HUKUM SEBAGAI SARANA UNTUK MELINDUNGI PE
ORBITH VOL. 8 NO. 2 JULI 2012 : 104 – 108
HUKUM SEBAGAI SARANA UNTUK MELINDUNGI
PEKERJA/BURUH DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL
Oleh : Taufiq Yulianto
Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang 50275
Abstrak
Hubungan kerja tidaklah terbatas hanya hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha saja, tetapi
perlu adanya campur tangan pemerintah. Hubungan antara pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah
inilah yang disebut hubungan industrial. Perbedaan kedudukan secara ekonomi dan sosial antara
pekerja/buruh dan pengusaha menimbulkan hubungan subordinatif , sehingga menimbulkan posisi yang
tidak seimbang. Pemerintah sebagai regulator atau pembuat kebijakan mempunyai kewajiban untuk
menciptakan hubungan industrial dalam rangka mencari keseimbangan antara kepentingan
pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Kata Kunci : Hukum, Perlindungan pekerja/buruh, Hubungan industial
1. Pendahuluan
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera,
adil,makmur yang merata,baik materiil
maupun spirituil berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Demikian
juga
dalam
dunia
ketenagakerjaan,
Pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan
dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan
ketenagakerjaan
dilaksanakan
untuk
mewujudkan manusia dan masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil, makmur,
dan merata baik materiil maupun spirituil.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai
banyak
dimensi
dan
keterkaitan.
Keterkaitan itu tidak hanya dengan
kepentingan tenaga kerja selama, sebelum,
dan sesudah masa kerja tetapi juga
keterkaitan dengan kepentingan pengusaha,
pemerintah dan masyarakat. Untuk itu
diperlukan pengaturan yang menyeluruh
dan komprehensif , antara lain mencakup
pengembangan sumber daya manusia,
peningkatan produktivitas dan daya saing
tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan
kesempatan kerja, pelayanan penempatan
tenaga kerja, dan pembinaan hubungan
104
industrial. Pembinaan hubungan industrial
sebagai
bagian
dari
pembangunan
ketenagakerjaan harus diarahkan untuk
terus mewujudkan hubungan industrial
yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan .
2. Hubungan Industrial
Dasar dari hubungan industrial adalah
adanya suatu perjanjian kerja. Kesepakatan
yang dituangkan dalam perjanjian kerja
inilah yang menimbulkan suatu hubungan
kerja. Hubungan kerja terjadi setelah
diadakan perjanjian antara buruh dan
majikan, dimana buruh menyatakan
kesanggupannya untuk bekerja pada
majikan dengan menerima upah dan
majikan
menyatakan
kesanggupannya
untuk memperkerjakan buruh dengan
membayar upah. Menurut Iman Soepomo,
hubungan kerja adalah suatu hubungan
antara seorang buruh dan seorang majikan,
dimana hubungan kerja itu terjadi setelah
adanya perjanjian kerja antara kedua belah
pihak. Mereka terikat dalam suatu
perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh
bersedia bekerja dengan menerima upah
dan
pengusaha
mempekerjakan
pekerja/buruh dengan memberi upah (
Soepomo, 1987 ). Sedangkan Lalu Husni
berpendapat bahwa hubungan kerja adalah
hubungan antara buruh dan majikan setelah
adanya perjanjian kerja yaitu suatu
perjanjian dimana pihak buruh mengikatkan
dirinya pada pihak majikan untuk bekerja
dengan mendapatkan upah dan majikan
Hukum Sebagai Sarana Untuk Melindungi Pekerja/Buruh.................................Taufiq Yulianto
menyatakan
kesanggupannya
untuk
mempekerjakan pekerja/buruh dengan
memberi upah ( Asikin, 1997 ). Sedangkan
dalam UU Ketenagakerjaan, yang dimaksud
dengan hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja , yang
mempunyai unsur pekerjaan , upah dan
perintah.
Perjanjian kerja yang akan ditetapkan oleh
pekerja / buruh dan pengusaha tidak boleh
bertentangan dengan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) yang telah dibuat oleh
pengusaha dengan serikat pekerja / buruh
atau peraturan perusahaan yang dibuat oleh
pengusaha.
Perjanjian
kerja
adalah
perjanjian antar pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para
pihak. Pada pasal 1601a KUHPerdata
menyebutkan bahwa perjanjian kerja adalah
suatu persetujuan bahwa pihak kesatu yaitu
buruh mengikatkan diri untuk menyerahkan
tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan
dengan upah selama waktu tertentu.
Hubungan kerja tidaklah terbatas hanya
hubungan antara pekerja / buruh dan
pengusaha saja, tetapi perlu adanya campur
tangan pemerintah. Pemerintah sebagai
regulator
atau
pembuat
kebijakan
mempunyai
kepentingan
untuk
menciptakan hubungan industrial dalam
rangka mencari keseimbangan antara
kepentingan pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah. Ketiga komponen tersebut
mempunyai kepentingan masing-masing,
yaitu bagi pekerja / buruh, perusahaan
merupakan tempat mereka bekerja dan
sekaligus sebagai sumber penghasilan dan
penghidupan diri beserta keluarganya , bagi
pengusaha, perusahaan adalah wadah untuk
mengeksploitasi modal guna mendapat
untung yang sebesar-besarnya, sedangkan
bagi pemerintah , perusahaan merupakan
bagian dari kekuatan ekonomi
yang
menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat, karena
itulah pemerintah mempunyai kepentingan
dan bertanggung jawab atas kelangsungan
dan keberhasilan setiap perusahaan.
Hubungan antara pengusaha, pekerja/buruh,
dan pemerintah inilah yang disebut
hubungan industrial. Penggunaan istilah
hubungan industrial sebenarnya merupakan
kelanjutan dari istilah hubungan industrial
Pancasila
( Khakim , 2003). Istilah
Hubungan Industrial Pancasila (HIP)
merupakan terjemahan labour relation atau
hubungan perburuhan. Istilah ini pada
awalnya menganggap bahwa hubungan
perburuhan hanya membahas masalahmasalah hubungan antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Melihat perkembangan dan
kenyataan yang ada bahwa masalah
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
pengusaha ternyata juga menyangkut aspekaspek lain yang luas.
Hubungan perburuhan tidaklah terbatas
hanya hubungan antara pekerja / buruh dan
pengusaha saja, tetapi perlu adanya campur
tangan pemerintah. Bertolak dari hal
tersebut melalui Kesepakatan Bersama LKS
Tripartit Nasional Nomer 9 Tahun 1985
maka istilah hubungan perburuhan diganti
dengan
istilah
hubungan
industrial
(industrial relation). Berdasarkan Pedoman
Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila
(HIP)
Departemen
Tenaga
Kerja,
pengertian HIP adalah suatu sistem yang
terbentuk antara pelaku dalam proses
produksi barang dan jasa (pekerja,
pengusaha, dan pemerintah ) yang
didasarkan atas nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang tumbuh dan
berkembang diatas kepribadian bangsa dan
kebudayaan nasional Indonesia. Untuk itu
sebagai wujud pelaksanaan hubungan kerja
antara pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah harus sesuai dengan jiwa yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila,
artinya segala bentuk perilaku semua
subyek yang terkait dalam proses produksi
harus mendasarkan pada nilai-nilai luhur
Pancasila secara utuh.
105
ORBITH VOL. 8 NO. 2 JULI 2012 : 104 – 108
Pada pasal 1 angka 16 UU No. 13 Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa hubungan industrial
adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri
dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan
pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perkembangan
dunia
usaha
sangat
bergantung kepada adanya hubungan
industrial yang baik, karena semakin baik
hubungan industrial maka biasanya juga
berdampak dengan semakin baiknya
perkembangan dunia usaha. Perkembangan
ekonomi global dan teknologi yang
demikian
cepat
membawa
dampak
timbulnya persaingan usaha yang begitu
ketat dan secara efek domino juga
berdampak
terhadap
bidang
ketenagakerjaan.Melihat
perkembangan
tersebut
maka
pembangunan
ketenagakerjaan harus diatur sedemikian
rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan
perlindungan
yang
mendasar
bagi
pekerja/buruh serta pada saat yang
bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang
kondusif bagi pengembangan dunia usaha.
Hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan perlu diwujudkan
secara optimal sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila.
3. Perlindungan Pekerja/buruh dalam
hubungan Industrial
Dalam
era
industrialisasi,
masalah
perselisihan hubungan industrial menjadi
semakin meningkat dan kompleks, sehingga
diperlukan institusi dan mekanisme
penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial yang cepat, tepat, adil dan murah.
Perselisihan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh kadangkala harus berakhir
dengan pemutusan hubungan kerja.
Penyelesaian yang menyangkut masalah
pemutusan hubungan kerja harus harus bisa
memenuhi rasa keadilan masing-masing
pihak, terutama bagi pekerja/buruh. Hal ini
106
dikarenakan berakhirnya hubungan kerja
bagi pekerja/buruh berarti kehilangan mata
pencaharian, yang berarti pula permulaan
masa
pengangguran
dengan
segala
akibatnya.
Sebenarnya untuk menjamin kepastian dan
ketentraman
hidup
pekerja/buruh
seharusnya tidak ada pemutusan hubungan
kerja
tetapi
dalam
kenyataannya
membuktikan bahwa pemutusan hubungan
kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.
Hal utama yang harus dipegang teguh
dalam menghadapi masalah pemutusan
hubungan kerja ialah sedapat mungkin
pengusaha,
pekerja/buruh,
serikat
pekerja/buruh, dan pemerintah dengan
segala upaya harus mengusahakan agar
jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Segala upaya berarti bahwa kegiatankegiatan yang positif yang pada akhirnya
dapat menghindari terjadinya pemutusan
hubungan kerja, antara lain pengaturan
waktu kerja, penghematan, pembenahan
metode kerja, dan memberikan pembinaan
kepada pekerja/buruh ( Rusli, 2003 ). Jadi
pemutusan kerja adalah merupakan
tindakan terakhir jika segala upaya
pencegahan telah gagal. Dalam hal segala
upaya telah dilakukan tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari maka
pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Pemutusan hubungan kerja pada dasarnya
merupakan masalah yang kompleks karena
mempunyai dampak pada pengangguran,
kriminalitas, maupun kesempatan kerja.
Seiring dengan laju perkembangan industri
serta meningkatnya jumlah angkatan kerja
yang bekerja, permasalahan pemutusan
hubungan kerja merupakan permasalahan
yang menyangkut kehidupan manusia.
Pemutusan
hubungan
kerja
bagi
pekerja/buruh merupakan awal penderitaan
bagi pekerja dan keluarganya,sedangkan
bagi perusahaan pemutusan hubungan kerja
Hukum Sebagai Sarana Untuk Melindungi Pekerja/Buruh.................................Taufiq Yulianto
juga merupakan kerugian karena harus
melepas pekerja/buruh yang telah dididik
dan telah mengetahui cara-cara kerja di
perusahaannya.Terjadinya
pemutusan
hubungan kerja dengan demikian bukan
hanya
menimbulkan
kesulitan bagi
pekerja/buruh
tetapi
juga
akan
menimbulkan kesulitan bagi perusahaan.
Untuk itu pemerintah perlu ikut campur
tangan
dalam
mengatasi
masalah
pemutusan hubungan kerja.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah
telah membuat suatu kebijakan mengenai
pemutusan hubungan kerja dengan maksud
untuk lebih menjamin adanya ketertiban
dan kepastian hukum dalam pelaksanaan
pemutusan hubungan kerja antara lain
menetapkan peraturan perundang-undangan
tentang pemutusan hubungan kerja,
penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial serta berbagai keputusan menteri.
Beberapa ketentuan tentang pemutusan
hubungan kerja antara lain :
1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
2. UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
3. Putusan Mahkamah Konstitusi RI
perkara No. 012/PUU-1/2003 tanggal
28 Oktober 2004 atas Hak Uji Materiil
UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan terhadap UndangUndang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945
4. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor.
SE.
907/Men.PHI-PPHI/X/2004
tentang
Pencegahan Pemutusan Hubungan
Kerja Massal
5. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor.
SE.13/Men/SJ-HK/I/2005
tentang
PutusanMahkamah Konstitusi RI atas
Hak Materiil UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terhadap
Undang-Undang
Dasar
Republik
Indonesia Tahun1945
6.
Surat Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor. B.600/Men/SjHk/VIII/2005
perihal
Uang
Penggantian
Perumahan
serta
Pengobatan dan Perawatan.
Tujuan
hukum
perburuhan
adalah
melaksanakan keadilan sosial dalam bidang
ketenagakerjaan yang diselenggarakan
dengan jalan melindungi pekerja/buruh
terhadap kekuasaan pengusaha .Hal ini juga
tertuang dalam Pasal 4 huruf c UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menyatakan bahwa tujuan pembangunan
ketenagakerjaan
adalah
memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan.
4. Kesimpulan
Perlindungan pekerja/buruh dari kekuasaan
pengusaha terlaksana apabila peraturanperaturan dalam bidang ketenagakerjaan
yang
mengharuskan atau memaksa
pengusaha
bertindak
seperti
dalam
perundang-undangan
tersebut
benar
dilaksanakan
semua
pihak
karena
keberlakuan hukum tidak dapat diukur
secara yuridis saja tetapi juga diukur secara
sosiologis dan filosofis.
Perbedaan kedudukan secara ekonomi dan
sosial antara pekerja/buruh dan pengusaha
menimbulkan hubungan subordinatif ,
sehingga menimbulkan posisi yang tidak
seimbang. Dalam konteks inilah hukum
dijadikan sarana guna
memberikan
perlindungan
terhadap
pekerja/buruh,
karena sebagai konsekuensi dari hubungan
kerja muncul hak dan kewajiban yang harus
dijaga dan dilindungi oleh hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Zainal, dkk, 1997, Dasar-dasar
Hukum
Perburuhan,
Jakarta
RajaGrafindo Persada.
Khakim, Abdul, 2003, Pengantar Hukum
Ketenagakerjaan
Indonesia,
Bandung Citra Aditya Bakti
107
ORBITH VOL. 8 NO. 2 JULI 2012 : 104 – 108
Rusli,
Hardijan,
2003,
Hukum
Ketenagakerjaan 2003,
Jakarta
Ghalia Indonesia.
Soepomo,
Iman,
1987,
Hukum
Perburuhan,
Jakarta,
Penerbit
Djambatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang – Undang Republik Indonesia No.
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan
108
HUKUM SEBAGAI SARANA UNTUK MELINDUNGI
PEKERJA/BURUH DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL
Oleh : Taufiq Yulianto
Staf Pengajar Jurusan Teknik Elektro Politeknik Negeri Semarang
Jl. Prof. Sudarto, SH, Tembalang, Semarang 50275
Abstrak
Hubungan kerja tidaklah terbatas hanya hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha saja, tetapi
perlu adanya campur tangan pemerintah. Hubungan antara pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah
inilah yang disebut hubungan industrial. Perbedaan kedudukan secara ekonomi dan sosial antara
pekerja/buruh dan pengusaha menimbulkan hubungan subordinatif , sehingga menimbulkan posisi yang
tidak seimbang. Pemerintah sebagai regulator atau pembuat kebijakan mempunyai kewajiban untuk
menciptakan hubungan industrial dalam rangka mencari keseimbangan antara kepentingan
pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Kata Kunci : Hukum, Perlindungan pekerja/buruh, Hubungan industial
1. Pendahuluan
Pembangunan nasional dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat
masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera,
adil,makmur yang merata,baik materiil
maupun spirituil berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Demikian
juga
dalam
dunia
ketenagakerjaan,
Pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan
dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan
ketenagakerjaan
dilaksanakan
untuk
mewujudkan manusia dan masyarakat
Indonesia yang sejahtera, adil, makmur,
dan merata baik materiil maupun spirituil.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai
banyak
dimensi
dan
keterkaitan.
Keterkaitan itu tidak hanya dengan
kepentingan tenaga kerja selama, sebelum,
dan sesudah masa kerja tetapi juga
keterkaitan dengan kepentingan pengusaha,
pemerintah dan masyarakat. Untuk itu
diperlukan pengaturan yang menyeluruh
dan komprehensif , antara lain mencakup
pengembangan sumber daya manusia,
peningkatan produktivitas dan daya saing
tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan
kesempatan kerja, pelayanan penempatan
tenaga kerja, dan pembinaan hubungan
104
industrial. Pembinaan hubungan industrial
sebagai
bagian
dari
pembangunan
ketenagakerjaan harus diarahkan untuk
terus mewujudkan hubungan industrial
yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan .
2. Hubungan Industrial
Dasar dari hubungan industrial adalah
adanya suatu perjanjian kerja. Kesepakatan
yang dituangkan dalam perjanjian kerja
inilah yang menimbulkan suatu hubungan
kerja. Hubungan kerja terjadi setelah
diadakan perjanjian antara buruh dan
majikan, dimana buruh menyatakan
kesanggupannya untuk bekerja pada
majikan dengan menerima upah dan
majikan
menyatakan
kesanggupannya
untuk memperkerjakan buruh dengan
membayar upah. Menurut Iman Soepomo,
hubungan kerja adalah suatu hubungan
antara seorang buruh dan seorang majikan,
dimana hubungan kerja itu terjadi setelah
adanya perjanjian kerja antara kedua belah
pihak. Mereka terikat dalam suatu
perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh
bersedia bekerja dengan menerima upah
dan
pengusaha
mempekerjakan
pekerja/buruh dengan memberi upah (
Soepomo, 1987 ). Sedangkan Lalu Husni
berpendapat bahwa hubungan kerja adalah
hubungan antara buruh dan majikan setelah
adanya perjanjian kerja yaitu suatu
perjanjian dimana pihak buruh mengikatkan
dirinya pada pihak majikan untuk bekerja
dengan mendapatkan upah dan majikan
Hukum Sebagai Sarana Untuk Melindungi Pekerja/Buruh.................................Taufiq Yulianto
menyatakan
kesanggupannya
untuk
mempekerjakan pekerja/buruh dengan
memberi upah ( Asikin, 1997 ). Sedangkan
dalam UU Ketenagakerjaan, yang dimaksud
dengan hubungan kerja adalah hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja , yang
mempunyai unsur pekerjaan , upah dan
perintah.
Perjanjian kerja yang akan ditetapkan oleh
pekerja / buruh dan pengusaha tidak boleh
bertentangan dengan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) yang telah dibuat oleh
pengusaha dengan serikat pekerja / buruh
atau peraturan perusahaan yang dibuat oleh
pengusaha.
Perjanjian
kerja
adalah
perjanjian antar pekerja/buruh dengan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para
pihak. Pada pasal 1601a KUHPerdata
menyebutkan bahwa perjanjian kerja adalah
suatu persetujuan bahwa pihak kesatu yaitu
buruh mengikatkan diri untuk menyerahkan
tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan
dengan upah selama waktu tertentu.
Hubungan kerja tidaklah terbatas hanya
hubungan antara pekerja / buruh dan
pengusaha saja, tetapi perlu adanya campur
tangan pemerintah. Pemerintah sebagai
regulator
atau
pembuat
kebijakan
mempunyai
kepentingan
untuk
menciptakan hubungan industrial dalam
rangka mencari keseimbangan antara
kepentingan pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah. Ketiga komponen tersebut
mempunyai kepentingan masing-masing,
yaitu bagi pekerja / buruh, perusahaan
merupakan tempat mereka bekerja dan
sekaligus sebagai sumber penghasilan dan
penghidupan diri beserta keluarganya , bagi
pengusaha, perusahaan adalah wadah untuk
mengeksploitasi modal guna mendapat
untung yang sebesar-besarnya, sedangkan
bagi pemerintah , perusahaan merupakan
bagian dari kekuatan ekonomi
yang
menghasilkan barang atau jasa untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat, karena
itulah pemerintah mempunyai kepentingan
dan bertanggung jawab atas kelangsungan
dan keberhasilan setiap perusahaan.
Hubungan antara pengusaha, pekerja/buruh,
dan pemerintah inilah yang disebut
hubungan industrial. Penggunaan istilah
hubungan industrial sebenarnya merupakan
kelanjutan dari istilah hubungan industrial
Pancasila
( Khakim , 2003). Istilah
Hubungan Industrial Pancasila (HIP)
merupakan terjemahan labour relation atau
hubungan perburuhan. Istilah ini pada
awalnya menganggap bahwa hubungan
perburuhan hanya membahas masalahmasalah hubungan antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Melihat perkembangan dan
kenyataan yang ada bahwa masalah
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
pengusaha ternyata juga menyangkut aspekaspek lain yang luas.
Hubungan perburuhan tidaklah terbatas
hanya hubungan antara pekerja / buruh dan
pengusaha saja, tetapi perlu adanya campur
tangan pemerintah. Bertolak dari hal
tersebut melalui Kesepakatan Bersama LKS
Tripartit Nasional Nomer 9 Tahun 1985
maka istilah hubungan perburuhan diganti
dengan
istilah
hubungan
industrial
(industrial relation). Berdasarkan Pedoman
Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila
(HIP)
Departemen
Tenaga
Kerja,
pengertian HIP adalah suatu sistem yang
terbentuk antara pelaku dalam proses
produksi barang dan jasa (pekerja,
pengusaha, dan pemerintah ) yang
didasarkan atas nilai-nilai Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang tumbuh dan
berkembang diatas kepribadian bangsa dan
kebudayaan nasional Indonesia. Untuk itu
sebagai wujud pelaksanaan hubungan kerja
antara pekerja/buruh, pengusaha, dan
pemerintah harus sesuai dengan jiwa yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila,
artinya segala bentuk perilaku semua
subyek yang terkait dalam proses produksi
harus mendasarkan pada nilai-nilai luhur
Pancasila secara utuh.
105
ORBITH VOL. 8 NO. 2 JULI 2012 : 104 – 108
Pada pasal 1 angka 16 UU No. 13 Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan
menyebutkan bahwa hubungan industrial
adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara pelaku dalam proses
produksi barang dan/atau jasa yang terdiri
dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan
pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai
Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perkembangan
dunia
usaha
sangat
bergantung kepada adanya hubungan
industrial yang baik, karena semakin baik
hubungan industrial maka biasanya juga
berdampak dengan semakin baiknya
perkembangan dunia usaha. Perkembangan
ekonomi global dan teknologi yang
demikian
cepat
membawa
dampak
timbulnya persaingan usaha yang begitu
ketat dan secara efek domino juga
berdampak
terhadap
bidang
ketenagakerjaan.Melihat
perkembangan
tersebut
maka
pembangunan
ketenagakerjaan harus diatur sedemikian
rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan
perlindungan
yang
mendasar
bagi
pekerja/buruh serta pada saat yang
bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang
kondusif bagi pengembangan dunia usaha.
Hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan perlu diwujudkan
secara optimal sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila.
3. Perlindungan Pekerja/buruh dalam
hubungan Industrial
Dalam
era
industrialisasi,
masalah
perselisihan hubungan industrial menjadi
semakin meningkat dan kompleks, sehingga
diperlukan institusi dan mekanisme
penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial yang cepat, tepat, adil dan murah.
Perselisihan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh kadangkala harus berakhir
dengan pemutusan hubungan kerja.
Penyelesaian yang menyangkut masalah
pemutusan hubungan kerja harus harus bisa
memenuhi rasa keadilan masing-masing
pihak, terutama bagi pekerja/buruh. Hal ini
106
dikarenakan berakhirnya hubungan kerja
bagi pekerja/buruh berarti kehilangan mata
pencaharian, yang berarti pula permulaan
masa
pengangguran
dengan
segala
akibatnya.
Sebenarnya untuk menjamin kepastian dan
ketentraman
hidup
pekerja/buruh
seharusnya tidak ada pemutusan hubungan
kerja
tetapi
dalam
kenyataannya
membuktikan bahwa pemutusan hubungan
kerja tidak dapat dicegah seluruhnya.
Hal utama yang harus dipegang teguh
dalam menghadapi masalah pemutusan
hubungan kerja ialah sedapat mungkin
pengusaha,
pekerja/buruh,
serikat
pekerja/buruh, dan pemerintah dengan
segala upaya harus mengusahakan agar
jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Segala upaya berarti bahwa kegiatankegiatan yang positif yang pada akhirnya
dapat menghindari terjadinya pemutusan
hubungan kerja, antara lain pengaturan
waktu kerja, penghematan, pembenahan
metode kerja, dan memberikan pembinaan
kepada pekerja/buruh ( Rusli, 2003 ). Jadi
pemutusan kerja adalah merupakan
tindakan terakhir jika segala upaya
pencegahan telah gagal. Dalam hal segala
upaya telah dilakukan tetapi pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari maka
pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Pemutusan hubungan kerja pada dasarnya
merupakan masalah yang kompleks karena
mempunyai dampak pada pengangguran,
kriminalitas, maupun kesempatan kerja.
Seiring dengan laju perkembangan industri
serta meningkatnya jumlah angkatan kerja
yang bekerja, permasalahan pemutusan
hubungan kerja merupakan permasalahan
yang menyangkut kehidupan manusia.
Pemutusan
hubungan
kerja
bagi
pekerja/buruh merupakan awal penderitaan
bagi pekerja dan keluarganya,sedangkan
bagi perusahaan pemutusan hubungan kerja
Hukum Sebagai Sarana Untuk Melindungi Pekerja/Buruh.................................Taufiq Yulianto
juga merupakan kerugian karena harus
melepas pekerja/buruh yang telah dididik
dan telah mengetahui cara-cara kerja di
perusahaannya.Terjadinya
pemutusan
hubungan kerja dengan demikian bukan
hanya
menimbulkan
kesulitan bagi
pekerja/buruh
tetapi
juga
akan
menimbulkan kesulitan bagi perusahaan.
Untuk itu pemerintah perlu ikut campur
tangan
dalam
mengatasi
masalah
pemutusan hubungan kerja.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah
telah membuat suatu kebijakan mengenai
pemutusan hubungan kerja dengan maksud
untuk lebih menjamin adanya ketertiban
dan kepastian hukum dalam pelaksanaan
pemutusan hubungan kerja antara lain
menetapkan peraturan perundang-undangan
tentang pemutusan hubungan kerja,
penyelesaian
perselisihan
hubungan
industrial serta berbagai keputusan menteri.
Beberapa ketentuan tentang pemutusan
hubungan kerja antara lain :
1. UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
2. UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial
3. Putusan Mahkamah Konstitusi RI
perkara No. 012/PUU-1/2003 tanggal
28 Oktober 2004 atas Hak Uji Materiil
UU No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan terhadap UndangUndang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945
4. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor.
SE.
907/Men.PHI-PPHI/X/2004
tentang
Pencegahan Pemutusan Hubungan
Kerja Massal
5. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja
dan
Transmigrasi
Nomor.
SE.13/Men/SJ-HK/I/2005
tentang
PutusanMahkamah Konstitusi RI atas
Hak Materiil UU No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan terhadap
Undang-Undang
Dasar
Republik
Indonesia Tahun1945
6.
Surat Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor. B.600/Men/SjHk/VIII/2005
perihal
Uang
Penggantian
Perumahan
serta
Pengobatan dan Perawatan.
Tujuan
hukum
perburuhan
adalah
melaksanakan keadilan sosial dalam bidang
ketenagakerjaan yang diselenggarakan
dengan jalan melindungi pekerja/buruh
terhadap kekuasaan pengusaha .Hal ini juga
tertuang dalam Pasal 4 huruf c UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menyatakan bahwa tujuan pembangunan
ketenagakerjaan
adalah
memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan.
4. Kesimpulan
Perlindungan pekerja/buruh dari kekuasaan
pengusaha terlaksana apabila peraturanperaturan dalam bidang ketenagakerjaan
yang
mengharuskan atau memaksa
pengusaha
bertindak
seperti
dalam
perundang-undangan
tersebut
benar
dilaksanakan
semua
pihak
karena
keberlakuan hukum tidak dapat diukur
secara yuridis saja tetapi juga diukur secara
sosiologis dan filosofis.
Perbedaan kedudukan secara ekonomi dan
sosial antara pekerja/buruh dan pengusaha
menimbulkan hubungan subordinatif ,
sehingga menimbulkan posisi yang tidak
seimbang. Dalam konteks inilah hukum
dijadikan sarana guna
memberikan
perlindungan
terhadap
pekerja/buruh,
karena sebagai konsekuensi dari hubungan
kerja muncul hak dan kewajiban yang harus
dijaga dan dilindungi oleh hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Zainal, dkk, 1997, Dasar-dasar
Hukum
Perburuhan,
Jakarta
RajaGrafindo Persada.
Khakim, Abdul, 2003, Pengantar Hukum
Ketenagakerjaan
Indonesia,
Bandung Citra Aditya Bakti
107
ORBITH VOL. 8 NO. 2 JULI 2012 : 104 – 108
Rusli,
Hardijan,
2003,
Hukum
Ketenagakerjaan 2003,
Jakarta
Ghalia Indonesia.
Soepomo,
Iman,
1987,
Hukum
Perburuhan,
Jakarta,
Penerbit
Djambatan
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Undang – Undang Republik Indonesia No.
13
Tahun
2003
Tentang
Ketenagakerjaan
108