Relasi Laki-Laki dengan Perempuan Menurut Pandangan Islam dalam Novel Maha Cinta Adam-Hawa Karya Muhammad El-Natsir: Sosiologi Sastra

LAMPIRAN 1

SINOPSIS NOVEL MAHA CINTA ADAM-HAWA
KARYA MUHAMMAD EL-NATSIR
Novel

Maha

Cinta

Adam-Hawa

karya

Muhammad

El-Natsir

mengisahkan tentang dua anak manusia yang bernama Adam dan Hawa.Adam
adalah seorang anak yatim piatu yang diangkat oleh pasangan suami istri yang
memimpin


sebuah

pesantren.Adam

anak

yang

cerdas

dan

berpikiran

cemerlang.Dia menghafal Alquran dan selalu memiliki pertanyaan yang
cerdas.Adam yang dibesarkan oleh Kiai Idris dan Ummi Hindun tumbuh
besar.Adam adalah anak yang membanggakan dalam keluarga, sedangkan Hawa
adalah anak sahabat lama dari Kiai Idris.Hawa di antar ke pesantren supaya
mendalami ilmu agama.

Di

pesantren

inilah

Adam

dan

Hawa

bertemu.Pertemuan

itu

menumbuhkan cinta di hati mereka.Cinta yang sebenarnya sangat mereka
jaga.Namun cinta suci yang mereka miliki dibenci oleh salah satu santri
pesantren.Zarkasih sangat berambisi untuk menjelekkan Adam.Dia melakukan itu
supaya dapat menduduki kedudukan yang tinggi di pesantren.

Zarkasih menjebak Adam dan Hawa di kamarnya.Jebakan tersebut
membuat Adam dihukum dengan berat.Kiai Idris yang melihat perbuatan Adam
dan Hawa sangat terkejut dan membuat dia jatuh sakit.Tidak lama setelah itu, Kiai
Idris meninggal dunia.Setelah Kiai Idris meninggal, Adam diusir dari pesantren
karena difitnah.Kepergian Adam membuat Hawa sangat menderita.Dia pun
meninggalkan pesantren, dan hidup pada sebuah rumah kontrakan bersama Ummi
Hindun dan Hanifah.

55
Universitas Sumatera Utara

Selama bertahun-tahun hidup Adam di dalam hutan.Pada suatu hari dia
melihat dua orang anak muda yang bertengkar.Pertengkaran tersebut membuat
salah satu dari pemuda itu meninggal dunia.Adam ikut menjadi saksi pembunuhan
tersebut.Kejadian inilah yang menjadi awal bertemunya kembali Adam dan
Hawa.Ternyata kedua anak laki-laki tersebut adalah anak Adam sendiri.Adam
bertemu istrinya Hawa di rumah sakit.Namun, pertemuan keduanya berlangsung
sangat singkat, karena pada pertemuan tersebut keduanya meninggal dunia.

56

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN 2
No

No. Data

1

1a

2

1b

3

1c

4


1d

5

1e

6

1f

7

1g

8

2a

Data

“Maksudku bukan itu, Kang.” Potong Adam.” Aku paham setiap orang
mempunyai ketertarikan terhadap lawan jenis. Jika pria tertarik dengan
wanita dan sebaliknya. Tetapi yang aku maksudkan, dalam Islam itu
melarang hubungan lawan jenis dalam tanda kutip berpacaran, sebelum
nikah, baik sudah lamaran atau belum, maka hubungannya haram, karena
tidak boleh seseorang bersenang-senang dengan wanita asing, bukan
muhrimnya, baik melalui ucapan, memandang, atau berduaan. (Natsir,
2010:147)
Namun, suara lantang Zarkasih menahan.” Jangan! Jangan kau sentuh Adam.
Dia belum halal bagimu.”
“Benar hawa, Adam belum menjadi muhrim. Haram hukumnya.” Timpal Pak
Habibullah Idris dengan nada lemah, menahan sesak di dada. (Natsir,
2010:170)
Habibullah Idris duduk di belakang setir, sedangkan istrinya duduk di
sebelahnya sambil mendekap sang bayi. Di sela konsentrasi mengemudi,
sesekali Habibullah melirik sang bayi. Sementara itu, Kiai Syamsul dan pak
RT duduk di belakang sambil menikmati pemandangan kota. (Natsir,
2010:21)
Tatkala sudah dekat dengan Hawa serta hendak mengulurkan tangan suci
kepadanya, tiba-tiba terdengarlah suara gaib, Hai...Adam.., tahanlah dirimu.

Pergaulanmu dengan Hawa tidak halal kecuali dengan mahar dan menikah.
(Natsir, 2010:130)
“Mana Mahar? Hawa menuntut haknya. Hal yang disyariatkan Tuhan sejak
semula. Ia menolak persentuhan sebelum mahar pemberian ditunaikan
dahulu. Seketika Adam bingung, sadar bahwa untuk menerima haruslah
sedia memberi. (Natsir, 2010:131)
Pergaulan hidup adalah persahabatan. Dan pergaulan antara laki-laki dengan
wanita akan berubah menjadi perkawinan, apabila disertai dengan mahar.
Lantas, bagaimana bentuk mahar yang harus diberikan? Itulah yang sedang
dipikirkan Adam. (Natsir, 2010:132)
Adam menjawab dengan mantap dan tegas, ”Qabiltu Nikahahaa wa
tazwijahaa linafsi bi mahri madzkur baalan ‘alaa manjahi kitaabullaah wa
sunnah Rasuulullaah!” ”Aku terima nikah dan kawin dia, Hawa binti Raihan
untuk diriku dengan mahar yang telah disebut tadi, kontan di atas manhaj
kitab Allah dan Rasulullah!” (Natsir, 2010:183)
Adam, nama yang diberikan oleh Habibullah Idris, sang Ayah angkat. Pak
Kiai Syamsul dan Pak RT sangat gembira mendengar nama yang bagus itu.
Demikian pula dengan istri kiai Habibullah Idrus. Ia tersenyum sambil terus
membelai pipi sang bayi. Hanifah, putri tunggal Kiai juga sangat senang.
Kini ia punya adik. Walau bukan adik kandung, Hanifah sangat

menyayanginya, seperti adik kandung. (Natsir, 2010:26)

57
Universitas Sumatera Utara

9

2b

10

2c

11

3a

12

3b


13

3c

14

3d

15

3e

16

3f

“Hem...Bah.” panggi Adam. Mungkin sekarang yang perlu dipercepat adalah
pernikahan Zarkasih dengan Kak Hanifah. Jika kang Zarkasih sudah siap,
secepatnya saja kang Zarkasih meminang kak Hanifah. Karena di samping

untuk menghalalkan hubungan keduanya, juga agar kang Zarkasih segera
masuk dalam keluarga kita.” Adam mulai unjuk bicara. Masalah pelimbahan
pengajaran itu soal mudah. (Natsir, 2010:44)
Hem...oh iya, hem....gimana, ya? Sebetulnya sekarang pun usah berkobar
untuk meningkatkan kemajuan pesantren. Tetapi, benar kata Gus Adam tadi,
agar menghalalkan hubungan saya dengan Hanifah, tidak ada yang lebih
tepat, kecuali menikah. (Natsir, 2010:44)
Dua hari berikutnya.
Pak Kiai Habibullah Idris dan Nyai Hindun kembali ke panti asuhan. Beliau
disambut dengan senyum mengembang. Bu Hindun dan Bu Hajjah Raudiyah
saling peluk cium pipi. Sedangkan Kiai Habibullah hanya mengatupkan
kedua belah tangannya. Mereka bertiga duduk. (Natsir, 2010:20)
Para santri putra dan putri dipisah kain panjang yang membelah tengah
ruangan. Sebenarnya, mereka bisa saja mengintip satu sama lain. Namun,
apabila ada yang melakukan hal tersebut, pasti akan dapat takzir berupa
membaca tafsir Jalalain sebanyak tiga sampai lima juz. Sehingga, tidak ada
yang berani melanggarnya. (Natsir, 2010:35)
Kali ini Adam tidak dapat berbuat banyak, kenyataannya Hawa memang
melanggar peraturan. Apabila ia membela, takut mereka mengetahui kalau
dirinya menaruh hati terhadapnya. Padahal pesantren paling anti dan

mengancam santri yang main hati dengan lawan jenis. Apabila ada santri
yang tertangkap basah tengah berkhalwat, tidak pikir
panjang, ia akan dikeluarkan dari pesantren ini dengan tidak terhormat. Jika
perlu, orang tuanya dipanggil. (Natsir, 2010:95)
Jauh di dalam hatinya, ia ingin menemui Hawa dan menyampaikan terima
kasih. Tetapi jika hal itu dilakukan, merupakan pelanggaran paling besar
dalam pesantren ini. Apalagi kalau diketahui sedang berduaan dengan lawan
jenis, bisa-bisa mereka akan mendapatkan takzir yang kedua kalinya. Adam
sangat menjaga hal itu. Adam sangat berhati-hati. Jangan sampai gejolak
hatinya diketahui oleh santri-santri yang menetap di pesantren, apalagi oleh
Zarkasih, berbahaya! (Natsir, 2010:120)
Karena biasanya orang-orang yang tengah jatuh cinta, lupa dengan
ketentuan-ketentuan Islam. Orang yang sedang jatuh cinta akan menjadi buta
dan tuli, sehingga akan melihat semua yang dilakukannya adalah kebaikan
tanpa cacat. (Natsir, 2010:148)
Jauh di dalam hati, ia mengalami konflik antara keraguan dan kemantapan,
gejolak hasrat dan kesadaran fitrah, mahabbah rindu sang kekasih dan batasbatas estetika cinta diri. Semuanya mendekam dalam otak dan hati, tarik
menarik untuk memenangkan siapa yang paling kuat. Adam sadar bahwa apa
yang dilakukan sekarang ini jelas melanggar syariat dalam Islam. Namun,
akibat desakan Zarkasih, Adampun terpelanting jatuh dalam kubangan siasat
yang memang sudah direncanakan olehnya. (Natsir, 2010:160)

58
Universitas Sumatera Utara