PENGARUH PROSES PENGOLAHAN DAUN SINGKONG (Manihot esculenta Crantz) DENGAN BERBAGAI PERLAKUAN TERHADAP

OPEN ACCESS

  Indonesian Journal of Human Nutrition

  E-ISSN 2355-3987 www.ijhn.ub.ac.id

  Artikel Hasil Penelitian

PENGARUH PROSES PENGOLAHAN DAUN SINGKONG (Manihot

esculenta Crantz) DENGAN BERBAGAI PERLAKUAN TERHADAP

  

KADAR β-KAROTEN

1,*

  2

  3 1 Meiliana , Roekistiningsih , Endang Sutjiati 2 Siloam International Hospital, Denpasar, Bali 3 Laboratorium Mikrobiologi, FK Universitas Brawijaya Jurusan Gizi, Politeknik Kesehatan Kemeskes Malang

  • * Alamat korespondensi, E-Mail: melon_say@yahoo.com

  Diterima: / Direview: / Dimuat: Desember 2013 / Januari 2014 / Juni 2014

  

Abstrak

Pada banyak negara berkembang, defisiensi vitamin A menjadi masalah kesehatan

masyarakat yang serius. Pemanfaatan bahan pangan nabati yang dapat menjadi sumber utama

vitamin A merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Daun singkong adalah

salah satu bahan pangan nabati yang kaya

  β-karoten, dapat memberikan kontribusi terhadap

kebutuhan vitamin A, dan mudah didapatkan oleh masyarakat Indonesia. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui adanya pengaruh variasi pengolahan daun singkong terhadap kadar β-karoten.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental rancangan acak lengkap (RAL) dengan unit

eksperimental 100 gram daun singkong yang mirip dengan variasi Adira 4, segar, berwarna hijau

cerah, tidak ada cacat atau noda pada permukaan kulit, dan bagian pucuk tanaman (3-5 susun

daun). Daun singkong dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan pengolahan (segar, perebusan

dengan air garam, perebusan dengan air garam dilanjutkan perebusan dengan santan, dan

perebusan dengan air garam dilanjutkan dengan penumisan dengan minyak goreng) dengan 5

k

ali replikasi. Kadar β-karoten olahan daun singkong diukur dengan metode spektrofotometri.

Hasil menunjukkan kadar β-karoten berbeda secara signifikan pada semua kelompok perlakuan

pengolahan (p=0,001). Perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain pada semua pasangan

perlakuan juga memiliki perbedaan yang signifikan. Kadar β-karoten olahan daun singkong dari

yang tertinggi berturut-turut didapatkan dari pengolahan perebusan dengan air garam (79,534 ±

5,784 µg/g), perebusan dengan air garam dilanjutkan penumisan dengan minyak goreng (65,926

± 6,244 µg/g), daun singkong segar (43,530 ± 11,062 µg/g), dan perebusan dengan air garam

dilanjutkan perebusan dengan santan (19,022 ± 3,509 µg/g). Variasi cara pengolahan

mempengaruhi kadar β-karoten dalam daun singkong akibat faktor-faktor pengolahan, seperti

  

suhu, pH, waktu, matriks pangan, dan pemakaian minyak kelapa sawit. Daun singkong sebaiknya

di rebus dengan air garam untuk memperoleh manfaat β-karoten secara optimal.

  Kata Kunci: β-karoten, daun singkong, pengolahan, kadar

  

Abstract

In many developing countries, vitamin A deficiency is a serious public health problem.

  

Vegetables become the main source of vitamin A to solve the problem. Cassava leaves are rich

of β-carotene and easily obtained by Indonesians. This study aimed to determine the effect of processing practices of cassava leaves on the

  β-carotene content. This study used an

experimental method completely randomized design (CRD) with an experimental unit of 100

grams of cassava leaves, which are similar to the variation Adira 4, fresh, bright green, no

defects or stains on the leaf surface, and the shoots of plants (3-5 stacks). Cassava leaves were

divided into 4 treatment groups of processing (fresh, boiling with salt water, boiling with salt

water followed by boiling coconut milk, and boiling with salt water followed by sauteing with

cooking oil) with 5 replications . β-carotene content of processed cassava leaves was measured

by spectrophotometry method. The results are differed significantly in all groups (p = 0.001).

One with another treatment from all couples treatments also had significant differences. β-

carotene content of processed cassava leaves from the highest was obtained from the processing

of boiling with salt water (79.534 ± 5.784 µg/g), boiling with salt water followed by sauteing

with cooking oil (65.926 ± 6.244 µg/g), fresh cassava leaves (43.530 ± 11.062 µg/g), and

boiling with salt water followed by boiling with coconut milk (19.022 ± 3.509 µ g/g). Variation

of processing practices affected β-carotene in cassava leaves due to the processing factors, such

as temperature, pH, time, food matrix, and the use of palm oil. The best preparation method for

cassava leaves is boiling with salt water to obtain the benefits of β-carotene optimally.

  Keywords: β-carotene, cassava leaves, processing practices, content

  PENDAHULUAN

  Defisiensi vitamin A adalah masalah gizi utama Vitamin A berperan pada fungsi fisiologis pada lingkungan miskin, terutama negara dengan tubuh, seperti fungsi penglihatan, diferensiasi sel, penghasilan rendah. Menurut data WHO pada Global imunitas tubuh, pertumbuhan dan perkembangan, dan Prevalence of Vitamin A Deficiency in Populations at reproduksi [3]. Kebutuhan vitamin A pada pria dan Risk 1995 wanita dewasa adalah 600 dan 500 µg RE per hari

  • –2005, prevalensi rabun senja pada anak balita dan ibu hamil di dunia adalah 0,9% dan 7,8%. [4]. Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan Pada wilayah Asia Tenggara, 0,5% (1,01 juta) balita gangguan pada fungsi fisiologis tubuh, seperti rabun dan 9,9% (3,84 juta) ibu hamil menderita rabun senja senja, kulit kering, keratinisasi, meningkatnya risiko [1]. Oleh karena defisiensi vitamin A menjadi infeksi akibat penurunan fungsi kekebalan tubuh, masalah kesehatan masyarakat yang serius di negara kegagalan pertumbuhan, dan meningkatnya risiko berkembang, perhatian terhadap sumber makanan keguguran atau kesukaran dalam melahirkan [3]. dan kecukupan provitamin A meningkat [2]. Salah satu etiologi defisiensi vitamin A adalah kekurangan asupan vitamin A dari makanan, baik
asupan makanan dari pangan hewani sebagai sumber vitamin A bentuk aktif dan pangan nabati sebagai sumber provitamin A [1].

  Vitamin A terdapat dalam pangan hewani berupa bentuk aktif (misalnya retinol) dan dalam pangan nabati berupa provitamin A (misalny a β- karoten). Sumber karoten adalah sayuran berwarna hijau tua serta sayuran dan buah-buahan berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, daun kacang, kangkung, bayam, kacang panjang, buncis, wortel, tomat, dan pepaya [3].

  β-karoten adalah bentuk provitamin A yang paling aktif [3] . β-karoten memiliki sifat kimia yang mirip dengan vitamin A, yaitu sensitif terhadap oksigen, cahaya, dan lingkungan asam [4]

  . β-karoten mudah teroksidasi oleh cahaya, panas, logam, enzim, dan peroksida. Oksidasi β-karoten merupakan penyebab utama berkurangnya kadar β-karoten dalam bahan pangan [2]. Perubahan warna pada keripik singkong atau wortel menunjukkan bahwa proses pengeringan bahan makanan menyebabkan oksidasi dan degradasi β-karoten sehingga warna pada bahan makanan pun berubah.

  Pada banyak negara berkembang, sumber vitamin A dari pangan hewani sangat jarang dan mahal. Oleh karena itu, bahan pangan nabati menjadi sumber utama vitamin A [5,6]. Salah satu bahan pangan nabati yang tinggi kandungan vitamin A adalah daun singkong. Daun singkong adalah bahan pangan yang murah, mudah ditanam, dan mudah didapat oleh masyarakat Indonesia. Daun singkong segar mengandung 3300 µg RE vitamin A all-trans-retinol sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan sumber vitamin A [3].

  Di Indonesia, daun singkong dapat diolah dengan beberapa macam pengolahan, seperti perebusan dengan air garam, perebusan dengan air garam dilanjutkan perebusan dengan santan, serta perebusan dengan air garam dilanjutkan penumisan dengan minyak goreng. Daun singkong memiliki struktur fisik yang keras sehingga memerlukan proses pengolahan yang lama. Selain itu, daun singkong memerlukan perebusan awal untuk menghilangkan zat antigizi HCN (asam sianida) yang berbahaya bagi kesehatan [7]. Perebusan daun singkong yang sangat muda dapat dilakukan selama 5-10 menit, sedangkan perebusan daun yang tua, yang biasanya lebih keras dan mengandung lebih banyak asam sianida, memerlukan waktu yang lebih lama dan persiapan yang lebih hati-hati [8].

  Pengolahan daun singkong dengan suhu tinggi (pengeringan) dapat merusak kandungan β-karoten sebesar 38% [5]. Meskipun begitu, masakan daun singkong masih dapat memberikan kontribusi terhadap kebutuhan vitamin A. Daun singkong memiliki potensial terhadap kebutuhan vitamin A bila dimasak dengan tetap memperhatikan perlakuan yang benar untuk mencegah bertambah banyaknya β- karoten yang rusak dan hilang.

  Meski sudah diketahui adanya penurunan kadar β-karoten dalam daun singkong yang dimasak, belum ada penelitian mengenai pengaruh pengolahan daun singkong di Indonesia terhadap kadar β-karoten. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian pengaruh variasi pengolahan daun singkong yang dilakukan di Indonesia terhadap kadar β-karoten.

TUJUAN PENELITIAN

  Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh variasi cara pengolahan terhadap kadar β-karoten dalam daun singkong. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk mengetahu kadar β- karoten daun singkong segar, kadar

  β-karoten daun singkong yang diolah dengan cara perebusan dengan air garam, perebusa san dengan air garam dilanjutkan perebusan dengan santan, dan perebusan dengan air garam dilanjutkan penumisan dengan minyak goreng.

  Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode true experiment dengan desain penelitian Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor macam-macam pengolahan.

  Unit eksperimental penelitian ini adalah daun singkong segar seberat 100 gram. Ada empat perlakuan yang digunakan, yaitu segar (A), perebusan dengan air garam (B), perebusan dengan air garam dilanjutkan perebusan dengan santan (C), dan perebusan dengan air garam dilanjutkan penumisan dengan minyak goreng (D). Pada masing-masing perlakuan, dilakukan lima kali pengulangan, sehingga terdapat 20 unit eksperimental.

  Penelitian ini menggunakan daun singkong yang diperoleh dari kebun singkong di Kelurahan Wonorejo Krajantengah, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Daun singkong diolah, kemudian dianalisis kadar β-karoten-nya menggunakan alat spektrofotometer dengan indikator panjang gelombang. Hasil analisis menunjukkan bagaimana pengaruh pengolahan terhadap kadar β-karoten dan pengolahan apa yang dapat mempertahankan kadar β- karoten daun singkong secara optimal.

  Data hasil penelitian dianalisis dengan Anova

  One Way dengan tingkat kepercayaan 95%. Setelah

  itu, interaksi antar faktor dianalisis dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) .

HASIL PENELITIAN

  Faktor Pengolahan Daun Singkong

  Faktor pengolahan suhu, pH lingkungan, dan waktu pengolahan adalah variabel moderator dari penelitian. Data faktor pengolahan dapat dilihat pada Tabel 1, 2, dan 3. Masing-masing perlakuan dilakukan pengukuran suhu sebanyak lima kali pengulangan. Suhu terendah dan tertinggi yang terukur pada perlakuan B, C, dan D adalah 92,6

METODOLOGI PENELITIAN

  ⁰C dan 96,8 ⁰C; 91⁰C dan 97⁰C; serta 59⁰C dan 97,4⁰C. Semua suhu yang terukur tidak mencapai 100 ⁰C. Hasil pengukuran pH media pengolahan dilakukan satu kali pada masing-masing media dan menunjukkan bahwa air garam bersifat basa (pH 7,59), sedangkan santan dan minyak goreng bersifat asam (pH 4,17 dan pH 6,43). Total waktu pengolahan daun singkong pada perlakuan B adalah 15 menit, sedangkan perlakuan C dan D adalah 20 menit. Total waktu tersebut dilakukan pada saat penelitian sesuai dengan rancangan penelitian yang telah dibuat.

  

Tabel 1. Suhu Pengolahan Daun Singkong

Waktu Pengukuran Suhu Suhu Pengolahan Rata-rata per Perlakuan (

  ⁰C) B C D Air garam mendidih

  96,8 ± 0,4 97 ± 0,7 97,4 ± 0,5 Air garam mendidih+daun singkong 92,6 ± 3,4 93,2 ± 1,9 93,8 ± 1,9

  • 94,2 ± 1,6 - Santan mendidih
  • Santan mendidih+daun singkong

  91 ± 6,4 -

  • Minyak goreng panas

  81,4 ± 3,1 60,6 ± 6,1 - - Minyak goreng panas+daun singkong

  • Minyak goreng panas+daun singkong+air

  59 ± 1,5

Tabel 2. pH Media Pengolahan Daun Singkong

  Media Pengolahan pH

  Air garam 7,59 Santan 4,17 Minyak goreng 6,43

  

Tabel 3. Waktu Pengolahan Daun Singkong

Perlakuan Pengolahan Daun Singkong Total Waktu (menit)

A B

  15 C

  20 D

  20

  olahan daun singkong pada perlakuan C berwarna

  Warna dan Tekstur Olahan Daun Singkong

  Warna dan tekstur olahan daun singkong semua lebih coklat. Tekstur daun singkong segar paling perlakuan baik. Pengukuran dilakukan secara keras dibandingkan perlakuan lain. Tekstur olahan subyektif. Tabel 4 menunjukkan warna olahan daun daun singkong pada perlakuan B lebih keras dari singkong pada perlakuan B dan D berwarna hijau tua perlakuan C dan D. dan lebih gelap daripada daun singkong segar. Warna

  

Tabel 4. Warna dan Tekstur Olahan Daun Singkong

Perlakuan Pengolahan Daun Singkong Warna Tekstur

  • A B
      • C
      • D

  Keterangan: Warna: semakin banyak tanda (+), warna semakin gelap. Tekstur: semakin banyak tanda (+), tekstur semakin lunak.

  Kadar β-karoten Olahan Daun Singkong

  Tabel 5 menunjukkan kadar β-karoten tertinggi terdapat pada perlakuan B dan kadar β-karoten terendah terdapat pada perlakuan C. Hasil uji One

  Way Anova menunjukkan terdapat perbedaan kadar

  β-karoten yang signifikan pada semua kelompok perlakuan pengolahan daun singkong dengan lima kali pengulangan pada masing-masing perlakuan (p = 0,000). Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) menunjukkan bahwa antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lain pada semua pasangan perlakuan memiliki perbedaan yang signifikan. Jadi, terdapat pengaruh yang berarti dari variasi pengolahan terhadap kadar β-karoten daun singkong.

  PEMBAHASAN Faktor Pengolahan Daun Singkong Suhu. Suhu air garam mendidih pada perlakuan

  B, C, dan D serta suhu santan mendidih pada perlakuan C dikontrol dengan pengamatan keadaan mendidih merata. Keadaan mendidih merata adalah keadaan saat gelembung-gelembung udara muncul secara merata pada semua permukaan air garam dan santan. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa suhu air garam mendidih dan santan mendidih tidak melebihi 100

  ⁰C (titik didih air pada permukaan air laut) walaupun memiliki konsentrasi larutan (molaritas) yang lebih besar daripada air biasa, yaitu 96,8±0,4

  ⁰C, 97±0,7⁰C, dan 97,4±0,5⁰C untuk suhu air garam mendidih dan 94,2±1,6 ⁰C untuk suhu santan mendidih. Hal ini disebabkan tempat pengolahan yang lebih tinggi daripada permukaan air minyak goreng panas disamakan untuk semua pengulangan pada perlakuan D, yaitu 81,4±3,1 ⁰C. Suhu ini diperoleh dari penelitian pendahuluan dengan memperhatikan waktu proses pengolahan daun singkong yang umum dilakukan di masyarakat karena tidak ada ketentuan pasti pada suhu berapa daun singkong dimasukkan ke dalam minyak goreng. Penurunan suhu terjadi pada semua perlakuan pada saat penambahan daun singkong pada media pengolahan. Hal ini disebabkan oleh perpindahan panas dari media pengolahan ke bahan yang ditambahkan ke dalamnya.

  pH. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa air

  garam bersifat basa, sedangkan santan dan minyak goreng bersifat asam. Hasil pengukuran pH sampel santan adalah 4,17. Tidak ada kerusakan fisik (warna, bau, dan rasa) pada santan. Menurut US FDA/CFSAN, pH santan berkisar antara 6,10-7,00 [9]. Kedua nilai ini berbeda jauh meskipun sama- sama menunjukkan sifat asam. Hal ini dapat disebabkan lamanya durasi waktu antara pembuatan santan dan pengukuran pH. Pembuatan santan dilakukan pada pk 08.00 WIB dan pengukuran pH dilakukan pada pk 13.00 WIB. Santan digunakan dalam pengolahan sekitar pk 10.00 hingga pk 11.00. Ini dapat menyebabkan pH santan menurun. Santan mengandung kadar air yang tinggi sehingga kerusakan mikrobial mudah terjadi. Tumbuhnya mikroba pada santan dapat mengubah komposisi santan dengan cara menghidrolisis lemak dan menyebabkan ketengikan. Selain itu, keberadaan yang dihasilkan oleh bakteri. Oleh karena itu, pH santan dapat menurun bila dibiarkan dalam waktu yang cukup lama meskipun belum terjadi kerusakan fisik. Santan merupakan media pengolahan yang paling asam pada penelitian ini.

  Waktu. Perebusan daun singkong yang sangat

  muda dilakukan selama 5-10 menit [8]. Peneliti menggunakan data tersebut sebagai perkiraan waktu pengolahan perebusan dengan air garam. Waktu pengolahan daun singkong pada masing-masing perlakuan ditentukan dari penelitian pendahuluan dengan memperhatikan tekstur dan rasa pahit olahan daun singkong. Waktu yang dibutuhkan untuk merebus daun singkong dengan air garam sehingga rasa pahit hilang dan tekstur melunak adalah 15 menit. Kemudian, pengolahan lanjutan (merebus dengan santan dan menumis dengan minyak goreng) daun singkong cukup memerlukan waktu 5 menit. Oleh karena itu, total waktu pengolahan perlakuan B,

  C, dan D yang dilakukan pada penelitian ini adalah 15 menit, 20 menit, dan 20 menit.

  Warna dan Tekstur Olahan Daun Singkong

  Warna dan tekstur dipengaruhi suhu, waktu, dan pH lingkungan dalam pengolahan. Suhu yang tinggi dan durasi pengolahan yang lama menyebabkan tekstur makanan yang lunak. Garam mempengaruhi warna dan tekstur olahan daun singkong karena larutan garam bersifat basa. Lingkungan basa dapat mempertahankan warna hijau dan melunakkan tekstur daun singkong [10]. Keadaan ini diperlukan dalam pengolahan daun singkong yang pengolahan tersebut mempengaruhi kadar

  β-karoten daun singkong serta warna dan teksturnya sehingga secara tidak langsung warna dan tekstur dapat menggambarkan kadar β-karoten dari daun singkong.

  Ada dua macam garam yang biasa digunakan untuk mengolah daun singkong, yaitu garam dapur (NaCl) dan garam bikarbonat (NaHCO

  3

  ). Garam bikarbonat yang berasal dari basa kuat sodium hidroksida (NaOH) dan asam lemah asam karbonat (H

  2 CO

  3

  ), sedangkan garam dapur yang berasal dari basa kuat sodium hidroksida (NaOH) dan asam kuat asam klorida (HCl). Oleh karena itu, garam bikarbonat bersifat lebih basa daripada garam dapur. Garam bikarbonat biasa digunakan untuk mempercepat proses pengolahan, tetapi merusak zat gizi bahan pangan. Penelitian ini menggunakan garam dapur yang lebih aman untuk digunakan dalam pengolahan sayuran daun hijau untuk mempertahankan flavor [10].

  Warna olahan daun singkong pada perlakuan C berwarna lebih coklat karena media pengolahan yang bersifat asam yang dapat merusak klorofil pada daun singkong. Media pengolahan pada perlakuan D juga bersifat asam, tetapi warna hijau olahan daun singkong masih dapat dipertahankan karena pH minyak goreng tidak seasam santan. Media pengolahan pada perlakuan B bersifat basa sehingga warna hijau pada olahan daun singkong dapat dipertahankan. Perebusan awal daun singkong dengan air garam membantu proses pelunakkan tekstur daun singkong yang keras. Tekstur olahan daun singkong pada perlakuan C dan D lebih lunak daripada perlakuan B disebabkan oleh waktu pengolahan yang lebih lama.

  Kadar β-karoten Olahan Daun Singkong

  Kadar β-karoten dari yang tertinggi berturut- turut didapatkan dari pengolahan perebusan dengan air garam (B), perebusan dengan air garam dilanjutkan penumisan dengan minyak goreng (D), daun singkong segar (A), dan perebusan dengan air garam dilanjutkan perebusan dengan santan (C).

  Unit eksperimental yang digunakan adalah daun singkong segar seberat 100 gram. Seluruh sampel daun singkong dihomogenisasi sehingga daun singkong pucuk pertama hingga kelima tersebar merata di setiap unit eksperimental. Kemudian, ekstraksi β-karoten memerlukan sampel kurang lebih 25 gram dari tiap unit eksperimental. Pengambilan sampel ini juga membutuhkan homogenisasi pada tiap unit eksperimental. Tes homogenitas menunjukkan bahwa sampel dalam penelitian ini homogen (p=0,058).

  Pengaruh Faktor Pengolahan terhadap Kadar β- karoten Olahan Daun Singkong

  Marty dan Berset melakukan penelitian dengan β-karoten all-trans-isomers sintetis dan menyatakan bahwa ketahanan molekul tersebut pada suhu tinggi dipengaruhi oleh kondisi medium pengolahan [11].

  Pemanasan yang lama pada suhu 180 ⁰ C (pada kondisi tanpa oksigen) hanya menyebabkan sedikit kerusakan pada molekul ini. Namun, keberadaan β- karoten all-trans-isomers pada bahan pangan (dengan dan lain-lain) serta pencampuran secara mekanis akan memberi kesempatan masuknya oksigen dan menyebabkan kerusakan molekul β-karoten all-trans- isomers lebih besar.

  Kondisi pada penelitian ini tidak menghilangkan paparan udara dan cahaya pada proses pengolahan daun singkong sehingga suhu dan waktu pengolahan pada semua perlakuan dapat berpengaruh pada kerusakan β-karoten. Perlakuan B mencapai suhu 96,8

  ⁰C, perlakuan C 97⁰C, dan perlakuan D 97,4 ⁰C. Perlakuan B (waktu pengolahan 15 menit) mengalami proses pemanasan yang lebih sebentar daripada perlakuan C dan D (waktu pengolahan masing-masing 20 menit). Media pengolahan pada perlakuan B bersifat basa (pH 7,59), sedangkan pada perlakuan C dan D bersifat asam (pH 4,17 dan pH 6,43). Waktu pengolahan yang lebih lama menyebabkan paparan panas yang lebih lama sehingga kadar

  β-karoten pada perlakuan C dan D lebih rendah daripada perlakuan B. Penggunaan minyak pada perlakuan D menyebabkan daya hantar panas yang lebih cepat, namun pH media pengolahan pada perlakuan C bersifat paling asam, sehingga kadar β-karoten pada perlakuan C lebih rendah daripada perlakuan

  D. Faktor-faktor tersebut menyebabkan kadar β-karoten pada perlakuan B (79,534 ± 5,784 µg/g olahan daun singkong) lebih tinggi daripada perlakuan C (19,022 ± 3,509 µg/g olahan daun singkong) dan D (65,926 ± 6,244 µg/g olahan daun singkong).

  Pengaruh Pengolahan Daun Singkong terhadap Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa variasi pengolahan daun singkong mempengaruhi kadar β-karoten daun singkong. Perbedaan kadar β- karoten ini disebabkan oleh berbagai faktor yang terdapat dalam berbagai macam pengolahan tersebut. Selain faktor suhu, pH, dan waktu pengolahan, faktor lain yang mempengaruhi perbedaan kadar β-karoten adalah matriks pangan, degradasi ikatan protein dengan β-karoten, keberadaan lemak pada olahan daun singkong, dan kandungan β-karoten media pengolahan [13].

  Provitamin A bersifat lebih stabil dibandingkan dengan vitamin A karena terdapat dalam lokasi yang terhindar terhadap oksigen dalam bahan pangan, misalnya dalam bentuk dispersi koloid dalam media lemak atau dalam bentuk kompleks dengan protein [12]

  . β-karoten terikat dengan komponen lemak, organel sel, maupun protein pembawa yang ada dalam bahan pangan maupun tubuh manusia [13].

  Penelitian Castenmiller

  et al.,

  1999, menunjukkan bahwa pengolahan sayur bayam mempengaruhi matriks bahan pangan dan matriks bahan pangan mempengaruhi kadar dan bioavailabilitas β-karoten [14]. Pengolahan sayur bayam menyebabkan kerusakan pada struktur dinding sel dan penurunan keutuhan sel daun sehingga bioavailabilitas β-karoten meningkat dan kadar β- karoten yang rusak akibat paparan panas menjadi lebih banyak. Pengolahan bahan pangan menyebabkan perubahan matriks pangan yang menghasilkan efek negatif (kerusakan β-karoten akibat isomerisasi dan oksidasi) maupun positif

  (peningkatan ketersediaan dan bioavailabilitas β- karoten) [15].

  Daun singkong memiliki tekstur daun yang keras. Struktur serat yang memberi bentuk dan tekstur pada daun singkong berubah menjadi lunak setelah diberi panas melalui proses pengolahan. Tekstur yang lunak menyebabkan matriks pangan terbuka sehingga β-karoten yang tersedia dari olahan daun singkong lebih banyak, meskipun juga menyebabkan terpaparnya β-karoten terhadap panas. Selain itu, pengolahan bahan pangan menyebabkan degradasi kompleks protein dan β-karoten, sehingga ketersediaan β-karoten lebih besar [14,15].

  β-karoten bersifat lipofilik karena struktur nonpolarnya. Oleh karena itu, β-karoten larut dalam lemak dan terikat dengan komponen lemak di bahan pangan. Selain itu, struktur molekul β-karoten memiliki banyak ikatan ganda sehingga β-karoten rentan mengalami kerusakan akibat radikal bebas pada makanan yang terbentuk akibat rancidity yang dihasilkan dari peroksidasi lemak [16]. Peroksidasi lemak terjadi melalui tiga jalur, yaitu hydrolytic

  rancidity (pemutusan rantai karbon oleh air), oxidative rancidity (proses radikal oleh oksigen di

  udara pada ikatan rangkap pada lemak), dan

  microbial rancidity (pemecahan asam lemak akibat enzim lipase yang dihasilkan oleh bakteri) [17].

  Lemak yang bersentuhan dengan udara untuk jangka waktu yang lama akan mengalami perubahan yang dinamakan proses ketengikan (rancidity). Oksigen akan terikat pada ikatan rangkap dan membentuk peroksida aktif. Senyawa ini sangat bersifat sangat tidak stabil dan mudah pecah menjadi senyawa rantai karbon yang lebih pendek oleh radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam, atau enzim. Reaksi ini bisa terjadi perlahan pada suhu menggoreng normal dan dipercepat dengan adanya sedikit besi dan tembaga yang biasa ada dalam makanan [3,18]. Ketengikan lemak umumnya terjadi karena adanya kontak dengan udara. Ketengikan lemak pada media pengolahan dan pemanasan bahan pangan dengan adanya kontak dengan udara m enyebabkan hilangnya β-karoten yang bersifat antioksidan [19].

  Data pada Tabel 5 menunjukkan kadar β- karoten pada perlakuan B (79,534 ± 5,784 µg/g olahan daun singkong) dan perlakuan D (65,926 ± 6,244 µg/g olahan daun singkong) lebih tinggi daripada daun singkong segar (43,530 ± 11,062 µg/g daun singkong). Pengolahan perebusan dengan air garam menyebabkan peningkatan ketersediaan β- karoten melalui kerusakan matriks daun singkong dan degradasi kompleks β-karoten dengan senyawa lain. Tetapi, rusaknya matriks daun singkong tetap menyebabkan paparan panas terhadap zat gizi semakin besar. Waktu pengolahan yang lebih lama pada perlakuan C dan D menyebabkan tekstur daun singkong lebih lunak dan kadar β-karoten yang rusak lebih banyak daripada perlakuan B.

  Kadar β-karoten pada perlakuan D yang lebih tinggi daripada perlakuan C (19,022 ± 3,509 µg/g olahan daun singkong) dapat dijelaskan dengan tiga hal, yaitu pH, peroksidasi lemak, dan kandungan β- karoten media pengolahan. Media pengolahan pada perlakuan C, santan, bersifat lebih asam daripada perlakuan D, yang dapat merusak β-karoten lebih banyak. Asam menyebabkan isomerisasi β-karoten dari bentuk trans- menjadi cis-, sehingga ketersediaannya berkurang.

  Santan dan minyak goreng dapat mengalami peroksidasi lemak melalui berbagai jalur akibat adanya kontak dengan udara selama proses pengolahan. Kedua media pengolahan ini mengandung lebih banyak asam lemak tidak jenuh, sehingga kemungkinan peroksidasi lebih banyak terjadi melalui jalur hydrolytic rancidity dan

  microbial rancidity . Keberadaan air pada santan

  menyebabkan santan lebih mudah mengalami peroksidasi dan rancidity yang dapat merusak β- karoten.

  Media pengolahan pada perlakuan D adalah minyak goreng, yaitu Bimoli. Pada label gizi produk minyak goreng Bimoli, tidak tercantum kandungan vitamin A maupun β-karoten. Namun, Bimoli adalah minyak kelapa sawit dengan kandungan β-karoten alami (18.181 µg/100 g BDD) yang dapat membantu pemenuhan asupan vitamin A sehari-hari [20]. Pemakaian minyak goreng dalam penelitian ini adalah 20 gram tiap 90 gram daun singkong, sehingga dapat memberi tambahan β-karoten 40,402 µg/g daun singkong. Bila dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi vitamin A bagi pria dan wanita dewasa (600 dan 500 µg RE/hari), tiap 100 gram bagian yang dapat dimakan (BDD) ketiga macam perlakuan pengolahan daun singkong tersebut dapat memberikan ketersediaan vitamin A sebagai berikut.

  

Tabel 6. Ketersediaan β-karoten terhadap Angka Kecukupan Gizi Vitamin A per 100 gram BDD (Bahan

yang Dapat Dimakan) Olahan Daun Singkong

Perlakuan Peng- olahan Daun Singkong Kadar β-karoten (µg/100 g BDD) Total Aktivitas Vitamin A (µg RE/100 g BDD) %AKG Vitamin A Pria Dewasa %AKG Vitamin A Wanita Dewasa

  

B 7953,4 1325,6 221% 265%

C 1902,2 317,0 53% 63%

D 6592,6 1098,8 183% 220%

  KESIMPULAN

  Ada pengaruh variasi cara pengolahan (perebusan dengan air garam, perebusan dengan air garam dilanjutkan perebusan dengan santan, dan perebusan dengan air garam dilanjutkan penumisan dengan minyak goreng) terhadap kadar β-karoten dalam daun s ingkong. Kadar β-karoten tertinggi terdapat pada perlakuan perebusan dengan air garam, sedangkan kadar β-karoten terendah terdapat pada perlakukan perebusan dengan air garam dilanjutkan perebusan dengan santan.

  SARAN 1.

  Daun singkong harus melalui proses perebusan awal menggunakan air garam untuk menghilangkan asam sianida (HCN) yang berbahaya bagi kesehatan, mempertahankan warna hijau daun singkong, dan melunakkan tekstur daun yang keras. Perebusan awal 100 gram daun singkong muda (didapat dari kurang lebih dua ikat daun singkong) dengan air garam (dibuat dengan mencampurkan satu liter air dengan satu sendok teh garam) memerlukan waktu kurang lebih 15 menit.

  2. Untuk mendapat manfaat β-karoten optimal dari olahan daun singkong, masyarakat dapat mengolah daun singkong dengan merebus atau menumisnya.

  3. Daun singkong dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan sumber vitamin A untuk mencegah defisiensi vitamin A pada anak-anak. Daun singkong dapat diberikan dengan masakan yang menarik, misalnya perkedel tahu daun singkong atau skotel daun singkong. Akan tetapi, perlu penelitian lebih lanjut mengenai ketersediaan β- karoten dalam olahan daun singkong tersebut.

DAFTAR RUJUKAN 1.

  WHO. Global Prevalence of Vitamin A Deficiency in Population at Risk 1995-2005 WHO Global Database on Vitamin A Deficiency. Geneva: WHO. 2009.

  2. Rodriguez-Amaya, D.B. Carotenoids and Food Preparation: The Retention of Provitamin A Carotenoids in Prepared, Processed, and Stored Foods. USA: John Snow, Inc/OMNI Project. 1997.

  3. Almatsier, S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2001.

  4. Ottaway, P.B. The Stability of Vitamins During Food Processing in Henry, C. J. K. and for Food Processors. UK: Berry Ottaway and 14.

  Castenmiller, J.J.M., West ,C. E., Linssen, Associates Ltd. 2002. J.P.H., van het Hof, K.H., and Voragen, 5.

  A.G.J.. 1999. The Food Matrix of Spinach Is a Mulokozi, G., Mugyabuso, J., and Modaha, F. Potential of Cassava and Sweetpotato Leaves Limiting Factor in Determining The to Contribute to The Vitamin A

  Bioavailability of β-Carotene and to a Lesser

  th

  Requirements. 13 ISTRC Symposium. 2007. Extent of Lutein in Humans. J. Nutr. 1999. pp. 755-762.

  129: 349 –355.

  6. Vitamin and Mineral 15.

FAO/WHO.

  Socaciu, C. Food Colorants: Chemical and Requirements in Human Nutrition. China: Functional Properties. Boca Raton: CRC Sun Fung. 2004. Press. 2008.

  7.

  16. Fasuyi, A.O. Nutrient Composition and Burghagen, M.M., Hadziyev, D., Hessel, P., Processing Effects on Cassava Leaf (Manihot Jordan, S., and Sprinz, C. Food Chesmistry. esculenta, Crantz) Antinutrients. Pakistan Berlin: Springer. 1999 Journal of Nutrition. 2005. 4 (1): 37-42.

  17. Freeman, I.P.. 2002. Margarines and 8.

  Shortenings in Ullmann's Encyclopedia of FAO. 1995. Cassava - Revised Edition. 1995. diakses pada tanggal 16 Verlag GmbH & Co. KgaA. 2002.

  Oktober 2009 pukul 16:14 WIB) 18.

  Winarno, F.G. Kimia Pangan dan Gizi.

  9. Jakarta: PT Gramedia Pustpaka Utama. 2004.

  US FDA/CFSAN. Approximate pH of Foods 19. and Food Products. 2007.

  Borsook, H. Vitamins: What They Are and

   How They Can Benefit You. New York: The Viking Press. 1941.

  diakses pada tanggal 14 Februari 2011 pukul 19:05 WIB)

  20. Mahmud, M.K., Zulfianto, N.A. Tabel

  th

  10. ed. New Komposisi Pangan Indonesia (TKPI). Jakarta: Gisslen, W. Professional Cooking 6 PT Elex Media Komputindo. 2009.

  Jersey: John Wiley&Sons, Inc. 2007.

  11. Marty C. and Berset C. 1990. Factors Affecting the Thermal Degradation of all- trans β-carotene. J. Agric. Food Chemistry.

  1990. 38:1063-1067.

  12. Andarwulan, N. dan Keswara, S. Kimia Vitamin. Jakarta: Rajawali Pers. 1992.

  rd

  13. ed. New Fennema, O.R. Food Chemistry 3