Analisis Kualitas Air Akibat Keramba Jaring Apung Di Danau Toba Dusun Sualan Desa Sibaganding Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

  Ekosistem Danau

  Danau adalah wilayah yang digenanagi badan air sepanjang tahun serta terbentuk secara alami. Pembentukan danau terjadi karena pergerakan kulit bumi sehingga bentuk dan luasnya sangat bervariasi. Danau yang terbentuk sebagai akibat gaya tektonik kadang-kadang badan airnya mengandung bahan-bahan dari perut bumi seperti belerang dan panas bumi (Andi,dkk., 2010).

  Danau juga merupakan salah satu bentuk ekosistem perairan tawar, dan berfungsi sebagai penampung dan menyimpan air yang berasal dari air sungai, mata air maupun air hujan. Sebagai salah satu bentuk ekosistem air tawar, danau memegang peranan sangat penting dan potensial untuk dikembangkan dan didayagunakan untuk berbagai kepentingan, seperti kepentingan ekonomi, perikanan, irigasi, sumber air bersih dan pariwisata. Dari sisi ekologi, danau juga beperan sebagai penyangga bagi kehidupan sekitarnya, dan memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang potensial bagi kesejahtraan masyarakat. Akan tetapi potensi-potensi tersebut akan dapat mensejahterakan stakeholdersnya secara berkelanjutan apabila pengelolaan dan pemanfaatannya mempertimbangkan kemampuan optimal dan daya dukung ekositem tersebut. Pemanfaatan yang berlebihan suatu potensi akan dapat menyebabkan gangguan terhadap potensi lainnya (Ginting, 2011).

  Danau Toba

  Danau Toba merupakan satu dari danau di Indonesia yang terletak di pegunungan Bukit Barisan Propinsi Sumatera Utara, yang menurut wilayah administrasi pemerintahan berada pada 7 daerah kabupaten yaitu: (1) Kabupaten Tapanuli Utara, (2) Kabupaten Humbang Hasundutan, (3) Kabupaten Toba Samosir, (4) Kabupaten Samosir, (5) Kabupaten Simalungun, (6) Kabupaten Karo, dan (7) Kabupaten Dairi. Secara geografis, Ekosistem Kawasan Danau Toba terletak pada koordinat 2° 10' LU - 3° 10" LU dan 98° 20' BT - 99° 50" BT, dengan ketinggian tempat 903 meter dari permukaan laut. Danau ini merupakan danau yang terluas di Indonesia dengan luas permukaan lebih kurang 110.260 ha, kedalaman maksimum mencapai 529 meter dan total volume air danau lebih kurang 1.258 km³ (LTEMP, 2004).

  Danau Toba merupakan sumber daya air yang mempunyai nilai sangat penting dan strategis, baik ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi, ekonomi maupun estetika. Hal ini berkaitan dengan manfaat Danau Toba sebagai habitat dari berbagai jenis organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitarnya, sarana transportasi, sumber air pertanian, media perikanan (perikanan budi daya maupun perikanan tangkap), sebagai sumber air bagi PLTA Sigura- gura, dan yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai obyek wisata andalan di Provinsi Sumatera Utara yang sudah dikenal luas ke berbagai negara. Sebagai suatu ekosistem, secara umum fungsi-fungsi tersebut sangat tergantung satu sama lain, khususnya tergantung pada kondisi parameter kualitas badan air danau itu sendiri. Bila terjadi penurunan kualitas badan air danau, maka fungsi danau tersebut akan mengalami penurunan bahkan dapat menghilang dengan sendirinya. Hal ini berarti bahwa segala bentuk kegiatan yang dapat berakibat terhadap perubahan kearah penurunan kualitas badan air Danau Toba harus dihindari sedapat mungkin sehingga fungsi danau dapat berkelanjutan dari generasi ke generasi (Ginting, 2011).

  Pada kenyataanya Danau Toba yang bersifat multi fungsi tersebut, saat ini kondisinya mengalami berbagai tekanan dan permasalahan yang cukup serius, sebagai akibat dari meningkatnya aktivitas masyarakat di badan air maupun di sekitar danau. Salah satu permasalahan yang pada saat ini banyak menarik perhatian adalah keberadaan limbah yang terbuang ke perairan danau seperti limbah kegiatan pertanian, limbah rumah tangga, limbah minyak dari kegiatan transportasi air dan limbah kegiatan budidaya ikan keramba jaring apung (KJA) (Ginting, 2011).

  BLH Provinsi Sumatera Utara (2005) menyatakan bahwa pada tahun 2005 rata-rata kandungan total fosfor perairan Danau Toba telah mencapai nilai 1.72 mg/L, dimana nilai ini telah melebihi nilai baku mutu air kelas I sesuai dengan yang ditetapkan pada peraturan pemerintah nomor 82 tahun 2001 dan Peraturan Gubernur Nomor 1 Tahun 2009, yang mempersyaratkan nilai total fosfor maksimum sebesar 0,2 mg/L. Keadaan ini mengindikasikan bahwa telah terjadi pencemaran perairan Danau Toba, khusunnya pencemaran oleh senyawa organik (Barus, 2007).

  Salah satu kegiatan yang menonjol di perairan Danau Toba dan patut diduga memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap penurunan kualitas dan peningkatan kesuburan perairan adalah kegiatan budidaya ikan sistem keramba jaring apung (KJA). Nampaknya kegiatan budidaya ikan sistem keramba jaring apung (KJA) yang dilakukan di perairan Danau Toba hanyalah mengejar keuntungan secara ekonomi belaka tanpa memperhitungkan batasan-batasan ekologisnya perairan tersebut. Hal ini terlihat dari pesatnya pertumbuhan populasi KJA dan tata letak atau penempatan yang tidak sesuai dengan zonasi yang seharusnya untuk kegiatan KJA, seperti adanya penempatan KJA pada zonasi yang diperuntukan bagi kegiatan pariwisata dan pada zona intake air minum (Ginting, 2011).

  Keramba Jaring apung

  Dirjen Perikanan (2001) mendefinisikan keramba jaring apung sebagai tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang memungkinkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran ke perairan sekitarnya. Komponen-komponen keramba jaring apung terdiri dari kerangka atau bingkai, pelampung, jangkar, pemberat jaring, penutup kantung jaring, bangunan . fisik dan peralatan pendukung lainnya

  Rochdianto (2005) dalam menambahkan, Keramba jaring apung ditempatkan dengan kedalaman perairan lebih dari 2 meter. Beberapa masyarakat ada yang menyebut kantong jaring apung, keramba kolam terapung dan jaring keramba terapung atau disingkat kajapung.

  Menurut Rismawati (2010) dalam Ginting (2011) di Danau Toba kegiatan budidaya ikan sistem KJA telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1986, namun perkembangan KJA dengan pesat terjadi sejak tahun 1998 melalui budi daya jaring apung intensif berkepadatan ikan yang tinggi. Pada tahun 2006 Jumlah KJA yang beroperasi diperairan Danau Toba terdata sebanyak 5.233 unit. Kemudian survey yang dilakukan Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, didapatkan bahwa KJA yang beroperasi di perairan Danau Toba sebanyak

  7.012 unit, yang terdiri dari KJA milik PT. Aquafarm Nusantara sebanyak 1.780 unit dan KJA milik masyarakat sebanyak 5.232 unit.

  Dari aspek sosial ekonomi, perkembangan budidaya ikan KJA di perairan Danau Toba memberikan pengaruh yang positif bagi masyarakat khususnya masyarakat lokal, dimana kegiatan ini mampu meningkatkan nilai produksi ikan yang berarti meningkatkan pendapatan bagi masyarakat petani KJA. Selain itu, kehadiran budidaya ikan KJA juga mampu memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat, sehingga turut dalam mengurangi angka pengangguran. Akan tetapi dilain pihak, kegiatan budidaya ikan sistem KJA yang tidak terkendali dapat berdampak serius terhadap berbagai perubahan lingkungan perairan itu sendiri, baik perubahan komponen biotik maupun komponen abiotik perairan (Beveridge,1984).

  Meningkatnya jumlah KJA yang beroperasi di perairan Danau Toba berarti bahwa terjadi peningkatan jumlah ikan yang dibudidayakan dalam KJA.

  Sebagai konsekwensinya adalah peningkatan penggunaan pelet sebagai pakan utama ikan dalam KJA. Menurut berbagai hasil penelitian bahwa pakan ikan (pelet) yang diberikan pada budidaya ikan KJA, sebagian tidak terkonsumsi oleh ikan dan terbuang ke badan air sebagai limbah. Disamping limbah pakan, ikan dalam KJA juga mengeluarkan limbah sisa metabolisme seperti feses dan urine yang semuanya terbuang ke badan air (Ginting, 2011).

  Menurut Purnomo (2008), menyatakan bahwa selama hampir 80 tahun Danau Toba telah mengalami peningkatan kesuburan, yakni dari semula tergolong yang oligotrofik kini berubah menjadi perairan mesotrofik, bahkan tidak tertutup kemungkinan di masa yang akan datang akan berubah lagi menjadi eutrofik. Salah satu indikasi telah terjadinya pencemaran senyawa organik di perairan Danau Toba adalah pertumbuhan dan perkembangan eceng gondok (Eichornia crassipes) dengan pesat. Pada tahun 2002 luas tutupan eceng gondok di perairan Danau Toba mencapai 382 ha, dan pada tahun 2006 telah mencapai 500 ha meskipun setiap tahun telah dilakukan pembersihan.

  Pakan Pelet Pelet merupakan salah satu faktor pendukung dalam kegiata budidaya.

  Para pembudidaya menjadikan pemilihan pelet sebagai bahan pakan dengan berbagai alasan yang diantaranya adalah karena penggunaannya yang praktis dan mudah didapat. Pemberian pakan dengan formulasi lengkap berkaitan dengan susunan nutrisi yang lengkap dengan bahan baku berkualitas dan mengandung profil nutrien sesusai kebutuhan yang dibudidayakan. Biasanya pakan ini disebut dengan pelet yaitu pakan buatan manusia yang terdiri dari bahan-bahan alami maupun bahan lain melalui adanaya formulasi pakan (Hutabarat, 1999).

  Pengelolaaan pakan sangat penting dalam budidaya perairan, bukan saja karena biaya pengeluaran terbesar melainkan juga sangat berpengaruh terhadap kualitas air dan lingkungan sekitarnya. Masukan bahan organik yang terbesar di tambak dan kolam berupa senyawa nitrogen, berasal dari pakan 93% selebihnya dari pupuk dan 2 % dan bahan lain yang masuk ke dalam kolam atau keramba sebagai tempat budidaya (Andi, dkk., 2010).

  Mc Donald et al, (1996); Boyd (1999) menyatakan bahwa dari sejumlah pakan yang diberikan kepada ikan budidaya akan tertinggal sebagai sisa pakan yang tidak terkonsumsi lebih kurang 30 %. Selanjutnya, dari sejumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan akan diekskresikan kembali ke badan air sebagai faeses sekitar 25– 30 %. Hal ini berarti bahwa limbah organik dari pakan ikan KJA yang terbuang ke badan air secara kontiniu jumlahnya cukup besar.

  Kualitas air cepat mengalami penurunan bila sisa pakan yang tertimbun sangat besar. Bila penimbunan pakan di dasar tidak segera diantisipasi, maka sebagai bahan organik akan terjadi proses dekomposisi. Dalam proses dekomposisi akan membutuhkan sejumlah besar oksigen. Kebutuhan oksigen meningkat dengan semakin meningkatnya kandungan limbah dari bahan organik (Ginting, 2011).

  Untuk memberikan pertumbuhan maksimum banyaknya protein makanan yang diperlukan akan menurun bersamaan dengan meningkatnya umur ikan.

  Pemberian pakan pada ikan meliputi sifat-sifat fisik yaitu bentuk serta ukurannya harus tepat dan sifat kimia yaitu kandungan zat-zat di dalam bahan pakan yang mempengaruhi nilai nutrisi pakan (Lovel,1989).

  Pencemaran Air

  Pencemaran air adalah bertambahnya suatu material atau bahan dan setiap tindakan manusia yang mempengaruhi kondisi perairan sehingga mengurangi atau merusak daya guna perairan. Industri pertambangan dan energi mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan lingkungan karena mengubah sumber daya alam menjadi produk baru dan menghasilkan limbah yang mencemari lingkungan (Darsono, 1992).

  Percemaran suatu ekosistem perairan bergantung pada kondisi lingkungannya. Keseimbangan ekosistem yang terpelihara baik memberikan daur ulang ekosistem air tanah berlangsung secara alamiah. Jika keseimbangan ekosistem terganggu maka diperlukan suatu cara atau teknik tertentu untuk mengembalikan ekosistem kepada kondisi semula (Carolina, 2007).

  Menurut Sunu (2001) dalam Ginting (2011) pencemaran air terjadi bila beberapa bahan atau kondisi yang dapat menyebabkan penurunan kualitas badan air sehingga tidak memenuhi baku mutu atau tidak dapat digunakan untuk keperluan tertentu (sesuai peruntukannya, misalnya sebagai bahan baku air minum, keperluan perikanan, industri, dan lain-lain).

  Pencemaran air dapat menyebabkan pengaruh berbahaya bagi organisme, populasi komunitas dan ekosistem. Indikator utama kualitas air dalam ekosistem air permukaan adalah oksigen terlarut atau dissolved oxygen (DO), biological

  

oxygen demand (BOD). Agar dapat hidup organisme memerlukan oksigen untuk

  proses respirasi. Kadar oksigen terlarut (DO) adalah jumlah oksigen yang terlarut dalam volume air tertentu pada suatu suhu dan tekanan tertentu. Pada tekanan atmosfer normal (1atm) dan suhu 20

  C, kadar oksigen maksimum terlarut dalam air adalah 9 mg/L (Ginting, 2011).

  Indikator pencemaran air dapat diketahui dan diamati baik secara visual maupun pengujian, seperti : a. Perubahan pH atau konsentrasi ion hydrogen b. Oksigen terlarut.

  c. Adanya endapan, koloid, bahan terlarut.

  d. Perubahan warna, bau dan rasa.

  Parameter Fisika

1. Suhu Pertumbuhan dan kehidupan biota budidaya sangat dipengaruhi oleh suhu air.

  Umumnya dalam batasan-batasan tertentu kecepatan pertumbuhan biota meningkat sejalan dengan naiknya suhu sedangkan derajat kelangsungan hidupnya bereaksi sebaliknya terhadap kenaikan suhu. Artinya derajat kelangsungan hidup biota menurun pada kenaian suhu (Andy,dkk, 2010).

  Pola temperatur air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara lain dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga kanopi atau penutupan oleh vegetasi dari pepohonan yang tumbuh di tepi ( Bhrem & Meijering, 1990).

  Pada dasarnya bahwa dengan adanya variasi suhu yang cukup besar dapat memberikan dampak atau pengaruh yang cukup besar pula terhadap berbagai aktifitas metabolisme dari organisme yang mendiami suatu perairan. Menurut Boyd dalam Karu (2000) bahwa variasi suhu suhu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu antara lain tingkat intensitas cahaya yang tiba di permukaan perairan, keadaan cuaca, awan dan proses pengadukan (Maniagasi, dkk., 2013).

  Pengukuran suhu umumnya dilakukan dengan termometer. Cara lain adalah dengan menggunakan DO meter, SCT-meter atau aquamete test, prosedurnya tidak berbeda dengan pengukuran oksigen, pH, dan kecerahan. Untuk pengkalibrasian, maka putar switch “temp” lalu tekan “temp Cal” pada bagian sebelah kiri badan (Andy,dkk., 2010).

  Peningkatan suhu disertai dengan penurunan oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk dapat melakukan proses metabolisme dan respirasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Kisaran optimum bagi pertumbuhan organisme di perairan adalah 20º C - 30º C (Effendi, 2003).

2. Kekeruhan (TSS)

  Total Suspended Solid (TSS) suatu contoh air adalah jumlah bobot bahan

  yang tersuspensi dalam suatu volume air tertentu, dengan satuan mg/liter. Padatan tersuspensi terdiri dari komponen terendapkan, bahan melayang dan komponen tersuspensi koloid. Padatan tersuspensi mengandung bahan anorganik dan bahan organik (Pranoto, 2013).

  Kekeruhan dapat didefenisikan sebagai intensitas kegeapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang. Kekeruhan menggambarkan sifat optik yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di air. Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi (Nasution, 2008).

  Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kekeruhan dalam ekosistem perairan berkisar 50-1000 mg/l. Tingginya nilai kekeruhan juga dapat menyulitkan penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air ( Effendi, 2003).

  Parameter Kimia 1. pH

  Derajat keasaman lebih dikenal degan istilah pH. pH singkatan dari

  

puissance negatif de H yaitu logaritma dari kepekatan ion-ion H (hidrogen) yang

  terlepas dalam suatu cairan. Derajat keasaman atau pH air menunjukkan aktivitas ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion hidrogen pada suhu tertentu (Andy dkk, 2010).

  Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion Hidrogen dalam suatu larutan. Organisme air hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai dengan basah lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya 7 sampai 8,5. Kondisi perairan dengan pH tertentu mempengaruhi metabolisma dan respirasi bagi kelangsungan hidup organisme (Barus 2004).

  Pengukuran pH umumnya dilakukan dengan kertas pH atau pH water tester. Alat lain yang dapat digunakan adalah Aquamate test atau pH meter. pH meter selain sulit diaplikasikan di lapangan, harganya juga relatif mahal (Andy dkk, 2010).

2. Kelarutan Oksigen (Dissolved Oxygen)

  Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernafasan biota budi daya tergantung ukuran, suhu dan tingkat ativitasnya dan batas minimumnya.

  Kandungan oksigen di dalam air yang dianggap optimum bagi budidaya biota air adalah 4-10 ppm pada suhu 20-30 ºC (Andy,dkk, 2010).

  Dilihat dari jumlahnya oksigen adalah satu jenis gas terlarut dalam air dengan jumlah yang sangat banyak, yaitu menempati urutan kedua setelah nitrogen. Namun jika dilihat dari segi kepentinga untuk budidaya perairan, oksigen menempati urutan teratas. Oksigen yang diperlukan biota air untuk pernafasannya harus terlarut dalam air. Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas, sehingga bila ketersediaanya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan biota budidaya, maka segala aktivitas biota akan terhambat (Andi,dkk, 2010).

  Menurut Zonneved dkk (1991) kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai kepentingan pada dua aspek, yaitu kebutuhan konsumtif yang tergantung pada metabolisme ikan. Perbedaan kebutuhan oksigen dalam suatu lingkungan bagi ikan dari spesies tertentu disebabkan oleh adanya perbedaaan struktural molekul sel darah ikan dalam sel darah.

  Ada dua metode yang digunakan untuk menentukan oksigen terlarut yaitu metode winkler atau metode titrasi atau disebut juga metode iodometri dan metode elektrometris (DO meter). Metode winkler berdasarkan sifat oksidasi oleh oksigen yang terlarut dan metode elektrometis berdasarkan jumlah oksigen yang berdifusi melewati membran (Andi,dkk.,2010).

  Menurut Barus (2004) Selain pengukuran konsentrasi oksigen juga perlu dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen dalam air. Nilai

  ).

  oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar antara 6 – 8 mg/L (Barus, 2004

3. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

  Biological Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologi

  adalah suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global proses- proses mikrobiologis yang benar-benar di dalam air. Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi) hampir semua zat organik yang terlarut dan sebagian zat-zat organis yang tersuspensi dalam air (Ginting, 2011).

  Pemeriksaan BOD didasarkan reaksi oksidasi zat organik dengan oksigen didalam air, dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerobik sebagai hasil oksidasi akan terbentuk karbon dioksida, air, dan amoniak. Atas dasar reaksi tersebut, yang memerlukan kira-kira 2 hari dimana 50% reaksi telah tercapai, 5 hari supaya 75% dan 20 hari supaya 100% tercapai, maka pemeriksaan BOD dapat digunakan untuk menafsirkan beban pencemaran zat organik (Alaerts, 1987).

  Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, BOD optimal dalam perairan adalah 2-6 mg/l. Penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisem di dalam air lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardhana, 2004).

  Semakin tinggi nilai BOD menunjukkan semakin tingginya aktivitas organisme untuk menguraikan bahan organik atau dapat dikatakan semakin besarnya kandungan bahan organik di suatu perairan tersebut. Oleh karena itu, tingginya kadar BOD dapat mengurangi jumlah oksigen terlarut dalam air menurun (Sukmadewa, 2007).

  4. Nitrat

  Nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan diketahui sebagai senyawa yang kurang berbahaya dibandingkan dengan amonium/amoniak atau nitrit. Nitrat adalah zat nutrisi yang dibutuhkan oleh organisme untuk tumbuh dan berkembang (Barus, 2004).

  5. Fosfor

  Fosfor merupakan salah satu bahan kimia yang keberadaanya sangat penting bagi semua mahluk hidup, terutama dalam pembentukan protein dan transfer energi didalam sel seperti ATP dan ADP. Pada ekosistem perairan, fosfor terdapat dalam bentuk senyawa fosfor, yaitu : 1) fosfor anorganik; 2) fosfor organik dalam protoplasma tumbuhan dan hewan dan 3) fosfor organik terlarut dalam air, yang terbentuk dari proses penguraian sisa-sisa organisme (Barus, 2004).

  Fosfor berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terfiltrasi ke dalam air tanah dan akhirnya masuk ke dalam sistem perairan terbuka (sungai dan danau).

  Selain itu, dapat berasal dari atmosfer dan bersama dengan curah hujan masuk ke dalam sistem perairan (Barus, 2004).

  Baku Mutu Kualitas Air

  Berdasarkam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dimana baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar mahluk hidup zat, energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemaran yang ditenggang keberadaanya di dalam air. Kriteria mutu air dan penetapan kelas sebagai berikut :

  1. : Bahan baku air minum dan peruntukan lain dengan Kelas Satu syarat kualitas air sama.

  2. : Prasarana/sarana rekreasi, pembudidayaan ikan air tawar, Kelas Dua peternakan, pertanaman, dan peruntukanlain dengan syarat kualitas air yang sama.

  3. : Prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air Kelas Tiga tawar, peternakan, pertanaman dan peruntukan lain dengan syarat kualitas air yang sama.

Dokumen yang terkait

Studi Kelayakan Pemekaran Daerah(Studi Kasus Penolakan Usulan Kabupaten Simalunguan Hataran Sebagai Pemekaran Dari Kabupaten Simalungun)

0 0 26

Hubungan Kualitas Fisik Rumah Terhadap Kejadian ISPA Pasca Bencana Erupsi Gunung Sinabung Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket Karo Sumatera Utara Pada Tahun 2015

0 0 59

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 2.1.1 Definisi ISPA - Hubungan Kualitas Fisik Rumah Terhadap Kejadian ISPA Pasca Bencana Erupsi Gunung Sinabung Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket Karo Sumatera Utara Pada Ta

0 1 13

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Kualitas Fisik Rumah Terhadap Kejadian ISPA Pasca Bencana Erupsi Gunung Sinabung Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Tiganderket Karo Sumatera Utara Pada Tahun 2015

0 0 9

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN - Analisis Sistem Pengendalian Mutu Produk Pintu Berbahan Baku Kayu Dengan Menggunakan Pendekatan Lean Six Sigma Pada Pt. Sumatera Timberindo Industry

1 0 13

Analisis Sistem Pengendalian Mutu Produk Pintu Berbahan Baku Kayu Dengan Menggunakan Pendekatan Lean Six Sigma Pada Pt. Sumatera Timberindo Industry

1 0 20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Koperasi 2.1.1 Pengertian Koperasi - Analisis Strategi Pengembangan Koperasi di Kecamatan Siantar Timur)

0 1 23

KATA PENGANTAR - Analisis Strategi Pengembangan Koperasi di Kecamatan Siantar Timur)

0 0 17

Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Pencemaran Air Sungai Sunggal di Desa Sriguting Provinsi Sumatera Utara

0 0 11

Keanekaragaman Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Pencemaran Air Sungai Sunggal di Desa Sriguting Provinsi Sumatera Utara

0 1 14