RELASI SETARA ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM KASUS KEWARISAN ISLAM ( FARĀ’I Ḍ) Wahidah
RELASI SETARA ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM KASUS KEWARISAN ISLAM ( FARĀ’I Ḍ)
Wahidah
Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin Jl. A. Yani No.Km.4,5, Kebun Bunga, Kec. Banjarmasin Tim., Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan 70235 e-Mail: wahidah@uin-antasari.ac.id
Abstrak: Prinsip dasar dalam kewarisan Islam ( farā’iḍ) adalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan tanpa memandang besar kecil orangnya atau banyak dan sedikitnya harta warisan yang ditinggalkan pewarisnya. Laki-laki yang berstatus sebagai ahli waris a ṣābah tidak selalu (harus dipahami) mendapat bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesetaraan dalam konteks kewarisan Islam, hakikinya memang tidak dimaksudkan “sama” antara perolehan waris laki-laki dan perempuan. Sebab, banyak dan sedikitnya bagian yang diperoleh seorang ahli waris dalam suatu strukturnya, sangat tergantung pada kondisi atau status seseorang di setiap kasusnya. Ini dibuktikan melalui beberapa contoh kasus kongkrit yang berbanding terbalik dengan anggapan dan pemahaman (sebagian) masyarakat selama ini. Selain itu, realitas menunjukkan bahwa telah terjadi semacam modifikasi penyelesaian kasus kewarisan yang mencoba menghubungkan dengan latar belakang sosial-ekonomi keluarga. Atas dasar ini, ajaran prinsip (qa ṭ’ī) atau normatif dalam Islam tentang keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tetap bisa ditegakkan. Kata Kunci: Relasi Setara, Far ā’iḍ, Kasus Istimewa, Asal Masalah, Aṣābah.
Abstract: The basic principle in Islamic inheritance ( farā'iḍ) is the equality of rights between men and women without regarding the size of the person or the amount of
the inheritance left by the heir. Men who have the status as heirs of a ṣābah do not always (to be understood) get a greater share than women. Equality in the context of Islamic inheritance is essentially not meant to be "the same" between the acquisition of male and female inheritance. It is because how much and few does a heir gets in a structure, depends on the condition or status of a person in each case. This is evidenced by several examples of concrete cases that are inversely proportional to the assumptions and understanding (some) of the community so far. In addition, reality shows that there has been a kind of modification to the settlement of inheritance cases that try to relate to the socio-economic background of the family. On this basis, the principle teaching (qa ṭ’ī) or normative in Islam regarding justice and equality between men and women can still be upheld.
Keywords: Equivalent Relationship s, Farā’iḍ, Special Cases, Origin of Problems, A ṣābah.
Pendahuluan pewarisannya dan siapa saja yang berhak Pembagian harta warisan dalam atau tertolak menerima harta tersebut,
Islam telah diatur secara rinci (detail) di bahkan sampai cara-cara penghitungan- dalam al-Qur ’an dan Hadis serta ijtihad
farā’iḍ telah secara tegas para fuqaha. Berbagai persoalan
nya,
menjelaskan-nya dengan ungkapan menyangkut definisi harta warisan, cara
kalimat yang oleh banyak kalangan
Wahidah, Relasi Setara Antara Laki-Laki Dan Perempuan 66
dianggap sebagai ketentuan yang bersifat suatu kerangka berfikir yang tidak bersifat qa ṭ’ī.
parsial atau sepotong-potong. Hubungannya dengan hak-hak ahli
kasus yang bisa waris, prinsip dasar yang mutlak diillustrasikan untuk bisa membuk-tikan dipegangi adalah laki-laki dan perempuan sebagai verifikasi benar-tidaknya bahwa memiliki hak yang sama dalam harta perolehan perempuan yang separuh dari peninggalan tanpa memandang besar hak laki-laki itu dipandang sebagai sebuah kecil orangnya, atau banyak dan sedikit ketimpang-an,
Banyak
ketidakadilan, atau harta
Laki-laki dan pewarisnya, yang penting dia hidup pada perempuan, selama ini (tampaknya)
warisan yang
ditinggalkan ketidakseta-raan.
saat kematian muwarrith. Hal ini dipahami hanya dalam lingkup ahli waris sebagaimana disebutkan dalam Surah al- yaitu “anak”, padahal, masalah perbedaan Nisā’ (4) Ayat 7 di bawah ini:
kelamin (gender), semestinya tidak hanya
ِ dilihat dari aspek itu saja. ِ ِ ِ ِ اَِّمِ ِ ِ ِِءاَسِ نلِلَو َِنوُبَرْ قَْلْاَو ِِناَدِلاَوْلا َِكَرَ ت ِ بيِصَن ِِلاَجِ رلِل
Sebagaimana far ā’iḍ, ahli waris
digolongkan dalam kelompok laki-laki
dan perempuan. 15 dan 10 orang masing-
masing mereka adalah sosok ahli waris Diskusi dan perdebatan dalam yang saling berpasangan. Kelompok furū’ forum berbagai pelatihan pemula tentang al-mayyit misalnya, di dalamnya ada anak
gender, masalah kewarisan Islam biasanya laki-laki dan anak perempuan, cucu laki merupakan salah satu bagian materi yang dan cucu perempuan (turunan dari laki- selalu menjadi bahan tanggapan dan laki dan perempuan), seterusnya ke pertanyaan dari para peserta. Satu di bawah. U ṣūl al-mayyit, di dalamnya ada antara banyak persoalan kewarisan, ayah dan ibu, kakek dan nenek (baik dari masalah hak atau bagian perempuan jalur ayah ataupun ibu), seterusnya ke setengah dari bagian laki-laki, terkadang atas. Kelompok ḥawāshi, seperti saudara disebut-sebut
sebagai sebuah laki-laki dan perempuan yang sekandung, ketimpangan gender. Padahal, penilaian seayah dan seibu. Sedangkan ahli waris tentang hal ini tentunya membutuhkan sababiyah terdiri dari pasangan suami istri,
mu ’tiq dan mu’tiqah.
67 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 65-86
Menyoal hukum waris dalam fikih
anak
jika seluruh sisa bersama dengan mereka. warisan jika tanpa
laki-laki
gender, pertanyaan umum yang selalu
anak perempuan
Keluarga
dari
garis Keluarga dari garis
dilontarkan pasti terkait dengan alasan
perempuan
disebut laki-laki, disebut dengan dhaw al-ar ḥām dengan dhaw al-
bagian perempuan seperdua dari bagian
yang tidak mendapatkan ar ḥām tetapi dapat bagian
dari laki-laki. Al-Qur memperoleh ’an Surah al-Nisā’ (4)
apapun
tirkah mayit.
warisan.
Ayat 11, 12, dan 176, secara tekstual Tabel 2 di atas seolah menggambar- memang menyebutkan dengan kalimat “li kan kesan ketidaksamaan antara hak al-dhakar mithl ḥadhdh al-unthayayn” yang waris laki-laki dan perempuan. Namun dimaknai dengan dua banding satu untuk demikian, persoalan kesetaraan tidak
laki-laki dan perempuan. Pemahaman cukup hanya dilihat pada sisi perolehan terbatas seperti ini, tentu saja tidak bisa dua banding satu, seperdua, atau lebih memenuhi keinginan untuk mendapatkan sedikit, tetapi lebih kepada persoalan- jawaban secara menyeluruh tentang persoalan lainnya yang meliputi masalah maksud kesetaraan antara hak laki-laki kewarisan, seperti sosok mereka dalam dan perempuan dalam kewarisan Islam.
kasusnya, hak/bagiannya, hikmah di balik Beberapa keadaan ketidak-samaan ketentuan itu, termasuk aspek realitas
hak/perolehan laki-laki dan perempuan sosial dalam hubungannya dengan dalam farā’iḍ, dapat dicermati pada aplikasi penyelesaian kasus.
contoh tabel berikut. 1 Merujuk pada ketentuan yang ada
Perempuan
Laki-laki
dalam buku II Kompilasi Hukum Islam
Sebagai istri, bagiannya sebagai
suami,
(KHI) melalui pasal-pasal kewarisannya,
bisa seperempat (tanpa bagiannya
bisa
anak) atau seperdelapan setengah warisan
di antara terobosan barunya menyangkut
(dengan anak)
(tanpa anak) atau seperempat
ahli waris pengganti (plaatsvervulling dalam
(dengan anak)
Sebagai anak, Bisa Sebagai
anak.
istilah Budgerlijk Weetboek), makna
setengah warisan jika Bisa satu banding tanpa anak laki-laki atau dua
anak
perbedaan hak waris tampaknya tidak
setengah dari warisan perempuan
atau
1 Lihat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam saat ahli waris dhaw al-fur ūḍ dan aṣābah tidak ada Kementerian Agama RI dengan Dukungan
sama sekali, atau ada dhaw al-fur ūḍ tetapi mereka AIBEP (Australia Indonesia Basic Education Program)
tertolak menerima radd. Jadi, sesuai dan 2010, “Modul Membangun Relasi Setara Antara
tergantung pada pendapat kelompok yang Perempuan & Laki-laki Melalui Pendidikan
diperpegangi, dhaw al-ar ḥām (dari jalur laki-laki Islam ”, 99.
atau perempuan) sama saja keadaannya. Bukan 2 Sedikit koreksi terhadap penjelasan tabel yang disebut sebagaimana penjelasan tabel “Bahwa
menerangkan tentang dhaw ar ḥām. Sebenarnya keluarga dari garis laki-laki (dhaw al-ar ḥām) dapat perbincangan tentang dapat tidaknya mereka
memperoleh warisan. ”
mewarisi adalah dihadapkan dengan kondisi pada
Wahidah, Relasi Setara Antara Laki-Laki Dan Perempuan 68
bisa lagi dikorelasikan. Karena posisinya tidak mendapat sama sekali, lantaran yang berasal dari jalur perempuan (dhaw kehadiran sosok perempuan dalam
ar ḥām) adalah orang yang -mempunyai struktur kewarisannya. Beberapa contoh kesempatan- mendapat bagian warisan terkait hal itu, dapat ditelusuri melalui
jika sudah tidak didapati lagi waris dhaw kasus-kasus istimewa 3 hasil ijtihad atau furūḍ dan ‘aṣābah, sedangkan oleh KHI ijmak ulama, kemudian menjadi bahan Pasal 185, mereka justru mendapat kritikan oleh sebagian kalangan sebagai haknya.
sebuah kesan “kewarisan yang bercorak Penyelesaian hak waris yang patrilineal ”.
berbeda antara laki-laki dan perempuan, Tentu sudah banyak tulisan yang tidak semestinya dianggap sebagai menguraikan masalah dua banding satu
pembenaran bahwa perempuan adalah antara hak waris laki-laki dan perempuan makhluk kelas dua dalam ajaran Islam, di tengah-tengah isu gender. Sebagian sehingga membawa penafsiran bahwa kalangan, seperti para pemerhati terdapat ketimpangan gender dalam perempuan, justru membuktikan bahwa masalah kewarisan ini. Dari satu sisi, kata dua banding satu tidak melawan prinsip “setara” tidak dimaksudkan harus selalu keadilan kemitraan yang dikemukakan sama antara dua orang yang berbeda oleh Al-Qur ’an, selain sebagai ayat kelamin. Apalagi status dan fungsi dari “transisi”. Hal ini dapat dipahami sebagai masing-masing mereka, dalam realitas batas kuantitatif yang diberikan setelah sosialnya, memang mengharuskan untuk minus yang pada dasarnya bukan merupakan nilai maksimal. tidak disamakan. 4
Atas dasar itu, far ā’iḍ dalam aturan Namun demikian, analisis yang kewarisannya, tidak selalu menjadikan diberikan mengenai permasalahan hak
ahli waris perempuan mendapat hak lebih waris dalam “fikih gender” ini, selalu sedikit dari laki-laki. Dalam kasus consern terhadap keinginan membuktikan tertentu, bisa saja laki-laki justru bahwa tidak benar jika formulasi dua memperoleh bagian lebih sedikit banding satu itu sebagai sebuah (seperdua) dari perempuan, atau bahkan ketimpangan atau ketidakadilan. Sehingga
3 Seperti kasus Gharawayn/ ’Umrayatayn dan 4 Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Mushtarikah.
Perempuan (Jakarta: el Kahfi, Maret 2008), cet. II, 260 dan 261.
69 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 65-86
verifikasi itu selalu diarahkan pada masyarakat mengenai corak kewarisan persoalan hikmah melalui pendekatan Islam yang terkesan lebih bersifat tafsir dan latar belakang sejarah dan patrilineal. Seperti halnya dengan menghubungkannya dengan aspek sosial- anggapan masyarakat dalam kasus ekonomi keluarga dalam realitas sosial di kematian seseorang yang meninggalkan zaman pra Islam, tanpa mengemukakan ahli waris dua orang anak perempuan dan lebih jauh tentang contoh-contoh seorang anak laki-laki. Harta warisannya penyelesaian kasus waris dalam far ā’iḍ.
senilai Rp. 300.000.000,- . Oleh anak laki- Oleh karenanya, penulis tertarik laki tersebut harta warisan dibagi tiga,
melihat ini sebagai sebuah telaah sehingga menurutnya ia mendapat Rp. normatif berkaitan dengan masalah relasi 200.000.000,- sedangkan adik-adiknya setara antara laki-laki dan perempuan yang perempuan (sepertiganya) yaitu Rp. dalam kasus farā’iḍ. Pertanyaan apakah 100.000.000,- dibagi dua, masing-masing hak waris perempuan itu selalu lebih yang
perempuan mendapat sedikit dari bagian laki-laki? dan Rp.50.000.000,- 5 A ṣābah juga dipahami bagaimana maksud furūḍ al-muqaddarah salah oleh sebagian mereka yang
itu ketika diselesaikan terhadap para waris memberikan makna secara terbatas pada yang berbeda gender ini?, akan penulis cari “laki-laki saja” dan “dapat paling jawabannya melalui kajian terhadap banyak ”. Padahal, dua macam aṣ ābah berbagai contoh kongkrit kasus waris lainnya dalam farā’iḍ sesungguhnya
yang ada dalam farā’iḍ. berasal dari kalangan perempuan, seperti Hal ini disebabkan masih adanya a ṣābah bi al-ghayr dan aṣābah ma’a al-ghayr. 6 anggapan dan pemahaman yang keliru di Pengetahuan dan pemahaman seperti ini,
5 Informasi penulis terima (pada saat menjadi nara dengan keturunan perempuan dari pewaris, sumber) dari seorang Guru Pendidikan Agama
dengan syarat (mereka berdua) tidak bersama Islam asal Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Rabu,
dengan saudaranya yang laki-laki. Sebab jika 16 Maret 2016), ketika Workshop “Peningkatan demikian keadaannya, maka mereka berstatus
Pengembangan dan Pembelajaran PAI pada sebagai a ṣābah bi al-ghayr, yaitu aṣābah dengan yang Sekolah Menengah Atas se Kalimantan Selatan ”
lain. Mereka berjumlah empat orang perempuan, oleh Kanwil Kemenag Propinsi Kalimantan
yakni anak perempuan, cucu perempuan dari anak Selatan Bidang Pendidikan Agama
laki-laki, saudara perempuan kandung dan saudara Keagamaan Islam (Pakis).
dan
perempuan sebapak. Menjadi a ṣābah masing- 6 A ṣābah bersama yang lain. Mereka adalah
masing dengan saudaranya yang laki-laki saudara perempuan kandung dan saudara
(sederajat).
perempuan sebapak jika mewarisi bersama
Wahidah, Relasi Setara Antara Laki-Laki Dan Perempuan 70
tentu saja berbenturan dengan maksud dan keturunannya), adalah orang-orang farā’iḍ yang telah memberikan aturan yang dikelompokkan sebagai waris
(sedemikian rupa) penyelesaian penerima sisa setelah dhaw al- furūḍ pembagian harta warisan, sesuai dengan mengambil bagiannya. Dengan dasar keadilan sosial dan tugas masing-masing kasih sayang, maka yang berhak menjadi ahli waris yang terhimpun dalam empat ahli waris itu adalah orang-orang yang kaidah yaitu cinta, pernikahan, al-nu ṣrah, memiliki hubungan silaturrahim berkasih
dan kasih sayang. 7 sayang selama hidupnya, yaitu kerabat Atas dasar cinta, maka anak-anak nasabiyah yang tergolong ke dalam dan keturunannya adalah orang-orang kelompok waris dhaw al-ar ḥām, baik dari yang pertama dan utama dalam Islam pihak laki-laki maupun perempuan. untuk mendapatkan bagian dari harta
Adanya hikmah dan tujuan warisan (mawruth) orang tuanya. Begitu pembagian warisan dalam Islam, maka juga dengan suami atau isteri sebagai mawrūth tidak tertumpuk di tangan pasangan hidup yang selama ini seorang waris saja, melainkan merata menemaninya dalam mengarungi bahtera pada seluruh ahli waris yang merupakan kehidupan rumah tangga. Sekalipun kerabat untuk pembangunan keluarga mereka tergolong ahli waris sababiyah, atau masyarakat yang kuat dari sisi namun pernikahan yang sah menjadikan ekonominya. Selain itu, mendorong tali ikatan itu sebagai penyebab keduanya seseorang untuk lebih giat bekerja. berhak saling mewarisi tanpa adanya ḥijāb Karena usaha sekuat tenaga untuk kecuali secara nuq ṣān dengan sebab memperoleh harta itu diharapkan adanya keturunan pewaris.
menjadi kesenangan dan kenikmatan di Berdasarkan
kaum kemudian harinya. Sebab kematiannya kerabat yang membela, menolong, masih menyisakan harta yang akan melindungi dan mempertahankan nama diwariskan terhadap orang-orang yang baik keluarga, seperti a
al-nu ṣrah,
ṣābahnya, yaitu dicintainya, seperti anak-anak, pasangan kerabat dari pihak bapaknya (saudara- hidup dan kerabatnya. saudaranya yang laki-laki, paman-paman
7 Bandingkan dalam Yusna Zaidah, “Model Jurnal Hukum Dan Pemikiran 17, no. 2 (February 1, Hukum Islam: Suatu Konsep Metode Penemuan
2018): 143–59, https://doi.org/10.18592/sy.v Hukum Melalui Pendekatan Ushuliyyah, ” Syariah 17i2.1969.
71 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 65-86
Para perempuan merupakan ahli kelompok, ahli waris sababiyah dan waris, yang telah diangkat derajatnya oleh nasabiyah. Ahli waris sababiyah yaitu ahli
farā’iḍ dengan diberikan hak yang sama waris yang mewarisi disebabkan walā’ al- dengan laki-laki (berbeda gender), untuk ‘itq dan perkawinan. Ahli waris kelompok memperoleh bagian dari mawrūth pertama ini berjumlah empat orang. pewarisnya. Banyak atau
sedikit Sedangkan ahli waris nasabiyah yaitu ahli perolehan yang diterima laki-laki dan waris yang mewarisi didasarkan atas perempuan bukanlah menjadi (satu- adanya hubungan darah, kerabat atau satunya) indikator untuk menyatakan keluarga dengan pewarisnya. sebuah makna kesetaraan. Sebab yang
Mereka berjumlah 21 orang dalam demikian itu, masih sangat tergantung garis lurus ke atas (u ṣūl al-mayyit), ke pada situasi dan kondisi seseorang ahli bawah ( furū’ al-mayyit) dan ke samping
waris dalam suatu struktur kasusnya. ( ḥawashi) serta keturunannya. 25 orang Oleh karenanya, penelusuran ahli waris tersebut, jika dikelompokkan, terhadap berbagai contoh kasus kongkrit terbagi dalam dua golongan yaitu 15 menjadi bagian dari upaya untuk orang ahli waris laki-laki dan 10 orang ahli mendapatkan verifikasi mengenai makna waris perempuan. Lihat tabel berikut. kesetaraan
Ahli Waris Laki-laki
Ahli Waris Perempuan
perempuan dalam relasinya terhadap
Mu ’tiq
Mu ’tiqah
Suami
Istri
kewarisan Islam. Sehingga, apa yang
Anak laki-laki
Anak perempuan
selama ini menjadi isu, bahan diskusi dan
Cucu laki-laki (dari anak Cucu perempuan
laki-laki)
(dari anak laki-
pembahasan penting
mengenai
laki)
ketidakadilan, ketidaksejajaran atau
Ayah
Ibu
Kakek (ayahnya ayah)
Nenek (ibunya
bahkan ketimpangan gender dalam
ibu) Saudara laki-laki kandung
konteks farā’iḍ, juga bisa menjadi
Nenek (ibunya
ayah)
alternatif Saudara jawaban yang patut
Saudara laki-laki seayah
perempuan
dipertimbangkan. kandung
Saudara laki-laki seibu
Saudara perempuan
Ahli Waris Dari Golongan Laki-Laki
seayah
Keponakan
laki-laki Saudara
Dan Golongan Perempuan
kandung
perempuan seibu
Ilmu farā’iḍ telah menetapkan 25
orang ahli waris yang terbagi dalam dua
Wahidah, Relasi Setara Antara Laki-Laki Dan Perempuan 72
Paman (saudara laki-laki
tajhīz
al-mayyit
(penyelenggaraan
ayah) kandung Paman (saudara laki-laki
jenazah: memandikan, mengafani,
ayah) seayah
menyalatkan dan menguburkan), utang
Sepupu laki-laki kandung Sepupu laki-laki seayah
dan wasiat pewaris.
2. Kasus istimewa/khusus yaitu kasus
Definisi Operasional
yang di dalam yang jelas dari tulisan ini, perlu dijelaskan
Guna memberikan pemahaman
kewarisan
terdapat beberapa definisi operasional berikut.
penyelesaiannya
penyimpangan dari farā’iḍ dan struktur
1. Farā’iḍ, jamak dari farīḍah, diambil dari atau susunan ahli warisnya bersifat far ḍ. Farḍ dalam istilah ulama fiqh al-
baku (tetap). Penyimpangan dan mawārith ialah bagian yang telah
tetapnya susunan ahli waris itu dimunculkan berdasarkan hasil ijtihad
ditetapkan oleh syarak, seperti ni ṣf yang kemudian menjadi ijmak ulama.
(1/2), dan rubu ’ (1/4). Masalah- masalah maw ārith di dalam syariat
3. Aṣābah, dari aspek bahasa bermakna Islam,
pembela, penolong pelindung atau pembahasan
seseorang (waris laki-laki) yang terpenting. Ahli fikih telah mendalami
dihubungkan dengan pewaris melalui masalah-masalah yang berpautan
kerabat bapaknya. Mereka adalah ahli dengan warisan dan menulis buku-
waris yang bagiannya tidak ditentukan buku mengenai maslaah-masalah ini,
banyak dan sedikitnya, bisa mendapat lalu menjadikannya suatu ilmu yang
bagian lebih banyak, atau lebih sedikit berdiri sendiri dan menamakannya
atau bahkan tidak mendapat bagian sama sekali lantaran harta warisan
dengan ilmu mawārith atau ilmu farā’iḍ. 8
sudah habis diberikan kepada dhaw al- Dengan demikian, maksud farā’iḍ di
fur ūḍ.
sini adalah aturan atau ketentuan Islam
4. ‘Awl adalah kasus kewarisan yang mengenai
tatacara
penyelesaian
pembilangnya lebih besar daripada pembagian harta warisan (mawruth),
sehingga dalam Berbeda dengan tirkah yaitu harta
penyebutnya,
penyelesaian pembagiannya terdapat peninggalan yang sudah “bersih” dari
8 Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqh Islam (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010), Mawaris Hukum Pembagian Warisan Menurut Syariat
cet. kedua, edisi ketiga, 5.
73 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 65-86
kekurangan harta. Kebalikannya adalah yang bertujuan untuk menggambarkan, Radd, yaitu kasus kewarisan yang menjelaskan dan menganalisis contoh- pembilangnya lebih kecil daripada contoh dan penyelesaian hak waris laki- penyebutnya,
sehingga terdapat laki dan perempuan dalam struktur kelebihan
harus kasusnya, serta makna kesetaraan antara dikembalikan lagi kepada dhaw al- furūḍ hak waris yang berbeda gender ini dalam nasabiyah (sebagaimana pendapat contoh kongkritnya. Oleh karena itu, terpilih karena didukung oleh jenis penelitian ini adalah penelitian kelompok mayoritas).
harta
yang
hukum normatif, yaitu penelitian hukum
5. Asal Masalah adalah pokok masalah yang dilakukan dengan cara meneliti yang dengannya dapat diketahui berapa bahan pustaka atau data sekunder belaka harta warisan itu akan dibagi-bagi. atau penelitian hukum kepustakaan
Dalam ilmu matematika, ia disebut (library research). 9
sebagai Kelipatan Persekutuan terkecil Pendekatan yang diterapkan adalah (KPT/KPK). Bas ṭ, Maqām, Kasr, Kusur, pendekatan konseptual yaitu menelaah Makhrāj, Tadākhul, Tamāthul, Tawāfuq bahan
dengan tidak dan Tabāyun adalah istilah-istilah yang meninggalkan aturan hukum yang ada.
hukum
digunakan untuk menentukan atau Subyek penelitian ini adalah sejumlah menetapkan asal/pokok masalah kitab/buku/literatur, tulisan atau hasil tersebut dan tidak jarang dalam penelitian yang memuat objek. Adapun penyelesaian akhirnya memerlukan objek penelitian ini adalah contoh- adanya
suatu ta ṣḥīḥ al-masā’il contoh dan penyelesaian hak waris laki- (pembulatan masalah).
laki dan perempuan dalam struktur kasus kewarisan, serta makna kesetaraan antara
hak waris yang berbeda gender ini dalam contoh-contoh kasus kongkritnya.
Metode Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah Relasi setara antara laki-laki dan
data yang diperoleh dari bahan-bahan perempuan
dalam
kasus
farā’iḍ
pustaka atau lazimnya disebut dengan merupakan penelitian deskriptif analitis
9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian PT. Raja Grafindo Persada, 2014), ed.1, cet.16, Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta:
13-14.
Wahidah, Relasi Setara Antara Laki-Laki Dan Perempuan 74
data sekunder. Penelitian hukum dengan menggunakan teknik card system, normatif (data sekunder) mencakup yaitu mengutip bahan-bahan hukum yang bahan hukum primer, bahan hukum diperlukan sesuai dengan masalah yang sekunder dan bahan hukum tersier. diteliti, kemudian dimasukkan dalam Bahan hukum primer, yaitu kitab-kitab kartu-kartu yang sudah disiapkan farā’iḍ seperti Al-Mawārith fī al-Sharī’ah al- (sebelum survey kepustakaan). Kemudian
Islāmiyyah fī Ḍaw’ al-Kitāb wa al-Sunnah, studi literatur, yaitu mempelajari
A ḥkām al-Mawārith fī al-Sharī’ah al- kitab/buku, literatur, hasil-hasil Islāmiyyah ‘alā Madhāhib al-A’immah al- penelitian, tulisan atau dokumen (catatan
tertulis), termasuk sumber dan bahan- Arba ’ah, Takmilah Zubdah al-Ḥadīth fī Fiqh bahan lain yang ada kaitannya dengan
al- Mawārith, ‘Ilm al-Mawārith, al-Aḥkām al- permasalahan yang diteliti.
Shar ’iyyah fī al-Aḥwāl al-Shakhṣiyyah, Fatḥ Pengolahan data dalam penelitian
al-Mu ’īn bi Sharḥ Qurrah al-‘Ayn, Fiqh al- ini menggunakan teknik menyeleksi Sunnah, Fat ḥ al-Wahhāb bi Sharḥ Manhaj
kembali bahan hukum yang telah al- Ṭullāb, Ḥāshiyah al-Shaykh Ibrāhīm al- terkumpul untuk diketahui dan diperbaiki
Bājūrī ‘alā Sharḥ al-Shanshūrī fī ‘Ilm al- mengenai kelengkapan, kejelasan dan
Farā’iḍ dan al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh.
kekurangannya. Kemudian Bahan hukum sekunder, yaitu
atau
menyusun bahan penelitian yang telah bahan hukum yang memberikan diperoleh, sehingga menjadi jelas dan
penjelasan mengenai bahan hukum diuraikan secara rinci. Data yang sudah primer, seperti Kompilasi Hukum Islam selesai diolah, kemudian dideskripsikan (KHI), buku/literatur, tulisan atau hasil- dalam bentuk uraian-uraian, untuk hasil penelitian (hasil karya dari kalangan
selanjutnya dianalisis secara kualitatif hukum) yang terkait. Bahan hukum
dengan cara menghubungkannya pada tersier, yaitu bahan yang memberikan
kajian teori/telaah pustaka, untuk petunjuk maupun penjelasan terhadap
simpulan yang bahan hukum primer dan sekunder,
menarik
suatu
sekaligus menjawab contohnya adalah kamus, ensiklopedia,
argumentatif,
permasalahan penelitian yang telah dan atau indeks kumulatif.
dirumuskan.
Pengumpulan data atau bahan
hukum dalam penelitian ini dilakukan Hasil Penelitian Dan Analisis
75 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 65-86
Berdasarkan hasil penelusuran ِ ِ ميِلَع ِِۗ َُِّللَِ َِوٱ َِِّللَ ِٱ ِ ِِ ِ ِ َِن ِم ِ ِ ًةَّيِصَو ِ رآَضُم َِْيَغ ِ نْيَد ِْوَأِ آَِبِ
(review) terhadap beberapa pustaka, baik
ِ ميِلَح teori atau konsep, ataupun bahan pustaka ِ ِٱ ِِنِإ ِ
bahan yang berisi konseptual, memuat
َِكَرَ ت ِ اَمِ ُِفْصِن ِ اَهَلَ ف ِ ِ تْخُأ ِ ىۥ ِ ِۥ ِ دَلَو ُهَل ِِ ِ ُِهَلَو َِسْيَل َِكَلَه dengan objek penelitian ini, maka kajian ِ ِِْي َِتَ نْ ث ِٱ اَتَ ناَك ِِ نِإَف ِِ ِ اََّلَّ ِ ِ َِِّْلَ نِإ ِ ِ ِ دَلَو نُكَي آَهُ ثِرَي َِوُهَو pada tulisan ini, dapat diuraikan sebagai ِ ِ
yang memuat hasil penelitian terkait
berikut.
Allah Swt. berfirman:
Melalui tiga ayat tersebut, Allah
ِ ِ ِِ ِ اَثُلُ ث ِ َِّنُهَلَ ف ِ ِِْيَتَ نْ ث ِٱ ِ ِ نِإَو ِِ َِكَرَ ت اَمِ َِقْوَ ف ِ ًءآَسِن َِّنُك نِإَف Swt. mensyariatkan secara detail hak-hak ِ ِ دِح
ِِ َو ِ ِلُكِل ِِهْيَوَ بَِلَْو ُِفْص ِنل ِِ ِٱ اَهَلَ ف ِ ِ ًةَدِح ِِ َو ِْتَناَك َِِّْلَِ furūḍ al-muqaddarah dan dhaw al-furūḍ نِإَف ِِ ِۥ ُهَل ِِ ِ دَلَو َِناَك ِِ نِإ ِ َِِ ت اَِّمِ ِ ِٱ َِكَر ُِسُدُّسل اَمُهْ ن ِم
ahli waris yang kemudian muncul istilah
(a ِ ṣḥāb al-furūḍ). Furūḍ al-Muqaddarah yaitu َِناَك ِِ نِإَف ِ ِِ ُِثُلُّ ثل ِٱ ِِه ِمُِلَِف ِ ِ ىۥ ِ ِۥ ِِ ُِهاَوَ بَأ ُِهَثِرَوَو ِ دَلَو
ِ bagian-bagian ahli waris, berupa bilangan آَِبِ ِ ِ ِ ِ ِ نِم ِ ِِ ِٱ ىِصوُي ِ ةَّيِصَو ِِدْعَ ب ُِسُدُّسل ِِه ِمُِلَِف ِ ِ ةَوْخِإ ُِهَلِىۥ
pecahan (kusur) yang ditetapkan sebagai
ُِبَرْ قَأ ِِۗ ِْمُهُّ يَأ َِنوُرْدَت َِل ِْمُكُؤآَنْ بَأَو ِْمُكُؤَبَاَء ِ نْيَد ِْوَأِ hak ahli waris dengan alternatif far
ِ ِ َِناَك ِٱ َِّنِإ ِِِۗ َِِّللَ ِٱ ِ ِ ًةَضيِرَف ِ اِ ِ ِ اًميِلَع ََِّللَِِ َِن ِم ِ ًعْفَ ن ِْمُكَل (bagian) yang akan diterimanya sesuai
dengan kondisi struktur ahli waris yang
ِِ ditinggalkan pewarisnya. Kusur tersebut ِ ِ نِإ ِ ِ ِ ِ ِ دَلَو َِّنَُّلَّ نُكَي َِِّْلَِ ِْمُكُج ِ َوْزَأ َِكَرَ ت اَمِ ُِفْصِن ِْمُكَلَو ِ adalah 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. ِ ِ نِم ِ ِِ ِ اَِّمِ ِ ِٱ ِ ِ َِّنَُلَّ ِ ِِ ِِدْعَ ب َِنْكَرَ ت ُِعُبُّرل ُِمُكَلَ ف ِ دَلَو َِناَك نِإَف
Ahli waris yang memiliki far ḍ-farḍ
tersebut dalam farā’iḍ disebut dengan
ِ ِٱ ِ ِ ِ ِِ ِِ ِ ِ ُِنُمُّثل َِّنُهَلَ ف ِ دَلَو ِْمُكَل َِناَك نِإَف ِ دَلَو ِْمُكَّل نُكَي َِّْلَِ istilah a ṣḥāb al-furūḍ (dhaw al-furūḍ). ِ ِِۗ ِ نْيَد ِ آَِبِ ِ َِنوُصوُت ِ ِ ِ ِ ن ِم ِِ ِ اَِّمِ Secara tekstual, mereka berjumlah نِإَو ِْوَأِ ِ ةَّيِصَو ِِدْعَ ب مُتْكَرَ ت ِ sembilan orang seperti disebutkan dalam ِ تْخُأ ِ ِ خَأ ِ ىۥ ِ ِٱ ِِوَأ ِْوَأِ ُِهَلَو ِ ةَأَرْم ًِةَلِ ِ َلَك ِِ ِ ُِثَرو ُِِي ِ لُجَر َِناَك
Surah al- ِ Nisā’ (4) Ayat 11 yaitu anak نِم ِ ِ اِ ِىوُ ناَك ِِ نِإَف ِ ِِ ِٱ ِ ِ دِح َِرَ ثْكَأ ُِسُدُّسل اَمُهْ ن ِم ِِ َو ِ ِلُكِلَف
perempuan, ibu dan ayah. Ayat 12, suami,
ِ ِ ِ ِ ِ نِم ِ ِِ ِٱ ِِف ِ ِ ِ ِ ىَصوُي ِ ةَّيِصَو ِِدْعَ ب ِِثُلُّ ثل ُِءآَكَرُش ِْمُهَ ف َِكِل ِ َذ istri dan saudara seibu (laki-laki dan
perempuan), sedangkan Ayat 176 yaitu
Wahidah, Relasi Setara Antara Laki-Laki Dan Perempuan 76
saudara perempuan kandung dan saudara walā’. Mereka berjumlah empat orang perempuan seayah.
yaitu suami, istri, mu ’tiq dan mu’tiqah.
A ṣḥāb al-furūḍ (dhaw al-furūḍ) adalah Sedangkan ahli waris nasabiyah yaitu ahli ahli waris yang harus didahulukan dalam waris yang mewarisi atas sebab nasab mendapatkan hak/bagiannya. Hal itu (kerabat. hubungan darah, atau keluarga). didasarkan Hadis Nabi saw. yang Mereka berjumlah 21 orang. menyebutkan bahwa:
25 orang ahli waris tersebut
ِ kemudian dikelompokkan ke dalam dua لجر ِ لىولْ ِ وه ِف يقب ِ امف ِ اهلهبأ ِ ضئارفلا ِ اوقلحا
golongan ahli waris. 15 orang ahli waris ركذ dari golongan laki-laki, yaitu anak laki-
laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki Hadis ini sekaligus menjadi dalil seterusnya ke bawah, bapak, bapaknya bahwa ahli waris yang disebut sebagai bapak (kakek) seterusnya ke atas, saudara
a ṣābah adalah waris penerima sisa setelah laki-laki kandung, saudara laki-laki
dhaw al- furūḍ mengambil bagiannya. sebapak, saudara laki-laki seibu, anak laki-
Sesuai Hadis, mereka berkelamin laki-laki laki saudara laki-laki kandung, anak laki-
dengan kata rajul dhakar. laki saudara laki-laki sebapak seterusnya
Pada dasarnya, mereka, para ahli ke bawah, ‘amm (saudara laki-laki bapak waris, saling waris mewarisi karena tiga
atau paman,) kandung, paman sebapak, sebab yaitu qarabāt al-ḥaqīqah (nasab),
anak laki-laki paman kandung, anak laki- perkawinan dan al- walā’ yaitu qarabāt
laki paman sebapak seterusnya ke bawah, ḥukmiyyah yang dinamai dengan walā’ al- suami, dan mu
’tiq (laki-laki yang ‘itq (walā’ al-ni’mah). 10 Melalui tiga sebab memerdekan budak). 11 Ahli waris dari
ini pula kemudian dikenal istilah ahli golongan perempuan ada 10 orang yaitu,
waris sababiyah dan ahli waris nasabiyah. anak perempuan, cucu perempuan dari
Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang anak laki-laki seterusnya ke bawah, ibu,
mewarisi atas sebab perkawinan dan nenek (ibunya ibu), nenek (ibunya bapak)
10 Lihat Mu ḥammad ‘Alī al-Ṣābūnī, al-Mawārith fī Ḥusaynī al-Tārimī, Takmilāt Zubdah al-Ḥadīth fī al-Shar ī’ah al-Islāmiyyah fī Ḍaw’ al-Kitāb wa al-Sunnah
Fiqh al-M awārith (Singapura: al-Ḥaramayn, t.th), 9. (T.tp: D ār al-Kutub al-Islāmiyyah, 1431 H.-2010
Penjelasan rinci tentang kelompok ahli waris laki- M), cet .pertama, 33.
laki ini dapat dibaca Ḥāshiyah al-Shaykh Ibrāhīm al- 11 Mu ḥammad bin Sālim bin Ḥāfiẓ bin ‘Abdillāh
B ājūrī ‘alā Sharḥ al-Shanshūrī fī ‘Ilm al-Farā’iḍ bin al-Shaykh Ab ī Bakr ibn Sālim al-‘Alawī al- (Singapura: al- Ḥaramayn, 2006), cet. I, 70-74.
77 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 65-86
seterusnya ke atas, saudara perempuan klasifikasi, merupakan waris nasabiyah kandung, saudara perempuan sebapak, yang tergolong “kerabat jauh” meskipun saudara perempuan seibu, istri dan jika ditinjau dari sisi asbāb al-irth, mereka mu ’tiqah
(perempuan yang ini adalah ahli waris yang lebih kuat memerdekakan budak). 12 hubungan kekerabatannya dibandingkan
12 orang ahli waris aṣḥāb al-furūḍ di dengan ahli waris sababiyah. Sebab, nasab atas, jika dikelompokkan menurut jenis seseorang tidak terputus lantaran kelaminnya, terdapat perbandingan dua kematian dan ia merupakan sebab terkuat banding satu untuk perempuan dan laki- orang bisa waris mewarisi. laki. Perempuan berjumlah delapan orang
Dikemukakan di atas bahwa yaitu istri, anak perempuan, cucu keluarga dari garis perempuan atau dhaw
perempuan pancar laki-laki (bintu ibni) al-ar ḥām, tidak mendapatkan bagian seterusnya ke bawah sampai jauh, saudara apapun dari tirkah mayit, menurut penulis perempuan kandung, saudara perempuan adalah tidak benar. Karena selain dhaw al- seayah, saudara perempuan seibu, ibu dan ar ḥām itu tidak sepenuhnya dimaksudkan
nenek ṣaḥīḥah. 13 Adapun a ṣḥāb al-furūḍ sebagai keluarga dari garis perempuan, 14 dari jenis laki-laki berjumlah empat orang tentang persoalan dapat atau tidaknya atau separuhnya, yaitu suami, ayah, kakek mereka mewarisipun masih digantungkan ṣaḥīḥ sekalipun tinggi mendakinya dan dengan kondisi dari struktur kewarisan
saudara laki-laki seibu. yang masih menyisakan harta sedangkan Perempuan,
sebagai ahli waris yang berhak menerimanya juga kelompok waris a ṣḥāb al-furūḍ, juga bisa tidak ada, seperti a ṣābah. Atau sekalipun berstatus sebagai a ṣābah. Dia menduduki ada salah satu di antara pasangan suami dua status dari tiga macam a ṣābah. istri pewaris, tetapi keduanya tertolak Sedangkan kelompok waris lainnya yaitu menerima radd menurut pendapat terpilih dhaw al-ar
selain
ḥām yang dibagi ke dalam empat oleh kelompok mayoritas fukaha. Artinya
12 Mu ḥammad bin Sālim bin Ḥāfهẓ bin ‘Abdillāh 14 Rumpun dhaw al-ar ḥām diklasifikasikan pada bin al-Shaykh Ab ī Bakr ibn Sālim al-‘Alawī al- anak keturunan (laki-laki dan perempuan), orang Ḥusaynī al-Tārimī, Takmilāt Zubdah al-Ḥadīth fī
yang menururnkan (kakek dan nenek), anak Fiqh al-M awārith, 9.
keturunan saudara (laki-laki dan perempuan) dan 13 Dimaksudkan dengan ibunya ibu pewaris.
anak keturunan kakek nenek (paman dan bibi). Sedangkan nenek ghayr ṣaḥīḥah adalah ibu dari
Lihat beberapa literatur kewarisan Islam yang bapak pewaris
membahas tentang ini.
Wahidah, Relasi Setara Antara Laki-Laki Dan Perempuan 78
tidak secara otomatis, karena disebut ayahnya justru memiliki status ganda, sebagai ahli waris dhaw al-ar ḥām dari jalur yaitu sebagai dhaw al- furūḍ dan aṣābah.
perempuan, mereka tidak dapat bagian Lebih dari itu, dengan kehadiran tirkah pewaris. Karena sesuai dengan KHI Pasal 185 Ayat (1) dan (2) yang pendapat yang diperpegangi dalam farā’iḍ menyebutkan bahwa ahli waris pengganti ada yang menyatakan bahwa dhaw al- (termasuk cucu perempuan dan laki-laki ar ḥām dapat mewarisi seperti madhhāb ahl dari garis perempuan) dapat mewarisi al- qarābah, ahl al-tanzīl dan ahl al-raḥīm dengan
penggantian, atau dengan masing-masing asas atau cara menggantikan kedudukan orang tuanya
cara
membagikan yang mereka anut. 15 yang meninggal lebih dahulu daripada Kalau yang dimaksudkan dengan pewarisnya. Mereka mendapat bagian dhaw al-ar
ḥām yang tidak mendapat bagian warisan sebagaimana hak orang tuanya, asalkan tidak melebihi dari bagian waris
warisan dalam kaitannya dengan cucu yang sederajat dengan yang diganti. 16
dari anak perempuan, pandangan ini juga Terlepas dari perbincangan cucu
masih terdapat kekeliruan karena cucu dari jalur perempuan ini, konteksnya
tersebut tidak dimaksudkan dengan dengan relasi setara antara laki-laki dan
perempuan saja, tetapi juga cucu laki-laki. perempuan dalam kasus kewarisan Islam,
Di samping itu, keberadaan seseorang maka beberapa contoh kasus kongkrit,
ahli waris, baik dhaw al-ar ḥām atau bukan, paling tidak menjadi bahan untuk
selalu dihubungkan dengan pewarisnya kepentingan analisis sebagai verifikasi
itu, hendaknya tidak dilihat dari sebelah terkait ada atau tidaknya hubungan
pihak saja. Seperti halnya cucu kesejajaran antara ahli waris yang berbeda
perempuan dan laki-laki dari garis gender ini. Seperti halnya kasus ‘awl yang
perempuan yang dianggap tidak dapat jumlahnya tidak kurang dari delapan
mewarisi karena dia dhaw al-ar ḥām,
radd, tiga kasus padahal mereka ini (menjadi terlupakan)
buah,
kasus
istimewa/khusus seperti gharawayn, jika dilihat dari pihak laki-laki atau
akdariyah dan mushtarikah, serta pada
15 Lihat Fatchur Rahman, Ilmu Waris (Bandung: diuraikan dalam A. Sukris Sarmadi, Dekonstruksi PT Alma ’arif, t.th), cet ke 10.
Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti dalam 16 Illustrasi masalah ini dapat dipahami
Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Aswaja sebagaimana penyelesaian atas skema waris yang
Pressindo, 2012), 36-38.
79 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 65-86
kasus-kasus lainnya dalam far ā’iḍ. 17 belakang sosial-ekonomi keluarga. Atas Penyelesaian terhadap kasus-kasus ini, dasar ini, ajaran prinsip (qa ṭ’ī) atau tentunya
membutuhkan upaya normatif dalam Islam tentang keadilan pemahaman mendalam menyangkut dan kesetaraan antara laki-laki dan beberapa hal seperti cara menentukan perempuan tetap bisa ditegakkan. atau menetapkan asal masalah dan
Takharruj 19 sebagai bagian dari pentashihannya, masalah ḥijāb-maḥjūb, konsep kewarisan Islam, di dalam aturan cara-cara ’awl, pendapat fukaha yang tentang pengunduran diri ahli waris, dipegangi dalam setiap penyelesaian tampaknya juga menjadi bagian dari kasus waris, seperti radd dan kewarisan modifikasi penyelesaian kasus waris yang secara al- taqdīr, termasuk kasus istimewa (secara
telah memberikan yang di dalamnya terdapat pendapat pro kesempataan kepada perempuan untuk dan kontra.
riil)
laki-laki dalam Kaitannya dengan aplikasi kasus memperoleh hak kewarisannya. Karena waris di masyarakat, satu di antara praktik takharuj itu memiliki makna, status dan pembagian waris dalam masyarakat adat dasar hukum serta bentuk-bentuk yang Banjar,
sejajar
dengan
anak lebih bersifat damai dan sukarela. perempuan dapat menutup saudara
dilaporkan
bahwa
Satu kenyataan terkait perolehan pewaris. 18 Hal ini menunjukkan bahwa ahli waris atas hak-haknya yang pasti
telah terjadi semacam modifikasi sebagaimana ketentuan fur ūḍ al- penyelesaian kasus kewarisan yang muqadarah, tidaklah selalu berjalan mulus mencoba menghubungkan dengan latar dalam penyelesaiannya. Karena ada tiga
17 Seperti kasus al- ḥaml, al-Mafqūd, Khunthā dengan sesuatu yang sudah maklum. Apabila salah Mushkil
seorang ahli waris bertakharuj dengan seorang ahli Penyelesaiannya
dan Man
Yam ūtunā Jumlatan.
waris yang lain, maka bagiannya dihaki dan pentaqdiran terkait far ā’iḍ yang membedakan hak
memerlukan
beberapa
tempatnya dalam mempusakai harta peninggalan waris berbeda gender. Lihat Mu ḥammad ‘Alī al-
didudukinya. Apabila seorang ahli waris Ṣābūnī, al-Mawārith fī al-Sharī’ah al-Islāmiyyah fī
bertakharuj dengan ahli-ahli waris lainnya, jika Ḍaw’ al-Kitāb wa al-Sunnah.
sesuatu yang diserahkan itu diambilkan dari harta 18 Kementerian Agama RI Badan Litbang dan
peninggalan, maka bagiannya dibagi antara Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta,
mereka menurut perbandingan bagian mereka Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
dalam harta peninggalan. Dan jika sesuatu yang Indonesia (Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010),
diserahkan itu diambilkan dari harta mereka dan ed. 1 cet. 1.
di dalam perjanjian takharuj tidak diterangkan cara 19 Ialah Perdamaian para ahli waris untuk
membagi bagian orang yang keluar, maka bagian mengeluarkan sebagian mereka dari mempusakai
tersebut dibagi antar mereka dengan sama rata.
Wahidah, Relasi Setara Antara Laki-Laki Dan Perempuan 80
kemungkinan yang akan ditemui dalam
3. 2 orang
1/3 2 (dibagi sama di
saudara
antara mereka,
proses ini, farīḍah al-‘ādilah (basṭ dan
seibu
baik laki-laki
maqām saling bersesuaiaan), farīḍah al- saja, atau
(lk./pr.)
perempuan saja,
qāṣirah (basṭ lebih kecil dari maqāmnya)
atau campuran laki-laki dan
dan farīḍah al-‘a’ilah (basṭ lebih besar dari
perempuan) 4. 1 orang A ṣābah Tidak mendapat
maqām). Sehingga terkadang berakibat
/lebih,
apa-apa lantaran
pada berkurang atau bahkan berlebih
saudara
harta sudah
laki-laki
habis terbagi
perolehan ahli waris, baik terhadap waris
kandung
untuk dhaw al- fur
perempuan atau laki-laki. Di bawah ini ūḍ Kasus Akdariyah, struktur kewarisannya
diillustrasikan beberapa contoh kasus terdiri dari:
waris yang strukturnya terdapat sosok
No
Ahli Waris
Fardh Asal Masalah = 6 Bagian/Perolehan
ahli waris yang berbeda gender.
1. Suami
1. Tiga Kasus Istimewa/Khusus,
seperti Gharawayn (dua buah
(dalam hal
(berdasarkan
kasus), Mus hārakah dan Akdariyah
tentang prinsip
Tabel Kasus Gharawayn pertama, struktur
seperti sdr
penyelesaian
kewarisan kakek No
kewarisannya terdiri dari:
lk. Kdg
Ahli Far ḍ Asal Masalah = 6 + saudara) Waris
½ 3 1. Suami
Bagian/Perolehan
4. 1 orang
Farīḍah al-‘a’ilah 2. Ibu
3 saudara
karena 9/6 (bas ṭ 3. Bapak
2 perempuan
A ṣābah
1 kandung
lebih besar dari
Far īḍah al-’adilah
maqām, sehingga
karena 6/6 =1
terjadi kekurangan harta
Kasus Gharawayn kedua, struktur
jika dibagi sesuai
ketentuan furūḍ No
kewarisannya terdiri dari:
Ahli Far ḍ Asal Masalah = 12 al-muqaddarah. Waris
Bagian/Perolehan
3 2. Kewarisan secara al-Taqd īr
1. Istri 1/4
2. Ibu 1/3
4 a. Kewarisan al-ḥaml
3. Bapa A ṣābah
5 No
Ahli Waris
Far ḍ Asal Masalah = 12
Far īḍah al-’adilah
Bagian/Perolehan
Kasus Mus hārakah, struktur kewarisannya
2. I b u (hamil),
dalam hal ini
terdiri dari:
di
lakukan
No Ahli Far ḍ Asal Masalah = 6
(sementara belum Waris
perkiraan
ada kejelasan 1. Suami
Bagian/Perolehan
(bayi)
laki-
tentang jenis 2. Ibu
kelamin laki-
81 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 65-86
kembar laki
laki/perempuan
untuk segera diselesaikan pembagian
atau kembar
dari janin
perempuan
warisannya tanpa menunggu adanya
atau
kejelasan mengenai hidup atau
campuran lk. & pr.
matinya si mafqūd ini, maka harus
Masih ada sisa
dilakukan beberapa pertimbangan
harta sebesar
7/12 yang harus
yang (menjadi perhatian), seperti
dimauq ūfkan sementara waktu
status si mafqūd sebagai ḥājib atau
b. Kewarisan Khunthā Mushkil ma ḥjūb, dia waris ataukah muwarrith,
No Ahli Waris Fardh Asal Masalah = 6
dan tentunya ada bagian harta yang
Bagian/Perolehan
1. 1 orang 1/2
3 harus ditangguhkan sementara waktu
anak laki- laki
menunggu kejelasan itu. ke mafqūdan
2. 1 orang 1/3
seseorang dengan perbedaan kelamin
anak (khunt hā
(sementara belum
juga memengaruhi bagian masing-
Mushkil)
ada kejelasan
masing ahli waris yang berada dalam
dalam hal
tentang jenis
ini
kelamin laki-
satu struktur kewarisan. Oleh
dilakukan
laki/perempuan
perkiraan
dari khunt hā
karenanya pembahasan mengenai
khunt hā
mushkil
gender dalam kasus seperti ini mutlak
dengan perkiraan
d. Kewarisan Man Yamūtūna Jumlatan
kelamin
Sama haln ya dengan kewarisan al-
sebagai perempuan.
mafqūd di atas, mati bersama sebagai
Masih ada sisa
bagian dari kewarisan secara al- taqdīr,
harta sebesar
1/6 yang harus
memerlukan
perhatian dan
dimawq ūfkan sementara
pertimbangan khusus ketika kita mau
waktu.
menyelesaikan pembagian harta
c. Kewarisan al-Mafqūd warisannya, sebab perbedaan gender Dalam hal hilangnya seseorang dan
pasti menjadi subyek dalam setiap tidak diketahui hidup atau matinya,
penyelesaian kasus tersebut. Farā’iḍ penyelesaian kasus kewarisannya
juga secara tegas telah memberikan memerlukan upaya pencarian dan
hak yang berbeda terhadap mereka pembuktian
mengenai
status
dan ini akan turut berpengaruh mafq ūdnya ini. Kalaupun diinginkan
Wahidah, Relasi Setara Antara Laki-Laki Dan Perempuan 82
terhadap bagian atau hak ahli waris berikut. Hak waris laki-laki dan yang lainnya, baik ketika seseorang ahli perempuan tidaklah selalu harus waris itu berkelamin laki-laki maupun disamakan. Pengalamannya sebagai berkelamin perempuan dalam setiap hakim, ia (pada suatu sengketa waris) struktur kasus kewarisannya.
malah memberikan harta warisan yang Berdasarkan beberapa contoh kasus porsinya 2/3 bagi perempuan dan 1/3
tersebut, masalah perbedaan gender sangat bagi laki-laki. 21
identik jika dihubungkan dengan Kesamaan bagian antara anak laki- persoalan-persoalan dalam kewarisan laki dan perempuan tidak menjadi Islam. Sebab, selain hak-hak kewarisan masalah. Hanya saja, lebih baik kesamaan mereka
yang berbeda, maksud itu melalui pintu hibah. Jadi, tidak mesti kesetaraanpun menjadi isu penting dan ada asumsi hak waris yang langsung tidak luput dalam bagian pembahasannya. dinyatakan porsinya sama. Bisa saja Seperti sebagian orang yang menanyakan perempuan sebagai ahli waris pengganti
tentang alasan bagian laki-laki dua kali dapat menjadi ḥijab bagi laki-laki. 22 Ahli lipat dari bagian perempuan, dan alasan waris pengganti (laki-laki dan perempuan perempuan diberi bagian seperdua dari dari pancar laki-laki atau perempuan) bagian laki-laki, padahal perempuan lebih dapat menghijab garis turun menyamping lemah daripada laki-laki dan lebih secara ḥirmān dan secara nuqṣān garis
membutuhkan harta. 20 turun ke atas sebagaimana maksud Pasal
Sejumlah tanggapan yang dilontarkan 174 KHI. 23
terkait beberapa pertanyaan mengenai Ahli waris pengganti bahkan sudah makna kesetaraan antara laki-laki dan biasa di lakukan dalam praktik kewarisan
perempuan dalam kasus kewarisan Islam di masyarakat Gorontalo bahwa seorang faraidh ini dapat dicermati pada cucu tetap diberikan bagian sebagaimana pernyataan-pernyataan Anwar sebagai
20 Lihat Mu ḥammad ‘Alī Al-Ṣābūnī dalam Fiqh al- 23 Sukris Sarmadi dalam simpulan tulisannya yang Maw ārithnya yang mengawali tulisan dan menawarkan kesempurnaan atas Pasal 185 KHI, pembahasannya dengan pertanyaan-pertanyaan
sebagaimana dinyatakan Abdurrahman, Hakim sekitar ayat-ayat kewarisan.
Agung Mahkamah Agung RI dalam kata 21 Anwar R, dari Pengadilan Tinggi Agama
sambutannya atas diterbitkannya buku Sukris Makassar.
Sarmadi Dekonstruksi Hukum Progressif Ahli Waris 22 Andi Rasdianah, Guru Besar dari Program
Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Aswaja Pressindo, 2012), x. Makassar.
83 SYARIAH: Jurnal Hukum dan Pemikiran Volume 18, Nomor 1, Juni 2018, hlm. 65-86
hak orang tuanya. Meskipun dilakukan pembagian dengan cara penyebutannya tidak menggunakan musyawarah mufakat untuk i ṣlāḥ. istilah ahli waris pengganti. Sedangkan Sedangkan pola i ṣlāḥ dimaksudkan alasan yang sering digunakan didasari dengan cara pembagian warisan melalui
pada rasa kasihan dan kemanusiaan. 24 proses musyawarah mufakat, tanpa Fleksibilitas
haruslah (melalui) proses penghitungan secara diperhatikan jika memang situasi far ā’iḍ terlebih dahulu. Dalam masalah memaksa dan menghendaki demikian. ini,
hukum
bermusyawarah Sebab, ‘illah hukum sangat tergantung menentukan besarnya bagian masing-
ahli
waris
dari situasi yang ada. Situasi yang ada bisa masing. Pertimbangan besarnya bagian jadi tidak dapat dirumuskan secara ketat masing-masing, didasarkan atas kondisi dan baku, karena memang kondisi objektif ahli waris dan penerima warisan individu di dalam suatu kasus keluarga lainnya. Oleh karena itu, bagian yang juga sangat variatif dan heterogen. Di diterima oleh masing-masing ahli waris sinilah urgensi ijtihad hakim. Undang- sangat bervariasi, tidak memakai
undang baginya tidak dapat mengatur prosentasi dan ukuran tertentu. 26 semua hal. Justru di situ letak penting
Keterangan serupa menyatakan seorang hakim, mengerti sosio-kultur dan bahwa praktik pembagian waris secara
psikologis pencari keadilan serta damai yang berakhir pada perolehan yang peristiwa hukum yang betul-betul terjadi sama bagi anak laki-laki dan perempuan
di lapangan. 25 sering terjadi juga setelah mereka (para Pada
masyarakat Banjar, ahli waris) mendapatkan fatwa waris dari Kalimantan Selatan misalnya, pembagian Pengadilan Agama. Padahal dalam fatwa
warisan menggunakan pola far ā’iḍ-iṣlāḥ waris tersebut, Pengadilan Agama telah dan i ṣlāḥ. Dalam pola ini, dilakukan memberikan bagian anak laki-laki dua kali pembagian menurut far ā’iḍ, setelah itu bagian perempuan, tetapi selanjutnya
24 Hasil wawancara dengan para guru Pesantren Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Hubulloh Gorontalo (ust. Abd. Basith dan ust.
Indonesia, ed.1, cet.1, September 2010, 34. Ruli, Pengasuh Pondok Pesantren Hubuloh
25 Irfan, Guru Besar dari Univeristas Islam Negeri Gorontalo dan KH. Rasyid Kamaro, Ketua MUI
(UIN) Makassar, dalam tanggapannya terhadap dan Qadhi Gorontalo), sebagaimana dikutip
“Kesetaraan Penghijab dan Hak Waris Laki- dalam Kementerian Agama RI Badan Litbang dan
Perempuan. ”