Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat terhadap Tingkat Stres Hospitalisasi Anak Usia Sekolah (6-12 Tahun) di Ruang III RSUD Dr. Pirngadi Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Komunikasi Terapeutik
2.1.1 Definisi Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik menurut Potter (2005) adalah proses di mana
perawat

yang

menggunakan

pendekatan

terencana

mempelajari

klien.

Komunikasi terapeutik adalah hubungan terapeutik dimana perawat dan klien

memperoleh pengalaman belajar bersama serta memperbaiki pengalaman
emosional klien yang negatif. Komunikasi terapeutik juga dapat dipersepsikan
sebagai proses interaksi antara klien dan perawat yang membantu klien
mengatasi stress sementara untuk hidup harmonis dengan orang lain,
menyesuaikan dengan sesuatu yang tidak dapat diubah dan mengatasi hambatan
psikologis yang menghalangi realisasi diri (Kozier dan Glenora, 2000).
Sedangkan menurut Damaiyanti (2008), komunikasi terapeutik dapat diartikan
sebagai segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan pasien. Jadi,
komunikasi terapeutik adalah komunikasi antara perawat dan pasien yang
bertujuan untuk mengatasi pengalaman emosional klien serta stres sementara
yang dialami sehingga memfasilitasi pasien sehat atau dengan kata lain yaitu
komunikasi yang mendukung proses penyembuhan pasien.
2.1.2 Tujuan Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik sengaja dirancang agar hubungan perawat dan
klien menjadi efektif dalam rangka mencapai kesembuhan (Nasir, 2009).

6
Universitas Sumatera Utara

7


Suryani (2005) menyatakan komunikasi terapeutik bertujuan untuk
mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih positif atau adaptif dan
diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi:
a

Kesadaran diri, penerimaan diri, dan meningkatkan kehormatan diri
Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri klien.
Dengan melakukan komunikasi terapeutik pada klien tersebut, diharapkan
perawat dapat mengubah cara pandang klien tentang penyakitnya, dirinya, dan
menerima diri apa adanya.

b

Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan
saling bergantung dengan orang lain
Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana menerima dan
diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur, dan menerima
klien apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam
membina hubungan saling percaya.


c

Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta
mencapai tujuan yang realistis
Perawat membimbing klien dalam membuat tujuan yang realistis dan
meningkatkan kemampuan klien memenuhi kebutuhan dirinya.

d

Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri
Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat membantu klien
meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri yang jelas. Dalam hal ini
perawat berusaha menggali semua aspek kehidupan klien dimasa sekarang dan
masa lalu. Kemudian perawat membantu meningkatkan integritas diri klien
melalui komunikasinya dengan klien.

Universitas Sumatera Utara

8


2.1.3

Karakteristik Komunikasi Terapeutik
Arwani (2002) menyatakan ada 3 hal mendasar yang menjadi ciri-ciri

(karakteristik) komunikasi terapeutik, yaitu:
1. Keikhlasan (Gunuineness)
Perawat dalam membantu klien harus menyadari tentang nilai, sikap dan
perasaan yang dimiliki terhadap keadaan klien. Perawat yang mampu
menunjukkan rasa ikhlasnya mempunyai kesadaran mengenai sikap yang dipunyai
terhadap pasien sehingga mampu belajar untuk mengkomunikasikan -nya secara
tepat. Perawat tidak akan menolak segala bentuk perasaan negatif yang dipunyai
klien, bahkan ia akan berusaha berinteraksi dengan klien.
2. Empati (Empathy)
Empati merupakan perasaan “pemahaman” dan “penerimaan” perawat
terhadap perasaan yang dialami klien dan kemampuan merasakan “dunia pribadi
pasien”. Empati merupakan sesuatu yang jujur, sensitif, dan tidak dibuat-buat
(objektif) didasarkan atas apa yang dialami orang lain. Empati tidak sama dengan
simpati. Perawat akan mudah mengatasi nyeri yang dirasakan pasien, misalnya,

jika dia mempunyai pengalaman yang sama tentang nyeri. Perawat yang
berempati dengan orang lain dapat menghindarkan penilaian berdasarkan kata hati
(impulsive judgement) tentang seseorang dan pada umumnya dengan empati akan
menjadi lebih sensitif dan ikhlas.
3. Kehangatan (Warmth)
Dengan

kehangatan,

perawat

akan

mendorong

klien

untuk

mengekspresikan ide-ide dan menuangkannya dalam bentuk perbuatan tanpa rasa

takut dimaki atau dikonfrontasi. Suasana yang hangat, permisif, dan tanpa adanya

Universitas Sumatera Utara

9

ancaman menunjukkan adanya rasa penerimaan perawat terhadap pasien.
Sehingga pasien akan mengekspresikan perasaannya secara lebih mendalam.
2.1.4

Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik
Prinsip-prinsip komunikasi terapeutik menurut Carl Rogers (dalam

Purwanto, 1994, dalam Damaiyanti, 2008) adalah:
a

Perawat harus mengenal dirinya yang berarti menghayati, memahami dirinya
sendiri serta nilai yang dianut.

b


Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya, dan
saling menghargai.

c

Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun
mental.

d

Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan pasien bebas
berkembang tanpa rasa takut.

e

Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pasien
memiliki motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya
sehingga tumbuh makin matang dan dapat memecahkan masalah - masalah
yang dihadapi.


f

Perawat harus mampu menguasai perasaan sendiri secara bertahap untuk
mengetahui dan mengatasi perasaan gembira, sedih, marah, keberhasilan
maupun frustasi.

g

Mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat mempertahankan
konsistensinya.

h

Memahami betul arti empati sebagai tindakan yang terapeutik dan sebaliknya
simpati bukan tindakan yang terapeutik.

Universitas Sumatera Utara

10


i

Kejujuran dan komunikasi terbuka merupakan dasar dari hubungan terapeutik.

j

Mampu berperan sebagai role model agar dapat menunjukkan dan
menyakinkan orang lain tentang kesehatan, oleh karena itu perawat perlu
mempertahankan suatu keadaan sehat fisik mental, spiritual, dan gaya hidup.

k

Disarankan untuk mengekspresikan perasaan bila dianggap mengganggu.

l

Altruisme untuk mendapatkan kepuasan dengan menolong orang lain secara
manusiawi.


m Berpegang pada etika dengan cara berusaha sedapat mungkin mengambil
keputusan berdasarkan pripsip kesejahteraan manusia.
n

Bertanggung jawab dalam dua dimensi yaitu tanggung jawab terhadap diri
sendiri atas tindakan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang lain.

2.1.5 Teknik-Teknik Komunikasi Terapeutik
Dalam
menggunakan

menanggapi
berbagai

pesan

teknik

yang


komunikasi

disampaikan

klien,

terapeutik.

Beberapa

perawat
teknik

komunikasi terapeutik menurut Wilson dan Kneist (1992) serta Stuart dan
Sundeen (1998) (dalam Damaiyanti, 2008) antara lain:
1. Mendengarkan dengan penuh perhatian
Dengan mendengarkan perawat mengetahui perasaan klien, memberi
kesempatan lebih banyak pada klien untuk bicara (Mundakir, 2006).
2. Menunjukkan penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia untuk
mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan.
Perawat harus waspada terhadap ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang

Universitas Sumatera Utara

11

menyatakan tidak setuju, seperti mengerutkan kening atau menggeleng yang
menyatakan tidak percaya.
3. Menanyakan pertanyaan berkaitan
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang
spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh klien. Oleh karena itu, pertanyaan
sebaiknya dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan gunakan kata-kata yang
sesuai dengan konteks sosial budaya klien.
4. Pertanyaan tebuka
Teknik ini memberi kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
sesuai kehendak klien tanpa membatasi (Mundakir, 2006). Pertanyaan yang tidak
memerlukan jawaban “ya” dan “mungkin”, tetapi pertanyaan memerlukan
jawaban yang luas, sehingga pasien dapat mengemukakan masalahnya,
perasaannya dengan kata-kata sendiri, atau dapat memberikan informasi yang
diperlukan. Misalnya: “Coba adik ceritakan apa yang adik rasakan?”.
5. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri
Melalui penggulangan kembali kata-kata klien, perawat memberikan
umpan balik bahwa ia mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan.
Gunanya untuk menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat
mengikuti pembicaraan klien (Mundakir,2006). Misalnya: “Oh.. jadi adik tadi
malam tidak bisa tidur karena…”.
6. Mengklarifikasi
Klarifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk menjelaskan dalam katakata, idea tau pikiran (implicit maupun eksplisit) yang tidak jelas dikatakan oleh

Universitas Sumatera Utara

12

klien. Tujuan teknik ini adalah untuk menyamakan pengertian. Misalnya: “Apa
yang Adik maksudkan dengan…?”.
7. Memfokuskan
Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga
percakapan menjadi lebih spesifik dan dimengerti.
8. Menyatakan hasil observasi
Perawat harus memberikan umpan balik kepada klien dengan menyatakan
hasil pengamatannya sehingga klien dapat mengetahui apakah pesannya diterima
dengan benar atau tidak. Dalam hal ini perawat menguraikan kesan yang
ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien. Misalnya: “Adik tampak tegang”.
9. Menawarkan informasi
Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan
kesehatan untuk klien. Perawat tidak membenarkan memberikan nasehat kepada
klien ketika memberikan informasi, karena tujuan dari tindakan ini adalah
memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan. Penahanan informasi yang
dilakukan saat klien membutuhkan akan mengakibatkan klien menjadi tidak
percaya.
10. Diam
Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk
mengorganisir pikirannya. Penggunaan metode ini memerlukan keterampilan dan
ketepatan waktu, jika tidak akan menimbulkan perasaan tidak enak. Diam
memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisir
pikiran dan memproses informasi. Diam sangat berguna terutama pada saat klien
harus mengambil keputusan.

Universitas Sumatera Utara

13

11. Meringkas
Meringkas adalah pengulangan ide utama telah dikomunikasikan secara
singkat. Metode ini bermanfaat untuk membantu mengingat topik yang telah
dibahas sebelum meneruskan pembicaraan berikutnya.
12. Memberikan penghargaan
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi kepada klien untuk berbuat
yang lebih baik lagi. Penghargaan dalam pelayanan keperawatan tidak berbentuk
materi, akan tetapi berbentuk dorongan psikologis atau inmaterial untuk memacu
lebih baik lagi (Nasir, 2009).
13. Menawarkan diri
Perawat menyediakan diri tanpa repons bersyarat atau respon yang
diharapkan. Misalnya: “ Suster akan duduk menemanimu selama 15 menit”.
14. Memberikan kesempatan pada klien untuk memulai pembicaraan
Memberikan kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih
topik pembicaraan.
15. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan
Teknik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan
hampir seluruh pembicaraan. Teknik ini juga mengindikasikan bahwa perawat
mengikuti apa yang dibicarakan dan tertarik dengan apa yang akan dibicarakan
selanjutnya.
16. Menempatkan kejadian secara berurutan
Mengurutkan kejadian secara teratur akan membantu perawatan dan klien
untuk melihatnya dalam suatu perspektif. Kelanjutan dari suatu kejadian menuntut

Universitas Sumatera Utara

14

perawat dan klien untuk melihat kejadian berikutnya merupakan akibat dari
kejadian sebelumnya dan juga dapat menemukan pola kesukaran interpersonal.
17. Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya
Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala
sesuatunya dari perspektif klien.
18. Refleksi
Refleksi memberikan kesempatan kepada klien untuk mengemukakan dan
menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.
19. Assertif
Asertif adalah kemampuan dengan secara meyakinkan dan nyaman
mengekspresikan pikiran dan perasaan diri dengan tetap menghargai orang lain.
20. Humor
Dugan (1989) (dalam Damaiyanti,2008) menyebutkan humor sebagai hal
yang penting dalam komunikasi verbal dikarenakan tertawa mengurangi
ketegangan dan rasa sakit akibat stres, dan meningkatkan keberhasilan asuhan
keperawatan.
2.1.6

Sikap Komunikasi Terapeutik
Perawat hadir secara utuh (fisik dan psikologis) pada waktu

berkomunikasi dengan klien.
a

Kehadiran diri secara fisik
Egan (dalam Mundakir, 2006) mengidentifikasi 5 sikap atau cara untuk

menghadirkan diri secara fisik, yaitu:
1. Berhadapan. Arti dari posisi ini adalah “saya siap membantu mengatasi
masalah anda”.

Universitas Sumatera Utara

15

2. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti
menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
3. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan kepedulian dan
keinginan perawat untuk mengatakan atau mendengar sesuatu yang
dialami klien.
4. Mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan
menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi. Sikap terbuka perawat ini
meningkatkan kepercayaan klien kepada perawat atau petugas kesehatan
lainnya.
5. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan
relaksasi dalam memberi respon terhadap klien.
b

Kehadiran Diri secara psikologis
Kehadiran diri secara psikologis dapat dibagi dalam 2 dimensi yaitu:
1. Dimensi Respon
Dimensi respon merupakan sikap perawat secara psikologis dalam
berkomunikasi kepada klien. Dimensi respon terdiri dari respon perawat
yang ikhlas, menghargai, empati dan konkrit. Dimensi respon sangat
penting pada awal berhubungan dengan klien untuk membina hubungan
saling percaya dan komunikasi yang terbuka. Respon ini harus terus
dipertahankan sampai pada akhir hubungan.
2. Dimensi Tindakan
Dimensi tindakan tidak dapat dipisahkan dengan dimensi respon.
Tindakan yang dilaksanakan harus dalam konteks kehangatan dan
pengertian. Dimensi respon membawa klien pada tingkat penilikan diri

Universitas Sumatera Utara

16

yang tinggi dan kemudian dilanjutkan dengan dimensi tindakan. Dimensi
tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegeraan, keterbukaan, emotional
chataris, dan bermain peran (Stuart dan Sundeen, 1987 dalam Mundakir,
2006).
2.1.7

Tahap Komunikasi Terapeutik
Stuart dan Sundee (dalam Damaiyanti, 2008) mengungkapkan dalam

membina hubungan terapeutik (berinteraksi) perawat mempunyai 4 tahap yaitu:
fase pra-interaksi, orientasi, kerja dan terminasi.
1. Fase Pra-interaksi
Pra-interaksi merupakan masa persiapan sebelum berhubungan dan
berkomunikasi dengan klien. Hal-hal yang dipelajari dari diri sendiri adalah
sebagai berikut: (a) pengetahuan yang dimiliki yang terkait dengan penyakit dan
masalah klien, (b) kecemasan dan kekalutan diri, (c) analisis kekuatan diri, dan (d)
waktu pertemuan baik saat pertemuan maupun lama pertemuan. Sedangkan, halhal yang perlu dipelajari dari diri klien yaitu: (a) perilaku klien dalam menghadapi
penyakitnya, (b) adat istiadat, dan (c) tingkat pengetahuan (Nasir, 2009).
2. Fase Perkenalan
Perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama kali bertemu
klien. Tugas perawat pada tahap perkenalan adalah:
a

Memberikan salam dan tersenyum pada klien

b

Memperkenalkan diri dan menanyakan nama klien

c

Melakukan validasi (kognitif, psikomotor, afektif) pada pertemuan berikutnya

d

Menentukan mengapa klien mencari pertolongan

e

Menyediakan kepercayaan, penerimaan, dan komunikasi terbuka

Universitas Sumatera Utara

17

f

Membuat kontrak timbal balik

g

Mengeksplorasi perasaan klien, pikiran dan tindakan

h

Mengidentifikasi masalah klien

i

Mendefinisikan tujuan dengan klien

j

Menjelaskan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan

k

Menjelaskan kerahasiaan

3. Fase Kerja
Fase kerja merupakan inti hubungan perawatan klien yang terkait erat
dengan pelaksanaan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan sesuai
dengan tujuan

yang akan dicapai. Tugas perawat pada tahap ini adalah: (a)

memberi kesempatan klien untuk bertanya, (b) menanyakan keluhan utama/
keluhan yang mungkin berkaitan dengan kelancaran pelaksanaan kegiatan, (c)
memulai kegiatan dengan cara yang baik dan (d) melakukan kegiatan sesuai
rencana.
4. Fase Terminasi
Terminasi merupakan akhir dari

setiap pertemuan perawat dan klien.

Terminasi dibagi dua, yaitu: terminasi sementara dan terminasi akhir.
a. Terminasi sementara
Terminasi sementara dilakukan bila perawat mengakhiri tindakan
keperawatan, masa tugas berakhir atau operan dengan teman sejawat dalam
rangka untuk peralihan tugas.
b. Terminasi akhir
Terminasi akhir dilakukan bila klien akan meninggalkan rumah sakit
karena sudah sembuh atau pindah ke rumah sakit lain dengan memberikan

Universitas Sumatera Utara

18

discharge planning yaitu memberikan pesan-pesan pokok yang perlu dilakukan
oleh klien untuk ditindak lanjuti di rumah atau di tempat yang lain. Kegiatan yang
dilakukan pada tahap terminasi adalah sebagai berikut:
a) Evaluasi

subjektif,

merupakan

kegiatan

yang

dilakukan

dengan

mengevaluasi suasana hati setelah terjadi interaksi dengan klien.
b) Evaluasi objektif, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengevaluasi
respons objektif terhadap hasil yang diharapkan dari keluhan yang
dirasakan, apakah ada kemajuan atau sebaliknya.Untuk mengevaluasi ini
perawat cukup berpegang pada Nursing Outcome Clasification dari tujuan
yang ingin dicapai agar tidak terjadi bias dan tepat sasaran.
c) Tindak

lanjut,

merupakan

kegiatan

yang

dilakukan

dengan

menyampaikan pesan kepada klien mengenai lanjutan dari kegiatan yang
telah dilakukan (Nasir, 2009).
2.1.8

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik
Menurut Potter & Perry dalam Nurjannah (2001) (Tamsuri, 2005), ada

faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi terapeutik itu, diantaranya:
perkembangan, persepsi, nilai, latar belakang sosial budaya, emosi, pengetahuan,
peran dan hubungan, lingkungan, jarak, dan masa kerja.

2.1.9

Komunikasi pada Anak Usia Sekolah
Anak usia sekolah, periode ini dimulai pada usia 6 tahun sampai 11 tahun

atau 12 tahun (Supartini, 2004). Pada usia ini anak telah mencapai kesempurnaan
fisik dan mental. Masa ini dikenal juga sebagai masa kecerdasan, masa kotor dan
masa pembentukan geng, karena anak senang berkumpul dan bersatu mendirikan
kelompok-kelompok bermain (Tamsuri, 2005).

Universitas Sumatera Utara

19

Pada usia ini, anak kurang mengandalkan apa yang mereka lihat tetapi
lebih pada apa yang mereka ketahui bila dihadapkan pada masalah baru. Mereka
butuh penyelesaian untuk segala sesuatu tetapi tidak membutuhkan pengesahan
dari tindakan yang dilakukan. Pada masa ini anak sudah dapat memahami
penjelasan sederhana dan mampu mendemonstrasikannya. Anak perlu diizinkan
untuk mengekspresikan rasa takut dan keheranan yang dialaminya (Mundakir,
2006).
Anak usia sekolah sangat peka terhadap stimulus yang dirasakannya akan
mengancam keutuhan tubuhnya. Oleh karena itu, apabila perawat akan melakukan
suatu tindakan, ia akan bertanya mengapa dilakukan, untuk apa, dan bagaimana
caranya dilakukan? Anak membutuhkan penjelasan atas pertanyaannya. Gunakan
bahasa yang dapat dimengerti anak dan berikan contoh yang jelas sesuai dengan
kemampuan kognitifnya (Damaiyanti, 2008).
Anak usia sekolah sudah lebih mampu berkomunikasi dengan orang
dewasa. Perbendaharaan katanya sudah lebih banyak, sekitar 3000 kata dikuasai
dan anak sudah mampu berpikir secara kongkret. Apabila akan melakukan
tindakan, perawat dapat menjelaskannya dengan mendemonstrasikan pada mainan
anak. Misalnya, bagaimana perawat akan menyuntik diperagakan terlebih dahulu
pada bonekanya (Damaiyanti, 2008).
Fokus untuk komunikasi dengan anak usia sekolah menurut Potter & Perry
(2005) yaitu:
a

Anak mencari alasan dan penjelasan atas segala sesuatu namun tidak
membutuhkan pengesahan.

Universitas Sumatera Utara

20

b

Anak tertarik dalam aspek fungsional objek dan kegiatan (apa yang akan
terjadi, mengapa hal itu terjadi).

c

Anak memperhatikan integritas tubuh.

d

Anak harus diizinkan untuk memanipulasi perlengkapan, misalnya
memegang palu perkusi.

e

Anak memahami penjelasan sederhana dan mendemostrasikannya.

f

Anak harus diizinkan untuk mengekspresikan rasa takut dan keheranan.

2.1.10 Cara Komunikasi Terapeutik pada Anak
Mundakir (2006) menyatakan bahwa cara yang terapeutik dalam
berkomunikasi dengan anak adalah sebagai berikut:
1. Nada suara, bicara lambat dan jika tidak dijawab harus diulang lebih jelas
dengan pengarahan yang sederhana. Hindari sikap mendesak untuk
dijawab dengan mengatakan “jawab dong”.
2. Mengalihkan aktivitas, Anak lebih tertarik pada aktivitas yang disukai
sehingga perlu dibuat jadwal yang bergantian antara aktivitas yang disukai
dan aktivitas terapi yang diprogramkan.
3. Jarak interaksi, perawat yang mengobservasi tindakan non verbal dan
sikap tubuh anak harus mempertahankan jarak yang aman dalam
berinteraksi.
4. Marah, perawat yang perlu mempelajari tanda kontrol perilaku yang
rendah pada anak untuk mencegah tempertantrum. Perawat menghindari
bicara yang keras dan otoriter serta mengurangi kontak mata jika respon
anak meningkat. Jika anak mulai dapat mengontrol perilaku, kontak mata
dimulai kembali namun sentuhan ditunda dahulu.

Universitas Sumatera Utara

21

5. Kesadaran diri, perawat harus menghindari konfrontasi secara langsung,
duduk yang terlalu dekat dan berhadapan. Perawat secara non verbal selalu
memberi dorongan, penerimaan, dan persetujuan jika diperlukan.
6. Sentuhan, jangan sentuh anak tanpa izin anak. Salaman dengan anak
merupakan cara untuk menghilangkan stres dan cemas khususnya pada
anak laki-laki. Sentuhan merupakan cara interaksi yang mendasar. Ikatan
kasih sayang dibentuk oleh pandangan, suara dan sentuhan yang menjadi
elemen penting dalam pembentukan ego, perpisahan, dan kemandirian.

2.2 Konsep Hospitalisasi
2.2.1

Definisi Hospitalisasi
Hospitalisasi menurut Supartini (2005) adalah suatu proses yang karena

suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di
rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke
rumah. Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai
kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang
sangat traumatik dan penuh dengan stres.
Jika seorang anak dirawat di rumah sakit, maka anak tersebut akan mudah
mengalami krisis karena anak mengalami stress akibat perubahan baik terhadap
status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-hari, anak
mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanismme koping untuk mengatasi
masalah maupun kejadian-kejadian yang bersifat menekan. Berbagai perasaan
yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah
(Wong, 2008).

Universitas Sumatera Utara

22

2.2.2

Stresor Hospitalisasi Anak Usia Sekolah
Menurut Wong (2008), stresor utama dari hospitalisasi antara lain:

1. Cemas akibat perpisahan
Secara umum anak usia sekolah lebih mampu melakukan koping terhadap
perpisahan, stres dan sering kali disertai regresi akibat penyakit atau hospitalisasi
dapat meningkatkan kebutuhan mereka akan keamanan dan bimbingan dari orang
tua. Anak-anak usia sekolah pertengahan dan akhir dapat lebih cemas terhadap
perpisahan dengan aktivitas mereka yang biasa dan teman sebaya daripada
ketidakhadiran orang tua. Reaksi-reaksi yang umum terjadi pada anak usia
sekolah seperti: kesepian, bosan, isolasi, dan depresi.
2. Kehilangan kendali
Anak usia sekolah biasanya rentan terhadap kejadian-kejadian yang dapat
mengurangi rasa kendali dan kekuatan mereka, seperti rutinitas rumah sakit. Bagi
anak usia sekolah, aktivitas ketergantungan seperti tirah baring yang dipaksakan,
penggunaan pispot, ketidakmampuan memilih menu, kurangnya privasi, bantuan
mandi di tempat tidur, atau berpindah dengan kursi roda atau brankar dapat
menjadi ancaman langsung bagi rasa aman mereka. Meskipun semua prosedur ini
tampak rutin dan tidak bermakna, namun prosedur tersebut tidak memungkinkan
kebebasan memilih bagi anak-anak yang ingin “bertindak dewasa”. Selain
lingkungan rumah sakit, penyakit juga dapat menyebabkan perasaan kehilangan
kendali.
3. Cedera tubuh dan nyeri
Anak usia sekolah tidak begitu khawatir terhadap nyeri jika dibandingkan
dengan disabilitas, pemulihan yang tidak pasti, atau kemungkinan kematian. Anak

Universitas Sumatera Utara

23

yang menderita penyakit kronis lebih cenderung mengidentifikasi prosedur
instrusif sebagai hal yang menimbulkan stres, sedangkan anak-anak yang
menderita penyakit akut cenderung mengindikasikannya dengan gejala fisik.
Pencarian informasi cenderung menjadi salah satu cara koping mempertahankan
rasa kendali walau stres dan kondisinya yang tidak pasti.
Meskipun anak sekolah dapat bekerja sama selama pemeriksaan atau
selama prosedur yang dilakukan pada area genital, hal ini biasanya sangat
menimbulkan stres bagi mereka, terutama pada kasus praremaja yang mulai
mengalami perubahan pubertas. Sebagian besar menghargai penjelasan prosedur
yang diberikan dan tampak tidak begitu takut jika mereka mengetahui apa yang
akan terjadi. Sebaliknya, anak yang lain berusaha untuk mendapatkan kendali
dengan berupaya menunda kejadian tersebut.
2.2.3

Reaksi Anak Terhadap Sakit dan Hospitalisasi
Menurut Wong (2008), hospitalisasi adalah suatu keadaan krisis pada

anak, saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit sehingga anak harus beradaptasi
dengan lingkungan rumah sakit. Reaksi anak terhadap krisis-krisis tersebut
dipengaruhi oleh usia perkembangan mereka, pengalaman sebelumnya dengan
penyakit, perpisahan, atau hospitalisasi, keterampilan koping yang mereka miliki
dan dapatkan, keparahan diagnosis, dan sistem pendukung yang ada.
Reaksi anak terhadap sakit dan hospitalisasi di pengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain :
1) Perkembangan anak
Perkembangan

anak

terhadap

sakit

berbeda-beda

sesuai

tingkat

perkembangan anak (Supartini, 2004). Berkaitan dengan umur anak, semakin

Universitas Sumatera Utara

24

muda anak maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri dengan
pengalaman di rumah sakit.
2) Pengalaman dirawat di rumah sakit sebelumnya
Supartini (2004) mengungkapkan apabila anak pernah mengalami hal yang
tidak menyenangkan saat dirawat di rumah sakit sebelumnya, akan menyebabkan
anak takut dan trauma, sebaliknya apabila saat dirawat di rumah sakit anak
mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan maka anak akan lebih
kooperatif pada perawat dan dokter.
3) Dukungan keluarga
Anak akan mencari dukungan yang ada dari orang lain untuk melepaskan
tekanan akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan
kepada orang terdekat dengannya misal orang tua atau saudaranya. Perilaku ini
biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui selama dirawat di
rumah sakit, didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta dipeluk saat
merasa takut dan cemas bahkan sangat merasa ketakutan.
4) Perkembangan koping dalam menangani stressor
Apabila mekanisme koping anak baik dalam menerima keadaan bahwa dia
harus di rawat di rumah sakit maka akan lebih kooperatif anak tersebut dalam
menjalani perawatan di rumah sakit.
Proses perawatan yang seringkali butuh waktu lama akhirnya menjadikan
anak berusaha mengembangkan perilaku atau strategi dalam menghadapi penyakit
yang dideritanya. Perilaku ini menjadi salah satu cara yang dikembangkan anak
untuk beradaptasi terhadap penyakitnya. Menurut Wahyunin (2006), beberapa
perilaku itu antara lain :

Universitas Sumatera Utara

25

a. Penolakan (avoidance)
Perilaku dimana anak berusaha menghindar dari situasi yang membuatnya
tertekan. Anak berusaha menolak treatment yang diberikan, seperti tidak mau
disuntik, tidak mau dipasang infus, menolak minum obat, bersikap tidak
kooperatif kepada petugas medis.
b. Mengalihkan perhatian
Anak berusaha mengalihkan perhatiaan dari pikiran atau sumber yang
membuatnya tertekan. Perilaku yang dilakukan anak misalnya membaca buku
cerita saat di rumah sakit, menonton TV saat dipasang infus, atau bermain mainan
yang disukai.
c. Berupaya aktif (active)
Anak berusaha mencari jalan keluar dengan melakukan sesuatu secara
aktif. Perilaku yang sering dilakukan misalnya menanyakan tentang kondisi
sakitnya kepada tenaga medis atau orang tuanya, bersikap kooperatif terhadap
petugas medis, minum obat teratur, beristirahat sesuai dengan peraturan yang
diberikan.
d. Mencari dukungan (support seeking)
Anak mencari dukungan dari orang lain untuk melepasakn tekanan akibat
penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan kepada orang
yang dekat dengannya, misalnya dengan permintaan anak untuk ditunggui selama
dirawat di rumah sakit, didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta
dipeluk atau dielus saat merasa kesakitan.

Universitas Sumatera Utara

26

2.3 Konsep Stres
2.3.1

Definisi Stres
Selye (dalam Potter, 2005) menyatakan bahwa stres adalah segala situasi

di mana tuntutan non-spesifik mengharuskan seorang individu untuk berespons
atau melakukan tindakan, respon atau tindakan ini termasuk respons fisiologis dan
psikologis. Sedangkan Lyness (2007) dalam Laela (2008) mencetuskan bahwa
stres merupakan perasaan yang muncul ketika seseorang berinteraksi dengan
kejadian tertentu. Atkison (2000) menyebutkan bahwa stres dapat terjadi jika
seseorang dihadapkan dengan peristiwa yang mengancam kesehatan fisik atau
psikologisnya. Jadi, stres adalah suatu perasaan yang muncul ketika seseorang
dihadapkan pada kejadian/ situasi yang mengancam kesehatan fisik dan
psikologisnya sehingga mengharuskan seseorang untuk berespon secara fisiologis
dan psikologis.
Stres dapat menyebabkan perasaan negatif atau yang berlawanan
dengan apa yang diinginkan atau mengancam kesejahteraan emosional. Stres
dapat mengganggu cara seseorang dalam mencerap realitas, menyelesaikan
masalah, berpikir secara umum, dan hubungan seseorang dan rasa memiliki.
Selain itu, stres dapat menganggu pandangan umum seseorang terhadap hidup,
sikap yang ditujukan pada orang yang disayangi dan status kesehatan (Potter,
2005). Namun, selain dapat menyebabkan perasaan negatif, stres juga dapat
menyebakan perasaan positif berupa semangat dan motivasi untuk merasih
sesuatu.
Agoes, dkk (2003) menyebutkan sifat stres dibedakan dalam berbagai
tingkatan, diantaranya tingkatan ringan, sedang dan berat. Dalam tingkatan yang

Universitas Sumatera Utara

27

masih ringan, stres masih belum berpengaruh kepada fisik dan psikologis hanya
saja penderita sudah mulai tegang dan merasa was-was. Stres sedang, mulai
kesulitan tidur, sering menyendiri, dan merasa tegang. Sedangkan stres berat
penderita sudah mulai mengalami gangguan fisik dan psikologis dimana kondisi
ini sangat memerlukan bantuan dan penanganan dokter ahli.
2.3.2

Fisiologi Stres dan Adaptasi
Tubuh selalu berinteraksi dan mengalami sentuhan langsung dengan

lingkungan, baik lingkungan internal (seperti pengaturan peredaran darah,
pernapasan) maupun lingkungan eksternal (seperti cuaca dan temperatur yang
kemudian menimbulkan respon normal atau tidak normal). Keadaan dimana
terjadi mekanisme relatif untuk mempertahankan fungsi normal disebut
homeostasis. Homeostasis dibagi dua yaitu homeostasis fisiologis (misalnya,
respons adanya peningkatan pernapasan saat berolahraga) dan homeostasis
psikologis (misalnya, perasaan mencintai dan dicintai, perasaan aman, dan
nyaman) (Tarwoto,2010).
2.3.3

Sumber Stres
Stresor adalah stimuli yang mengawali atau mencetuskan perubahan

(Potter, 2005). Menurut Alimul (2009), Stresor, faktor yang menimbulkan stres,
dapat berasal dari sumber internal (diri sendiri) dan eksternal (keluarga,
masyarakat dan lingkungan).
1. Internal. Faktor internal stres bersumber dari diri sendiri. Stres individual
dapat timbul dari tuntutan pekerjaan atau beban yang terlalu berat, kondisi
keuangan, ketidakpuasan dengan fisik tubuh, penyakit yang dialami, masa
pubertas, karakteristik atau sifat yang dimiliki, dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

28

2. Eksternal. Faktor eksternal stres dapat bersumber dari keluarga, masyarakat
dan lingkungan.
2.3.4

Jenis Stres
Alimul (2009) membedakan stres ke dalam beberapa jenis yang ditinjau

dari penyebabnya, yaitu:
1. Stres fisik, merupakan stres yang disebabkan oleh keadaan fisik, seperti suhu
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dan lain-lain.
2. Stres kimiawi, merupakan stres yang disebabkan oleh pengaruh senyawa
kimia yang terdapat pada obat-obatan, zat beracun asam, basa, dan lain-lain.
3. Stres mikrobiologis, merupakan stres yang disebabkan oleh kuman, seperti
virus, bakteri, dan parasit.
4. Stres fisiologis, merupakan stres yang disebabkan oleh gangguan fungsi organ
tubuh, antara lain gangguan struktur tubuh dan lain-lain.
5. Stres proses tumbuh kembang, merupakan stres yang disebabkan oleh proses
tumbuh kembang.
6. Stres psikologis atau emosional, merupakan stres yang disebabkan oleh
gangguan situasi psikologis untuk menyesuaikan diri, misalnya hubungan
interpersonal dan lain-lain.
2.3.5

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Respons Terhadap Stesor
Respons terhadap stresor yang diberikan pada individu akan berbeda, hal

tersebut tergantung dari faktor stresor dan kemampuan koping yang dimiliki
individu.

Alimul (2009) menyatakan ada beberapa karakteristik stresor yang

dapat memengaruhi respons tubuh yaitu:

Universitas Sumatera Utara

29

1. Sifat stresor
Sifat stresor dapat berubah secara tiba-tiba atau berangsur-angsur dan
dapat memengaruhi respons seseorang dalam menghadapi stres, tergantung
mekanisme yang dimilikinya.
2. Durasi stresor
Lamanya stresor yang dialami seseorang dapat memengaruhi, apabila
stresor yang dialami lebih lama, maka respons juga akan lebih lama, dan
tentunya dapat memengaruhi fungsi tubuh.
3. Jumlah stresor
Semakin banyak stresor yang dialami seseorang, semakin besar
dampaknya bagi fungsi tubuh.
4. Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu akan menjadi bekal dalam menghadapi stres
berikutnya.
5. Tipe kepribadian
Menurut Friedman dan Rosenman (1974) dalam Alimul (2009),
terdapat dua tipe kepribadian, yaitu tipe A dan tipe B. Orang dengan tipe
kepribadian A lebih rentan terhadap stres apabila dibandingkan dengan orang
yang memiliki tipe kepribadian B.
6. Tahap perkembangan
Tahap perkembangan individu dapat membentuk kemampuan adaptasi
yang semakin baik terhadap stresor. Jenis stresor yang biasa dialami anak yaitu
konflik kemandirian dan ketergantungan pada orang tua, masalah sekolah,
hubungan dengan teman sebaya, dan kompetensi dengan teman.

Universitas Sumatera Utara

30

2.3.6

Tahapan Stres
Robert J. Van Amerg, 1979 (dalam Dadang, 2001, Alimul 2009)

menyebutkan stres dapat dibagi ke dalam enam tahap berikut:
1. Tahap pertama. Tahap ini dimana tahap stres yang paling ringan dan biasanya
ditandai dengan munculnya semangat yang berlebihan, penglihatan lebih
tajam dari biasanya, dan merasa mampu

menyelesaikan pekerjaan lebih

dari biasanya.
2. Tahap kedua. Pada tahap ini, dampak stres yang semula ‘menyenangkan’
mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan karena habisnya cadangan
energi.
3. Tahap ketiga. Jika tahap stres sebelumnya tidak ditanggapi dengan memadai,
maka keluhan akan semakin nyata seperti gangguan lambung dan usus,
ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak tenang, gangguan tidur, dan
lain-lain.
4. Tahap keempat. Ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin.
5. Tahap kelima. Tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang sangat, tidak
mampu menyelesaikan pekerjaan ringan dan sederhana, gangguan pada sistem
pencernaan semakin berat, serta semakin meningkatnya rasa takut dan cemas.
6. Tahap keenam. Tahap ini merupakan tahap puncak. Biasanya ditandai dengan
timbulnya rasa panik dan takut mati yang menyebabkan jantung berdetak lebih
cepat, kesulitan untuk bernapas, tubuh gemetar dan berkeringat, dan adanya
kemungkinan terjadinya kolaps atau pingsan.

Universitas Sumatera Utara

31

2.3.7

Stres Pada Anak
Anonim (2003) dalam Laela (2008) menjelaskan bahwa stres dalam dunia

anak terjadi apabila merasa tidak mampu untuk menahan tekanan-tekanan yang
berasal dari luar dirinya (external pressure), misalnya tekanan dari teman-teman,
keluarga dan sekolah; atau dari dalam dirinya sendiri (internal pressure).
Anak-anak bereaksi terhadap stres dengan cara yang berbeda-beda.
Beberapa anak mungkin dapat sakit, beberapa dapat mengalami ketegangan dan
menarik diri dari lingkungan, sedangkan yang lainnya, dapat menunjukkan
amarah dan menjadi manja. Meskipun demikian, terdapat juga beberapa anak
yang tidak mengalami kesulitan oleh stres. Anak-anak seperti ini dikenal sebagai
anak yang tabah (Ruffin (2001) dalam Laela (2008)).
Longgo dalam Laela (2008) menyatakan bahwa stres muncul sebenarnya
sebagai manifestasi dari perasaan cemas yang membuat anak tertekan dan merasa
tidak mampu mengatasinya. Anak usia sekolah awal terkadang akan
mengekspresikan perasaan secara langsung. Beberapa anak mungkin akan
memendam stres dan menunjukkannya melalui kesedihan, depresi, atau menarik
diri dari lingkungan. Anak yang lain mungkin mengekspresikan perasaan stres
keluar dan mulai berperilaku tidak pantas misalnya mencuri dan berbohong.
Selain itu, Ruffin (2001) dalam Laela (2008) menyebutkan bahwa
penyebab stres itu bisa terjadi karena kejadian negatif maupun positif. Kejadian
dalam keluarga seringkali merupakan sumber stres pada anak. Perpecahan dalam
keluarga, kekerasan fisik, perpisahan, pertengkaran merupakan contoh sumber
stres yang negatif. Kejadian lain seperti orangtua kehilangan pekerjaan dan
kematian anggota keluarga, dapat juga menciptakan stres. Kejadian positif juga

Universitas Sumatera Utara

32

mampu menyebabkan stres pada anak, misalnya pesta ulang tahun,memiliki
peliharaan baru, dan kelahiran adik baru.
Anonim (2005) dalam Laela (2008) mencetuskan bahwa hal yang paling
sering menimbulkan stres adalah situasi yang mengancam dan menimbulkan rasa
tidak aman. Bagi anak, sedikit perubahan atau kehilangan sesuatu atau seseorang
yang disayangi maupun situasi yang bisa mengancam rasa aman atau kasih sayang
dan perhatian bisa menjadi sumber stres yang besar, misalnya, pindah rumah,
perceraian orangtua, masuk sekolah, pindah sekolah, ditinggal orang terdekat,
kematian orang terdekat atau binatang kesayangan.
Kondisi fisik yang menurun, misalnya seperti seringkali sakit untuk jangka
waktu lama, juga membuat anak tertekan dan daya tahan tubuhnya melemah,
sehingga mempengaruhi pula ketahanan mentalnya. Selain itu, sibling rivalry
(persaingan antarsaudara) juga dapat menimbulkan stres pada anak, karena hal
tersebut berpengaruh pada kedudukan anak di rumah.
Untuk

mengatasi

stress,

usia

sekolah

menggunakan

mekanisme

pemecahan masalah dan pertahanan meliputi regresi, penolakan, agresi, dan
supresi. Beberapa kategori perilaku koping anak usia sekolah yang mengalami
hospitalisasi meliputi ketidakaftifan (diam total, kurang beraktivitas, dan apatis).
Orientasi pra-koping (melihat dan mendengar , berjalan berkeliling, dan
mengamati, dan menanyakan pertanyaan, Kooperasi (kepatuhan terhadap
perawatan), resistensi (berusaha menghindar dari situasi dengan menolak atau
membuat serangan fisik atau verbal) dan mengendalikan (memikul tanggung
jawab terhadap perawatan mandiri dan menyarankan bagaimana suatu hal dapat
diselesaikan) (Potter & Perry, 2005).

Universitas Sumatera Utara

33

Menurut Nuryanti (2008) beberapa gejala atau tanda yang menunjukkan
adanya stres pada anak-anak usia sekolah, diantaranya:
a. Kemunduran perilaku kembali ke tahap sebelumnya, mengompol, menggigit
kuku, menghisap jari.
b. Menarik diri dengan sebab yang tidak jelas, tidak mau bicara, murung.
c. Kehilangan motivasi atau kemampuan untuk konsentrasi di sekolah.
d. Perubahan perilaku yang kelihatan.
e. Nafsu makan menurun dan tidur tidak nyenyak.
f. Mudah tersinggung tanpa sebab yang jelas.
g. Keluhan fisik; sakit perut atau sakit kepala.
h. Bermasalah dalam berhubungan dengan teman sebaya.

Universitas Sumatera Utara