ARAH PERKEMBANGAN PERADILAN TATA USAHA N

ARAH PERKEMBANGAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Pasca Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
Tentang Administrasi Pemerintahan

Oleh:
FEBBY FAJRURRAHMAN, SH.

Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
Mataram
2015

DAFTAR ISI
Daftar Isi............................................................................................. 1
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 2
1. Latar Belakang.................................................................... 2
2. Rumusan Masalah............................................................... 6
3. Maksud & Tujuan Penulisan................................................ 6
BAB II TINJAUAN YURIDIS.............................................................. 7
1. Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara.................... 7
2. Undang-undang Administrasi Pemerintahan......................... 8
BAB III PEMBAHASAN..................................................................... 11

1. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Undangundang Administrasi Pemerintahan....................................... 11
2. Penambahan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara... 16
3. Perluasan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara........ 24
4. Ambiguitas & Pertentangan Norma tentang Kewenangan
Mengadili............................................................................... 30
BAB IV KESIMPULAN...................................................................... 33
REFERENSI....................................................................................... 35

Halaman | 1

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Hukum disusun tak hanya demi kepastian hukum semata, namun juga
bertujuan demi kemanfaatan bagi rakyat banyak. Itulah yang sejatinya
terkandung dalam terminologi welfare state sebagaimana dicetuskan
Beveridge1 maupun Kranenburg, bahwa hukum negara tak hanya berisikan
aturan, namun juga harus secara aktif mengupayakan kesejahteraan,
bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan
seimbang.

Perjalanan sejarah politik dan sejarah hukum abad ke 19 dan ke 20,
menunjukkan bahwa paham sempit yang formal dan teknis yuridis justru
membawa masyarakat semakin jauh dari keadilan, sehingga lahir pemeo
hukum yang berbunyi: “Summum ius summum inuria” (penerapan hukum
secara mutlak, mengakibatkan ketidakadilan yang paling buruk). Itulah
saatnya paham negara hukum mulai dikaitkan dengan kewajiban negara
untuk membawa keadilan dan kesejahteraan, sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan UUD 19452. Sehingga terjadi pergeseran fungsi negara
(i.c. Pemerintahan), yang tak lagi hanya tentang “aturan” dan “sanksi”, tapi
juga memberikan pemerataan kesejahteraan dan kelayakan hidup, melalui
fungsi pelayanan dalam aturan yang disusun.

1

Soehardjo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Tata Pemerintahan, terutama yang
terdapat di Nederland, hlm. 5. Dalam: Muchsan, Peradilan Administrasi Negara,
Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1981, hlm. 1
2
Sunaryati Hartono, Ombudsprudensi, Jakarta: Ombudsman RI, 2009, hlm. 12.


Halaman | 2

Salah satu regulasi yang menjadi indikasi keberadaan filosofi dasar
kemanfaatan hukum adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan. Diakui atau tidak, itu merupakan
pengejawantahan dari fungsi pelayanan pemerintah dan merupakan salah
satu refleksi dari konsep welfare state, yang tak hanya berisikan aturan
hukum, namun juga berisikan pedoman dasar pelayanan bagi masyarakat.
Di awal penyusunannya, dapat dikatakan yang paling bersemangat dan
antusias mendukung serta memperjuangkan hadirnya Undang-undang
Administrasi Pemerintahan adalah Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara. Hegemoni positif itu paralel dengan asumsi bahwa kodifikasi
hukum yang mengatur praktik administrasi pemerintahan, diharapkan dapat
mempertegas eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam penegakan
hukum administrasi.
Namun kemudian, banyak kajian menyatakan Undang-undang ini, lebih
banyak berisikan panduan internal bagi administratur pemerintahan
(aparatur sipil negara) dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya3,
dan tidak menyentuh langsung penguatan kewenangan dan kedudukan
Peradilan Tata Usaha Negara, dalam penegakan Hukum Administrasi.


Bandingkan dengan pendapat Philipus M. Hadjon: “UU ini bukan UU tentang Hukum
Administrasi. Konsep Administrasi Pemerintahan dalam Pasal 1.1 adalah tata laksana
dalam pengambilan keputusan dan/atau tindakan oleh Badan dan/atau pejabat
pemerintahan”, dalam “Peradilan Tata Usaha Negara dalam Konteks Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2014,” makalah dalam Colloquium Membedah Undang-undang Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, 5 Juni 2015 di Garden Palace
Surabaya, hlm. 2
3

Halaman | 3

Dapat dikatakan bahwa Undang-undang Administrasi Pemerintahan ini
bukanlah hukum formil yang mengatur bagaimana penegakan hukum
administrasi dilakukan, melainkan hukum materiil yang berisikan pokokpokok dari hukum administrasi negara, seperti sumber kewenangan,
perintah dan larangan dalam melaksanakan kewenangan, serta sanksi
terhadap

administrasi4,


pelanggaran

yang

secara

langsung

akan

memberikan panduan bagi penegak hukum administrasi (i.c. Peradilan
Administrasi) untuk memberikan batasan-batasan penegakan hukum
administrasi secara materiil.
Dalam

kedudukannya

sebagai

Hukum


Materiil,

Undang-undang

Administrasi Pemerintahan memuat beberapa poin penting yang relevan
dengan penegakan hukum administrasi oleh Peradilan Tata Usaha Negara.
UU AP akan menjadi hukum materiil yang menjadi panduan untuk para
Hakim TUN dalam memeriksa dan memutuskan penyelesaian gugatan
masyarakat

kepada

pemerintahan

atas

keputusam

dan


tindakan

pemerintahan5. Hal ini dalam kajian tertentu dianggap merupakan langkah
progresif dalam cakupan pengkajian dan penegakan hukum administrasi.
Namun dalam poin tertentu, kerap dianggap juga merupakan langkah
kontra-produktif terutama dalam kaitannya dengan penegakan hukum
pidana, dimana selain memperlambat prosedur pemeriksaan tindak pidana

4

Sebagaimana diungkapkan Enrico Simanjuntak, dalam artikel Beberapa Anotasi
Terhadap Pergeseran Kompetensi Absolut Peradilan Umum Kepada Peradilan
Administrasi Pasca Pengesahan UU No 30 Tahun 2014. Dalam: Subur MS (ed.), dkk.,
Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Genta Press,
2014, Hlm.57.
5
Slamet Suparjoto, UU Administrasi Pemerintahan dan UU Peratun Berbanding Lurus,
artikel dalam Majalah Varia Peradilan Tahun XXX No. 354, Bulan Mei 2015, hlm. 64


Halaman | 4

korupsi dalam jabatan publik, juga potensi ketidaksiapan teknis dan nonteknis Peradilan Tata Usaha Negara dalam melaksanakan kewenangan
baru tersebut. Belum lagi persoalan klasik oportunisme oknum praktisi
peradilan

terhadap

adanya

kewenangan

itu,

yang

tentu

sangat


memprihatinkan.
Keadaan tersebut secara logis kemudian menimbulkan reaksi, tak hanya
dari kalangan eksternal seperti praktisi hukum bahkan kalangan awam,
yang menganggap Undang-undang Administrasi Pemerintahan sebagai
sebuah penyelundupan kepentingan berbungkus regulasi, tapi juga di
kalangan internal yudikatif, yang beranggapan bahwa Peradilan Tata
Usaha Negara tidak lebih baik, atau bahkan belum siap terlibat dan
berperan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, spesifiknya dalam
hal pengujian penyalahgunaan wewenang, sebagai norma hukum baru
yang termuat dalam Undang-undang Administrasi Pemerintahan.
Pro-kontra itu tentunya perlu dikaji, tak berbeda dengan pentingnya
mengkaji maksud serta arah substansi yang termuat dalam penambahan
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana termuat dalam
Undang-undang Administrasi. Sehingga pada akhirnya, pertanyaan yang
hingga kini belum terjawab mengenai: “Bagaimana implementasi serta
Hukum Acara pemeriksaan terhadap sengketa administrasi berdasarkan
Undang-undang Administrasi Pemerintahan itu, dilaksanakan secara riil?”,
akan terjawab. Dan hal yang lebih vital, jangan sampai norma mengenai
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara yang termuat di dalam Undangundang Administrasi Pemerintahan, lagi-lagi -secara parsial- menjadi


Halaman | 5

slapende regeling, ataupun pemberlakuannya akan disertai penyematan
syarat-syarat yang restriktif dan menyempit.
I.2. Rumusan Masalah
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia yang hampir berusia 25 tahun,
mengalami banyak dinamika dalam perjalanannya menegakkan hukum
administrasi. Dan yang akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini
adalah:
1. Bagaimana penegakan Hukum Administrasi di Indonesia secara Umum?
2. Apa norma baru yang secara substansial temuat dalam Undang-undang
Administrasi

Pemerintahan

dalam

kaitannya

dengan


Peradilan

Administrasi?
I.3. Maksud dan Tujuan Penulisan
Berdasarkan kajian teoritis dari literatur, serta kajian empiris berdasarkan
praktik peradilan administrasi yang berlangsung, tujuan penulisan makalah
ini diantaranya adalah:
1. Secara praktis adalah untuk memantapkan kaidah penegakan Hukum
Administrasi dalam bingkai Peradilan Tata Usaha Negara.
2. Secara teoritis dan praktis, adalah untuk mengetahui dan mengkaji
penerapan

norma

baru

dalam

Undang-undang

Administrasi

Pemerintahan dalam kaitannya dengan penegakan hukum administrasi
di Indonesia.

Halaman | 6

BAB II
TINJAUAN YURIDIS
II.1. Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara
Sejak disahkan pada tahun 1986, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana termuat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986, tidak terlalu banyak mengalami perubahan substansial yang berarti.
Sebagian besar merupakan perubahan tekstual seperti diantaranya:
1. Definisi limitatif Keputusan Tata Usaha Negara (dari Pasal 1 angka 3 UU
No. 5 Tahun 1986 menjadi Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009);
2. Pengecualian Keputusan Tata Usaha Negara (dari Pasal 2 UU No. 5
Tahun 1986 menjadi Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004);
3. Subyek hukum Penggugat (redaksi “seseorang dan badan hukum
perdata” pada Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986, menjadi “orang
atau badan hukum perdata” dalam UU No. 9 Tahun 2004);
4. Dasar pembatalan KTUN (dari Pasal 53 ayat (2) huruf a, b, dan c UU No.
5 Tahun 1986, menjadi Pasal 53 ayat (2) huruf a dan b Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004);
5. Tahapan pelaksanaan putusan berdasarkan Pasal 116 UU No. 5 Tahun
1986 mengalami dua kali perubahan, sampai akhirnya ditetapkan melalui
Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, yang memuat
pengenaan uang paksa dan sanksi administratif dalam hal diabaikannya
putusan oleh Tergugat;
6. Serta beberapa perubahan tekstual lainnya.

Halaman | 7

Perubahan substansial yang paling kentara adalah dihapusnya ketentuan
Pasal 118 yang mengatur mengenai perlawanan pihak ketiga terhadap
pelaksanaan putusan. Sehingga setelah dihapusnya ketentuan itu, Majelis
Hakim yang memeriksa sengketa tersebut, sedapat mungkin memanggil
dan memintai keterangan semua pihak yang diduga memiliki kepentingan
dan keterkaitan dengan sengketa di awal pemeriksaan sengketa.
Konsekuensi hukumnya adalah setiap pihak yang baru muncul dan
menyatakan memiliki kepentingan pada saat putusan dilaksanakan, tidak
lagi memiliki hak hukum dan perlindungan hukum.
II.2. Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
Norma baru yang terpranatakan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dalam relevansinya dengan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara diantaranya:
1. Penambahan kewenangan, berkaitan dengan pengujian ada atau
tidaknya

penyalahgunaan

wewenang

yang

dilakukan

oleh

memeriksa

dan

Badan/Pejabat Hukum Publik.
Pasal

21:

“Pengadilan

berwenang

menerima,

memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang
dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan”
2. Gugatan/permohonan yang didasarkan pada sifat fiktif positif;
Pasal 53 ayat (3): Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan
tersebut dianggap dikabulkan secara hukum.

Halaman | 8

Pasal 53 ayat (4): Pemohon mengajukan permohonan kepada

Pengadilan untuk memperoleh putusan penerimaan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 53 ayat (5): Pengadilan wajib memutuskan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu)
hari kerja sejak permohonan diajukan.
3. Upaya Administratif
Pasal 75 ayat (1): Warga masyarakat yang dirugikan terhadap
keputusan dan/atau tindakan dapat mengajukan upaya administratif
kepada Pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang menetapkan
dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.
Pasal 75 ayat (2): Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. Keberatan; dan
b. Banding.
4. Perluasan Definisi KTUN;
Pasal 38 ayat (2): Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau
disampaikan apabila Keputusan tidak dibuat atau tidak disampaikan
secara tertulis.
Pasal 38 ayat (3): Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum
sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya
Keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan.

Halaman | 9

Pasal 38 ayat (4): Jika Keputusan dalam bentuk tertulis tidak
disampaikan, maka yang berlaku adalah Keputusan dalam bentuk
elektronis.
Pasal 38 ayat (5): Dalam hal terdapat perbedaan antara Keputusan
dalam bentuk elektronis dan Keputusan dalam bentuk tertulis, yang
berlaku adalah Keputusan dalam bentuk tertulis.
Serta ketentuan:
Pasal 87: Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan UndangUndang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

Halaman | 10

BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Undang-undang
Administrasi Pemerintahan
Secara sporadis, terdapat penambahan kewenangan Peradilan Tata Usaha
Negara setelah disahkannya Undang-undang Administrasi Pemerintahan.
Dikatakan sporadis, karena secara substansial apa yang menjadi perluasan
kewenangan tersebut hanya disematkan secara parsial oleh Undangundang

Administrasi

Pemerintahan,

dan

tidak

mengubah

secara

keseluruhan praktik maupun hukum acara dalam praktik Peradilan Tata
Usaha Negara yang ada.
Dari beberapa pasal yang secara signifikan memiliki dampak kebaruan bagi
praktik peradilan administrasi, dapat dipilah menjadi 2 tipikal utama, yakni
yang bersifat menambahkan

kewenangan

dan

yang memperluas

kewenangan.
Disebutkan penambahan kewenangan (kompetensi) absolut Peradilan
Administrasi, karena sebelum disahkannya Undang-undang Nomor 30
Tahun 2014, kewenangan tersebut belumlah ada. Kewenangan dimaksud
adalah sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 21 Undangundang Nomor 30 Tahun 2014, yakni mengenai pengujian adanya
penyalahgunaan wewenang, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 bahwa:

Halaman | 11

“Pengadilan berwenang menerima, memeriksa dan memutuskan ada atau
tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan”;
Sementara perluasan kewenangan merupakan penambahan kewenangan
yang disebabkan karena adanya perluasan ataupun perubahan batasan
konsep, yang sebelumnya sudah diatur di dalam Undang-undang Peradilan
Tata Usaha Negara. Perluasan tersebut adalah definisi Keputusan Tata
Usaha Negara, sebagaimana Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun
2014, serta pergeseran ketentuan Pasal 3 mengenai tindakan diamnya
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, yang dianggap menolak menerbitkan
keputusan, menjadi menganggap mengabulkan menerbitkan keputusan,
meskipun tindak lanjutnya tetap harus melalui putusan pengadilan,
sebagaimana ketentuan Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor 30
Tahun 2014.
Polemik

dan

pro-kontra

seputar

adanya

kewenangan

menilai

penyalahgunaan wewenang masih berlangsung hingga saat ini. Stigma
negatif: “menghambat agenda pemberantasan korupsi” menjadi tajuk
utama dalam setiap kajian maupun diskusi antara praktisi-akademisi
hukum, khususnya yang mengkonfrontasikan pendekatan hukum pidana
dan hukum administrasi.
Dalam beberapa tulisan, penulis berpendapat bahwa kaidah pengujian ada
atau tidaknya penyalahgunaan wewenang, merupakan terminologi hukum
administrasi, sehingga upaya hukumnya (baca: pengujiannya) pun harus

Halaman | 12

dilakukan dalam kaidah hukum administrasi dan tentunya peradilan
administrasi. Akan tetapi oleh karena dalam penyalahgunaan wewenang
jabatan ini potensial mengandung unsur-unsur pidana, maka pendapat
semacam penulis pun mendatangkan kontra-argumen yang secara hukum
sebenarnya juga merupakan hal yang logis.
Berbeda dengan pengujian hukum administrasi yang selama ini sering
memiliki wilayah batas (sering diistilahkan grey area ataupun titik singgung)
dengan hukum keperdataan, ternyata seiring dengan perkembangan
hukum kontemporer, hukum administrasi pun bisa juga memiliki wilayah
batas dengan hukum pidana, khususnya yang berkenaan dengan
pelaksanaan urusan jabatan maupun urusan administrasi pemerintahan
pada umumnya.
Bila disikapi dengan bijak dan pikiran terbuka, adanya peranan Pengadilan
Tata Usaha Negara dalam menguji ada/tidaknya penyalahgunaan
wewenang sejatinya dimaksudkan untuk mempermudah penentuan unsur
“penyalahgunaan wewenang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU
Pemberantasan Tipikor, sehingga pertimbangan Majelis Hakim yang
memeriksa Tindak Pidana Korupsi selanjutnya akan lebih fokus pada unsurunsur pidana dari Tindak Pidana Korupsi itu sendiri. Hal yang merupakan
efek lanjutan dari pendapat Romli Atmasasmita6: “..bahwa penyidik dan
penuntut tindak pidana korupsi eks Pasal 3 UU Tipikor 2001/1999, pasca
berlakunya UU ADP 2014 tidak akan mengalami kesulitan yang berarti
6

Romli Atmasasmita, Penyalahgunaan Wewenang Oleh Penyelenggara Negara: Suatu
Catatan Kritis Atas UU RI Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, ,
Makalah Seminar Nasional HUT IKAHI, 2015, hlm. 2-3.

Halaman | 13

untuk menerjemahkan pengertian istilah Penyalahgunaan Wewenang
terkait

penuntutan

dan

pembuktian

tindak

pidana

korupsi

oleh

penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri lainnya atau aparat penegak
hukum”.
Sejauh ini, pengertian “menyalahgunakan wewenang” –dalam konteks
Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor- secara praktis mengambil alih
pengertian “penyalahgunaan wewenang” dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986. Hal yang bisa dikatakan merupakan
implementasi dari teori Autonomie van het Materiele Strafrecht dari H.A.
Demeersemen7, yang pada intinya menyatakan bahwa: “Hukum Pidana
mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan
pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi
jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian
yang terdapat dalam cabang hukum lainnya”, untuk mempertanyakan
adakah harmoni atau disharmoni antara Hukum Pidana dengan lingkup
hukum lainnya, termasuk Hukum Administrasi.
Namun di dalam realitas sosial, terjadi perbedaan pemahaman mengenai
penerapan teori Autonomie van het Materiele Strafrecht tersebut. Sebagian
menganggap pengujian penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara, telah tepat. Akan tetapi ada pula yang
menganggap

pengujian

penyalahgunaan

wewenang

secara

khusus/tersendiri tidaklah perlu, karena Majelis Hakim Pengadilan Tipikor,

7

SF Marbun. Hukum Administrasi Negara II, Yogyakarta: FH UII Press, 2013, hlm. 114

Halaman | 14

bisa menafsirkan sendiri unsur penyalahgunaan wewenang dalam Pasal 3
UU Pemberantasan Tipikor, dengan melandaskan diri pada asas tersebut
di atas, yakni mengambil alih konsep serupa –yaitu penyalahgunaan
wewenang - yang telah ada dalam Hukum Administrasi8.
Di Belanda dianut asas bahwa peradilan biasa (peradilan umum kita)
mengisi kekosongan perlindungan hukum yang ditinggalkan peradilan tata
usaha negara9. Hal yang tentu berkebalikan dengan praktik peradilan
Indonesia, dimana Peradilan Tata Usaha Negara hanya mengadili sengketa
yang bukan merupakan (residu) kewenangan peradilan umum. Bahkan, bila
pun suatu sengketa telah didaftarkan dan diperiksa di Peradilan Tata Usaha
Negara, terkadang ditahbiskan pula menjadi “bukan kewenangan”
Peradilan

Tata

Usaha

Negara

untuk

memeriksa,

memutus

dan

menyelesaikannya, dengan pertimbangan bukan merupakan sengketa tata
usaha negara, ataupun persoalan hukum lain (selain sifat hukum
administrasinya) harus diselesaikan terlebih dahulu.
Inferioritas (baca: prioritas hukum privat>hukum publik) semacam ini, bila
terus berlanjut akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum
administrasi di Indonesia, dan bukan tidak mungkin terjadi juga dalam hal
pengujian penyalahgunaan wewenang sebagaimana secara atributif telah
diberikan Undang-undang Administrasi Negara kepada Peradilan Tata
Usaha Negara. Dan lagi-lagi, bisa terjadi Peradilan Tata Usaha Negara

8

Bandingkan misalnya dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1340 K/Pid/1992,
tanggal 17 Februari 1992.
9
Philipus M. Hadjon, dkk., Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Cetakan
Kedua, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012, hlm. 9.

Halaman | 15

akan “dipaksa mengalah” menyerahkan pengujian penyalahgunaan
wewenang tersebut melalui jangkauan kewenangan dan syarat-syarat yang
sangat dibatasi.
Konsep pembedaan kewenangan mengadili seharusnya tegas ditegakkan
dan dipisahkan. Oleh karena Peradilan Tata Usaha Negara tidak
berwenang memeriksa (dan memutus) sengketa tata usaha negara
(sengketa administrasi) serta Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, kemudian
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004), maka secara
negasi juga berarti bahwa Lingkungan Peradilan lainnya tidak memiliki
kewenangan

memeriksa

administrasi)

maupun

sengketa

Keputusan

tata

usaha

negara

(sengketa

Tata

Usaha

Negara

(KTUN)10,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 serta Undang-undang Administrasi Pemerintahan.
III.2. Penambahan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Mengapa

harus

ke

Pengadilan

Tata

Usaha

Negara?

Karena

penyalahgunaan wewenang dalam jabatan sebagai salah satu unsur dalam
Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor, pada hakikatnya merupakan
terminologi dan konsep yang berada dalam rezim Hukum Administrasi.
Berhubung wewenang adalah “kemampuan bertindak yang diberikan oleh
Undang-undang

yang

berlaku

untuk

hubungan

hukum”,

maka

10
Sejalan dengan Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, maka makna
Keputusan Tata Usaha Negara haruslah dimaknai pula keselarasannya dengan
kewenangan PTUN, in cassu pengujian penyalahgunaan wewenang vide Pasal 21
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014.

Halaman | 16

“kewenangan” yang dimaksud oleh Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor
tentunya adalah kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan yang
dipangku oleh Pegawai Negeri berdasarkan peraturan perundangundangan11. Filosofi dasarnya karena jabatan berhubungan dengan
tindakan/urusan pejabat maupun badan publik dalam melakukan urusan
administrasi pemerintahan di pusat maupun daerah, berdasarkan
kewenangan atau diskresi yang ada padanya.
Penalaran ini pun sejalan dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, bahwa pengujian sengketa di bidang
administrasi (baik berdasarkan Undang-undang Peradilan Tata Usaha
Negara maupun Undang-undang Administrasi Pemerintahan), salah
satunya

karena

adanya

pelanggaran

terhadap

Asas-asas

Umum

Pemerintahan Yang Baik12. Dan bila pun pelanggaran terhadap larangan
penyalahgunaan wewenang tersebut tidak dinormakan sebagai peraturan,
“penyalahgunaan wewenang” tetap merupakan bagian dari pelanggaran
terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik, sehingga jangkauan
kewenangan pengujiannya tetap berada pada Pengadilan Tata Usaha
Negara13.

Terlebih

(onbevogheid)

pengkajian

mengenai

ketidakberwenangan

sebagaimana terjemahan dalam pasal 17 ayat (2) UU

Administrasi Pemerintahan (baik dalam bentuk detournement de pouvoir

11

Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Prenada
Media Grup, 2014, hlm. 46
12
Dalam hal ini terjadi pergeseran status penyalahgunaan wewenang dari asas-asas
umum pemerintahan yang baik (in cassu larangan detournement de pouvoir maupun
willekeur) menjadi norma hukum positif (sebagaimana ditunjukkan dalam Pasal 17 ayat (2)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014).
13
Lihat ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004.

Halaman | 17

maupun willekeur), selama ini sudah menjadi domain Pengadilan Tata
Usaha Negara untuk mengujinya.
Pendapat ini senada dengan yang disampaikan Andhi Nirwanto14, bahwa:
“..parameter utama

untuk menentukan ada

tidaknya

onrechmatig

overheidsdaad yang menjadi domain tata usaha negara, terletak pada 2
(dua) hal pokok, yaitu: a. Apakah pejabat pemerintahan telah menjalankan
wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku?; b.
Apakah pejabat pemerintahan telah menerapkan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (AAUPB) dalam menjalankan kewenangan
tersebut?”,

karena

konteks

penyalahgunaan

wewenang

adalah

menggunakan wewenang yang diberikan kepadanya itu menyimpang dari
maksud dan tujuan asalnya. Sejalan juga dengan konsep penyalahgunaan
wewenang yang pernah ada dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu menggunakan wewenang
untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Dalam
mengukur apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang, haruslah
dibuktikan bahwa pejabat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan
lain15. Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu
kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu
mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu16.

Andhi Nirwanto, Arah Pemberantasan Korupsi Ke Depan (Pasca Undang-undang
Administrasi Pemerintahan), Makalah Seminar Nasional HUT IKAHI, 2015, hlm.15
14

15
16

Philipus M. Hadjon, op. cit, hlm. 22.
ibid

Halaman | 18

Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karater atau ciri17:
1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan
2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas
legalitas;
3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asasasas umum pemerintahan yang baik;
Dialihkannya wewenang18 untuk membuktikan adanya penyalahgunaan
wewenang ke Pengadilan Tata Usaha Negara, bukan disikapi dengan
anggapan hal itu merupakan suatu penghambatan dalam proses
pemberantasan korupsi, melainkan harus ditanggapi dengan sikap bahwa
penegakan hukum itu harus dilakukan sesuai dengan koridor hukum
masing-masing, yakni penegakan hukum pidana, diselesaikan dengan
instrumen dan institusi penegak hukum pidana, begitu juga dengan
penegakan hukum administrasi, yang dalam hal ini adalah pengujian
penyalahgunaan wewenang harus disesuaikan juga dengan instrumen dan
institusi penegak hukum administrasi.
Secara

yuridis,

untuk

mengetahui

penyalahgunaan

wewenang

(penggunaan wewenang yang melanggar hukum), harus dilihat dari sumber
atau lahirnya wewenang. Ini sejalan dengan konsep hukum, “Di dalam
setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu, tersirat
pertanggungjawaban dari yang bersangkutan” (geen bevoegheids zonder

17

Supandi, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
(Relevansinya terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan
Hukum Pidana), artikel dalam Majalah Varia Peradilan Tahun XXX No. 353, Bulan April
2015, hlm. 29.
18
Meskipun istilah pengalihan wewenang dirasa kurang tepat, sebab selama ini pengujian
mengenai ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam jabatan, tidak dilakukan
secara khusus oleh Peradilan Umum, melainkan dipertimbangkan bersama-sama dengan
unsur-unsur lain dalam Pasal 3 UU Tipikor.

Halaman | 19

verantwoordelijkheid atau there is no authority without reponsibility)19.
Sehingga

terhadap

kaidah

penyalahgunaan

wewenang,

ataupun

berkenaan dengan wewenang itu sendiri, telah nampak jelas tipikal
pengujian serta kewenangan absolut untuk memeriksanya.
Pesan sama yang juga sebenarnya tertuang dalam pertimbangan Majelis
Hakim Agung, dalam perkara Kasasi Nomor: 572 K/Pid/2003, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa pengujian serta penentuan adanya
penyalahgunaan wewenang tidak secara serta merta dapat diputuskan oleh
Peradilan Umum, melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu (tersendiri).
Putusan Kasasi Nomor: 572 K/Pid/2003:
Menimbang,

bahwa

Mahkamah

Agung

tidak

sependapat

dengan

pertimbangan hukum judex factie, bahwa unsur menyalahgunakan
wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan itu disimpulkan terbukti dari rangkaian perbuatan hukm
Terdakwa I yang tidak melakukan atau mengusahakan suatu mekanisme
koordinasi kerja yang tidak terpadu dengan baik, sehingga perbuatan
materiil Terdakwa I menurut hukum bertentangan dengan asas kepatutan,
ketelitian dan kehati-hatian dalam pengelolaan uang negara, padahal
Terdakwa I memiliki wewenang untuk itu. Menurut pendapat Mahkamah
Agung, haruslah dibuktikan terlebih dahulu unsur pokok dalam Hukum
Pidana apakah Terdakwa I mempunyai kesengajaan (opzet) untuk
melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, dan bahwa
19

Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam
Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009, Palangkaraya: Laksbang Mediatama, hlm. 75-76.
Dalam Supandi, op.cit, hlm. 26

Halaman | 20

memang Terdakwa I menghendaki dan mengetahui (met willens en wetens)
bahwa perbuatan itu dilarang tapi tetap dilakukannya..”
Dalam perkembangannya, dapat dikaji bahwa yang menjadi dasar
pertimbangan hukum judex factie (PN dan PT) dalam kasus tersebut adalah
berkenaan dengan asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian dalam
urusan pemerintahan (i.c. Pengelolaan Uang Negara), yang berdasarkan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, merupakan pengejawantahan dari
Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
Bila implementasinya dilaksanakan dengan kaidah hukum yang konsisten
dan berkesinambungan, seharusnya dengan perubahan dasar uji bagi
Peradilan Tata Usaha Negara (melalui perubahan terhadap Pasal 53 ayat
(2) Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara), seharusnya juga
berimplikasi langsung terhadap pengujian unsur “menyalahgunakan
wewenang” maupun “penyalahgunaan wewenang” yang selama ini
berlangsung. Sehingga setelah berlakunya Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004, pengujian mengenai eksistensi unsur tersebut tidak secara
serta merta bisa dilakukan dalam satu pertimbangan hukum sekaligus,
melainkan harus dilakukan secara tersendiri.
Fallacy

(kesesatan

menafsir)

saat

mempertimbangkan

terminologi

“menyalahgunakan wewenang” tersebut berlangsung sekian lama, bahkan
setelah Peradilan Tata Usaha Negara lahir dan berdiri. Sebab dengan
perluasan batasan dasar pengujian di Peradilan Tata Usaha Negara,
menjadi

peraturan

perundang-undangan

dan

asas-asas

umum

Halaman | 21

pemerintahan yang baik, maka konteks “menyalahgunakan wewenang”,
“penyalahgunaan wewenang” atau istilah lain yang sepadan, adalah
termasuk dalam konteks tersebut. Diputuskannya unsur “menyalahgunakan
wewenang” ataupun “penyalahgunaan wewenang” oleh Peradilan Umum,
tentu

merupakan

sebuah

paralogis

kewenangan

mengadili

yang

berlangsung sampai saat ini, dan baru disadari saat disahkannya Undangundang Administrasi Pemerintahan.
Dari

ketentuan

Pasal

21

ayat

(2)

Undang-undang

Administrasi

Pemerintahan, subyek hukum yang berhak mengajukan permohonan
pengujian

penyalahgunaan

wewenang

ini

adalah

Badan/Pejabat

Pemerintahan. Tidak dijelaskannya “siapa” atau “kapan” Badan/Pejabat
Pemerintahan bisa mengajukan permohonan penyalahgunaan wewenang
tersebut, menimbulkan polemik, namun juga membuka ruang penafsiran.
Tri Cahya Indra Permana misalnya, menafsirkan “siapa” atau “kapan” dan
dalam ketentuan tersebut menjadi: Pertama, Pejabat yang telah ditetapkan
sebagai terdakwa karena diduga menyalahgunakan wewenang. Kedua,
Pejabat yang gamang jika tindakan yang dilakukannya dapat berakibat
pada

sanksi

pidana,

dan

Ketiga,

Badan

khususnya

penegak

hukum/penyidik yang ingin mengetahui ada atau tidak adanya unsur
penyalahgunaan wewenang pada tindakan Pejabat yang akan disidiknya 20.

20

Tri Cahya Indra Permana, dalam artikel Hak Permohonan Pejabat/Badan Atas Dugaan
Penyalahgunaan Wewenang. Dalam: Subur MS (ed.), dkk., Bunga Rampai Peradilan
Administrasi Kontemporer, 2014, Penerbit Genta Press, Yogyakarta. Hlm.50.

Halaman | 22

Ruang penafsiran terhadap ketentuan tersebut memang terbuka lebar,
sebab sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaan yang bisa dijadikan
panduan standar, spesifiknya, hukum acara yang menjelaskan rangkaian
pemeriksaan dalam pengujian penyalahgunaan wewenang tersebut.
Paradigma

yang

keliru

kerap

dilekatkan

pada

tipikal

pengujian

penyalahgunaan wewenang tersebut. Tak hanya di kalangan eksternal
(akademisi dan praktisi hukum lain), namun di kalangan internal yudisial
pun masih terdapat anggapan bahwa dalam pengujian penyalahgunaan
wewenang itu terdapat sebuah “keputusan” definitif, baik yang dikeluarkan
oleh Badan/Pejabat Pemerintah, ataupun Penegak Hukum/Penyidik.
Selanjutnya, hal tersebut dinisbahkan kepada ketentuan Pasal 2 Undangundang Nomor 9 Tahun 2004, sehingga pada akhirnya sampai pada
kesimpulan yang keliru, pengujian itu bukan menjadi kewenangan
Peradilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa dan mengadilinya.
Sama halnya dengan ketentuan mengenai permohonan fiktif positif, maka
yang dimintakan oleh pemohon adalah putusan pengadilan atas suatu
keputusan “fiktif”, yang sebenarnya tidak ada secara fisik. Sehingga obyek
pengujiannya bukanlah suatu obyek sengketa definitif, yakni dokumen
tertulis ataupun dokumen digital (keputusan tata usaha negara), melainkan
keberadaan konsep “penyalahgunaan wewenang”, yang dikonfrontasikan
dengan regulasi yang relevan dengan kewenangan yang diujikan.
Sehingga secara pribadi, penulis hampir sepaham dengan pendapat Tri
Cahya Indra Permana sebagaimana tersebut di atas, hanya saja terdapat

Halaman | 23

sedikit perbedaan, dimana pihak yang dapat mengajukan permohonan
pengujian penyalahgunaan wewenang adalah: Pertama: Pejabat yang telah
ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menyalahgunakan wewenang,
dan Kedua: Penyelidik ataupun penyidik (secara alternatif), pada saat akan
melanjutkan pelimpahan berkas perkara21 tersebut ke pengadilan (Tipikor).
III. 3 Perluasan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Selain

penambahan

kewenangan

sebagaimana

telah

dipaparkan

sebelumnya, pasca berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, terdapat pula perluasan kewenangan
bagi Peradilan Tata Usaha Negara. Secara garis besar perluasan
kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara itu mencakup 2 hal pokok, yakni
yang berkaitan dengan Keputusan Tata Usaha Negara, dan yang berkaitan
dengan upaya hukum sebelum diajukannya gugatan ke Pengadilan.
Merupakan sebuah fakta notoir bagi kalangan praktisi, bahwa eksistensi
Peradilan Tata Usaha Negara sedemikian terbatasnya. Tak hanya ruang
lingkup kewenangannya, tapi juga faedah serta kepastian penyelesaian
(pelaksanaan putusan) hukum, yang menjadi tujuan akhir proses peradilan,
dirasakan masihlah jauh dari konsep ideal. Seperti yang pernah
diungkapkan Adriaan W. Bedner, bahwa: “Pada dasarnya pemerintah tidak
menyukai kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara, terlihat bahwa hampir
semua wakil rakyat (waktu itu) menyadari bahwa pemerintah orde baru

21

Sebagaimana ketentuan Pasal 3 Undang-undang Tipikor.

Halaman | 24

tidak akan bersedia menerima campur tangan pengadilan dalam hal-hal
yang langsung berkaitan dengan pengendaliannya pada negara22.
Salah satu indikasinya menurut Umar Dhani adalah: “tidak ada dukungan
dari penguasa dalam tataran implementatif, sehingga apa yang menjadi
kewenangan

yang

diberikan

oleh

Undang-undang

dalam

tahap

pelaksanaannya tidak didukung oleh saran dan prasarana, sehingga
penyelesaian dari putusan pengadilan menjadi terabaikan23”.
Indikasi normatif yang juga menunjukkan pembatasan itu adalah ketentuan
Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, serta Pasal 2
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yang secara jelas merefleksikan
sesempit apa peranan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menegakkan
supremasi hukum di negeri ini.
Undang-undang Administrasi Pemerintahan, dapat dikatakan sebagai titik
balik dari keterbatasan peranan Peradilan Tata Usaha Negara dalam
menegakan Hukum Administrasi. Asumsi itu tumbuh saat Undang-undang
Administrasi Pemerintahan memberikan perluasan makna Keputusan Tata
Usaha Negara sebagaimana menjadi kewenangan absolut Peradilan Tata
Usaha Negara, yang selama ini cenderung restriktif.
Paradigma Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana ketentuan Pasal
1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, maupun Pasal 3

22

Adriaan W. Bedner, Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia (Sebuah Studi SosioLegal), Jakarta: Huma, 2010, hlm. 68.
23
Umar Dhani, Putusan Pengadilan Non-Executable. Proses dan Dinamika Dalam Konteks
PTUN, Yogyakarta: Genta Press, 2015, hlm. 3

Halaman | 25

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, telah bergeser dengan ketentuan
Pasal 38 ayat (3) serta Pasal 87 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014.
Syarat limitatif semisal, konkrit, indvidual dan final, mengalami perluasan
makna, terutama dalam hal akibat hukum yang timbul, dan subyek yang
dikenai akibat hukum tersebut. Lebih dari itu, Undang-undang Administrasi
Pemerintahan juga memberikan kewenangan bagi Peradilan Tata Usaha
Negara untuk memeriksa dan memutus tindakan faktual administrasi
pemerintahan.
Namun demikian, pemberlakukan ketentuan dalam Undang-undang
Administrasi Pemerintahan tersebut, terutama ketentuan Pasal 87, tidak
serta merta menghapus kriteria-kriteria KTUN yang diatur dalam Undangundang Nomor 51 Tahun 2009, melainkan mengalami revitalisasi24.
Dengan tidak adanya penegasan ketidakberlakukan terminologi serupa
dalam Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (terkhusus kriteria
KTUN), maka menurut hemat penulis, pengujian keabsahan KTUN di
Peradilan Tata Usaha Negara bisa dilakukan secara alternatif, dengan
menggunakan dasar Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara
sendiri, ataupun dengan dasar Undang-undang Administrasi Pemerintahan.
1. Keputusan Berbentuk Elektronis
Sebagaimana

diungkapkan

Indroharto,

sebuah

surat

dikatakan

keputusan tata usaha negara, penekanannya berada pada sifat dan
isi/substansi, bukan pada bentuk dari surat tersebut. Jadi sepanjang

24

Lihat: Slamet Suparjoto, op.cit. hlm. 67

Halaman | 26

memenuhi prasyarat sebagaimana Pasal 1 angka 3, dan terakhir diubah
menjadi Pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 51 Tahu 2009, maka
kendati tidak berjudul “Keputusan”, maka surat tersebut telah memenuhi
kriteria keputusan tata usaha negara.
Dengan demikian, konsep yang dibangun dalam ketentuan Pasal 38 ayat
(3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014, sejalan dengan hal itu.
Karena sejatinya, keberadaan suatu keputusan terletak pada sifat serta
isi/substansi dari surat tersebut, bukan pada bentuk maupun wujud fisik
berupa dokumen yang dicetak ataupun dokumen digital (tidak dicetak),
sepanjang telah jelas dan nyata apa yang diputuskan/diterangkan di
dalamnya, maa secara limitatif itu merupakan sebuah “beschikking”.
2. Perluasan Makna Keputusan Tata Usaha Negara
a. Mencakup tindakan faktual;
Pergeseran kewenangan menguji tindakan faktual dari Peradilan
Umum kepada Peradilan Tata Usaha Negara, bukanlah hal yang
mengherankan. Onrechtmatige overheidsdaad
b. Keputusan TUN di lingkungan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif
dan penyelenggara negara lain;
Pemuatan norma ini secara tekstual, merupakan penegasan dari
konsep bahwa keputusan tata usaha negara bukan hanya terbatas
pada lingkup eksekutif saja. Sepanjang yang dilaksanakannya adalah
urusan pemerintahan, dalam arti bukan fungsi legislasi (pembuatan
perundang-undangan), maupun fungsi yudikasi (mengadili dan

Halaman | 27

memutuskan perkara25), maka keputusan tersebut termasuk kriteria
keputusan tata usaha negara.
c. Berdasarkan perundang-undangan dan AUPB;
Karena sifat praesumptio justae causa, maka seburuk apapun sebuah
keputusan administrasi tetap dianggap sah dan berlaku, selama
belum dinyatakan sebaliknya. Sehingga dengan analogi terhadapnya,
semua keputusan administrasi secara filosofis harus dianggap telah
diterbitkan berdasarkan perundang-undangan AUPB, sepanjang
belum dinyatakan sebaliknya.
d. Final dalam arti luas;
Dalam penjelasan Pasal 87 huruf d Undang-undang Administrasi
Pemerintahan, dikatakan bahwa final dalam arti luas diartikan
mencakup keputusan yang diambilalih oleh atas pejabat yang
berwenang.
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;
Dapat ditafsirkan bahwa ketentuan ini lebih bersifat visioner, yakni
mengasumsikan adanya potensi akibat hukum dari keputusan yang
terbit. Misalnya, A mempersoalkan pengumuman data yuridis BPN,
karena lokasi tanah tumpang tindih dengan tanah yg diklaim miliknya.
f. Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Kendati rumusan yang dipakai adalah “berlaku bagi masyarakat”, tapi
secara limitatif hal ini hanya terbatas pada “beschikking” saja, yakni

25

Namun perlu dikaji bahwa saat ini, fungsi -yang serupa dengan fungsi- yudikasi tak hanya
menjadi domain Mahkamah Agung dan Mahkamah Konsitusi selaku pemegang
Kekuasaan Kehakiman saja. Lembaga semisal KPPU, DKPP atau Komisi Informasi
Pusat/Daerah, dipersepsikan memiliki fungsi yudikasi juga.

Halaman | 28

berlaku pada orang tertentu, golongan tertentu atau kelompok
masyarakat tertentu. Sehingga misalnya, walaupun Peraturan Daerah
juga memiliki kekuatan imperatif terhadap warga masyarakat, namun
karena itu bersifat “regeling”, maka tidak termasuk katagori Keputusan
Tata Usaha Negara.
3. Sifat Fiktif Positif
Hal ini bisa disebut sebagai langkah progresif, implementasi dari
pergeseran konsep administrastur pemerintahan yang mengatur
(regulatory function), menjadi administratur pemerintahan yang melayani
(service function), dan hakikatnya itu tak lain juga merupakan pergeseran
paradigma dari negara hukum menjadi negara kesejahteraan.
Kontradiktif dengan ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986, maka dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2015

tegas

dinyatakan

bahwa

tidak ditetapkannya

atau tidak

dilakukannya (sikap diamnya) Badan/Pejabat Pemerintahan, terhadap
permohonan yang diajukan, maka dianggap dikabulkan secara hukum.
Namun demikian, terhadap sikap diamnya tersebut tetap harus
menempuh proses pengadilan untuk mendapatkan putusan penerimaan
permohonan26. Pemeriksaan pengadilan dalam permohonan ini,
diasumsikan sama/serupa dengan pemeriksaan pengadilan dalam hal
permohonan pengujian penyalahgunaan wewenang (vide Pasal 21
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014), sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Karena pada keduanya, tidak terdapat obyek sengketa

26

Lihat ketentuan Pasal 53 ayat (4), (5), dan (6) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014.

Halaman | 29

definitif (berupa sebuah keputusan tata usaha negara, bahkan tindakan
tata usaha negara), melainkan lebih bersifat pemeriksaan normatif
terhadap permohonan yang diajukan27, yang secara konseptual
semestinya tidak jauh berbeda dengan sifat pemeriksaan PUU di
Mahkamah Konstitusi.
III. 4. Ambiguitas & Pertentangan Norma tentang Kewenangan
Mengadili
Kaidah upaya administrasi ditemukan tak hanya dalam Undang-undang
Peradilan Tata Usaha Negara tapi juga dalam Undang-undang Administrasi
Pemerintahan. Ini termuat dalam Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Nomor
30 Tahun 2014, bahwa: “Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas
penyelesaian banding oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan”
Klausula tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan kritis, apakah kata
“dapat” itu merepresentasikan kaidah imperatif (keharusan) ataukah kaidah
alternatif (pilihan)? Kata “dapat” dalam ketentuan Pasal Pasal 76 ayat (3)
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 itu secara filosofis mungkin meniru
kata “dapat” dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004, yang diartikan bahwa orang/badan hukum perdata, boleh
menggugat, boleh juga tidak menggugat.

27

Bisa diperbandingkan juga dengan sistem pemeriksaan akusator dan inkuisitor dalam
Hukum Pidana. Dimana dalam sistem akusator, para pihak diposisikan setara dan samasama menjadi subyek pemeriksaan, sementara dalam sisten inkuisitor, para pihak
diposisikan sebagai obyek pemeriksaan.

Halaman | 30

Namun konteks “dapat” di dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 itu kurang pas bila diterapkan dalam kaidah
upaya administratif, sebab kata “dapat” di dalam Pasal 53 ayat (1) Undangundang Nomor 9 Tahun 2004 lebih merupakan pilihan tindakan hukum
(bersifat alternatif), sedangkan kata “dapat” di dalam Pasal 75 ayat (1)
Undang-undang Administrasi Pemerintahan28 maupun Pasal 76 ayat (3)
Undang-undang Administrasi Pemerintahan merupakan kaidah prosedural
yang harus ditempuh (bersifat imperatif)29.
Potensi pertentangan norma muncul saat Pasal 76 ayat (3) Undang-undang
Administrasi Pemerintahan dikonfrontasikan dengan ketentuan pasal 48 jo.
Pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, sebab bila makna
“Pengadilan” dalam ketentuan Pasal 76 ayat (3) Undang-undang
Administrasi Pemerintahan tersebut diacukan kepada Pasal 1 angka 18
Undang-undang Administrasi Pemerintahan, maka akan terjadi ambiguitas
makna serta kompetensi absolut antara Pengadilan Tata Usaha Negara
dengan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara30.

Meski tekstualnya berbunyi: “dapat” namun sifat imperatif-nya disini adalah ketentuan
Pasal selanjutnya yang menyatakan bahwa Upaya Administratif itu adalah Keberatan dan
Banding. Hal yang paralel juga bisa ditemui dalam ketentuan Pasal 76 ayat (2) Undangundang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
29
Berbeda dengan konsep Upaya Administratif yang selama ini dikenal dalam praktik
Peradilan Administrasi berdasarkan UU Peratun maupun dikatakan dalam SEMA Nomor 2
Tahun 1991, yang tidak secara tegas menyiratkan jenis maupun hierarki serta fase Upaya
Administrasi yang harus dilakukan vide Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1986, Undangundang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menetapkan dengan
jelas jenis serta berjenjangnya Upaya Administrasi yang harus ditempuh.
30
Pasal 76 ayat (3) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 menyatakan bahwa Pengadilan
(Tata Usaha Negara) berwenang untuk memeriksa gugatan yang telah menempuh upaya
administrasi. Sedangkan Pasal 51 ayat (3) menyatakan bahwa yang berwenang
memeriksa sengketa yang telah menempuh Upaya adminstrasi adalah Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara.
28

Halaman | 31

Hal ini sejalan dengan pendapat Sudarsono31: 1. Pada UU Peratun (48) UA
merupakan keharusan (untuk sengketa/perkara yang memiliki UA).
Sedangkan pada UU AP (Pasal 75 ayat (1)), UA bukan merupakan
keharusan akan tetapi “dapat” dilakukan oleh Warga Masyarakat (yang
merasa dirugikan); 2. Pada UU Peratun (Pasal 51 ayat (3)), menyebut
secara tegas Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang memiliki tugas
dan wewenang menyelesaikan sengketa/perkara yang memiliki UA,
sedangkan pada UU AP (Pasal 76 ayat (3)) hanya menyebut kata
“pengadilan”. Kata “pengadilan” menurut Pasal 1 angka 18 UU AP dimaknai
Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga dengan demikian terdapat
perbedaan yang prinsipil antar keduanya.
Terkait hal ini, mungkin saja ada yang berpendapat bahwa asas hukum
umum bisa diterapkan, yakni asas lex speciali derogate legi generali
ataupun asas lex posteriori derogate legi priori. Namun tepatkah
memperbandingkan kekhususan/keumuman Undang-undang Peradilan
Tata Usaha Negara dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan,
atau memperbandingkan kebaruan/kelampauan Undang-undang Peradilan
Tata Usaha Negara dengan Undang-undang Administrasi Pemerintahan32?

Bandingkan dengan: Sudarsono, “Upaya Administratif Dalam Konteks Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2014” makalah dalam Colloquium Membedah Undang-undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, 5 Juni 2015 di Garden Palace Surabaya,
hlm. 3.
32
Bandingkan dengan pendapat,: “Apakah lex generalis in cassu UU AP dapat merubah
lex specialis (UU PTUN) dengan dalih UU AP lex posterior? Apakah lex posterior generalis
dapat merubah lex prior specialis?” dalam Philipus M. Hadjon , loc.cit. hlm. 4
31

Halaman | 32

BAB IV
KESIMPULAN
1. Penyalahgunaan wewenang merupakan terminologi dalam Hukum
Administrasi, dan pengujian terhadap keberadaannya haruslah bersifat
administratif dan dilakukan oleh Peradilan Administrasi. Sementara
Perluasan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Undangundang Administrasi Pemerintahan, terutama mengenai kriteria
Keputusan Tata Usaha Negara, secara prinsip tidak mencabut kriteria
keputusan tata usaha negara dalam Undang-undang Peradilan Tata
Usaha Negara. Lebih dari itu, karena secara normatif tidak ada
ketentuan pencabutan tersebut, maka pengajuan gugatan di Peradilan
Tata Usaha Negara semakin fleksibel, karena secara alternatif bisa
didasarkan pada Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara
maupun Undang-undang Administrasi Pemerintahan.
2. Secara prinsip dan dalam batas-batas tertentu, Undang-undang
Administrasi Pemerintahan kian melengkapi dan memperkuat peranan
Peradilan Tata Usaha Negara dalam tertib hukum administrasi di
Indonesia, namun implementasinya tetap harus diterjemahkan secara
jelas melalui aturan pelaksanaan ya