PENYEBAB KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT ASG

  

POLEMIK PERTAMBANGAN DI MANGGARAI BARAT

DAN RELASINYA DENGAN AJARAN SOSIAL GEREJA

Benny Denar

  Mahasiswa Program Pascasarjana STFK Ledalero Email: bennydenar@yahoo.com

  

Abstrak:

  Sistem Otonomi Daerah ternyata juga melahirkan berbagai ketimpangan dalam pilihan kebijakan politik pembangunan daerah. Salah satu fenomena paling kentara adalah munculnya perusahaan-perusahaan berskala transnasional/multi national corporations (MNC) untuk mengeruk kekayaan alam yang tersebar di daerah-daerah. Artikel ini membahas secara khusus polemik pertambangan di Manggarai Barat, NTT, yang coba dikaitkan dengan Ajaran Sosial Gereja (ASG) tentang lingkungan hidup. Ajaran Sosial Gereja telah menunjukkan secara tegas rambu-rambu yang perlu untuk menjaga keutuhan ciptaan, termasuk untuk menolak berbagai tindakan yang merusakkan lingkungan hidup.

  Kata-kata kunci: pertambangan, lingkungan hidup, Ajaran Sosial Gereja, Manggarai Barat

  

PENGANTAR

  Sistem Otonomi Daerah yang berlaku pascaruntuhnya pemerintahan Orde Baru ternyata tidak saja berdampak positif bagi pembangunan daerah-daerah di Indonesia, tetapi juga melahirkan berbagai ketimpangan yang meresahkan. Otonomi Daerah sebagai salah satu tuntutan dasar reformasi ternyata tidak hanya menampakkan diri sesuai yang dicita-citakan, tetapi justru membawa bias-bias destruktif yang mencemaskan. Kalau pada zaman Orde Baru korupsi tersentralisasi di Jakarta, kini pada zaman diberlakukannya Otonomi Daerah, korupsi ikut terdesentralisasi ke daerah-daerah. Maka daerah-daerah otonom kini

  Selain memunculkan ladang baru terjadinya KKN, Otonomi Daerah ternyata melahirkan persoalan serius terkait dengan pilihan kebijakan politik pembangunan daerah. Salah satu fenomena paling kentara yang membahasakan adanya persoalan serius terkait pilihan kebijakan pembangunan daerah adalah munculnya perusahaan-perusahaan berskala transnasional/multi national corporations (MNC) untuk mengeruk kekayaan alam yang tersebar di daerah-daerah. Perusahaan- perusahaan tersebut mengadakan investasi besar-besaran di bidang pertambangan yang justru membawa malapetaka baru bagi masyarakat lokal. Hal ini amat menyata dalam menjamurnya perusahaan-perusahaan transnasional di berbagai

  1 daerah, termasuk daerah-daerah di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

  Menjamurnya MNC di NTT membahasakan pengaruh liberalisasi pertambangan itu telah sampai ke seluruh pelosok wilayah. Salah satu daerah di Propinsi NTT yang merasakan kehadiran MNC untuk investasi pertambangan adalah Kabupaten Manggarai Barat. Artikel ini membahas secara khusus polemik pertambangan di Manggarai Barat yang coba dikaitkan dengan Ajaran Sosial Gereja (ASG) tentang lingkungan hidup. Untuk itu, penulis mulai dengan memperkenalkan secara singkat ASG terutama yang berkaitan dengan penyebab kerusakan lingkungan hidup.

  2 PENYEBAB KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT ASG Keserakahan Manusia

  Menurut ASG, penyebab yang mendasari masalah-masalah kerusakan lingkungan hidup adalah pretensi manusia untuk melakukan penguasaan tanpa syarat atas segala sesuatu, tanpa mengindahkan pertimbangan moral apa pun. Pretensi buruk tersebut menyata dalam tindakan eksploitasi secara masif tanpa memperhatikan

  1 Alcx Jcbadu, "Relasi Pertambangan, Kekejaman Neoliberalismc, dan Ilusi Pertumbuhan 2 Ekonomi" dalam Rikard Rahmat (Ed.), Gereja Itu Politis, Jakarta: JPIC OFM, 2012, hlm. 159.

Bagian ini kami ambil dari ASG yang terangkum dalam Kompendium ASG. Bdk. Komisi

  keseimbangan lingkungan. Tentang hal ini, Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan:

  Abad modern telah menyaksikan kesanggupan manusia yang semakin berkembang untuk melakukan intervensi transformatif. Segi penaklukan serta eksploitasi atas sumber-sumber daya alam telah menjadi dominan dan invasif dan dewasa ini hal itu telah mencapai titik yang mengancam segi keramahan 3 lingkungan hidup.

  Menurut ASG, latar belakang dari semua ekploitasi invasif manusia atas alam adalah adanya pandangan yang memisahkan apa yang kelihatan dari rujukan yang transenden. Hal ini menyebabkan penolakan gagasan tentang penciptaan dan memisahkan eksistensi manusia dengan alam. Di sini, ikatan-ikatan yang mempersatukan dunia dengan pencipta-Nya (Allah) diputuskan. Hal ini menyebabkan adanya pandangan yang memisahkan manusia dari dunia yang justru mempermiskin jati diri manusia sendiri. Manusia berpikir bahwa ia asing terhadap konteks lingkungan hidup di mana ia hidup. Padahal menurut ASG relasi manusia dengan Allah amat menentukan relasinya dengan sesamanya dan dengan lingkungan hidupnya. Oleh karena itulah kebudayaan Kristen selalu mengakui makhluk-makhluk hidup termasuk lingkungan hidup sebagai karunia Allah yang mesti dipelihara dan dilindungi dengan rasa terima kasih kepada sang pencipta.

  Manusia dengan Peradaban Teknokrasi

  Keserakahan manusia dalam relasi dengan alam ciptaan sangat tampak dalam penggunaan teknologi secara serampangan yang justeru merusak lingkungan hidup. Dengan IPTEK yang tidak digunakan secara bijak, alam hanya sebagai sarana dalam tangan manusia yang secara konstan dimanipulasi. Di sini ada pemahaman yang reduksionistis yang melihat alam dalam bingkai mekanistik, sekaligus memahami perkembangan serta pembangunan dalam bingkai konsumerisme yang justru membuat manusia terasing. Menurut ASG, penggunaan IPTEK secara serampangan tidak berasal dari IPTEK itu sendiri atau tidak muncul dari riset ilmiah dan teknologis. Penggunaan IPTEK secara serampangan justru muncul dari ideologi saintisme dan ideologi-ideologi teknokratis yang cenderung mengkondisikan/menggunakan IPTEK dimaksud untuk memanipulasi alam ciptaan. Padahal menurut ASG, kemajuan IPTEk tidak akan menghilangkan kebutuhan manusia akan transendensi. Kemajuan IPTEK selalu berbarengan dengan pertanyaan-pertanyaan menyangkut makna keduanya. Hal ini menyata dalam suatu kebutuhan yang semakin jelas untuk menghormati matra transenden pribadi manusia serta ciptaan itu sendiri.

  

SEJARAH SINGKAT POLEMIK SEKITAR PERTAMBANGAN DI

MANGGARAI BARAT

Deskripsi Polemik

  Salah satu daerah di Propinsi NTT yang merasakan kehadiran MNC untuk investasi pertambangan adalah Kabupaten Manggarai Barat. Hal ini terjadi karena Manggarai Barat memiliki potensi pertambangan yang cukup banyak. Izin Usaha Pertambangan (IUP) dikeluarkan pertama kali oleh Bupati Wilfridus Fidelis

  4 Pranda pada 9 Juli 2008 untuk pertambangan di Batu Gosok dan Tebado. Setelah

  itu muncul berbagai IUP-IUP lain yang memicu berbagai aksi penolakan oleh masyarakat yang menentang segala bentuk kegiatan penambangan di Manggarai Barat. Sampai saat ini tercatat kurang lebih ada 11 Izin Usaha Pertambangan

  5

  (IUP) yang pernah dikeluarkan pemerintah. Dalam perjalanannya, sebuah transformasi isu dan komposisi lahir dalam bentuk munculnya kelompok yang menamakan diri GERAM (Gerakan Masyarakat Anti Tambang). GERAM berasal dari berbagai unsur antara lain tokoh agama termasuk beberapa Pastor (Pater Marsel Agot, SVD, Romo Robertus Pelita, Pr, Romo Emanuel Haru, Pr dan lain- 4 lain), pelaku usaha pariwisata, aktivis LSM, dan tokoh masyarakat adat.

  

Data ini baru terungkap saat terjadi rapat dengar pendapat di gedung DPRD Manggarai Barat

pada 23 Juli 2009, ketika arus penolakan sudah mulai terjadi. Pada saat itu Bupati Wilfridus

Fidelis Pranda ditanya oleh seorang anggota DPRD (Thobias Wanus) tentang waktu persisnya

aktivitas pertambangan di Manggarai Barat dimulai. Rapat dihadiri oleh Bupati dan unsur

pemerintahan lainnya termasuk Kepala Dinas Pertambangan (Yan Jinus), para anggota DPRD

Manggarai Barat para anggota Gerakan Masyarakat Anti Tambang (GERAM) dan anggota

Masyarakat lainnya. Data ini diambil dari notulen rapat dengar pendapat dimaksud yang dicatat

dan diposkan oleh GERAM. Bdk.. diakses pada 20 November 2013. Walaupun mendapat penolakan yang luar biasa (termasuk dari GERAM), Pemerintah Daerah Manggarai Barat di bawah komando Bupati Fidelis Pranda tetap kukuh melanjutkan segala aktivitas pertambangan dengan berpegang pada

  6

  sekurang-kurangnya tiga argumentasi pokok. Pertama, pemberian kuasa pertambangan (KP) di Manggarai Barat telah dilakukan sesuai dengan prosedur hukum pertambangan yang berlaku. Kedua, pertambangan di Manggarai Barat sejak awal telah mendapat persetujuan masyarakat di lokasi tambang dan sekitarnya. Ketiga, pertambangan akan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tentu saja akan sanggup meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pemilu Kada tahun 2010 menjadi titik penting terkait polemik pertambangan di Manggarai Barat. Pada saat itu, pertambangan dijadikan bahan kampanye. Kelompok-kelompok yang menolak pertambangan menjadikan isu pertambangan sebagai 'senjata' untuk menyerang Bupati Fidelis Pranda. Masyarakat dipetakan dalam kelompok-kelompok yang mendukung kebijakan pertambangan dari pemerintah yang mendukung tambang dan kelompok kampanye lain yang tidak mendukung pertambangan. Hasilnya pasangan Agustinus CH. Dulla

  • – Maximus Gasa yang terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Barat. Pasangan ini memang sebelumnya menjanjikan dihentikannya segala bentuk aktivitas pertambangan. Untuk memenuhi janjinya, setelah terpilih tahun 2010, Bupati Gusti Dulla berkeputusan untuk menghentikan semua aktivitas pertambangan melalui surat bernomor: SD A. 500/214 /X/2010. Dalam surat tersebut, Bupati Manggarai Barat dengan sangat jelas memberikan alasan mengapa Manggarai Barat tidak boleh dijadikan sebagai daerah pertambangan. Alasan yang paling utama adalah bahwa Manggarai Barat ingin mengembangkan model pembangunan berwawasan lingkungan. Model pembangunan seperti itu dirasa penting karena Manggarai Barat sedang konsen membangun bidang pariwisata sebagai leading sektor yang
  • 6 didukung oleh sektor pertanian, kelautan, perikanan dan peternakan. Menurut

      

    Edi Danggur, "Mempertimbangkan Kembali Rencana Pertambangan di Manggarai Barat," dalam Bupati Manggarai Barat, oleh karena pembangunan di Manggarai Barat tertuju kepada sektor pariwisata, maka pemeliharaan lingkungan hidup menjadi syarat

      7 mutlak.

      Surat Keputusan (SK) Moratorium di atas tentu saja tidak menjadi berita final berakhirnya aktivitas pertambangan di Manggarai Barat. Bahkan saat ini, ada perusahaan tambang yang menggugat Pemda Manggarai Barat di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena SK Moratorium dinilai merugikan mereka. Bahkan berita terbaru menyebutkan, Pemda Manggarai Barat dinyatakan kalah oleh beberapa investor di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait SK Moratorium dinilai

      8

      merugikan mereka. Apalagi tidak ada jaminan Bupati berikutnya nanti akan memiliki kebijakan yang sama terhadap pertambangan. Jadi ancaman akan masih berlangsungnya aktivitas pertambangan di Manggarai Barat masih sangat riil.

      Menguatnya Liberalisasi Pertambangan: Sebuah Kesimpulan Singkat

      Ancaman di atas sebenarnya membahasakan adanya kekuatan besar di balik menjamurnya aktivitas pertambangan. Tafsiran banyak pengamat menunjukkan bahwa sistem ekonomi dan politik liberal adalah fundasi kuat yang memunculkan banyak persoalan terhadap lingkungan hidup, termasuk bahaya menjamurnya investasi pertambangan. Di Indonesia, liberalisasi pertambangan sudah muncul sejak Orde Baru dan semakin menguat sejak zaman reformasi. Setidaknya penguatan terhadap liberalisasi pertambangan setelah Orde Baru dapat

      9

      diteliti dari tiga aspek. Pertama, penguatan terhadap liberalisasi pertambangan tersebut dapat dilihat dari produk hukum yang dihasilkan atau diperbarui pascareformasi yang lebih condong mendukung sistem liberalisasi pertambangan.

      

    Kedua, kemudahan akses bagi investor transnasional untuk mendapatkan

    7 perizinan. Kalau pada zaman Orde Baru, izin untuk investasi pertambangan

    Bupati Manggarai Barat, “Peringatan Kepada para Pemegang Izin KP/IUP”, dikeluarkan di

    Labuan Bajo pada 2 Oktober 2010 dan ditandatangani Bupati Manggarai Barat Agustinus CH.

    8 Dula.

      "Pemkab Mabar Kalah di Pengadilan", Berita dalam Pos Kupang, 23 November 2013. tersentralisasi di Jakarta, maka pada era Otonomi Daerah, para pemodal transnasional bisa langsung berhubungan dengan kepala daerah untuk memperoleh izin melakukan segala jenis investasi, termasuk investasi di bidang pertambangan. Atas nama investasi dan optimalisasi khas daerah, para kepala daerah mempermudah memberikan izin investasi pertambangan demi meraup

      10

      keuntungan. Ketiga, menguatnya liberalisasi pertambangan juga ditandai oleh 'kemesraan/kedekatan' hubungan antara investor dengan penguasa. Akibatnya semua kebijakan terkait izin melakukan investasi pertambangan dipermudah. Para penguasa lebih mudah melayani kepentingan investasi para pemodal daripada

      11 mendengar suara dan kepentingan rakyatnya sendiri.

      12 JALAN KELUAR Pentingnya Tanggung Jawab

      Kepedulian terhadap lingkungan hidup menyajikan sebuah tantangan kepada setiap orang untuk menghormati alam lingkungan sebagai harta milik bersama yang diperuntukkan bagi semua orang dengan mencegah siapa pun merusakkan lingkungan, termasuk yang bermotif ekonomi sekadar untuk menumpukkan kekayaan. Tanggung jawab terhadap lingkungan hidup tidak saja karena kebutuhan-kebutuhan saat sekarang tetapi juga kebutuhan-kebutuhan generasi mendatang. Tentang pentingnya tanggung jawab untuk menyiapkan lingkungan yang nyaman bagi generasi mendatang, Paus Paulus VI dalam ensiklik Populorum Progressio menulis:

      Kita menjadi ahli waris angkatan-angkatan sebelum kita dan kita menuai keuntungan dari usaha-usaha orang-orang sezaman. Kita mempunyai kewajiban terhadap semua orang. Oleh karena itu, kita tidak dapat mengabaikan

    10 Ada banyak media melansir adanya fenomena ini, salah satunya pernah dibahas dalam kolom

      11 editorial Victory News, edisi 13 Desember 2013.

      Max Rcgus, Tobat Politik, Jakarta: Parrhcsia, 2011, hlm. 9. kesejahteraan mereka yang akan menyusul kita untuk menumbuhkan bangsa

      13 manusia.(PP, art. 17)

      Inilah tanggung jawab yang dipunyai generasi-generasi sekarang terhadap generasi-generasi yang akan datang. ASG juga menekankan tanggung jawab yang harus tertuang dalam produk dan penegakan hukum yang membela keutuhan ciptaan.

      Menimbang Kegiatan Ekonomi

      ASG juga memberi cacatan khusus terkait pola pengembangan ekonomi yang berdampak langsung bagi lingkungan hidup. Menurut ASG, program-program pengembangan ekonomi mesti secara saksama memperhatikan perlunya menghormati keutuhan serta irama-irama alam, karena sumber-sumber daya alam itu terbatas dan beberapa darinya tidak dapat dibarui. Di sini ada kebutuhan untuk menentang irama eksploitasi yang membahayakan ketersediaan beberapa sumber daya alam baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Kegiatan ekonomi mesti menghormati lingkungan. Di sini harus ada keseimbangan antara usaha pembangunan ekonomi dengan kebutuhan-kebutuhan perlindungan lingkungan hidup. Setiap kegiatan ekonomi yang mendayagunakan sumber-sumber daya alam mesti juga peduli untuk melindungi lingkungan hidup. Sistem ekonomi yang menghormati lingkungan hidup tidak akan menempatkan maksimilisasi keuntungan sebagai satu-satunya tujuannya, karena perlindungan terhadap lingkungan hidup tidak dapat dijamin semata-mata berdasar pada pertimbangan finansial menyangkut biaya dan laba. Lingkungan hidup adalah salah satu harta milik yang tidak dapat dilindungi atau dikembangkan secara memadai oleh kekutan pasar.

      PerIu Menghargai Masyarakat Adat

      Terkait dengan usaha menjaga keutuhan ciptaan, ASG juga berusaha memberikan perlindungan terhadap masyarakat adat dari kepentingan industri/ekonomi. Sebab menurut ASG, hubungan suku-suku pribumi dengan tanah serta sumber daya merupakan sebuah ungkapan yang hakiki tentang jati diri mereka. Perlindungan terhadap masyarakat adat penting dilakukan sebab kepentingan industri termasuk pertambangan sangat kuat mengusir mereka dari tanah mereka sendiri yang merupakan simbol jati diri mereka sendiri. Oleh karena itu, berhadapan dengan investasi ekonomi yang semakin masif, hak-hak suku pribumi mesti dilindungi sewajarnya. Bahkan menurut ASG, suku-suku pribumi menyajikan teladan tentang satu kehidupan yang dilakoni dalam keselarasan dengan lingkungan hidup yang telah mereka kenal dengan sangat baik. Pengalaman mereka yang luar biasa yang merupakan sumber daya yang tak tergantikan bagi semua umat manusia, terancam risiko akan punah dengan lingkungan hidup dari mana mereka berasal.

      

    BEBERAPA SOLUSI PRAKTIS: SEMACAM PEMERKAITAN

    Gereja Mesti Konsisten Membuat Advokasi terhadap Lingkungan Hidup

      Dalam level Gereja lokal, penolakan terhadap perusakan lingkungan hidup

      14

      terutama aktivitas pertambangan kian gencar akhir-akhir ini. Hal ini dilatari karena hampir lima tahun lebih masyarakat Flores dan Lembata dihadapkan dengan masalah pertambangan. Gereja Katolik Flores dan Lembata (terutama hierarki dan kelompok awam Katolik) memainkan peranan penting dalam advokasi penolakan pertambangan. Meskipun kosekwensinya tentu saja tidak ringan. Gereja Katolik bahkan vis a vis (muka dengan muka) berhadapan dengan pemerintah yang menerbitkan izin pertambangan. Gereja Katolik berhadapan dengan pemimpin-pemimpin pemerintahan lokal di Flores dan Lembata yang juga adalah orang-orang Katolik. Walaupun harus berhadapan dengan penguasa-penguasa lokal yang adalah anak kandungnya sendiri, namun sampai kini Gereja tetap fokus dan konsisten menolak 14 dosa-dosa ekologis termasuk pertambangan. Gereja Keuskupan Ruteng misalnya,

      

    Meskipun akhir-akhir ini ada beberapa keuskupan yang gencar menolak aktivitas pertambangan,

    namun masih ada ketakutan umum kalau Gereja bisa jadi mengikuti arus modal atau justru bekerja dalam salah satu hasil keputusan sinodenya yang berlangsung pada 13-17 Januari 2014 lalu, dengan tegas menolak aktivitas pertambangan di Manggarai Raya karena dinilai merusak ciptaan. Gereja bahkan meminta semua pihak termasuk

      15 pemerintah untuk menjaga keutuhan ciptaan.

      Ada pertanyaan selalu muncul; "Bagaimana kalau suara profetis itu menyebabkan sebuah rezim tumbang, apakah suara profetis itu bukan termasuk gerakan politik?

      ” Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu saja menimbulkan dilema dalam menilai keterlibatan kaum klerus. Namun, ketakutan/dilema seperti itu sepatutnya tidak perlu terjadi asalkan perjuangan/suara profetis itu benar-benar mengikuti

      16 gerakan kenabian seperti yang terdapat dalam Kitab Suci.

      ”

      

    Pertama, pewartaan dan tindakan profetis itu bukan pesanan dari

      kekuatan/kekuasaan tertentu. Kedua, pewartaan dan tindakan profetis yang sama dilakukan tidak mengindahkan konstelasi kekuasaan yang ada. Singkatnya, pewartaan dan suara profetis tersebut hanya dilakukan semata-mata untuk membela kebaikan umum, tidak berpretensi mengejar kepentingan pribadi/golongan.

      Pentingnya Memperkuat Ekopastoral

      Selain seruan dan pendidikan ekologis, Gereja juga amat perlu dengan gencar menggalakkan gerakan ekopastoral yang selama ini sudah dimulai di beberapa tempat. Gerakan ekopastoral penting untuk melawan sistem ekonomi/pembangunan (termasuk pertanian) eksploitatif yang tidak ramah terhadap lingkungan hidup.

      17 Ada beberapa gerakan yang bisa dibuat untuk mengembangkan ekopastoral.

      

    Pertama, menggali dan menemukan kembali praktik-praktik pertanian yang

      18

      didasarkan pada kearifan lokal. Hemat kami, ada banyak sekali praktik pertanian 15 yang dibuat masyarakat lokal yang sangat menghargai keutuhan ciptaan. Bahkan 16 Flores Pos, 20 Januari 2014. 17 Paulus Budi Kledcn, Teologi Terlibat, Maumere: Ledalero, 2003, hlm. 217.

      

    Benny Denar, "Pertobatan Ekologis dan Gerakan Ekopastoral" Opini dalam Flores Pos, Senin 24 Februari 2014. dalam masyarakat Manggarai-Flores misalnya, ada keyakinan bahwa tanah garapan merupakan sesuatu yang sakral sehingga tidak pantas dieksploitasi secara membabi buta.

      

    Kedua, Gereja perlu mengajak umat dan masyarakat untuk menghormati,

      menghargai dan memuliakan sumber-sumber pangan (air, tanah, dan tanaman) sebagai bagian dari perwujudan hidup beriman dan beragama. Di sini pewartaan iman harus juga menyentuh usaha penyelamatan lingkungan hidup dari keserakahan manusia.

      

    Ketiga, membangun dan memperkuat kelompok-kelompok tani yang bersahabat

      dengan alam (pertanian organik/pertanian lestari). Kelompok-kelompok tani seperti inilah yang diharapkan mampu menjadi teladan bagi model pertanian berwawasan lingkungan. Untuk mendukung petani-petani seperti ini maka perlu diambil langkah-langkah advokasi menghadapi kebijakan-kebijakan publik yang tidak berpihak kepada kepentingan petani dan dunia pertanian yang berwawasan lingkungan. Bukan tidak mungkin, dengan aksi pertobatan ekologis dan pendidikan nilai yang mengubah kesadaran ekologis, serta dijalankan dalam bingkai gerakan ekopastoral, lingkungan hidup akan sungguh dijaga dan dilestarikan secara bijak.

      

    PENUTUP

      Selain aktivitas pertambangan, tentu saja ada banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Investasi pertambangan sendiri harus ditinjau dari berbagai aspek supaya bisa menemukan jalan keluar yang lebih komprehensif. Ajaran Sosial Gereja telah menunjukkan secara tegas rambu-rambu yang perlu untuk menjaga keutuhan ciptaan, termasuk untuk menolak berbagai tindakan yang merusakkan lingkungan hidup. Namun yang penting adalah bagaimana kita bisa menerapkan secara implikatif berbagai aspek Ajaran Sosial Gereja tersebut dalam masalah-masalah nyata kerusakan lingkungan hidup, terutama yang muncul dalam aktivitas pertambangan. Mudah- mudahan pembahasan dalam artikel ini memberi inspirasi untuk para agen pastoral Gereja agar setia menjalankan amanat Kristus untuk menyelamatkan dunia, termasuk untuk menjaga keutuhan ciptaan.

      RUJUKAN:

      Bupati Manggarai Barat, “Peringatan Kepada para Pemegang Izin KP/IUP”, dikeluarkan di Labuan Bajo pada 2 Oktober 2010 dan ditandatangani Bupati

      Manggarai Barat Agustinus CH. Dula. Danggur, Edi, "Mempertimbangkan Kembali Rencana Pertambangan di Manggarai Barat," dalam Alex Jebadu, dkk (Ed.), Pertambangan di Flores- Lembata Berkah atau Kutuk?, Maumere: Ledalero, 2009.

      Denar, Benny, "Pertobatan Ekologis dan Gerakan Ekopastoral" dalam Flores Pos , Senin 24 Februari 2014.

      Flores Pos, 20 Januari 2014.

      Hasiman, Ferdy, Monster Tambang Gerus Ruang Hidup Warga Nusa Tenggara Timur , Jakarta: JPIC-OFM Indonesia, 2014. Jcbadu, Alcx, "Relasi Pertambangan, Kekejaman Neoliberalismc, dan Ilusi Pertumbuhan Ekonomi" dalam Rikard Rahmat (Ed.), Gereja Itu Politis, Jakarta: JPIC OFM, 2012. Kledcn, Paulus Budi, Teologi Terlibat, Maumere: Ledalero, 2003. Komisi Kepausan Untuk Keadilan dan Perdamaian, Kompendium Ajaran Sosial penerj. Yosef Maria Florisan, Maumere: Ledalero, 2009.

      Gereja, Pos Kupang,

      23 November 2013. Rcgus, Max, Tobat Politik, Jakarta: Parrhcsia, 2011. __________, "Tambang, Kewargaan Lokal, dan Hak Ekonomi Politik", dalam Boni Hargens (Ed.), Kebuntuan Demokrasi Lokal di Indonesia, Jakarta: Parrhesia, 2009.

      Steni, Bernadinus, "Tragedi Pertambangan dan Gereja yang Aksional", dalam Rikard Rahmat (Ed.), Gereja Itu Politis, Jakarta: JPIC OFM, 2012. Timo, Ebenhaizer Nuban, Alam Belum Berhenti Bercerita, Maumere: Ledalero, 2010.

      

    akses pada 20 November 2013.