serta ukuran daun lebar-lebar. Tanam murbei paling ideal ditaman pada ketinggian 400-800 m di atas permukaan laut. Dengan daerah yang mempunyai temperature rata-rata 21-23°C sangat cocok untuk murbei. Tanah sebaiknya memiliki pH di atas 6, teksturnya gembur, ketebalan lapisan paling tidak 50 cm. tanah yang subur tentu akan memberikan dukungan pertumbuhan yang baik. Walaupun begitu, tanah yang kurang subur bisa dibantu dengan dosis pemupukan yang tepat (Subandy, 2008).

  Berdasarkan penelitian Samsijah dan Kusumaputra (1975), mengenai pengaruh pemberian pakan pada ulat kecil dan ulat besar dengan jenis daun yang berbeda (M. multicaulis, M. alba, dan M. cathayana) terhadap pemeliharaan daun dan mutu kokon, diperoleh hasil bahwa M. alba memiliki kadar protein tertinggi pada daun muda (18,66%) dan tua (17,59%). Daun yang memilki kandungan karbohidrat tertinggi sebanyak 56,18% pada daun muda dan 63,14% pada daun tua dimiliki oleh M. cathayana. Pemberian pakan M .alba pada ulat kecil dan M.

  multicaulis pada ulat besar dapat meningkatkan mutu kokon yang cukup baik.

2.4. Pemupukan

  Unsur hara merupakan unsur yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan fungsinya tidak dapat digantikan unsur lain. Jika jumlahnya kurang mencukupi, terlalu lambat tersedia akan menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu dengan ditandai gejala seperti tanaman kurus, daun menguning, dan tidak mau berbuah. Oleh sebab itu kita harus menambahkan unsur hara ke dalam tanah, agar tanaman tidak kekurangan unsur hara (Tjitrosoepomo, 1994).

  Pemupukan dilakukan 2 kali setahun yaitu setelah tanaman murbei dipangkas. Saat yang tepat adalah 2 minggu setelah pemangkasan. Jenis pupuk yang sering diberikan pada tanaman murbei adalah Urea, KCl dan SP-36 serta pupuk organik seperti kompos dan pupuk kandang. Adapun banyaknya pupuk yang diberikan adalah Urea 350 kg/ha, KCl 150 kg/ha dan SP-36 sebanyak 50 kg/ha. Sedangkan pupuk organik berupa pupuk kandang diberikan sebanyak 15 ton/ha. Ada dua cara pemberian pupuk pada tanaman murbei yaitu pupuk ditabur diantara baris tanaman kemudian ditimbun dengan tanah, atau dengan cara ditugal pada jarak 30 cm dari tanaman. Perlu diperhatikan bahwa pemupukan, terutama pupuk buatan harus dilakukan 3 bulan sebelum pemanenan daun, hal ini untuk menghindari terjadinya keracunan (Sutanto, 2002).

  Menurut Rauf et al., (2000) dan Balai Persuteraan Alam (2007), beberapa peranan pupuk anorganik adalah: a.

  Nitrogen (N) merupakan unsur yang cepat kelihatan pengaruhnya terhadap tanaman. Peran utama unsur ini adalah merangsang pertumbuhan vegetatif (batang dan daun), meningkatkan jumlah anakan serta sebagai bahan dasar protein, asam amino dan klorofil. Kekurangan unsur N pada tanaman murbei dapat menyebabkan tanaman menjadi kerdil, daun kekuning-kuningan. Kelebihan unsur N pada tanaman murbei menyebabkan pertumbuhan vegetatif memanjang (lambat panen) dan respon terhadap serangan hama atau penyakit.

  b.

  Posfor (P) berperan penting terhadap proses pertumbuhan dan pembelahan sel, serta perkembangan jaringan meristematik baik yang ada di batang maupun dalam cabang. Ulat yang memakan daun murbei yang kekurangan fosfor maka mengalami keterlambatan dalam mengokon dan tubuh ulat kecil.

  c.

  Kalium (K) Kalium merupakan satu-satunya kation monovalen yang esensial bagi tanaman. Peranan utama kalium dalam tanaman ialah sebagai aktivator berbagai enzim. Daun murbei yang mengandung K maka tanaman mubei lebih tahan terhadap hama dan penyakit.