ESENSI BUDAYA BUGIS TERHADAP PRODUK PERATURAN DAERAH DI PAREPARE

ESENSI BUDAYA BUGIS TERHADAP PRODUK PERATURAN DAERAH DI PAREPARE FIKRI DAMIRAH ANDI TENRIPADANG

STAIN Parepare

a bstract

Culture is often the reason to create peace, order, order of coolness in society. Culture that will be meaningful and valuable, culture can serve as a source o behavioral determinants and aspiration of society, namely in political and law. Culture only as accessories when placed or be interpreted as a heritage without involving cultural awareness in legal elements for the manufacture of local regulation. Bugis was one tribe that owns and instill cultural values are very high in every movement, behaviour, actions and words. Accordingly the importance of culture became a major ingredient in the making of local regulations, including the town Parepare. Goverment should promote culture as one consideration local rulemaking.

Keywords : Culture and Local Regulation

a bstrak

Budaya sering menjadi alasan untuk menciptakan perdamaian, ketertiban, kenyamanan masyarakat. Budaya penuh akan makna dan berharga. Budaya bisa berfungsi sebagai sumber penentu perilaku dan aspirasi masyarakat, yakni di politik dan hukum. Budaya hanya akan menjadi aksesoris ketika ditempatkan atau hanya dijadikan warisan tanpa melibatkan kesadaran budaya dalam unsur-unsur hukum untuk pembuatan peraturan daerah. Bugis adalah satu suku yang memiliki dan menanamkan nilai-nilai budaya yang sangat tinggi di setiap gerakan, perilaku, tindakan dan kata-kata. Dengan demikian pentingnya budaya menjadi bahan utama dalam pembuatan peraturan daerah termasuk kota Parepare. Pemerintah harus memperkenalkan budaya sebagai salah satu pertimbangan dalam pembuatan peraturan lokal. Kata kunci : Budaya dan Peraturan Daerah

P endahuluan

Hampir semua wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yang di huni oleh orang Bugis

Salah satu suku yang besar di Sulawesi menganut prinsip tersebut. Itu sebabnya orang Selatan adalah suku Bugis, memiliki budaya

Bugis sangat disegani oleh suku-suku lainnya yang sangat dinamis dalam kehidupan

yang ada di Sulawesi Selatan termasuk suku masyarakat. Orang Bugis dalam berinteraksi

Makassar, suku Mandar dan lain sebagainya. antara satu dengan yang lain dalam

Selanjutnya, di Parepare, yang merupakan masyarakat menjadikan ade’ sebagai patokan

salah satu wilayah yang ada di Provinsi untuk mewujudkan perbuatan. Orang Bugis di

Sulawesi Selatan, pada mulanya didiami dalam setiap tingkah lakunya tentu lebih

oleh mayoritas orang Bugis. Setalah itu, banyak pertimbangan persesuaian antara

namun lambat laun Parepare sebagai kota perkataan dan perbuatan. Berangkat dari

yang maju dan berkembang menyebabkan prinsip itu, bagi orang Bugis mengedepankan

orang-orang asing (Orang-orang yang berasal kebiasaan dalam masyarakat dan umumnya

dari berbagai etnis yang bukan peduduk asli mereka menganut “taro ada taro gau”.

Parepare) tertarik untuk menetap di kota ini.

Kuriositas, Edisi VI, Vol. 2, Desember 2013

A de’ dalam orang Bugis memberikan dari individu orang Bugis menunjukan refleksi kekuatan untuk mabbulo sipappa yakni

pikiran dan perilakunya dalam masyarakat, melestarikan persatuan dan kesatuan untuk hidup

tempat di mana mereka hidup. Setiap individu rukun dan damai. Sehubungan dengan itu, orang

sepanjang hidupnya memberikan sumbangan Bugis banyak mengimplementasikan nilai-nilai

untuk mewarnai kebiasaan yang menjadi ade’ termasuk dalam saling

dalam

kehidupannya

masyarakatnya. Sistem pangngaderreng itu membantu dengan orang lain, misalnya “mali

yang senantiasa membentuk watak orang siparappe, rebba sipatokkong, malilu sipainge, sirui

Bugis yang tidak terpisahkan dari masyarakat, menre tessiru i no’. Makna filofis dari petuah itu

sehingga pola pikiran dan perilaku itu hanya bahwa jika yang satu merasakan sakit maka

ada karena dibentuk oleh masyarakat. Dalam mereka semua yang harus menanggung

konteks itu, apabila dikaitkan dengan nilai- bebannya, membantu yang lemah yang lemah

nilai sosial budaya orang Bugis dalam agar menjadi kuat, demikian halnya mereka

masyarakat, untuk merespon keinginan saling bahu membahu untuk menegakkan

hukum masyarakat agar tercipta tatanan kebenaran. Orang Bugis tentang ade ’ merupakan

mengarah pada penentu yang pokok dalam mewujudkan dari

ketentraman, kesejahteraan dalam kehidupan gerak-gerik sebagai ukuran pada peritiwa dimasa

masyarakat. Ketaatan pada hukum oleh orang silam. (Lihat Hamid Abdullah,1985).

Bugis telah melembaga dalam masyarakat Orang Bugis menjalankan ad e’ dalam

yang dikenal dengan dengan pranata. kehidupan sistem sosial budaya telah meyakini

sosial yang dapat sebagai pedoman untuk setiap anggota

Pranata-pranata

diidentifikasi, adalah (1) Pranata Peribadatan, masyarakat. Melalui sistem itu maka bagi orang

merupakan norma-norma dalam memenuhi Bugis pada saat membawa dirinya masyarakat

kebutuhan manusia sebagai hamba dalam dituangkan dalam sistem pangngaderreng.

melakukan hubungan dengan Allah swt. secara Sistem pangngaderreng yang dimaksud adalah

langsung yang dilakukan dengan tata cara atau melainkan dalam diri orang Bugis telah

upacara tertentu yang dalam peribadatan. mendarah daging ade’, bicara, rapang, wari, dan

Pranata peribadatan itu sangat dekat dengan shara’.

keyakinan bahwa masjid misalnya, merupakan Sistem Pangngaderreng mengantarkan

sentral kegiatan peribadatan secara kolektif orang Bugis dalam kehidupan sosial masyarakat,

dalam suatu satuankomunitas; (2) Pranata merupakan peraturan yang harus ditaati. Sistem

kekerabatan merupakan norma-norma dalam panggaderreng meliputi kebiasaan yang disebut

memenuhi kebutuhan pemeliharaan dan ade’, dan shara’ merupakan bentuk pelaksanaan

keturunan, juga untuk orang Bugis dalam mejalankan agama. Dengan

pengembangan

memelihara dan mengembangkan kebudayaan begitu, orang Bugis selain taat pada ade’ juga taat

yang dianut secara kolektif; (3) Pranata pada agamanya. Hal itu tetap dipertahankan

Pendidikan merupakan norma-norma dalam meskipun orang Bugis mengalami pergeseran

memenuhi kebutuhan sosialisasi keyakinan, waktu dalam menghadapi perkembangan zaman.

nilai-nilai, dan kaidah-kaidah yang dianut oleh Kelihatannya sistem pangngaderreng bagi orang

generasi kepada generasi berikutnya. Pada Bugis begitu kuat untuk dilaksanakan tanpa dapat

mulanya proses itu dilakukan hanya dalam dipengaruhi oleh keadaan dan waktu. Sosiologi

lingkungan keluarga, selanjutnya sebagian menentukan bahwa sesuatu yang terjadi di

tugas pendidikan dilanjutkan atau diserahkan masyarakat

kepada masyarakat luas; (4) Pranata Keilmuan mengikuti kesepakatan terhadap suatu tatanan

merupakan norma-norma untuk memenuhi dengan

kebutuhan dalam pengembangan terhadap perbuatannya(Hans Kelsen,1967). Sebagai hal

hukum; (5) Pranata Politik merupakan norma-

Fikri, Damirah, Andi Tenripadang – Aksiologi Budaya Bugis Terhadap Produk Peraturan Daerah di Kota Parepare

norma dalam

Sebagai individu orang Bugis menunjukan pengalokasian nilai-nilai dan kaidah-kaidah

memenuhi

kebutuhan

refleksi pikiran dan perilakunya dalam Islam melalui artikulasi politik di dalam

masyarakat, tempat di mana mereka hidup. kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

sepanjang hidupnya bernegara.; (6)Pranata Hukum merupakan

Setiap

individu

memberikan sumbangan kehidupannya untuk norma-norma untuk memenuhi kebutuhan

mewarnai masyarakatnya.

pangngaderreng itu yang masyarakat; (7) Pranata Ekonomi merupakan

ketertiban dan

senantiasa membentuk watak orang Bugis norma-norma untuk memenuhi kebutuhan

yang tidak dapat terpisahkan dari masyarakat, barang dan jasa dalam masyarakat. Untuk

sehingga pola pikiran dan perilaku itu hanya memenuhi kebutuhan itu dilakukan pemetaan

ada karena dibentuk oleh masyarakat. Dalam berbagai akad dalam pola-pola produksi,

konteks itu, apabila dikaitkan dengan nilai- distribusi, konsumsi barang dan jasa; (8)

nilai sosial budaya orang Bugis dalam Pranata Kesehatan merupakan norma-norma

masyarakat, untuk merespon keinginan untuk memenuhi kebutuhan pemeliharan dan

hukum masyarakat agar tercipta tatanan perawatan kesehatan secara individual dan

mengarah pada kolektif dalam masyarakat. Untuk memenuhi

ketentraman, kesejahteraan dalam kehidupan kebutuhan itu diperlukan pengaturan secara

masyarakat.

cara dan etika yang digunakan; dan (9) Menurut Ansori bahwa budaya selalu Pranata Kesenian merupakan norma-norma

dikonritkan sesuai dengan ide dasar untuk memenuhi kebutuhan kreasi dan

pembentukannya. Perwujudan itu dilakukan ekspresi kesenian. Hal itu merupakan bentuk

dengan mengefektifkan pelaksanaannya dan ekspresi nilai-nilai keislaman dalam bentuk

kepentingan-kepentingan seni membaca al- Qur’an, seni musik, seni

menghilangkan

induvidu dan kelompok di dalamnya. lukis, seni sastra, seni kaligrafi dan seni

Pelaksanaan budaya merupakan pedoman dari arsitektur (Cik Hasan Bisri, …..).

suatu perilaku pada suku-suku tertentu, dan Konteks itu yang mendorong pada setiap

menjadi tanggung jawab bersama secara budaya orang Bugis termasuk Bugis di Parepare,

keseluruhan. Komunitas dalam masyarakat menjadikan pertimbangan dalam pembentukan

secara kolektif menjadi organisasi tertinggi hukum. Sebab nilai-nilai budaya terjadi di era

dalam pelaksanaannya. Melalui perwujudan globalisasi diragukan untuk dapat sejalan

itu, penyimpangan pelaksanaan budaya tidak dengan budaya orang Bugis kekinian, khususnya

sehingga dapat dalam masalah hukum, termasuk proses

menghilangkan konflik-konflik sosial yang pembentukan hukum Peraturan Daerah (Perda)

terjadi dalam masyarakat (Ansori, 2011). yang serasi untuk diterapkan melalui

Oleh karena itu, budaya dapat ditegaskan pemaknaan budaya orang Bugis di Parepare.

sebagai perwujudan dari kehidupan setiap Selanjutnya, tujuan dari nilai-nilai budaya

orang atau setiap kelompok dalam masyarakat. Bugis di Parepare adalah untuk merespon

Sebagai perwujudan dari kehidupan setiap keinginan hukum masyarakat agar tercipta

orang dan setiap kelompok orang-orang. tatanan hukum yang lebih mengarah pada

Budaya dalam hal ini meliputi segala ketentraman kesejahteraan dan kehidupan

seperti cara ia masyarakat. Prinsip dalam penerapan hukum

perbuatan

manusia,

menjalankan sopan santun atau beritika sebagai bentuk

ketaatan adalah ade’

terhadap orang lain. Budaya yang dipahami menjadikan kebiasaan untuk memegang teguh

oleh masyarakat pada umumnya dapat berati nilai-nilai yang hidup sebagai kesepakatan

sebagai segala yang dapat termanifestasi dari bersama.

kehidupan manusia yang selalu berbudi luhur

Kuriositas, Edisi VI, Vol. 2, Desember 2013

dan bersifat rohani, seperti agama, kesenian, hati, apalagi menjerumuskan harkat dan filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara, dan

martabatnya sebagai manusia ke dalam sebagainya. Makna dinamisnya adalah budaya

kebinasaan.

yang dapat diartikan dengan pewarisan atau

A de’ dalam sistem pangngaderreng, penerusan norma-norma, adat- istiadat,

karena menentukan menumbuhkan nilai- kaidah-kaidah, harta-harta. Budaya berarti

nilai kehormatan dari martabat dan harkat bukanlah sesuatu yang sakral tidak mengalami

manusia. Hal itu tentu melahirkan dari suatu perubahan, budaya justru diserasikan dengan

siklus dari setiap orang Bugis dengan memiliki sesuatu dari yang lainnya. Budaya mengalami

tanggungjawab satu sama lainnya (George perubahan-perubahan karya nyata manusia

Ritzer,2004). Sebab sistem pangngaderreng yang selalu memberi wujud baru kepada pola-

dikonstruksi melalui lima unsur yang saling pola kebiasaan yang sudah melembaga di

tidak terpisahkan tentang ade ’ tentang bicara, tengah masyarakat (Ahmad Arifi, 2008).

rapang, wari dan s ara’ (Koentjaraningrat,1993). Budaya Bugis diartikan sebagai kebiasaan

Pangngadereng sebagai rule dalam namun tetap dapat dipahami ade’ bagi

budaya orang Bugis, berfungsi untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat. Masyarakat

dan menata manusia tentang perilaku Bugis bersama dengan ade’ sebagai kebiasaan

kesopanan atau tingkah laku dalam kehidupan tanpa dilanggar. Ad e’ dapat memberikan

dipertegas mengenai bentuknya dalam suatu watak dalam

masyarakat.

Jika

pangngadereng itu, maka ia memiliki makna masyarakat (Rahman,1992).

sebagai peraturan atas norma-norma atau Ade’ dengan berbagai nilai-nilai dasar

juga dapat dikatakan sebagai tata-tertib dalam yang merupakan peraturan bagi orang Bugis

laku. Orang Bugis manakala adalah

tingkah

memahami sistem rule dari pangngadereng, Pangnganderren

tentunya tidak boleh ceroboh dalam bertindak Kadang kalanya ada yang memahami sama

(Koentjaraningrat,1993).

mengenai perilaku dan tingkah lakunya. Orang dengan sistem norma atau aturan adat yang

Bugis di Parepare sangat realistis menegakan memuat dari nilai-nilai normatif. Dengan

pangngadereng dalam pergaulan masyarakat. demikian ade’ adalah wujud budaya yang

Alasan itu pada setiap produk peraturan meliputi arti norma-norma dan tata tertib di

daerah di Kota Parepare, tidak dapat boleh dalamnya unsur-unsur cara orang Bugis

disintegrasi dari budaya pangngadereng. bertingkah laku (Mattulada,1995).

Secara umum dapat diakui bahwa perilaku Dengan begitu, sistem pangngaderreng

kesopanan sangat erat hubungannya dengan adalah ade’ dari suatu kebiasaan sehingga

budaya dan bahasa dalam setiap suku, menjadi aturan-aturan yang harus dan mutlak

termasuk orang Bugis. Budaya dan bahasa dipertahankan dan dipelihara dalam sistem

adalah refleksi dari alam pikiran setiap kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai kebiasaan

masyarakat. Budaya lahir dari suatu bahasa adakalanya dipandang dengan harapan dapat

yang dapat diyakini sebagai ade’ pada saat mengangkat harkat dan martabat manusia

berkomunikasi dalam sebagai orang Bugis. Manusia dalam

berinteraksi

dan

masyarakat, sehingga yang demikian menjadi meneriman adat, ade’ dalam orang Bugis

panduan bagi orang Bugis. Perilaku kesopanan cenderung untuk

merupakan nilai-nilai luhur dari keperibadian kejujuran, konsisten yakni tegas antara kata

selalu hidup dalam

orang Bugis dalam memperkokoh jati diri dan perbuatan yang dapat menunjukkan

sebagai suku yang berbudaya. Maksudnya jatidiri

adalah semua dari perwujudan itu tidak dapat bertanggung jawab. Itu sebabnya orang Bugis

dipisahkan dari budaya pangngadereng. Hal dalam mewujudkan perbuatan selalu berhati-

itu nyata dalam budaya yang merupakan inti

Fikri, Damirah, Andi Tenripadang – Aksiologi Budaya Bugis Terhadap Produk Peraturan Daerah di Kota Parepare

dari refleksi perilaku kesopanan orang Bugis di hal ini hal ini orang-orang Bugis yang tidak Parepare.Perilaku kesopanan dimanifestasikan

memiliki siri' selalu merasa malu-malu di baik dari budi bahasa maupun dari tindakan

tengah-tengah orang banyak, rendah diri, ada yang berdasarkan

rasa takut, terhina dari aib, hilang harga bersama. Misalnya dalam konteks bahwa

dengan

kesepakatan

dirinya. Berkaitan dengan siri’ seseorang itu orang Bugis itu dikenal budaya sipatangngari,

tahu tempat seseorang dalam hubungannya sipakaraja,

dengan orang lain. Siri' mempunyai makna kesopanan itu baik dalam berbahasa maupun

khusus dalam orang Bugis adalah energi hidup ketika berbuat. Melalui dari budaya-budaya

dalam masyarakat (Nurul Ilmi Idrus, 2005). sipatangngari, sipakaraja, sipakatau dari

Sistem pengngadereng oleh orang-orang budaya

Bugis, dapat dirinci dari lima unsur pokok menjelmah dari seseorang orang Bugis dengan

yang dimaksud, yaitu:

ampe madeceng

1. Ade' atau adat. Ade' adalah sistem nilai yang madeceng. Dengan begitu, dalam budaya

dan

rampe-rampe

mengatur sistem orang Bugis bahwa orang-orang yang memiliki

digunakan

untuk

kemasyarakatan. Kata ade' berarti kata- senantiasa muncul senge ’ dari orang lain

kata, ucapan dan adat istiadat. Oleh karena (Syarifuddin Ahmad, 2012).

itu, ade' merupakan seperangkat tata nilai Itu

yang mengatur tentang tata cara berbicara, melaksanakan

berkata-kata dan bertingkah laku. Ade' bagi dipandang orang itu sudah siri’ atau tidak lagi

budaya

pangngaderreng

orang-orang Bugis adalah tata tertib yang punya kehormatan atau harga diri. Ukurannya

bersifat normatif yang memberikan adalah kepandaian orang Bugis menempatkan

pedoman kepada sikap hidup dalam dirinya dalam suatu pangngadereng untuk

menghadapi, menanggapi dan menciptakan pergauln sosial masyarakat. Tidak ada lagi

hidup dalam budaya, baik ideologis, mental nilai yang tertinggi bagi orang Bugis kecuali

spiritual, maupun fisik yang mendominasi dengan menjalankan pangngadereng. Oleh

kehidupan masyarakat. Ade' sebagai tata karena itu, pangngadereng meskipun budaya

nilai yang bersifat normatif, mengatur pola oleh orang Bugis, tetapi ia merupakan segala-

hubungan antara manusia dengan manusia, galanya oleh orang Bugis dalam kehidupan

antara manusia dalam masyarakat, antara sosialnya. Sistem dari pangngadereng itu

masyarakat dengan masyarakat. adalah sesuatu yang bersifat mutlak melekat

2. Rapang. Rapang diartikan dengan gau dalam diri orang Bugis dalam memanifestasi

pura lalo yang berarti aturan yang telah ada dari suatu harga diri dan martabatnya sebagai

terlebih dahulu yang harus dijadikan acuan manusia. Dengan begitu, keberadaan dengan

dalam memutuskan suatu perkara. pangngadereng dalam diri orang Bugis

Rapang dapat pula dimaknai sebagai penanda bahwa orang itu memiliki siri’.

kaidah-kaidah hukum yang telah ada atau Orang-orang Bugis dalam memegang

telah digunakan dalam memutus dan konsep siri ’ bersumber dari “sumange” yang

menetapkan hukum. Itu artinya bahwa berfungsi sebagai kekuatan hidup setiap

rapang dalam kedudukannya seabgai manusia dalam masyarakat. Siri ’ tidak saja

sumber inspirasi dan kaidah hukum, juga ditunjukan dalam perilaku, termasuk juga

dimaknai sebagai kumpulan undang- dalam sistem sosial dan cara berpikir orang-

undang. Di samping itu, rapang merupakan orang Bugis. Siri ’ dipandang sebagai bagian

perjanjian antar kerajaan, yang kalau yang sangat mendasar dalam budaya orang-

dilanggar dapat menimbulkan perang. orang Bugis, sehingga siri’ adalah jiwa,

Rapang juga dapat mempertemukan kehormatan dan martabat. Sejalan dengan

negara-negara untuk mengadakan sesuatu

Kuriositas, Edisi VI, Vol. 2, Desember 2013

hubungan persahabatan dan kekeluargaan. Ternyata, umumnya sistem pangngadereng Hukum antar negara diletakkan dalam

berlaku dan dianut seluruh orang-orang Bugis bidang

dimana pun keberadaannya sebagai anggota berdiplomasi masih dalam lingkup rapang.

Orang-orang Bugis dalam Menyatakan pendapat atau buah pikiran

masyarakat.

melaksanakan sistem pangngadereng sebagai yang sesuai dengan kebenaran, karena

rule mereka harus menjalankan secara total, disebutkan bahwa apa yang diucapkan

tanpa dipisahkan dari salah bagian dari sistem seseorang sesungguhnya adalah rapang

budaya tersebut.

buah pikirannya. Konsepsi dari sistem pangngadereng, dua hal

3. Bicara. Bicara atau ucapan dalam hal yang dapat dipertegas berikutnya yaitu; wari pangngadereng adalah ketentuan-ketentuan

adalah mappallaisennge dari kemampuan yang memberikan perlakuan yang sama

untuk membedakan. War i’ adalah penjenisan pada setiap orang dalam tata peradilan.

yang membedakan yang satu terhadap yang lain Oleh karena itu, bicara juga berarti hukum

suatu perbuatan yang selektif, perbuatan menata acara peradilan yang meliputi semua

atau menertibkan. Wari ’ juga sejatinya berfungsi keadaan.

mengatur tata susunan, tingkatan-tingkatan

dan kemampuan menetapkan membedakan antara satu dengan yang

4. Wari'. Wari' adalah penjenisan yang

keturunan

hubungan-hubungan kekeluargaan. Tetapi wari lainnya, sesuatu perbuatan yang selektif,

bukan hanya menentukan dalam hubungan perbuatan menata dan menertibkan. Wari'

kedarahan masing-masing dan komponen dalam adalah aturan perbedaan derajat sehingga

strata masyarakat saja, namun rupanya wari’ setiap orang mengetahui batasan apa yang

memiliki ruang lingkup yang sangat luas dapat dan yang tidak dapat dilakukan dalam

diperuntukkannya dalam berbagai hal. Dengan pergaulan sehari-hari. Wari' adalah tata

begitu, wari ’ dapat digunakan dalam aspek tertib keturunan dan kekeluargaan.

protokoler yang dapat menata dengan sebaik- baiknya dan jelas menentukan garis kedarahan

5. Sara'. Sara' yang sebagai salah unsur yang pada akhirnya sebagai manifestasi yang

pangngadereng adalah ketentuan-ketentuan terjadi dari susunan dalam masyarakat.

Allah yang bersumber dari al-Qur'an dan Wari’

dalam menegaskan upaya peraturan yang hadis berupa perintah,larangan dan anjuran,

menata dari garis kedarahan dalam suatu sebagai pedoman bagi manusia dalam

keluarga berdasarkan ikatan perkawinan. memenuhi hajat hidupnya agar selamat di

Wari’ adalah upaya penataan tata urutan sebagaimana

dunia dan di akhirat.Dalam konteks tersebut, mestinya, sehingga dapat ditentukan kedudukan

kontekstualisasi

pangngadereng dalam

masing-masing, mana yang pantas dalam tata- penegakan syari'at Islam dimaksudkan

pangngadereng (Zainal Said,2011). sebagai reformulasi dan redefenisi terhadap

struktur pangngadereng yang dilakukan Wari’ dalam konteks itu, sangat berguna

dari lapisan-lapisan melalui pangngadereng itu sendiri, dengan

dalam

menentukan

kekeluargaan, agar tidak terjadi kekacuan dalam penekanan bahwa konsepsi pangngadereng

penyusunan garis kedarahan. tidak terletak pada simbolnya, akan tetapi

Wari’ dalam pandangan orang-orang Bugis dapat menjadi

terletak pada pandangan, pikiran dan alat dalam mengukur dari garis keturunan

pemaknaan yang subtansial. Oleh karena itu, orang lain, misalnya melalui war

pangngadereng tidak akan memberikan i’ seseorang

memiliki kemampuan untuk mengetahui baik nilai selama ia dipandang sebagai warisan

karakter, perilaku, watak dan sifat yang Masa lalu, akan tetapi akan memberikan itu dimiliki oleh suatu keluarga yang dimaksud. apabila ia merupakan masa depan yang bisa Selain itu, wari’ ini menjadikan sangat selektif inovatif (Rahmatunnair, 2011).

Fikri, Damirah, Andi Tenripadang – Aksiologi Budaya Bugis Terhadap Produk Peraturan Daerah di Kota Parepare

siapa-siapa yang wajar untuk masuk dalam seluruh anggota legislatif di Kota Parepare anggota keluarganya, melalui hubungan

kaidah-kaidah dalam perkawinan.

untuk

melihat

masyarakat yang sudah lama berlaku dari Selain itu, wari’ juga dapat berfungsi untuk

pangngadereng, agar tidak menentukan dan menata peraturan-peraturan

sistem

berbenturan dengan peraturan yang akan yang akan diberlakukan dalam masyarakat Bugis.

diformulasi yang selanjutnya akan diterapkan Melalui wari’ itu sendiri menjadi alat dalam

dalam kehidupan sosial masyarakat Kota membuat peraturan oleh penguasa dalam

Parepare.

memegang atau menjalankan pemerintahan. Kaidah-kaidah kemasyarakatan dan budaya Tentunya penguasa tidak sewenang-wenang

yang ada, praktis dapat diterapkan dalam dalam menerapkan peraturan sebab wari’ yang

kehidupan sosial masyarakat. Kaidah-kaidah menjadi

kemasyarakatan itu telah tumbuh dan menyusunan peraturan tersebut. Wari’ yang

dan ditaati oleh demikian bertujuan untuk menjamin stabilitas

berkembang, dianut

masyarakat.

dalam pelaksanaan peraturan kepada masyarakat Nilai-nilai dan norma dalam masyarakat Bugis. Oleh karena itu, melalui wari’ dalam sistem

yang tertuang dalam sistem pangngadereng pangngadereng menunjukkan masyarakat Bugis

orang Bugis di Kota Parepare mutlak menjadi tertib dari berbagai peraturan.

bahan utama dalam produk peraturan daerah. Sara ’ dalam sistem pangngadereng

Terlepas dari nilai-nilai budaya yakni unsur sebagai salah unsur tambahan setelah Islam

a de’, bicara, rapang, wari dan sara’ dalam diterima oleh orang-orang Bugis, yang

pembentukan peraturan daerah mendapat sebelumnya hanya terdiri dari ade’, bicara,

hambatan dalam penerapannya, sebab tidak rapang, dan wari. Penerimaan Islam dalam

sesuai dengan perilaku dan tingkah laku masyarakat Bugis, sara’ menjadi bahan

masyarakat dari peraturan yang dibuat oleh pertimbangan dalam sistem pangngaderreng.

para anggota legislatif. Keseraian antara unsur Sara’ menjadi patokan dalam sistem

pangngadereng dengan produk pangngadereng dalam kehidupan orang

sistem

peraturan daerah termasuk Peraturan Daerah Bugis terhadap pelaksanaan agama Islam.

(Perda) Kota Parepare.

Orang-orang Bugis memiliki ketaatan yang Berdasarkan pemikiran itu, maka yang sangat tinggi sebagai masyarakat yang religius

permasalahan adalah, (Marzuki,1995).

menjadi

pokok

bagaimana esensi budaya Bugis terhadap Kaitannya dalam pembentukan Peraturan

produk Peraturan Daerah (Perda) di Parepare. Daerah terhadap sistem pangngadereng dapat menentukan menjadi bahan perumusan

P embahasan

peraturan bagi orang Bugis dalam kehidupan

Nilai-Nilai Budaya sebagai Patron

sosialnya. Sebab pangngadereng sudah

dalam Produk PERDA Kota

mendarah daging sekaligus telah menyatu

Parepare

dalam alam pikiran orang-orang Bugis, Peraturan Daerah yang selanjutnya

sehingga keliru bagi para pembuat peraturan disingkat dengan Perda adalah instrumen

tanpa menempatkan sistem pangngadereng aturan yang secara sah diberikan kepada

sebagai bahan utama dari perumusan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan

peraturan. Demikian halnya perumusan pemerintahan di daerah. Sejak Tahun 1945

peraturan daerah di Kota Parepare, oleh para hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa

legislatif mutlak

mendudukan

sistem

undang-undang yang menjadi dasar hukum pangngadereng sebagai bahan utama dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan memproduk peraturan. Hal itu penting kepada

menetapkan Perda sebagai salah satu instrumen

Kuriositas, Edisi VI, Vol. 2, Desember 2013

yuridisnya. Kedudukan dan fungsi Perda berbeda Menanggapi pada deksripsi tersebut antara yang satu dengan lainnya sejalan dengan

tampak menunjukkan bahwa Perda adalah sistem ketatanegaraan yang termuat dalam

merupakan salah satu acuan pokok dan amat UUD atau Konstitusi dan UU Pemerintahan

penting dalam menyelenggakan pemerintahan Daerahnya. Perbedaan tersebut juga terjadi pada

oleh pemerintah daerah. Penetapan Perda penataan materi muatan yang disebabkan karena

itu sangat kuat kedudukannya meskipun luas sempitnya urusan yang ada pada pemerintah

kompetensi absolut yang ada hanya berlaku daerah. Demikian juga terhadap mekanisme

dalam skala pada daerah itu sendiri, karena pembentukan dan pengawasan terhadap

Perda memiliki landasan yurudis yang bukan pembentukan dan pelaksanaan Perda pun

hanya mengacu pada UUD 1945, tetapi juga mengalami perubahan seiring dengan perubahan

mengacu pada beberapa peraturan yang pola hubungan antara pemerintah pusat

mengatur tentang tekhnis dalam pembuatan dengan pemerintah daerah. Setiap perancang

Perda. Sehingga, dengan demikian Perda yang Perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan

berlaku itu merupakan istrumen yang dapat menguasai aturan hukum positif tentang UU,

menentukan jalannya pemerintahan yang baik Pemerintahan Daerah, UU tentang Perundang-

di daerah.

undangan, Peraturan pelaksanaan yang secara

dimulai dengan khusus mengatur tentang Perda. Merancang

Penyusunan

Perda

merumuskan masalah yang akan diatur, untuk sebuah Perda, perancang padadasarnya harus

itu harus menjawab pertanyaan “apa masalah menyiapkan diri secara baik dan menguasai

sosial yang akan diselesaikan ” Masalah sosial Analisa data tentang persoalan sosial yang

yang akan diselesaikan pada dasarnya akan akan diatur, Kemampuan teknis perundang-

terbagi dalam dua jenis. Pertama, masalah undangan, Pengetahuan teoritis tentang

sosial yangterjadi karena adanya perilaku dalam pembentukan aturan dan Hukum perundang-

masyarakat yang bermasalah. Misalnya, banyak undangan baik secara umum maupun khusus

masyarakat membuang sampah sembarangan, tentang Perda.

sehingga menyebabkan lingkungan menjadi Oleh karena itu, Perda yang berlaku pada

kumuh, maka diperlukan Perda kebersihan. setiap daerah sebaiknya memiliki landasan

Banyak orang mabuk karena mengkonsumsi yuridis yang dapat dipetakan ke dalam

minuman dengan kadar alkohol yang tinggi, dua bagian; Sebelum tanggal 25 Juni 2004

maka diperlukan pengaturan tentang peredaran diantaranya:UUD 1945 Pasal 18, Pasal 18 A,

minuman beralkohol. Rusaknya bangunan Pasal 18 B, UU No. 22 Tahun 1999 tentang

bersejarah/bangunan kuno karena dirobohkan PemerintahanDaerah, Keputusan Presiden

atau diganti dengan bangunan baru yang

44 Tahun 1999 tentangTehnik Penyusunan menghilangkan ciri khas bangunan lama. Peraturan Perundang – undangan dan Bentuk

Untuk ini, maka diperlukanpengaturan tentang Rancangan Undang-undang dan Peraturan

Perda Cagar Budaya. Kedua, masalah sosial Pemerintah dan Rancangan Keputusan

yang disebabkan karena aturan hukum yang Presiden, Keputusan Menteri Dalam Negeri

ada tidak lagi proporsional dengan keadaan No. 21, 22, 23dan 24 Tahun 2003, Tata Tertib

masyarakatnya. Misalnya, peraturan daerah DPRD Propinsi atau Kabupaten/Kota; Setelah

tentang retribusi biaya pemeriksaan kesehatan,

25 Juni 2004, diantaranya:Undang-undang ternyata memberatkan masyarakat kecil, tentang Pembentukan Perundang-undangan

hinggatidak memperoleh pelayanan kesehatan yang telah di setujui oleh Pemerintah dengan

yang memadai. Perda tentang Pajak Daerah, DPR, tanggal 25 Mei 2004 dan Tata Tertib

sudah tidak sesuai dengan UUtentang Pajak DPRD Propinsi atau Kabupaten/Kota.(

Daerah, maka Perda tersebut harus diganti Hilmawan Estu Bagijo, 2011)

dengan yang baru.

Fikri, Damirah, Andi Tenripadang – Aksiologi Budaya Bugis Terhadap Produk Peraturan Daerah di Kota Parepare

Perancang Peraturan Daerah wajib mampu Draf Raperda pada dasarnya adalah mendiskripsikan masalah sosial sebagai

kerangka awal yangdipersiapkan salah satu carauntuk menggali permasalah

untuk mengatasi masalah sosial yang tersebut adalah dengan langkah pengkajian

hendakdiselesaikan. Apapun jenis yang dalam dan serius. Masalah sosial yang

peraturan daerah yang akan dibentuk, maka ada dalammasyarakat, maka observasi pada

rancangan Perda tersebut harus secara obyek persoalan harusdilakukan. Misalnya

jelas mendiskripsikan tentang penataan mengumpulkan data tentang bangunan kuno

wewenang (regulation of authority) bagi yang ada di Kabupaten/Kota yang dimaksud.

(law implementing Mendiskripsikan siapa pemilik, dan bagaimana

lembaga pelaksana

agency)dan penataan perilaku (rule of keadaan masing-masing bangunan itu selama

conduct /rule of behavior) bagi masyarakat ini, berapa bangunanyang sudah berubah

yang harus mematuhinya (rule occupant). bentuk atau pun berubah fungsi. Terhadap

Secara sederhana harus dapat dijelaskan: situasi seperti ini, oleh Seidman Robert

siapa lembaga pelaksana aturan, kewenangan ditawarkan sebuah metode Roccipi (rule,opp

apa yang diberikan padanya,perlu tidaknya ortunity,capacity,communication,

dipisahkan antara organ pelaksana peraturan process, ideology).

interest,

dengan organ yang menetapkan sanksi Demikian juga terhadap permasalahan

atas ketidak patuhan, persyaratan apa yang sosial akibatpenerapan Perda, secara khusus

mengikat lembaga pelaksana, apa sanksi yang ditawarkan metode RIA (regulatory impact

dapat dijatuhkan kepada aparat pelaksana analysis). Metode ini meliputi analisacost

jika menyalahgunakan wewenang. Rumusan and benefit system. Artinya Pelaksanaan

permasalahan pada masyarakat akan berkisar Perda dievaluasi sedemikian rupa, khususnya

pada siapa yang berperilaku bermasalah, terhadap dampakyang ditimbulkan terhadap

jenis pengaturan apa yang proporsional untuk modal sosial yang ada. Hasil analisa akan

mengendalikan perilaku bermasalah tersebut, menjelaskan siginifikansi keberhasilan atau

jenis sanksi yang akan dipergunakan untuk kegagalan penerapan Perda dalam masyarakat.

memaksakan kepatuhan.

Selanjutnya, Metode Roccipi lebih mengajak Kerangkaberfikirdiatas,akanmenghasilkan para perancang untuk melakukan penelitian

sebuah draf tentang penataan kelembagaan factual/empiris, untuk memperoleh data

yang menjadi pelaksana. Pada tingkat Kab/ langsung tentang masalah sosial yang akan

Kota, harus sudah dapat dijelaskan, dinas/ diatur dal am peraturan daerah. Maksudnya

kantor mana yang akan bertanggungjawab adalah, perancang dapat dengan jelas

melaksanakan Perda tersebut sesuai dengan menyebutkan apa masalah sosialnya dan

tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI). Penataan bagaimana hal itu akan diselesaikan.akan

wewenang juga akan menghasilkan herarkhi diikuti dengan usulan perbaikan yang lebih

kewenangan lembaga pelaksana dan lingkup rasional dan aplikatif.

tanggung jawab yang melekat padanya. Perumusan masalah sosial tersebut

Misalnya Wewenang menandatangani ijin ada akan meliputi masalah sosial yang ada, siapa

pada Bupati, tetapi lembaga yang memproses masyarakat yang perilakunya bermasalah,

adalah Dinas, atau Kepala Dinas berwenang siapa aparat pelaksana yang perilakunya

mengeluarkan ijin atasnama Bupati dsb. bermasalah, analisa keuntungan dan kerugian

Penataan jenis perilaku akan menghasilkan, atas penerapan Perda dan tindakan apa yang

Perda tentang larangan atau ijin dan Perda diperlukan untuk mengatasi masalah sosial

tentang kewajiban melakukan hal tertentu Perumusan Draf Raperda.

atau dispensasi. Drafter harus menjelaskan pilihan tentang norma kelakuan yang

[9]

[ 10 ]

Kuriositas, Edisi VI, Vol. 2, Desember 2013

dipilihnya dengan tujuan yang hendak dicapai. Norma larangan akan menghasilkan bentuk pengaturan yang rinci tentang perbuatan yang dilarang. Jika menginginkan ada perkecualian, maka

Konsekwensinya adalah merumuskan sistem dan syarat perijinannya. Sistem dan syarat perijinan ini dirumuskan dengan kreteria ijin perorangan atau ijin kebendaan. Demikian juga, syarat-syarat permohonan ijinyang secara proporsional dapat dipenuhi oleh oleh pemohon. Jika norma kelakuan dirumuskan dengan norma perintah,maka eksepsinya adalah dengan merumuskan norma dispensasi.

Penetapan sanksi dalam Perda akan berkombinasi antara sanksi pidana dan sanksi administrasi. Ketentuan Pasal 71 UUNo. 22 Tahun 1999, menetapkan :(1)Peraturan daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian atas biaya pelanggar (sanksi administrasi), (2) Peraturan daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dengan atau tidak merampas barang tertentu untuk daerah, kecuali jika ditentukan lain dalam peraturan perunadang-undangan. Ketentuan Pasal 71 ayat (1) menjadi dasar hukum pengaturan sanksi administrasi, tujuan utamanya adalah menyelesaikan pelanggaran (reparatory). Sanksi administrasi dapat diterapkan langsung oleh pemerintah. Oleh sebab itu, peraturan daerah harus merumuskan secara lengkap dasar hukum, jenis sanksi, prosedur dan pejabat yang berwenang menerapkan sanksi administrasi. Hali ni berbeda dengan sanksi pidana, karena perancang Perda hanya cukup merumuskan dalam Perda, sedang penerapan sanksinya dilakukan melalui prosedur KUHAP.

Pendapat umum

mengakui

bahwa

pemerintahan yang sentralistik semakin kurang populer, karena ketidakmampuannya untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau sentimen aspirasi lokal. Alasannya, warga

masyarakat akan lebih aman dan tentram dengan badan pemerintah lokal yang lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun psikologis (Bonne,1968). Sebaliknya pengaturan yang sentralistik, monopolistik dan seragam bagi seluruh wilayah tanah air justru akan menimbulkan ketidak puasan dan ketidakadilan serta melemahkan kesatuan bangsa, yang justru akan menimbulkan ancaman bagi eksintensi dan keutuhan negara kesatuan.

Dalam menjalankan roda pemerintahan daerah yang telah dimandatkan, Pemerintahan daerah yang digerakkan oleh Pemerintah Daerah

(Pemda/eksekutif) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD/legislatif) memerlukan suatu instrumen hukum, untuk menjamin kepastian hak dan kewajiban negara dan warga negaranya di setiap daerah. Dengan demikian, Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota diberi kewe- nangan oleh Undang-undang Dasar 1945 untuk membuat Peraturan Daerah (Perda) yang memiliki fungsi; Perda sebagai instru- men kebijakan (beleids instruments) dalam melaksanakan otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab. Pada fungsi ini Perda sebagai sarana hukum merupakan alat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi (UUD 1945) dan undang-undang Pemda. Sebagai alat kebijakan daerah tentunya tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan

kesejahteraan

masyarakat daerah melalui pembangunan daerah yang berkesinambungan (sustainable development) dengan memperhatikan kelestarian ling- kungan; Perda merupakan pelaksana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, Perda tunduk kepada asas hirarki peraturan perundang-undangan dimana Perda tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan ditingkat pusat (nasional); Penangkap dan penyalur aspirasi masyarakat daerah. Dalam fungsi ini Perda merupakan sarana penyaluran

Fikri, Damirah, Andi Tenripadang – Aksiologi Budaya Bugis Terhadap Produk Peraturan Daerah di Kota Parepare

kondisi khusus daerah dalam konteks dimensi ekonomi, sosial, politik dan budaya. Dalam konteks ketiga ini peran serta masyarakat secara aktif sangat dibutuhkan agar semua pihak terkait dan berkepentingan dapat tertampung semua aspirasinya dengan sebaik- baiknya; Harmonisator berbagai kepentingan. Dalam fungsi ini Perda merupakan produk perundang-undangan yang mempertemukan berbagai kepentingan. Oleh karena itu dalam pembentukan Perda, DPRD dan Pemda harus memperhitungkan kepentingan-kepentingan, baik pada tataran daerah yang bersangkutan, lingkup antar daerah, maupun pada tataran nasional; Sebagai alat transformasi perubahan bagi daerah. Dalam fungsi ini, Perda ikut menentukan keberhasilan pemerintahan dan pembangunan daerah. Sebagai alat transformasi atau perubahan bagi daerah, Perda memegang peranan penting dalam mencapai sistem pemerintahan dan konerja pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Perda bukan sekadar alat untuk mengatur tentang jalannya roda pemerintahan dan pembangunan, melainkan sebagai penagrah terhadap cita- cita daerah dalam menuju kearah kehidupan masyarakatnya yang lebih baik.

Fungsi kelima merupakan fungsi akhir setelah keempat fungsi lainnya telah terpenuhi. Perda yang baik adalah Perda yang mampu mentransformasi masyarakat ke arah yang lebih baik. Yang menjadi pertanyaan, apakah PerdaKota Parepare sudah mampu mentransformasi masyarakatnya?.

Parepare memang masih dipengaruhi oleh etnis budaya Bugis-Makassar dan Cina. Jarak antara warga keturunan Cina dengan warga pribumi di Kota Parepare, jaraknya tidak bisa lagi diukur. Kehidupan mereka di tengah masyarakat tidak punya lagi jarak pemisah. Mereka hidup membaur di semua lini kehidupan sosial sehingga sulit dibedakan, mana warga keturunan Cina dan mana warga pribumi. Jangan heran jika anda menemukan, ada warga keturunan Cina sangat fasih

berbahasa daerah. Sebab hampir semua warga Tionghoa ini mengerti dan paham serta lancar melafalkannya. “Malah, mereka lebih pintar berbahasa Bugis dibanding orang Bugis itu sendiri yang sudah tidak tahu lagi bahasa daerahnya”, kata Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Parepare, Loekito Soedirman kepada Buletin Bandar Madani. Kondisi ini bisa dimaklumi karena sosialisasinya dengan kehidupan masyarakat lokal sudah terbilang ratusan tahun. Keturunan Cina yang ada sekarang di Kota Bandar Madani ini, tidak bisa lagi dihitung keturunan ke berapa dari nenek moyangnya. Sebab, etnis Cina ini masuk di Kota Parepare sekitar 200 tahun silam.Saat ini berdasarkan data PSMTI yang didirikan 10 tahun lalu itu, sekitar 500 KK atau sekitar 2.000 orang Cina.

Secara alamiah, mereka sudah membaur dengan warga pribumi bahkan sudah ada yang kawin-mawin. Seluk beluk bahasa dan budaya lokal mereka sudah ketahui dengan baik, sehingga sangat sulit membedakannya dengan warga setempat. Agama mereka pun, sama dengan yang dianut warga pibumi yaitu Islam, Kristen, Buddha dan lain-lain. Mereka pada umumnya hidup dalam usaha kegiatan perdagangan dan bisnis lainnya, malah ada yang papah. Menurut Loekito, PSMTI Parepare hanyalah cabang dari PSMTI yang berpusat di Jakarta. Meski sebanyak empat vihara di Kota Parepare tetapi semuanya bernaung di dalam PSMTI. Wadah ini berperan mendekatkan diri dengan pemerintah dan warga setempat serta mengurusi kepentingan warga Tionghoa itu sendiri, termasuk merintis pekuburan khusus Tionghoa di Bilalange. PSMTI ini juga mengembangkan dan melestarikan kesenian dan budaya etnis Tionghoa supaya tidak punah di mata generasi mudanya. Wadah ini turut berperan aktif pada saat diminta oleh pemerintah daerah untuk ikut lomba Barongsai di tingkat propinsi maupun tingkat lokal.

Pada hari-hari tertentu, seperti Imlek mengadakan pertunjukan kesenian etnis Cina. Kemudian pada hari Raya Idul Fitri turut pula

Kuriositas, Edisi VI, Vol. 2, Desember 2013

bersuka cita dengan bersilahturahmi ke panti peninggalan (pewarisan) budaya orang- jompo dan panti asuhan. Meski tidak ada yang

orang dulu, tetapi tidak diprioritaskan untuk mencoba ke pemerintahan, tetapi terbukanya

nilai-nilai budaya kran reformasi maka etnis Cina pun bisa

berelevansi terhadap

pangaderreng. Padahal Parepare sangat duduk di legislatif. Loekito sangat bangga dan

dipengaruhi oleh etnis budaya Bugis-Makassar bersyukur karena ada warga keturunan Cina

dan Cina sehingga menjadi tumpuan utama yang ikut bekompetisi pada Calon Legislatif

nilai-nilai budaya pangaderreng dalam setiap (caleg) tahun 2009 nanti. ”Tidak ada masalah

pembuatan Perda.

jika mereka ingin berkiprah duduk di dewan, Hal tersebut terlihat pada keragaman asalkan orangnya cakap dan pantas mewakili

kultur sosial budaya yang terdapat di rakyat. Meski dia orang Cina jika tidak

KotaParepare, etnis dan budaya lokal, secara layak, maka warga keturunan Cina belum

umum perbedaan dalam hal budaya adalah tentu mendukungnya ”, Oleh karena itu, nilai-

terletak pada dialek bahasanya, sistem nilai budaya yang dimaksud yakni konsisten

upacara adat, ritual keagamaan, dan bentuk dan tidak terlepas pada kajian awal adalah

bangunan.Terjadinya perubahan sosial budaya pangaderreng, yaitu ade bicara, rapang, wari, dan

masyarakat merupakan proses transformasi sara, sebagaimana kerukunan dan keakraban

global akibat tidak homogenisitasnya kultur yang tercipta dalam kehidupan masyarakat Kota

budaya pada suatu daerah. Sedangkan Parepare tersebut.

dinamika perkembangan akan tidak lagi Dalam mengidentifikasi nilai-nilai budaya

memandang kultur budaya dan adat istiadat yang menjadi patron (penggarisan) dalam produk

sebagai hukum masyarakat yang berlaku Perda di Kota Parepare tersebut, maka peneliti

Perubahan proses tersebut sulit ihindari karena penting untuk menelusuri dan mengkaji lebih

dipengaruhi oleh masuknya budaya lain dan dalam salah satu Perda yakni Perda Nomor

perkembangan teknologi menjadi orientasi

11 Tahun 2008 yang mengatur tentang Usaha masyarakat untuk mengaktualisasikan diri. Kepariwisataan.

Perubahan karakter dan kultur budaya Dalam konteks produk Perda di Kota

sebagai ciri khas suatu komunitas Parepare termasuk Perda Nomor 11 Tahun 2009

tidak perlu terjadi, jika masyarakat memegang tentang Usaha Kepariwisataan itu, maka dalam

teguh dan menjunjung tinggi nilai budaya yang penelusuranpenelititerhadapPerdatersebuttidak

secara turun-temurun dianutnya. mengakomodasi nilai-nilai budaya pangaderreng,

Salah satu kekuatan masyarakat di Kota yaitu ade bicara, rapang, wari, dan sara yang

Parepare adalah pembauran nilai religius berfungsi sebagai instrumen dalam pembuatan

keagamaan dalam suatu kebudayaan yang Perda. Meskipun pada bagian menimbang

masih melekat hingga kini. Faktor lain yang huruf b dalam Perda ditemukan kalimat yang

mempengaruhi adalah komunitas masyarakat di menyatakan “bahwa penyelenggaraan usaha

Kota Parepare sebagian besar masih dalam satu pariwisata di daerah, merupakan salah satu

ikatan rumpun keluarga, sehingga konflik sosial upaya untuk melestarikan budaya bangsa, yang

tidak menjadi pemisah, tetapi dapat terselesaikan berdampak pada sektor sosial danekonomi, serta

secara kebersamaan dan kekeluargaan. Secara dapat meningkatkan laju pertumbuhan investasi

garis besar, peneliti menemukan di lapangan dan lapangankerja, maka Pemerintah Daerah

bahwa beberapa informan memberikan perlu melakukan pembinaan dan pengendalian

keterangan, umumnya baik di lembaga yang terarah dan berkesinambungan terhadap

legislatif maupun masyarakat Kota Parepare usaha Kepariwisataan yang diselenggarakan

yang modern tidak mengetahui dan mengenal di daera h”. Pelestarian budaya bangsa yang

sama sekali budaya pangaderreng, akan tetapi dimaksud itu adalah hanya yang berkaitan

dapat dipahami bahwa aktualisasi terhadap

Fikri, Damirah, Andi Tenripadang – Aksiologi Budaya Bugis Terhadap Produk Peraturan Daerah di Kota Parepare

nilai-nilai budaya pangaderreng itu secara hukum, maka draf Raperda sudah menjadi Perda tidak langsung terealisasi dalam kehidupan

yang berkekuatan hukum formal (formele- dan pergaulan masyarakat Kota Parepare.

rechtskrach). Secara teoritik, “semua orang Alasan itu sehingga budaya pangaderreng

dianggaptahu adanya Perda ” mulai diberlakukan tidak dijadikan dasar pijakan dalam setiap

dan seluruh isi/muatan Perda dapat diterapkan. pembuatan Perda di Kota Parepare.

Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum, menganjurkan agar tahapan penyebarluasan

Latar Belakang Pembentukan Perda

(sosialisasi) Perda harus dilakukan. Hal ini

Kota Parepare

diperlukan agar terjadi komunikasi hukum antara Secara politis, di seluruh daerah di

Perda dengan masyarakat yang harus patuh. Pola Indonesia dan tidak terkecuali Kota Parepare

ini diperlukan agar terjadi internalisasi nilai dalam melakukan prosedur pembahasan

atau normayang diatur dalam Perda sehingga terdapat dua tahap penting pembahasan

ada tahap pemahaman dankesadaran untuk draf Raperda,yaitu pada lingkup tim teknis

mematuhinya.

eksekutif dan pembahasan bersama dengan Senada dengan hal ini, data yang ditemukan DPRD. Pembahasan pada tim teknis, adalah

dalam draf Raperda di Kota Parepare adalah pembahasan yang lebih merepresentasi pada

setiap Perda yang akan lahir, dilakukan kepentingan eksekutif. Oleh UU tentang