Tugas Akhir Pengobatan Yang Tepat Untuk Skizofrenia Katatonik

PENGOBATAN YANG TEPAT UNTUK SKIZOFRENIA JENIS KATATONIK
Ellycia Jihan Novitasari
Nim : 201610230311135
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Semua orang di dunia ini pasti menginginkan memiliki jiwa dan raga yang sehat. Sehat
merupakan karunia Allah SWT yang menjadi dasar dari segala nikmat di dunia ini. Nikmat untuk makan,
minum, tidur, dan aktifitas fisik lainnya, serta mampu untuk berfikir juga termasuk nikmat Tuhan. Jika
kesehatan kita berkurang atau bahkan tidak sehat sama sekali maka kemampuan – kemampuan yang
dapat kita lakukan tadi juga akan menjadi tidak maksimal. Kita akan kesulitan untuk melakukan aktifitas
fisik sehari – hari, kesulitan bekerja, dan kesulitan dalam cara berfikir. Sehat sendiri merupakan keadaan
yang sempurna baik fisik, mental, maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan
atau cacat (Notosoedirdjo, Latipun. 1999:03). Maka seseorang yang sehat adalah harus memiliki kondisi
yang sehat secara tubuhnya, jiwanya, dan baik kehidupan sosialnya. Sehat juga merupakan keadaan
yang sempurna dari seseorang secara biopsikososialnya, bukan hanya terbebas dari penyakit dan
kecacatan atau gangguan namun juga dapat diterima dan menerima di lingkungan sosialnya.
Hubungan kesehatan fisik dan mental menurut (Latipun, 1999), keadaan fisik manusia
memengaruhi psikis sebaliknya psikis memengaruhi kesehatan fisik pada manusia. Maka jika tubuh kita
sakit lebih mudah pula jiwa kita terserang gangguan, begitu pula jika jiwa kita sakit maka fisik juga akan
lebih mudah terserang penyakit. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 membagi gangguan
jiwa atas gangguan jiwa emosional dan gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa emosional merupakan

suatu keadaan yang mengindikasikan individu mengalami suatu perubahan emosional yang dapat
berkembang menjadi keadaan patologis apabila terus berlanjut. Gangguan jiwa berat adalah gangguan
yang menyebabkan klien tidak mempunyai kontak dengan realitas sehingga pemikiran dan perilakunya
abnormal, salah satu gangguan jiwa berat ini adalah skizofrenia (Manggalawati, 2016).
Mayoritas orang normal takut jika bertemu seseorang yang menderita skizofrenia, ada juga
orang yang merasa kasihan pada orang tersebut da nada segelintir orang yang merasa penasaran
terhadap orang lain yang menderita skizofrenia. Asal kata skizofrenia adalah schizein (pecah / terpisah)
phrenid (jiwa). Skizofrenia menunjukkan sikap terpisahnya pikiran, emosi dan perilaku dengan ciri 4A:
Asosiasi, Afek, Autis, dan Ambivalensi ditambah dengan halusinasi dan delusi.
Hasil penelitian Trihardani (dalam Maryatun, 2015) mengenai perawatan diri yang terdiri dari
makan, mandi, toileting dan kebersihan pribadi pasien skizofrenia di rumah sakit menunjukkan bahwa
38% penderita skizofrenia berada dalam kategori ketergantungan ringan, 28% dalam kategori
ketergantungan menengah, 13% berada dalam kategori ketergantungan tinggi, 13% berada pada
kategori ketergantungan total dan 3% berada dalam kategori mandiri. Penelitian yang dilakukan oleh
Barton (dalam Maryatun, 2015) menunjukkan bahwa 50% dari penderita skizofrenia kronis yang
menjalani program rehabilitasi dapat kembali produktif dan mampu menyesuaikan diri kembali di
keluarga dan masyarakat.
Ada beberapa jenis atau subtype skizofrenia, dalam Panduan Diagnosa Gangguan Jiwa (dalam
Manggalawati, 2016) disebutkan jenis – jenis skizofrenia yaitu, skizofrenia katatonik, paranoid, simplex,
hebefrenik dan skizofrenia tak terinci, depresi pasca skizofrenia serta residual.


1. Skizofrenia paranoid
Skizofrenia jenis ini didominasi oleh waham – waham yang tidak stabil, seringkali bersifat
aranoid yang biasanya disertai oleh halusinasi – halusinasi, terutama halusinasi pendengaran,
dan gangguan – gangguan persepsi. Waham yang dimiliki adalah waham kejar, rujukan, misi
khusus, perubahan tubuh, atau kecemburuan. Pasien mendengar suara – suara yang berupa
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing). Halusinasi lain adalah halusinasi
pembauan atau lain – lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tapi jarang menonjol.
2. Skizofrenia Katatonik
Jenis katatonik (skizofrenia katatonik atau katatonia) timbulnya pertama kali antara umur 15 –
30 tahun, dan biasanya akut serta sering didahului oleh stress emosional. Mungkin terjadi
gaduh gelisah katatonik atau stupor katatonik.
3. Skizofrenia hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau hebefrenia permulaannya perlahan – lahan atau subajut dan sering
timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan
proses berpikir gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi atau double personality.
Gangguan psikomotor seperti mannerism, neologism, atau perilaku kakanak – kanakan sering
terdapat pada hebefrenia. Waham dan halusinasi hanya sekali.
4. Skizofrenia tak terinci

Skizofrenia jenis ini tidak mempunyai kriteria diagnosis namun hampir mirip dengan jenis
lainnya namun tidak sesuai dengan satupun jenis tersebut. Skizofrenia yang tak terinci tidak
memenuhi kriteria untuk skizofrenia paranoid, hebefrenik, dan katatonik, namun tetap terdapat
gejala.
5. Skizofrenia simplex
Skizofrenia jenis ini sering timbul pada masa pubertas. Gejala utama pada jenis simplex adalah
kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar
ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat pada skizofrenia jenis ini. Pada
permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik
diri dari pergaulan kemudian semakin lama semakin mundur dalam pekerjaan atau pelajaran
dan akhirnya menjadi penganggur. Bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan
menjadi pengemis, pelacur atau penjahat.
6. Depresi pasca-skizofrenia
Skizofrenia jenis ini merupakan suatu episode depresif yang mungkin berlangsung lama dan
timbul sesudah suatu serangan penyakit skizofrenia. Dalam hal ini masih terdapat beberapa
gejala skizofrenik namun tidak mendominasi.
7. Skizofrenia residual
Pada skizofrenia jenis ini terdapat satu stadium kronis dalam perkembangan suatu gangguan
skizofrenia dimana telah terjadi progresi yang jelas dari stadium awal. Gejala negative yang
muncul adalah perlambatan psikomotor, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif

dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas dan isi pembicaraan, komunikasi verbal
yang buruk seperti dalam kuantitas isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk seperti

dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan sikap tubuh, perawatan diri dan kinerja
sosial yang buruk.
Sesuai dengan judul yang diambil, maka penelitian hanya berfokus pada skizofrenia jenis
katatonik. Untuk pengobatan skizofrenia ada dua cara yaitu, terapi okupasi dan terapi gerak. Namun
sebelum dilakukan terapi psikologis, terlebih dahulu dilakukan terapi medis untuk menyembuhkan
simtom. Terapi medis dilakukan dengan obat – obatan dari dokter atau psikiater. Seperti obat bius atau
obat penghilang rasa sakit, obat depresi untuk menghilangkan halusinasi dan delusi yang dideritanya.
Jika pasien sudah tenang dan siap barulah dilakukan terapi secara psikologis untuk menyembuhkan
gejala – gejala lainnya.
Terapi yang pertama adalah terapi okupasi. Terapi okupasi cocok untuk penderita skizofrenia
katatonik, karena penderita skizofrenia katatonik mengalami stress emosional, dan penderitanya ada
yang masih berusia anak – anak. Menurut Rahayu, terapi okupasi adalah jenis terapi yang secara khusus
digunakan untuk membantu anak untuk hidup mandiri dengan berbagai kondisi kesehatan yang telah
ada dengan cara memberikan kesibukan atau aktivitas sehingga anak akan focus untuk mengerjakan
sesuatu.
Menurut Tirta & Putra dan Utari (dalam Rahayu, 2017). Adapun tahapan terapi okupasi, antara
lain:

a. Tahap Evaluasi, tahapan ini juga disebut tahapan kognitif yang memfokuskan kemampuan
pekerjaan yang berorientasi pada keterampilan kognitif. Tahap evaluasi dibagii menjadi dua
langkah. Langkah pertama adalah profil pekerjaan. Langkah kedua adalah analisa tampilan
pekerjaan.
b. Tahap Intervensi, tahap intervensi yang terbagi dalam tiga langkah, yaitu rencana
intervensi, implementasi intervensi, dan peninjauan intervensi. Tahap intervensi adalah
tahapan membimbing mengerjakan pekerjaan atau aktivitas untuk mendukung partisipasi.
Langkah ini adalah tahap bersama antara anak, ahli, dan asisten terapi okupasi.
c. Tahap Hasil Akhir, tahap terakhir pada terapi okupasi adalah hasil akhir (outcome). Pada
tahap ini ditentukan apakah sudah berhasil mencapai target hasil akhir yang diinginkan atau
tidak. Jadi hasil akhir dalam bentuk tampilan okupasi, kepuasan anak, kompetensi aturan,
adaptasi, pencegahan, dan kualitas hidup.
Jika terapi okupasi dikhususkan untuk anak – anak, maka pengobatan untuk orang dewasa yang
menderita skizofrenia katatonik adalah terapi gerak. Terapi gerak merupakan terapi aktivitas fisik yang
dapat dilakukan dengan cara berolahraga atau senam untuk melatih tubuh seseorang agar sehat secara
jasmani dan rohani. Olahraga merupakan salah satu bentuk dari terapi gerak, sehingga kelebihan dari
terapi ini diantaranya adalah dapat melakukannya dengan senang tanpa merasa terbebani.
Tahapan rehabilitasi terapi gerak terdiri dari tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan dan
tahapan pengawasan. Terapi biasanya dilaksanakan tetap dalam pengawasan perawat umumnya pasien
melaksanakan terapi gerak dua kali dalam seminggu. Terapi gerak dapat berupa senam yang dibimbing

oleh instruktur senam (Maryatun, 2015).

Terapi gerak apabila dilaksanakan secara teratur dapat mengurangi kegelisahan, menurunkan
tingkat kecemasan, menurunkan ketegangan, menurunkan tingkat depresi mencegah stress serta
mengurangi ketergantungan terhadap obat – obatan. Terapi gerak merangsang pengeluaran hormone
dopamine adrenalin untuk meningkatkan energi bergerak melakukan aktivitas (Maryatun, 2015).
Mengingat bahwa skizofrenia katatonik lebih kearah stress emosional maka terapi gerak ini sangatlah
cocok untuk penderitanya. Jika kedua pengobatan ini tidak berhasil, masih banyak pengobatan –
pengobatan lain yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan skizofrenia katatonik, dari segi
pengobatan medis maupun pengobatan psikologis. Karena raga mempengaruhi jiwa, dan jiwa juga
mempengaruhi raga. Maka perasaan senang yang didapatkan saat melakukan terapi gerak ini yang
mana terapinya adalah berolahraga, maka jiwa penderita menjadi senang, raga penderita juga menjadi
sehat.

DAFTAR PUSTAKA
Ma ggalawati,P.

. Pote si i teraksi obat a tipsikotik pada pasie skizofre ia . O li e .

http://eprints.ums.ac.id/44041/15/NASKAH%20PUBLIKASI%20.pdf


Maryatun, Sri.2015. “Peningkatan Kemandirian Perawatan Diri Pasien Skizofrenia
Melalui Rehabilitas Terapi Gerak”. (Online).,
https://media.neliti.com/media/publications/181755-ID-peningkatan-kemandirian-perawatandiri-p.pdf
Notosoedirdjo, Latipun.1999.Kesehatan Mental.Malang:Universitas Muhammadiyah
Rahayu, Wahidyanti & Irawan Setyabudi.
. “tudi kasus sara a terapi okupasi de ga
ta a
edukasi pada pe derita autis di “LB su ber Dhar a Kota Mala g . O li e ,
https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/care/article/viewFile/569/557