D 1.3 ampul riboflavin fix
PROPOSAL PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FARMASI SEDIAAN STERIL
AMPUL RIBOFLAVIN HCL
Disusun oleh:
Kelompok D1-3
Imelda Dian Alvita
2014210113
Jatmiko Andrawino
2014210124
Kevin Christopher
2014210128
Lintang Pambuko WP
2014210135
Maratus Solikha
2014210140
Muthi’ah Husna
2014210152
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
2017
I.
TUGAS
Ampul Riboflavin HCl.
1
II.
PENDAHULUAN
Vitamin adalah sekelompok senyawa organic berbobot molekul kecil yang
memiliki fungsi vital dalam metabolisme setiap organisme, yang tidak dapat
dihasilkan oleh tubuh. Vitamin adalah kofaktor dalam reaksi kimia yang
dikatalisis oleh enzim. Pada dasarnya vitamin digunakan tubuh untuk dapat
tumbuh dan berkembang secara normal. Vitamin memiliki peranan spesifik di
dalam tubuh dan dapat pula memberikan manfaat kesehatan. Tubuh hanya
memerlukan vitamin dalam jumlah sedikit, tetapi jika kebutuhan ini diabaikan
maka metabolisme di dalam tubuh akan terganggu karena fungsinya tidak dapat
digantikan oleh senyawa lain. Di samping itu, asupan vitamin juga tidak boleh
berlebihan karena dapat menyebabkan gangguan metabolisme tubuh.
Riboflavin atau vitamin B2 sangat penting untuk beberapa fungsi tubuh.
Riboflavin diperlukan untuk respirasi pada jaringan. Riboflavin diubah menjadi
bentuk koenzim, yaitu riboflavin 5-phosphate (flavin mononucucleotide
[FMN]). FMN juga diubah ke bentuk koenzim yang lain, yaitu flavin adenine
dinucleotide (FAD). Koenzim ini berperan sebagai molekul pembawa hidrogen
untuk beberapa enzim yang terlibat dalam reaksi redoks pada substrat organik
dan
metabolisme
intermediary.
Defisiensi
riboflavin
(ariboflavinosis)
menyebabkan gejala klinis berupa cheilosis, angular stomatitis, glossitis,
keratitis, perubahan skrotal kulit, perubahan okuler, dan seborrheic dermatitis.
Normositis, normochromic anemia, dan neuropathy terjadi pada defisiensi yang
parah. Pemberian riboflavin mengobati gejala-gejala defisiensi tersebut. (Drug
Information 88 hal. 2101)
III. DATA PRE FORMULASI
1. Zat Aktif dan Bahan Pembantu
a. Zat Aktif
Riboflavin
Nama Zat aktif
Rumus Molekul
Bobot Molekul
Riboflavin (Vitamin B2)
C17H20N4O6
376,36
2
Rumus Struktur
Pemerian
Serbuk hablur; kuning hingga kuning jingga; bau
lemah. Melebur pada suhu lebuh kurang 280º.
Larutan jernihnya netral terhadap lakmus. Jika
kering tidak begitu dipengaruhi oleh cahaya
terdifusi, tetapi dalam larutan sangat cepat terjadi
peruraian, terutama jika ada alkali. (Farmakope
Kelarutan
Indonesia V hal. 1091)
Sangat sukar larut dalam air (1: 1000 sampai
10.000), dalam etanol, dan dalam larutan natrium
klorida 0,9%; sangat mudah larut dalam larutan
alkali encer; tidak larut dalam eter dan dalam
Khasiat
kloroform. (Farmakope Indonesia V hal. 1091)
Untuk mencegah dan mengobati gejala defisiensi
riboflavin seperti cheilosis, angular stomatitis,
glossitis,
keratitis,
perubahan
skrotal
kulit,
perubahan okuler, dan seborrheic dermatitis.
Dosis
OTT
(Drug Information 88 AHFS, hal 2101)
5 mg/mL (IONI 2000 hal. 346)
Larutan alkali dan garam logam
Stabilitas
(Martindale 28 hal. 1642)
Dengan adanya cahaya akan terurai. (Martindale
Sterilisasi
pH sediaan
Literatur
28 hal. 1642)
Autoklaf (Martindale 28 hal. 1642)
4,5 sampai 7 (Martindale 28 hal. 1642)
Drug Information 88 AHFS hal. 2101-2102
berat.
Farmakope Indonesia V tahun 2014 hal. 1091
Martindale 28 hal. 1642
IONI 2000 hal. 346
b. Data Eksipien
3
Nikotinamid
Nama Zat
Rumus Molekul
Bobot Molekul
Pemerian
Nikotinamid
C6H6N2O
122,12
Serbuk hablur; putih; tidak berbau atau praktis
tidak berbau; rasa pahit. (Farmakope Indonesia
Kelarutan
V hal. 946)
Mudah larut dalam air (1:1) dan etanol (1:1,5);
larut dalam gliserin. (Farmakope Indonesia V
Penggunaan
Konsentrasi
hal. 946)
Penambah kelarutan zat aktif
100 mg/mL (Drug Information 88 AHFS hal.
pH Zat
OTT
2095)
6 – 7,5 (Farmakope Indonesia V hal. 946)
Agen pengoksidasi, alkali, dan asam kuat. (Drug
Sterilisasi
Literatur
Information 88 AHFS hal. 2095)
Autoklaf atau Filtrasi (Martindale 28 hal. 1650)
Farmakope Indonesia edisi V hal. 946
Drug Information 88 AHFS hal. 2095
Martindale 28 hal. 1650
Natrium Metabisulfit
Nama Zat
Rumus Molekul
Bobot Molekul
Pemerian
Natrium Metabisulfit
Na2S2O5
190,1
Kristal; tidak berwarna atau putih; berbau seperti
sulfur dioksida; rasa asam. (Handbook of
Kelarutan
Pharmaceutical Excipients 6th edition hal. 654)
Mudah larut dalam air; larut dalam gliserin dan
etanol.
(Handbook
of
Pharmaceutical
Penggunaan
Excipients 6th edition hal. 654)
Antioksidan (Handbook of Pharmaceutical
Konsentrasi
Excipients 6th edition hal. 654)
0,01 – 1,0% ((Handbook of Pharmaceutical
Ph
Excipients 6th edition hal. 654)
3,5 – 5 untuk larutan air 5% b/v pada suhu 20º C
(Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th
OTT
edition hal. 654)
Bereaksi dengan simpatomimetik dan obat lainnya
4
yang
berupa
turunan
orto-
atau
para-
hidroksilbenzil alkohol untuk membentuk turunan
asam sulfonat yang tidak mempunyai efek
farmakologi.
Natrium
Metabisulfit
juga
inkompatibel
dengan
kloramfenikol
dan
fenilmerkuri asetat yang diautoklaf. (Handbook
of Pharmaceutical Excipients 6th edition hal.
Stabilitas
Sterilisasi
Literatur
654)
Jika terkena
udara
teroksidasi
menjadi
hancurnya
bentuk
dan
lembab,
natrium
kristal.
sulfat
perlahan
dengan
(Handbook
of
Pharmaceutical Excipients 6th edition hal. 654)
Autoklaf
Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition
hal. 654
Aqua Pro Injeksi
Pemerian
Kegunaan
Stabilitas
Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau
Air untuk injeksi
Mudah terurai jika berhubungan dengan zat
organik yang dapat teroksidasi, dengan logam
tertentu dengan senyawanya atau dengan alkali.
Literatur
(Farmakope Indonesia V hal. 64)
Farmakope Indonesia V hal. 64
c. Teknologi Sediaan Farmasi
1. Sediaan Injeksi Ampul
Injeksi adalah sediaan berupa larutan, emulsi, suspensi, atau sebruk yang harus
dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral,
suntikan dengan cara menembus, atau merobek jaringan dalam atau melalui kulit
atau selaput lendir. Suspensi tidak dapat diberikan karena bahaya hambatan
pembuluh kapiler.
Injeksi merupakan terapi parenteral. Terapi parenteral memiliki beberapa
keuntungan penting dibandingkan enteral. Sejak pemilihan tempat pemakaiannya,
dapat ditetapkan saat muncul dan lamanya efek. Pada umumnya pemberian dengan
cara parenteral dilakukan bila diinginkan kerja obat yang cepat seperti pada keadaan
gawat dan bila penderita tidak bisa dapat diajak bekerja sama dengan baik, tidak
sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima pengobatan melalui mulut (oral) atau
bila obat itu sendiri tidak efektif terhadap pemberian dengan cara lain.Injeksi diracik
5
dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat kedalam
wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda. (Farmakope Indonesia III hal. 13)
Keuntungan sediaan parenteral: (Sediaaan Farmasi Steril Goeswin Agoes hal.
12)
1. Terapi parenteral diperlukan untuk obat yang tidak efektif idak secara oral
atau akan rusak oleh sekresi saluran cerna seperti insulin, hormon lain dan
antibiotika.
2. Pengobatan untuk pasien yang tidak koperatif atau tidak sadar harus diberikan
melalui injeksi.
3. Permberian obat secara parental dapat pula memberikan efek lokal jika
diperlukan.
Kerugian sediaan parental: (Sediaan Farmasi Steril Goeswin Agoes hal. 13)
1. Sediaan diberikan oleh tenaga ahli
2. Membutuhkan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan pemberian obat
menurut rute lain
3. Begitu obat diberikan secara parental sulit untuk membalikan atau mengurangi
efeak fisiologisnya
Karakteristik sediaan parental: (Sediaan Farmasi Steril Goeswin Agoes hal. 15)
1. Aman secara toksikologi.
2. Steril, bebas dari kontaminasi mikroorganisme, baik bentuk vegetative,
patogen, spora dan non patogen
3. Bebas dari kontaminasi pirogen.
4. Bebas dari partikel partikulat asing.
5. Stabil, tidak hanya secara fisika dan kimia, tapi juga secara
mikrobiologi.
Persyaratan untuk sediaan injeksi dalam ampul:
Termasuk dalam sediaan parentral dengan volume kecil : 1 ml, 2 ml, 3 ml,
5 ml, dan 20 ml.
Pada produk yang dikemas dalam bentuk kemasan dosis tunggal (unit
dose) atau kemasan multidosis bertekanan tinggi tidak diberikan
pengawet
Rute pemberian secara intramuscular, intravena, intradermal, subkutan,
intraspinal, intrasisternal dan intratekal
Wadah takaran tunggal.
6
(Buku pelajaran teknologi farmasi R. Voigt hal. 462)
Wadah yang digunakan untuk produk injeksi, salah satunya adalah ampul.
Ampul adalah wadah berbentuk silindris yang terbuat dari gelas yang memiliki
ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar. Ukuran nominalnya adalah 1, 2,
5, 10, 20 kadang-kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah wadah takaran
tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan pemakaian dalam satu
kali pemakaiannya untuk satu kali injeksi. Pelarut yang digunakan aqua pro
injeksi. Perlu pemberian antioksidan karena wadah yang digunakan dapat
tertembus oleh cahaya yang dapata menyebabkan zat aktif terurai. Ampul
disterilisasikan di dalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit,
sedangkan untuk tutup vial karet dalam autoklaf, pada suhu 115ºC - 116ºC
selama 30 menit.
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara dalam keadaan:
1. Tidak perlu pengawet karena merupakan takaran tunggal
2. Tidak perlu isotonis
3. Diisi melalui buret yang ujungnya disterilkan terlebih dahulu dengan
alkohol 70 %
4. Buret dibilas dengan larutan obat sebelum diisi
3. Farmakologi ( Farmakologi dan Terapi edisi V hal 772)
a.
Farmakologi
Sumber eksogen riboflavin diperlukan untuk respirasi jaringan.
Riboflavin dikonversi menjadi koenzim, riboflavin 5-fosfat [flavin
mononukleotida (FMN)]. FMN juga dikonversi ke koenzim lain, flavin
adenine dinukleotida (FAD). Koenzim ini bertindak sebagai molekul
operator hydrogen untuk enzim (flavoprotein) yang terlibat dalam
reaksi oksidasi-reduksi substrat organic dan dalam metabolism
perantara. Riboflavin juga secara tidak langsung terlibat dalam
menjaga integritas eritrosit. Defisiensi riboflavin (ariboflavinosis)
mengakibatkan sindrom klinik yang ditandai dengan keilosis, keratitis,
perubahan kulit skrotum, perubhan mata, dan dermatitis. Normositik,
anemia normokromik, dan neuropati terjadi pada defisiensi yang parah.
Tanda – tanda klinis defisiensi menjadi jelas setelah 3 – 8 bulan
overdosis asupan riboflavin tidak memadai.
7
b.
Farmakokinetika
Pemberian secara oral atau parenteral akan diabsorbsi dengan
baik dan didistribusi merata ke suluruh jaringan. Asupan yang
berlebihan akan dikeluarkan melalui urin dalam bentuk utuh. Dalam
tinja ditemukan riboflavin yang disintesis oleh kuman di saluran cerna,
tetapi tidak ada bukti nyata yang menjelaskan bahwa zat tersebut dapat
diabsorbsi melalui mukosa usus.
IV.
c.
Farmakodinamik
Pemberian riboflavin secara oral maupun parenteral tidak
memberikan efek farmakodinamik yang jelas.
d.
Indikasi
Untuk pencegahan dan terapi defisiensi vitamin B2.
e.
Kontraindikasi
Nefrolitiasis,
hipersensitivitas,
mengurangi
efektifitas
tetrasiklin, lincomycin, eritromisin, oxytetracycline, dan dexycycline.
f.
Efek Samping
Konsumsi riboflavin dapat menyebabkan urin memiliki warna
yang lebih kuning dari biasanya. Selain itu, riboflavin dapat
menyebabkan diare dan meningkatkan jumlah urin.
g.
Interaksi Obat
Laju dan tingkat absorpsi riboflavin dipengaruhi oleh
propantheline bromide. Administrasi oleh propantheline bromide
menunda laju absorpsi riboflavin namun meningkatkan jumlah yang
terserap, dengan cara meningkatkan waktu menetap riboflavin dalam
tempat absorpsi gastrointestinal. (Drug Information 88 AHFS hal.
2102)
FORMULA
1. Formula Rujukan
(U. S. Pharmacopeia 37 hal. 4567)
Tiap mL mengandung:
Riboflavin
8
Nikotinamid
Aqua Pro Injeksi
(Martindale 28 hal. 1642)
Tiap mL mengandung:
Riboflavin
Nikotinamid
Aqua Pro Injeksi
1. Formula Jadi
Riboflavin
5 mg/mL
Nikotinamid
100 mg/mL
Na. Metabisulfit
0,1%
Aqua pro injeksi
ad 20 mL
2. Alasan Pemilihan Bahan
1. Riboflavin
Riboflavin atau vitamin B2 sangat penting untuk beberapa
fungsi tubuh. Riboflavin diperlukan untuk respirasi pada
jaringan. Pemberian riboflavin mencegah dan mengobati gejalagejala defisiensi riboflavin.
2. Nikotinamid
Nikotinamid ditambahkan untuk membantu kelarutan riboflavin
dalam air (salting out).
3. Na. Metabisulfit
Penggunaan Na. Metabisulfit dalam sediaan ini berfungsi
sebagai antioksidan pada sediaan ini. Hal ini dikarenakan
senyawa riboflavin tidak stabil terhadap cahaya.
2. ALAT dan BAHAN
1.
ALAT:
2.
BAHAN:
1. Beaker glass
1. Riboflavin
2. Erlenmeyer
2. Nikotinamid
3. Corong glass
3. Natrium Metabisulfit
4. Ampul
4. Aqua Pro Injeksi
9
5. Gelas ukur
6. Kertas saring
7. Batang pengaduk
8. Spatula
9. Pinset
10. Kaca arloji
11. Pipet tetes
12. Penjepit besi
3. PEMBUATAN
-
Perhitungan
Rumus = {(n + kelebihan) x (v) + (2x3)} ml
n
= jumlah vial yang akan dibuat
v
= volume injeksi tiap ampul (ml)
2x3
= untuk pembilasan
Volume total 12 ampul = {(n + kelebihan) x (v) + (2x3)} ml
= {(10 + 2) x (1+0,1) + (2x3)} ml
= 19,2 ml ~ 20 ml
Total Riboflavin HCl = 5 mg/mL x 20 ml
= 100 mg
Konversi dengan Riboflavin:
=
BM base
x 100 mg
BM Riboflavin HCl
= 376,36 x 100 mg
412,82
= 91,17 mg ~ 92 mg
Total Nikotinamid
= 100 mg/mL x 20 mL
=2g
Total Na. Metabisulfit = 0,1% x 20 mL
= 0,02 g
Lar. aqua p.i
-
= ad 20 ml
Data Penimbangan Teoritis :
Bahan
Bobot Teoritis (mg)
10
-
Riboflavin
92
Nikotinamid
2000
Na. Metabisulfit
20
Aqua Pro Injeksi
ad 20 ml
Cara Kerja
Prinsip: Sterilisasi terminal.
1. Alat-alat yang akan digunakan dicuci bersih.
2. Beaker glass dikalibrasi ad 20 mL.
3. Semua alat yang digunakan disterilkan dengan cara yang sesuai
dengan literatur.
4. Dibuat aqua pro injeksi dengan cara air suling dipanaskan sampai
mendidih selama 30 menit, didinginkan.
5. Bahan–bahan yang digunakan ditimbang (Riboflavin, Nikotinamid,
Na. Metabisulfit).
6. Nikotinamid dilarutkan dengan sebagian aqua pro injeksi didalam
beaker glass yang telah dikalibrasi.
7. Ditambahkan riboflavin ke dalam beaker glass, diaduk ad larut.
8. Ditambahkan Na. Metabisulfit ke dalam beaker glass yang berisi
larutan zat aktif, diaduk ad larut.
9. pH sediaan dicek, jika pH berada pada range 4,5-7 lalu ditambahkan
aqua pro injeksi ad tanda kalibrasi.
10. Larutan disaring dengan kertas saring.
11. Dimasukkan larutan tersebut ke dalam ampul, masing-masing 1,1
mL menggunakan buret yang telah disterilkan terlebih dahulu.
(Dispensasi: menggunakan syringe)
12. Kemudian ampul ditutup dengan cara :
Cara tarikan yang merupakan cara terbaik yaitu dengan semburan
nyala api, diarahkan pada bagian tengah leher ampul. Setelah gelas
melunak, bagian atas leher dijepit dengan menggunakan sebuah
pinset (pada kerja manual) atau dilakukan dengan alat khusus
(masinel) kemudian ditarik keatas sehingga ampul dapat ditutup.
(Voight hal 469-470)
13. Dilakukan evaluasi In Proses Control (Uji Kejernihan dan
Keseragaman Volume)
11
14. Dilakukan sterilisasi akhir di dalam autoklaf pada suhu 121oC
selama 15 menit
15. Dilakukan evalusasi QC (Uji Sterilitas, Keseragaman Volume,
Kebocoran, Penetapan Kadar). (Dispensasi: Uji Sterilitas dan
Penetapan Kadar tidak dilakukan)
16. Diberi etiket dan dimasukkan ampul ke dalam kemasan.
-
Sterilisasi
No.
Alat yang Digunakan
Cara Sterilisasi
1
Beaker glass, Erlenmeyer,
Oven 1500C,
2
Corong glass, Pipet tetes
Gelas ukur, Kertas saring,
selama 1 jam
Autoklaf 1210C
FI V hal 1662
3
Ampul
Batang pengaduk, Spatula,
selama 15 menit
Direndam alkohol
Disinfection
Pinset,
selama
sterilitation
Kaca arloji,
30 menit
and
Penjepit besi
4
Pustaka
Waktu
Waktu
Mulai
Akhir
FI V hal 1663
preservation
Karet tutup botol vial, karet
Digodok dalam
vol 3 hal 225
Farmakope
tutup pipet tetes
air suling 30
Indonesia
menit
Edisi V, hal
5
Aqua Pro Injection
Didihkan selama
1359
FI V hal 64
6
Sterilisasi akhir
30 menit
Autoklaf 121oC
Martindale 28
selama 15 menit
hal 1642
4. EVALUASI
a.
In Proses Control (IPC)
1)
Uji pH ( Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1563)
Alat harus mampu menunjukan potensial dari pasangan elektrode dan untuk
pembekuan pH menggunakan potensial yang dapat diukur oleh sirkuit dengan
menggunakan ”pembakuan nol”, “asimetri”, atau “kalibrasi” dan harus mampu
mengontrol dalam perubahan dalam milivolt per perubahan unit pada pembacaan
pH melalui kendali “suhu” dan/atau kemiringan. Pengukuran dilakukan pada suhu
25°±2°, kecuali dinyatakan lain.
12
2)
Uji Kejernihan (Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1521)
Metode Visual
Lakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar dengan diameter
dalam 15-25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca netral.
Bandingkan larutan uji dengan larutan suspensi padanan yang dibuat segar,
setinggi 40 mm. Bandingkan kedua larutan di bawah cahaya yang terdifusi 5
menit setelah pembuatan suspensi padanan dengan tegak lurus ke arah bawah
tabung menggunakan latar belakang berwarna hitam. Difusi cahaya harus
sedemikian rupa sehingga suspensi padanan I dapat dibedakan dari air dan
suspensi padanan II dapat dibedakan dari suspensi padanan I. Larutan dianggap
jernih apabila sama dengan air atau larutan yang digunakan dalam pengujian
dengan kondisi yang dipersyaratkan, atau jika opalesen tidak lebih dari suspensi
padanan I.
3) Uji Keseragaman Volume (Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1526)
Isi alat suntik dapat dipindahkan kedalam gelas piala kering yang telah ditara,
volume dalam ml diperoleh dari hasil perhitungan berat berat dalam gram dibagi
bobot jenis cairan, isi dari 2 atau 3 wadah 1 ml atau 2 ml dapat digabungkan
untuk pengukuran dengan menggunakan jarum suntik kering terpisah untuk
mengambil isi tiap wadah. Isi dari 10 wadah atau lebih dapat ditentukan dengan
membuka wadah memindahkan isi secara langsung kedalam gelas ukur atau gelas
piala yang telah ditara.
b. Quality Control
1) Uji Keseragaman Volume (Farmakope Indonesia Edisi V. hal 1526)
Isi alat suntik dapat dipindahkan kedalam gelas piala kering yang telah ditara,
volume dalam ml diperoleh dari hasil perhitungan berat berat dalam gram dibagi
bobot jenis cairan, isi dari 2 atau 3 wadah 1 ml atau 2 ml dapat digabungkan
untuk pengukuran dengan menggunakan jarum suntik kering terpisah untuk
mengambil isi tiap wadah. Isi dari 10 wadah atau lebih dapat ditentukan dengan
membuka wadah, memindahkan isi secara langsung kedalam gelas ukur atau
gelas piala yang telah ditara.
2) Uji Sterilitas (Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1362)
13
Kecuali dinyatakan lain pada bab ini atau masing-masing monografi, gunakan
jumlah wadah seperti tertera pada tabel 3. Jika isi tiap wadah mencukupi (lihat
tabel 2) isi wadah dapat dibagi sama banyak dan ditambahkan pada media yang
sesuai. [Catatan: Lakukan uji sterilitas menggunakan dua atau lebih media yang
sesuai]. Jika isi wadah tidak cukup untuk masing-masing media, gunakan jumlah
dua kali dari yang tertera pada tabel 3. Pengujian terhadap contoh uji dapat
dilakukan menggunakan teknik penyaringan media atau inkubasi langsung ke
dalam media uji. Gunakan juga kontrol negatif yang sesuai. Teknik penyaringan
membran digunakan apabila sifat contoh sesuai, yaitu untuk sediaan yang
mengandung air dan dapat disaring, dan sediaan yang dapat dicampur dengan
atau yang larut dalam pelarut air atau minyak, dengan ketentuan bahwa pelarut
tidak mempunyai efek antimikroba pada kondisi pengujian.
3) Penetapan Kadar Riboflavin (Farmakope Indonesia V hal. 1091)
Larutan uji
Timbang seksama lebih kurang 50 mg zat, dimasukkan ke dalam labu tentukur
1000-ml yang berisi lebih kurang 50 ml air. Tambahkan 5 ml asam asetat 6 N dan
air secukupnya hingga lebih kurang 800 ml. Panaskan di atas tangas uap,
terlindung dari cahaya sambil sering dikocok sampai larut. Dinginkan hingga suhu
lebih kurang 25o, encerkan dengan air sampai tanda. Encerkan larutan secara
kuantitatif dan bertahap dengan air hingga sesuai dengan sensitifitas dari
fluorometer yang digunakan.
Larutan baku
Timbang seksama sejumlah riboflavin BPFI dan dengan cara yang sama buat
larutan hingga kadar setara dengan Larutan uji. Ukur intensitas fluoresensi pada
panjang gelombang lebih kurang 530 nm (lebih baik pada panjang gelombang
eksitasi lebih kurang 444nm). Segera setelah pembacaan, tambahkan lebih
kurang 10 mg natrium hidrosulfit P, aduk dengan pengaduk kaca hingga larut,
dan ukur lagi fluoresensinya. Perbedaan kedua pembacaan menunjukkan
intensitas fluoresensi Larutan baku. Dengan cara yang sama, ukur intensitas
fluoresensi dari Larutan uji yang ditetapkan pada lebih kurang 530 nm, sebelum
dan sesudah penambahan natrium hidrosulfit P. Hitung jumlah dalam µg
Riboflavin C17H20N4O6, per ml pada larutan uji dengan rumus:
14
C adalah kadar Riboflavin BPFI dalam µg per ml Larutan baku, Iu dan Is
berturut-turut adalah harga fluoresensi yang telah dikoreksi dari Larutan uji dan
Larutan baku.
Syarat : Riboflavin mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari
102,0% C17H20N4O6 , dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
4) Uji Kejernihan (Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1521)
Metode Visual
Lakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar dengan diameter
dalam 15-25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca netral.
Bandingkan larutan uji dengan larutan suspensi padanan yang dibuat segar,
setinggi 40 mm. Bandingkan kedua larutan di bawah cahaya yang terdifusi 5
menit setelah pembuatan suspensi padanan dengan tegak lurus ke arah bawah
tabung menggunakan latar belakang berwarna hitam. Difusi cahaya harus
sedemikian rupa sehingga suspensi padanan I dapat dibedakan dari air dan
suspensi padanan II dapat dibedakan dari suspensi padanan I. Larutan dianggap
jernih apabila sama dengan air atau larutan yang digunakan dalam pengujian
dengan kondisi yang dipersyaratkan, atau jika opalesen tidak lebih dari suspensi
padanan I.
5) Uji Kebocoran (CPOB 2013 hal. 39)
Sebelum dan sesudah kualifikasi, lakukan pemeriksaan kebocoran pada otoklaf
dengan memulai program uji kebocoran yang ada di menu komputer autoklaf.
Pada saat terakhir uji kebocoran, lakukan pembacaan tekanan absolut terakhir
vakum dari tampilan komputer di otoklaf dan catat pada hasil cetakan untuk
setiap uji. Tempelkan hasil cetakan komputer dari uji kebocoran otoklaf pada
laporan kualifikasi.
Krtiteria Penerimaan: Rata-rata kebocoran tidak boleh lebih dari 1.3 kPa/10
menit. Nilai absolut vakum < 7 kPa.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Agoes, Goeswin. 2010. Sediaan Farmasi Steril. Bandung: Penerbit ITB.
2. American Hospital Formulary Service, Drug Information 88, American
Society of Hospital Pharmacist.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1969. Farmakope Indonesia.
Edisi III . Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia ed V. 2014.
Jakarta. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
16
5. IONI.(2000). Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: BPOM RI,
KOPERPOM dan CV Sagung Seto.
6. Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Edisi ketiga. Jakarta: UI-Press..
7. Lawrence, A.T. 2003. Handbook on Injectable Drugs. Edisi ke 12. Bethesda:
American Society of Health System Pharmacist.
8. Reynolds JEF.1998. Martindale The Extra Pharmacopoeia. 28th edition.
London: The Pharmaceutical Press
9. Rowe, Raymond C., dkk. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients sixth
ed.VI London: PhP..
10. The United State Pharmacopeial Convention. (2014). The United States
Pharmacopeia (USP). 37th Edition. United States.
11. Voigt, Rudolf. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM
Press.
17
TEKNOLOGI FARMASI SEDIAAN STERIL
AMPUL RIBOFLAVIN HCL
Disusun oleh:
Kelompok D1-3
Imelda Dian Alvita
2014210113
Jatmiko Andrawino
2014210124
Kevin Christopher
2014210128
Lintang Pambuko WP
2014210135
Maratus Solikha
2014210140
Muthi’ah Husna
2014210152
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
2017
I.
TUGAS
Ampul Riboflavin HCl.
1
II.
PENDAHULUAN
Vitamin adalah sekelompok senyawa organic berbobot molekul kecil yang
memiliki fungsi vital dalam metabolisme setiap organisme, yang tidak dapat
dihasilkan oleh tubuh. Vitamin adalah kofaktor dalam reaksi kimia yang
dikatalisis oleh enzim. Pada dasarnya vitamin digunakan tubuh untuk dapat
tumbuh dan berkembang secara normal. Vitamin memiliki peranan spesifik di
dalam tubuh dan dapat pula memberikan manfaat kesehatan. Tubuh hanya
memerlukan vitamin dalam jumlah sedikit, tetapi jika kebutuhan ini diabaikan
maka metabolisme di dalam tubuh akan terganggu karena fungsinya tidak dapat
digantikan oleh senyawa lain. Di samping itu, asupan vitamin juga tidak boleh
berlebihan karena dapat menyebabkan gangguan metabolisme tubuh.
Riboflavin atau vitamin B2 sangat penting untuk beberapa fungsi tubuh.
Riboflavin diperlukan untuk respirasi pada jaringan. Riboflavin diubah menjadi
bentuk koenzim, yaitu riboflavin 5-phosphate (flavin mononucucleotide
[FMN]). FMN juga diubah ke bentuk koenzim yang lain, yaitu flavin adenine
dinucleotide (FAD). Koenzim ini berperan sebagai molekul pembawa hidrogen
untuk beberapa enzim yang terlibat dalam reaksi redoks pada substrat organik
dan
metabolisme
intermediary.
Defisiensi
riboflavin
(ariboflavinosis)
menyebabkan gejala klinis berupa cheilosis, angular stomatitis, glossitis,
keratitis, perubahan skrotal kulit, perubahan okuler, dan seborrheic dermatitis.
Normositis, normochromic anemia, dan neuropathy terjadi pada defisiensi yang
parah. Pemberian riboflavin mengobati gejala-gejala defisiensi tersebut. (Drug
Information 88 hal. 2101)
III. DATA PRE FORMULASI
1. Zat Aktif dan Bahan Pembantu
a. Zat Aktif
Riboflavin
Nama Zat aktif
Rumus Molekul
Bobot Molekul
Riboflavin (Vitamin B2)
C17H20N4O6
376,36
2
Rumus Struktur
Pemerian
Serbuk hablur; kuning hingga kuning jingga; bau
lemah. Melebur pada suhu lebuh kurang 280º.
Larutan jernihnya netral terhadap lakmus. Jika
kering tidak begitu dipengaruhi oleh cahaya
terdifusi, tetapi dalam larutan sangat cepat terjadi
peruraian, terutama jika ada alkali. (Farmakope
Kelarutan
Indonesia V hal. 1091)
Sangat sukar larut dalam air (1: 1000 sampai
10.000), dalam etanol, dan dalam larutan natrium
klorida 0,9%; sangat mudah larut dalam larutan
alkali encer; tidak larut dalam eter dan dalam
Khasiat
kloroform. (Farmakope Indonesia V hal. 1091)
Untuk mencegah dan mengobati gejala defisiensi
riboflavin seperti cheilosis, angular stomatitis,
glossitis,
keratitis,
perubahan
skrotal
kulit,
perubahan okuler, dan seborrheic dermatitis.
Dosis
OTT
(Drug Information 88 AHFS, hal 2101)
5 mg/mL (IONI 2000 hal. 346)
Larutan alkali dan garam logam
Stabilitas
(Martindale 28 hal. 1642)
Dengan adanya cahaya akan terurai. (Martindale
Sterilisasi
pH sediaan
Literatur
28 hal. 1642)
Autoklaf (Martindale 28 hal. 1642)
4,5 sampai 7 (Martindale 28 hal. 1642)
Drug Information 88 AHFS hal. 2101-2102
berat.
Farmakope Indonesia V tahun 2014 hal. 1091
Martindale 28 hal. 1642
IONI 2000 hal. 346
b. Data Eksipien
3
Nikotinamid
Nama Zat
Rumus Molekul
Bobot Molekul
Pemerian
Nikotinamid
C6H6N2O
122,12
Serbuk hablur; putih; tidak berbau atau praktis
tidak berbau; rasa pahit. (Farmakope Indonesia
Kelarutan
V hal. 946)
Mudah larut dalam air (1:1) dan etanol (1:1,5);
larut dalam gliserin. (Farmakope Indonesia V
Penggunaan
Konsentrasi
hal. 946)
Penambah kelarutan zat aktif
100 mg/mL (Drug Information 88 AHFS hal.
pH Zat
OTT
2095)
6 – 7,5 (Farmakope Indonesia V hal. 946)
Agen pengoksidasi, alkali, dan asam kuat. (Drug
Sterilisasi
Literatur
Information 88 AHFS hal. 2095)
Autoklaf atau Filtrasi (Martindale 28 hal. 1650)
Farmakope Indonesia edisi V hal. 946
Drug Information 88 AHFS hal. 2095
Martindale 28 hal. 1650
Natrium Metabisulfit
Nama Zat
Rumus Molekul
Bobot Molekul
Pemerian
Natrium Metabisulfit
Na2S2O5
190,1
Kristal; tidak berwarna atau putih; berbau seperti
sulfur dioksida; rasa asam. (Handbook of
Kelarutan
Pharmaceutical Excipients 6th edition hal. 654)
Mudah larut dalam air; larut dalam gliserin dan
etanol.
(Handbook
of
Pharmaceutical
Penggunaan
Excipients 6th edition hal. 654)
Antioksidan (Handbook of Pharmaceutical
Konsentrasi
Excipients 6th edition hal. 654)
0,01 – 1,0% ((Handbook of Pharmaceutical
Ph
Excipients 6th edition hal. 654)
3,5 – 5 untuk larutan air 5% b/v pada suhu 20º C
(Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th
OTT
edition hal. 654)
Bereaksi dengan simpatomimetik dan obat lainnya
4
yang
berupa
turunan
orto-
atau
para-
hidroksilbenzil alkohol untuk membentuk turunan
asam sulfonat yang tidak mempunyai efek
farmakologi.
Natrium
Metabisulfit
juga
inkompatibel
dengan
kloramfenikol
dan
fenilmerkuri asetat yang diautoklaf. (Handbook
of Pharmaceutical Excipients 6th edition hal.
Stabilitas
Sterilisasi
Literatur
654)
Jika terkena
udara
teroksidasi
menjadi
hancurnya
bentuk
dan
lembab,
natrium
kristal.
sulfat
perlahan
dengan
(Handbook
of
Pharmaceutical Excipients 6th edition hal. 654)
Autoklaf
Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition
hal. 654
Aqua Pro Injeksi
Pemerian
Kegunaan
Stabilitas
Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau
Air untuk injeksi
Mudah terurai jika berhubungan dengan zat
organik yang dapat teroksidasi, dengan logam
tertentu dengan senyawanya atau dengan alkali.
Literatur
(Farmakope Indonesia V hal. 64)
Farmakope Indonesia V hal. 64
c. Teknologi Sediaan Farmasi
1. Sediaan Injeksi Ampul
Injeksi adalah sediaan berupa larutan, emulsi, suspensi, atau sebruk yang harus
dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral,
suntikan dengan cara menembus, atau merobek jaringan dalam atau melalui kulit
atau selaput lendir. Suspensi tidak dapat diberikan karena bahaya hambatan
pembuluh kapiler.
Injeksi merupakan terapi parenteral. Terapi parenteral memiliki beberapa
keuntungan penting dibandingkan enteral. Sejak pemilihan tempat pemakaiannya,
dapat ditetapkan saat muncul dan lamanya efek. Pada umumnya pemberian dengan
cara parenteral dilakukan bila diinginkan kerja obat yang cepat seperti pada keadaan
gawat dan bila penderita tidak bisa dapat diajak bekerja sama dengan baik, tidak
sadar, tidak dapat atau tidak tahan menerima pengobatan melalui mulut (oral) atau
bila obat itu sendiri tidak efektif terhadap pemberian dengan cara lain.Injeksi diracik
5
dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat kedalam
wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda. (Farmakope Indonesia III hal. 13)
Keuntungan sediaan parenteral: (Sediaaan Farmasi Steril Goeswin Agoes hal.
12)
1. Terapi parenteral diperlukan untuk obat yang tidak efektif idak secara oral
atau akan rusak oleh sekresi saluran cerna seperti insulin, hormon lain dan
antibiotika.
2. Pengobatan untuk pasien yang tidak koperatif atau tidak sadar harus diberikan
melalui injeksi.
3. Permberian obat secara parental dapat pula memberikan efek lokal jika
diperlukan.
Kerugian sediaan parental: (Sediaan Farmasi Steril Goeswin Agoes hal. 13)
1. Sediaan diberikan oleh tenaga ahli
2. Membutuhkan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan pemberian obat
menurut rute lain
3. Begitu obat diberikan secara parental sulit untuk membalikan atau mengurangi
efeak fisiologisnya
Karakteristik sediaan parental: (Sediaan Farmasi Steril Goeswin Agoes hal. 15)
1. Aman secara toksikologi.
2. Steril, bebas dari kontaminasi mikroorganisme, baik bentuk vegetative,
patogen, spora dan non patogen
3. Bebas dari kontaminasi pirogen.
4. Bebas dari partikel partikulat asing.
5. Stabil, tidak hanya secara fisika dan kimia, tapi juga secara
mikrobiologi.
Persyaratan untuk sediaan injeksi dalam ampul:
Termasuk dalam sediaan parentral dengan volume kecil : 1 ml, 2 ml, 3 ml,
5 ml, dan 20 ml.
Pada produk yang dikemas dalam bentuk kemasan dosis tunggal (unit
dose) atau kemasan multidosis bertekanan tinggi tidak diberikan
pengawet
Rute pemberian secara intramuscular, intravena, intradermal, subkutan,
intraspinal, intrasisternal dan intratekal
Wadah takaran tunggal.
6
(Buku pelajaran teknologi farmasi R. Voigt hal. 462)
Wadah yang digunakan untuk produk injeksi, salah satunya adalah ampul.
Ampul adalah wadah berbentuk silindris yang terbuat dari gelas yang memiliki
ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar. Ukuran nominalnya adalah 1, 2,
5, 10, 20 kadang-kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah wadah takaran
tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan pemakaian dalam satu
kali pemakaiannya untuk satu kali injeksi. Pelarut yang digunakan aqua pro
injeksi. Perlu pemberian antioksidan karena wadah yang digunakan dapat
tertembus oleh cahaya yang dapata menyebabkan zat aktif terurai. Ampul
disterilisasikan di dalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit,
sedangkan untuk tutup vial karet dalam autoklaf, pada suhu 115ºC - 116ºC
selama 30 menit.
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara dalam keadaan:
1. Tidak perlu pengawet karena merupakan takaran tunggal
2. Tidak perlu isotonis
3. Diisi melalui buret yang ujungnya disterilkan terlebih dahulu dengan
alkohol 70 %
4. Buret dibilas dengan larutan obat sebelum diisi
3. Farmakologi ( Farmakologi dan Terapi edisi V hal 772)
a.
Farmakologi
Sumber eksogen riboflavin diperlukan untuk respirasi jaringan.
Riboflavin dikonversi menjadi koenzim, riboflavin 5-fosfat [flavin
mononukleotida (FMN)]. FMN juga dikonversi ke koenzim lain, flavin
adenine dinukleotida (FAD). Koenzim ini bertindak sebagai molekul
operator hydrogen untuk enzim (flavoprotein) yang terlibat dalam
reaksi oksidasi-reduksi substrat organic dan dalam metabolism
perantara. Riboflavin juga secara tidak langsung terlibat dalam
menjaga integritas eritrosit. Defisiensi riboflavin (ariboflavinosis)
mengakibatkan sindrom klinik yang ditandai dengan keilosis, keratitis,
perubahan kulit skrotum, perubhan mata, dan dermatitis. Normositik,
anemia normokromik, dan neuropati terjadi pada defisiensi yang parah.
Tanda – tanda klinis defisiensi menjadi jelas setelah 3 – 8 bulan
overdosis asupan riboflavin tidak memadai.
7
b.
Farmakokinetika
Pemberian secara oral atau parenteral akan diabsorbsi dengan
baik dan didistribusi merata ke suluruh jaringan. Asupan yang
berlebihan akan dikeluarkan melalui urin dalam bentuk utuh. Dalam
tinja ditemukan riboflavin yang disintesis oleh kuman di saluran cerna,
tetapi tidak ada bukti nyata yang menjelaskan bahwa zat tersebut dapat
diabsorbsi melalui mukosa usus.
IV.
c.
Farmakodinamik
Pemberian riboflavin secara oral maupun parenteral tidak
memberikan efek farmakodinamik yang jelas.
d.
Indikasi
Untuk pencegahan dan terapi defisiensi vitamin B2.
e.
Kontraindikasi
Nefrolitiasis,
hipersensitivitas,
mengurangi
efektifitas
tetrasiklin, lincomycin, eritromisin, oxytetracycline, dan dexycycline.
f.
Efek Samping
Konsumsi riboflavin dapat menyebabkan urin memiliki warna
yang lebih kuning dari biasanya. Selain itu, riboflavin dapat
menyebabkan diare dan meningkatkan jumlah urin.
g.
Interaksi Obat
Laju dan tingkat absorpsi riboflavin dipengaruhi oleh
propantheline bromide. Administrasi oleh propantheline bromide
menunda laju absorpsi riboflavin namun meningkatkan jumlah yang
terserap, dengan cara meningkatkan waktu menetap riboflavin dalam
tempat absorpsi gastrointestinal. (Drug Information 88 AHFS hal.
2102)
FORMULA
1. Formula Rujukan
(U. S. Pharmacopeia 37 hal. 4567)
Tiap mL mengandung:
Riboflavin
8
Nikotinamid
Aqua Pro Injeksi
(Martindale 28 hal. 1642)
Tiap mL mengandung:
Riboflavin
Nikotinamid
Aqua Pro Injeksi
1. Formula Jadi
Riboflavin
5 mg/mL
Nikotinamid
100 mg/mL
Na. Metabisulfit
0,1%
Aqua pro injeksi
ad 20 mL
2. Alasan Pemilihan Bahan
1. Riboflavin
Riboflavin atau vitamin B2 sangat penting untuk beberapa
fungsi tubuh. Riboflavin diperlukan untuk respirasi pada
jaringan. Pemberian riboflavin mencegah dan mengobati gejalagejala defisiensi riboflavin.
2. Nikotinamid
Nikotinamid ditambahkan untuk membantu kelarutan riboflavin
dalam air (salting out).
3. Na. Metabisulfit
Penggunaan Na. Metabisulfit dalam sediaan ini berfungsi
sebagai antioksidan pada sediaan ini. Hal ini dikarenakan
senyawa riboflavin tidak stabil terhadap cahaya.
2. ALAT dan BAHAN
1.
ALAT:
2.
BAHAN:
1. Beaker glass
1. Riboflavin
2. Erlenmeyer
2. Nikotinamid
3. Corong glass
3. Natrium Metabisulfit
4. Ampul
4. Aqua Pro Injeksi
9
5. Gelas ukur
6. Kertas saring
7. Batang pengaduk
8. Spatula
9. Pinset
10. Kaca arloji
11. Pipet tetes
12. Penjepit besi
3. PEMBUATAN
-
Perhitungan
Rumus = {(n + kelebihan) x (v) + (2x3)} ml
n
= jumlah vial yang akan dibuat
v
= volume injeksi tiap ampul (ml)
2x3
= untuk pembilasan
Volume total 12 ampul = {(n + kelebihan) x (v) + (2x3)} ml
= {(10 + 2) x (1+0,1) + (2x3)} ml
= 19,2 ml ~ 20 ml
Total Riboflavin HCl = 5 mg/mL x 20 ml
= 100 mg
Konversi dengan Riboflavin:
=
BM base
x 100 mg
BM Riboflavin HCl
= 376,36 x 100 mg
412,82
= 91,17 mg ~ 92 mg
Total Nikotinamid
= 100 mg/mL x 20 mL
=2g
Total Na. Metabisulfit = 0,1% x 20 mL
= 0,02 g
Lar. aqua p.i
-
= ad 20 ml
Data Penimbangan Teoritis :
Bahan
Bobot Teoritis (mg)
10
-
Riboflavin
92
Nikotinamid
2000
Na. Metabisulfit
20
Aqua Pro Injeksi
ad 20 ml
Cara Kerja
Prinsip: Sterilisasi terminal.
1. Alat-alat yang akan digunakan dicuci bersih.
2. Beaker glass dikalibrasi ad 20 mL.
3. Semua alat yang digunakan disterilkan dengan cara yang sesuai
dengan literatur.
4. Dibuat aqua pro injeksi dengan cara air suling dipanaskan sampai
mendidih selama 30 menit, didinginkan.
5. Bahan–bahan yang digunakan ditimbang (Riboflavin, Nikotinamid,
Na. Metabisulfit).
6. Nikotinamid dilarutkan dengan sebagian aqua pro injeksi didalam
beaker glass yang telah dikalibrasi.
7. Ditambahkan riboflavin ke dalam beaker glass, diaduk ad larut.
8. Ditambahkan Na. Metabisulfit ke dalam beaker glass yang berisi
larutan zat aktif, diaduk ad larut.
9. pH sediaan dicek, jika pH berada pada range 4,5-7 lalu ditambahkan
aqua pro injeksi ad tanda kalibrasi.
10. Larutan disaring dengan kertas saring.
11. Dimasukkan larutan tersebut ke dalam ampul, masing-masing 1,1
mL menggunakan buret yang telah disterilkan terlebih dahulu.
(Dispensasi: menggunakan syringe)
12. Kemudian ampul ditutup dengan cara :
Cara tarikan yang merupakan cara terbaik yaitu dengan semburan
nyala api, diarahkan pada bagian tengah leher ampul. Setelah gelas
melunak, bagian atas leher dijepit dengan menggunakan sebuah
pinset (pada kerja manual) atau dilakukan dengan alat khusus
(masinel) kemudian ditarik keatas sehingga ampul dapat ditutup.
(Voight hal 469-470)
13. Dilakukan evaluasi In Proses Control (Uji Kejernihan dan
Keseragaman Volume)
11
14. Dilakukan sterilisasi akhir di dalam autoklaf pada suhu 121oC
selama 15 menit
15. Dilakukan evalusasi QC (Uji Sterilitas, Keseragaman Volume,
Kebocoran, Penetapan Kadar). (Dispensasi: Uji Sterilitas dan
Penetapan Kadar tidak dilakukan)
16. Diberi etiket dan dimasukkan ampul ke dalam kemasan.
-
Sterilisasi
No.
Alat yang Digunakan
Cara Sterilisasi
1
Beaker glass, Erlenmeyer,
Oven 1500C,
2
Corong glass, Pipet tetes
Gelas ukur, Kertas saring,
selama 1 jam
Autoklaf 1210C
FI V hal 1662
3
Ampul
Batang pengaduk, Spatula,
selama 15 menit
Direndam alkohol
Disinfection
Pinset,
selama
sterilitation
Kaca arloji,
30 menit
and
Penjepit besi
4
Pustaka
Waktu
Waktu
Mulai
Akhir
FI V hal 1663
preservation
Karet tutup botol vial, karet
Digodok dalam
vol 3 hal 225
Farmakope
tutup pipet tetes
air suling 30
Indonesia
menit
Edisi V, hal
5
Aqua Pro Injection
Didihkan selama
1359
FI V hal 64
6
Sterilisasi akhir
30 menit
Autoklaf 121oC
Martindale 28
selama 15 menit
hal 1642
4. EVALUASI
a.
In Proses Control (IPC)
1)
Uji pH ( Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1563)
Alat harus mampu menunjukan potensial dari pasangan elektrode dan untuk
pembekuan pH menggunakan potensial yang dapat diukur oleh sirkuit dengan
menggunakan ”pembakuan nol”, “asimetri”, atau “kalibrasi” dan harus mampu
mengontrol dalam perubahan dalam milivolt per perubahan unit pada pembacaan
pH melalui kendali “suhu” dan/atau kemiringan. Pengukuran dilakukan pada suhu
25°±2°, kecuali dinyatakan lain.
12
2)
Uji Kejernihan (Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1521)
Metode Visual
Lakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar dengan diameter
dalam 15-25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca netral.
Bandingkan larutan uji dengan larutan suspensi padanan yang dibuat segar,
setinggi 40 mm. Bandingkan kedua larutan di bawah cahaya yang terdifusi 5
menit setelah pembuatan suspensi padanan dengan tegak lurus ke arah bawah
tabung menggunakan latar belakang berwarna hitam. Difusi cahaya harus
sedemikian rupa sehingga suspensi padanan I dapat dibedakan dari air dan
suspensi padanan II dapat dibedakan dari suspensi padanan I. Larutan dianggap
jernih apabila sama dengan air atau larutan yang digunakan dalam pengujian
dengan kondisi yang dipersyaratkan, atau jika opalesen tidak lebih dari suspensi
padanan I.
3) Uji Keseragaman Volume (Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1526)
Isi alat suntik dapat dipindahkan kedalam gelas piala kering yang telah ditara,
volume dalam ml diperoleh dari hasil perhitungan berat berat dalam gram dibagi
bobot jenis cairan, isi dari 2 atau 3 wadah 1 ml atau 2 ml dapat digabungkan
untuk pengukuran dengan menggunakan jarum suntik kering terpisah untuk
mengambil isi tiap wadah. Isi dari 10 wadah atau lebih dapat ditentukan dengan
membuka wadah memindahkan isi secara langsung kedalam gelas ukur atau gelas
piala yang telah ditara.
b. Quality Control
1) Uji Keseragaman Volume (Farmakope Indonesia Edisi V. hal 1526)
Isi alat suntik dapat dipindahkan kedalam gelas piala kering yang telah ditara,
volume dalam ml diperoleh dari hasil perhitungan berat berat dalam gram dibagi
bobot jenis cairan, isi dari 2 atau 3 wadah 1 ml atau 2 ml dapat digabungkan
untuk pengukuran dengan menggunakan jarum suntik kering terpisah untuk
mengambil isi tiap wadah. Isi dari 10 wadah atau lebih dapat ditentukan dengan
membuka wadah, memindahkan isi secara langsung kedalam gelas ukur atau
gelas piala yang telah ditara.
2) Uji Sterilitas (Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1362)
13
Kecuali dinyatakan lain pada bab ini atau masing-masing monografi, gunakan
jumlah wadah seperti tertera pada tabel 3. Jika isi tiap wadah mencukupi (lihat
tabel 2) isi wadah dapat dibagi sama banyak dan ditambahkan pada media yang
sesuai. [Catatan: Lakukan uji sterilitas menggunakan dua atau lebih media yang
sesuai]. Jika isi wadah tidak cukup untuk masing-masing media, gunakan jumlah
dua kali dari yang tertera pada tabel 3. Pengujian terhadap contoh uji dapat
dilakukan menggunakan teknik penyaringan media atau inkubasi langsung ke
dalam media uji. Gunakan juga kontrol negatif yang sesuai. Teknik penyaringan
membran digunakan apabila sifat contoh sesuai, yaitu untuk sediaan yang
mengandung air dan dapat disaring, dan sediaan yang dapat dicampur dengan
atau yang larut dalam pelarut air atau minyak, dengan ketentuan bahwa pelarut
tidak mempunyai efek antimikroba pada kondisi pengujian.
3) Penetapan Kadar Riboflavin (Farmakope Indonesia V hal. 1091)
Larutan uji
Timbang seksama lebih kurang 50 mg zat, dimasukkan ke dalam labu tentukur
1000-ml yang berisi lebih kurang 50 ml air. Tambahkan 5 ml asam asetat 6 N dan
air secukupnya hingga lebih kurang 800 ml. Panaskan di atas tangas uap,
terlindung dari cahaya sambil sering dikocok sampai larut. Dinginkan hingga suhu
lebih kurang 25o, encerkan dengan air sampai tanda. Encerkan larutan secara
kuantitatif dan bertahap dengan air hingga sesuai dengan sensitifitas dari
fluorometer yang digunakan.
Larutan baku
Timbang seksama sejumlah riboflavin BPFI dan dengan cara yang sama buat
larutan hingga kadar setara dengan Larutan uji. Ukur intensitas fluoresensi pada
panjang gelombang lebih kurang 530 nm (lebih baik pada panjang gelombang
eksitasi lebih kurang 444nm). Segera setelah pembacaan, tambahkan lebih
kurang 10 mg natrium hidrosulfit P, aduk dengan pengaduk kaca hingga larut,
dan ukur lagi fluoresensinya. Perbedaan kedua pembacaan menunjukkan
intensitas fluoresensi Larutan baku. Dengan cara yang sama, ukur intensitas
fluoresensi dari Larutan uji yang ditetapkan pada lebih kurang 530 nm, sebelum
dan sesudah penambahan natrium hidrosulfit P. Hitung jumlah dalam µg
Riboflavin C17H20N4O6, per ml pada larutan uji dengan rumus:
14
C adalah kadar Riboflavin BPFI dalam µg per ml Larutan baku, Iu dan Is
berturut-turut adalah harga fluoresensi yang telah dikoreksi dari Larutan uji dan
Larutan baku.
Syarat : Riboflavin mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari
102,0% C17H20N4O6 , dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
4) Uji Kejernihan (Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1521)
Metode Visual
Lakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar dengan diameter
dalam 15-25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca netral.
Bandingkan larutan uji dengan larutan suspensi padanan yang dibuat segar,
setinggi 40 mm. Bandingkan kedua larutan di bawah cahaya yang terdifusi 5
menit setelah pembuatan suspensi padanan dengan tegak lurus ke arah bawah
tabung menggunakan latar belakang berwarna hitam. Difusi cahaya harus
sedemikian rupa sehingga suspensi padanan I dapat dibedakan dari air dan
suspensi padanan II dapat dibedakan dari suspensi padanan I. Larutan dianggap
jernih apabila sama dengan air atau larutan yang digunakan dalam pengujian
dengan kondisi yang dipersyaratkan, atau jika opalesen tidak lebih dari suspensi
padanan I.
5) Uji Kebocoran (CPOB 2013 hal. 39)
Sebelum dan sesudah kualifikasi, lakukan pemeriksaan kebocoran pada otoklaf
dengan memulai program uji kebocoran yang ada di menu komputer autoklaf.
Pada saat terakhir uji kebocoran, lakukan pembacaan tekanan absolut terakhir
vakum dari tampilan komputer di otoklaf dan catat pada hasil cetakan untuk
setiap uji. Tempelkan hasil cetakan komputer dari uji kebocoran otoklaf pada
laporan kualifikasi.
Krtiteria Penerimaan: Rata-rata kebocoran tidak boleh lebih dari 1.3 kPa/10
menit. Nilai absolut vakum < 7 kPa.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Agoes, Goeswin. 2010. Sediaan Farmasi Steril. Bandung: Penerbit ITB.
2. American Hospital Formulary Service, Drug Information 88, American
Society of Hospital Pharmacist.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1969. Farmakope Indonesia.
Edisi III . Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Farmakope Indonesia ed V. 2014.
Jakarta. Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
16
5. IONI.(2000). Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: BPOM RI,
KOPERPOM dan CV Sagung Seto.
6. Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Edisi ketiga. Jakarta: UI-Press..
7. Lawrence, A.T. 2003. Handbook on Injectable Drugs. Edisi ke 12. Bethesda:
American Society of Health System Pharmacist.
8. Reynolds JEF.1998. Martindale The Extra Pharmacopoeia. 28th edition.
London: The Pharmaceutical Press
9. Rowe, Raymond C., dkk. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients sixth
ed.VI London: PhP..
10. The United State Pharmacopeial Convention. (2014). The United States
Pharmacopeia (USP). 37th Edition. United States.
11. Voigt, Rudolf. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM
Press.
17