Perubahan Fenotipe Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Yang Diinduksi Dengan Sinar Ultraviolet (UV) Dan Kariotipe Kromosom

(1)

PERUBAHAN FENOTIPE ULAT SUTERA (Bombyx mori L.)

YANG DIINDUKSI DENGAN SINAR ULTRAVIOLET (UV) DAN

KARIOTIPE KROMOSOM

SKRIPSI

DELNI TONDANG

050805019

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

PENGESAHAN

JUDUL : PERUBAHAN FENOTIPE ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) YANG DIINDUKSI DENGAN SINAR ULTRAVIOLET

(UV) DAN KARIOTIPE KROMOSOM

NAMA : DELNI TONDANG NIM : 050805019

NO Nama Keterangan Tanggal Tanda Tangan

1. Masitta Tanjung, S.Si, M.Si NIP. 197109102000122001

Dosen

Pembimbing 1 2. Safruddin Ilyas M.Bio.Med

NIP. 196602091992031003

Dosen

Pembimbing 2

3. Dra. Emita Sabri, M.Si

NIP. 195607121987022002 Dosen Penguji 1 4. Dra. Elimasni, M.S

NIP. 196505241991032001

Dosen Penguji 2


(3)

PERSETUJUAN

Judul : PERUBAHAN FENOTIPE ULAT SUTERA (Bombyx mori L.) YANG DIINDUKSI DENGAN SINAR

ULTRAVIOLET (UV) DAN KARIOTIPE KROMOSOM

Kategori : SKRIPSI

Nama : DELNI TONDANG Nomor Induk Mahasiswa : 050805019

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Maret 2010 Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

(Dr. Syafruddin Ilyas, M.BioMed) (Masitta Tanjung, S.Si, M.Si) NIP.196602 091992 031003 NIP. 197109 102000 122001

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

(Dr. Dwi Suryanto, M.Sc.) NIP. 196404 09199 403100


(4)

PERNYATAAN

PERUBAHAN FENOTIPE ULAT SUTERA (Bombyx mori L. ) YANG DIINDUKSI DENGAN SINAR ULTRAVIOLET(UV) DAN KARIOTIPE KROMOSOM

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Maret 2010

DELNI TONDANG 050805019


(5)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perubahan Fenotipe Ulat Sutera (Bombyx mori L. ) yang Diinduksi Dengan Sinar Ultraviolet(UV) dan Kariotipe Kromosom”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat meraih gelar Sarjana Sains di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Masitta Tanjung S.Si, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I dan kepada Dr.Syafruddin Ilyas,BioMed selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, motivasi dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Kepada Dra. Emita Sabri, M.Si dan Dra. Elimasni, M.Si selaku Dosen Penguji yang telah memberikan bantuan, masukan dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Ucapan terima kasih ditujukan kepada Prof. Dr Dwi Suryanto dan Nunuk Priyani M,Sc selaku ketua dan sekretaris Departemen Biologi. Kepada Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku Kepala di Laboratorium Genetika FMIPA USU, Hesti wahyuningsih, S.Si, M.Si dan Etti Sartina, S.Si, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama pendidikan dalam perkuliahan, kak Ross, Bang Ewin, Kak Ipit dan bapak Sukirmanto sebagai pegawai Departemen Biologi FMIPA USU.

Ungkapan terima kasih yang tak ternilai penulis ucapkan kepada kedua orang tua, Ayahanda tercinta J. Tondang dan Ibunda tercinta R br Manihuruk yang telah banyak memberikan doa, cinta dan dukungan baik moril maupun materil. Terima kasih kepada saudara-saudaraku Sahala MT. Tondang, ST., Rofyando Tondang dan Esra Jhon Poster Tondang yang telah banyak memberikan masukan, dukungan, doa. Dua sahabat ku yang selalu memberi dukungan, semangat dan doa Julita P dan Riris DH Purba.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan terima kasih kepada stambuk 2003 selaku abang dan kakak asuh terutama kak Endang Sihombing, kak Metha, kak Rini, dan kak Lusi, yang selalu memberikan bantuan dan motivasi terkhusus bang Franhot Nainggolan, yang telah banyak membantuan dan mengajari penulis. Terima kasih Photoshop 7.0 nya bang. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan asisten di Laboratorium Genetika Bang Franhot, kak Lus, kak Siska, kak Maris, kak Reni, bang Yosep, Simlah, Ruth, Kalista, Siti, Hilda, desmina, Tetty, terkhusus kak Maria Rumondang yang menjadi rekan dalam penelitian, terima kasih atas dukungan serta dorongan dalam menyelesaikan hasil penelitian ini. Tak lupa rekan-rekan stambuk 2005 yang menjadi teman seperjuangan Rico, Wulan, Susi, Nikmah, Widya, Toberni, Rebecca, Irfan, Kabul, Sarah LP, Susanti, Santi siagian, Sri, Yanti, Seneng, Andini, Nalverta, Patimah, Fitria, Rosida, Valentina, Misran, Taripar, Erna, Erni, Sidahin, Andi, Putri, Fifi, Efendi, Mustika, Gustin, Dini. Terima kasih kepada rekan-rekan PKBKB yang tetap saling mengasihi, adik-adikku Katrina, Jayana, Rudi,


(6)

Reymond, Hotda dkk, yang telah banyak memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. Semoga Tuhan yang akan membalasnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga skripsi ini bermafaat bagi kita semua. Tuhan memberkati.

Medan, Maret 2010 Hormat saya,


(7)

ABSTRAK

Penelitian tentang “Perubahan Fenotipe Ulat Sutera (Bombyx mori L.) yang Diinduksi dengan Sinar Ultraviolet (UV) dan Kariotipe Kromosom” telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2009 di Laboratorium Genetika, Departemen Biologi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan fenotipe ulat sutera yang diinduksi dengan sinar ultraviolet (UV) dan untuk mengetahui kariotipe ulat sutera. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan intensitas 30 Watt dan waktu penyinaran 0; 1,5; 3,0 dan 4,5 menit. Hasil data rata-rata panjang morfologi menunjukkan bahwa peningkatan lama penyinaran dengan energi lampu UV 30 Watt menyebabkan penurunan panjang ukuran tubuh instar VI, instar V, sayap, tubuh dan antera pada ngengat sutera. Tetapi dari analisa secara statistik menunjukkan bahwa peningkatan lama waktu penyinaran memberi pengaruh nyata pada panjang tubuh larva instar IV dan panjang tubuh ngengat sutera, sedangkan pada panjang tubuh larva instar V, panjang sayap dan panjang antena menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Pemberian sinar UV 30 Watt menyebabkan perubahan fenotipe pada bentuk sayap dimana muncul tipe sayap mutan seperti vestigial wing, minute wing dan wrinkled wing. Dan terjadi perubahan warna tubuh larva instar V yaitu Inhibitor-f Lemon dan dilute black. Kariotipe Bombyx mori L. mempunyai jumlah 56 buah atau 28 pasang (2n) yang terdiri dari 3 jenis kromosom dengan tipe kromosom metasentris, submetasentris dan telosentris. Kromosom terpanjang adalah kromosom nomor 1 dengan panjang kromosom 1,14 µ m dengan tipe kromosom metasentris sedangkan kromosom terpendek adalah kromosom nomor 28 dengan panjang kromosom 0,15 µ m dengan tipe kromosom telosentris. Persentase panjang relatif lengan (%PR) kromosom terbesar adalah kromosom nomor 1 dengan panjang 9,41 % dan persentase panjang relatif lengan kromosom terkecil adalah kromosom nomor 28 dengan nilai 1,18 % dan persentase indeks sentromer (%IS) yang tersebar adalah kromosom nomor 27 dan 28 dengan nilai 100%, dan %IS terkecil adalah kromosom nomor 20 dengan nilai17,85 %.


(8)

CHANGE PHENOTYPE SILKWORM (Bombyx mori L.) IS INDUCED BY ULTRAVIOLET (UV) AND CHROMOSOME KARYOTYPE

ABSTRACT

Research on "Change Phenotype Silkworm (Bombyx mori L.) is Induced by Ultraviolet (UV) and Chromosome Karyotype" has been done in July to December 2009 at the Laboratory of Genetics, Department of Biology, University of North Sumatra, Medan. This study aims to determine changes in the silkworm phenotype induced by ultraviolet (UV) and to know the silkworm karyotype. This research uses Completely Randomized Design (CRD) with 30 Watt and intensity exposures 0; 1.5, 3.0 and 4.5 minutes. The results of the average data length of morphology indicates that the increase in long irradiation with UV light energy causes a decrease in 30 Watt long-VI instar body size, instar V, wings, body and anther in silk moths. But from a statistical analysis shows that the increase in irradiation time to give real effect on body length IV instar larvae and silk moth body length, body length, while the V instar larvae, long wings and long antennae that do not show effects significantly different. Providing 30 watts of UV light causes a change in phenotype in the form of wing-wing type which appears as mutant vestigial wing, minute wing and wrinkled wing. And change the body color of larva instar V Inhibitor-f Lemon and dilute black. Karyotype Bombyx mori L. Has a number of 56 pieces or 28 pairs (2n) consisting of 3 types of chromosomes with chromosome type metacentric, submetacentric and telocentric. The longest chromosome is a chromosome length of chromosome 1 with a 1.14 μm with metacentric chromosome types whereas the shortest chromosome is chromosome number 28 with a length of 0.15 μm chromosome chromosome type telocentric. Percentage of relative arm length (% PR) is the largest chromosome 1 with chromosome length percentage of 9.41% and the relative length of chromosome arm is the smallest chromosome number 28 with a value of 1.18% and the percentage of centromere index (% IS) which is a chromosome spread 27 and 28 with a value of 100%, and% IS smallest is chromosome number 20 with nilai17, 85%.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan i

Penyataan ii

Pengesahan iii

Penghargaan iv

Abstrak vi

Abstract vii

Daftar Isi viii

Daftar Tabel x

Daftar Gambar xi

Daftar Lampiran xii

Bab 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis Penelitian 4

1.5 Manfaat Penelitian 4

Bab 2. Tinjauan pustaka 2.1 Klasifikasi Ulat Sutera Bombyx mori L. 5

2.2.1 Siklus Hidup Ulat Sutera 6

2.2.2 Ciri-ciri Morfologi pada Mutan Ulat Sutera Bombyx 9

mori L. 2.2 Pakan Ulat Sutera 11

2.3 Kromosom dan Kariotipe 2.3.1 Kromosom 12

2.3.2 Kariotipe 14 2.4 Radiasi Sinar Ultraviolet (UV) dan Mutasi 2.4.1 Radiasi Sinar Ultraviolet (UV) 15 2.4.2 Mutasi 15 2.5 Metode Pembuatan Sediaan 17 Bab 3. Bahan dan Metode 3.1 Waktu dan Tempat 19 3.2 Alat dan Bahan 19 3.3 Metode Penelitian 19 3.4 Persiapan Bahan 20 3.5 Parameter Pengamatan

3.5.1 Pengamatan Kromosom dengan Metode Kering Udara 20 (Tsurusaki, 1986)

3.5.2 Pengamatan Fenotipe 22


(10)

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Pengamatan Morfologi 23

4.2 Pengamatan Fenotipe 28

4.3 Pengamatan Kromosom dan Kariotipe dengan Metode 33 Kering Udara

4.3.1 Hasil Foto Preparat Ulat Sutera (Bombyx mori L.) 33 Dengan Metode Kering Udara

4.3.2 Menghitung Jumlah Kromosom Ulat sutera (Bombyx 34 mori L.)

4.4 Hasil Pengukuran Kromosom Ulat Sutera (Bombyx mori L.) 35

4.5 Kariotipe Bombyx mori L. 38

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 40

5.2 Saran 41

Daftar Pustaka 42


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Rata-rata Panjang Morfologi Ulat Sutera (Bombyx mori L.) 23 (Cm, n=10, x±Sd )

Tabel 4.2 Data Pengamatan Fenotipe pada Warna Larva Instar V 28 Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

Tabel 4.3 Data Pengamatan Fenotipe pada Warna Mata Ngengat Sutera 30 (Bombyx mori L.)

Tabel 4.4 Data Pengamatan Fenotipe pada Bentuk Sayap Ngengat 31 Sutera (Bombyx mori L.)

Tabel 4.5 Tipe Kromosom Ulat sutera (Bombyx mori L.) 36 Tabel 4.6 Persentase Panjang Relatif (%PR) dan Persentase 37


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Ulat Sutera Bombyx mori L. Instar V; A. Thorax (dada) 5 B. Abdominal Segment (Segmen Perut) C. Crescent

D. Eye Spots (Mata) E. Head (Kepala) F. Caudal Horn (Ekor) G. Thorax Legs H. Spiracles I. Stars Spots

J. Abdominal Legs K. Caudal Legs

Gambar 2.2 Ngengat Sutera Bombyx mori L.; (a). Ngengat Jantan, 6 (b). Ngengat Betina

Gambar 2.3 Siklus Hidup Ulat Sutera Bombyx mori L. 7 (Sumber. http://img11.imageshack.us/i/silkworm.jpg/)

Gambar 2.4 Pakan Ulat Sutera Daun Murbei (Morus sp.) 11 Gambar 4.1 Gafik Hubungan Panjang Rata-rata Morfologi Ulat Sutera 24

dengan Perlakuan Penyinaran

Gambar 4.2 Ulat sutera (Bombyx mori L.) Instar V dengan Warna 29 Tubuh; (a). Warna Tubuh Normal, (b).Inhibitor-f Lemon

(i-lem), (c). Dilute Black (db)

Gambar 4.3 Ngengat Sutera; a. Antena, b. Warna Mata 31 Gambar 4.4 Ngengat Sutera yang Mengalami Mutasi; (a) Normal 32

Tetapi Memiliki Bercak, (b) Mikropterus, (c) Vestigial Wing, (d) Minute Wing, dan (e) Normal Tetapi Sayap Berwarna Hitam; 1. Bercak Berwarna Hitam, 2. Sayap

Menyempit 3. Sayap Tidak Berkembang, 4. Sayap Melengkung, 5. Ujung Sayap Berwarna Hitam

Gambar 4.5 Foto Sel Testis dengan Metode Kering Udara; (a) Perbesaran 34 1000x (b) Perbesaran 1600x

Gambar 4.6 Kromosom Bombyx mori L. dengan Teknik Kroping 35 Photoshop CS 2; a. Lengan Kromosom, b. Sentromer

Gambar 4.7 Kariotipe Kromosom Bombyx mori L. yang Diurutkan 38 Berdasarkan Panjang dan Letak Sentromer Kromosom


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran A. Data Persentase Panjang Ukuran Tubuh Larva Instar 48

IV Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

Lampiran B. Data Persentase Panjang Ukuran Tubuh Larva Instar 49 V Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

Lampiran C. Data Persentase Panjang Ukuran Sayap Ngengat 50 Sutera (Bombyx mori L.)

Lampiran D. Data Persentase Panjang Ukuran Tubuh Ngengat Sutera 51 (Bombyx mori L.)

Lampiran E. Data Persentase Panjang Ukuran Antena Ngengat Sutera 52 (Bombyx mori L.)


(14)

ABSTRAK

Penelitian tentang “Perubahan Fenotipe Ulat Sutera (Bombyx mori L.) yang Diinduksi dengan Sinar Ultraviolet (UV) dan Kariotipe Kromosom” telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2009 di Laboratorium Genetika, Departemen Biologi, Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan fenotipe ulat sutera yang diinduksi dengan sinar ultraviolet (UV) dan untuk mengetahui kariotipe ulat sutera. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan intensitas 30 Watt dan waktu penyinaran 0; 1,5; 3,0 dan 4,5 menit. Hasil data rata-rata panjang morfologi menunjukkan bahwa peningkatan lama penyinaran dengan energi lampu UV 30 Watt menyebabkan penurunan panjang ukuran tubuh instar VI, instar V, sayap, tubuh dan antera pada ngengat sutera. Tetapi dari analisa secara statistik menunjukkan bahwa peningkatan lama waktu penyinaran memberi pengaruh nyata pada panjang tubuh larva instar IV dan panjang tubuh ngengat sutera, sedangkan pada panjang tubuh larva instar V, panjang sayap dan panjang antena menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Pemberian sinar UV 30 Watt menyebabkan perubahan fenotipe pada bentuk sayap dimana muncul tipe sayap mutan seperti vestigial wing, minute wing dan wrinkled wing. Dan terjadi perubahan warna tubuh larva instar V yaitu Inhibitor-f Lemon dan dilute black. Kariotipe Bombyx mori L. mempunyai jumlah 56 buah atau 28 pasang (2n) yang terdiri dari 3 jenis kromosom dengan tipe kromosom metasentris, submetasentris dan telosentris. Kromosom terpanjang adalah kromosom nomor 1 dengan panjang kromosom 1,14 µ m dengan tipe kromosom metasentris sedangkan kromosom terpendek adalah kromosom nomor 28 dengan panjang kromosom 0,15 µ m dengan tipe kromosom telosentris. Persentase panjang relatif lengan (%PR) kromosom terbesar adalah kromosom nomor 1 dengan panjang 9,41 % dan persentase panjang relatif lengan kromosom terkecil adalah kromosom nomor 28 dengan nilai 1,18 % dan persentase indeks sentromer (%IS) yang tersebar adalah kromosom nomor 27 dan 28 dengan nilai 100%, dan %IS terkecil adalah kromosom nomor 20 dengan nilai17,85 %.


(15)

CHANGE PHENOTYPE SILKWORM (Bombyx mori L.) IS INDUCED BY ULTRAVIOLET (UV) AND CHROMOSOME KARYOTYPE

ABSTRACT

Research on "Change Phenotype Silkworm (Bombyx mori L.) is Induced by Ultraviolet (UV) and Chromosome Karyotype" has been done in July to December 2009 at the Laboratory of Genetics, Department of Biology, University of North Sumatra, Medan. This study aims to determine changes in the silkworm phenotype induced by ultraviolet (UV) and to know the silkworm karyotype. This research uses Completely Randomized Design (CRD) with 30 Watt and intensity exposures 0; 1.5, 3.0 and 4.5 minutes. The results of the average data length of morphology indicates that the increase in long irradiation with UV light energy causes a decrease in 30 Watt long-VI instar body size, instar V, wings, body and anther in silk moths. But from a statistical analysis shows that the increase in irradiation time to give real effect on body length IV instar larvae and silk moth body length, body length, while the V instar larvae, long wings and long antennae that do not show effects significantly different. Providing 30 watts of UV light causes a change in phenotype in the form of wing-wing type which appears as mutant vestigial wing, minute wing and wrinkled wing. And change the body color of larva instar V Inhibitor-f Lemon and dilute black. Karyotype Bombyx mori L. Has a number of 56 pieces or 28 pairs (2n) consisting of 3 types of chromosomes with chromosome type metacentric, submetacentric and telocentric. The longest chromosome is a chromosome length of chromosome 1 with a 1.14 μm with metacentric chromosome types whereas the shortest chromosome is chromosome number 28 with a length of 0.15 μm chromosome chromosome type telocentric. Percentage of relative arm length (% PR) is the largest chromosome 1 with chromosome length percentage of 9.41% and the relative length of chromosome arm is the smallest chromosome number 28 with a value of 1.18% and the percentage of centromere index (% IS) which is a chromosome spread 27 and 28 with a value of 100%, and% IS smallest is chromosome number 20 with nilai17, 85%.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan salah satu jenis serangga yang mempunyai nilai ekonomis tinggi bagi manusia. Serangga tersebut adalah produsen serat sutera yang merupakan bahan baku sutera dibidang pertekstilan, benang bedah, dan parasut dengan kulitas tinggi, belum bisa dikalahkan oleh serat sutera buatan (Samsijah, 1983).

Ulat sutera adalah salah satu jenis serangga domestik dan mungkin tidak ada yang liar. Banyak jenis ulat sutera yang berbeda, dikembangkan dengan peternakan. Terdapat kira-kira seratus jenis dalam famili ulat sutera dan kebanyakan terdapat di Asia (Boror et al., 1992).

Kain sutera terkenal karena keindahan dan kehalusannya. Pakaian dari kain sutera walaupun mahal tetap saja diminati. Ulat sutera mengeluarkan air ludah atau liur yang mengandung protein, itulah bahan pembentukan kokon. Kokon sebetulnya berfungsi sebagai pelindung dari proses perubahan ulat menjadi kepompong sebelum akhirnya menjadi dewasa. Kokon-kokon ini dikumpulkan, kemudian diolah dengan sederhana ataupun canggih, diubah menjadi benang sutera. Selanjutnya benang ini ditenun menjadi kain (Tim penulis, 1992).

Disamping menghasilkan kain sutera ulat sutera bermanfaat pula dalam penelitian biologi, ekologi, genetika, fisiologi dan kimia. Manfaat serat sutera adalah sebagai tekstil yang bermutu tinggi, bahan baku payung udara (parasut) dan benang bedah sutera (KPSA, 1990).


(17)

Produksi ulat sutera di Sumatera Utara sudah berhenti. Terkendala karena kurangnya bahan baku yaitu kokon dari ulat sutera yang dihasilkan tidak memenuhi kebutuhan produksi mesin pintal yang besar. Sehingga persuteraan alam di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara menjadi terhenti, seperti PT. NOSDEC Sutera Alam yang ada di Kabanjahe, Tanjung Morawa, dan Medan.

Untuk meningkatkan kualitas ulat sutera maka salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan penyinaran sinar ultraviolet. Dimana induksi sinar ultraviolet tidak saja dapat meningkatkan keragaman genetik, tetapi juga mempercepat terjadinya variasi pada suatu spesies (Handayati, 2006). Altenburg (dalam Stickberger, 1985) adalah yang pertama kali menemukan bahwa pengaruh mutagenik sinar ultraviolet dalam penyinaran sel-sel tudung kutub telur Drosophila menyebabkan mutasi dimana terjadi pengurangan dari sel-sel folikel. DNA dapat dirusak oleh ultraviolet sehingga dikatakan ultraviolet dapat menginduksi mutasi secara langsung akibat penyerapan oleh purin dan purimidin dengan pembentukan timin dimer. Timin dimer merupakan salah satu pengaruh radiasi sinar ultraviolet pada DNA yaitu pembentukan ikatan kimia abnormal melalui reaksi fotokimia. Timin dimer menyebabkan mutasi secara tidak langsung dengan cara merusak DNA double heliks sehingga saat reflikasi DNA terjadi kesalahan. Gen- gen yang mengalami mutasi akan mengubah fenotip. Misalnya, suatu mutasi dapat merubah warna atau bentuk mata, tingkah laku, atau menyebabkan kemandulan bahkan kematian (Snustad et al., 1997). Salah satu hasil studi termasuk telur Drosophila yang dilakukan pada tahun 1934, ditemukan bahwa radiasi sinar ultraviolet adalah penyebab mutagenik (Klug & Cummings, 1994).

Penelitian menunjukkan bahwa kromosom dapat mengalami perubahan susunan dan jumlah bahan genetiknya, yang mengakibatkan adanya perubahan fenotipe, perubahan gen-gen yang berangkaian, dan perubahan nisbah yang diharapkan dalam keturunan. Peristiwa ini dinamakan aberasi kromosom (Suryo, 1995). Kromosom dapat disusun dan dikelompokkan berdasarkan panjang dan bentuknya. Susunan kromosom yang berurutan menurut panjang dan bentuknya disebut karyotipe (karyon = inti, dan typos = bentuk) (Yatim, 1983).


(18)

Induksi ultraviolet telah banyak dipelajari dalam bidang genetika yang dapat menyebabkan mutagenesis, namun sejauh ini belum ada penelitian tentang perubahan fenotipe ulat sutera (Bombyx mori L.) yang diinduksi dengan sinar ultraviolet dan kariotipe kromosomnya sehingga perlu dilakukan penelitian.

1.2 Permasalahan

Diketahui bahwa radiasi sinar ultraviolet merupakan agen yang dapat mengakibatkan adanya mutasi geneti. Teknik mutasi ultraviolet terhadap ulat sutera ini diharapkan dapat meningkatkan variasi, dan meningkatkan kualitas kokon. Altenburg (dalam Strickberger, 1985) menemukan bahwa sinar UV merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada suatu spesies. Maka perlu dilakukan penelitian tentang perubahan fenotipe ulat sutera (Bombyx mori L.) yang diinduksi dengan sinar ultraviolet dan kariotipe kromosom.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah ntuk mengetahui fenotipe ulat sutera ( Bombyx mori L.) yang diinduksi dengan sinar ultraviolet dan untuk mengetahui kariotipe kromosom ulat sutera (Bombyx mori L.).

1.4 Hipotesis Penelitian

a. Dengan mengunaan sinar ultraviolet akan menyebabkan perubahan fenotipe pada ulat sutera (Bombyx mori L.).

b. Dengan menggunakan metode kering udara akan dapat diketahui kariotipe ulat sutera (Bombyx mori L.)


(19)

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Mengetahui fenotip ulat sutera yang diinduksi dengan sinar ultraviolet.

b. Sebagai informasi bagi yang berguna bagi semua pihak tentang kariotipe Bombyx mori L.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Ulat Sutera Bombyx mori L.

Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan serangga yang memiliki keuntungan yang ekonomis bagi manusia karena mampu menghasilkan benang sutera. Menurut Boror et al., (1996), klasifikasi Bombyx mori L. adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Sub Filum : Mandibulata Klass : Insecta Sub Klass : Pterygota Ordo : Lepidoptera Family : Bombycidae Genus : Bombyx

Spesies : Bombyx mori L.

Gambar 2.1 Ulat sutera Bombyx mori L. instar V; A. Thorax (dada)

B. Abdominal segment (segmen perut) C. Crescent D. Eye spots (mata) E. Head (kepala) F. Caudal horn (ekor) G. Thorax legs H. Spiracles I. Stars spots J. Abdominal legs K. Caudal legs


(21)

Larva ulat sutera mempunyai tanduk anal yang pendek dan memakan daun murbei. Larva ulat sutera ini tumbuh dan memintal kokon dalam waktu kira-kira enam minggu. Apabila digunakan dalam kepentingan perdagangan, pupa dibunuh sebelum berubah menjadi ngengat, karena pemunculan ngengat akan merusak serat-serat di dalam kokon. Tiap-tiap kokon terdiri dari satu benang tunggal yang panjangnya kira-kira 914 meter. Kira-kira-kira diperlukan 3000 kokon untuk membuat satu pon sutera (Boror et al., 1992).

Selain Bombyx mori, ada juga jenis ngengat lain yang mampu menghasilkan sutera, yakni Antheraea pernyii yang hidup di China, Antheraea yamami yang hidup di Jepang, dan Antheraea paphia yang hidup di India. Ketiga ngengat tersebut merupakan anggota keluarga Saturniidae yang juga berasal dari bangsa Lepidoptera. Meskipun ulat dari ngengat-ngengat tersebut mampu menghasilkan sutera, tetapi hasilnya tidak terlalu baik jika dibanding dengan sutera dari ngengat Bombyx mori (Tim Penulis, 1992).

Gambar 2.2 Ngengat sutera Bombyx mori L. (a). Ngengat Jantan, (b). Ngengat Betina

2.1.1 Siklus Hidup Ulat Sutera

Menurut Jumar (2000), siklus hidup adalah serangkaian berbagai stadia yang terjadi pada seekor serangga dalam pertumbuhannya, sejak dari telur sampai menjadi imago (dewasa). Perkembangan pasca-embrionik atau perkembangan insecta setelah menetas


(22)

dari telur akan mengalami serangkaian perubahan bentuk dan ukuran mancapai serangga dewasa.

Perubahan bentuk dan ukuran yang bertahap ini disebut dengan metamorfosis. Ulat sutera sendiri adalah salah satu serangga yang mengalami metamorfosis sempurna. Sepanjang hidupnya, ulat sutera telah mengalami empat fase, yaitu fase telur, fase larva, pupa dan imago. Pada fase larva terdapat beberapa tahap, yaitu instar I, instar II, instar III, instar IV, dan instar V (Katsumata dalam Ekastusi, 1992).

Gambar 2.3 Siklus Hidup Ulat Sutera Bombyx mori L. (Sumber. hack .us/i/silkworm.jpg/)


(23)

Seperti halnya kupu-kupu, ngengat juga mengalami beberapa tahapan dalam hidupnya sampai menjadi dewasa. Berawal dari telur, menetas menjadi larva (ulat), kemudian berubah menjadi pupa yang terbungkus kokon dari sutera, dan akhirnya menjadi bentuk dewasa berupa ngengat. Rangkaian peristiwa ini dikenal dengan istilah metamorfosis sempurna dan terjadi dalam waktu kurang lebih dari satu bulan. Dalam tahap ini mengalami perubahan yaitu telur berubah menjadi ulat dan kemudian menjadi dewasa atau ngengat. Dalam peristiwa ini ada dua perubahan yang terjadi. Pertama, perubahan pada setiap telur menjadi bentuk ulat. Kedua, perubahan ulat menjadi ngengat. Telur sutera menetas secara tidak langsung berubah jadi ngengat, tetapi terlebih dahulu menjadi ulat. Dalam pertumbuhannya ulat mengalami beberapa kali pergantian kulit, karena kulitnya seakan-akan hanya mampu membungkus tubuh sampai pada tahap pertumbuhan tertentu. Untuk mencapai pertumbuhan berikutnya diperlukan kulit baru untuk membungkus tubuh yang lebih besar (Tim penulis, 1992).

Ngengat dalam hidupnya mengalami metamorfosis sempurna dengan bentuk yang berbeda antara satu fase dengan fase yang lain. Perubahan tersebut adalah dari telur berubah menjadi larva, kemudian menjadi kepompong dan akhirnya menjadi imago (bentuk dewasa), yakni berupa ngengat (Guntoro, 1995).

Serangga mempunyai kelenjar yang mengeluarkan hormon yang disebut ekdison, yang merupakan suatu steroid. Ekdison selalu dianggap sebagai hormon yang bertanggung jawab terhadap pergantian kulit serangga. Dapat ditunjukkan bahwa ekdison bekerja langsung pada kromosom. Hal ini dapat dilihat oleh adanya gejala pembengkakan (puffing) pada kromosom setelah dikenai ekdison. Gejala ini adalah akibat pembuatan DNA dan RNA ditempat itu, yang berhubungan langsung dengan sintesis proteinnya (Sastrodihardjo, 1984).

Telur ulat sutera berbentuk agak gepeng dan kecil, ukurannya kira-kira 1,3 mm, lebar 1 m dan tebal 0,5 mm beratnya hanya ± 0,5 mg. Warna telur hari pertama setelah telur keluar dari induk kupu adalah kuning sampai kuning susu. Pada telur ulat sutera polyvoltin warna tersebut hampir tidak berubah sampai kurang lebih 7-8 hari, tetapi dalam 1-2 hari menjelang akan menetas akan berubah lagi menjadi abu-abu kebiruan (KPSA, 1990).


(24)

2.1.2 Ciri-ciri Morfologi pada Mutan Ulat Sutera (Bombx mori L.)

Ulat sutera dewasa berwarna putih krem dengan beberapa garis kecoklat-coklatan pucat melintang pada sayap-sayap depan, dan mempunyai bentangan sayap kira-kira 50 mm, tubuhnya besar dan berbulu. Ulat sutera dewasa tidak makan, jarang terbang, dan kadang-kadang hanya hidup beberapa hari saja. Masing-masing betina bertelur sekitar 300-400 telur (Boror et al., 1992).

Mutasi gen dapat menyebabkan berbagai perubahan dalam penampakan morfologi ulat sutera. Menurut Tazima (1978), ada beberapa karakteristik morfologi ulat sutera (Bombyx mori L.) yaitu:

a. Warna Tubuh

Lemon (lem)

Larva berwarna kuning terang karena memiliki 7,8-dehydropteridine (sepiapterin) dalam sel hypodermal mereka.

− Inhibitor-f Lemon (i-lem)

Larva pada i-lem ini lebih gelap dibandingkan dengan larva lem.

− Dilute Black (bd)

Larva berwarna hitam keabu-abuan. Ngengat betina benar-benar steril memproduksi telur mikropilar struktur yang tidak normal. Ngengat jantan subur tetapi tidak dapat melakukan pembuahan tanpa bantuan.

− Sooty (so)

Warna kepala hitam gelap, dada dan perut yang berbulu dalam larva maupun di ngengat. Pupa so adalah berwarna hitam pekat dan coklat kekuningan pada normal.

b. Karakteristik Kepompong dan dewasa

Kepompong sutera memiliki bentuk elip dan berwarna coklat kekuningan. Bentuk yang terlihat adalah sayap menonjol dari dada, meluas ke segmen ke-2 bagian perut di sisi vetral. Ngengat ditutupi dengan warna yang coklat gelap.


(25)

i. Bentuk sayap

Untuk melihat bentuk sayap ngengat pada yang mutan dapat dilihat pada tahap pupa yaitu sebagai berikut:

Wingless (Flugellos) (fl)

Kedua sayap anterior posterior tidak ada pada pupa maupun ngengat, sering mati, pendarahan pada wilayah perbatasan antara dada dan perut. Kaki ke 2 dan ke 3 ngengat mempunyai perkembangan yang buruk, pembuahan sulit bagi jantan.

Vestigial (vg)

Kedua sayap depan dan sayap belakang kurang berkembang.

Micropterous (mp)

Bagian Sayap hanya terdapat pada segmen dada pada pupa, ukuran sayap yang muncul sekitar 80% dari normal.

Minute Wing (mw)

Mirip dengan mp tapi sayap lebih pendek.

Wrinkled Wing (wri)

Sayap kurang berkembang, tidak diperpanjang sepenuhnya.

Crayfish (cf)

Sayap pada anterior maupun posterior bengkak dan menonjol kearah luar dari tubuh, sehingga menghasilkan tampilan seperti udang karang. Sayap bengkak, rapuh dan cenderung berdarah.

Crayfish of-Eguchi (cf-e) Sangat mirip dengan cf.

ii. Karakteristik mata

Warna mata berhubungan erat dengan warna pada telurnya. Gen warna pada telur normal membuat mata berwarna hitam, gen merah pada telur membuat mata berwarna merah gelap, dan gen putih pada telur membuat mata berwarna putih tetapi kadang-kadang tidak memberikan pengaruh yang sama.


(26)

2.2 Pakan Ulat Sutera

Menurut Keng (1969), klasifikasi tanaman murbei adalah sebagi berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Klass : Dicotyledoneae Ordo : Urticales Family : Moraceae Genus : Morus Spesies : Morus sp.

Gambar 2.4 Pakan Ulat Sutera Daun Murbei (Morus sp.)

Secara umum murbei merupakan pohon semak. Tinggi maksimalnya mencapai 15 m dengan diameter tajuk 60 cm, memiliki daun tunggal dan spatula. Menurut Wyman (1974), murbei dapat tumbuh atau hidup pada berbagai jenis tanah, serta pada ketinggian antara 0-3000 m dpl. Karenanya, dibeberapa tempat di Indonesia banyak ditemukan murbei tumbuh dengan liar. Ulat sutera lebih cocok berkembangbiak di tempat beriklim sejuk, sehingga murbei lebih ideal ditanam pada ketinggian 400-800 m dpl. Daerah yang mempunyai temperatur rata-rata 21-23 0C sangat cocok untuk murbei. Tanah sebaiknya memiliki pH diatas 6, teksturnya gembur, ketebalan lapisan paling tidak 50 cm. Tanah yang subur akan memberikan dukungan pertumbuhan yang baik. Walaupun begitu, tanah yang kurang subur bisa dibantu dengan dosis pemupukan yang tepat (Tim penulis, 1992).


(27)

Tanaman Murbei memiliki banyak jenis untuk pakan ulat sutera, antara lain jenis Morus alba, Morus cathayana dan Morus multicaulis. Tanaman murbei jenis Morus alba ujung rantingnya yang muda sedikit merah, produksi daunnya cukup tinggi. Morus cathayana ujung rantingnya masih muda dan tangkainya sedikit merah, ukuran daun besar produksi daunnya cukup tinggi. Sedangkan pada murbei jenis Morus multicaulis ujung ranting muda kehijauan. Ukuran daun lebar, produksi daun tinggi dan tidak cepat layu (Guntoro, 1994).

2.3 Kromosom dan Kariotipe 2.3.1 Kromosom

Menurut Yatim, (1983), kromosom berasal dari kata (Chromo= warna dan soma= badan). Suryo (1995) menyatakan, kromosom adalah benda-benda halus berbentuk lurus seperti batang atau bengkok yang terdiri dari zat yang mudah menyerap zat warna. Menurut Pai (1987), kromosom-kromosom mengandung gen-gen yang merupakan wahana bagi pemindahan dari satu generasi ke generasi lain pada semua organisme.

Irawan (2008) menyatakan, kromosom adalah suatu struktur yang tersusun dari asam nukleat dan protein. Pada stadium interfase bahan kromosom ini tampak sebagai benang halus dan disebut kromatin. Pada eukariot kromatin terdapat pada inti sel, sedangkan prokariot terdapat pada sitoplasma. Ketika sel memasuki stadium metafase kromatin menggulung dan melipat sehingga tampak tebal dan mudah terlihat dengan mikroskop cahaya. Kromatin menggulung dan melipat ini disebut kromosom.

Kromosom yang terlihat dengan mikroskop elektron tampak terdiri dari serabut-serabut yang tebalnya dapat berkisar antara 100 angstrom (1 Å = 0,0001 mikron = 0,0000001 mm) sampai kira-kira 500 Å. Kebanyakan unsur serabut itu mempunyai diameter kira-kira 250 Å. Menurut Du Praw (1970) dalam Suryo (1995), kromatid dari sebuah kromosom terdiri dari seutas serabut tunggal berbentuk spiral yang terbentuk banyak sosok dan lipatan selama pembelahan sel.


(28)

Yatim (1983), menyatakan, satu kromosom terdiri dari 2 bagian, yaitu sentromer dan lengan. Sentromer adalah bagian kepala kromosom. Ketika sel membelah kromosom menggantung pada serat gelendong lewat sentromer. Sentromer tidak mengandung kromonema dan gen. Dalam preparat mikroskopis, bagian ini tampak sebagai lekukan kearah dalam dan warnanya lebih tipis bila dibandingkan dengan lengan kromosom (Suryo, 1995). Mengandung kromonema dengan lengan ialah badan kromosom sendiri (Yatim, 1983).

Menurut Suryo (1995), kromosom dapat dibedakan berdasarkan letak sentromernya yaitu:

a. Kromosom metasentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer di tengah, sehingga kromosom terbagi atas dua lengan sama panjang. Biasanya kromosom membengkok di tempat sentromer sehingga kromosom berbentuk huruf V.

b. Kromosom submetasentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer tidak ditengah, sehingga kedua lengan kromosom tidak sama panjang. Bila kromosom ini membengkok di tempat sentromer, maka kromosom berbentuk huruf J. Lengan yang pendek biasanya diberi simbol p sedangkan lengan panjang q.

c. Kromosom akrosentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer di salah satu ujungnya, sehingga kedua lengan tidak sama panjang. Biasanya kromosom ini lurus, tidak bengkok.

d. Kromosom telosentris, ialah kromosom yang memiliki sentromer disalah satu ujungnnya, sehingga kromosom tetap lurus dan tidak terbagi atas dua lengan. Kromosom telosentrik tidak dijumpai pada manusia, dan sangat langka pada tumbuh-tumbuhan. Pada hewan ada kalanya ditemukan kromosom telosentris.

Struktur kromosom dapat dilihat sangat jelas pada fase-fase tertentu waktu pembelahan nukleus pada saat mereka bergulung. Pada setiap kromosom dalam genom biasanya dapat dibedakan satu dengan yang lain oleh beberapa kriteria, termasuk panjang relatif kromosom, posisi suatu kromosom yang disebut sentromer yang membagi kromosom menjadi dua tangan yang panjangnya beda-beda, kehadiran dua posisi bidang (area) yang membesar yang disebut tombol (knob) atau kromomer, adanya panjangnya halus pada terminal dari material kromatin yang disebut satelit dan sebagainya. Suatu kromosom dengan sentromer median (metasentris) akan


(29)

mempunyai tangan-tangan dengan ukuran yang kira-kira sama. Kromosom yang submetasentris atau akrosentris mempunyai tangan-tangan yang jelas ukurannya tidak sama. Jika sentromer suatu kromosom berada di atau dekat sekali dengan salah satu ujung kromosom, disebut telosentris. Tiap kromosom dari genom (dengan pengecualian kromosom-kromosom seks) diberi nomor secara berurutan menurut panjangnya, dimulai pertama kali dengan kromosom dari yang paling panjang sampai yang paling pendek (Stansfield & Erlod, 1991).

2.3.2 Kariotipe

Kariotipe adalah gambaran kromosom yang ada dalam suatu sel atau individu, biasanya yang digunakan adalah kromosom pada stadium metafase. Dalam kariotipe disusun berdasarkan panjangnya dan posisi sentromer. Dalam stadium metafase setiap kromosom telah menggandakan diri menjadi dua kromatid yang bersatu pada bagian sentromer. Dalam proses pembelahan selanjutnya kromatid akan tertarik oleh benang. Pada tingkat metafase dalam proses pembelahan sel dapat di foto kromosom suatu organisme. Pada fase ini kromosom berada pada bidang ekuator, dan jika sayatan tepat melewati bidang ekuator, maka dapat dilihat sediaan yang mengandung kromosom yang terdapat dalam sel. Kromosom disusun dan dikelompokkan berdasarkan panjang dan bentuknya (Yatim, 1983 & Irawan, 2008).

Tjong dan Roesma (1998), melaporkan bahwa suatu kromosom memperlihatkan kromosom berbentuk metasentrik kecuali kromosom yang tidak dapat ditentukan letak sentromernya dan terdapat perbedaan kariotipe antara Ephilachna vigintioctopuntata strain Leguminoceae dan Solanaceae dalam hasil panjang kromosom relatif terutama untuk kromosom X.

Prosedur pembuatan kromosom yang terbaru dapat menghasilkan pewarnaan yang tidak merata, menghasilkan jalur-jalur (garis-garis) yang terang dan gelap. Pola bergaris-garis dari kromosom-kromosom individual yang ditemukan adalah unik dan konsisten, dan digunakan untuk mengenali (identifikasi) pasangan-pasangan homolog. Selain itu, kromosom berada dalam ukuran besarnya dan dalam posisi dan


(30)

sentromernya, sekalipun kedua anggota dari setiap pasang homolog adalah identik dalam strukturnya. Ukuran besar kromosom dan sentromer dapat membantu untuk membedakan satu kromosom dari yang lain (Pai, 1987).

2.4 Radiasi Sinar Ultraviolet dan Mutasi 2.4.1 Radiasi Sinar Ultraviolet

Ultraviolet digunakan untuk penelitian genetika, keperluan medis dan juga untuk sterilisari karena dapat membunuh bakteri. Ultraviolet banyak dijumpai pada sinar matahari, tetapi sinar ultraviolet ini dipancarkan keluar oleh ozon di atmosfer (Snustad & Gardner, 1984). Radiasi sinar ultraviolet tidak cukup energi untuk menginduksi ionisasi seperti sinar X, walaupun demikian sinar ultraviolet dapat menyerap substansi tertentu seperti basa purin dengan deviratnya guanin dan sitosin, dan pirimidin dengan deviratnya adenin dan timin. Karena energi ultraviolet rendah. Maka hanya dapat menembus bagian permukaan sel pada organisme multiselular. Namun ultraviolet mempunyai kemampuan sebagai mutagen pada dosis yang tinggi dapat membunuh sel (Lewis, 1997).

Kelainan DNA yang disebabkan oleh radiasi dapat menyebabkan kelainan somatik atau genetik, tergantung pada jenis sel yang bersangkutan (Ackerman et al., 1988). DNA juga dirusak oleh ultraviolet pada panjang gelombang 245-260 nm, sehingga ultraviolet dapat menginduksi secara langsung akibat penyerapan purin dan pirimidin. Pirimidin pada umumnya sangat kuat menyerap ultraviolet 254 nm dan menjadi sangat aktif (Lewis, 1997).

2.4.2 Mutasi

Mutasi adalah proses perubahan pasangan basa DNA atau perubahan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada sel somatik dan sel gamet. Jika mutan hanya terjadi pada sel somatik, maka mutan tersebut tidak menurunkan sifat-sifat yang dimilikinya pada


(31)

generasi berikutnya. Mutasi demikian disebut sebagai mutasi somatik. Jika mutasi pada sel gamet, maka mutan tersebut menurunkan sifat-sifat pada keturunannya. Mutasi ini disebut mutasi gamet (Russel, 1992).

Walaupun jumlah kromosom pada suatu jenis organisme biasanya tetap, tetapi telah diketahui adanya variasi dalam sejumlah dan jenis pola garis kromosomnya. Perubahan jumlah dapat bertambah atau berkurang. Perubahan pola garisnya dapat menunjukkan adanya perulangan yaitu bila didapati pola yang sama dua kali atau lebih, atau pemendekan segmen yaitu bila pola tertentu yang dalam keadaan normal ada menjadi tidak ada atau hilang. Perubahan yang terjadi pada kromosom ini disebut mutasi kromosom atau aberasi kromosom. Berdasarkan keterangan atas mutasi kromosom dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu mutasi jumlah kromosom (perubahan jumlah kromosom) dan mutasi struktur kromosom (Irawan, 2008).

Peristiwa ini dinamakan aberasi kromosom. Jika variasi pada gen-gen individual memungkinkan kita untuk mengetahui banyak tentang sifat gen, maka aberasi kromosom mempunyai nilai tinggi pula guna memperkenalkan sifat kromosom beserta gen-gen yang dibawanya (Suryo, 1995).

Menurut Irawan (2008), bahwa beberapa jenis aberasi atau mutasi yang disebabkan putusnya kromosom:

a. Delesi adalah hilangnya sebagian segmen kromosom. Bila hanya salah satu dari sepasang kromosom yang mengalami delesi yaitu heterozigot delesi, maka ketika akan pembelahan meiosis pasang ini akan membentuk semacam loop atau ansa, yaitu suatu struktur lengkung.

a. Duplikasi, yaitu penyimpangan ini terjadi pengulangan segmen tertentu dari suatu kromosom. Pengulangan ini dengan sendirinya berarti pengulanggan gen. Sebagaimana delesi, karana panjang kromosom juga tidak sama waktu meiosis juga berbentuk loop.

b. Translokasi, terjadi karena sebagaian atau segmen kromosom terputus dan bersambung lagi tetapi bukan pada kromosom awal melainkan tersambung pada kromosom lain. Dengan kata lain kromosom yang mengalami delesi, pada saat bersama kromosom tersebut mendapatkan tambahan segmen dari kromosom lain.


(32)

c. Inversi, pada aberasi jenis ini suatu segmen kromosom memliki susunan terbalik.

2.5 Metode pembuatan Sediaan

Menurut Suntoro (1983), metode-metode pembuatan sediaan adalah sebagai berikut: a. Metode oles, adalah suatu metode pembuatan sediaan dengan jalan menggores

atau membuat selaput film dari substansi yang berupa cairan diatas gelas benda yang bersih dan bebas lemak, dan kemudian difiksasi, diwarnai dan ditutup dengan gelas benda.

b. Metede rentang, adalah metode pembuatan sediaan dengan cara merentangkan suatu jaringan pada permukaan gelas benda sedemikian, sehingga dapat diamati dibawah mikroskop.

c. Metode pencet, adalah suatu metode untuk mendapatkan suatu sediaan dengan cara memencet suatu potongan jaringan atau suatu organisme secara keseluruhan, sehingga didapat suatu sediaan yang tipis yang dapat diamati dibawah mikroskop.

d. Metode supravital, adalah suatu metode untuk mempertahankan sediaan dari sel atau jaringan hidup.

e. Metode iris, adalah metode pembuatan preparat sediaan dengan jalan membuat suatu irisan dengan tebal tertentu,sehingga dapat diamati dibawah mikroskop.

Selain metode pembuatan sediaan diatas diketahui suatu metode pengamatan kromosom yaitu metode kering udara (air drying) yang dikembangkan oleh Tsurusaki (1986). Dan telah digunakan oleh peneliti sebelumnya yaitu Tjong dan Roesma (1998) untuk menganalisis kariotipe Bajing (Callosciurus natatus) dan menganalisis perdandingan kariotipe Ephilachna vigintloctupunctata antara forma A dan B.

Suntoro (1983), menyatakan fiksatif umumnya mempunyai kemampuan untuk mengubah indeks bias bagian-bagian sel, sehingga bagian-bagian dalam sel tersebut mudah terlihat dibawah mikroskop dan memiliki kemampuan membuat jaringan mudah menyerap zat warna.


(33)

Kromosom lebih mudah dilihat apabila dilakukan teknik pewarnaan khusus selama nukleus membelah. Ini disebabkan karna pada saat itu kromosom mengadakan konteksi sehingga menjadi lebih tebal, lagi pula dapat menghisap zat warna lebih baik dari pada kromosom yang telah terdapat pada inti yang telah istirahat (Suryo, 2003).

Dalam teknik-teknik pengecatan khusus (apakah pengecatan flueresence yang terlihat dengan mikroskop diiluminisasi UV dengan Giemsa setelah pra-perlakuan) semua pasang kromosom manusia sekarang dapat dikenali satu-persatu lewat pola pemisaahannya. Ini bernilai tinggi dalam mengidentifikasi abnormalitas dan dalam kejadian keterangkaian di mana sebelumnya mungkin terdapat kesulitan dalam mengidentifikasi kromosom tertentu. Giemsa adalah zat terkenal dan normalnya akan pengecatan kromosom biru secara seragam, tetapi dengan perlakuan tripsin tiap kromosom menunjukkan pola pemitaan khas (Clarke, 1996)

Pewarnaan dengan giemsa 2% menunjukkan gambar kromosom yang lebih baik pada metafase baik untuk digunakan di laboratorium (Maro et al., 2000). Menurut Suntoro (1983), fiksasi adalah suatu usaha manusia mempertahankan elemen-elemen sel/ jaringan agar tetap pada tempatnya dan tidak mengalami perubahan bentuk maupun ukuran. Hasil dari fiksasi ini adalah bahwa setiap molekul dari jaringan tetap berada pada tempatnya.


(34)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai bulan Desember 2009 selesai di Laboratorium Genetika, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Bahan

Adapun bahan yang digunakan adalah telur ulat sutera (Bombyx mori L.) yang normal dan yang dimutasi dengan sinar ultraviolet dan dipelihara hingga jadi ngengat di Laboratorium Genetika, larutan hipotonis, larutan Carnoy, lakto asetat, pewarna Giemsa 2 % dan aquades.

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dimana waktu perlakuan dengan penyinaran sebagai berikut:

T0 = 0 menit (kontrol) T1 = 1,5 menit

T2 = 3,0 menit T3 = 4,5 menit

Masing-masing dengan sepuluh kali ulangan (lama penyinaran berdasarkan penelitian Tampubolon, 2007).


(35)

3.4 Persiapan Bahan

Bahan yang terlebih dahulu disiapkan adalah telur ulat sutera (Bombyx mori L.) dan disinari lampu ultraviolet merk Sankyo Denki. Dengan panjang gelombang 245 nm dengan intensitas sinar ultraviolet 30 watt, dengan jarak lampu 30 cm, kemudian disinari dengan lampu ultraviolet dengan waktu yang berbeda-beda yaitu 0; 1,5; 3,0 dan 4,5 menit. Selanjutnya telur yang telah dimutasi diletakkan ditempat gelap sampai menetas dan kemudian dipelihara sampai menjadi ngengat (berdasarkan Guntoro, 1995).

Kemudian dilanjutkan dengan pengamatan fenotip ulat sutera dan pembuatan preparat di Laboratorium Genetika, Departemen Biologi, FMIPA USU.

3.5 Parameter Pengamatan

3.5.1 Pengamatan kromosom Dengan Metode Kering Udara (Tsurusaki, 1986)

a. Pembuatan Preparat kromosom dengan Metode Kering Udara

Ngengat ulat sutera jantan dibedah dan diambil testisnya, kemudian diberi larutan hipotonik selama 15 menit pada suhu kamar. Kemudian larutan diganti dengan laruatan Carnoy (3 bagian metanol absolut dan 1 bagian asam asetat glacial) selama 15 menit. Setelah itu ditambahkan satu atau dua tetes lakto asetat (6 bagian asam asetat, 1 bagian asam laktat, dan 1 bagian aquades) dan diamati dibawah mikroskop. Jika objek tersebut menjadi transparan dan hubungan intraselular menjadi terlepas, objek dipindahkan ke objek gelas. Sebelum objek kering ditambahkan 5 sampai 10 tetes larutan fiksatif. Dikering anginkan pada suhu kamar selama 24 jam, kemudian objek diwarnai dengan Giemsa 2% selama 20 menit. Kelebihan zat warna dihilangkan dengan air mengalir selama satu atau dua detik dan dikering anginkan kemudian diamati dibawah mikroskop ( Tjong & Roesma, 1998).


(36)

b. Proses Pemotretan Kromosom

Preparat dilihat dibawah mikroskop cahaya, dari mulai perbesaran yang kecil sampai terbesar untuk melihat kromosom dengan sebaran yang baik dipotret dengan kamera digital Canon IXUS 85IS dengan perbesaran 1600 kali.

c. Menghitung Jumlah Kromosom

Foto perbesaran 1600 kali ditransfer ke program Photoshop CS 2, dipilih satu sel yang mempunyai kromosom yang jelas dan di “crop”. Sel yang telah di “crop” diperbesar 66,7% dengan menggunakan Photoshop CS 2. sel diberi intensitas warna untuk memperjelas penampakan kromosom. Rentangan kromosom metafase diberi warna ungu dan latarnya warna putih. Kemudian subjek dihitung jumlah kromosomnya (Zhu et al., 1996).

d. Pengukuran dan Penyusunan Kromosom

Dari masing-masing kromosom diukur panjang keseluruhan kromosomnya, lengan panjang dan lengan pendek. Berdasarkan panjang kromosom tersebut, selanjutnya dihitung persentase panjang relatif (%PR) dan persentase indeks sentromer (%IS) dengan menggunakan rumus Zhang (1996), yaitu:

Keterangan: p = kromosom lengan pendek q = kromosom lengan panjang

p + q

%PR = x 100 Panjang Set Kromosom haploid

p %IS = x 100


(37)

Kemudian kromosom disusun berdasarkan panjang dan posisi sentromer sehingga diperoleh gambaran karyotipe ulat sutera.

3.5.2 Pengamatan Fenotipe

Mutasi gen dapat menyebabkan berbagai perubahan dalam penampakannya. Menurut Tazima (1978), ada beberapa karakteristik morfologi ulat sutera (Bombyx mori L.) yang diamati yaitu:

a. Panjang Tubuh Larva Instar IV b. Panjang Tubuh Larva Instar V c. Panjang Ukuran sayap

d. Panjang Ukuran Tubuh e. Panjang Ukuran Antena f. Warna Larva Instar V g. Warna Mata Ngengat Sutera h. Bentuk Sayap Ngengat Sutera

3.6 Analisis Data

Fenotipe dari ulat sutera Bombyx mori L. yang diinduksi dengan sinar ultraviolet dan kariotipe kromosom ulat sutera Bombyx mori L. dianalisis secara deskriptif, sedangkan data pengamatan morfologi diuji kemaknaannya dengan bantuan program statistik computer SPSS 14.0. Urutan uji dilakukan dengan uji sidik ragam (ANOVA) satu arah. Dan jika berbeda nyata dilakuan uji analisis Post Hoc-Bonfferroni dengan taraf 5%.


(38)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari penelitian yang telah dilakukan tentang perubahan fenotipe ulat sutera (Bombyx mori L.) yang diinduksi dengan sinar ultraviolet dan kariotipe kromosom didapat hasil sebagai berikut:

4.1 Pengamatan Morfologi

Pengamatan morfologi dari ulat sutera yang diperlakukan dengan sinar ultraviolet yaitu panjang tubuh larva instar IV dan V, panjang sayap, panjang tubuh ngengat, dan panjang antena. Dari hasil penelitian, ada beberapa variabel pengamatan menunjukkan bahwa ulat sutera yang diberikan perlakuan dengan sinar ultraviolet mempunyai efek yang berbeda-beda. Hasil pengamatan morfologi dari ulat sutera dari penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini.

Tabel 4.1 Rata-rata panjang morfologi ulat sutera (Bombyx mori L.) (cm, n=10, x±Sd )

Perlakuan Tubuh Larva Instar IV

Tubuh Larva Instar V

Sayap Tubuh Ngengat

Antena

T0 3,61±0,47 a 6,37±0,54 a 1,97±0,15 a 2,28±0,30 ab 0,79±0,10 a

T1 2,96±0,47 b 5,79±1,11 a 2,15±0,53 a 2,73±0,47 a 0,77±0,07 a

T2 2,99±0,41 b 5,64±0,53 a 1,86±0,44 a 2,44±0,40 ab 0,77±0,09 a

T3 3,17±0,45 ab 6,08±0,46 a 1,71±0,59 a 2,25±0,29 b 0,77±0,12 a

Keterangan: T0: 0 menit, T1: 1,5 menit, T2: 3,0 menit, T3: 4,5 menit, x: Rata-rata Sd : Standart deviasi

Tabel 4.1 di atas dapat dibuat dalam bentuk grafik hubungan panjang rata-rata morfologi ulat sutera dengan perlakuan dengan lama penyinaran. Dimana dengan demikian membantu untuk melihat pengaruh lama penyinaran terhadap setiap panjang rata-rata morfologi ulat sutera. Seperti ditunjukkan pada Gambar 4.1 berikut ini.


(39)

Gambar 4.1 Gafik Hubungan Panjang Rata-rata Morfologi Ulat Sutera dengan Perlakuan Penyinaran

Panjang Ukuran Larva Instar IV. Dari Tabel 4.1 di atas, terlihat bahwa adanya pengaruh penyinaran dengan sinar UV. Dengan peningkatan waktu penyinaran menyebabkan penurunan pada panjang ukuran tubuh larva. Perlakuan tanpa penyinaran mempunyai ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan perlakuan dengan penyinaran. Data pengamatan panjang ukuran larva ulat sutera instar IV dapat dilihat pada lampiran A (hal. 48). Dari uji sidik ragam (ANOVA) satu arah analisis Post Hoc-Bonfferroni menunjukkan bahwa lama penyinaran menunjukkan hubungan yang berbeda nyata pada setiap perlakuan. Dimana T0 berbeda nyata dengan T1 dan T2, sedangkan T3 tidak berbeda nyata dengan T0, T1 dan T2. Dengan kata lain peningkatan lama penyinaran berpengaruh terhadap panjang ulat sutera instar IV. Maka hubungan panjang larva instar IV terhadap lama penyinaran dapat dilihat pada Gambar 4.1 di atas. Dimana dari gambar grafik dapat diketahui bahwa perlakuan penyinaran dengan sinar UV merk Sankyo Denki dengan intensitas 30 Watt dan 30 cm dibawah lampu memberikan pengaruh yang berbeda pada panjang ukuran tubuh larva instar IV. Hal ini disebabkan karena sinar ultraviolet yang dipancarkan oleh lampu dan dengan energi yang sebesar itu bisa diserap oleh sel-sel dalam jumlah y berbeda-beda sehingga memberikan pengaruh yang berbeda pada pertumbuhannya.


(40)

dengan lampu Philips TUV 30 watt yaitu sekitar 253,7 nm. Menurut Valtonen (1961), radiasi UV pada panjang gelombang dibawah 280 nm (UV-C) dihasilkan dari lampu Philips TUV 30 Watt yang mempunyai tekanan rendah hampir semua radiasinya dipanaskan pada gelombang 253,7 nm. Karena asam nukleat dari semua organisme berbeda dalam komposisi basa, dan tidak semua penyerapan asam nukleat sama, penyerapan maksimum terjadi pada panjang gelombang 260-265 nm dan penyerapan minimum terjadi pada panjang gelombang yang lebih dari 260-265 nm (Harm, 1980).

Menurut Harm (1980), bahwa pemberian radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang yang tinggi, maka lama penyinarannya harus cepat dan sebaliknya apabila pemberian radiasi sinar ultraviolet dengan panjang gelombang yang pendek, maka lama penyinarannya harus lama. Panjang gelombang tepat dibawah sinar tampak 360 nm telah dapat mengakibatkan mutagenesis. Menurut Lestari (1997), perubahan jumlah kromosom mempunyai frekuensi yang rendah tetapi apabila terjadi secara cepat maka akan terlihat dengan adanya perubahan yang nyata pada fenotipenya.

Panjang Ukuran Larva Instar V. Dari Tabel 4.1 di atas, terlihat bahwa tidak adanya pengaruh penyinaran dengan sinar ultraviolet terhadap panjang ukuran tubuh larva instar V. . Data pengamatan panjang ukuran tubuh ulat sutera instar V dapat dilihat pada Lampiran B (hal. 49). Dari uji sidik ragam (ANOVA) satu arah analisis Post Hoc-Bonfferroni menunjukkan adanya hubungan tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan. Dengan kata lain peningkatan lama penyinaran tidak berpengaruh terhadap panjang ulat sutera instar V. Hubungan panjang tubuh larva larva instar V terhadap lama penyinaran dapat dilihat pada Gambar 4.1 di atas, dimana dapat dilihat bahwa penambahan waktu tidak menyebabkan perubahan pada panjang ukuran tubuh pada perlakuan T0, T1, T2 dan T3. Menurut Ackerman et al. (1988), bahwa kelainan DNA yang disebabkan oleh radiasi dapat menyebabkan kelainan somatik atau genetik pada sel-sel bersangkutan. Snustad et al, (1997), menyatakan bahwa gen-gen yang mengalami mutasi akan mengalami perubahan fenotipe.

Mutasi diinduksi oleh radiasi dan bahan kimia. Sinar X dan sinar ultraviolet dapat digunakan untuk menginduksi mutasi. Sinar X merupakan radiasi ion yang


(41)

dapat menembus jaringan (Klug & Cummings, 1994). Ultraviolet dapat menyebabkan mutasi karena purin dan pirimidin menyerap cahaya dengan sangat kuat. Pada panjang gelombang 254-260 nm, sinar UV dapat menginduksi mutasi yang menyebabkan fotokimia pada DNA (Klug & Cummings, 1994).

Panjang Sayap. Dari Tabel 4.1 di atas terlihat bahwa tidak adanya pengaruh penyinaran dengan sinar ultraviolet terhadap panjang ukuran sayap ngengat sutera. Data pengamatan panjang sayap ngengat sutera dapat dilihat pada Lampiran C (hal. 50). Dari uji sidik ragam (ANOVA) satu arah analisis Post Hoc-Bonfferroni menunjukkan adanya hubungan tidak berbeda nyata. Dengan kata lain peningkatan lama penyinaran tidak begitu berpengaruh terhadap panjang ukuran sayap ngengat sutera. Maka hubungan panjang sayap terhadap lama penyinaran dapat dilihat pada Gambar 4.1 di atas. Dimana dari gambar diketahui bahwa perlakuan penyinaran dengan sinar UV tidak memberikan terpengaruh pada panjang ukuran sayap. Hal ini disebabkan karena dosis sinar ultraviolet tidak mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap ulat sutera. Menurut Harm (1980) suatu spesies dapat meningkatkan pertahanan terhadap penyinaran ultraviolet yang dibantu oleh penerangan cahaya tampak yang dikenal fotoreaktivasi.

Menurut Purwakusuma (2007), sinar ultraviolet memiliki kemampuan untuk mempengaruhi fungsi sel makhluk hidup dengan mengubah material inti sel, atau DNA, sehingga makhluk tersebut mati. Menurut Jay (1996), bahwa sinar ultraviolet diserap oleh protein dan asam nukleat. Reaksi kimia yang terjadi dapat menyebabkan kegagalan proses metabolisme pada mikroorganisme yang mengarah pada kematian.

Panjang Tubuh Ngengat. Dari Tabel 4.1 di atas, terlihat bahwa adanya pengaruh penyinaran dengan sinar ultraviolet terhadap panjang ukuran tubuh ngengat sutera. Dimana dengan peningkatan waktu penyinaran menyebabkan peningkatan pada panjang ukuran tubuh ngengat sutera. Data pengamatan panjang sayap ngengat sutera dapat dilihat pada Lampiran D (hal. 51). Dari uji sidik ragam (ANOVA) satu arah analisis Post Hoc-Bonfferroni menunjukkan adanya hubungan berbeda nyata pada


(42)

T1 dengan T3. Dengan kata lain peningkatan lama penyinaran berpengaruh terhadap panjang ukuran tubuh ngengat sutera. Maka hubungan antara panjang ukuran tubuh ngengat terhadap lama penyinaran dapat dilihat pada Gambar 4.1 di atas. Dimana dari gambar grafik tersebut diketahui bahwa perlakuan penyinaran dengan sinar ultraviolet memberikan pengaruh yang cukup nampak pada panjang ukuran tubuh ngengat.

Menurut Ackerman (1988), bahwa sinar UV yang merupakan sinar non-ionisasi, tidak memiliki cukup energi untuk induksi non-ionisasi, walaupun demikian sinar ultraviolet sangat baik digunakan sebagai mutagen dan pada dosis yang tinggi dapat membunuh sel. Jadi penyinaran UV ini merupakan rangsangan yang penting yang dapat merusak sel. Bila mikroorganisme disinari oleh sinar ultraviolet, maka ADN (Asam Deoksiribonukleat) dari mikroorganisme tersebut akan menyerap energi sinar ultraviolet. Energi itu menyebabkan terputusnya ikatan hidrogen pada basa nitrogen, sehingga terjadi modifikasi-modifikasi kimia dari nukleoprotein serta menimbulkan hubungan silang antara molekul-molekul timin yang berdekatan dengan berikatan secara kovalen. Hubungan ini dapat menyebabkan salah baca dari kode genetik dalam proses sintesa protein, yang akan menghasilkan mutasi yang selanjutnya akan merusak atau memperlemah fungsi-fungsi vital organisme dan kemudian akan membunuhnya (Akbar, 2006).

Panjang Antena. Dari Tabel 4.1 di atas, terlihat bahwa tidak adanya pengaruh penyinaran dengan sinar UV terhadap panjang antena. Pada data pengamatan panjang sayap ngengat sutera dapat dilihat pada Lampiran E (hal. 52). Dari uji sidik ragam (ANOVA) satu arah analisis Post Hoc-Bonfferroni menunjukkan adanya hubungan tidak berbeda nyata. Dengan kata lain peningkatan lama penyinaran tidak begitu berpengaruh terhadap panjang ukuran antena ngengat sutera. Maka hubungan panjang antena ngengat terhadap lama penyinaran dapat dilihat pada Gambar 4.1 di atas. Dimana dari gambar tersebut diketahui bahwa perlakuan penyinaran dengan sinar UV tidak memberikan pengaruh yang cukup nampak pada panjang ukuran tubuh ngengat. Menurut Lestari (1997), perubahan jumlah kromosom mempunyai frekuensi yang rendah tetapi apabila terjadi secara cepat maka akan terlihat dengan adanya perubahan yang nyata pada fenotipenya.


(43)

Dari sini diketahui bahwa radiasi sinar ultraviolet tidak terlalu berpengaruh terhadap panjang morfologi ulat sutera apabila dosis dan lama penyinaran yang diberikan tidak terlalu tinggi karena ulat sutera mampu mamperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh sinar ultraviolet. Sedangkan dosis yang paling tinggi dari sinar ultraviolet dapat menghambat pertumbuhan ulat sutera.

4.2 Pengamatan Fenotipe

Perlakuan induksi ultraviolet menghasilkan organisme yang mutan dimana dalam hal ini mengalami mutasi morfologi. Mutasi morfologi adalah mutasi yang memperlihatkan perubahan penampakan luar suatu organisme, seperti bentuk (mata, sayap dan tubuh), ukuran (tubuh, sayap dan antena), dan warna (tubuh dan sayap) (Jones & Karp, 1986). Selain mengalami mutasi morfologi pada penelitian ini juga mengalami mutasi letal. Kadang-kadang penyebab kematian yang tidak diketahui, sementara alel yang mengalami mutasi bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup organisme tersebut (Jones & Karp, 1986).

Tabel 4.2 Data Pengamatan Fenotipe Pada Warna Larva Instar V Ulat Sutera (Bombyx mori L.)

Perlakuan dengan sinar ultraviolet

Jumlah mutan

Keterangan

T0 - tanpa penyinaran, 10 wild-type (wt)

T1 4 ekor 4 Inhibitor –f Lemon (i-lem), 6 wild-type (wt) T2 5 ekor 5 Inhibitor-f Lemon (i-lem), 5 wild-type (wt) T3 6 ekor 1 Dilute black (db), 5 Inhibitor-f Lemon

(i-lem), 4 wild-type (wt)

Keterangan: T0: 0 menit, T1: 1,5 menit, T2: 3,0 menit dan T3: 4,5 menit

Warna Larva Instar V. Berdasarkan Tabel 4.2 di atas, terlihat bahwa peningkatan lama penyinaran dengan sinar UV menyebabkan terjadi perubahan fenotip pada warna larva instar V. Dimana pada lama penyinaran T0 (kontrol) tidak terjadi perubahan pada warna larva instar V, tetapi pada perlakuan T1(1,5 menit), T2 (3,0 menit) dan T3 (4,5 menit). Ulat sutera yang mengalami mutasi ditunjukkan pada Gambar 4.2 berikut ini.


(44)

Gambar 4.2 Ulat sutera (Bombyx mori L.) instar V dengan warna tubuh; (a). Warna tubuh normal, (b). Inhibitor-f Lemon (i-lem), (c). Dilute Black (db)

Dari Gambar 4.2 di atas menunjukkan perubahan yang terjadi pada warna larva instar V yaitu Inhibitor-f Lemon (i-lem) dan Delute black (bd). Dimana semakin tinggi lama penyinaran akan menyebabkan semakin tingginya jumlah larva yang mutan. Menurut Harm (1980), yang menyatakan bahwa pemberian radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang yang tinggi, maka lama penyinarannya harus cepat dan sebaliknya apabila pemberian radiasi sinar ultraviolet dengan panjang gelombang yang pendek, maka lama penyinarannya harus lama. Panjang gelombang tepat dibawah sinar tampak 360 nm telah dapat mengakibatkan mutagenesis.

Dalam penelitian ini lampu UV yang digunakan adalah merk Sankyo Denki 30 watt yang diperkirakan mempunyai panjang gelombang yang tidak jauh berbeda dengan lampu Philips TUV 30 watt yaitu sekitar 253,7 nm. Menurut Valtonen (1961), radiasi UV pada panjang gelombang dibawah 280 nm (UV-C) dihasilkan dari lampu Philips TUV 30 Watt yang mempunyai tekanan rendah hampir semua radiasinya dipanaskan pada gelombang 253,7 nm. Karena asam nukleat dari semua organisme berbeda dalam komposisi basa, dan tidak semua penyerapan asam nukleat sama, penyerapan maksimum terjadi pada panjang gelombang 260-265 nm dan penyerapan minimum terjadi pada panjang gelombang yang lebih dari 260-265 nm (Harm, 1980). Bagaimanapun kecilnya dosis dan rendahnya dosis namun kecepatan mutasi dapat terjadi dan resiko kumulatif genetik ini terjadi selama perbaikan biologi tidak terjadi (Coggle, 1983). Menurut Zul & Febrianis (2003) sinar UV digunakan sebagai agen


(45)

mutagenik karena sinar UV efektif sebagai agen mutagenik dan lebih murah dibandingkan agen mutagenik yang lain.

Menurut Broetjes (1982), Bhatnagar & Tiwai (1991), Mickey at al. (1993) dalam Soedjono (2003), bahwa faktor yang mempengaruhi terbentuknya mutan antara lain adalah dosis irradiasi. Perlakuan dosis tinggi akan mematikan bahan yang dimutasi atau mengakibatkan sterilitas.

Tabel 4.3 Data Pengamatan Fenotipe pada Warna Mata Ngengat Sutera (Bombyx mori L.)

Perlakuan dengan sinar ultraviolet

Jumlah mutan

Keterangan

T0 - wild-type (wt) berwarna hitam

T1 - Hitam

T2 - Hitam

T3 - Hitam

Keterangan: T0: 0 menit, T1: 1,5 menit, T2: 3,0 menit dan T3: 4,5 menit

Warna Mata. Pada Tabel 4.3 di atas, tidak terdapat adanya perbedaan pada warna mata ngengat ulat sutera baik pada perlakuan dengan penyinaran sinar UV dan tanpa penyinaran. Dimana pada lama penyinaran 0 menit (kontrol) dan dengan penyinaran dengan sinar UV tidak terjadi perubahan pada warna mata ngengat. Dan dapat dilihat pada Gambar 4.3 berikut ini.


(46)

Menurut Wagner (1996) bahwa terjadi hubungan interaksi gen dan lingkungan, yang memungkinkan terbentuknya fenotipe. Suatu mutagen dapat memberikan pengaruh yang kecil karena ada kemampuan sel mempertahankan diri. Hubungan antara gen dan lingkungan tersebut dapat kompensasi terhadap beberapa mutasi dan dengan demikian menstabilkan fenotipe sehubungan dengan mutasi tersebut.

Tabel 4.4 Data Pengamatan Fenotipe Pada Bentuk Sayap Ngengat Sutera (Bombyx mori L.)

Perlakuan dengan sinar ultraviolet

Jumlah mutan

Keterangan

T0 - 10 wild-type (wt)

T1 6 ekor 4 Wild-type (wt), 2 wrinkled (wri), 4 vestigial wing (ww)

T2 7 ekor 3 Wild-type (wt), 2 wrinkled (wri), 1 minute wing (mw),, 4 vestigial (Vg)

T3 9 ekor 1 Wild-type (wt), 6 vestigial (Vg), 3 minute wing (mw)

Keterangan: T0: 0 menit, T1: 1,5 menit, T2: 3,0 menit dan T3: 4,5 menit

Bentuk Sayap Ngengat Sutera. Berdasarkan Tabel 4.4 di atas, terlihat bahwa peningkatan lama penyinaran dengan sinar UV menyebabkan terjadi perubahan fenotip pada bentuk sayap ngengat sutera. Dimana pada T0 (kontrol) tidak terjadi perubahan pada bentuk sayapnya atau wild-type (tipe liar atau normal), tetapi pada perlakuan T1 (1,5 menit) ditemukan ngengat yang mutan yaitu wrinkled dan vestigial. Pada perlakuan T2 (3,0 menit) ditemukan ngengat yang mutan yaitu wrinkled wings, minute wing dan vestigial wing. Sedangkan pada perlakuan T3 (4,5 menit) ditemuan ngengat yang mutan yaitu vestigial dan minute wing.

Bentuk sayap ngengat sutera yang mengalami mutasi berbeda dengan ngengat sutera yang normal. Hal ini disebabkna karena mutasi berpengaruh mengubah tampilan morfologi dari ngengat sutera. Menurut Soeranta ( 2003) mutasi dapat disebut perubahan genetik pada tingkat genom, kromosom, DNA, atau gen sehingga terjadi keanekaragaman genetik. Apabila mutasi terjadi pada suatu pasangan basa atau lebih maka perubahan terjadi akan tampak pada individu yang mengalami mutasi dan akan menunjukkan ciri-ciri atau tampilan yang berbeda dengan individu yang normal..


(47)

Dari keseluruhan jumlah mutasi yang dihasilkan terdapat peluang untuk mendapatkan genotip yang lebih baik daripada plasma nuftah awal.

Menurut Jones & Karp (1986) bahwa ngengat sutera mutan tersebut merupakan mutasi morfologi. Mutasi morfologi yang memperlihatkan perubahan penampakan luar organisme, seperti bentuk (sayap, antena dan bulu sayap), ukuran (mata, sayap dan antena) dan warna (tubuh dan mata). Ulat sutera yang mengalami mutasi tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.4 berikut ini.

Gambar 4.4 Ngengat Sutera yang Mengalami Mutasi; (a) Normal tetapi memiliki

bercak, (b) Wrinkled wing, (c) Vestigial wing, (d) Minute wing, dan (e) Normal tetapi sayap berwarna hitam, (f) Ngengat normal; 1. Bercak berwarna hitam, 2. Sayap menyempit 3. Sayap tidak berkembang, 4. Sayap melengkung, 5. Ujung sayap berwarna hitam.


(48)

Penggunaan radiasi yang sebagai agen mutagenik diharapkan biasa mengahasilkan organisme yang lebih baik. Seperti yang dilakukan pada beberapa tanaman hias. Pengunaan radiasi diantaranya sinar UV telah bnyak diteliti untuk mendapatkan fenotip baru yang menarik pada tanaman hias. Namun radiasi juga dapat menyebabkan dampak yang merusak sel tanaman tersebut (Krissou, 2005)

Menurut Anonim (1998) bahwa tipe vestigial wing pada lalat buah (Drosophila melanogaster) menglami pemendekan pada sayapnya dan akibatnya tidak dapat terbang dan mutasi ini bersifat resesif. Lalat buah vestigial wings pada peta genetika terpaut pada kromosom autosom kedua dan letaknya pada titik 67.00 (Sinnott et al., 1958).

Ngengat sutera yang mengalami mutasi wrinkled wing mempunyai bentuk sayap yang kurang berkembang dan tidak diperpanjang sepenuhnya, sedangkan minute wing atau mempunyai sayap yang melengkung dan hampir sama dengan mikropterus tetapi sayapnya lebih pendek. Menurut Harahap (1994), perubahan fisik yang diikuti perubahan kimia merupakan petunjuk adanya efek biologis dari radiasi UV yang dapat menganggu keseimbangan biologis yang sangat sesitif terhadap radiasi.

4.3 Pengamatan Kromosom dan Karyotipe dengan Metode Kering Udara

4.3.1 Hasil Foto Preparat Ulat Sutera (Bombyx mori L.) dengan Metode Kering Udara

Preparat sediaan testis ngengat sutera dengan menggunakan metode kering udara dan pewarnaan Giemsa, kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 1000 x, hasilnya adalah sel-sel yang mengandung kromosom, kemudian difoto denga kamera digital Canon Ixus 87IS, dan foto dapat dilihat pada Gambar 4.5. Dari Gambar 4.5 terlihat kromosom berukuran sangat kecil seperti bintik-bintik berwarna gelap. Sesuai dengan pendapat Stansfield & Erlod (1991), bila dilakukan pengamatan di bawah mikroskop cahaya, maka kromosom-kromosom hanya tampak seperti butiran-butiran kromosom yang halus. Kromosom menjadi terlihat terangkai karena menggulung, memendek dan menebal karena adanya penambahan


(49)

matriks-matriks protein masih dalam proses metafase berlangsung kromosom kelihatan seperti badan gelap dalam sel.

Gambar 4.5 Foto sel testis dengan metode kering udara; (a) perbesaran 1000x (b) perbesaran 1600x

Menurut Sutrian (1992), menyatakan bahwa pada metafase kromosom-kromosom lebih berkondensasi, lebih tebal, dan lebih pendek dibandingkan dengan keadaan pada tahap-tahapan lainnya. Menurut Suryo (1995), menyatakan bahwa pada fase inilah paling mudah untuk menghitung banyaknya kromosom atau mempelajari morfologinya, karena kromosom-kromosom tersebar di bidang tengah dari sel. Kromosom dapat dilihat karena dapat berikatan dengan pewarna tertentu (Sessions, 1996) selama siklus pembelahan mitosis. Jumlah bentuknya dapat dilihat dengan jelas saat metafase.

4.3.2 Penghitungan Jumlah kromosom Ulat sutera (Bombyx mori L.)

Hasil dari foto sel dari Gambar 4.5 (a) dilakukan pengkropan dari satu sel dan diperbesar sebanyak 66,7 % seperti tampak pada Gambar 4.5 (b) selanjutnya diperjelas dengan teknik Photoshop Cs 2, dengan prosedur-prosedur yang telah disebut pada metode penelitian. Hasil teknik program Photoshop Cs 2 diperoleh direntangkan kromosom yang lebih jela. Dapat dilihat bahwa sentromer berwarna lebih cerah dibandingkan dengan warna kromosom yang ditandai dengan kekukan kearah dalam. Menurut Suryo ( 1995), menyatakan bahwa dalam preparat mikroskopis


(50)

(1990) menyatakan bahwa sentromer disebut kinetokor atau tempat meleakatnya benang-benang gelendong, yang berfungsi untuk mengarahkan kromosom selama mitosis . Dapat ditunjukkan dengan Gambar 4.6 berikut ini.

Gambar 4.6 Kromosom Bombyx mori L. dengan teknik kroping Photoshop CS 2; a. Lengan Kromosom, b.Sentromer

Hasil pengkropan kromosom menggunakan program Photoshop Cs 2 dan dilakukan penghitungan jumlah kromosom. Dari rentangan kromosom Gambar 4.6 maka didapat jumlah kromosom ulat sutera (Bombyx mori L.) adalah sebanyak 56 (n) buah atau 28 pasang (2n). Kromosom tersebut akan diturunkan/diwariskan tanpa adanya modifikasi, baik dalam jumlah maupun bentuk yang diidentifikasikan dengan 2n (Campbell et al., 1999; Roser, 1999; Sumner, 2003).

4.4 Hasil pengukuran Kromosom Ulat sutera (Bombyx mori L.)

Masing-masing kromosom yang tampak diukur panjang lengan dan sentromernya lalu ditentukan tipe-nya yang ditunjukkan pada Tabel 4.5 di bawah.

Dari Tabel 4.5 dapat dilihat bahwa Bombyx mori L. memiliki kromosom dengan jumlah 56 buah atau 28 pasang dan memiliki tiga tipe kromosom yaitu metasentris (M), submetasentris (SM) dan telosentris (T). Menurut Suryo (1995), tidak semua tipe kromosom dimiliki oleh suatu spesies.


(51)

Tabel 4.5 Tipe Kromosom Ulat sutera (Bombyx mori L.) Kromosom haploid (n) Tipe kromosom Lengan panjang (q) (µm) Lengan pendek (p) (µm) Sentromer (µm) Panjang kromosom (µm)

1 M 0,56 0,56 0,02 1,14

2 SM 0,48 0,32 0,02 0,82

3 M 0,34 0,34 0,02 0,70

4 SM 0,37 0,28 0,02 0,67

5 SM 0,35 0,26 0,02 0,63

6 SM 0,37 0,26 0,02 0,62

7 M 0,29 0,29 0,02 0,60

8 SM 0,37 0,21 0,02 0,60

9 SM 0,31 0,19 0,02 0,52

10 SM 0,32 0,17 0,02 0,51

11 M 0,23 0,23 0,02 0,48

12 M 0,20 0,20 0,02 0,42

13 SM 0,19 0,19 0,02 0,40

14 SM 0,23 0,14 0,02 0,39

15 SM 0,22 0,15 0,02 0,39

16 SM 0,23 0,08 0,02 0,33

17 SM 0,17 0,14 0,02 0.33

18 SM 0,17 0,14 0,02 0,33

19 M 0,14 0,14 0,02 0,30

20 SM 0,23 0,05 0,02 0,30

21 SM 0,20 0,10 0,02 0,29

22 SM 0,13 0,09 0,02 0,24

23 M 0,10 0,10 0,02 0,22

24 SM 0,17 0,04 0,01 0,22

25 M 0,10 0,10 0,01 0,21

26 M 0,09 0,09 0,01 0,19

27 T 0,14 - 0,01 0,15

28 T 0,14 - 0,01 0,15

Keterangan: M : Metasentris, SM: Submetasentris, T: Telosentris - : Tidak memiliki lengan pendek

Irawan (2008), menyatakan bahwa pada umumnya kromosom yang berpasangan akan memiliki garis yang sama, tetapi jarang ditemukan pada hewan yang kromosomnya berpasangan memiliki pola garis yang berbeda. Setiap kromosom terduplikasi terdiri atas dua kromatid saudara yang mengandung salinan molekul DNA yang identik. Kromosom memiliki pinggang yang ramping atau arah khusus yang disebut dengan sentromer (Campbell et al., 1999).

Kromosom yang terpanjang adalah kromosom nomor 1 dengan panjang kromosom 1,14 µ m dan kromosom yang terpendek adalah kromosom nomor 28 dengan panjang kromosom 0,15 µ m. Menurut Nath (1997) bahwa batasan kromosom


(52)

metafase pada pembelahan mitosis pada hewan dan tumbuhan secara umum antara 0,5 µ m dan 32 µ m dan diameter 0,2 µm dan 3,0 µm. Kromosom metafase terpanjang ditemukan pada Trillium dengan panjang kromosom 32 µ m sedangkan kromosom raksasa ditemukan pada Diptera, dengan panjang kromosom 300 µ m dengan diameter 10 µ m. Pengukuran panjang masing-masing lengan kromosom adalah untuk memperoleh data yang akurat dan dapat ditampilkan dalam bentuk ideogram (Zhang, 1996).

Tabel 4.6 Persentase Panjang Relatif (%PR) dan Persentase Indeks Sentromer (%IS) Kromosom Haploid (n) Persentase Panjang relative (%PR) Persentase Indeks Sentromer (%IS)

1 9,47 50

2 6,76 40

3 5,75 50

4 5,49 43,07

5 5,16 42,62

6 5,32 41,26

7 4,9 50

8 4,9 36,2

9 4,23 38

10 4,14 34,69

11 3,89 50

12 3,38 50

13 3,21 50

14 3,13 37,83

15 3,13 40,54

16 2,62 25,8

17 2,62 45,16

18 2,62 45,16

19 2,36 50

20 2,36 17,85

21 2,53 37,04

22 1,86 40,9

23 1,69 50

24 1,77 19,04

25 1,69 50

26 1,52 50

27 1,18 100


(53)

Dari Tabel 4.6 diatas diperoleh Nilai % PR pada Bombyx mori L. yang paling besar adalah 9,47 % yang terdapat pada kromosom no 1 dan yang paling kecil adalah 1,18 % yang terdapat pada kromosom no 28. Sedangkan nilai %IS yang paling besar adalah 100% yang terdapat pada kromosom no 27 dan 28 dan yang paling kecil adalah 17,85% yang terdapat pada kromosom no 20.

Berdasarkan panjang kromosom yang telah diketahui diatas maka selanjutnya akan dihitung persentase panjang relatif kromosom (%PR) dan indeks sentromer kromosom (%IS) dengan menggunakan rumus Zhang (1996). Persentase panjang relatif kromosom ( %PR) diperoleh dari penjumlahan kromosom yang berlengan panjang dan kromosom yang berlengan pendek dan dibagikan dengan panjang keseluruhan kromosom haploid. Dari %PR digunakan untuk mengurutkan kromosom menjadi karyotipe. Sedangkan persentase indeks sentromer (%IS) diperoleh dengan membagikan panjang lengan pendek kromosom dengan kromosom lengan pendek dijumlahkan dengan lengan yang panjang. %IS ini digunakan untuk menentukan letak sentromer dan berfungsi untuk mengurutkan kromosom menjadi suatu kariotipe.

4.5 Kariotipe Bombyx mori L

Setelah diperoleh jumlah dan ukuran tiap-tiap kromosom dari Bombyx mori L. maka dapat disusun kariotipenya seperti gambar 4.7 dibawah ini.

Gambar 4.7 Karyotipe Kromosom Bombyx mori L. yang diurutkan berdasarkan panjang dan letak sentromer kromosom


(1)

Zul. D & L. Febrianis. 2003. Mutagenesis pada Kluyveromyces maxinus T-2 Penghasil

Inulinasi Ekstraseluler dengan Sinar UV. Jurnal Natur Indonesia 6(1): hal.

24-28

Warwick, E. J., M. J. Astuti, dan W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah

Mada Unversity Press. Yogyakarta.


(2)

Lampiran A : Data Persentase Panjang Ukuran Tubuh Larva Instar IV Ulat

Sutera (Bombyx mori L.)

PER ULANGAN ∑ X SD

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

T0 3,7 4 3,8 3,4 3,2 3,1 3,6 4,6 3 3,7 36,1 3,61 0,47 a

T1 2,3 3 3 3,4 2,3 2,4 3,2 3,6 3,3 3,1 29,6 2,96 0,47 b

T2 3,8 3 2,3 3 3,1 3,3 3 3,1 2,5 2,8 29,9 2,99 0,41 b

T3 3,7 2,9 3,4 2,6 3,2 2,6 2,8 3,1 3,9 3,5 31,7 3,17 0,45 ab

ANOVA

Panjang Larva Instar IV

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 2,695 3 ,898 4,380 ,010

Within Groups 7,383 36 ,205

Total 10,078 39

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Panjang Larva Instar IV

Bonferroni

(I) Kelompok

(J) Kelompok

Mean Difference (I-J)

Std. Error

Sig. 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

T0 T1 ,65000(*) ,20253 ,017 ,0846 1,2154

T2 ,62000(*) ,20253 ,025 ,0546 1,1854

T3 ,44000 ,20253 ,219 -,1254 1,0054

T1 T0 -,65000(*) ,20253 ,017 -1,2154 -,0846

T2 -,03000 ,20253 1,000 -,5954 ,5354

T3 -,21000 ,20253 1,000 -,7754 ,3554

T2 T0 -,62000(*) ,20253 ,025 -1,1854 -,0546

T1 ,03000 ,20253 1,000 -,5354 ,5954

T3 -,18000 ,20253 1,000 -,7454 ,3854

T3 T0 -,44000 ,20253 ,219 -1,0054 ,1254

T1 ,21000 ,20253 1,000 -,3554 ,7754

T2 ,18000 ,20253 1,000 -,3854 ,7454

* The mean difference is significant at the .05 level.

3,61 (T0) 3,17 (T3) 2,99 (T2) 2,96 (T1)


(3)

Lampiran B : Data Persentase Panjang Ukuran Tubuh Larva Instar V Ulat

Sutera (Bombyx mori L.)

PER ULANGAN ∑ X SD

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

T0 5,4 7,2 6,2 6,3 5,7 6,5 6,3 6,7 6,4 7 63,7 6,37 0,54 a

T1 4 4,1 6,3 6,9 5,5 6,5 5 6 6,5 7,1 57,9 5,79 1,11 a

T2 6,2 4,9 5,6 5,6 5,5 4,8 6,4 6 6 5,4 56,4 5,64 0,53 a

T3 5,7 5,4 5,9 6 6,2 6 6,3 6,7 6,9 5,7 60,8 6,08 0,46 a

ANOVA

Panjang Larva Instar V

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 3,134 3 1,045 2,081 ,120

Within Groups 18,070 36 ,502

Total 21,204 39

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Panjang Larva Instar V

Bonferroni

(I) Kelompok

(J) Kelompok

Mean Difference (I-J)

Std. Error

Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

T0 T1 ,58000 ,31684 ,453 -,3046 1,4646

T2 ,73000 ,31684 ,163 -,1546 1,6146

T3 ,29000 ,31684 1,000 -,5946 1,1746

T1 T0 -,58000 ,31684 ,453 -1,4646 ,3046

T2 ,15000 ,31684 1,000 -,7346 1,0346

T3 -,29000 ,31684 1,000 -1,1746 ,5946

T2 T0 -,73000 ,31684 ,163 -1,6146 ,1546

T1 -,15000 ,31684 1,000 -1,0346 ,7346

T3 -,44000 ,31684 1,000 -1,3246 ,4446

T3 T0 -,29000 ,31684 1,000 -1,1746 ,5946

T1 ,29000 ,31684 1,000 -,5946 1,1746

T2 ,44000 ,31684 1,000 -,4446 1,3246

6,37 (T0) 6,08 (T3) 5,79 (T1) 5,64 (T2)


(4)

Lampiran C : Data Persentase Ukuran Sayap Ngengat Sutera (Bombyx mori L.)

PER ULANGAN ∑ X SD

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

T0 2,2 1,8 1,9 1,9 2 2,1 1,9 2,2 1,8 1,9 19,7 1,97 0,15 a

T1 0,8 2,2 2,4 0,7 2,1 2,2 0,8 0,8 2,4 1,9 16,3 1,63 0,75 a

T2 2,2 0,7 2 0,7 0,8 2,2 2,1 2 0,8 2,1 15,6 1,56 0,70 a

T3 2,4 0,9 0,9 2,2 1,1 2,1 2 0,9 0,8 0,8 14,1 1,41 0,67 a

ANOVA

Panjang Sayap

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1,683 3 ,561 1,470 ,239

Within Groups 13,735 36 ,382

Total 15,418 39

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Panjang Sayap

Bonferroni

(I) Kelompok

(J) Kelompok

Mean Difference (I-J)

Std. Error

Sig. 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

T0 T1 ,34000 ,27623 1,000 -,4312 1,1112

T2 ,41000 ,27623 ,879 -,3612 1,1812

T3 ,56000 ,27623 ,301 -,2112 1,3312

T1 T0 -,34000 ,27623 1,000 -1,1112 ,4312

T2 ,07000 ,27623 1,000 -,7012 ,8412

T3 ,22000 ,27623 1,000 -,5512 ,9912

T2 T0 -,41000 ,27623 ,879 -1,1812 ,3612

T1 -,07000 ,27623 1,000 -,8412 ,7012

T3 ,15000 ,27623 1,000 -,6212 ,9212

T3 T0 -,56000 ,27623 ,301 -1,3312 ,2112

T1 -,22000 ,27623 1,000 -,9912 ,5512

T2 -,15000 ,27623 1,000 -,9212 ,6212

1,91 (T0) 1,63(T1) 1,56(T2) 1,41(T3)


(5)

Lampiran D : Data Persentase Ukuran Tubuh Ngengat Sutera (Bombyx mori L.)

PER ULANGAN ∑ X SD

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

T0 2,3 2,5 1,9 2,1 2,2 2,8 2,1 1,9 2,6 2,4 22,8 2,28 0,30 ab

T1 3,1 2,9 2,5 2,4 2,6 2,2 3,8 2,7 2,3 2,8 27,3 2,73 0,47 a

T2 2,3 3,3 2,6 1,8 2,2 2,8 2,4 2,4 2,3 2,3 24,4 2,44 0,40 ab

T3 3 2,2 2,1 2,3 2,2 2,3 2,1 2,3 1,9 2,1 22,5 2,25 0,29 b

ANOVA

Panjang Tubuh Ngengat

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1,449 3 ,483 3,516 ,025

Within Groups 4,946 36 ,137

Total 6,395 39

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Panjang Tubuh Ngengat

Bonferroni

(I) Kelompok

(J) Kelompok

Mean Difference (I-J)

Std. Error

Sig. 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

T0 T1 -,45000 ,16576 ,061 -,9128 ,0128

T2 -,16000 ,16576 1,000 -,6228 ,3028

T3 ,03000 ,16576 1,000 -,4328 ,4928

T1 T0 ,45000 ,16576 ,061 -,0128 ,9128

T2 ,29000 ,16576 ,532 -,1728 ,7528

T3 ,48000(*) ,16576 ,038 ,0172 ,9428

T2 T0 ,16000 ,16576 1,000 -,3028 ,6228

T1 -,29000 ,16576 ,532 -,7528 ,1728

T3 ,19000 ,16576 1,000 -,2728 ,6528

T3 T0 -,03000 ,16576 1,000 -,4928 ,4328

T1 -,48000(*) ,16576 ,038 -,9428 -,0172

T2 -,19000 ,16576 1,000 -,6528 ,2728

* The mean difference is significant at the .05 level

2,73(T1) 2,44(T2) 2,28(T0) 2,25(T3)


(6)

Lampiran E : Data Persentase Ukuran Antena Ngengat Sutera (Bombyx mori

L.)

PER ULANGAN ∑ X SD

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

T0 0,7 0,7 0,7 0,8 0,8 0,8 0,9 1 0,8 0,7 7,9 0,79 0,10 a

T1 0,8 0,7 0,8 0,8 0,9 0,7 0,8 0,8 0,7 0,7 7,7 0,77 0,07 a

T2 0,7 0,8 0,8 0,9 0,9 0,8 0,7 0,8 0,6 0,7 7,7 0,77 0,09 a

T3 0,8 0,8 0,9 0,6 0,9 0,7 0,6 0,8 0,7 0,9 7,7 0,77 0,12 a

ANOVA

Panjang Antena

Sum of

Squares

Df Mean Square F Sig.

Between Groups ,003 3 ,001 ,108 ,955

Within Groups ,332 36 ,009

Total ,335 39

Multiple Comparisons

Dependent Variable: Panjang Antena

Bonferroni

(I) Kelompok

(J) Kelompok

Mean Difference (I-J)

Std. Error

Sig. 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

T0 T1 ,02000 ,04295 1,000 -,0999 ,1399

T2 ,02000 ,04295 1,000 -,0999 ,1399

T4 ,02000 ,04295 1,000 -,0999 ,1399

T1 T0 -,02000 ,04295 1,000 -,1399 ,0999

T2 ,00000 ,04295 1,000 -,1199 ,1199

T4 ,00000 ,04295 1,000 -,1199 ,1199

T2 T0 -,02000 ,04295 1,000 -,1399 ,0999

T1 ,00000 ,04295 1,000 -,1199 ,1199

T4 ,00000 ,04295 1,000 -,1199 ,1199

T4 T0 -,02000 ,04295 1,000 -,1399 ,0999

T1 ,00000 ,04295 1,000 -,1199 ,1199

T2 ,00000 ,04295 1,000 -,1199 ,1199

0,79(T0) 0,77(T1) 0,77(T2) 0,77(T3)