Akselerasi Reformasi Birokrasi id. docx

Akselerasi Reformasi Birokrasi
Oleh : Riyan Nuryadin*
Hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai integritas sektor
publik menempatkan empat daerah di Jawa Barat dibawah nilai standar. Keempat
daerah itu adalah kota Bandung, Depok, Cirebon dan Bekasi. Penilaian ini menjadi
tamparan keras bagi pemangku pemerintahan setempat. Bahwa masih terdapat
inefisiensi dan inefektifitas dalam kinerja pelayanan publik selama ini. Umumnya,
nilai merah itu terdapat di sektor pelayanan yang berkaitan dengan pembuatan KTP,
SIUP, dan IMB. Namun, tidak tertutup kemungkinan terjadi hal yang sama pada
sektor-sektor lainnya.
Integritas pelayanan publik terkait erat dengan integritas pejabat dan sistem atau
mekanisme birokrasi yang berlaku. Menjadi rahasia umum bahwa reformasi birokrasi
di negeri ini mengalami stagnasi bahkan cenderung berjalan mundur dari cita-cita
reformasi yang didengungkan.
Banyak hal yang menjadi penanda terjadinya stagnasi dan kemunduran
reformasi birokrasi itu, seperti masih meruyaknya praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme; rendahnya kualitas dan kuantitas public service; keruhnya netralitas
birokrasi oleh kepentingan politik dan ekonomi sekelompok elit; lemahnya political
will dan komitmen stakeholder pemerintahan untuk memprioritaskan pembenahan
dalam tubuh birokrasi; absurditas serta tumpang tindihnya kebijakan yang ditempuh
oleh aparatur negara; dan lain sebagainya.

Jika tidak segera ditangani, hal ini akan berakibat pada pupusnya harapan
masyarakat terhadap penataan manajemen pemerintahan. Kondisi itu akan menggiring
masyarakat pada sikap apatis dan abai terhadap kebijakan dan pelaksanaan program
pembangunan. Padahal sejatinya masyarakat adalah subjek pembangunan bangsa dan
pemerintah menjadi penanggungjawabnya. Tentu saja, pembangunan yang baik
adalah pembangunan yang memberdayakan, melayani dan melindungi kepentingan
masyarakat secara umum.
Evaluasi Komprehensif
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama ini, terdapat dua aspek penting
yang menjadi kunci penataan birokrasi. Pertama, aspek struktur dan atau aturanaturan kebijakan. Kedua, aspek mentalitas aparatur yang meliputi faktor sikap,
perilaku dan tindakan. Kedua aspek ini mendesak untuk segera dievaluasi dan
dibenahi secara komprehensif.
Aspek pertama dapat dijawab melalui program pembenahan kelembagaan dan
ketatalaksanaan sistem dan struktur pemerintahan. Misalnya dengan penyederhanaan
Dinas dan SKPD, penyesuaian jumlah PNS, manajemen jam kerja, dan yang lainnya.
Aspek kedua diselesaikan melalui program peningkatan kapasitas sumber daya
manusia penyelenggara negara. Peningkatan ini meliputi etos kerja, integritas
personal, kualitas pelayanan, profesionalitas, dan lain sebagainya.
Agar terjadi akselerasi signifikan terhadap reformasi budaya birokrasi,
diperlukan upaya penunjang lainnya. Pertama, pelaksanaan prinsip netralitas birokrasi

secara konsisten oleh pejabat-pejabat politik. Terdapat kesadaran bertanggungjawab
dari pejabat politik untuk tidak melakukan intervensi penempatan jabatan karir pada
suatu pemerintahan.
Untuk menghindari intervensi itu, pejabat politik dapat memberlakukan sistem
merit. Sistem ini menegaskan bahwa jabatan dalam birokrasi adalah penghargaan atas

dasar kualifikasi terukur, baik melalui tes, strata pendidikan, ataupun standar-standar
lain yang diketahui para pegawai. Jika atasan mengangkat orang atas dasar kolusi dan
nepotisme, maka organisasi akan menderita. Bukan hanya karena memperoleh pejabat
yang kurang kompeten, melainkan juga akan menjatuhkan semangat (moral) pegawai
lainnya sehingga dukungan terhadap pencapaian tujuan organisasi (baca:
pemerintahan) mengendur, (Wardi, 2005: 290).
Kedua, kontrol sosial. Misalnya, masyarakat harus lebih proaktif dan berani
menilai serta mengungkapkan kualitas pelayanan birokrat, positif maupun negatif.
Sehingga, mekanisme reward and punishment dapat diberlakukan. Pun masyarakat
dituntut untuk mengetahui alokasi anggaran daerah yang digunakan untuk
pembangunan. Hal ini untuk menjaga tranparansi dan akuntabilitas aparat negara serta
mencegah terjadinya KKN.
Ketiga, koordinasi lintas sektoral. Pelayanan publik bukan hanya digerakan oleh
satu sektor saja, melainkan multisektor. Karenanya, diperlukan sinergitas komponen

dalam pemerintahan agar pelayanan publik memberi dampak yang lebih berarti.
Keempat, kondusifitas iklim politik. Diperlukan upaya untuk meminimalisir
pengaruh elit politik maupun kegiatan politik praktis terhadap birokrasi. Kegiatan
politik transaksional atau politik balas budi dan yang sejenisnya, tidak boleh lagi
mewarnai kinerja administrator publik.
Kelima, reinventing government. Yakni pemberlakuan pola kerjasama antara
pemerintah dengan swasta. Gagasan yang dikembangkan oleh Osborne dan Gaebler
ini mengandaikan adanya pola kemitraan dalam pelayanan umum dengan tetap
memperhatikan neraca kepuasan publik, baik dalam mengkonsumsi barang atau jasa
yang disediakan. Gagasan ini relevan manakala fungsi-fungsi birokrasi, khususnya
dalam bidang pelayanan publik, tidak berjalan dengan semestinya.
Tentu saja, langkah-langkah di atas harus disertai oleh komitmen pemangku
kekuasaan dan semua pihak terkait untuk secara serius menciptakan kultur birokrasi
yang transparan, akuntabel, bersih dan bertanggung jawab serta mewujudkan aparatur
yang profesional sebagai pelayan masyarakat, abdi negara, dan teladan publik.
Semoga***

*Penulis adalah Sekjen Bandung Intellectual Circle (BIC) serta Alumnus Jurusan
Hukum Ketatanegaraan dan Politik Islam (Siyasah) di UIN SGD Bandung.