Tugas paper Bhs Indonesia. doc
TUGAS PAPER UNTUK MATA KULIAH BAHASA INDONESIA
RITUAL “LAMPAH BISU MENGELILINGI BENTENG”
MEMPERINGATI 1 SURA DI KOTA YOGYAKARTA
Sabitta Tara Archyanti
C0708046
JURUSAN DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
Ritual “Lampah Bisu Mengelilingi Benteng” Memperingati 1 Sura di Kota Yogyakarta
Indonesia yang kaya akan budaya dan adat istiadat memang tak akan bisa lepas
dari peninggalan adat yang diwariskan oleh para leluhur. Hal ini juga dimiliki oleh kota
Yogyakarta, sebagai salah satu kota di Indonesia yang terkenal dengan budayanya.
Yogyakarta, kota istimewa dengan sejuta pesona yang sangat membudaya dan sanggup
melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah para leluhur sampai saat ini. Di kota ini,
budaya lokal dan budaya global berbaur menjadi satu dan menciptakan harmoni tersendiri. Di
Yogyakarta, semua mendapat tempat dan porsi yang sama untuk terus hidup dan berkembang.
Salah satu dari sekian banyak tradisi yang masih berkembang di Yogyakarta adalah Ritual
Lampah Bisu Mubeng Beteng. Ritual ini rutin dilaksanakan setiap malam 1 sura (kalender
Jawa) yang bertepatan dengan malam tahun baru Hijriah, sebagai ajang untuk refleksi diri di
hadapan Sang Pencipta.
Bagi masyarakat Jawa, Satu Suro merupakan penanda dimulainya kehidupan baru.
Manusia diingatkan kembali atas kebesaran Tuhan sebagai empunya kehidupan. Kita
diingatkan dari mana asal mulanya (sangkan paraning dumadi). Oleh karena itu, masyarakat
Jawa selama bulan Suro akan banyak melakukan kewajiban tirakat. Tirakat atau menjalani
keprihatinan adalah upaya masyarakat Jawa untuk melakukan pembersihan diri, perenungan
atau introspeksi, mengucap syukur, serta berharap akan mendapatkan berkah (ngalap
berkah).
Tirakat juga dipercaya mampu mempengaruhi jiwa. Seseorang menjadi lebih
sabar dalam mengendalikan emosi, serta nafsu. Juga menjadi lebih arif dan mampu
memaksimalkan energi saat persoalan datang dalam hidup. Bentuk tirakat bisa bermacammacam misalnya mutih, berpuasa menahan haus dan lapar dan disaat malam tiba atau jelang
matahari terbit hanya diperbolehkan mengkonsumsi air putih dan nasi putih. Ada juga ngeruh
atau tidak makan segala sesuatu yang memiliki nyawa seperti daging. Sebab, daging diyakini
dapat meningkatkan nafsu pemakannya.
Bulan Suro juga dipandang bulan baik untuk melakukan jamasan yakni, pencucian
pusaka seperti keris, kereta, dan perangkat gamelan. Ritual Jamasan biasanya dilakukan di
hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. Di bulan yang sama, beberapa desa juga akan
menyelenggarakan upacara bersih desa atau Ruwat Bumi.
A. Sejarah
Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini bukan tradisi yang diciptakan
oleh keraton, melainkan sudah tradisi asli masyarakat Jawa yang berkembang sejak
abad ke-6 Sebelum muncul kerajaan Mataram – Hindu. Tradisi ini dikenal dengan
nama “muser” atau “munjer” yang berarti mengelilingi pusat. Pusat yang dimaksud
adalah pusat wilayah desa. Ketika pedesaan berkembang menjadi kerajaan muser pun
berubah menjadi tradisi mengelilingi wilayah pusat kerajaan.
Tradisi mubeng benteng kemudian dilanjutkan pada masa Kerajaan
Mataram (Kotagede). Kala itu prajurit ditugaskan untuk berjaga dan mengelilingi
benteng guna menjaga keraton dari serangan musuh. Kemudian setelah kerajaan
membangun parit di sekeliling benteng, tugas keliling dialihkan kepada abdi dalem
keraton. Dalam menjalankan tugasnya, para abdi dalem ini diam membisu sambil
membaca doa-doa di dalam hati agar diberi keselamatan. Hal inilah yang kemudian
dilakukan hingga saat ini. Setiap malam 1 Sura, abdi dalem keraton dan ribuan warga
turut serta berjalan mengelilingi benteng keraton Yogyakarta tanpa mengucapkan
sepatah katapun sebagai bentuk laku tirakat.
B. Pelaksanaan Lampah Bisu pada Masa Sekarang
a. Keunikan
Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng yang rutin dilaksanakan setiap
malam 1 Sura ini terbuka untuk siapa saja, tanpa perlu membayar atau mendaftar
atau pun tak perlu menggunakan pakaian pranakan lengkap seperti abdi dalem,
dan tak perlu melakukan pantangan ini dan itu. Peserta cukup datang ke Pelataran
Keben Keraton pada malam 1 Sura dan mengikuti Ritual Lampah Bisu Mubeng
Benteng ini bersama rombongan abdi dalem keraton.
Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini dipimpin oleh para abdi dalem
yang berjalan di depan sambil membawa bendera dan juga panji-panji keraton,
teplok atau lampu dan juga kemenyan. Setelah barisan abdi dalem barulah
masyarakat atau siapapun yang ingin mengikuti Ritual Lampah Bisu Mubeng
Benteng ini berjalan dibelakangnya.
b. Prosesi
Prosesi yang berlangsung adalah sebagai berikut : Lampah Bisu akan
dimulai pada pukul 00.01 WIB, selepas bunyi lonceng Kyai Brajanala yang
terletak di Regol Keben berdenting sebanyak 12 kali sebagai tanda pergantian
hari. Meski prosesi jalan kaki mengelilingi beteng baru dimulai dini hari, biasanya
sejak pukul 20.00 WIB masyarakat sudah berduyun-duyun memadati pelataran
Keben. Kemudian pada pukul 22.00 WIB akan ada semacam prosesi dan
persiapan yang dilakukan oleh abdi dalem guna mempersiapkan jalannya acara.
Dipimpin oleh kerabat keraton Yogyakarta dan Pakualaman datang didampingi
empat orang abdi dalem.
Setelah kata sambutan dan memanjatkan doa, upacara pelepasan lalu
dimulai. Kerabat keraton diwakilkan GBPH menyerahkan bendera merah putih
kepada pemimpin pelaksana sebagai tanda dimulainya ritual mubeng beteng.
Barisan mulai berjalan. Di barisan depan ada delapan orang pembawa bendera
Merah Putih, Dwaja Budi Wadu Praja, Bangun Tulak, Pandhan Binetot, Pare
Anom, Padang Ngisepsari, dan Megakampak. Barisan berikutnya adalah puluhan
abdi dalem. Menyusul di belakangnya, ribuan masyarakat Jogja yang antusias
mengikuti ritual.
Selama berjalan kaki mengitari benteng keraton sejauh kurang lebih 5
km, peserta tidak boleh berbicara, makan, maupun merokok. Mereka harus
berjalan sambil berdiam diri, merefleksikan apa yang telah dilakukan pada satu
tahun ke belakang dan berdoa untuk memohon kebaikan di tahun-tahun
mendatang.
c. Lokasi
Ritual dilakukan dengan berkeliling dari Kompleks Keben, Jalan
Kauman, Jalan Wahid Hasyim, Pojok Beteng Kulon, Jalan MT. Haryono, Jalan
Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, menuju Alun-Alun Utaran, hingga kembali
lagi ke Kompleks Keben. Jalan tempat dilangsungkannya Lampah Bisu Mubeng
Beteng terletak di pusat Kota Yogyakarta sehingga mudah dijangkau. Hanya saja,
berhubung ritual ini dilaksanakan dini hari maka sudah tidak ada angkutan umum
yang beroperasi, melainkan hanya taksi dan becak. Bagi wisatawan yang
menginap di wilayah Malioboro dapat berjalan kaki menuju Alun-alun Utara
untuk menyaksikan upacara ini.
Ritual yang masih dilaksanakan sampai sekarang ini diikuti oleh
masyarakat dari berbagai kalalngan tanpa mengenal status atau kedudukan, usia,
maupun asal kota. Meski ritual ini sudah berlangsung secara turun temurun sejak
zaman dahulu, masyarakat yang mengikuti ritual ini setiap tahunnya terus bertambah
dan bukan hanya dilakukan para priayi sepuh yang berasal dari Yogyakarta. Ada pula
masyarakat yang sengaja datang khusus mengikuti tradisi ini yang berasal dari kota
lain sekitar Yogyakarta seperti Boyolali, Klaten, Solo, Magelang, Semarang bahkan
Cilacap. Para peserta Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng harus merefleksikan apa
yang telah dilakukan selama satu tahun kebelakang dan berdoa untuk kebaikan
ditahun yang akan datang. Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng akan berakhir di
Alun-Alun Utara, dan kemudian kembali lagi ke Regol Keben, setelah itu barulah
para peserta Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng kembali kerumahnya masingmasing. Meski hanya berupa jalan kaki di malam hari mengitari beteng, acara ini
dapat menyedot perhatian banyak warga, baik warga yang tertarik ingin bergabung
maupun warga yang penasaran hanya ingin sekadar menyaksikan ritual ini.
C. Penutup
Meskipun Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng hanyalah sebuah ritual
berjalan kaki mengitari pusat sebagai perayaan tahun baru Jawa, namun Ritual
Lampah Bisu Mubeng Benteng ini masih sangat diminati oleh para warga Yogyakarta
dan juga dapat menarik perhatian wisatawan dalam dan luar negri. Tak heran bila
malam 1 Sura di kota Yogyakarta ini akan dipadati oleh para pengunjung yang ingin
melihat secara langsung Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng.
Selain sebagai tradisi yang harus dilestarikan, pada pelaksanaan lampah
bisu ada banyak makna dari prosesi mubeng beteng yang dapat membuat manusia
menjadi bijaksana dan dekat dengan Sang Pencipta. Sebagian masyarakat percaya
lewat tradisi ini, dia meminta keselamatan dan berkah Sang Pencipta lewat laku
prihatin yang disimbolkan.
RITUAL “LAMPAH BISU MENGELILINGI BENTENG”
MEMPERINGATI 1 SURA DI KOTA YOGYAKARTA
Sabitta Tara Archyanti
C0708046
JURUSAN DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
Ritual “Lampah Bisu Mengelilingi Benteng” Memperingati 1 Sura di Kota Yogyakarta
Indonesia yang kaya akan budaya dan adat istiadat memang tak akan bisa lepas
dari peninggalan adat yang diwariskan oleh para leluhur. Hal ini juga dimiliki oleh kota
Yogyakarta, sebagai salah satu kota di Indonesia yang terkenal dengan budayanya.
Yogyakarta, kota istimewa dengan sejuta pesona yang sangat membudaya dan sanggup
melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah para leluhur sampai saat ini. Di kota ini,
budaya lokal dan budaya global berbaur menjadi satu dan menciptakan harmoni tersendiri. Di
Yogyakarta, semua mendapat tempat dan porsi yang sama untuk terus hidup dan berkembang.
Salah satu dari sekian banyak tradisi yang masih berkembang di Yogyakarta adalah Ritual
Lampah Bisu Mubeng Beteng. Ritual ini rutin dilaksanakan setiap malam 1 sura (kalender
Jawa) yang bertepatan dengan malam tahun baru Hijriah, sebagai ajang untuk refleksi diri di
hadapan Sang Pencipta.
Bagi masyarakat Jawa, Satu Suro merupakan penanda dimulainya kehidupan baru.
Manusia diingatkan kembali atas kebesaran Tuhan sebagai empunya kehidupan. Kita
diingatkan dari mana asal mulanya (sangkan paraning dumadi). Oleh karena itu, masyarakat
Jawa selama bulan Suro akan banyak melakukan kewajiban tirakat. Tirakat atau menjalani
keprihatinan adalah upaya masyarakat Jawa untuk melakukan pembersihan diri, perenungan
atau introspeksi, mengucap syukur, serta berharap akan mendapatkan berkah (ngalap
berkah).
Tirakat juga dipercaya mampu mempengaruhi jiwa. Seseorang menjadi lebih
sabar dalam mengendalikan emosi, serta nafsu. Juga menjadi lebih arif dan mampu
memaksimalkan energi saat persoalan datang dalam hidup. Bentuk tirakat bisa bermacammacam misalnya mutih, berpuasa menahan haus dan lapar dan disaat malam tiba atau jelang
matahari terbit hanya diperbolehkan mengkonsumsi air putih dan nasi putih. Ada juga ngeruh
atau tidak makan segala sesuatu yang memiliki nyawa seperti daging. Sebab, daging diyakini
dapat meningkatkan nafsu pemakannya.
Bulan Suro juga dipandang bulan baik untuk melakukan jamasan yakni, pencucian
pusaka seperti keris, kereta, dan perangkat gamelan. Ritual Jamasan biasanya dilakukan di
hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. Di bulan yang sama, beberapa desa juga akan
menyelenggarakan upacara bersih desa atau Ruwat Bumi.
A. Sejarah
Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini bukan tradisi yang diciptakan
oleh keraton, melainkan sudah tradisi asli masyarakat Jawa yang berkembang sejak
abad ke-6 Sebelum muncul kerajaan Mataram – Hindu. Tradisi ini dikenal dengan
nama “muser” atau “munjer” yang berarti mengelilingi pusat. Pusat yang dimaksud
adalah pusat wilayah desa. Ketika pedesaan berkembang menjadi kerajaan muser pun
berubah menjadi tradisi mengelilingi wilayah pusat kerajaan.
Tradisi mubeng benteng kemudian dilanjutkan pada masa Kerajaan
Mataram (Kotagede). Kala itu prajurit ditugaskan untuk berjaga dan mengelilingi
benteng guna menjaga keraton dari serangan musuh. Kemudian setelah kerajaan
membangun parit di sekeliling benteng, tugas keliling dialihkan kepada abdi dalem
keraton. Dalam menjalankan tugasnya, para abdi dalem ini diam membisu sambil
membaca doa-doa di dalam hati agar diberi keselamatan. Hal inilah yang kemudian
dilakukan hingga saat ini. Setiap malam 1 Sura, abdi dalem keraton dan ribuan warga
turut serta berjalan mengelilingi benteng keraton Yogyakarta tanpa mengucapkan
sepatah katapun sebagai bentuk laku tirakat.
B. Pelaksanaan Lampah Bisu pada Masa Sekarang
a. Keunikan
Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng yang rutin dilaksanakan setiap
malam 1 Sura ini terbuka untuk siapa saja, tanpa perlu membayar atau mendaftar
atau pun tak perlu menggunakan pakaian pranakan lengkap seperti abdi dalem,
dan tak perlu melakukan pantangan ini dan itu. Peserta cukup datang ke Pelataran
Keben Keraton pada malam 1 Sura dan mengikuti Ritual Lampah Bisu Mubeng
Benteng ini bersama rombongan abdi dalem keraton.
Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini dipimpin oleh para abdi dalem
yang berjalan di depan sambil membawa bendera dan juga panji-panji keraton,
teplok atau lampu dan juga kemenyan. Setelah barisan abdi dalem barulah
masyarakat atau siapapun yang ingin mengikuti Ritual Lampah Bisu Mubeng
Benteng ini berjalan dibelakangnya.
b. Prosesi
Prosesi yang berlangsung adalah sebagai berikut : Lampah Bisu akan
dimulai pada pukul 00.01 WIB, selepas bunyi lonceng Kyai Brajanala yang
terletak di Regol Keben berdenting sebanyak 12 kali sebagai tanda pergantian
hari. Meski prosesi jalan kaki mengelilingi beteng baru dimulai dini hari, biasanya
sejak pukul 20.00 WIB masyarakat sudah berduyun-duyun memadati pelataran
Keben. Kemudian pada pukul 22.00 WIB akan ada semacam prosesi dan
persiapan yang dilakukan oleh abdi dalem guna mempersiapkan jalannya acara.
Dipimpin oleh kerabat keraton Yogyakarta dan Pakualaman datang didampingi
empat orang abdi dalem.
Setelah kata sambutan dan memanjatkan doa, upacara pelepasan lalu
dimulai. Kerabat keraton diwakilkan GBPH menyerahkan bendera merah putih
kepada pemimpin pelaksana sebagai tanda dimulainya ritual mubeng beteng.
Barisan mulai berjalan. Di barisan depan ada delapan orang pembawa bendera
Merah Putih, Dwaja Budi Wadu Praja, Bangun Tulak, Pandhan Binetot, Pare
Anom, Padang Ngisepsari, dan Megakampak. Barisan berikutnya adalah puluhan
abdi dalem. Menyusul di belakangnya, ribuan masyarakat Jogja yang antusias
mengikuti ritual.
Selama berjalan kaki mengitari benteng keraton sejauh kurang lebih 5
km, peserta tidak boleh berbicara, makan, maupun merokok. Mereka harus
berjalan sambil berdiam diri, merefleksikan apa yang telah dilakukan pada satu
tahun ke belakang dan berdoa untuk memohon kebaikan di tahun-tahun
mendatang.
c. Lokasi
Ritual dilakukan dengan berkeliling dari Kompleks Keben, Jalan
Kauman, Jalan Wahid Hasyim, Pojok Beteng Kulon, Jalan MT. Haryono, Jalan
Brigjen Katamso, Jalan Ibu Ruswo, menuju Alun-Alun Utaran, hingga kembali
lagi ke Kompleks Keben. Jalan tempat dilangsungkannya Lampah Bisu Mubeng
Beteng terletak di pusat Kota Yogyakarta sehingga mudah dijangkau. Hanya saja,
berhubung ritual ini dilaksanakan dini hari maka sudah tidak ada angkutan umum
yang beroperasi, melainkan hanya taksi dan becak. Bagi wisatawan yang
menginap di wilayah Malioboro dapat berjalan kaki menuju Alun-alun Utara
untuk menyaksikan upacara ini.
Ritual yang masih dilaksanakan sampai sekarang ini diikuti oleh
masyarakat dari berbagai kalalngan tanpa mengenal status atau kedudukan, usia,
maupun asal kota. Meski ritual ini sudah berlangsung secara turun temurun sejak
zaman dahulu, masyarakat yang mengikuti ritual ini setiap tahunnya terus bertambah
dan bukan hanya dilakukan para priayi sepuh yang berasal dari Yogyakarta. Ada pula
masyarakat yang sengaja datang khusus mengikuti tradisi ini yang berasal dari kota
lain sekitar Yogyakarta seperti Boyolali, Klaten, Solo, Magelang, Semarang bahkan
Cilacap. Para peserta Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng harus merefleksikan apa
yang telah dilakukan selama satu tahun kebelakang dan berdoa untuk kebaikan
ditahun yang akan datang. Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng akan berakhir di
Alun-Alun Utara, dan kemudian kembali lagi ke Regol Keben, setelah itu barulah
para peserta Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng kembali kerumahnya masingmasing. Meski hanya berupa jalan kaki di malam hari mengitari beteng, acara ini
dapat menyedot perhatian banyak warga, baik warga yang tertarik ingin bergabung
maupun warga yang penasaran hanya ingin sekadar menyaksikan ritual ini.
C. Penutup
Meskipun Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng hanyalah sebuah ritual
berjalan kaki mengitari pusat sebagai perayaan tahun baru Jawa, namun Ritual
Lampah Bisu Mubeng Benteng ini masih sangat diminati oleh para warga Yogyakarta
dan juga dapat menarik perhatian wisatawan dalam dan luar negri. Tak heran bila
malam 1 Sura di kota Yogyakarta ini akan dipadati oleh para pengunjung yang ingin
melihat secara langsung Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng.
Selain sebagai tradisi yang harus dilestarikan, pada pelaksanaan lampah
bisu ada banyak makna dari prosesi mubeng beteng yang dapat membuat manusia
menjadi bijaksana dan dekat dengan Sang Pencipta. Sebagian masyarakat percaya
lewat tradisi ini, dia meminta keselamatan dan berkah Sang Pencipta lewat laku
prihatin yang disimbolkan.