Uji Anti Hiperglikemia Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia Diversifolia) Pada Mencit (Mus Musculus) Yang Diinduksi Diabetes Dengan Aloksan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kembang Bulan (Tithonia diversifolia)
2.1.1 Habitat
Tumbuhan kembang bulan (Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray)
umumnya tumbuhan liar di tempat-tempat curam, misalnya di tebing-tebing, tepi
sungai dan selokan. Sekarang banyak ditanam sebagai tanaman hias karena warna
bunganya yang kuning indah dan sebagai pagar untuk mencegah kelongsoran
tanah. Kembang bulan merupakan tumbuhan tahunan yang kerap tumbuh di
tempat terang dan banyak sinar matahari langsung dan tumbuh dengan mudah di
tempat atau di daerah berketinggian 5-1500 m di atas permukaan laut (Hutapea,
1994).

2.1.2 Morfologi
Tumbuhan kembang bulan merupakan tumbuhan perdu yang tegak dengan tinggi
lebih kurang ± 5 m. Batang tegak, bulat, berkayu hijau. Daunnya tunggal,
berseling, panjang 26-32 cm, lebar 15-25 cm, ujung dan pangkal runcing,
pertulangan menyirip, hijau. Bunga merupakan bunga majemuk, di ujung ranting,
tangkai bulat, kelopak bentuk tabung, berbulu halus, hijau, mahkota lepas, bentuk
pita, halus, kuning, benang sari bulat, kuning, putik melengkung, kuning.

Buahnya bulat, jika masih muda berwarna hijau setelah tua berwarna coklat.
Bijinya bulat, keras, dan berwarna coklat. akarnya berupa akar tunggang berwarna
putih kotor (Hutapea, 1994).

Gambar 1. Tithonia diversifolia (Dokumentasi pribadi)
Tumbuhan kembang bulan memiliki sistematik (Hutapea, 1994) sebagai berikut :
Divisi
Sub divisi
Kelas
Bangsa
Suku
Marga
Jenis

: Spermatophyta
: Angiospermae
: Dicotyledoneae
: Asterales
: Asteraceae
: Tithonia

: Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray

Tumbuhan kembang bulan memiliki nama lain yaitu sinonim : Mirasolia
diversifolia Hemsley (Hutapea, 1994), dan nama daerah: Rondose-moyo, Harsaga
(Jawa), Kirinyu (Sunda), Kayu Paik (Minang) (Didik dan Sulistijowati, 2006)
serta nama asing: Mary Gold, Shrub Sunflower, Mexican Sunflower (Inggris),
Mirasol (Guatemala), Yellow Flower (Portugis). Tumbuhan kembang bulan pada
umumnya digunakan sebagai obat luka atau luka lebam, dan sebagai obat sakit
perut kembung dan juga digunakan sebagai obat lepra, penyakit lever, obat
diabetes dan dapat digunakan sebagai penggugur kandungan (Hutapea, 1994).
2.2 Diabetes Melitus
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya. WHO mendefinisikan Diabetes melitus (DM)
sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme

kronis dengan multi

etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi


fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan
atau defisiensi produksi insulin oleh sel beta pankreas, atau disebabkan oleh
kurang responsifnya sel tubuh terhadap insulin. (Maureen, 2004).
Diabetes melitus atau yang lebih dikenal dengan penyakit gula atau
kencing manis diakibatkan oleh kekurangan hormon insulin. Hal ini disebabkan
oleh pankreas sebagai produsen insulin tidak memproduksi insulin dalam jumlah
yang cukup sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga pembakaran dan
penggunaan karbohidrat tidak sempurna (Perkeni, 2006). Penyakit gula atau
diabetes melitus merupakan penyakit menahun dengan komplikasi yang baru
terlihat lima belas atau dua puluh tahun kemudian. Kata diabetes sendiri berarti
kencing dan melitus dalam bahasa Latin berarti madu (mell). Jadi, penyakit ini
diartikan sebagai penyakit kencing manis (Waspandji, 2006).
Menurut survei yang dilakukan WHO, Indonesia menempati urutan ke-4
dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, Cina dan
Amerika Serikat (Depkes RI, 2005). Berbagai penelitian epidemiologi
menunjukkan

adanya


kecenderungan

peningkatan

angka

penderita

dan

prevalensi DM tipe-2 (DMT2) dari tahun ke tahun. Untuk Indonesia, WHO
memprediksi kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi
sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2006). Berdasarkan data Departemen
Kesehatan RI tahun 2008, prevalensi penyakit DM di Indonesia adalah sebesar 5,7
persen, dengan demikian lebih dari 12 juta penduduk Indonesia saat ini adalah
penderita penyakit DM yang termasuk kedalam 10 (sepuluh) besar penyakit di
Indonesia.

2.2.1


Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut Mycek et al., (2001), diabetes melitus dibagi menjadi tiga kelompok:
Diabetes Tipe 1, Diabetes Tipe 2, Diabetes Gestasional.
Diabetes Tipe I (Diabetes melitus tergantung insulin, IDDM) ditandai
dengan defisiensi insulin absolute yang disebabkan oleh lesi atau nekrosis sel beta
langerhands, hilangnya fungsi sel beta dapat disebabkan oleh invasi virus, kerja
toksin kimia, atau antibodi autoimun. Akibat dari dekstruksi sel beta, pankreas
gagal berespon terhadap masukan glukosa (Mycek, et al, 2001). Diabetes TIPE I

ini merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan dengan terjadinya ketosis
apabila tidak diobati, lazimnya terjadi pada anak remaja tetapi kadang-kadang
juga terjadi pada orang dewasa. Gangguan katabolisme yang disebabkan hampir
tidak terdapatnya insulin dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat dan sel-sel
beta pankreas gagal merespon semua stimulus insulinogenik (Katzung, 2002).
Diabetes Tipe II (Diabetes melitus tak tergantung insulin, NIDDM)
merupakan suatu kelompok heterogen yang terdiri dari bentuk diabetes yang lebih
ringan yang terutama terjadi pada orang dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi
pada remaja. Sirkulasi insulin endogen cukup untuk mencegah terjadinya
ketoasidosis tetapi insulin tersebut dalam kadar kurang normal atau secara relatif

tidak mencukupi karena kurang pekanya jaringan. Obesitas umumnya
menyebabkan gangguan kerja insulin, sehingga merupakan faktor resiko pada
diabetes tipe ini, sebagian besar pasien dengan diabetes tipe II bertubuh gemuk
(Katzung, 2002). Pada NIDDM pankreas masih mempunyai beberapa sel beta
yang berfungsi untuk menghasilkan insulin untuk memelihara homeostasis
glukosa. Diabetes tipe II sering dihubungkan dengan resistensi organ target yang
membatasi respon insulin endogen dan eksogen. Pada beberapa kasus disebabkan
oleh penurunan jumlah atau mutasi reseptor insulin.
Diabetes gestasioanal adalah diabetes terjadi pada saat kehamilan, ada
kemungkinan akan normal kembali namun toleransi glukosa yang terganggu juga
biasa terjadi setelah kehamilan tersebut. DM tipe I atau DM tipe II terjadi pada
wanita yang tidak menjalani penanganan pada saat diabetes gestasional ini terjadi.
Perlu dilakukan pemeriksaan sebelum 24 minggu kehamilan. Data statistik
menunjukan bahwa pengontrolan gula darah saat kehamilan bagi penderita
diabetes gestasional akan menghindari ibu dan bayi yang dilahirkan dari kematian
atau cacat (Gutrhrie and Guthrie, 2003).

2.2.2 Gejala Klinis Diabetes Melitus
Penyakit diabetes melitus ditandai dengan poliuria (banyak berkemih),
polydipsia (banyak minum), dan polifagia (banyak makan), banyak makan tetapi

berat tubuh menurun dan semakin lama akan mengakibatkan hiperglikemia,
glikosuria, ketosis dan asidosis (Ganong, 1998), lemah badan, kesemutan, gatal,

mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita
(Perkeni, 2006), impotensi, infeksi stafilokokus pada kulit dan keluhan claudicatio
ditungkai yang berciri kejang-kejang sangat nyeri di betis setelah berjalan
beberapa meter (Tjay dan Rahardja, 2002).
2.3 Metabolisme Glukosa
Glukosa merupakan zat terpenting dalam kaitannya dengan penyediaan energi
dalam tubuh. Karbohidrat yang dikonsumsi baik itu monosakarida, disakarida
maupun polisakarida akan dikonversi menjadi glukosa dalam hati. Di dalam
tubuh, glukosa tidak hanya dapat tersimpan dalam bentuk glikogen didalam otot
dan hati namun juga dapat tersimpan pada plasma darah dalam bentuk glukosa
darah. Glukosa selain akan berperan sebagai bahan bakar bagi proses
metabolisme, juga sebagai sumber energi utama bagi kerja otak

(Price dan

Wilson, 1998).
Glukosa diabsorbsi dalam tubuh, kadar glukosa dalam darah akan

meningkat untuk sementara waktu, dan akhirnya akan kembali ke kadar semula.
Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagaian besar tergantung dari
ekstraksi glukosa, sintesis glikogen, dan glikogenolisis dalam hati. Selain itu
jaringan perifer otot dan adipose juga mempergunakan glukosa sebagai sumber
energi. Jaringan-jaringan ini ikut berperan dalam mempertahankan kadar glukosa
darah, meskipun secara kuantitatif tidak sebesar hati (Price dan Wilson, 1998).
Glikogen dalam hati dan otot dimetabolisme menjadi glukosa kembali
melalui proses glikolisis dan trigliserida dimetabolisme menjadi asam lemak dan
gliserol (lipolisis) untuk diubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis.
Hal ini terjadi ketika tingkat glukosa darah menurun, atau ketika jumlah glukosa
yang masuk ke dalam sel tidak mencukupi dan cadangan glikogen terpakai habis
(Price dan Wilson, 1998).
Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang
dipergunakan oleh jaringan perifer tergantung dari keseimbangan fisiologis
hormon. Hormon-hormon ini dapat diklasifikasikan sebagai hormon yang
menurunkan kadar glukosa darah dan hormon yang dapat meningkatkan kadar
glukosa darah. Hormon insulin merupakan hormon yang berfungsi dalam
menurunkan kadar glukosa darah. Penyerapan glukosa dalam sel diperantarai oleh

insulin yang merupakan hormon yang dilepaskan oleh sel-sel β pankreas.

Peningkatan kadar glukosa darah setelah makan atau minum merangsang pankreas
untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar glukosa darah
yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar glukosa darah menurun secara perlahan
(Coles, 1980).
Insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memfasilitasi
masuknya glukosa ke dalam sel terutama otot serta mengkonversi glukosa
menjadi glikogen (Glikogenesis) sebagai cadangan energi. Insulin juga
menghambat pelepasan glukosa dari glikogen hepar (Glikogenolisis) dan
memperlambat pemecahan lemak menjadi trigliserida, asam lemak bebas, dan
keton. Selain itu insulin juga menghambat pemecahan protein dan lemak untuk
memproduksi glukosa (Glukoneogenesis) di hepar dan ginjal (Coles, 1980).
Hormon

yang

diklasifikasikan

sebagai

hormon


yang

mampu

meningkatkan glukosa darah adalah glukagon, epinefrin, glikokortikoid, dan
growth hormone. Keempat hormon ini membentuk suatu mekanisme counterregulator yang mencegah timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin.
Glukagon adalah hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel α pankreas.
Glukagon penting karena ikut melibatkan diri dalam mobilisasi glukosa dari hati
dan asam lemak dari jaringan adipose. Glukagon disekresikan jika tubuh hewan
dalam keadaan hipoglikemia dan strees. Ephineprin disekresikan oleh medula
adrenal dan jaringan kromatin (Muraay et al., 2004).
Hormon yang juga mempengaruhi kadar glukosa darah adalah hormonhormon yang dihasilkan oleh kelenjar anak ginjal yaitu glikokortikoid dan
adrenalin. Hormon glukokortikoid yang dihasilkan pada bagian korteks berperan
dalam perubahan protein menjadi glikogen di hati, selanjutnya mengubah
glikogen menjadi glukosa. Hormon adrenalin yang dihasilkan pada bagian medula
mempengaruhi pemecahan glikogen (glikogenolisis) dalam hati sehingga kadar
glukosa darah meningkat. Sekresi kelenjar anak ginjal tersebut dipengaruhi oleh
hormon adenokortikotropik (ACTH) yang dihasilkan oleh kelenjar hipofise
anterior (Coles, 1980).


2.4 Pankreas
Pankreas merupakan kelenjar yang terdiri atas kelenjar endokrin dan eksokrin.
Kelenjar eksokrin menghasilkan sejumlah enzim pencernaan antara lain amilase,
lipase, dan tripsin. Kelenjar endokrin merupakan kumpulan sel yang tersebar
diseluruh pankreas. Di dalam pulau langerhans terdapat beberapa jenis sel
berdasarkan sifat pewarnaan dan morfologinya terdapat kurang lebih 4 jenis sel
yaitu sel α, β, δ, dan f (Scobie, 2007).
Sel α mensekresikan glukagon yang dapat menaikkan konsentrasi glukosa
dan asam lemak bebas dalam darah. Sel α akan memicu glikogenolisis, lipolisis,
dan glukoneogenesis dalam hati. Sebaliknya sel β mensekresikan hormon insulin
yang dapat menurunkan konsentrasi glukosa darah dan memacu sintesis glikogen,
lemak, dan protein dalam banyak sel. Sel β jumlahnya terbanyak di dalam pulau
langerhans yaitu sekitar 60-75%. Sel δ mensekresikan somatostatin yang
menghambat sekresi insulin dan glukagon, sedangkan sel f fungsinya belum
diketahui. Sel ini mungkin adalah sel cadangan atau sel yang sedang istirahat
(Perkeni, 1998).
Pulau langerhans dilalui oleh kapiler-kapiler darah. Pada pewarnaan
hematoksilin, akan terlihat pulau langerhans lebih pucat dibandingkan dengan selsel kelenjar acinar disekelilingnya sehingga pulau langerhans mudah dibedakan.
Penderita diabetes melitus akan mengalami perubahan morfologi pada pulau
langerhans, baik dalam jumlah maupun ukurannya. Jumlah dan ukuran pulau
langerhans berkaitan dengan jumlah sel β penghasil insulin pada jaringan
pankreas. Semakin besar jumlah dan ukuran pulau langerhans, diindikasikan
semakin besar pula jumlah sel β karena 60-75% pengisi pulau langerhans adalah
sel β (Almatsier, 2004).
2.5 Limpa
Tubuh makhluk hidup memiliki kemampuan melawan berbagai jenis organisme
atau toksin yang dapat merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan ini disebut
kekebalan yang merupakan hasil produksi dari jaringan limfoid di dalam tubuh
(Guyton, 1997). Sistem jaringan limfoid dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kelompok yaitu organ limfoid primer dan sekunder (Tizard, 1988).

Gambar 2. Limpa (Shier et al., 2002).
Tubuh makhluk hidup memiliki kemampuan melawan berbagai jenis organisme
atau toksin yang dapat merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan ini disebut
kekebalan yang merupakan hasil produksi dari jaringan limfoid di dalam tubuh
(Guyton, 1997). Sistem jaringan limfoid dapat diklasifikasikan ke dalam dua
kelompok yaitu organ limfoid primer dan sekunder (Tizard, 1988). Organ limfoid
primer merupakan organ yang berfungsi mengatur produksi dan diferensiasi
limfosit dan tempat pengaturan perkembangan limfosit. Sedangkan organ limfoid
sekunder merupakan organ limfoid yang responsif terhadap stimulasi antigenik
atau tempat interaksi limfosit-antigen dan pengontrolannya. Tizard (1988) &
Guyton (1997) mengelompokkan limpa sebagai salah satu organ limfoid
sekunder. Limpa adalah jaringan limfoid yang membentuk organ paling besar
dalam tubuh hewan. Limpa memiliki kapsula dan trabekula yang mengandung
otot polos yang berperan memobilisasikan darah bila aktivitas fisiologik
meningkat (Hartono, 1989).
2.5.1 Anatomi Limpa
Limpa adalah organ limfatik lunak yang terletak di sebelah kiri atas abdomen, di
bawah tulang iga ke-9, 10 dan 11. Sumbu panjangnya paralel dengan iga ke-10.
Limpa memiliki permukaan diafragmatik dan visceral, ujung superior dan inferior,
serta batas anterior, posterior dan inferior. Bagian convex permukaan diafragmatik
berhubungan dengan bagian costal diafragma. Permukaan visceral membentuk
segitiga yang terbagi pada permukaan gastric, renal dan colic. Bagian punggung
limpa memisahkan permukaan gastric (anterior) dengan permukaan renal
(inferior). Pada bagian bawah, terdapat lengkungan, sebuah hilus, sebagai tempat

pembuluh darah dan saraf. Ujung inferior rata dan berakhir pada flexura kiri colic.
Ujung superior (apex) berhubungan langsung dengan tulang Thoracal 11. Batas
anterior memisahkan diafragma dari permukaan gastric, batas posterior yang bulat
memisahkan diafragma dengan permukaan renal dan batas inferior memisahkan
diafragma dari permukaan colic. Ujung pankreas dapat menyentuh limpa diantara
permukaan colic dan hilus (Leeson CR & Leeson TJ 1989).
2.5.2

Fungsi Limpa

Fungsi utama limpa ialah menyimpan darah yang tidak ikut dalam peredaran
darah. Pengeluaran darah dari limpa disebabkan oleh kontraksi alat tubuh yang
dapat ditimbulkan oleh emosi, kekurangan zat asam (kenaikan kadar CO2 darah,
gerak badan ataupun kehilangan darah) dan pada perangsangan nervus simpatikus
pada umumnya (Ressang 1984). Menurut Tizard (2004) dan Boyd (1962), limpa
berfungsi menyaring darah dan sebagai tempat penyimpanan eritrosit dan
trombosit dan melaksanakan eritropoiesis pada fetus. Karena itu, limpa terbagi
atas dua bagian : satu bagian untuk menyimpan eritrosit, untuk penjeratan antigen
dan untuk eritropoiesis, yang disebut pulpa merah; dan bagian yang lain yang di
dalamnya terjadi tanggap kebal yang disebut pulpa putih. Fungsi lain limpa
menurut Ressang (1984) adalah: membentuk sel-sel darah putih yaitu limfosit,
yang ada hubungannya dengan pembentukan globulin (antibodi), pada hewan
muda limpa ikut membentuk eritrosit bersama sumsum tulang, serta dalam
metabolisme nitrogen terutama dalam pembentukan asam kemih.
2.5.3 Patologi Limpa
Perubahan ukuran, warna dan konsistensi limpa biasanya disebabkan oleh respon
limpa terhadap benda asing yang dapat menimbulkan proses-proses reaktif,
sehingga ketika diamati sacara mikroskopis limpa terlihat membengkak. Infeksi
pada tubuh akan merangsang sel-sel limfosit dalam organ limfoid untuk
membentuk antibodi (Volk & Wheleer 1993). Jones et al., (2006), menyatakan
bahwa pembesaran limpa bisa diakibatkan oleh beberapa mekanisme yang
berbeda, yaitu gangguan sirkulasi, penyakit inflamasi, penyakit metabolik dan
neoplasia. Menurut Thomas (1979), perubahan patologi yang terjadi pada limpa
dianggap berkenaan dengan bangunan trabekula, sinus pada pulpa merah dan

pulpa putih, terutama pada kandungan darah, gambaran fibrosa, jumlah sel dan
deposit lain. Perubahan ukuran dan warna limpa dapat terlihat dengan
pemeriksaan mikroskopis (histologis) pada sejumlah sel-sel darah yang banyak
mengisis ruang limpa di sinus-sinus dan pulpa, serta pembuluh darah limpa yang
membendung (hiperemi). Konsistensi limpa dapat menjadi keras dan ukurannya
membesar oleh karena pertumbuhan jaringan retikulum dan hiperplasia sel serta
pertumbuhan jaringan Reticulo Endothelial system (RES) sehingga menghasilkan
sel-sel besar dan pucat yang mengisi sinusoid-sinusoid limpa maupun pada folikel
limpa (Thomas 1979). Pada kondisi septisemia, terjadi pembesaran limpa dengan
kongesti akut dan degenerasi dari folikel limfoid serta hiperseluler dari area sinus
(Jubb et al., 1993).
Menurut Kodama et al., (2005), menyatakan bahwa tikus memiliki suatu
bagian populasi stem sel yang ada di limpa apabila dimasukkan ke dalam inang
yang sakit dapat bermigrasi ke pankreas dan menjadi pulau-pulau langerhans yang
fungsional yang dapat memperbaiki kadar gula darah menjadi normal. Donor sel
limpa setelah ditransfer secara intravena akan ditempatkan ke dalam pankreas
inang dan akan berdiferensiasi tanpa pemasukan sel inang ke dalam sel beta
pankreas.
Menurut Cindy et al., (1991), limpa dengan fungsi imunitas responnya pada
tikus yang diinduksi dengan aloksan, menunjukkan perbaikan pada struktur sel
beta pankreasnya. Perbaikan struktur pankreas akan menyebabkan normalisasi sel
beta dalam mensekresikan insulin untuk menanggulangi DM tipe I karena tipe
DM ini spesifik disebabkan karena kurangnya jumlah insulin yang diproduksi
pankreas.
2.6 Glibenklamid
Glibenklamid adalah hipoglikemik oral derivat sulfonil urea yang bekerja
aktif menurunkan kadar gula darah. Glibenklamid bekerja dengan merangsang
sekresi insulin dari pankreas. Oleh karena itu glibenklamid hanya bermanfaat pada
penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih mampu memproduksi insulin.
Pada penggunaan per oral, sebagian glibenklamid diabsorbsi ke cairan ektrasel,
dan sebagian terikat dengan protein plasma. Pemberian glibenklamid dosis

tunggal akan menurunkan kadar glukosa darah dalam 3 jam dan kadar ini dapat
bertahan selama 15 jam. Glibenklamid diekskresikan bersama feses dan sebagai
metabolit bersama urin (Ganiswarna et al., 1995).
Glibenklamid menstimulir sel-sel beta dari pulau langerhans pankreas
sehingga sekresi insulin ditingkatkan. Disamping itu kepekaan sel-sel beta bagi
kadar glukosa darah juga diperbesar melalui pengaruhnya atas protein transport
glukosa. Ada indikasi bahwa obat ini juga memperbaiki kepekaan organ tujuan
bagi insulin dan menurunkan absorbsi insulin oleh hati (Tjay & Rahardja, 2002).
Glibenklamid secara relatif mempunyai efek samping yang rendah, hal ini
umum terjadi pada golongan Sulfonylurea. Efek samping bersifat ringan dan
hilang sendiri setelah obat dihentikan. Efek samping pemberian glibenklamid
adalah hipoglikemia, mual, rasa tidak enak di perut, dan anoreksia. Glibenklamid
merupakan kontraindikasi pada pasien, kerusakan hati dan insufisiensi ginjal
(Hardjasaputra et al., 2002).
Obat antidiabetika selain glibenklamid yang dijual di pasaran, diantaranya
Metformin Hidroklorida yang bekerja tidak melalui perangsangan insulin tetapi
langsung terhadap organ sasaran (Ganiswarna et al., 1995), akarbosa yang bekerja
menghambat α glukosidase sehingga memperlambat dan menghambat penyerapan
karbohidrat (Santoso & Zaini, 2002).
2.7 Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau sebagian pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang
telah ditetapkan. Ekstrak cair adalah sediaan simplisia nabati yang mengandung
etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Ekstrak tumbuhan obat yang dibuat
dari simplisia nabati dapat dipandang sebagai bahan awal, bahan antara atau
bahan produk jadi. Ekstrak sebagai produk jadi berarti ekstrak yang berada dalam
sediaan obat jadi siap digunakan oleh penderita (Syamsuni, 2007).

2.8 Aloksan
Aloksan adalah substrat yang secara struktural adalah derivat pirimidin sederhana.
Pemberian aloksan akan menghasilkan kondisi diabetik eksperimental atau
hiperglikemia. Aloksan dapat menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel-sel β
pankreas, sehingga menghasilkan keadaan hiperglikemia (Szkudelski 2001).
Aloksan (2,4,5,6-tetraoksipirimidin; 5,6-dioksiurasil) bersifat hidrofilik
dan tidak stabil. Waktu paruh pada suhu 37°C dan pH netral adalah 1,5 menit dan
bisa lebih lama pada suhu yang lebih rendah sebagai diabetogenik, aloksan dapat
diberikan secara intravena, intraperitoneal dan subkutan. Dosis intravena yang
digunakan biasanya 65 mg/kg BB, sedangkan intraperitoneal dan subkutan adalah
2-3 kalinya (Szkudelski, 2001).
Aloksan secara cepat dapat mencapai pankreas, reaksinya diawali dengan
absorpsi oleh sel β Langerhans sehingga membentuk oksigen reaktif merupakan
faktor utama pada kerusakan sel tersebut. Pembentukan oksigen reaktif dimulai
dengan proses reduksi aloksan dalam sel β Langerhans. Aloksan mempunyai
aktivitas tinggi terhadap senyawa seluler yang mengandung gugus SH, glutasi
tereduksi (GSH), sistein dan senyawa sulfhidril terikat protein (misalnya SHcontaining enzyme). Hasil dari proses reduksi aloksan adalah asam dialurat, yang
kemudian mengalami reoksidasi menjadi aloksan, menentukan siklus redoks
untuk

membangkitkan

radikal

superoksida.

Radikal

superoksida

dapat

membebaskan ion ferri dari ferinitin, dan mereduksi menjadi ion ferro. Selain itu,
ion ferri juga dapat direduksi oleh radikal aloksan. Radikal superoksida
mengalami dismutasi menjadi hidrogen peroksida, berjalan spontan dan
kemungkinan dikatalisis oleh superoksida dismutase. Salah satu target dari
oksigen reaktif adalah DNA pulau Langerhans pankreas. Kerusakan DNA tersebut
menstimulasi poly ADP-ribosylation, proses yang terlibat pada DNA repair.
Adanya ion ferro dan hidrogen peroksida membentuk radikal hidroksi yang sangat
reaktif melalui reaksi fenton (Szkudelski, 2001).
Faktor lain selain pembentukan oksigen reaktif adalah gangguan pada
homeostatis kalsium intraseluler. Aloksan dapat meningkatkan konsentrasi ion
kalsium bebas sitosolik pada sel β Langerhans pankreas. Efek tersebut diikuti oleh
beberapa kejadian : influks kalsium dari cairan ekstraseluler, mobilisasi kalsium

dari simpanannya secara berlebihan, dan eliminasinya yang terbatas dari
sitoplasma. Influks kalsium akibat aloksan tersebut mengkaibatkan depolarisasi
sel β Langerhans, lebih lanjut membuka kanal kalsium tergantung voltase dan
semakin menambah masuknya ion kalsium ke sel. Pada kondisi tersebut,
konsentrasi insulin meningkat sangat cepat, dan secara signifikan mengakibatkan
gangguan pada sensitivitas insulin perifer dalam waktu singkat. Selain kedua
faktor tersebut di atas, aloksan juga diduga berperan dalam penghambatan
glukokinase dalam proses metabolisme energi (Szkudelski, 2001).

Gambar 3. Struktur kimia aloksan (Nugroho, 2006).

2.8.1 Pengaruh Aloksan terhadap Kerusakan Sel Beta Pankreas
Aloksan bersifat toksik selektif terhadap sel β pankreas yang memproduksi insulin
karena terakumulasinya aloksan secara khusus melalui transporter glukosa yaitu
GLUT2. Tingginya konsentrasi aloksan tidak mempunyai pengaruh pada jaringan
percobaan lainnya. Mekanisme aksi dalam menimbulkan perusakan selektif sel β
pankreas belum diketahui dengan jelas. Efek diabetogeniknya bersifat antagonis
terhadap glutathion yang bereaksi dengan gugus SH. Aloksan bereaksi dengan
merusak substansi esensial di dalam sel β pankreas sehingga menyebabkan
berkurangnya granula–granula pembawa insulin di dalam sel beta pankreas.
Aloksan meningkatkan pelepasan insulin dan protein dari sel β pankreas tetapi
tidak berpengaruh pada sekresi glukagon. Efek ini spesifik untuk sel β pankreas
sehingga aloksan dengan konsentrasi tinggi tidak berpengaruh terhadap jaringan
lain. Aloksan mungkin mendesak efek diabetogenik oleh kerusakan membran sel
β dengan meningkatkan permeabilitas (Adam, 2000).
Aksi sitotoksik aloksan dimediasi oleh radikal bebas. Aksi toksik aloksan
pada sel beta diinisiasi oleh radikal bebas yang dibentuk oleh reaksi redoks.
Aloksan dan produk reduksinya, asam dialurik, membentuk siklus redoks dengan
formasi radikal superoksida. Radikal ini mengalami dismutasi menjadi hidrogen

peroksida. Radikal hidroksil dengan kereaktifan yang tinggi dibentuk oleh reaksi
fenton. Aksi radikal bebas dengan rangsangan tinggi meningkatkan konsentrasi
kalsium sitosol yg menyebabkan destruksi cepat sel beta (Adam, 2000).
Penelitian terhadap mekanisme kerja aloksan secara in vitro menunjukkan
bahwa aloksan menginduksi pengeluaran ion kalsium dari mitokondria yang
mengakibatkan proses oksidasi sel terganggu. Aloksan dapat menyebabkan
kerusakan selektif terhadap sel-sel β pankreas. Pembentukan oksigen reaktif
merupakan faktor utama pada kerusakan sel tersebut. Pembentukan oksigen
reaktif diawali dengan proses reduksi aloksan dalam sel β pakreas. Salah satu
target dari oksigen reaktif adalah DNA pulau langerhans pankreas (Szkuldelski,
2001).

Dokumen yang terkait

Efek Hipoglikemia Ekstrak Etanol Biji Mahoni (Swietenia mahogani Jack.) Dan Gambaran Mikrostruktur Limpa Pada Mencit (Mus musculus L.) Yang Telah Diinduksi Diabetes Dengan Aloksan

5 43 77

Uji Aktivitas Antibakteriekstrak Etanol Daun Kembang Bulan(Tithonia diversifolia (Hemsley) A. Gray) Terhadap Bakteri Staphylococcus aureus, Propionibacterium acnes dan Pseudomonas aeruginosa

10 75 66

Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia (Hemsley) A.Gray) pada Mencit Jantan

4 25 120

Uji Anti Hiperglikemia Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia Diversifolia) Pada Mencit (Mus Musculus) Yang Diinduksi Diabetes Dengan Aloksan

0 0 16

Uji Anti Hiperglikemia Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia Diversifolia) Pada Mencit (Mus Musculus) Yang Diinduksi Diabetes Dengan Aloksan

0 0 2

Uji Anti Hiperglikemia Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia Diversifolia) Pada Mencit (Mus Musculus) Yang Diinduksi Diabetes Dengan Aloksan

0 0 6

Uji Anti Hiperglikemia Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia Diversifolia) Pada Mencit (Mus Musculus) Yang Diinduksi Diabetes Dengan Aloksan

1 4 6

Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia (Hemsley) A.Gray) pada Mencit Jantan

0 0 15

Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia (Hemsley) A.Gray) pada Mencit Jantan

0 1 2

Hubungan Hiperglikemia dengan Prothrombin Time pada Mencit (Mus musculus) yang Diinduksi Aloksan

0 0 7