Full Paper P00197

LAPORAN AKHIR
Kajian Pemekaran Kota Salatiga
Tahun Anggaran 2015

Oleh:
Drs. Daru Purnomo, M.Si
Dr. Ir. Lasmono Tri Sunaryanto, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Sony Heru Priyanto, MM
Dr. Umbu Rauta, SH.,M.Hum
Dr. Bambang Ismanto, M.Si
Seto Herwandito, S.Pd, M.Ikom

Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman
Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
2015

KATA PENGANTAR
Ketersediaan wilayah yang cukup sesuai kebutuhan pembangunan di daerah,
merupakan satu permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintahan Daerah Kota Salatiga.
Dibatasi dengan wilayahnya yang sempit/terbatas, upaya pembangunan Kota Salatiga

tidak dapat dilaksanakan secara maksimal. Sementara itu keberadaan daerah-daerah di
sekitar Kota Salatiga yang relatif “jauh” dari pusat Kabupaten Semarang, secara
geografis, akan memudahkan jangkauan pelayanannya dari Kota Salatiga. Kondisi ini
memunculkan pemikiran yang wajar untuk mengkaji potensi dan peluang pemekaran
(baca: penyesuaian) Kota Salatiga.
Pelaksanaan kegiatan kajian ini dirasakan cukup mendesak dan strategis demi
menciptakan kondisi lingkungan Kota Salatiga yang lebih maju dan berkembang.
Kami, dari Pusat Kajian Kependudukan dan Permukiman (PK2P) yang berada di
dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UKSW, merasa bangga karena dipercaya
oleh DPRD Kota Salatiga untuk mengerjakan kajian ini. Kiranya upaya menyusun
kajian ini dapat memperoleh dukungan dari semua pihak yang terkait dengan
permasalahan pengembangan wilayah di Kota Salatiga dan hasilnya dapat menjadi
masukkan yang berharga bagi penetapan kebijakan pemekaran Kota Salatiga di waktu
mendatang.
Laporan akhir ini disusun sebagai wujud tanggung jawab kami dalam
menyelesaikan tahapan awal kegiatan kajian ini. Kiranya semua yang kita lakukan
dapat memperoleh berkat dan penyertaanNya.

Salatiga, 21 Agustus 2015
Tim Penyusun



 

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..............................................................................................

i

DAFTAR ISI ...........................................................................................................

ii

BAB I.
1.1.
1.2.
1.3.
1.4.

PENDAHULUAN ....................................................................................

Latar Belakang ..........................................................................................
Identifikasi Masalah ................................................................................
Maksud dan Tujuan ................................................................................
Sasaran dan Ruang Lingkup ......................................................................

1
1
3
3
4

BAB II.
2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
2.5.

LANDASAN TEORI ..............................................................................
Dimensi Normatif Penataan Wilayah ........................................................

Implikasi Politik Penataan Wilayah ..........................................................
Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah ........................
Teori Struktur, Tata Ruang, dan Perkembangan Kota ..............................
Indikator Pembentukan Daerah Sesuai PP 78 Tahun 2007 .......................

5
5
7
10
12
21

BAB III.
3.1.
3.2.
3.3.
3.4.
3.5.
3.6.
3.7.


METODOLOGI .....................................................................................
Metode Penelitian ....................................................................................
Tahapan Pengumpulan dan Analisis Data .................................................
Jadwal Pelaksanaan .................................................................................
Pelaksanaan Kegiatan ..............................................................................
Pelaksana Kegiatan ..................................................................................
Pengawasan Pekerjaan .............................................................................
Analisis Manfaat dan Biaya .....................................................................

23
23
27
28
28
29
29
29

BAB IV.

4.1.
4.2.
4.3.
4.4.
4.5.
4.6.

HASIL KEGIATAN AKHIR .................................................................
Kerangka Teoretis Normatif Penataan (Penyesuaian) Daerah ..................
Sejarah dan Dinamika Kota Salatiga .........................................................
Kondisi Sosial Politik ................................................................................
Kondisi Kependudukan Kota Salatiga ......................................................
Potensi Daerah Kota Salatiga ………………………………………….. .
Aspek Ekonomi Dalam Dinamika Pemekaran ..........................................

31
31
42
45
50

68
74

BAB V. PENUTUP ................................................................................................

96

DAFTAR PUSTAKA
 

ii 
 

I. PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten

dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,
kabupaten/kota atau antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, diatur dengan
undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu,
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
istimewa dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dansesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 18, 18A dan 18B UUD NRI
1945).
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya
menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Prinsip
penyelenggaraan desentralisasi adalah otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas
kepada Pemerintahan Daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintahan Daerah harus mengoptimalkan

pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui UU
No. 23 Tahun 2014, Pemerintahan Daerah dan masyarakat di daerah lebih
diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk mempercepat
laju pembangunan daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan
otonomi daerah telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural,
fungsional maupun kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

 

Baik UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004 maupun UU No.23
Tahun 2014 memberi pesan perlunya mendekatkan penyelenggaraan pemerintahan
kepada masyarakat di daerah-daerah. Karena itu, banyak urusan pemerintahan yang
kemudian diserahkan dan didelegasikan kepada daerah-daerah melalui asas
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Luas wilayah kabupaten/kota antara satu dengan yang lainnya tidak sama. Bagi
kabupaten/kota yang terlalu luas, maka pemerintah daerah otonom sulit untuk
memberikan pelayanan yang mampu menjangkau semua wilayah. Berdasarkan kondisi
ini, maka banyak daerah-daerah yang berusaha memekarkan diri terpisah dengan
daerah otonom yang menjadi induknya. Daerah yang ingin menjadi daerah otonom
sendiri


umumnya

adalah

daerah

memiliki

kekayaan

sumber

daya

alam.

Pertimbangannya, dengan menjadi daerah otonom sendiri, maka daerah bersangkutan
akan memiliki infrastruktur kepemerintahan, sarana dan prasarana, dana dan policy
sendiri sehingga kekayaan sumber daya alam di daerahnya dapat diolah untuk lebih

memakmurkan masyarakat di daerahnya. Apalagi melihat luasnya wilayah Indonesia
dengan kondisi hutan dan laut, maka pemekaran dapat dipandang sebagai upaya untuk
mempercepat pemeratan pembangunan.
Sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 Tahun 2000 yang
selanjutnya diganti dengan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah, sampai sekarang telah terbentuk lebih dari
200 daerah baru (baik berupa kabupaten, kota dan provinsi).
Penataan wilayah (teritorrial reform) pada dasarnya merupakan bagian dari
manajemen pemerintahan daerah, yang dimaksudkan untuk menata wilayah
administratif suatu daerah agar rentang kendali menjadi lebih efektif dan efisien.
Idealnya, penataan wilayah ini dilakukan seiring dengan perkembangan suatu daerah,
sehingga pertumbuhan dan kemajuan tersebut tidak hanya terpusat tetapi dapat
dinikmati secara merata di seluruh wilayah. Pertumbuhan pusat-pusat kegiatan
ekonomi yang baru biasanya menjadi awal bagi perkembangan suatu daerah.
Pertumbuhan ini sejalan dengan potensi yang dimiliki daerah tersebut, baik yang
bersumber dari kekayaan alam, maupun yang berupa sumber-sumber daya lainnya,
seperti kemajuan industri, dan sebagainya.


 

1.2.

Identifikasi Masalah
Demikian pula dengan Kota Salatiga, dengan luas wilayah administratif

5.678,11 Ha atau 56,781 Km² dan jumlah penduduk pada tahun 2013 sebanyak
178.594 jiwa sehingga kepadatan per Km² mencapai 3.145 jiwa/km2, maka Kota
Salatiga mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan titik berat pada sektor
industri/jasa. Letak Kota Salatiga yang sangat strategis, berbatasan dengan Kabupaten
Semarang, dan berdekatan dengan ibukota propinsi Jawa Tengah (Semarang), DIY
(Jogja) dan Solo, menyebabkan Kota Salatiga menjadi sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai kota satelit.

Laju pertumbuhan ekonomi di Kota Salatiga

terutama berpusat di Jalan Jendral Sudirman dan Jalan Diponegoro dan sekitarnya.
Keberadaan Kota Salatiga, yang berada di dalam wilayah Kabupaten
Semarang, telah menjadi daya tarik dan memberikan kontribusi ekonomi bagi
masyarakat di Kabupaten Semarang. Namun, kontribusi yang cukup besar tersebut
dirasakan belum sepadan dengan kesejahteraan yang dinikmati masyarakat di kawasan
tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi munculnya wacana pemekaran (baca:
penyesuaian)

Kota Salatiga.

Wacana pemekaran ini perlu dikaji di kalangan

masyarakat, baik bagi kelompok yang mendukung maupun yang menolak. Oleh
karena itu, dalam menyikapi wacana pemekaran ini, Pemerintah Kota Salatiga perlu
melakukan pengkajian secara mendalam dan komprehensif

kelayakan pemekaran

Kota Salatiga. Kajian kelayakan ini merupakan tindak lanjut terhadap aspirasi
masyarakat. Kajian ini terutama difokuskan untuk menganalisis potensi kelurahankelurahan yang ada di wilayah perbatasan Kota Salatiga untuk menjadi bagian wilayah
Kota Salatiga. Pengkajian secara ilmiah ini diharapkan dapat menghasilkan analisis
yang obyektif dan akuntabel, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan mengenai rencana pemekaran dan penataan wilayah Kota
Salatiga.

1.3. Maksud dan Tujuan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan kajian tentang potensi pemekaran
(baca: penyesuaian) Kota Salatiga yang berfokus pada studi pengembangan kelurahan
di wilayah perbatasan di Kota Salatiga. Secara rinci tujuan dari kegiatan studi ini
adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis potensi wilayah yang ada di sekitar Kota Salatiga.


 

2. Menganalisis kemungkinan pemekaran Kota Salatiga sesuai dengan indikator
dalam PP No. 78 Tahun 2007.
3. Menganalisis kelayakan pemekaran Kota Salatiga dari sisi biaya dan manfaat.

1.4.Sasaran dan Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan yang dilaksanakan meliputi pengkajian mengenai
potensi pemekaran wilayah Kota Salatiga, sebagai bahan pertimbangan dalam
mengkaji kemungkinan pemekaran Kota Salatiga. Selanjutnya, berdasarkan hasil
kajian tersebut, dilakukan analisis kelayakan pemekaran Kota Salatiga dari sisi biaya
dan manfaat.
Keluaran yang akan dihasilkan dari kegiatan ini berupa Dokumen Studi
Kelayakan

Pemekaran

(baca:

Penyesuaian)

Kota

Salatiga

sebagai

bahan

pertimbangan/rekomendasi bagi pengambil kebijakan, yakni Walikota dan DPRD
Kota Salatiga dalam menyusun kebijakan penataan wilayah Kota Salatiga sesuai
dengan kondisi faktual dan kebutuhan masyarakat Kota Salatiga umumnya dan calon
wilayah/kelurahan baru pada khususnya.
 
 
 
 


 

II. LANDASAN TEORI

2.1. Dimensi Normatif Penataan Wilayah
Pada dasarnya usaha pemekaran suatu daerah menjadi dua atau lebih luas
adalah tidak dilarang, asalkan didukung oleh keinginan sebagian besar masyarakat
dan memenuhi persyaratan administratif, teknis, dan fisik wilayah. Selain itu,
berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat.
Dalam rangka mengatur pemekaran dan atau penggabungan daerah,
pemerintah telah menetapkan syarat-syarat dan kriteria pemekaran, penghapusan, dan
penggabungan daerah yang tertuang dalam PP No. 129 tahun 2000.
Pada perkembangan berikutnya, PP No. 129 tahun 2000 diganti dengan PP No.
78 Tahun 2007. Dalam Penjelasan PP No. 78 Tahun 2007 secara eksplisit dinyatakan
bahwa seluruh persyaratan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah dimaksudkan
agar daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh, berkembang dan mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningatkan pelayanan publik yang
optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam
memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi
tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang
dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah,
sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud. Dengan demikian, dalam usulan
pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah secara ilmiah.
Dalam mengkaji daerah calon daerah pemekaran sekurang-kurangnya tiga
langkah pokok yang perlu dilalui yaitu mengkaji tentang kondisi eksisting penataan
wilayah di Kota Salatiga, selanjutnya mengukur potensi pemekaran sesuai dengan
indikator dalam PP No. 78 Tahun 2007 dan terakhir menganalisis kelayakan
pemekaran dilihat dari sisi biaya dan manfaat.
Dari sudut pandang yang berbeda, masyarakat yang menyetujui dan atau
menolak pemekaran suatu daerah, hendaknya secara sadar memiliki alasan rasional.
Artinya, tidak hanya asal menyetujui dan atau menolak tanpa kelengkapan informasi


 

yang memadai. Dari seluruh kasus pemekaran daerah, selalu akan ada masyarakat di
daerah setempat yang menolak. Suatu hal yang bersifat manusiawi. Namun, hal yang
perlu dihindari adalah alasan politik yang berlebihan sehingga melupakan aspek
rasional dan mementingkan politik sesaat semata. Beberapa perspektif yang
diharapkan akan memberikan perluasan wawasan dan cara pandang guna melengkapi
kita dalam menyikapi fenomena pemekaran daerah adalah sebagai berikut:
Alasan normatif. Produk hukum yang dilandasi UU Pemerintahan Daerah
adalah wadah yang paling terbuka bagi daerah untuk memiliki akses sebanyak
mungkin dalam pemekaran daerah. Dalam pandangan yang bersifat normatif tersebut,
daerah punya hak otonom seluas-luasnya untuk mengatur dan mengelola urusan rumah
tangganya sendiri. Daerah-daerah yang selama ini kurang mendapat sentuhan
pembangunan (karena jarak akses kebijakan yang mungkin dirasa terlalu “jauh”) akan
mendapatkan suatu peluang yang besar dalam mengembangkan dirinya. Kebijakan
akan semakin dekat dan peran masyarakat terhadap pembangunan semakin besar.
Namun demikian, pada sisi lain ternyata tidak semua daerah hasil pemekaran memiliki
kesempatan yang sama. Sebagian dari daerah otonomi baru menjadi beban bagi
pemerintah pusat (katakanlah karena PAD lebih sedikit daripada pembiayaan daerah),
akibatnya mereka hanya mengharapkan Dana Alokasi Umum (DAU) yang masih
banyak bergantung pada pemerintah pusat. Hal ini dilandasi realita bahwa usaha-usaha
daerah memacu PAD, terutama bagi daerah yang miskin sumber daya alam, tidak
terlalu signifikan.
Gejala ini mendapat fokus perhatian pada UU No. 23 Tahun 2014. Persyaratan
pembentukan daerah otonom baru sudah lebih selektif dan makin ketat, dengan
mekanisme persyaratan administrasi, teknis dan fisik kewilayahan. Pertimbangan
lainnya yang perlu diperhatikan adalah daerah induk yang ditinggalkan dapat menjadi
lemah, akibat minimnya potensi sumber-sumber PAD yang bisa dikembangkan.
Demikianlah alasan normatif yang perlu dijadikan pegangan bagi penggagas
pembentukan daerah baru.
Alasan memacu diri untuk melakukan kompetisi. Dalam kacamata kompetisi,
pemekaran daerah dapat diartikan sebagai strategi untuk mendapatkan peluang dan
akses yang baru dalam upaya mendapatkan dan mengelola sumberdaya daerah.
Artinya semua daerah punya hak yang sama berkompetisi dalam mengembangkan
daerahnya. Namun demikian, makna kompetisi bisa saja berbalik menjadi ancaman


 

bahkan bencana, ketika daerah tidak mampu berkompetisi. Dengan adanya kebijakan
otonomi daerah, tanpa memandang daerah induk maupun daerah pemekaran akan
melakukan kompetisi yang sama. Setiap daerah harus berjuang guna mendapatkan
akses seluas-luasnya bagi transaksi bermacam sumber daya yang dimiliki, baik yang
menyangkut sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Penglolaan sektor riil
mulai dari bidang perdagangan, jasa, pariwisata, transportasi, dan lain-lain akan ramai
diperebutkan. Pemerintahan baru pada awal persaingannya banyak yang tersandung
oleh masa transisi politik di daerah yang bersangkutan, sehingga perhatian terhadap
pembangunan menjadi kurang. Jika pemerintah baru tidak segera menata diri maka
ancaman kebangkrutan akanterjadi.
Perspektif rasional. Motivasi pemekaran satu wilayah yang paling baik adalah
melalui perspektif rasional. Ketika isu pemekaran daerah ditinjau secararasional, maka
aspek politis, normatif, dan lainnya harus disingkirkan terlebih dahulu. Kebutuhan
daerah untuk mekar atau tidak, sepenuhnya dilandasi pertimbangan rasionalitas. Aspek
logis yang harus dipenuhi antara lain rasioantara daerah otonomi baru dengan kondisi
riil penduduk, harus jadi titik tumpu utama. Dengan memakai pertimbangan rasional,
maka metode, strategi,kebijakan, kalkulasi atau pertimbangan apapun dalam proses
pemekaran akan terarah pada indikator-indikator yang terukur secara akurat dan valid.
Perspektif rasional adalah perspektif yang paling ideal untuk diterapkan,namun
justru ini adalah perspektif yang paling sulit dikongkretkan. Kesulitan terutama datang
(lebih tepatnya dihambat) oleh faktor politis dan normatif.Untuk alasan yang ketiga
itulah, perspektif normatif perlu mencoba mengakomodasi alasan rasional. Jalan
tengahnya perlu ada suatu studi ataupenelitian yang rasional sesuai dengan tuntutan
normatif dan atau perundang-undangan.

2.2. Implikasi Politik Penataan Wilayah
Desentralisasi dalam arti pemencaran kekuasaan dapat dilakukan secara
teritorial melalui pembentukan daerah-daerah otonom. Desentralisasi teritorial ini
dilakukan sebagai upaya untuk mendekatkan jarak antara pemerintah dengan yang
diperintah. Pemerintahan di tingkat lokal diperlukan untuk efisiensi dan efektivitas
dalam hal keuangan, penegakan hukum, pendaftaran tanah, dan urusan-urusan lain
yang akan sulit dilakukan hanya oleh pemerintah pusat. Karena itu, pemencaran


 

kekuasaan secara teritorial juga akan berkaitan dengan penentuan fungsi dan
kewenangan apa yang paling tepat untuk dilaksanakan oleh level nasional, level
propinsi, ataupun level kota/kabupaten. Dengan kata lain, desentralisasi teritorial akan
diikuti oleh desentralisasi kewenangan. Hal ini akan menentukan jumlah urusan yang
dilaksanakan olehdaerah otonom tersebut.
Dalam konsep negara kesatuan seperti yang diterapkan di Indonesia,
desentralisasi teritorial tidak menyebabkan terjadinya pengurangan wilayah negara
meskipun terjadi pemekaran, penggabungan ataupun penghapusan daerah otonom.
Daerah-daerah otonom yang berupa Kabupaten/Kota tetap menjadi bagian dari
wilayah Provinsi, dan wilayah-wilayah Provinsi tetap menjadi wilayah dari negara.
Yang berbeda antara negara (pusat), provinsi,kabupaten/kota bahkan desa hanyalah
kewenangan atau otoritasnya yang tercermin dari urusan dan fungsi yang menjadi
kewenangannya.
Desentralisasi berimplikasi pada lokalisasi pembuatan kebijakan dimana setiap
daerah berwenang membuat kebijakannya sendiri. Implikasinya banyak permasalahan
yang tidak dapat dibatasi oleh wilayah administrasi (territorial administrative) dan isu
teritorial (territorial issue), seperti pelayanan, pengelolaan sungai, pintu air,
pendidikan dan pariwisata. Suatu tempat wisata yang lokasinya berada di perbatasan
antara dua daerah otonom,seperti pantai atau pegunungan, seringkali menimbulkan
konflik dalam hal pemeliharaannya karena daerah yang satu merasa tidak mendapat
pendapatan dari obyek wisata itu sehingga menyerahkan pemeliharaannya pada
daerahyang mendapat pendapatan. Sementara daerah yang memperoleh pendapatan
dari obyek wisata itu justru menyerahkan pemeliharaannya pada daerah yang
wilayahnya menjadi lokasi obyek wisata itu. Demikian juga dengan masalah
pendidikan, perbedaan kurikulum antar daerah akan mempersulit tercapainya standar
pelayanan minimal. Untuk mengatasi kemungkinan ini, perlu ditetapkan suatu
mekanisme kerja sama antar daerah atau melalui penerapan wewenang koordinasi
pemerintah propinsi.
Implikasi politik yang harus dipertimbangkan dari kebijakan penataan daerah
otonom yang menyangkut pemekaran, penggabungan atau penghapusan daerah-daerah
otonom adalah kemungkinan terjadinya konflik antar daerah yang menyangkut batasbatas teritorial yang ada kaitannya dengan wilayah potensi sumber daya alam.


 

Kepemilikan akan sumber daya alam yang potensial dapat memicu tuntutan untuk
membentuk daerah otonom baru.
Pembentukan atau pemekaran daerah otonom memang dapat menambah ruang
politik lokal bagi tumbuhnya partisipasi politik dan demokratisasi di tingkat lokal.
Namun, kebijakan ini juga harus mempertimbangkan ketersediaan anggaran nasional
maupun propinsi untuk membiayai daerah baru tersebut. Pembiayaan disini
maksudnya

adalah alokasi Dana Perimbangan yang harus diperhitungkan untuk

daerah yang bersangkutan.
Banyak kasus mengenai pemekaran atau pembentukan daerah otonom baru
diawali oleh ketidakpuasan politik maupun ekonomi, misalnya kasus terbentuknya
Provinsi Banten karena merasa kontribusi ekonomi yang diberikan tidak sebanding
dengan yang kembali pada masyarakat Banten. Akan tetapi, seringkali tuntutan
pemekaran atau pembentukan daerah baru tidak disertai perhitungan ekonomi maupun
politik yang cermat dan akurat. Aspek kesiapan aparat dan kesiapan masyarakat
setempat kurang diperhitungkan. Ketika daerah tersebut sudah terbentuk baru
dipikirkan bagaimana mengisi keanggotaan DPRD atau berapa jumlah aparat birokrasi
yang diperlukan untuk mengelola manajemen pemerintahan. Karena itu, dalam
menentukan keputusan pembentukan atau pemekaran daerah, haruslah diketahui
dahulu isu strategisapa yang melatarbelakangi tuntutan tersebut serta bagaimana
dinamika politik lokal di daerah itu.
Penataan wilayah dapat dilakukan melalui tiga cara, yakni : (1) pemekaran; (2)
penggabungan; dan (3) re-groupping sub-sub wilayah dalam daerah yang
bersangkutan (misalnya re-grouping kecamatan dan/atau desadalam wilayah
kabupaten). Keputusan untuk memilih salah satu cara didasarkan pada outcomes yang
ingin dicapai, apakah efektivitas pelayanan publik; pertumbuhan ekonomi; pemerataan
pembangunan; pemberdayaan masyarakat setempat dll. Kemudian ditentukan pula apa
yang menjadi output dengan realisasi dapat dirasakan secara konkret, misalnya jika
outcomes-nya efektivitas pelayanan publik maka output-nya kemudahan akses
masyarakat untuk dilayani. Atas dasar itu, disusun aktivitas-aktivitas yang akan
dilakukan dalam bentuk berbagai program atau kebijakan. Alternatif pemekaran
wilayah atau tidak, berada pada tahap ini. Apakah pelayanan dapat lebih efektif
jikadaerah dimekarkan atau bisa juga efektif dengan membentuk sub-sub dinas
ditingkat kecamatan dan atau desa. Pertimbangan alternatif mana yang akan diambil


 

akan menentukan aparat pelaksananya dan anggaran yang dibutuhkan. Dengan
demikian, keputusan penataan daerah otonom harus disesuaikan dengan kebutuhan
dan potensi riil dengan berpedoman pada prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang
efektif.
Dengan demikian, dalam dimensi politik, penataan daerah otonom tidak
sekedar ditentukan oleh perhitungan kemampuan ekonomi daerah tersebut tapi juga
implikasi yang ditimbulkannya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Pertanyaan yang paling penting untuk dijawab dalam merumuskan kebijakan penataan
daerah otonom adalah apakah kebijakan itu dapat (1)mewujudkan distribusi
pertumbuhan ekonomi yang serasi dan merata antar daerah; (2) mewujudkan distribusi
kewenangan yang sesuai dengan kesiapan pemerintah dan masyarakat lokal; (3)
penciptaan ruang politik bagi pemberdayaan dan partisipasi institusi-institusi politik
lokal; serta (4) mewujudkan distribusi layanan publik yang mudah dijangkau oleh
masyarakat.

2.3. Penataan Wilayah dan Manajemen Pemerintahan Daerah
Penatan daerah otonom atau penataan wilayah, sebenarnya merupakan hal
yang umum dilakukan dalam kaitannya dengan manajemen pemerintahan karena
berkaitan dengan rentang kendali. Rentang kendali ini berkaitan dengan kapasitas
koordinasi dan aksesibilitas dalam pelayanan publik. Dengan kondisi geografis yang
beragam, kemampuan koordinasi dan aksesibilitas pelayanan akan berbeda pula.
Semakin luas suatu daerah, akan semakin sulit rentang kendalinya. Demikian pula,
semakin banyak bagian dari suatu daerah, kapasitas koordinasi dan pelayanan akan
semakin kecil. Di sinilah diperlukan adanya penataan wilayah, sebagai suatu
mekanisme untuk mengelola wilayah suatu daerah agar rentang kendali dan
aksesibilitas pelayanan publik dapat dinikmati secara merata.
Dimensi wilayah mempunyai arti penting dalam pembangunan karena setiap
kegiatan pembangunan pasti akan berlangsung dan membutuhkan sumber daya yang
berupa lahan. Dalam dimensi spatial, lahan merupakan sumber daya lingkungan yang
menjadi ruang bagi berlangsungnya kegiatan dan juga pendukung struktural wadah
kegiatan regional. Karena sifat dan posisinya inilah maka perencanaan wilayah yang
berdimensi spatial dapat memainkan posisi strategis dalam menjembatani persoalan

10 
 

desentralisasi dan otonomi daerah terutama yang berkaitan dengan perencanaan
pembangunan.
Pada masa pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini, implementasi kebijakan
pembentukan daerah baru atau pemekaran wilayah kerap menimbulkan masalah
krusial. Di antaranya adalah konflik horizontal antara masyarakat yang pro dan kontra,
tarik menarik kepentingan antara daerah induk dengan calon daerah baru, dan
munculnya problematika ketidakmampuan daerah baru hasil pemekaran dalam
menjalankan fungsi-fungsi pemerintahannya. Selain itu, hal yang menonjol dari
maraknya keinginan untuk membentuk daerah baru, dominannya pertimbangan politik
subyektif elit ketimbang hasil kajian ilmiah-obyektif untuk peningkatan efektifitas
pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Sejak UU No. 22 Tahun 1999 diberlakukan, isu pemekaran lebih dominan jika
dibandingkan dengan isu penggabungan atau penghapusan daerah otonom. Di satu sisi
kecenderungan tersebut dapat diterima dan dipahami sebagai wujud kedewasaan dan
harapan untuk mengurus dan mengembangkan potensi daerah dan masyarakatnya.
Namun di sisi lain, mengundang kekhawatiran terhadap kemampuan dan keberlanjutan
daerah otonom baru untuk dapat bertahan mengurus rumah tangganya sendiri.
Pemekaran daerah diharapkan mampu menjadi media untuk membuka simpul-simpul
keterbelakangan akibat jangkauan pelayanan pemerintah yang terlalu luas, sehingga
perlu dibuka kesempatan bagi daerah tersebut untuk mendirikan pemerintahan sendiri
berdasarkan potensi yang dimiliki. Walaupun dalam berbagai peraturan perundangundangan tentang pemerintahan daerah telah diuraikan bahwa kriteria daerah dibentuk
berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial
politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang secara teknis
diuraikan lebih lanjut dalam PP No. 78 Tahun 2007, tetapi kenyataannya aspirasi
politik lebih mendominasi dibandingkan dengan pemenuhan kriteria tersebut.
Pada praktiknya, terbentuknya daerah-daerah otonom baru ini seringkali hanya
didasarkan pada pertimbangan atau indikator-indikator ekonomi, seperti tingkat
pendapatan, aktivitas kegiatan ekonomi, dan potensi sumber daya alam yang dimiliki.
Sedangkan dimensi politik yang kemudian muncul setelah daerah otonom itu
terbentuk baru dipikirkan kemudian. Gejala inilah yang kemudian (tampaknya) ingin
diantisipasi oleh UU No. 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004.

11 
 

Dalam UU ini, pembentukan daerah baru disertai dengan persyaratan administratif,
teknis, dan fisik wilayah.
Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam UU sebelumnya yang tidak sampai
ke pengaturan teknis pembentukan daerah. Harapannya, pengaturan yang lebih rinci
dapat membuat pembentukan daerah-daerah baru lebih terarah dan tidak semata-mata
berorientasi politis. Namun demikian, bila penghitungan kapasitas calon daerah baru
masih berbasis pada metode skoring sebagaimana digunakan oleh PP No. 78 Tahun
2007, tampaknya perlu ada banyak penyesuaian yang dilakukan agar tidak semata
berbasis pada penghitungan matematis, tapi jugamemperhatikan aspirasi lokal.
Keputusan mengenai pembentukan daerah baru harus lebih cermat dan
bijaksana untuk melakukan penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan kapasitas
yang dimiliki, sehingga dalam pelaksanaanya tidak tergesa-gesa dan cenderung
bersifat politis. Bila hal ini tidak diindahkan maka hasil dari pemekaran tidak akan
memberikan dampak terhadap peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
secara makro maupun mikro, tetapi cenderung akan membebani keuangan negara dan
masyarakat akibat adanya pemekaran, karena social dan political cost pemekaran
suatu wilayah akan lebih besar jika dibandingkan terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Dampak pemekaran, penggabungan, dan penghapusan daerah baru akan
terasa dalam jangka panjang, tetapi bila prosesnya hanya didasari oleh pertimbangan
politis tanpa memperhatikan kriteria-kriteria obyektif maka akan memberikan
pengaruh yang kecil dan parsial terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat,
aksesibilitas pelayanan publik, dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Idealnya,
pemekaran daerah terjadi bila penguatan kapasitas dan kapabilitas daerah dilakukan
secara bertahap, misalnya peningkatan kapasitas dalam pembangunan infrastruktur
(jalan, bangunan, pemerintahan, dan lain-lain), aktivitas ekonomi, serta fiskal daerah
sehingga sampai jangka waktu tertentu ketika daerah tersebut lepas dari daerah
induknya. Dengan demikian, daerah yang bersangkutan akan mandiri dengan
sendirinya dan tidak tergantung pada daerah induk, Provinsi maupun Pusat.

2.4. Teori Struktur, Tata Ruang dan Perkembangan Kota
A. Struktur Ekonomi Kota
Wilayah kota menjadi tempat kegiatan ekonomi penduduknya di bidang jasa,
perdagangan, industri, dan administrasi. Selain itu, wilayah kota menjadi tempat
12 
 

tinggal dan pusat pemerintahan. Kegiatan ekonomi kota dapat dibedakan menjadi dua
sebagai berikut:
1. Kegiatan Ekonomi Dasar
Kegiatan ini meliputi pembuatan dan penyaluran barang dan jasa untuk
keperluan luar kota atau dikirim ke daerah sekitar kota. Produk yang dikirim
dan disalurkan berasal dari industri, perdagangan, hiburan, dan lainnya.
2. Kegiatan Ekonomi Bukan Dasar
Kegiatan ini meliputi pembuatan dan penyaluran barang dan jasa untuk
keperluan sendiri. Kegiatan ini disebut juga dengan kegiatan residensial dan
kegiatan pelayanan. Kegiatan ekonomi kota dapat berupa industri dan kegiatan
jasa atau fasilitas yang tidak memerlukan lahan yang luas. Kegiatan ini
menyebabkan kota berpenduduk padat, jarak bangunan rapat, dan bentuk kota
kompak.

Struktur kota dipengaruhi oleh jenis mata pencaharian penduduknya. Mata
pencaharian penduduk kota bergerak di bidang nonagraris, seperti perdagangan,
perkantoran, industri, dan bidang jasa lain. Dengan demikian, struktur kota akan
mengikuti fungsi kota. Sebagai contoh, suatu wilayah direncanakan sebagai kota
industri, maka struktur penduduk kota akan mengarah atau cenderung ke jenis
kegiatan industri.
Pada kenyataan, jarang sekali suatu kota mempunyai fungsi tunggal.
Kebanyakan kota juga merangkap fungsi lain, seperti kota perdagangan, kota
pemerintahan, atau kota kebudayaan. Contoh: Yogyakarta selain disebut kota budaya
tetapi juga disebut sebagai kota pendidikan dan kota wisata.
Di daerah kota terdapat banyak kompleks, seperti apartemen, perumahan
pegawai bank, perumahan tentara, pertokoan, pusat perbelanjaan (shopping center),
pecinan, dan kompleks suku tertentu. Kompleks tersebut merupakan kelompokkelompok (clusters) yang timbul akibat pemisahan lokasi (segregasi). Segregasi dapat
terbentuk karena perbedaan pekerjaan, strata sosial, tingkat pendidikan, suku, harga
sewa tanah, dan lainnya. Segregasi tidak akan menimbulkan masalah apabila ada
pengertian dan toleransi antara pihak-pihak yang bersangkutan. Munculnya segregasi
di kota dapat direncanakan ataupun tidak direncanakan. Kompleks perumahan dan
kompleks pertokoan adalah contoh segregasi yang direncanakan pemerintah kota.

13 
 

Bentuk segregasi yang lain adalah perkampungan kumuh/slum yang sering
tumbuh di kota-kota besar seperti Jakarta. Rendahnya pendapatan menyebabkan tidak
adanya kemampuan mendirikan rumah tinggal sehingga terpaksa tinggal di sembarang
tempat. Kompleks seperti ini biasanya ditempati oleh kaum miskin perkotaan.
Permasalahan seperti ini memerlukan penanganan yang bijaksana dari pemerintah.

B. Struktur Intern Kota
Pertumbuhan kota-kota di dunia termasuk di Indonesia cukup pesat.
Pertumbuhan suatu kota dapat disebabkan oleh pertambahan penduduk kota,
urbanisasi, dan kemajuan teknologi yang membantu kehidupan penduduk di kota.
Wilayah kota atau urban bersifat heterogen ditinjau dari aspek struktur bangunan dan
demografis. Susunan, bentuk, ketinggian, fungsi, dan usia bangunan berbeda-beda.
Mata pencaharian, status sosial, suku bangsa, budaya, dan kepadatan penduduk juga
bermacam-macam. Selain aspek bangunan dan demografis, karakteristik kota
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti topografi, sejarah, ekonomi, budaya, dan
kesempatan usaha. Karakteristik kota selalu dinamis dalam rentang ruang dan waktu.

14 
 

Gambar 2.1. Bentuk Persegi Empat Struktur Kota Jogja awal Abad XX

Apabila dilihat sekilas wajah suatu kota, maka akan banyak susunan yang tidak
beraturan. Akan tetapi, apabila diamati dengan cermat maka akan dijumpai bentuk dan
susunan khas yang mirip dengan kota-kota lain. Misalnya, kota A berbentuk persegi
empat, kota B berbentuk persegi panjang, dan kota C berbentuk bulat. Begitu juga
dalam susunan bangunan kota terjadi pengelompokan berdasarkan tata guna lahan
kota.Jadi, suatu kota memiliki bentuk dan susunan yang khas. Apabila kamu
mengamati kota berdasarkan peta penggunaan lahan, maka kamu akan mendapatkan
berbagai jenis zona, seperti zona perkantoran, perumahan, pusat pemerintahan,
pertokoan, industri, dan perdagangan. Zona-zona tersebut menempati daerah kota,
baik di bagian pusat, tengah, dan pinggirannya. Zona perkantoran, pusat pemerintahan,
15 
 

dan pertokoan menempati kota bagian pusat atau tengah. Zona perumahan elite
cenderung memiliki lokasi di pinggiran kota. Sedang zona perumahan karyawan dan
buruh umumnya berdekatan dengan jalan penghubung ke pabrik atau perusahaan
tempat mereka bekerja. Para geograf dan sosiolog telah melakukan penelitian
berkaitan dengan persebaran zona-zona suatu kota. Penelitian itu bertujuan untuk
mengetahui perkembangan dan persebaran spasial kota.

C. Beberapa Teori Tentang Struktur Kota

1) Teori Konsentris (Concentric Theory)
Teori konsentris dari Ernest W. Burgess, seorang sosiolog beraliran human
ecology, merupakan hasil penelitian Kota Chicago pada tahun 1923. Menurut
pengamatan Burgess, Kota Chicago ternyata telah berkembang sedemikian rupa
dan menunjukkan pola penggunaan lahan yang konsentris yang mencerminkan
penggunaan lahan yang berbeda-beda. Burgess berpendapat bahwa kota-kota
mengalami perkembangan atau pemekaran dimulai dari pusatnya, kemudian seiring
pertambahan penduduk kota meluas ke daerah pinggiran atau menjauhi pusat.
Zona-zona baru yang timbul berbentuk konsentris dengan struktur bergelang atau
melingkar.
Berdasarkan teori konsentris, wilayah kota dibagi menjadi lima zona sebagai
berikut.

Gambar 2.2. Struktur Kota Menurut Teori Konsentris

Teori Burgess sesuai dengan keadaan negara-negara Barat (Eropa) yang telah
maju penduduknya. Teori ini mensyaratkan kondisi topografi lokal yang
memudahkan rute transportasi dan komunikasi.

16 
 

2) Teori Sektoral (Sector Theory)
Teori sektoral dikemukakan oleh Hommer Hoyt. Teori ini muncul berdasarkan
penelitiannya pada tahun 1930-an. Hoyt berkesimpulan bahwa proses pertumbuhan
kota lebih berdasarkan sektorsektor daripada sistem gelang atau melingkar
sebagaimana yang dikemukakan dalam teori Burgess. Hoyt juga meneliti Kota
Chicago untuk mendalami Daerah Pusat Kegiatan (Central Business District) yang
terletak di pusat kota.
Ia berpendapat bahwa pengelompokan penggunaan lahan kota menjulur seperti
irisan kue tar. Mengapa struktur kota menurut teori sektoral dapat terbentuk? Para
geograf

menghubungkannya

dengan

kondisi

geografis

kota

dan

rute

transportasinya. Pada daerah datar memungkinkan pembuatan jalan, rel kereta api,
dan kanal yang murah, sehingga penggunaan lahan tertentu, misalnya perindustrian
meluas secara memanjang. Kota yang berlereng menyebabkan pembangunan
perumahan cenderung meluas sesuai bujuran lereng.

Gambar 2.3. Struktur Kota Menurut Teori Sektoral

3) Teori Inti Ganda (Multiple Nucleus Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Harris dan Ullman pada tahun 1945. Kedua
geograf ini berpendapat, meskipun pola konsentris dan sektoral terdapat dalam
wilayah kota, kenyataannya lebih kompleks dari apa yang dikemukakan dalam teori
Burgess dan Hoyt.

17 
 

Gambar 2.4. Struktur Kota Menurut Teori Inti Ganda

Pertumbuhan kota yang berawal dari suatu pusat menjadi bentuk yang
kompleks. Bentuk yang kompleks ini disebabkan oleh munculnya nukleus-nukleus
baru yang berfungsi sebagai kutub pertumbuhan. Nukleus-nukleus baru akan
berkembang sesuai dengan penggunaan lahannya yang fungsional dan membentuk
struktur kota yang memiliki sel-sel pertumbuhan. Nukleus kota dapat berupa
kampus perguruan tinggi, Bandar udara, kompleks industri, pelabuhan laut, dan
terminal bus. Keuntungan ekonomi menjadi dasar pertimbangan dalam penggunaan
lahan secara mengelompok sehingga berbentuk nukleus. Misalnya, kompleks
industri mencari lokasi yang berdekatan dengan sarana transportasi. Perumahan
baru mencari lokasi yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan dan tempat
pendidikan.
Harris dan Ullman berpendapat bahwa karakteristik persebaran penggunaan
lahan ditentukan oleh faktor-faktor yang unik seperti situs kota dan sejarahnya yang
khas, sehingga tidak ada urut-urutan yang teratur dari zona-zona kota seperti pada
teori konsentris dan sektoral. Teori dari Burgess dan Hoyt dianggap hanya
menunjukkan contoh-contoh dari kenampakan nyata suatu kota.

4) Teori Konsektoral (Tipe Eropa)
Teori konsektoral tipe Eropa dikemukakan oleh Peter Mann pada tahun 1965
dengan mengambil lokasi penelitian di Inggris. Teori ini mencoba menggabungkan
teori konsentris dan sektoral, namun penekanan konsentris lebih ditonjolkan.

18 
 

Gambar 2.5. Struktur Kota Menurut Teori Konsektoral (Tipe Eropa)

5) Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin)
Teori konsektoral tipe Amerika Latin dikemukakan oleh Ernest Griffin dan
Larry Ford pada tahun 1980 berdasarkan penelitian di Amerika Latin. Teori ini
dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.6. Struktur Kota Menurut Teori Konsektoral (Tipe Amerika Latin)

6) Teori Poros
Teori poros dikemukakan oleh Babcock (1932), yang menekankan pada
peranan transportasi dalam memengaruhi struktur keruangan kota. Teori poros
ditunjukkan pada gambar sebagai berikut.

19 
 

Gambar 2.7. Struktur Kota Menurut Teori Poros

7) Teori Historis
Dalam teori historis, Alonso mendasarkan analisisnya pada kenyataan historis
yang berkaitan dengan perubahan tempat tinggal penduduk di dalam kota. Teori
historis dari Alonso dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.8. Struktur Kota Menurut Teori Historis

Dari model gambar tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya
standar hidup masyarakat yang semula tinggal di dekat CBD disertai penurunan
kualitas lingkungan, mendorong penduduk untuk pindah ke daerah pinggiran (a).
Perbaikan daerah CBD menjadi menarik karena dekat dengan pusat segala fasilitas
kota (b). Program perbaikan yang semula hanya difokuskan di zona 1 dan 2,
melebar ke zona 3 yang menarik para pendatang baru khususnya dari zona 2 (c).
Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955). Teori ini menyatakan bahwa
perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK
20 
 

atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi,
aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan
secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan
kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu
ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat
ekonominya.

2.5. Indikator Pembentukan Daerah Sesuai PP 78 Tahun 2007
Indikator dan sub indikator sebagaimana termuat dalam PP No. 78 Tahun 2007
menunjukkan perlunya diperhatikan kondisi kependudukan; kemampuan ekonomi;
potensi daerah; kemampuan keuangan; sosial budaya; sosial politik; luas daerah;
pertahanan; keamanan; tingkat kesejahteraan masyarakat; dan rentang kendali. Secara
rinci, indikator dan sub indikator yang diatur dalam PP tersebut adalah sebagai
berikut:

Tabel 2.1. Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru
berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007
Indikator
1. Kependudukan
2. Kemampuan ekonomi

3. Potensi daerah

4. Kemampuan keuangan

Faktor Indikator
1. Jumlah penduduk
2. Kepadatan penduduk
3. PDRB non migas per kapita
4. Pertumbuhan ekonomi
5. Kontribusi PDRB non migas
6. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000
penduduk
7. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk
8. Rasio pasar per 10.000 penduduk
9. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD
10. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP
11. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA
12. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk
13. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk
14. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan
bermotor atau perahu atau kapal motor
15. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga
16. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor
17. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA
terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas
18. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1
terhadap penduduk usia 25 tahun ke atas
19. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk
20. Jumlah PDS
21. Rasio PDS terhadap jumlahpenduduk
21 

 

5. Sosial budaya

6. Sosial politik

7. Luas daerah
8. Pertahanan

9. Keamanan
10. Tingkat kesejahteraan
masyarakat
11. Rentang kendali

22. Rasio PDS terhadap PDRB non migas
23. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk
24. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk
25. Jumlah balai pertemuan
26. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk
yang mempunyai hak pilih
27. Jumlah organisasi kemasyarakatan
28. Luas wilayah keseluruhan
29. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan
30.Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas
wilayah
31. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang
pertahanan
32.Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah
penduduk
33. Indeks Pembangunan Manusia
34. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat
pemerintahan
(provinsi atau kabupaten)
35. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan
ke pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)

III. METODOLOGI
3.1. Metode Penelitian
22 
 

Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji kelayakan pemekaran Kota
Salatiga menggunakan metoda survei dengan desain penelitian deskriptif analisis.
Unit analisisnya adalah desa atau kelurahan yang ada di Kabupaten Semarang dan
berbatasan dengan Kota Salatiga.
Kajian ini dilakukan dengan berlandaskan pada indikator dan sub indikator
sebagaimana termuat dalam PP No. 78 Tahun 2007 yang meliputi kondisi
kependudukan; kemampuan ekonomi; potensi daerah; kemampuan keuangan; sosial
budaya; sosial politik; luas daerah; pertahanan; keamanan; tingkat kesejahteraan
masyarakat; dan rentang kendali. Secara rinci, indikator dan sub indikator yang
digunakan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1. Faktor dan Indikator Pembentukan Daerah Otonom Baru
berdasarkan PP No. 78 Tahun 2007
Indikator
1. Kependudukan
2. Kemampuan ekonomi

3. Potensi daerah

Faktor Indikator
1. Jumlah penduduk
2. Kepadatan penduduk
3. PDRB non migas per kapita
4. Pertumbuhan ekonomi
5. Kontribusi PDRB non migas
6. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per
10.000 penduduk
7. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 penduduk
8. Rasio pasar per 10.000 penduduk
9. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD
10. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP
11. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA
12. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 penduduk
13. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk
14. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan
bermotor atau perahu atau kapal motor
15. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah
tangga
16. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan
bermotor
17. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal
SLTA terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas
18. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1
terhadap penduduk usia 25 tahunke atas

23 
 

4. Kemampuan keuangan

5. Sosial budaya

6. Sosial politik

7. Luas daerah
8. Pertahanan

9. Keamanan
10. Tingkat kesejahteraan
masyarakat
11. Rentang kendali

19. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk
20. Jumlah PDS
21. Rasio PDS terhadap jumlahpenduduk
22. Rasio PDS terhadap PDRB non migas
23. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk
24. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk
25. Jumlah balai pertemuan
26. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada
penduduk yang mempunyai hak pilih
27. Jumlah organisasi kemasyarakatan
28. Luas wilayah keseluruhan
29. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan
30.Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas
wilayah
31. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang
pertahanan
32.Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap
jumlah penduduk
33. Indeks Pembangunan Manusia
34. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat
pemerintahan
(provinsi atau kabupaten)
35. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau
kecamatan ke pusat pemerintahan (provinsi atau
kabupaten)

Setiap faktor dan indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuaidengan
perannya dalam pembentukan daerah otonom, sebagaimana pada tabel berikut ini.
24 
 

Tabel 3.2. Bobot untuk Setiap Faktor dan Indikator
No. Faktor dan Indikator
1 Kependudukan
1. Jumlah penduduk
2. Kepadatan penduduk
2 Kemampuan ekonomi
1. PDRB non migas per kapita
2. Pertumbuhan ekonomi
3. Kontribusi PDRB non migas
3 Potensi daerah
1. Rasio bank dan lembaga keuangan non bank per 10.000
penduduk
2. Rasio kelompok pertokoan per 10.000 Penduduk
3. Rasio pasar per 10.000 penduduk
4. Rasio sekolah SD per penduduk usia SD
5. Rasio sekolah SLTP per penduduk usia SLTP
6. Rasio sekolah SLTA per penduduk usia SLTA
7. Rasio fasilitas kesehatan per 10.000 Penduduk
8. Rasio tenaga medis per 10.000 penduduk
9. Persentase rumah tangga yang mempunyai kendaraan bermotor
atau perahu atau kapal motor
10. Persentase pelanggan listrik terhadap jumlah rumah tangga
11. Rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor
12. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal SLTA
terhadap penduduk usia 18 tahun ke atas
13. Persentase pekerja yang berpendidikan minimal S-1 terhadap
penduduk usia 25 tahun ke atas
14. Rasio pegawai negeri sipil terhadap penduduk
4 Kemampuan keuangan
1. Jumlah PDS
2. Rasio PDS terhadap jumlah penduduk
3. Rasio PDS terhadap PDRB non migas
5 Sosial budaya
1. Rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk
2. Rasio lapangan olahraga per 10.000 penduduk
3. Jumlah balai pertemuan
6 Sosial politik
1. Rasio penduduk yang ikut pemilu legislatif pada penduduk
yang mempunyai hak pilih
2. Jumlah organisasi kemasyarakatan
7 Luas daerah
1. Luas wilayah keseluruhan
2. Luas wilayah efektif yang dapat dimanfaatkan
8 Pertahanan
1. Rasio jumlah personil aparat pertahanan terhadap luas wilayah

Bobot
20
15
5
15
5
5
5
15
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
15
5
5
5
5
2
2
1
5
3
2
5
2
3
5
3

25 
 

2. Karakteristik wilayah dilihat dari sudut pandang pertahanan
9 Keamanan
1. Rasio jumlah personil aparat keamanan terhadap jumlah
penduduk
10 Tingkat kesejahteraan masyarakat
1. Indeks Pembangunan Manusia
11 Rentang kendali
1. Rata-rata jarak kabupaten atau kecamatan ke pusat
pemerintahan (provinsi atau kabupaten)
2. Rata-rata waktu perjalanan dari kabupaten atau kecamatan ke
pusat pemerintahan (provinsi atau kabupaten)
TOTAL

2
5
5
5
5
5
2
3
100

Selanjutnya, nilai dari tiap indikator tersebut dihitung denganmenggunakan
sistem skoring, yang terdiri dari 2 (dua) metode sebagai berikut:
1. Metode rata-rata
Metode rata-rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap calon
daerah dan daerah induk terhadap besaran/nilai rata-rata keseluruhan daerah di
sekitarnya.

2. Metode kuota
Metode kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai kuota
penentuan skoring baik terhadap calon daerah maupun daerah in