Nasionalisme dan Kaum Nasionalis Indones

NASIONALISME DAN KAUM NASIONALIS INDONESIA1
Oleh:
Hermanu Joebagio
I. Pengantar
Salah satu faktor yang mendorong dinamika politik bangsa adalah perluasan
pendidikan terhadap anak-anak bangsa. Mereka yang telah mengenyam pendidikan
selanjutnya berkontemplasi terhadap eksistensi kolonialis dan imperialis Belanda di
Bumi Indonesia. Penyelenggaraan pendidikan kolonial dimulai pada tahun 1850-an,
dan hanya dinikmati oleh anak-anak pangreh praja dan aristocrat, atau anak-anak
yang mengabdi kepada pangreh praja dan aristokrat yang kemudian disekolahkan.2
Perjuangan Lantip, anak miskin, untuk menuju strata priyayi baru sebagai guru
sekolah dasar telah diabaikan dalam proses pergerakan nasional. Ketika berhasil
menjadi guru sekolah dasar simbol loyalitas dan etos keteladanan terhadap bangsa
Indonesia adalah bagian dari pekerjaannya. Apa yang dilakukan Lantip merupakan
cermin realitas kehidupan untuk mengangkat derajat diri sendiri yang harus dilalui
dengan mengabdi di rumah keluarga RM Sastrodarsono, seorang priyayi Jawa.
Berpijak pada perjuangan itu tampak ada pembengkokan historiografi yang belum
memberi perhatian terhadap para pengabdi yang disekolahkan. Historiografi kita
mengeksplorasi gerakan radikal, bahkan pemikiran dan perjuangan kooperatif sering
dinafikan, misalnya nasionalisme Jawa.3
Perluasan pendidikan mempengaruhi ekologi sosial, dan berimplikasi pada

kesenjangan. Menurut Savitri Prastiti Scherer diskriminasi dan kesenjangan tidak
1

Disa paika pada Workshop Naskah Klasik Nusantara , disele ggaraka oleh Pusat “tudi
Peradaban, Lembaga Penelitian dan Pengambdian Masyarakat Universitas Brawijaya, Malang, 16-17
September 2015.
2
Umar Khayam, Para Priyayi: Sebuah Novel (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hlm. 3844.
3
Hans van Miert, Dengan Semangat Berkobar, Nasionalisme dan Gerakan Pemuda di
Indonesia 1918-1930 (Jakarta: Hasta Mitra, Pustaka Utan Kayu, dan KITLV, 2003), hlm. 1-27.

1

hanya diberlakukan terhadap rakyat, tetapi juga terhadap pangreh praja dan
aristokrat tradisional.4 Dinamika pendidikan di Hindia Belanda berjalan sangat
lamban, dan secara massif baru berdiri pada 1850-an.5 Anak-anak yang dapat
menikmati sekolah, terutama Europesche Lagere School adalah anak-anak Belanda,
anak-anak raja, bupati, dan wedana. Mereka bergaji cukup memadai, gaji bupati
1000 gulden, asisten wedana 150 gulden, dan dokter (Jawa) 150 gulden.6

Realitas ini menunjukkan bahwa anak pribumi tidak mungkin terakomodasi
dalam sistem pendidikan kolonial. Keterdidikan anak-anak mereka seringkali
memicu perbedaan visi politik dengan orangtua mereka. Perbedaan visi politik
akibat dari tumbuhnya intelektualitas dan modernitas anak-anak mereka yang
mengenyam pendidikan Barat. Mereka lebih canggih berpikir rasional dibandingkan
dengan orangtua mereka yang tak pernah mengenyam pendidikan Barat. Bisa jadi
pendidikan kala itu menyiratkan pembunuhan terhadap figur psikologis seorang
ayah.7
Fenomena di atas melahirkan nilai antagonis antara visi ayah dan anak. Sifat
antagonisme semakin menguat ketika intelektualitas dan modernitas anak bangsa
memperjuangkan kepentingan pribumi. Mereka dalam historiografi Indonesia diberi

4

Savitri Prastiti Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priyayi
Nasionalis Jawa Awal Abad XX (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm. 43-44.
5
I.J. Brug a s, Politik Pe gajara , dala H. Baudet & I.J. Brug a s eds. , Politik Etis dan
Revolusi Kemerdekaan (Jakarta: YOI, 1987), hlm. 178-179.
6

Savitri Prastiti Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan, hlm. 44; lihat Chr. L.M. Penders,
Indonesia: Selected Documents on Colonialism and Nationalism, 1830-1942 (St. Lucia, Queensland:
University of Queensland Press, 1977), hlm. 218. Perkembangan sekolah itu lamban dan baru setelah
tahun 1860 kemajuan berjalan semakin cepat; pada tahun 1820 hanya terdapat 7 sekolah; tahun
1845, 24 sekolah; tahun 1868, 68 sekolah; tahun 1883, 129 sekolah; tahun 1898, 164 sekolah; tahun
1905, 184 sekolah; dan tahun 1917, 198 sekolah. Angka tersebut di atas meliputi seluruh Hindia
Belanda. Data-data perkembangan pendidikan di Hindia Belanda yang dikemukakan Denys Lombard
adalah data-data mengenai perkembangan sekolah ELS yang diperuntukkan bagi anak-anak Belanda,
anak-anak raja, dan pangreh praja, tetapi tidak diperuntukkan untuk anak-anak pribumi rakyat bisa.
Lihat Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Kajian Sejarah terpadu, Batas-Batas Pembaratan
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 84.
7
Frances Gouda, Dutch Culture Overseas: Praktek Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942
(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), hlm. 144.

2

label kaum nasionalis yang berjuang melawan kehampaan slogan white

e ’s


burden yang sejatinya merupakan slogan untuk mengekploitasi kekayaan alam
bangsa Indonesia. Dalam pemikiran kaum nasionalis white

e ’s

urde

tidak

sekadar menggerakkan pendidikan, tetapi harus membuka kesepadanan sosialpolitik dan sosial-ekonomi bagi kaum pribumi.8 Tumbuhnya jiwa nasionalisme akibat
sifat pejabat Belanda memandang kaum pribumi sebagai subaltern yang tidak
pernah diberi ruang berbicara dalam media publik (disenfranchised). Mereka tidak
pernah mendapat ruang su jek

e

awakan wacana mengenai persoalan sosial-

ekonomi dan sosial-politik yang dirasakan, karena terbiasa terrepresi dan terstigma.9

Karena itu nasionalisme anak-anak bangsa tumbuh dari produk kolonialisme dan
imperialisme Barat, yang mereka wujudkan dalam sebuah revolusi.10
Pendidikan dan perantauan mental anak bangsa melalui membaca surat
kabar berbahasa ibu (bahasa daerah, melayu, dan bahasa Indonesia) yang tumbuh
pada abad ke-20 mempermudah anak bangsa menafsirkan situasi sosial-politik dan
sosial-ekonomi.11 Kebiasaan itu yang memacu tumbuhnya kebudayaan intelektual
modern dari anak bangsa.12 Realitas sosial politik dan sosial politik memacu
kesadaran eksistensi diri mereka, dan kesadaran itu menopang hasrat nasionalisme.
Tanpa disadari oleh generasi kita bahwa kaum nasionalis saat itu membuat dua
rancangan sangat penting, yakni membangun politik pergerakan kebangsaan melalui

8

‘o ert Cri , Ba gsa: Me iptaka I do esia , dala Do ald K. E
erso , Indonesia
Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, dan Transisi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama &
The Asia Foundation Indonesia, 2001), hlm. 20-25
9
I Ngurah Suryawan, Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara di Bali Utara
(Jakarta: Predana Media, 2010), hlm. 20-21; lihat Antonio Gramsci, Sejarah dan Budaya (Surabaya:

Pustaka Promethea, 2000), hlm. 142-144, 207-210.
10
J.D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir
(Jakarta: Grafiti & Freedom Institute, 2003), hlm, 11.
11
Awal abad ke-20 di Hindia Belanda tumbuh pesat surat kabar (print capitalism) dengan
bahasa daerah atau bahasa melayu. Surat kabar ini yang mendorong tumbuhnya kesadaran anak
bangsa. Lihat Ben Anderson, Imagined Communities: Reflection on the Origin and Spread of
Nationalism (New York: Verso, 1987), hlm. 25-49.
12
J.D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, hlm. 24.

3

organisasi-organisasi politik, dan membangun organisasi ekonomi untuk menopang
politik pergerakan kebangsaan.
Meskipun pemikiran kaum nasiunalis saling berbeda, tetapi bertujuan sama,
yakni kemerdekaan bangsa Indonesia. Perkenankan saya mengkaji empat pejuang
bangsa Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Sutan Sjahrir.
Keempat pejuang bangsa, dan tentunya pejuang bangsa lainnya juga memiliki

kemiripan yang sama u tuk

e jadika

I do esia se uah egara

erdeka da

berdaulat.

II. Intelektualitas, Nasionalisme, dan Perjuangan
Berdirinya lembaga pendidikan kolonial Belanda pada 1850-an merupakan
lembaga pendidikan yang sangat terbatas. Namun, lembaga itu merupakan embrio
tumbuhnya kesadaran kebangsaan. Anak-anak bangsa bermaksud mengevaluasi
keberadaan pemerintah kolonial dengan prinsip kapitalisme yang merugikan
pribumi. Pada sisi lain, embrio gerakan perlawanan berbasis ideologi Islam yang
bersifat periferal maupun semi-periferal juga sudah ditorehkan oleh para pendahulu
pada 1850-an.13 Mereka yang melakukan gerakan itu adalah aristokrat yang pernah
belajar di pesantren, ulama, dan para santri.
Gerakan periferal maupun semi-periferal adalah ekspresi perlawanan

berbasis keagamaan akibat perubahan sosial-ekonomi yang menyulitkan penduduk
Jawa meraih etika subsistensi. Gerakan ini bersifat lokal dengan simbol mesianistis.
Perbedaannya bila gerakan periferal berlokasi diperbatasan antara Surakarta dan
Yogyakarta, sedangkan semi-periferal berada di dalam wialayah Kasunanan
Surakarta. Ekspresi gerakan periferal maupun semi-periferal dipelopori aristokrat
dan di dukung kekuatan massa pesantren. Gerakan perlawanan berbasis ideologi

13

Lihat Vincent J.H. Houben, Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870
(Yogyakarta: Bentang Budaya, 2002), hlm. 435-444.

4

agama Islam sangat besar berkontribusinya terhadap gelombang perjuangan anak
bangsa pada abad ke-20.14
Perluasan pendidikan jenjang Tweede Klasse, Volksschool, Vervolkschool, dan
Mulo secara masif dimulai pada awal abad ke-20. Perluasan itu diberikan kepada
anak-anak pribumi yang orang tuanya berpenghasilan rendah. Perluasan itu bagian
dari kebijakan etis. Paul W. van der Veur berpendapat pertumbuhan pendidikan di

Hindia Belanda lamban, dan jarak antara tahun 1850 dan 1902 sangat jauh, sehingga
Gubernur Jenderal mengingkari peraturan sendiri tentang perluasan pendidikan
pada 1845. Pada sisi lain, pemerintah kolonial membedakan status sosial-ekonomi
untuk dapat memasuki ELS, HBS, dan AMS. Anak-anak sulit memasuki sekolahsekolah di atas, karena penghasilan orang tua mereka di bawah 150 gulden/bulan.15
Tabel 1 menunjukkan pertumbuhan anak-anak pribumi berpenghasilan
rendah yang memasuki Tweede Klasse, Volksschool, dan Vervolkschool.
Tabel 1:
Murid Pribumi di Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan di Hindia Belanda
Tahun
1900
1910
1920
1930
1935
1940

Tweede Klasse
School
98.173
232.629

357.970
339.594
12.154
9.759

Volksschool
71.239
423.314
1.229.666
1.595.140
1.896.374

Vervolgschool
97.236
214.326
287.126

MULO
399


Jumlah
98.173
303.868
781.284
1.666.496
1.821.620
2.220.513

Sumber: Paul W. van der Veur (1969), Education and Social Change in Colonial
Indonesia, (Athens, Ohio: Center for International Studies, Ohio University),
hlm. 7.

14

Sartono Kartodirdjo, Protest Movement in Rural Java: A Study of agrarian Unrest in the
Nineteenth and Early Twentieth Centuries (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1978), hlm. 210213.
15
Paul W. van der Veur (1969), Education and Social Change in Colonial Indonesia, (Athens,
Ohio: Center for International Studies, Ohio University), hlm. 7.

5

Pada tabel 1 menunjukkan banyaknya anak bangsa yang termarjinalisasi oleh
sistem pendidikan kolonial. Meskipun pendidikan yang diperoleh anak bangsa
sebatas sekolah dasar, dan ada sebagian kecil yang melanjutkan jenjang sekolah
menengah pertama, tetapi mereka garda depan menggerakkan perlawanan
terhadap kolonialisme Belanda. Mengapa? Praxisnya adalah represi, diskriminasi
dan marjinalisasi, serta sifat antagonisme anak-anak bangsa yang mengenyam
pendidikan itu mampu memacu diri mereka membuka struktur pelua g eko o i
da

struktur pelua g politik .
Pada sisi lain, setting pendidikan kolonial bagi pemerintah adalah untuk

memenuhi kebutuhan administrasi perkantoran, dan penempatan aristokrat sebagai
mediator kepentingan Belanda dan pribumi. Setting ini kemudian memacu polarisasi
orientasi politik anak-anak bangsa, yakni:
(1) Orientasi politik kaum intelektual yang setia dan mengabdi kepada rezim
kolonial, serta tidak tertarik untuk menempuh jalan perjuangan.16 Kelompok ini
disebut intelektual mekanik, karena mengutamakan kepentingan diri sendiri,
dan tidak berkehendak melihat hiruk-pikuk perjuangan anak bangsa.
(2) Orientasi politik kaum intelektual yang berjuang melawan represi, diskriminasi,
dan marjinalisasi sosial-politik dan sosial-ekonomi. Mereka disebut kelompok
intelektual organik atau protagonis. Daya nasionalisme mereka meletup dan
mudah tersulut, namun daya itu disinergikan dalam organisasi politik dan
perhimpunan politik yang memiliki anggaran dasar dan rumah tangga.
Kaum intelektual protagonis dipandang sebagai manusia baru dan modern.
Mereka mulai mempertajam pemikiran pergerakan kebangsaan di Indonesia, dan di
antara tokoh protagonis itu adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar
Dewantara, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan tokoh-tokoh lainnya.17 Mereka
mendalami ideologi dunia , dan dijadikan alat politik ko tra kapitalis e yang
16
17

J.D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, hlm. 24.
Ibid., hlm. 25.

6

paling jitu. Alat politik itu digunakan untuk menghadapi rezim kolonial. Wacana
eklektikisme

ideologi du ia

menjadikan mereka sebagai elit modernis, dan

ideologi yang didalami adalah Islam, nasionalisme radikal, marxisme, dan
sosialisme.18

1. Ki Hadjar Dewantara
Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara)19 adalah salah seorang keluarga
arisokrat Istana Pakualaman, Yogyakarta, yang pernah belajar di STOVIA, meskipun
dia tidak sampai tamat, karena tergiur oleh pergerakan kebangsaan. Ki Hadjar
Dewantara yang menikmati jenjang pendidikan tinggi, tidak menempatkan dirinya
sebagai sosok yang loyal maupun mengabdi kepada rezim kolonial Belanda. Dia
memilih sebagai intelektual protagonis yang berusaha menggapai hak menentukan
nasib sendiri bagi bangsanya, Indonesia. Dia bersama dengan Douwes Dekker dan
dokter Tjipto Mangoenkoesoemo mendirikan Indische Partij (IP), pada 25 Desember
1912, sebuah partai politik berideologi nasionalisme radikal.20
18

Herbert Feith & Lance Castle (eds.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta: LP3ES,
1988), hlm. lv; lihat J.D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, hlm. 25.
19
Wawancara dengan KH. Achmad Chalwani Nawawi, Pengasuh Pondok Pesantren AnNawawi dan Wakil Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah , yang mengemukakan bahwa Ki HajarDewantara
adalah seorang santri yang pernah belajar agama kepada Romo Kyai Sulaiman Zainuddin di Kalasan,
Prambanan.
20
Indische Partij (IP). IP dipimpin secara tripartit yang terdiri RM. Soewardi Soerjaningrat,
dokter Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Douwes Dekker. IP adalah partai politik pertama di Hindia
Belanda yang menyerukan Hindia untuk orang Hindia, dan karena anggota-anggotanya sebagian
besar adalah orang-orang Indo, maka organisasi politik ini tidak diminati orang-orang pribumi. IP
membubarkan diri, dan diganti Insulinde. Insulinde berumur beberapa tahun saja, kemudian
berubah menjadi Nationaal Indische Partij (NIP). Nasionalisme Hindia yang diusung NIP justru
menjauhkan SI dari kelompok Islam lainnya. Sementara itu NIP Surakarta disebut Insulinde/Nationaal
Indische Partij-Sarekat Hindia, dipimpin oleh Tjipto Mangoenkoesoemo dan H. Muhammad Misbach.
Muhammad Misbach adalah redaktur Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917), serta
seorang mubalig yang memiliki kemampuan provokasi sangat kuat. Sementara itu, Tjipto
Mangoenkoesoemo sejak tahun 1909 berada di Surakarta untuk melanjutkan perjuangan kebangsaan
secara revolusioner. Dengan kesederhanaan hidup yang dimilikinya, kejujuran, dan ketulusannya, dia
ela arka sera ga terhadap pri a i Jawa a g e iliki sta dar
oral ti ggi, tetapi suka
menghamburkan uang. Pemimpin organisasi Insulinde/NIP-SH kemudian melancarkan provokasi
terhadap petani di pedesaan, dan dalam waktu singkat terbentuknya mobilitas petani yang memicu

7

Meskipun Indische Partij bermutasi menjadi Insulinde/Nationaal Indische
Partij-Sarekat Hindia (NIP-SH) dan kurang mendapat simpati masyarakat, tetapi para
pemimpin partai melancarkan provokasi politik terhadap pemerintah kolonial.
Sebagai contoh, Ki Hadjar Dewantara menyerang melalui sebuah artikel berjudul
a dai sa a seora g Bela da . Dalam artikel ini, Ki Hadjar Dewantara menyatakan
a gsa Bela da tidak satria atau tidak patriotik , karena merayakan seratus
tahun kemerdekaan Belanda di Perancis dengan menggunakan biaya berasal dari
eksploitasi tenaga dan kekayaan alam bangsa Hindia Belanda. Tindakan itu yang
menyebabkan kemiskinan rakyat Hindia Belanda.21 Keberanian mengkritik
pemerintah Belanda merupakan wujud pembelaan terhadap tanah air, dan kritik itu
identik dengan nasionalisme.
Nilai-nilai otomatisme (konasi) yang dimiliki oleh Ki Hadjar Dewantara adalah
menunjukkan militansi nasionalisme anak bangsa yang sangat kuat. Sikap militansi
itu selanjutnya dia bingkai dalam organisasi politik yang disebut Perhimpunan
Indonesia. Melalui organisasi politik, Perhimpunan Indonesia, yang dia dibentuk
tumbuhlah semangat independen, dan semangat itu yang dapat menggerakan
kekuatan massa secara cepat, membuat opini, serta menekan kesewenangan
pemerintah Belanda.22 Keberanian yang dibingkai dalam organisasi politik identik
dengan kesiapan bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan, baik
di ua g

maupun

dipe jara . Ki Hadjar Dewantara, Agus Salim, Soekarno,

Mohammad Hatta, dan Sjahrir adalah sosok anak bangsa yang pernah menikmati
masa pembuangan dan penjara.

gerakan radikal di Karesidenan Surakarta. Gerakan radikalisme petani sulit dikendalikan pemimpin
Insulinde/NIP-SH, akibatnya Insulinde/NIP-SH dibubarkan pemerintah Belanda. Lihat Takashi
Shiraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
1997), hlm. 78-172.
21
R.E. Elson, The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (Jakarta: Serambi, 2009),
hlm. 22.
22
John Lofland, Protes: Studi tentang Perilaku Kolektif dan Gerakan Sosial (Yogyakarta: Resist
Book, 2015), hlm. 25-27.

8

2. Soekarno
Perantauan intelektual Soekarno sangat lengkap, dan ketika Soekarno belajar
selama 5 tahun di Hoogere Burgerschool (HBS) Surabaya, sering mengikuti diskusi
politik di Panti Harsojo dan Jong Java. Kefasihan berdebat Soekarno membuat decak
kekaguman peserta diskusi. Kebiasaan berdiskusi dengan guru politiknya, HOS
Tjokroaminoto, membuka ruang untuk memperdalam wacana pemikiran politik
Islam.23 Ba aa terhadap ideologi du ia , diskusi politik, da pengamatan problem
sosial-politik dan sosial-ekonomi dalam surat kabar membentuk citra terbayang
masyarakat Indonesia masa depan.24 Dia pun bergaul dengan Mas Alimin
Prawirjodirdjo, Moeso, Semaoen, dan Darsono, anggota Indische SociaalDemocratische Vereeniging (ISDV). Akibat pergaulan ini Soekarno diawasi oleh
Politieke Inlichtingen Dienst (PID, Polisi Rahasia Belanda).25
Ketika Soekarno melanjutkan studi di Technische Hoogeschool (THS)
Bandung, secara intens dia mengikuti diskusi-diskusi politik dengan kelompok kecil
dan tertutup. Dalam kelompok kecil yang tertutup tersebut pemikiran politik
Soekarno, sejatinya banyak dipengaruhi oleh dokter Tjipto Mangoenkoesoemo dan
Douwes Dekker.26 Soekarno kemudian diangkat menjadi sekretaris Algemenee
Studie Club (ASC), didirikan pada 1926. Bahkan ASC menerbitkan majalah Indonesia
Muda yang menjadi wahana bagi Soekarno menuangkan pemikiran dan gagasan
perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Salah satu tulisan yang menggetarkan
pemerintah kolonial Belanda adalah Nasio alis e, Isla is e, da

23

Mar is e .

Soekarno mengikuti gaya eklektikisme HOS Tjokroaminoto, yang kemudian diwujudkan
dalam sebuah pemikiran orisinal erjudul asio alis e, isla is e, da
ar is e . Pikira eklektik
tersebut merupakan energi politik pembebasan, yang ruhnya dianut oleh para pejuang bangsa. Lihat
Goe awa Moha ad, Kata Pe ga tar: Bu g Kar o da Isla , dala M. ‘idwa Lu is, Sukarno dan
Modernisme Islam (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), hlm. xv-xxxiv.
24
Bob Hering, Soekarno Bapak Indonesia Merdeka: Sebuah Biografi 1901-1945 (Jakarta:
Hasta Mitra, 2003), hlm. 98-99.
25
Ibid., hlm. 99-108.
26
Peter Kasenda, Sukarno Marxisme dan Leninisme: Akar Pemikiran Kiri dan Revolusi
Indonesia (Jakarta: Komunitas Bambu, 2014), hlm. 13.

9

Artikel

erjudul

Nasio alis e, Isla is e, da

Mar is e

27

dapat ditafsirkan

sebagai sebuah deklarasi sekularisasi yang dilontarkan Soekarno dalam Majalah
Indonesia Muda. Sekularisasi dalam pandangan Soekarno merupakan keharusan
untuk menuju modernisasi politik. Kata sekularisasi berbeda dengan sekularisme,
masing-masing berdiri sendiri secara otonomi. Sekularisasi adalah proses deskralisasi
segala aspek yang bersifat duniawi dan sementara.28 Sementara itu sekularisme
merupakan ideologi, sebuah doktrin yang menyatakan bahwa moralitas harus
semata-mata bertumpu pada kebaikan manusia di dunia, sehingga sekularisme
menafikan pertimbangan yang diambil berdasarkan keyakinan ajaran agama.29
Prinsip-prinsip sekularisasi yang berpijak pada landasan etika dan moral agama,
memberi ruang sekularisasi lebih terbuka dibandingkan dengan sifat tertutupnya
sekularisme terhadap etika dan moral agama.
Meletakan sekularisasi sebagai landasan modernisasi politik Indonesia,
secara tersirat Soekarno menginginkan adanya keselarasan, kesatuan dan toleransi
beragama yang sesuai dengan kondisi dan sifat etnisitas kehidupan bangsa kita. Dia
sadar antarelemen sosial maupun politik adalah saling membutuhkan sebagai wujud
masyarakat organik.30 Sifat saling membutuhkan antarelemen sosial dan politik itu
yang mendorong tokoh-tokoh nasionalis mengutamakan kepentingan umum dari
pada kepentingan pribadi mereka.31
Sinergisitas ideologi du ia yang digagas Soekarno tidak diletakkan pada
tataran praxis, tetapi dijadikan landasan sinergisitas antarkekuatan politik yang
melekat aliran-aliran politik yang menjadi tumpuan partai politik tersebut. Dengan
sinergisitas itu, Soekarno beridiom mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada, dan
27

Ibid., hlm. 14-15.
Irsyad Zamjani, Sekularisasi Setengah Hati: Politik Islam Periode Formatif (Jakarta: Dian
Rakyat, 2010), hlm. 16-17.
29
Ibid.
30
Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan
(Yogyakarta: Pustaka Promethea, 2014), hlm. 43.
31
Ibid.
28

10

idiom itu menjadi pilar ideologi bangsa Indonesia, bhinneka tunggal ika (unity in
diversity).32 Sejatinya esensi dari pemikiran Soekarno adalah nilai-nilai humanisme
untuk menyatukan bangsa kita. Unity in diversity selanjutnya menjadi pengakuan
terhadap keberagaman etnisitas, religiusitas, dan jiwa kegotongroyongan bagi
seluruh masyarakat di Hindia Belanda.33

3. Mohammad Hatta
Kesadaran politik Mohammad Hatta34 timbul ketika dia bergabung dalam
Jong Sumatranen Bond pada 1919. Kesadaran itu semakin menguat saat
Mohammad Hatta belajar Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi) di
Belanda. Dengan kesadaran itu mendorong Hatta bergabung dalam organisasi politik
Indische Vereeniging. Organisasi ini kemudian berubah menjadi Indonesische
Vereeniging (Perhimpunan Indonesia, PI), dan PI berganti nama menjadi Indonesia
Merdeka.35
Ketika Hatta Belajar di Negeri Belanda, dia bertemu dengan Tan Malaka dan
Semaun (PKI) pada 1926, dan selama belajar dia mulai mempropagandakan
kemerdekaan Indonesia. Sikap politik Hatta itu merupakan personifikasi seorang
intelektual protagonis, yang mencintai bangsanya dan mengupayakan berdiri negara
Indonesia. Inilah nasionalisme Mohammad Hatta.
32

Herbert Feith dan Lance Castle mengemukakan bahwa bangsa Indonesia selama masa
pergerakan kebangsaan pada awal abad ke-20 sudah mengenal ideologi-ideologi dunia. Ideologiideologi itu adalah Islamisme, nasionalisme radikal, marxisme, dan sosialisme. Pada sisi lain, Robert
Cribb mengemukakan bahwa masyarakat Hindia Belanda terdiri dari berbagai suku, agama, ras, dan
aliran, sehingga pemikiran unity and diversity merupakan alternatif untuk penyatuan bangsa. Lihat
Herbert Feith & Lance Castle (eds.), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, hlm. lv; lihat pula Robert
Cri , The Histori al ‘oots of I do esia s New Order: Be o d Colo ial Co pariso , i Edward
Aspinall & Greg Fealy, Soeharto’s New Order a d its Lega y: Essays i ho our of Harold Crou h. Asian
Studies Series Monograph 2 (Canberra: ANU, 2010), hlm. 67-80.
33
Ibid.
34
Wawancara dengan KH. Achmad Chalwani Nawawi, Pengasuh Pondok Pesantren AnNawawi dan Wakil Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah, yang mengemukakan bahwa Muhammad Hatta
adalah putra Ustadz KH. Jamil, guru thariqah naqsyabandiyyah Kholidiyyad.
35
Hery Sucipto, Menegakkan Indonesia: Pemikiran dan Kontribusi 50 Tokoh Bangsa
Berpengaruh (Jakarta: Grafindo, 2004), hlm. 169.

11

Dia memperkenalkan nama Indonesia kepada mahasiswa Asia yang sedang
Belajar di Eropa. Pada Februari 1927, Mohammad Hatta, Nazir Pamuntjak, dan
Ahmad Subardjo mewakili organisasi PI hadir dalam Konggres Internasional
Menentang Kolonialisme di Brussel. Keberanian tokoh PI menghadiri konggres itu,
menyebabkan pemerintah Kerajaan Belanda menyatakan PI merupakan organisasi
politik yang berbahaya. Sepulang dari konggres, Mohammad Hatta, Nazir
Pamuntjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat ditahan di Penjara
Casuarisstraat. Kepolisian Kerajaan Belanda mengetahui bahwa Mohammad Hatta
mengadakan konvensi dengan Semaun.36 Di pengadilan Den Haag, Mohammad
Hatta mengemukakan pembelaan berjudul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka).37
Merdeka memiliki makna kedaulatan rakyat, dan dalam kedaulatan bangsa
terkandung gagasan demokrasi.38 Hatta memandang demokrasi merupakan cara
untuk mencapai tujuan, secara rinci dikemukakan bahwa gagasa de okrasi di eri
tempat terhormat, dan di belakang unsur demokrasi itu tersembunyi keinginan
untuk merdeka. Kemerdekaan adalah wewenang tertinggi dari suatu bangsa untuk
menentukan masa depan mereka. Dengan landasan ini PI menenpuh jalan nonkooperasi untuk mencapai perubahan politik secara radikal.39

4. Sutan Sjahrir
Sutan Sjahrir adalah sosok yang terpesona dengan rasionalisme dan
demokrasi.40 Dalam pemikiran Sutan Sjahrir, feodalisme yang menjadi penyebab
keterbelakangan pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan sosial-ekonomi dan
sosial-politik sehingga mengakibatkan kehinaan bangsa kita.41 Pada masa
pendudukan Jepang, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir kembali ke Batavia dari
36

Ibid., hlm 170.
Ibid.
38
R.E. Elson, The Idea of Indonesia, hlm. 80-82.
39
Ibid., hlm. 74-89.
40
Ibid., hlm. 76.
41
Ibid., hlm. 84.
37

12

pembuangan. Soekarno dari Bengkulu, serta Hatta dan Sjahrir dari Banda Neira.42
Mereka bertiga bersepakat bahwa Soekarno dan Hatta harus bekerja sama dengan
pemerintah pendudukan Jepang untuk meminta memperlunak perlakuan, dan
membela kepentingan perjuangan bangsa Indonesia. Sementara itu Sutan Sjahrir
yang merasa tidak dikenal oleh pemerintah pendudukan Jepang melakukan
perlawanan bawah tanah secara diam-diam, sembari terus-menerus melakukan
komunikasi politik dengan kaum nasionalis yang lebih senior.43
Perlawanan politik Sutan Sjahrir dilakukan secara terus menerus hingga masa
revolusi kemerdekaan. Revolusi yang diperjuangkan Sutan Sjahrir adalah berpijak
pada ideologi nasionalisme, dan ideologi nasionalisme ditautkan dengan ideologi
sosialisme.44 Rupanya ideologi nasionalisme dan sosialisme menjadi mainstream
perjuangan Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta. Sepanjang masa revolusi
kemerdekaan ada tiga mainstream perjuangan para pejuang kebangsaan Indonesia,
yakni: (1) prinsip nasionalis revolusioner yang timbul pada 1927, dan diprakarsai
oleh Partai Nasional Indonesia, PNI; (2) sosialisme yang disodorkan oleh Mohammad
Hatta dan Sutan Sjahrir; (3) sosialisme religius yang berakar pada organisasi politik
Sarekat Islam, SI.
Perkenalan dengan ideologi dunia ketika anak bangsa sudah mengenyam
pendidikan Belanda, yang secara masif dimulai awal abad ke-20. Ideologi dunia yang
dipelajari adalah ideologi-ideologi yang kontra paham kapitalisme. Fenomena
historis di atas menunjukkan sebuah latar modernitas nalar politik, dan mdernitas
nalar politik itu merupakan pemacu mengembangkannya payung bhinneka tunggal
ika. Payung tersebut dipersepsikan Robert Cribb sebagai dasar mempersatukan
masyarakat Indonesia.45
42

J.D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, hlm. 5.
Ibid.
44
Peter Kasenda, Soekarno, Marxisme, dan Leninisme, hlm. 24.
45
‘o ert Cri , Ba gsa: Me iptaka I do esia , dala Do ald K. E
Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, dan Transisi, hlm. 25-32.
43

13

erso , Indonesia

III. Modernitas dan Relasi Masa Kini
Meminjam istilah Anthony Giddens dalam The Third Way dapat dipastikan
bahwa Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir adalah
kau

asio alis

erhalua

kiri , nasionalisme-sosialisme, dan bukan beraliran

marxisme. Haluan kiri ini menjadi pijakan untuk memperjuangkan hak menentukan
nasib sendiri, serta memperjuangkan persamaan hak antarwarga negara tanpa
mempertimbangkan perbedaan-perbedaan etnisitas dan religiusitas.46 Kohesi sosial
menjadi faktor penting memandu tumbuhnya politik identitas.47 Politik identitas
merupakan negosiasi damai perbedaan-perbedaan etnisitas dan religiusitas, serta
merupakan kebalikan dari wacana the others. Politik identitas merupakan gerakan
politik untuk menumbuhkan symptom-symptom perbedaan, yang merangsang
pemikiran demokrasi dan memacu tumbuhnya sikap toleran.
Sikap dan tindakan rasisme, intoleran, dan kekerasan terhadap identitas lokal
yang bersifat etnis dan religius, karena wacana berpikir mereka justru diletakkan di
luar pilar ideologi bangsa. Fenomena ini menjadi problem serius bangsa kita dewasa
i i adalah
aga a

elihat ide titas lokal dilihat dari geladak kapal kesukusa , ras, da

a g er eda. Pe glihata dari sisi er eda terse ut

e e a ka represi

yang memacu timbulnya intoleran dan dehumanisasi.
Intoleran dan dehumanisasi tidak selaras dengan pemikiran Ki Hadjar
Dewantara, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir, karena sikap itu bukan
daya pendorong pembangunan politik dan ekonomi untuk mewujudkan keadilan
sosial. Dalam pemikiran penulis ada dua aspek penting untuk diperjuangkan oleh
seluruh elemen bangsa, yakni: (1) membangun intelektualitas anak-anak bangsa,
dan (2) membangun kesetaraan sebagai landasan simbolik membangun relasi sosial.
46

Anthony Giddens, The Third Way: Jalan Ketiga Pembaruan Demokrasi Sosial (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 1-30; lihat pula Herbert Feith & Lance Castle (eds.), Pemikiran
Politik Indonesia 1945-1965, hlm. lv.
47
Michael Amaladoss, Teologi Pembebasan Asia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press, &
Cindelaras, 2001), hlm. 99-101.

14

Melalui kedua aspek itu pilar bhinneka tunggal ika sebagai perso ifikasi ideologi
persatuan.
Bhinneka tunggal ika sebagai salah satu pilar, di samping Pancasila, yang
secara psikologis menuntut sebuah konstruksi loyalitas terhadap ideologi yang
sudah dicanangkan oleh para pendiri Negara Indonesia. Konstruksi loyalitas itu
konsekuensi dari wilayah Negara Indonesia yang luas, terdiri dari ribuan pulau-pulau
dari Sabang hingga Merauke, dan dari Miangas hingga Rote. Di masa lalu bangunan
relasi antargugusan pulau berdasarkan relasi-relasi personal untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi, dan bukannya persoalan politik. Relasi itu membentuk lapisan
pengalaman bersama yang telah lama berurat dan berakar.48
Relasi-relasi bersama telah berurat dan berakar menjadi konstruksi loyalitas
berbasis bhinneka tunggal ika, dan Pancasila yang diharapkan membentuk politik
identitas untuk tetap dapat menyatukan bangsa.49 Susanto Zuhdi mengutip
pendapat Brown mengenai loyalitas emosional terhadap ideologi persatua yang
berperan membentuk politik identitas nasional. Loyalitas emosional dapat dilihat
pada tabel 2 di bawah ini:

48

Gerry van Klinken, The Making of Middle Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia-KITLV, 2015), hlm. 3.
49
Susanto Zuhdi, Nasionalisme, Laut dan Sejarah (Jakarta: Komunitas Bambu, 2014), hlm. 116.

15

Tabel 2: Loyalitas Emosional terhadap Ideologi Persatuan

Constructivist
Psychological/
Political myth

Ideological filtered
perception
Ideology

Instinct

Rational
perception
Emotional loyality

Primordialist

Interest
Situationalist

Fixed identity

Fluid identity

Sumber: Susanto Zuhdi, Nasionalisme, Laut, dan Sejarah (Jakarta:
Komunitas Bambu, 2014), hlm. 13.
Bagan di atas menunjukkan bahwa loyalitas emosional terhadap ideologi
mendesak mereka untuk saling berinteraksi, baik dalam konteks budaya, ekonomi,
dan politik. Proses interaksi harmonis itu mem e tuk ide titas kei do esiaa
yang dapat memperkuat persatuan bangsa. Sejatinya loyalitas emosional terhadap
ideologi itu yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa Indonesia. Unsur politik
berbasis primordialisme dapat ditekan melalui loyalitas emosional maupun persepsi
rational terhadap ideologi bangsa Indonesia.
Relasi antarwarga negara tanpa mempertimbangkan aspek etnisitas dan
religiusitas akan memacu kesetaraan dan mempercepat proses kemodernan. Sifat
etnisitas yang kuat dapat memacu tindakan primordialisme, dan pada sisi lain sifat
multi-etnis suatu bangsa justru menjadi unsur utama yang mendorong tumbuhnya
demokrasi. Dalam paradigma pemikiran Robert A. Dahl, demokrasi akan tumbuh
secara baik apabila struktur sosial masyarakat pada posisi modern, dynamic, dan

16

pluralist (MDP).50 Karena itu Soekarno sadar bahwa prinsip unity in diversity
(bhinneka tunggal ika) merupakan manifestasi dari MDP. Aspek unity in diversity
sangat penting untuk memacu tumbuhnya demokrasi. Nilai-nilai yang terkandung
dalam unity in diversity adalah: (1) pengakuan terhadap keberagaman, baik etnisitas
maupun religiusitas; (2) dalam unity in diversity terdapat jiwa kegotongroyongan
dan solidaritas sosial.51
Pasca kemerdekaan pemikiran modernisasi melalui pembangunan disetujui
oleh Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir.
Pembangunan, dengan standar pendapatan nasional yang dimiliki, dimanfaatkan
untuk memperluas dan memperbaiki pendidikan, prasarana, dan investasi, sehingga
proses-proses pembangunan diharapkan dapat meningkatkan standart hidup
masyarakat.52 Ide-ide pembangunan yang dilontarkan Sutan Sahrir untuk
mengundang investasi Barat dalam membangun tatanan ekonomi Indonesia ditolak
Sukarno. Sebenarnya investasi bangsa-bangsa Barat yang telah maju merupakan
aspek penting untuk menumbuhkan demokrasi dan MDP.
Pemikiran Mohammad Hatta dan Robert A. Dahl berkenaan dengan
demokrasi adalah sinkron, karena demokrasi tidak hanya ditujukan pada aspek
politik saja, tetapi harus merambah pada aspek ekonomi. Dengan dasar asumsi itu,
aspek-aspek pertumbuhan politik maupun ekonomi merupakan ranah dominan
untuk modernisasi dan demokrasi suatu bangsa. Ranah politik maupun ekonomi
selalu menuntut tercipta sebuah bingkai keadilan dan kejujuran. Dua aspek tersebut,
dalam perspektif agama Islam merupakan personifikasi dari etika dan moral politik
maupun etika dan moral ekonomi.

50

Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1992), hlm. 1-35.
51
‘o ert Cri , The Histori al ‘oots of I di esia s New Order: Be o d the Colo ial
Co paraso , i Edward Aspi all & Greg Feal , Soeharto’s New Order a d its Lega y, hlm. 67-79.
52
‘o ert Cri , Ba gsa: Me iptaka I do esia , dala Do ald K. E
erso , Indonesia
Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, dan Transisi, hlm. 33.

17

Ideologi nasionalisme-sosialisme yang dianut Ki Hadjar Dewantara, Soekarno,
Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir, pasca proklamasi kemerdekaan belum dapat
diwujudkan dalam mainstream pembangunan ekonomi kerakyatan. Faktor utama
adalah adanya pertikaian ideologis yang mendorong tidak efektifnya kekuasaan
pemerintah pusat. Ketidakefektifan itu implikasi melemahnya kesetiaan daerah
terhadap pemerintah pusat. Pada sisi lain, Soekarno sangat yakin terhadap
bangunan politik berdasarkan pemikiran masa pergerakan, yakni Islamismenasionalisme-marxisme. Yang menarik dari pemikiran pembangunan ekonomi dan
politik yang dilontarkan Soekarno adalah sikap kemandirian untuk tidak menerima
bantuan negara kapitalis. Tidak mengherankan bila Soekarno melontarkan kata-kata
go hell with your aid.
Praktik demokrasi politik di Indonesia belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan, baik pada masa Sukarno, Suharto, maupun masa reformasi. Kekuasaan
yang dikembangkan oleh Sukarno adalah demokrasi terpimpin. Menurut Harry J.
Benda, demokrasi terpimpin dapat dipahami sebagai bentuk politik pribumi, tetapi
politik itu sebagai perantara menuju demokrasi yang sesungguhnya, dan sebagai
landasan menghadapi kekuatan ekonomi kapitalisme Barat yang masih bercokol di
Indonesia.53 Pada sisi lain, Sukarno melihat bahwa demokrasi terpimpin sebagai
tuntunan menuju demokrasi sejati. Sebab, demokrasi dalam perspektif Islam
merupakan titik tolak menuju human development well-being, yang dipengaruhi
oleh tiga komponen utama, yakni the human self, faith, dan intellectualism.
Apabila membandingkan demokrasi dari orde menuju orde pemerintahan
Indonesia berikutnya tampak sekali bahwa demokrasi substantif belum berjalan
sebagaimana yang diharapkan, meskipun partisipasi warganegara meningkat secara
tajam. Menutut Franz Magnis-Suseno yang dikutip oleh A.E. Priyono bahwa
demokrasi pada masa orde reformasi bersifat elitis, yang bisa menimbulkan
53

‘o ert Cri , The Histori al ‘oots of I di esia s New Order: Be o d the Colo ial
Co paraso , i Edward Aspi all & Greg Fealy, Soeharto’s New Order a d its Lega y, hlm. 67-80.

18

disorientasi terhadap cita-cita reformasi, yang implikasinya menimbulkan distorsi
demokrasi itu sendiri.54
Dengan sifat di atas, ditambah kecenderungan oligarki justru mendorong
tumbuhnya ko u al pri ordialis e . Elit sipil menjadi konservatif dan eksklusif
ketika mereka menduduki lembaga-lembaga politik negara, dan bersibuk diri dengan
kelompok kepentingan, tanpa melihat skala urgensi yang dibutuhkan oleh bangsa
dan negara. Sikap eksklusif juga ditunjukkan oleh kelompok agama. Sikap eksklusif
kelompok agama pasca reformasi dapat mencederai bhinneka tunggal ika yang
merupakan personifikasi dari persatuan.
Sementara itu, fenomena reformasi telah menunjukkan kegilaan elit politik
sipil untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Melalui kekuasaan politik itu
mereka meraup kekuasaan ekonomi, dengan membuat lorong-lorong untuk
mendisain dan mengorupsi anggaran pendapatan dan belanja negara.

Penutup
Nasionalisme tumbuh dari kesadaran anak bangsa sebagai implikasi dari
pendidikan formal yang mereka miliki. Merekonstruksi gagasan pendiri bangsa
mengenai Pancasila dan bhinneka tunggal ika merupakan proses kontemplasi yang
sangat mendalam dan tajam, sebagai implikasi dari geo-politik negara Indonesia,
dan padatnya etnisitas maupun etno-religius. Salah satu instrumen yang akan
memperkuat bhinneka tunggal ika adalah demokrasi. Meskipun demokrasi yang
sedang tumbuh belum sepenuhnya dapat diwujudkan sebagai demokrasi yang
sesungguhnya

(substantif).

Hambatan

utamanya

adalah

kuatnya

politik

primordialisme, serta sifat kesukuan dan agama. Meskipun fenomena yang terakhir

54

Pri o o, A.E.
4 . Prolog: De okratisasi I do esia, da Paradoks-Paradoks
‘efor asi , dala A.E. Pri o o & Us a Ha id, Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca
Reformasi. Jakarta: KPG, Public Virtue Institute, Hivos, dan Yayasan Tifa.

19

bisa dipandang bersifat debatable. Namun demikian problem lemahnya loyalitas
emosional dapat memacu perpecahan terhadap ideologi bangsa. Pendapat Brown
mengenai identitas politik yang dikutip Susanto Zuhdi merupakan aspek yang
mendesak untuk diwujudkan. Semoga.

20