Kritikal Buku KEBENARAN ILMIAH dan TEORI

KEBENARAN ILMIAH dan TEORI KEBENARAN
Oleh: Siti Fatimah Sitepu
Sastra Indonesia 2011
Universitas Negeri Medan
A. Pandangan Tentang Kebenaran Ilmiah
Manusia sebagai subjek yang mengetahui hakikat kebenaran terhadap suatu objek
berkembang karena kreativitas menusia mencapai puncak pada zaman tertentu. Menurut
Semiawan, dkk (1999: 76), berpendapat bahwa setiap evolusi ilmu selalu dimulai dengan
suatu bahwa intelektual (intellectual exercise) oleh kelompok ilmuan tertentu yang
menumbuhkan suatu gagasan baru kemudian berkembang menjadi suatu konsep baru dan
kemnudia berkembang menajdi sutau konsep atau pola pengetahuan baru yang sebelumnya
tidak ada ataupun tidak diharapkan akan ada; suatu tindakan kreatif yang bersumber dari
suatu inovatif,bertolak dari masukan ilmu yang sudah ada sebagai batu loncatan tranformasi
fundamental”. Munculnya berbagai teori ilmu (sciense) karena manusia dengan demensi
kreatifnya mencapai puncak pembicaraan tentang apa yang disebut kebenaran ilmiah.
Menurut Lincoln dan Cuba (1985: 14) sebagaimana pendapat Julienne Ford dalam
Paradigms and Fairy Tales (1975) yang mengemukakan bahwa istilah kebenaran atau truth
(T) bisa memiliki arti yang berbeda yang disimbolkan dengan T1, T2, T3, T4 (Supriadi,
1998).
Kebenaran pertama (T1) adalah kebenaran metafisik. Sesungguhnya kebenaran ini
tidak bisa diuji kebenarannya (baik melalui justifikasi maupun falsifikasi/kritik) berdasarkan

norma eksternal seperti kesesuaian dengan alam, logika deduktif atau standart-standart
perilaku prosefional. Kebenaran metafisik merupakan kebenaran yang paling mendasar dan
puncak dari seluruh kebenaran (basic, ultimate truth), karena itu harus diterima apa adanya
(given for granted). Misalnya kebenaran Iman dan doktrin-doktrin absolut agama
Kebenaran kedua (T2) adalah kebenaran etik yang merujuk kepada perangkat standart
moral atau profesioanl tentang perilaku yang pantas dilakukan, termasuk kode etik (code of
conduct. Seseorang dikatakan benar ecara etik bila ia berperilaku sesuai dengan standart
perilaku itu. Sumber T2 bisa dari T1 atau dari norma sosial budaya suatu kelompok
1

masyarakat atau komunitas profesi tertentu. Kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi
standar etika universal) dan ada pula yang relatif.
Kebenaran ketiga (T3) adalah suatu kebenaran logika. Sesuatu dianggap benar apabila
secara logik atau matematis konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai
benar, (dalam pengertian T3) atau sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan
metafisik (T1). Aksioma metafisik yang menyatakan bahwa sudut-sudut segitiga sama sisi
masing-masing 60 derajat, atau 1+1= 2, adalah contoh kebenaran logik. Peran rasio atau
logika sanagt dominan dalam T3. Meskipun demikian, sebagaimana pada bagian kebenaran
T2, kebenarab ini tidak terlepas dari konsensus orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Bahkan 1 + 1 = 2 pun pada dasarnya adalah hasil konsensus, mengapa tidak 1 + 1 = 3? Tapi

karena konsessus itu logis maka diterima secara bersama.
Kebenaran keempat (T4) adalah kebenaran empirik yang lazimnya dipercayai
melandasi pekerjaan ilmuan dalam melakukan penelitian. Sesuai (kepercayaan asumsi, dalil,
hipotesis, proposisi ) dianggap benar apabila konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti
dapat diverifikasi, dijastifikasi atau kritik. Dalam konteks ini, teori korespondensi anatara
teori dengan fakta antara pengetahuan a prioriti dengan pengetahuan a posteriori (demikian
Immanuel Kant menyebutnya), menjadi persoalan utama.
Di antara ke emapat kenis kebenaran menurut Ford di atas, maka dalam kajian
filsafat ilmu kajian yang difokuskan adalah terhadap kebenaran empirik (T4) yang di sebut
juga kebenaran ilmiah, tentu saja dengan tidak mengesampingkan kebenaran pertama, kedua,
dan ketiga. Kebenaran ilmiah yang melibatkan subjek (manusia, knower, observer) dengan
objek (fakta, realitas, dan known) maka ada tiga teori utama tentang kebenaran, yaitu:
1. Korenpondensi
2. Koherensi, dan
3. Pragmatisme
B. Teori Kebenaran
a. Teori Korespondesni
Teori korespondensi menyatakan bahwa kebenaran tersimpul dalam realitas
interaksional antara aku “knower” dengan engkau “known” antara teori dengan fakta empiris.
Adapun moto teori ini adalah “truth is fidelity to objective reality” (kebenaran setia/ tunduk

pada realitas objektif). Implikasi dari teori ini ialah hakikat pencarian kebenaran ilmiah,

2

bermuara kepada usaha yang sungguh-sungguh untuk mencari relasi yang senantiasa
konsisten. Teori ini erat hubungannya dengan kebenaran empirik (T4).

b. Teori Koherensi
Teori ini berpendapat bahwa suatu kebenaran adalah apabila ada koherensi dari arti
tidak kontradiktif pada saat bersamaan antara dua atau lebih logika. Tidak ada salah dan
benar sekaligus, melainkan keduanya bersifat mutually exclusive (yang satu menegasikan
yang lain, atau yang satu meniadakan yang lain. Sumber kebenaran menurut teori ini adalah
logika (manusia) yang secara inheren memiliki koherensi. Kebenaran logis mendahului
kebenaran empiris. Teori koheren bermuara kepada kebenaran logis (T3).
c. Teori Pragmatisme
Teori ini berpandangan bahwa kebenaran mengacu kepada sejauh manakah sesuatu itu
berfungsi dalam kehidupan manusia. Alur pemikiran pragmatisme tampak sejalan dengan
pemikiran filsafat di atas. Tetapi dalam ketuhanan, pragmatisme cenderung skeptis dan
bahkan agnostis (ragu-ragu). Penekanan pada nilai guna bagi kehidupan duniawi tanpa
memandang nilai-nilai intrinsiknya mengiring penganut teori ini pada posisi dan sikap

menghalalkan segala cara. Di sini muncul pandangan bahwa kebenaran terlepas dari kaitan
transendentanya.
Dalam buku ini ketiga teori tentang kebenaran, teori korespondensi di gunakan untuk mencari
kebenaran empirik yang merupakan kajian kebenaran dalam filsafat ilmu, sedangkan teori
koherensi bermuara tentang kebenaran logis, sedangkan pragmatisme bila terus di anut
akhirnya akan berdampak pada asas ketuhanan.
Dalam menentukan kebenaran banyak anggapan yang berbeda antara satu pendapat
dengan pendapat lainnya. Benar menurut Randall dan Bucher dalam Mundiri (2001) pada
dasarnya adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Lain pula menurut Jujun (1998)
adalah pernyataan tanpa ragu. Menurut saya benar adalah bila sesuai dengan syar’i Islam dan
terbukti tidak merugikan siapapun. Namun untuk menentukan kebenaran suatu pengetahuan
menurut Amsal Bakhtiar dan Ihsan Fuad ada tiga teori pula yang dapat dijadikan sebagai
kreteria. Ketiga teori tersebut sama seperti di atas, hanya dalam buku Filsafat Ilmu karangan
3

Amsal Bakhtiar, teori korespondensi digagas oleh bernard Russell, dan teori pragmatisme
oleh Peirce. Di cantumkan pula cara tahapan menemukan kebenaran. Tentu dengan
berasaskan kepada teori diatas.
Bila menurut Fuad Ihsan, sebuah teori harus berasaskan kepada hal yang empat, yaitu
Agama sebagai Teori Ketuhanan. Bila kebenaran ilmiah hanya berasaskan kepada tida teori

diatas sangat tidak memberi kepuasan. Karena dalam asas pragmatisme bila suatu kebenaran
akan dianggap benar bila ilmu tersebut terus digunakan. Bagaimana bila semua kebenaran
yang kita anut merupakan hal yang salah dalam kebenaran agama? Bagaimana pula bila
penganut tersebut tidak memiliki pandangan tentang agama? Namun dalam kehidupan
haruslah terdapat keseimbangan, antara ilmu ilmiah dengan agama. Bila kebenaran ilmiah
adalah sesuatu yang berdasarkan metode, maka problem kebenaran ilmiah menurut Aholiab
Wathloly, memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Kebenaran ini berhubungan
dengan manusia, melekat pada sesuatu yang ada, dan terdapat melekat dala tutur kata.
Bila menurut Fort, kebenaran ilmiah berhubungan dengan asas korespondensi, maka
menurut Keraf A dan Mikhael Dua (2000), menyatakan bahwa kebenaran ilmiah mempunyai
sekurang-kurangnyaa tiga sifat dasar, yaitu rasional logis, isi empiris, dan dapat diterapkan
(pragmatis).
Menurut Jujun Suriasumantri, kebenaran adalah apabila berdasarkan kepada tiga asas,
namun hanya dua asas yang digunakan untuk berfikir secara ilmiah, atau kebenaran ilmiah,
yaitu teori koherensi dan korespondensi. Sedangkan pragmatisme digunakan untuk
pengetahuan alam yang berguna untuk menafsirkan gejala-gejala alam. Pengetahuan ilmiah
menurut asas ini tidak akan betahan lama, lalu bagaiman bila manusia terus berusaha mencari
kebenaran dengan asas ini hingga menggunakan segala cara? Maka kehidupan tidak akan
mengikuti asas ketuhanan lagi.
C. Kesimpulan

Kebenaran adalah sesuatu yang berbeda menurut setiap pendangan manusia.
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran dengan menggunakan metode sistematis, manusia
sebagai subjek, dan objek yang rasional, hingga mendapatkan kebenaran namun tidak
bertentangan dengan asas ketuhanan. Kebenaran ilmiah dapat di uji dengan menggunakan
teori korespondensi, koherensi, dan ketuhanan. Sedangkan teori pragmatisme dapat
digunakan hanya sebagai penerapan, bukan panutan.
4

DAFTAR PUSTAKA
Emdraswara, Suwardi. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta. PT. Buku Seru
Ihsan. Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta. Rineka Cipta
Keraf, Sonny dan Mikael Dua. 2011. Filsafat Ilmu, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan
Filosofis. Yogyakarta. Kanisius.
Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta PT. Raja Grafindo.
Suriasumantri, Jujun S. 1999. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer.
Mursini dan Muhammad Surip. 2010. Filsafat Ilmu, Pengembang Wawasan Keilmuan Dalam
Berfikir Kritis.
Endang Saifuddin Ansari. 1987. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya : Bina Ilmu
http://filsafatindonesia1001.wordpress.com/2011/08/03/epistemologi-filsafat-pengetahuan/
http://dts.searchresults.com/sr?src=ieb&appidfilsfatalgikakbnaranDuniaPintardanCemerlang

Teori Pengetahuan.htm

5