Dukungan Keluarga Bagi Keberfungsian Sosial Penyandang Disabilitas Di Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama
meskipun mereka kembar. Hal tersebut dapat terjadi pada kondisi fisik dan non fisik yang
merupakan keadaan wajar. Setiap orang dalam banyak hal seperti warna kulit, bentuk
jasmani, minat, potensi atau kecerdasan. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari
disamping individu yang secara fisik normal, ada pula individu yang memiliki fisik tidak
normal, yang sering dikenal penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas menyadarkan kita secara nyata bahwa mereka merupakan
sesosok manusia yang diberikan kekurangan secara fisik, namun bukanlah orang yang
berbeda. Kita secara sadar memandang dan bersikap empati terhadap mereka. Mereka pun
tidak ditempatkan sebagai makhluk asing yang dipandang berbeda, namun harus
diperlakukan dengan penuh empati dan rasa kasih sayang, sama seperti makhluk Tuhan
lainnya. Kesetaraan merupakan tujuan penting bagi penyandang disabilitas karena tidak
sedikit diskriminasi yang dilekatkan bagi mereka.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 1
ayat 3 yaitu : “Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada
penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan dan Pasal 6 ayat 6 mengatakan bahwa setiap penyandang cacat berhak atas
hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya,
terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat”.
Di Indonesia, populasi penyandang disabilitas secara kuantitas cenderung meningkat
dan diperkirakan akan terus bertambah karena berbagai sebab seperti, kecelakaan lalu lintas,
Universitas Sumatera Utara
kecelakaan pabrik (tempat kerja), efek samping dari obat- obatan, gizi buruk, gaya hidup dan
sebagainya.
Kementerian Sosial Republik Indonesia (2010) mencatat jumlah penyandang
disabilitas di Indonesia adalah 1.163.508 jiwa, dan data ini digunakan dalam Renstra
Kemensos RI dan PRJMN 2010-2015. Data tersebut mungkin masih jauh dari yang
sebenarnya. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai disabilitas menjadi penyebab
yang menyulitkan pendataan penyandang disabilitas dan terlebih lagi masih ada keluarga
yang menyembunyikan anggota keluarganya yang mempunyai disabilitas terutama di
pedesaan. Selain itu, penyandang disabilitas kurang terwakili dalam sistem perlindungan.
Mereka kesulitan menjangkau pendidikan (Escape Survey, 2004), dan hampir 90%
penyandang disabilitas di negara berkembang tidak akses ke sekolah (United Nations, 2006).
Menurut estimasi Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, hanya
10 % penyandang disabilitas yang akses ke sistem pendidikan. Data Susenas 2009
menunjukkan (43.87 %) penyandang disabilitas usia sekolah usia (7-17 tahun) belum pernah
mengikuti pendidikan, sepertiganya (35.87 %) sedang sekolah dan sekitar (20.26 %) berstatus
tidak sekolah lagi. Selain itu, menurut hasil pendataan Direktorat Rehabilitasi Sosial
Penyandang Cacat Kementerian Sosial (2009) di 24 propinsi, terdapat 65.727 anak, yang
terdiri dari 78.412 penyadang disabilitas dengan kedisabilitasan ringan, 74.603 penyandang
disabilitas dengan kedisabilitasan sedang dan 46.148 penyandang disabilitas dengan
kedisabilitasan
berat
(Pusat
Pengkajian
Data
Pengolahan
Data
dan
Informasi
vol.III.no.2/II/P3DI/Desember/2011).
Jumlah penyandang disabilitas di Sumatera Utara diperkirakan mencapai ribuan
hingga jutaan. Namun perhatian pemerintah terhadap mereka terasa masih sangat minim.
Padahal, sebagai rakyat Indonesia, mereka juga berhak mendapatkan fasilitas yang memadai
seperti rakyat Indonesia lainnya. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID)
Universitas Sumatera Utara
Sumut menyebutkan, tercatat sedikitnya ada 3.000 anak penyandang cacat di daerah ini.
Jumlah tersebut diperkirakan terus bertambah setiap tahun. Tidak hanya karena
bertambahnya jumlah kelahiran bayi, namun jumlah kasusnya juga cenderung meningkat
setiap tahun.
Sayangnya, jumlah tersebut tidak diimbangi dengan fasilitas pendidikan dan
kesehatan yang tersedia di daerah ini. Hingga akhir tahun lalu, tercatat hanya ada 16 sekolah
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), 10 Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) dan
hanya dua Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) di Sumatera Utara. Beberapa
diantaranya ada di Kota Medan. Jumlah tersebut jelas tidak sebanding dengan jumlah anak
disabilitas
yang
mencapai
3000
anak
(http://medanbisnisdaily.com/news/read/2014/02/03/76670/peduli_disabilitas/#.UzwpEaIlmd
diakses pada tanggal 3 april 2014 pukul 14.32).
Kajian Kementrian Sosial tahun 2008 menunjukkan sebagian besar penyandang
disabilitas berada dalam keluarga miskin, yang faktanya menunjukkan mereka sulit
mendapatkan hak dasarnya sebagai anak secara wajar dan memadai. Banyak situasi seperti
pada keluarga miskin tidak terpenuhi kebutuhan nutrisi, tidak mendapatkan pengasuhan dan
perawatan khusus sesuai dengan kedisabilitasannya dari orangtua atau keluarga, kondisi khas
karena berbagai keterbatasan kemampuan keluarga miskin. Orientasi orangtua lebih prioritas
pada upaya untuk memenuhi kelangsungan hidup keluarga, dan mengabaikan keperluan
anaknya yang disabilitas karena sumber dana yang terbatas.
Kehadiran penyandang disabilitas merupakan bagian dari keseluruhan komunitas
masyarakat yang memerlukan perhatian dari seluruh elemen terkait di dalamnya baik dalam
suatu keluarga dan lingkungan sosial secara sosiologis terkadang menimbulkan masalah yang
mengakibatkan ketidakberfungsian sosial keluarga dan lingkungan serta perlakuan salah
Universitas Sumatera Utara
terhadap mereka. Sehingga memerlukan penanganan serta pelayanan yang terpadu, terarah,
berkesinambungan serta profesionalisme.
Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, maka penyandang disabilitas masuk ke dalam kategori penyandang cacat
fisik, yang merupakan individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh
kelainan neuromuscular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau mengalami
kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio dan lumpuh.
Keterbatasan-keterbatasan fisik tersebut, membuat penyandang disabilitas mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang membutuhkan keterampilan motorik. Bagi
individu yang mengalami cacat fisik sering mendapatkan perlakuan yang berlebihan dan
lingkungan sekitar seperti rasa belas kasihan yang membuat individu yang mengalami cacat
tubuh menjadi sulit untuk mengembangkan kemandirian (Ashriati, Alsa & Suprihatin,
2006:32)
Keluarga yang mempunyai anak penyandang disabilitas, ayah dan ibunya ada yang
merasa malu. Akibatnya mereka tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan bermain
dengan teman sebaya, kurang mendapatkan kasih sayang seperti yang diharapkan oleh anakanak pada umumnya, sehingga anak tersebut tidak dapat berkembang kemampuan dan
kepribadiannya.dan kemudian mereka menjadi beban keluarganya.
Selain itu. para penyandang disabilitas kerap menghadapi beban dan hambatan
tersendiri. Terutama dalam hal bersosialisasi dan pengembangan diri. Mereka sering
dihinggapi perasaan inferior, minder, tidak percaya diri, dan tak berdaya. Kondisi ini
diperparah lagi dengan penerimaan lingkungan terhadap kaum disabilitas yang terkesan
masih sangat diskriminatif dan memandang sebelah mata. Banyak masyarakat masih
memandang kaum disabilitas sebagai individu yang lemah, invalid, terbatas, tidak produktif,
Universitas Sumatera Utara
dan bahkan ada yang menganggap parasit karena bergantung pada bantuan manusia yang
berfisik normal.
Sikap dan pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas yang negatif,
menyebabkan mereka merasa kurang percaya diri menjadi rendah diri dan merasa tidak
berguna, bagi mereka memiliki hubungan dengan orang lain yang sering tidak baik
dikarenakan penyandang disabilitas merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas
dengan keadaannya.
Penyandang disabilitas juga menjadi orang yang sangat sensitive terhadap evaluasi
ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat keputusan sendiri dan cendrung conform
terhadap orang lain atau grup karena adanya tekanan group yang akhirnya membuat tidak
percaya diri (Ryff & Singer, 2008:23).
Pengembangan
potensi
kepribadian
penyandang disabilitas
yang
terhambat
mengakibatkan penyandang disabilitas menjadi pesimis dalam menghadapi tantangan, takut
dan khawatir dalam menyampaikan gagasan, ragu-ragu dalam menentukan pilihan dan
memiliki sedikit keinginan untuk bersaing dengan orang lain (Lauster, 2002:16)
Tingkat pendidikan ibu bapak yang rendah, mengakibatkan ketidaktahuan ibu bapak
tentang bagaimana mengasuh atau memberi stimulus yang tepat bagi perkembangan anaknya
yang disabilitas. Kondisi lain ada ibu bapak secara sosial dan psikologis belum siap
menerima anak penyandang disabilitas, bahkan ada ibu bapak menolak kehadiran anaknya
penyandang disabilitas. Stigma masyarakat terhadap anak disabilitas terkadang masih kuat
pada kumpulan masyarakat ini, karena rendahnya pengetahuan dan faktor sosial budaya
(Byrne, 2002:28 ).
Greenspan (dalam Hallahan & Kauffman, 2006:23) mengatakan bahwa penyandang
disabilitas sangat peduli pada body image, penerimaan diri teman- temannya. Kebebasan dari
orang tua, penerimaan diri sendiri dan pencapaian prestasi. Karena body imade
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan keseluruhan mengenai dirinya, hal ini akan membentuk kepercayaan diri
yang dimiliki individu penyandang disabilitas.
Kepercayaan diri setiap individu bersifat individual artinya, setiap individu
mempunyai ukuran percaya diri yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut ditentukan oleh
pengalaman masa lampau yang terdiri dari keberhasilan atau kegagalan individu dan
menjalani kehidupannya hal ini yang dipengaruhi oleh sejauhmana penerimaan masyarakat
pada individu. Jika mereka merasa dirinya diterima maka akan muncul perasaan aman dan
nyaman untuk melakukan segala hal yang mereka inginkan (Santock, 2003:13).
Kepercayaan diri terbentuk melalui dukungan sosial dari dukungan orang tua dan
dukungan orang sekitarnya. Kesadaran keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama
dan utama dalam kehidupan setiap orang. Oleh karena itu dukungan keluarga khususnya
orang tua sangat dibutuhkan, orang tua menjadi hal yang mendasar dari pembentukan
kepercayaan diri seorang individu dimana dengan peran orang tua individu akan tumbuh
menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistis
terhadap dirinya, dengan menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistis
terhadap dirinya, dengan adanya komunikasi dan hubungan yang hangat antara orang tua
dengan anak akan membantu anak dalam memupuk kepercayaan dirinya (Rini, 2002:15).
Dukungan orang tua, keluarga, teman dan masyarakat pada umumnya sangat berperan
penting terhadap pembentukan kepercayaan diri pada penyandang disabilitas. Seseorang akan
menghargai diri sendiri apabila lingkungannya pun menghargainya, misalnya : orang tua
maupun mayarakat yang menunjukkan sikap menolak pada penyandang disabilitas dan
dianggap oleh masyarakat tidak berdaya akan merasa dirinya bahkan tidak berguna dan dapat
mengakibatkan penyandang disabilitas merasa rendah diri, merasa tidak berdaya, merasa
tidak pantas, merasa frustasi, merasa bersalah dan merasa benci (Somantri, 2006:19)
Universitas Sumatera Utara
Penyandang disabilitas yang mendapatkan dukungan merasa tidak sendiri dalam
penderitaannya karena lingkungan sosial akan menjadi stimulant untuk mengurangi rasa takut
dan menolong mereka dalam membangun kepercaayan diri. Dengan demikian dukungan
yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan dan timbul rasa percaya
diri dan kompeten.
Di Kota Medan terdapat panti sosial yang melayani para penyandang disabilitas agar
mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat yaitu Panti Sosial Bina
Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor
25/HUK/1998 tanggal 15 April 1998 secara resmi dikukuhkan menjadi salah satu Unit
Pelaksanaan Teknis di lingkungan Kanwil Departemen Sosial Sumatera Utara dengan
program rujukan regional pelayanan dan rehabilitasi sosial khusus bagi penyandang
disabilitas dari daerag Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara dan Riau (Profil Panti
Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, 2011).
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara mempunyai misi yaitu melakukan
perlindungan, peningkatan harkat dan martabat, serta kualitas hidup penyandang disabilitas
serta mengenmbangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam pelayanan dan rehabilitasi
sosial penyandang cacat.
Adapun kegiatan yang telah dilakukan sampai saat tahun 2014 meliputi bimbingan
fisik, mental dan keterampilan yaitu pembinaan fisik, mental psikologis dan mental
keagamaan dan juga mendapatkan bimbingan keterampilan. Selanjutnya para penyandang
disabilitas yang ada didalam panti tersebut diberikan resosialisasi maksudnya untuk
mempersiapkan para penyandang disabilitas terjun ke masyarakat, keluarga maupun
disalurkan ke lapangan kerja yang tersedia atau instansi pengirim.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis tertarik
meneliti “Dukungan keluarga Bagi Keberfungsian Sosial Penyandang Disabilitas Di Panti
Universitas Sumatera Utara
Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara” sebagai judul penelitian saya yang akan
dituangkan dalam skripsi.
1.2 Perumusan Masalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan, maka masalahyang dapat
dirumuskan oleh penulis dalam penelitian ini adalah “Bagaimana dukungan keluarga bagi
keberfungsian sosial penyandang disabilitas di Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera
Utara?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dukungan keluarga bagi
keberfungsian sosial penyandang disabilitas di Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera
Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka:
a. Pengembangan konsep dan teori – teori yang berkenaan dengan dukungan
keluarga bagi keberfungsian sosial penyandang disabilitas
b. Pengembangan kebijakan dan model pemberdayaan penyandang disabilitas.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab, dengan urutan
sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaan penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara
Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitandengan masalah dan objek
yang akan diteliti, kerangkapenelitian, defenisi konsep dan defenisi operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian,
teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan sejarah singkat dan gambaran umumlokasi penelitian yang
berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti
BAB V : ANALISI DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh darihasil penelitian dan
analisisnya.
BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis yang penulis berikan sehubungan
dengan penelitian yang telah dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap orang dilahirkan berbeda dimana tidak ada manusia yang benar-benar sama
meskipun mereka kembar. Hal tersebut dapat terjadi pada kondisi fisik dan non fisik yang
merupakan keadaan wajar. Setiap orang dalam banyak hal seperti warna kulit, bentuk
jasmani, minat, potensi atau kecerdasan. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari
disamping individu yang secara fisik normal, ada pula individu yang memiliki fisik tidak
normal, yang sering dikenal penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas menyadarkan kita secara nyata bahwa mereka merupakan
sesosok manusia yang diberikan kekurangan secara fisik, namun bukanlah orang yang
berbeda. Kita secara sadar memandang dan bersikap empati terhadap mereka. Mereka pun
tidak ditempatkan sebagai makhluk asing yang dipandang berbeda, namun harus
diperlakukan dengan penuh empati dan rasa kasih sayang, sama seperti makhluk Tuhan
lainnya. Kesetaraan merupakan tujuan penting bagi penyandang disabilitas karena tidak
sedikit diskriminasi yang dilekatkan bagi mereka.
Menurut Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 1
ayat 3 yaitu : “Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada
penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan dan Pasal 6 ayat 6 mengatakan bahwa setiap penyandang cacat berhak atas
hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya,
terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat”.
Di Indonesia, populasi penyandang disabilitas secara kuantitas cenderung meningkat
dan diperkirakan akan terus bertambah karena berbagai sebab seperti, kecelakaan lalu lintas,
Universitas Sumatera Utara
kecelakaan pabrik (tempat kerja), efek samping dari obat- obatan, gizi buruk, gaya hidup dan
sebagainya.
Kementerian Sosial Republik Indonesia (2010) mencatat jumlah penyandang
disabilitas di Indonesia adalah 1.163.508 jiwa, dan data ini digunakan dalam Renstra
Kemensos RI dan PRJMN 2010-2015. Data tersebut mungkin masih jauh dari yang
sebenarnya. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai disabilitas menjadi penyebab
yang menyulitkan pendataan penyandang disabilitas dan terlebih lagi masih ada keluarga
yang menyembunyikan anggota keluarganya yang mempunyai disabilitas terutama di
pedesaan. Selain itu, penyandang disabilitas kurang terwakili dalam sistem perlindungan.
Mereka kesulitan menjangkau pendidikan (Escape Survey, 2004), dan hampir 90%
penyandang disabilitas di negara berkembang tidak akses ke sekolah (United Nations, 2006).
Menurut estimasi Ketua Umum Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, hanya
10 % penyandang disabilitas yang akses ke sistem pendidikan. Data Susenas 2009
menunjukkan (43.87 %) penyandang disabilitas usia sekolah usia (7-17 tahun) belum pernah
mengikuti pendidikan, sepertiganya (35.87 %) sedang sekolah dan sekitar (20.26 %) berstatus
tidak sekolah lagi. Selain itu, menurut hasil pendataan Direktorat Rehabilitasi Sosial
Penyandang Cacat Kementerian Sosial (2009) di 24 propinsi, terdapat 65.727 anak, yang
terdiri dari 78.412 penyadang disabilitas dengan kedisabilitasan ringan, 74.603 penyandang
disabilitas dengan kedisabilitasan sedang dan 46.148 penyandang disabilitas dengan
kedisabilitasan
berat
(Pusat
Pengkajian
Data
Pengolahan
Data
dan
Informasi
vol.III.no.2/II/P3DI/Desember/2011).
Jumlah penyandang disabilitas di Sumatera Utara diperkirakan mencapai ribuan
hingga jutaan. Namun perhatian pemerintah terhadap mereka terasa masih sangat minim.
Padahal, sebagai rakyat Indonesia, mereka juga berhak mendapatkan fasilitas yang memadai
seperti rakyat Indonesia lainnya. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID)
Universitas Sumatera Utara
Sumut menyebutkan, tercatat sedikitnya ada 3.000 anak penyandang cacat di daerah ini.
Jumlah tersebut diperkirakan terus bertambah setiap tahun. Tidak hanya karena
bertambahnya jumlah kelahiran bayi, namun jumlah kasusnya juga cenderung meningkat
setiap tahun.
Sayangnya, jumlah tersebut tidak diimbangi dengan fasilitas pendidikan dan
kesehatan yang tersedia di daerah ini. Hingga akhir tahun lalu, tercatat hanya ada 16 sekolah
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), 10 Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) dan
hanya dua Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) di Sumatera Utara. Beberapa
diantaranya ada di Kota Medan. Jumlah tersebut jelas tidak sebanding dengan jumlah anak
disabilitas
yang
mencapai
3000
anak
(http://medanbisnisdaily.com/news/read/2014/02/03/76670/peduli_disabilitas/#.UzwpEaIlmd
diakses pada tanggal 3 april 2014 pukul 14.32).
Kajian Kementrian Sosial tahun 2008 menunjukkan sebagian besar penyandang
disabilitas berada dalam keluarga miskin, yang faktanya menunjukkan mereka sulit
mendapatkan hak dasarnya sebagai anak secara wajar dan memadai. Banyak situasi seperti
pada keluarga miskin tidak terpenuhi kebutuhan nutrisi, tidak mendapatkan pengasuhan dan
perawatan khusus sesuai dengan kedisabilitasannya dari orangtua atau keluarga, kondisi khas
karena berbagai keterbatasan kemampuan keluarga miskin. Orientasi orangtua lebih prioritas
pada upaya untuk memenuhi kelangsungan hidup keluarga, dan mengabaikan keperluan
anaknya yang disabilitas karena sumber dana yang terbatas.
Kehadiran penyandang disabilitas merupakan bagian dari keseluruhan komunitas
masyarakat yang memerlukan perhatian dari seluruh elemen terkait di dalamnya baik dalam
suatu keluarga dan lingkungan sosial secara sosiologis terkadang menimbulkan masalah yang
mengakibatkan ketidakberfungsian sosial keluarga dan lingkungan serta perlakuan salah
Universitas Sumatera Utara
terhadap mereka. Sehingga memerlukan penanganan serta pelayanan yang terpadu, terarah,
berkesinambungan serta profesionalisme.
Berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, maka penyandang disabilitas masuk ke dalam kategori penyandang cacat
fisik, yang merupakan individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh
kelainan neuromuscular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau mengalami
kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio dan lumpuh.
Keterbatasan-keterbatasan fisik tersebut, membuat penyandang disabilitas mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang membutuhkan keterampilan motorik. Bagi
individu yang mengalami cacat fisik sering mendapatkan perlakuan yang berlebihan dan
lingkungan sekitar seperti rasa belas kasihan yang membuat individu yang mengalami cacat
tubuh menjadi sulit untuk mengembangkan kemandirian (Ashriati, Alsa & Suprihatin,
2006:32)
Keluarga yang mempunyai anak penyandang disabilitas, ayah dan ibunya ada yang
merasa malu. Akibatnya mereka tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan bermain
dengan teman sebaya, kurang mendapatkan kasih sayang seperti yang diharapkan oleh anakanak pada umumnya, sehingga anak tersebut tidak dapat berkembang kemampuan dan
kepribadiannya.dan kemudian mereka menjadi beban keluarganya.
Selain itu. para penyandang disabilitas kerap menghadapi beban dan hambatan
tersendiri. Terutama dalam hal bersosialisasi dan pengembangan diri. Mereka sering
dihinggapi perasaan inferior, minder, tidak percaya diri, dan tak berdaya. Kondisi ini
diperparah lagi dengan penerimaan lingkungan terhadap kaum disabilitas yang terkesan
masih sangat diskriminatif dan memandang sebelah mata. Banyak masyarakat masih
memandang kaum disabilitas sebagai individu yang lemah, invalid, terbatas, tidak produktif,
Universitas Sumatera Utara
dan bahkan ada yang menganggap parasit karena bergantung pada bantuan manusia yang
berfisik normal.
Sikap dan pandangan masyarakat terhadap penyandang disabilitas yang negatif,
menyebabkan mereka merasa kurang percaya diri menjadi rendah diri dan merasa tidak
berguna, bagi mereka memiliki hubungan dengan orang lain yang sering tidak baik
dikarenakan penyandang disabilitas merasa kecewa dengan dirinya dan merasa tidak puas
dengan keadaannya.
Penyandang disabilitas juga menjadi orang yang sangat sensitive terhadap evaluasi
ataupun harapan dari luar, tidak mampu membuat keputusan sendiri dan cendrung conform
terhadap orang lain atau grup karena adanya tekanan group yang akhirnya membuat tidak
percaya diri (Ryff & Singer, 2008:23).
Pengembangan
potensi
kepribadian
penyandang disabilitas
yang
terhambat
mengakibatkan penyandang disabilitas menjadi pesimis dalam menghadapi tantangan, takut
dan khawatir dalam menyampaikan gagasan, ragu-ragu dalam menentukan pilihan dan
memiliki sedikit keinginan untuk bersaing dengan orang lain (Lauster, 2002:16)
Tingkat pendidikan ibu bapak yang rendah, mengakibatkan ketidaktahuan ibu bapak
tentang bagaimana mengasuh atau memberi stimulus yang tepat bagi perkembangan anaknya
yang disabilitas. Kondisi lain ada ibu bapak secara sosial dan psikologis belum siap
menerima anak penyandang disabilitas, bahkan ada ibu bapak menolak kehadiran anaknya
penyandang disabilitas. Stigma masyarakat terhadap anak disabilitas terkadang masih kuat
pada kumpulan masyarakat ini, karena rendahnya pengetahuan dan faktor sosial budaya
(Byrne, 2002:28 ).
Greenspan (dalam Hallahan & Kauffman, 2006:23) mengatakan bahwa penyandang
disabilitas sangat peduli pada body image, penerimaan diri teman- temannya. Kebebasan dari
orang tua, penerimaan diri sendiri dan pencapaian prestasi. Karena body imade
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan keseluruhan mengenai dirinya, hal ini akan membentuk kepercayaan diri
yang dimiliki individu penyandang disabilitas.
Kepercayaan diri setiap individu bersifat individual artinya, setiap individu
mempunyai ukuran percaya diri yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut ditentukan oleh
pengalaman masa lampau yang terdiri dari keberhasilan atau kegagalan individu dan
menjalani kehidupannya hal ini yang dipengaruhi oleh sejauhmana penerimaan masyarakat
pada individu. Jika mereka merasa dirinya diterima maka akan muncul perasaan aman dan
nyaman untuk melakukan segala hal yang mereka inginkan (Santock, 2003:13).
Kepercayaan diri terbentuk melalui dukungan sosial dari dukungan orang tua dan
dukungan orang sekitarnya. Kesadaran keluarga merupakan lingkungan hidup yang pertama
dan utama dalam kehidupan setiap orang. Oleh karena itu dukungan keluarga khususnya
orang tua sangat dibutuhkan, orang tua menjadi hal yang mendasar dari pembentukan
kepercayaan diri seorang individu dimana dengan peran orang tua individu akan tumbuh
menjadi individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistis
terhadap dirinya, dengan menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang realistis
terhadap dirinya, dengan adanya komunikasi dan hubungan yang hangat antara orang tua
dengan anak akan membantu anak dalam memupuk kepercayaan dirinya (Rini, 2002:15).
Dukungan orang tua, keluarga, teman dan masyarakat pada umumnya sangat berperan
penting terhadap pembentukan kepercayaan diri pada penyandang disabilitas. Seseorang akan
menghargai diri sendiri apabila lingkungannya pun menghargainya, misalnya : orang tua
maupun mayarakat yang menunjukkan sikap menolak pada penyandang disabilitas dan
dianggap oleh masyarakat tidak berdaya akan merasa dirinya bahkan tidak berguna dan dapat
mengakibatkan penyandang disabilitas merasa rendah diri, merasa tidak berdaya, merasa
tidak pantas, merasa frustasi, merasa bersalah dan merasa benci (Somantri, 2006:19)
Universitas Sumatera Utara
Penyandang disabilitas yang mendapatkan dukungan merasa tidak sendiri dalam
penderitaannya karena lingkungan sosial akan menjadi stimulant untuk mengurangi rasa takut
dan menolong mereka dalam membangun kepercaayan diri. Dengan demikian dukungan
yang diterima dapat membuat individu merasa tenang, diperhatikan dan timbul rasa percaya
diri dan kompeten.
Di Kota Medan terdapat panti sosial yang melayani para penyandang disabilitas agar
mampu mandiri dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat yaitu Panti Sosial Bina
Daksa “Bahagia” Sumatera Utara. Sesuai dengan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor
25/HUK/1998 tanggal 15 April 1998 secara resmi dikukuhkan menjadi salah satu Unit
Pelaksanaan Teknis di lingkungan Kanwil Departemen Sosial Sumatera Utara dengan
program rujukan regional pelayanan dan rehabilitasi sosial khusus bagi penyandang
disabilitas dari daerag Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara dan Riau (Profil Panti
Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara, 2011).
Panti Sosial Bina Daksa “Bahagia” Sumatera Utara mempunyai misi yaitu melakukan
perlindungan, peningkatan harkat dan martabat, serta kualitas hidup penyandang disabilitas
serta mengenmbangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam pelayanan dan rehabilitasi
sosial penyandang cacat.
Adapun kegiatan yang telah dilakukan sampai saat tahun 2014 meliputi bimbingan
fisik, mental dan keterampilan yaitu pembinaan fisik, mental psikologis dan mental
keagamaan dan juga mendapatkan bimbingan keterampilan. Selanjutnya para penyandang
disabilitas yang ada didalam panti tersebut diberikan resosialisasi maksudnya untuk
mempersiapkan para penyandang disabilitas terjun ke masyarakat, keluarga maupun
disalurkan ke lapangan kerja yang tersedia atau instansi pengirim.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka penulis tertarik
meneliti “Dukungan keluarga Bagi Keberfungsian Sosial Penyandang Disabilitas Di Panti
Universitas Sumatera Utara
Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera Utara” sebagai judul penelitian saya yang akan
dituangkan dalam skripsi.
1.2 Perumusan Masalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan, maka masalahyang dapat
dirumuskan oleh penulis dalam penelitian ini adalah “Bagaimana dukungan keluarga bagi
keberfungsian sosial penyandang disabilitas di Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera
Utara?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dukungan keluarga bagi
keberfungsian sosial penyandang disabilitas di Panti Sosial Bina Daksa Bahagia Sumatera
Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka:
a. Pengembangan konsep dan teori – teori yang berkenaan dengan dukungan
keluarga bagi keberfungsian sosial penyandang disabilitas
b. Pengembangan kebijakan dan model pemberdayaan penyandang disabilitas.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan secara garis besarnya dikelompokkan dalam enam bab, dengan urutan
sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaan penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara
Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitandengan masalah dan objek
yang akan diteliti, kerangkapenelitian, defenisi konsep dan defenisi operasional.
BAB III : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian,
teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.
BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan sejarah singkat dan gambaran umumlokasi penelitian yang
berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti
BAB V : ANALISI DATA
Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh darihasil penelitian dan
analisisnya.
BAB VI : PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis yang penulis berikan sehubungan
dengan penelitian yang telah dilakukan.
Universitas Sumatera Utara