Penerapan Sanksi Dagang Internasional Sebagai Alat Paksa Dalam Kegiatan Perdagangan Internasional

BAB II
PENGATURAN KEGIATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL
DALAM KERANGKA WTO

A. Sejarah Berdirinya WTO
Berdirinya WTO tidak terlepas dari peristiwa sejarah yaitu Perang Dunia
II. Pada waktu berlangsungnya PD II, Negara sekutu khususnya Amerika Serikat
dan Inggris memprakarsai pembentukan organisasi ekonomi internasional untuk
mengisi kebijakan-kebijakan ekonomi internasional. Tujuan pertama dari prakarsa
tersebut mengeluarkan kebijakan The Reciprocal Trade Agreement yakni undangundang yang mensyaratkan kewajiban resiprositas (timbal balik) untuk
pengurangan pengurangan tarif dalam perdagangan 33.
Terhambatnya hubungan ekonomi internasional menyebabkan dampak
kemerosotan dan resesi ekonomi di dunia. Upaya untuk menata hubungan
ekonomi

internasional

menjelang

PD


II

berakhir

dilakukan

melalui

diselenggarakan konferensi di Bretton Goods, New Hampshire, Amerika Serikat
menghasilkan beberapa lembaga yakni IBRD dan IMF. Konferensi ini, meskipun
ditujukan khususnya untuk persoalan-persoalan moneter, menyadari perlunya
insiatif-inisiatif pengaturan mengenai perdagangan barang-barang. 34 Hal ini akan
dilakukan melalui pembentukan The International Trade Organization (ITO).
Langkah menangani masalah perdagangan internasional pada bulan
Februari 1946, ECOSOC (dewan yang mendorong kerjasama, dan pembangunan
33

Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: Rajawali Grafindo, 1998), hlm.

20.

34

Ibid.

25
Universitas Sumatera Utara

ekonomi dan sosial internasional) suatu badan di bawah PBB, 35 pada sidang
pertamanya telah mengambil resolusi untuk mengadakan konferensi guna
menyusun piagam internasional di bidang perdagangan. Pada waktu yang
bersamaan, pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan suatu draft mengenai
piagam untuk Internasional Trade Organization (ITO). 36
Langkah menyusun inisiatif tersebut, suatu panitia persiapan ITO dibentuk
dan bersidang di Landon 18 Oktober sampai 26 Desember 1946. Panitia persiapan
berhasil mengeluarkan suatu rancangan Piagam Landon (The Landon Draft
Charter). Namun anggota peserta pertemuan itu gagal oleh karena US (United
State) sebagai salah satu peserta tidak bersedia meratifikasi mencapai kata sepakat
untuk mengesahkan rancangan piagam tersebut. Kemudian pada tanggal 21
Nopember 1947 sampai dengan 24 Maret 1948 diadakan suatu pertemuan yang
berlangsung di Havana.

Pertemuan ini membahas piagam ITO oleh delegasi dari 66 negara.
Pertemuan berhasil

mengesahkan piagam Havana. Namun sampai dengan

pertengahan tahun 1950 negara-negara peserta menemui kesulitan dalam
meratifikasi piagam ITO. Dengan kegagalan ITO dijadikan realitas maka telah
dibentuk apa yang dinamakan dengan GATT (General Agreement on Tariff and
Trade). Menyadari piagam ITO tidak akan diratifikasi oleh negara pelaku utama
perekonomian dunia, negara-negara mengambil inisiatif untuk memberlakukan
GATT melalui “Protocol of Provisional Application” (PPA) yang ditandatangani

35

www.un.org/un/ecosoc/about/index.shtml (diakses 22 Mei 2016).
H.S Kartadjoemena. GATT dan WTO (Jakarta: UI Press, 1996), hlm. 64.

36

26

Universitas Sumatera Utara

oleh 22 anggota asli GATT pada akhir 1947. Sejak itulah GATT kemudian
diberlakukan.
Guna mengisi kekosongan hukum perdagangan internasional, sementara
Piagam Havana belum berlaku negara-negara merundingkan aturan-aturan
perdagangan internasional yang kemudian diwadahi oleh GATT 1947 sebagai
Umbrella of Law. Pada pertemuan-pertemuan itu telah dirundingkan pembentukan
GATT. Pada mulanya GATT 1947 merupakan suatu persetujuan multilateral yang
mensyaratkan pengurangan secara timbal balik tarif yang berada dibawah naungan
ITO. 37 Dengan kegagalan ITO dijadikan realitas maka telah dibentuk apa yang
dinamakan dengan GATT.
General Agreement Tarrifs and Trade/GATT sendiri sebenarnya
menjelma setelah pada akhir Perang Dunia II, negara-negara yang telah menang
perang ini tidak berhasil mendirikan apa yang mereka namakan “Internasional
Trade Organization”. Menurut tujuannya semula, maka ITO ini akan dibentuk
sebagai “Specialized Agency” dari PBB. ITO ini semula diharapkan agar dapat
membangun kembali sistem ekonomi moneter sebelum perang dunia dengan
mengatasi kekurangan yang telah dikemukakan terhadap perdagangan bebas.
GATT dinyatakan sebagai ”organisasi” internasional yag diberlakukan

”Protocol of Provisional Application” dan menerapkan GATT sebagai perjanjian
internasional yang mengikat. 38 GATT 1947 sebenarnya tidak sah secara
organisasi karena tidak mempunyai anggaran dasar yang memuat struktur

37
38

Huala Adolf, Op. Cit., hlm. 21.
Ibid.

27
Universitas Sumatera Utara

organisasi dan tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur hukum formil
sebagai suatu organisasi.
Tahun-tahun pertama GATT diwarnai dengan berbagai macam forum
negosiasi, diikuti dengan perubahan-perubahan perjanjian pada tahun 1950-an.
Mulai pertengahan pada tahun 1960 dilakukan serangkaian putaran perundingan
perdagangan multilateral Multilateral Trade Negotiations (MTNs) yang secara
bertahap memperluas cakupan GATT dalam kebijakan non-tariff yang lebih besar.

Tujuh putaran MTNs telah dilakukan dalam kerangka GATT yaitu Putaran
jenewa (1947), Putaran Annecy (1949), Putaran Torquay (1951), Putaran Jenewa
(1956), Putaran Dillon (1960-1961), Putaran Kennedy (1964-1967),dan Putaran
tokyo

(1973-1979). Lima putaran pertama MTNs membahas topik khusus

mengenai tarif. Sejak Putaran Kennedy, topik perundingan selain tarif juga
membahas tentang restriksi perdagangan non tarif dan masalah perdagangan
terkait dengan produk pertanian. Pembahasan non-tarif yang dilakukan dalam
Putaran Kennedy masih merupakan pembahasan cakupan dalam lingkup GATT.
Putaran Tokyo selain masalah tarif dan non tarif juga dibahas tentang kebijakankebijakan diluar dari GATT seperti standar produk dan pengadaan pemerintah.
Terjadinya kembali resesi ekonomi yang melanda dunia awal dasawarsa
1980-an mengakibatkan kembali tekanan pada tata perdagangan dan ekonomi
dunia. Negara-negara terpaksa melakukan hambatan perdagangan “terselubung”
terhadap barang impor yang merupakan gejala bagi sistem proteksionisme. Dari
situasi tersebut maka dalam suatu pertemuan para menteri perdagangan pada
tahun 1982 telah muncul pemikiran untuk menyelenggarakan suatu putaran

28

Universitas Sumatera Utara

perundingan baru. Setelah adanya persiapan yang cukup matang oleh pihak
Sekretariat GATT di Jenewa maupun delegasi negara anggota maka pada bulan
September 1986 dilangsungkan suatu pertemuan tingkat Menteri di Punta del
Este, Uruguay yang menghasilkan kesepakatan untuk melancarkan putaran
perundingan baru, yaitu Putaran Uruguay. Dalam putaran ini dihasilkan suatu
kesepakatan baru untuk membentuk WTO yang disertai dengan lampiranlampirannya. Perundingan GATT Putaran Uruguay yang berlangsung dari tahun
1986 hingga 1994.
Perundingan GATT diselenggarakan dalam delapan putaran yang dimulai
pada tahun 1947 sebagai hasil dari kesimpulan perundigan GATT Putaran
Uruguay yang berhasil, pada tanggal 1 Januari 1995 maka WTO menggantikan
Sekretariat GATT dan mulai mengatur sistem hukum perdagangan internasional.
Berakhirnya Putaran Uruguay mendorong terbentuknya WTO maka pada tahun
1994 putaran tersebut dilanjutkan di Marakesh, Maroko menghasilkan
pembentukan WTO Agreement beserta annex-annexnya. Terbentuknya WTO
merupakan lembaga penerus GATT 1947. Dalam Annex 1 memuat “persetujuanpersetujuan multilateral yang terdiri dari hasil-hasil perundingan Putaran Uruguay
yang semuanya sifatnya “memaksa”. Artinya, peraturan-peraturan tersebut
menetapkan kewajiban-kewajiban yang mengikat semua anggota WTO.
General Agreement Tarrifs and Trade/GATT sebagai lembaga yang telah

mengalami transformasi menjelma sebagai suatu lembaga baru dengan wewenang
dan wawasan substantif yang jauh lebih luas. Rangkaian perjanjian yang
disepakati mencakup penyempurnaan aturan GATT yang ada. Dengan perluasan

29
Universitas Sumatera Utara

wewenang dan wawasan substantif tersebut maka WTO sebagai lembaga penerus
GATT akan mempunyai peranan luas pada tahun-tahun mendatang.

B. Tujuan WTO
World Trade Organization adalah organisasi perdagangan dunia yang
berfungsi untuk mengatur dan menfasilitasi perdagangan internasional. WTO
adalah suatu lembaga perdagangan multilateral yang permanen, peranan WTO
akan lebih kuat dari pada GATT.
Tujuan pendirian WTO ditegaskan dalam undang-undang pendirian WTO
yaitu mendorong arus perdagangan antar negara melalui pengurangan tariff dan
hambatan dalam perdagangan serta membatasi perlakuan diskriminasi dalam
hubungan perdagangan internasional. WTO memiliki beberapa tujuan penting
dalam perdagangan internasional: 39

1.

Mendorong arus perdagangan antarnegara, dengan mengurangi dan
menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus
perdagangan barang dan jasa;

2.

Menfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi yang lebih
permanen. Hal ini mengingat bahwa perundingan perdagangan internasional
di masa lalu, prosesnya sangat kompleks dan memakan waktu;

3.

Adalah untuk penyelesaian sengketa, mengingat hubungan dagang sering
menimbulkan konflik-konflik kepentingan. Meskipun sudah ada persetujuanpersetujuan dalam WTO yang sudah disepakati anggotanya, masih
39

Huala Adolf, Penyelesaian Sengketa Dagang dalam World Trade Organization (WTO)
(Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 114.


30
Universitas Sumatera Utara

dimungkinkan terjadi perbedaan interpretasi dan pelanggaran sehingga
diperlukan prosedur legal penyelesaian sengketa yang netral dan disepakati
bersama.
Sesuai dengan yang tercantum dalam preambulenya yakni untuk : 40
“...to raising standards of living, ensuring full employment and a large and
steadily growing volume of real income and effective demand, and
expanding the production of and trade in goods and services, while
allowing for the optimal use of the world's resources in accordance with
the objective of sustainable development, seeking both to protect and
preserve the environment and to enhance the means for doing so in a
manner consistent with their respective needs and concerns at different
levels of economic development”.
Berlakunya aturan-aturan WTO sama bagi semua anggota, maka baik
individu, perusahaan ataupun pemerintah akan mendapatkan kepastian yang lebih
besar mengenai kebijakan perdagangan suatu negara. Terikatnya suatu negara
dengan


aturan-aturan

WTO akan

memperkecil

kemungkinan

terjadinya

perubahan-perubahan secara mendadak dalam kebijakan perdagangan suatu
negara.
Keberhasilan

implementasi

persetujuan-persetujuan

dalam

WTO

tergantung pada dukungan negara-negara anggotanya. Demikian pula legitimasi
WTO sebagai sebuah organisasi juga sangat tergantung pada kemauan negaranegara. 41 Untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, para pihak WTO memasuki suatu
rencana timbal balik yang menguntungkan yang diarahkan untuk mengurangi tarif
dan

rintangan-rintangan

pada

perdagangan

lainnya

dan

menghilangkan

diskriminasi dalam perdagangan internasional. Dengan memperhatikan tujuantujuan di atas sangat umum sifatnya, yang mana rencana itu ditujukan untuk
40
41

Preambule The WTO Agreement.
Huala Adolf, Op. Cit., hlm. 114.

31
Universitas Sumatera Utara

dapat memberikan sumbangannya secara tidak langsung pada tujuan ini melalui
promosi perdagangan yang bebas dan multilateral.
Mengenai fungsi WTO dapat dilihat dalam Pasal 3 WTO, secara umum
dapat diketahui antara lain :
1.

mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang
telah dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut;

2.

sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjianperjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk
keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat
Menteri;

3.

mengatur

pelaksanaan

ketentuan

mengenai

penyelesaian

sengketa

perdagangan;
4.

mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan

5.

menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama
dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank),
serta badan-badan yang berafiliasi.
Dari fungsi-fungsi WTO, tampak fungsi-fungsi tersebut merupakan upaya

untuk menafsirkan dan menjabarkan lebih lanjut tentang Multilateral Trade
Agreements (MTAs) dan Plurilateral Trade Agreements (PTAs), termasuk
mengawasi pelaksanaan maupun penyelesaian sengketa serta perbedaan pendapat
mengenai perjanjian-perjanjian yang disepakati. WTO juga akan melakukan
peninjauan atas implementasi perjanjian-perjanjian oleh setiap negara anggota dan
menjatuhkan sanksi atas pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan

32
Universitas Sumatera Utara

dalam perjanjian. Dengan demikian, seperti halnya IMF dan World Bank, WTO
memiliki alat untuk memaksa negara-negara anggota untuk mengikuti ketentuanketentuannya. Dengan fungsi-fungsi yang dipunyai WTO tersebut, menjadikan
WTO sekaligus sebagai forum bagi perundingan-perundingan selanjutnya di masa
mendatang dalam perjanjian multilateral. Kehadiran WTO diharapkan dapat
melaksanakan segala ketentuan yang telah ditetapkan yakni tetap pada
perwujudan perdagangan bebas yang jujur, terbuka dan adil. 42

C.

Prinsip-Prinsip Perdagangan Internasional dalam Kerangka WTO
Poerwadarminta menyatakan, 43 yang dimaksud dengan prinsip adalah asas

(kebenaran yang jadi pokok dasar orang berpikir, bertindak, dan sebagainya),
sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 44 prinsip adalah dasar, asas
(kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya).
Pengertian prinsip atau principle, Black’s Law Dictionary, 45 memberikan
pernyataan sebagai berikut :
“A fundamental truth or doctrine, as of law; a comprehensive rule of
doctrine which furnishes a basis or drigen for other, a settled rule of
actions procedure or legal determination. A truth or preposition so clear
that it can not be proves or contradicted anless by a preposition which is
still cleaner. That which constitutes the essence of a body or its constituent
parts. That which pertains theoretical part of a science”.

42

Abdul Manan, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2014), hlm. 198-199.
43
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1976).
44
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1988).
45
Hendry Compbell Black, Black’s Law Dictionary (St. Paul Minn: West Publishing,
1983).

33
Universitas Sumatera Utara

Pengertian prinsip di atas dapat diketahui bahwa prinsip hukum adalah
suatu yang sangat mendasar bagi suatu konsep hukum. Prinsip hukum dalam
pengertian substansif tidak merupakan bagian terpisah dari kategori norma-norma
hukum, melainkan hanya berbeda dalam isi dan pengaruhnya.
Prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) yang dikenal dalam hukum
perdagangan internasional diperkenalkan oleh sarjana hukum perdagangan
internasional, yaitu Profesor Aleksander Goldstajn. Beliau memperkenalkan tiga
prinsip dasar tersebut, yaitu :
1.

prinsip kebebasan para pihak dalam berkontrak (the principle of the freedom
of contract);

2.

prinsip pacta sunt servanda;

3.

prinsip dasar penyelesaian sengketa melalui arbitrase;

4.

prinsip dasar kebebasan komunikasi (navigasi).
Prinsip dasar lainnya disamping prinsip-prinsip dasar tersebut ialah

prinsip dasar yang dikenal dalam hukum ekonomi internasional. Sejumlah
prinsip yang mengendalikan GATT/WTO disetujui oleh anggotanya, yaitu
: 46
1.

Reciprocity, suatu negara berada pada suatu posisi tawar- menawar
dalam rangka mengurangi hambatan perdagangan dengan harapan
negara lain akan melakukan hal yang sama.

46

Ratya Anindita dan Michael R.Reed, Bisnis dan Perdagangan Internasional
(Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2008), hlm. 68.

34
Universitas Sumatera Utara

2.

Nondiscrimination, suatu negara akan memberikan seluruh anggota
GATT preferensi yang sama. Hal ini sering disebut The Most Favored
Nation principle (MFN).

3.

Transparency, hambatan perdagangan seharusnya mudah dikenali
oleh yang lainnya, tidak disembunyikan.

4.

National treatment, barang yang diterima diantara negara-negara
sebaiknya diperlakukan sama, tanpa mempermasalahkan negara asal
barang tersebut.

5.

Compensation, setiap negara dilarang memberikan kompensasi atas
kebijakan yang dilakukan oleh negara lain.
Prinsip hukum perdagangan internasional yang diatur dalam GATT/WTO,

meliputi : 47
1.

Prinsip non-diskriminasi (Non-Discrimination Principle)

Prinsip ini meliputi :
a. Prinsip Most Favoured Nation (MFN)
Semua negara anggota terikat untuk memberikan negara – negara yang
lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor
serta menyangkut biaya – biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus
dijalankan dengan segera dan tanpa syarat terhadap produk yang berasal atau yang
ditujukan.
b. Prinsip National Treatment

47

Muhammad Sood, Hukum perdagangan internasional (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), hlm. 45.

35
Universitas Sumatera Utara

Suatu negara harus memberikan perlakuan yang sama terhadap produksi
dalam negeri dan terhadap produksi luar negeri.
2.

Prinsip resiprositas
Prinsip yang mensyaratkan adanya perlakuan timbal balik diantara sesama

negara anggota WTO dalam kebijaksanaan perdagangan internasional. Artinya,
apabila suatu negara dalam kebijaksanaan perdagangan internasionalnya
menurunkan tarif masuk atas produk impor dari suatu negara, maka negara yang
mengekspor produk tersebut wajib juga menurunkan tarif masuk untuk produk
dari negara pertama tadi. 48 Prinsip ini diterapkan terutama dalam hal terjadinya
pertukaran barang antara dua negara secara timbal balik, dan menghendaki adanya
kebijaksanaan atau konsesi yang seimbang dan saling menguntungkan antara
negara yang satu dengan yang lainnya dalam perdagangan internasional.
3.

Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif (Prohibition of Quantitative
Rectriction).
Hambatan kuantitatif dalam GATT/WTO adalah hambatan perdagangan

yang bukan merupakan tarif atau bea masuk. Termasuk dalam katagori hambatan
ini adalah kuota dan pembatasan ekspor secara sukarela. Menyadari bahwa
pembatasan kuota cenderung tidak adil dan dalam prakteknya justru dikriminasi.
Oleh karena itu, hukum perdagangan internasional melalui WTO, menetapkan
menghendaki transparansi dan menghilangkan jenis hambatan kuantitatif 49. Jadi,
jika

ingin

48
49

melakukan

proteksi

perdagangan

internasional,

tidak

boleh

Ibid.
Ibid., hlm. 46.

36
Universitas Sumatera Utara

menggunakan kouta sebagai penghambat, melainkan hanya tarif yang hanya boleh
diterapkan.
4.

Prinsip perdagangan yang adil (fairness principles)
Prinsip fairness dalam perdagangan internasional ini diarahkan untuk

menghilangkan praktik–praktik persaingan curang, dalam kegiatan ekonomi yang
misalnya itu antara lain praktik dumping 50 dan subsidi 51dalam perdagangan
internasional. Maka, apabila hal diatas terjadi negara pengimpor yang dirugikan
mempunyai hak untuk menjatuhkan sanksi balasan. Sanksi balasan itu adalah
berupa pengenaan bea masuk tambahan yang disebut dengan bea masuk dumping
yang dijatuhkan terhadap produk – produk yang di ekspor secara dumping dan
countervailing duties atau bea masuk untuk barang – barang yang terbukti telah
diekspor dengan fasilitas subsidi.
5.

Prinsip tarif mengikat (binding tarif principles)
Setiap negara anggota WTO harus memenuhi berapapun besarnya tarif

yang telah disepakatinya atau disebut dengan tarif mengikat. Pembatasan
perdagangan bebas dengan prinsip tarif yang masih ditoleransi, misalnya
melakukan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui kenaikan tarif
(bea masuk). Penerapan tarif impor mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut 52:
a. Tarif sebagai pajak, adalah tarif terhadap barang impor (pajak barang
impor) yang merupakan pengutan oleh negara untuk dijadikan kas negara.
50

Dumping adalah kegiatan yang dilakukan oleh produsen atau pengekspor yang
melakukan penjualan barang di luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga normal
produk yang sejenis di negara pengimpor sehingga menimbulkan kerugian pada negara
pengimpor.
51
Subsidi adalah bantuan yang diberikan oleh pemerintah terhadap pengekspor / produsen
dalam negeri, baik berupa bantuan modal, keringanan pajak dan fasilitas lainnya.
52
Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 46.

37
Universitas Sumatera Utara

b. Tarif untuk melindungi industri domestik dari praktik dumping yang
dilakukan oleh negara pengekspor.
c. tarif untuk memberikan balasan terhadap negara pengekspor yang
melakukan proteksi produk melalui praktik subsidi terhadap produk
ekspor.
D. Kesepakatan-Kesepakatan yang Dihasilkan WTO
World Trade Organization (WTO) yang di mana unifikasi aturan-aturan
atau hukum perdagangan internasional diterapkan terhadap negara-negara
anggotanya. Pasal XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan : 53
“Each member shall ensure the comformity of its laws, regulations and
administrative procedures with its obligations as provided in the annexed
Agreements.” (Pasal XVI ayat 4 Agreement Establishing the World Trade
Organization). Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator penting bagaimana
WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan aturan-aturan
atau hukum perdagangannya, dengan aturan-aturan yang termuat dalam Annex
perjanjian WTO. Bahkan ketentuan Pasal XVI tersebut juga mewajibkan negara
anggotanya untuk menyesuaikan prosedur administratifnya (birokrasi) sesuai
dengan prosedur administratif WTO.
Perjanjian-perjanjian yang termuat dalam lampiran (annex) WTO adalah
perjanjian dalam TRIPS. Perjanjian-perjanjian lainnya adalah GATT 1994,
Agreement on Agriculture, Sanitary and Phytosanitary Measures, Textiles and
Clothing, Technical Barriers to Trade, Trade - Related Investment Measures

53

Preambulenya WTO.

38
Universitas Sumatera Utara

(TRIMs), Antidumping (Pasal VI GATT 1994), Preshipment Inspection, Rules of
Origin Import Licensing, Subsidies and Countervailing Measures Safeguards,
General Agreement on Trade in Services (GATS), Trade – Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPS), Dispute Settlement Understanding.
Sebenarnya di samping unifikasi hukum, WTO juga berupaya mendorong
harmonisasi hukum, termasuk harmonisasi standar-standar teknisnya. Upaya
harmonisasi ini telah lama diupayakan GATT. Pada tahun 1979, GATT berhasil
mengeluarkan The GATT Code on Technical Standards (Standard Code). Aturan
Standard

Code

ini

mendorong

negara-negara

anggotanya

untuk

mengharmonisasikan standar-standar produk domestiknya. Upaya ini agar
kebijakan negara-negara mengenai standar produk tidak justru menjadi
penghalang bagi perdagangan dunia. 54
Perjanjian lainnya yang dapat digolongkan ke dalam harmonisasi hukum
adalah perjanjian-perjanjian yang berada di bawah “plurilateral agreement”
(lampiran 4 perjanjian WTO). Perjanjian-perjanjian ini adalah: Agreement on
Trade in Civil Aircraft (Annex 4 (a)); Agreement on Government Procedurement
(Annex 4 (b)); International Dairy Agreement (Annex 4 (c)); International Bovine
Meat Agreement (Annex 4 (d)). Banyak perjanjian atau kesepakatan telah dibuat
dan diberlakukan oleh World Trade Organization (WTO) kepada negara-negara
anggotanya secara garis besarnya, perjanjian atau kesepakatan tersebut berisikan
pokok-pokok pengaturan yakni : 55

54

Huala Adolf, Op. Cit., hlm. 115.
Munir Fuady, Hukum Dagang Internasional (Aspek Hukum dari WTO) (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 50.
55

39
Universitas Sumatera Utara

1.

Kesepakatan pembentukan organisasi

World Trade Organization

(Marakesh Esthablishing the World Trade Organization).
2.

Perdagangan barang (Multilateral Agreement on Trade in Goods).

3.

Perdagangan jasa (General Agreement on Trade in Service).

4.

Pengaturan tentang hak milik intelektual (Trade Related Aspects of
Intellectual Property Right).

5.

Prosedur penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Understanding).

6.

Perlakuan khusus bagi negara-negara berkembang (Generalized System of
Preference).

7.

Prinsip-prinsip perdagangan bebas lainnya.
Adapun yang merupakan pengaturan utama terhadap WTO adalah bagian

utamanya, yakni yang disebut dengan Basic Principle, yaitu sebagai berikut : 56
1.

General Agreement on Tariff and Trade (GATT), yaitu mengatur tentang
perdagangan barang.

2.

General Agreement on Tariff in Services (GATS), yaitu mengatur tentang
perdagangan jasa.

3.

Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPs), yaitu mengatur tentang aspek perdagangan bebas dalam hubungan
dengan Hak Milik Intelektual.
Tiga pengaturan utama (basic principle) seperti tersebut di atas, terdapat

pula bagian kedua, yaitu sebagai berikut :
1.

Additional Details, dan

56

Ibid., hlm. 51.

40
Universitas Sumatera Utara

2.

Annexes
Yakni yang mengatur tentang ketentuan khusus dan detail terhadap sektor-

sektor atau masalah-masalah tertentu. Disamping itu, terdapat juga kesepakatankesepakatan yang merupakan bagian ketiga yaitu Market Access Commitment
baik terhadap barang ataupun terhadap jasa yang berisikan daftar komitmen dari
masing-masing

negara

anggota

untuk

memberlakukan

prinsip-prinsip

perdagangan bebas.
Banyak perjanjian dengan nama, seperti Agreement, Understanding, dan
lain-lain yang diberlakukan di bawah rezim WTO. Agreement-agreement yang
telah diterima oleh WTO telah dinegosiasi melalui beberapa ronde perundingan di
berbagai negara di dunia. Dokumen-dokumen tersebut bersama-sama dengan
sejumlah dokumen lain disebut dengan “Teks Hukum” (The Legal Text).
Dokumen lain yang diterima ke dalam sistem WTO selain dari agreement dan
understanding, antara lain dalam bentuk-bentuk sebagai berikut : 57
1.

Decision

2.

Interpretative Notes

3.

Declarations

4.

Acts

5.

Amandemends
Persetujuan-persetujuan di atas dan annexnya berhubungan antara lain

dengan sektor-sektor di bawah ini : 58
1.

Pertanian.
57

Ibid., hlm. 52.
“World trade organization–organisasi perdagangan dunia”, www.wto.org (Diakses 6
April 2016).
58

41
Universitas Sumatera Utara

2.

Sanitary and Phytosanitary/SPS.

3.

Badan pemantau tekstil (Textiles and Clothing).

4.

Standar produk.

5.

Tindakan anti-dumping.

6.

Penilaian pabean (costum valuation methods).

7.

Pemeriksaan sebelum pengapalan (Preshipment Inspetion).

8.

Ketentuan asal barang (Rules of Origin).

9.

Lisensi impor (Imports Licencing).

10.

Subsidi dan tindakan imbalan (Subsidies and Countervailing Measures).

11.

Tindakan pengamanan (safeguards).

E. Penyelesaian Sengketa Dagang dalam Kerangka WTO
World Trade Organization memiliki sistem untuk menyelesaikan sengketa
di antara anggotanya yang dalam banyak hal terbukti unik dan berhasil. Sistem ini
terdapat dalam kesepakatan WTO mengenai penyelesaian sengketa/ WTO Dispute
Settlement Understanding (DSU). Sejak WTO didirikan pada tahun 1995, lebih
dari 380 sengketa telah dibawah ke forum Penyelesaian Sengketa WTO.
Beberapa dari sengketa tersebut sangat bernuansa politis dan mendapatkan
perhatian yang luas dari media. Perlu ditambahkan bahwa anggota negara-negara
berkembang telah sering menggunakan sistem ini dalam menyelesaikan sengketa

42
Universitas Sumatera Utara

dagang mereka, dan seringkali juga mereka menang dalam sengketa dengan
anggota negara-negara maju. 59
Penyelesaian sengketa antarnegara dalam GATT/WTO sesungguhnya
telah berlangsung lama. Sejarah panjang penyelesaian sengketa itu sendiri sedikit
banyak dipengaruhi oleh aturan yang mendasari cara atau mekanisme
penyelesaian sengketa. Mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian WTO
sekarang ini pada intinya mengacu pada ketentuan Pasal 22-23 GATT 1947.
Berdirinya WTO mengakibatkan ketentuan-ketentuan GATT 1947
kemudian terlebur ke dalam aturan WTO. Menurut John H. Jackson60
penyelesaian sengketa perdagangan dalam WTO, memuat sekitar tiga puluh
bentuk, termasuk beberapa kewenangan untuk melakukan tindakan sepihak dari
peserta yang dirugikan. Misalnya, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal
VI, peserta GATT dapat diminta untuk meninjau kembali peraturan perundangundangan yang menyangkut bea cukai yang dianggap tidak sesuai dengan GATT.
Penyelesaian sengketa perdagangan sebagaimana diatur dalam Pasal XXII dan
Pasal XXIII, merupakan pasal utama dalam penyelesaian sengketa GATT.
Karakteristik acara penyelesaian sengketa WTO adalah;
1.

Bersifat rahasia (rapat panel dan sidang Appellate Body hampir selalu
tertutup untuk umum); dan

2.

batas waktu yang sangat ketat bagi setiap langkah di proses persidangan.

59

Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnadi, Pengantar
Hukum WTO (World Trade Organization) (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 98.
60
John H. Jackson, Legal Problem of Economic Relation (St. Paul Minn: West Publishing
Co, 1974).

43
Universitas Sumatera Utara

Mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian WTO sekarang ini
pada intinya mengacu pada ketentuan Pasal 22-23 GATT 1947. Dengan
berdirinya WTO, ketentuan-ketentuan GATT 1947 kemudian terlebur ke dalam
aturan WTO. Pengaturan penyelesaian sengketa dalam Pasal 22 dan 23 GATT
memuat ketentuan yang sederhana. Pasal 22 menghendaki para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikannya melalui konsultasi bilateral atas setiap
persoalan yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian atau ketentuan-ketentuan
GATT. Pasal ini menyebutkan pula bahwa penyelesaian sengketa melalui
konsultasi multilateral dapat diminta oleh salah satu pihak apabila sengketanya
tidak mungkin diselesaikan melalui konsultasi secara bilateral. 61
Kedua Pasal tersebut tidak dimaksudkan sebagai pasal pengaturan untuk
menyelesaikan sengketa dagang. Menurut Professor Jackson dalam Huala Adolf
bahwa dalam sidang-sidang GATT masalah atau isu mengenai penyelesaian
sengketa ini hanya dibahas pada pertemuan-pertemuan reguler atau tetap. 62
Pertemuan Montreal (1988) yang masih dalam kerangka Putaran Uruguay
menghasilkan suatu paket deregulasi yang penting. Dalam pertemuan ilmiah
dihasilkan kesepakatan pembentukan suatu badan khusus penyelesaian sengketa
GATT, yaitu Dispute Settlement Body (DSB). Fungsi dari badan ini antara lain
adalah untuk mengawasi secara langsung proses penyelesaiam sengketa dalam
GATT.
Lembaga penyelesaian sengketa (Dispute Settlement Body) WTO telah
menunjukkan kontribusi dan peran yang signifikan dalam menyelesaikan sengketa
61
62

Huala Adol, Op. Cit., hlm.132.
Ibid., hlm. 4.

44
Universitas Sumatera Utara

perdagangan antar negara anggota. Sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga
penyelesaian sengketa WTO diatur dalam Understanding on Rules and
Procedures Governing the Settlement of Dispute yang biasa disebut DSU.
Substansi ketentuan yang ada dalam DSU merupakan interpretasi dan
implementasi

dari

ketentuan

Pasal

3

GATT

1947

dan

badan

yang

melaksanakannya adalah Dispute Settlement Body (DSB). Lembaga tersebut
merupakan bagian dari dewan umum atau General Council.
Mengenai kewenangan DSB meliputi membentuk panel, mengadopsi
panel dan laporan badan banding, melaksanakan pengawasan implementasi
terhadap rekomendasi dan keutusan yang telah dibuat serta mengotorisasi
penundaan konsesi. Dengan adanya DSB, maka semua anggota WTO wajib
menyelesaikan sengketa dagang melalui jalur ini dan semua negara anggota tidak
diperbolehkan mengambil tindakan secara sepihak yang akan menimbulkan
persoalan baru secara bilateral maupun multilateral.
Berdasarkan Pasal 3 DSU dapat diketahui tugas utama dari DSB sebagai berikut:
1.

Mengklarifikasi ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian-perjanjian
WTO

dengan

melakukan

interpretasi

menurut

hukum

kebiasaan

internasional publik.
2.

Hasil penyelesaian sengketa tidak boleh menambah atau mengurangi hakhak dan kewajiban yang diatur dalam ketentuan WTO.

3.

Menjamin solusi yang positif dan diterima oleh para pihak dan konsisten
dengan substansi perjanjian dalam WTO.

45
Universitas Sumatera Utara

4.

Memastikan penarikan tindakan negara pelanggar yang tidak sesuai dengan
ketentuan-ketentuan perjanjian yang sudah tercakup dalam agreement
(coveredegreement). Tindakan pembalasan dimungkinkan tetapi sebagai
upaya terakhir. 63
Huala Adolf dalam bukunya juga menuliskan prosedur penyelesaian

sengketa yang antara lain adalah sebagai berikut : 64
1.

Konsultasi, merupakan tahap pertama penyelesaian sengketa dan biasanya
berlangsung dalam bentuk yang informal atau negosiasi formal, seperti
melalui saluran-saluran diplomatik. Tujuan utama dari proses ini adalah
untuk menyelesaikan sengketa di luar dari cara atau proses ajudikasi yang
formal.

2.

Jasa baik, konsiliasi dan mediasi, adalah cara-cara penyelesaian sengketa
secara damai melalui keikutsertaan pihak ketiga. Penyelesaian ini bersifat
sukarela dan bersifat informal dan konfidensial (rahasia).

3.

Panel, pembentukan panel dianggap sebagai upaya akhir manakala
penyelesaian sengketa secara bilateral gagal. Fungsinya adalah membantu
penyelesaian secara obyektif dan untuk memutuskan apakah suatu subyek
atau obyek perkara telah melanggar perjanjian cakupan WTO.

4.

Badan Banding (Appellate Body atau AB), merupakan suatu inovasi dalam
prosedur penyelesaian sengketa WTO. Terdiri dari tujuh orang, tiga di
antaranya mengadili sengketa.

63

Ade Maman Suherman, Hukum Perdagangan Internasional (Lembaga Penyelesaian
Sengketa WTO dan Negara Berkembang) (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 66-67.
64
Huala Adolf, Op. Cit., hlm. 95-125.

46
Universitas Sumatera Utara

5.

Implementasi putusan dan rekomendasi, dapat dianggap sebagai masalah
yang sangat penting di dalam proses penyelesaian sengketa. Isu ini akan
menentukan kredibilitas WTO, termasuk efektivitas dari penyelesaian
sengketa WTO itu sendiri.

6.

Arbitrase, penyelesaian sengketa ini telah lama diakui dalam praktik
penyelesaian sengketa dagang dalam GATT. Pada pokoknya beberapa
pengaturan mengenai arbitrase diatur dalam Pasal 25 DSU. 65

65

Ibid.

47
Universitas Sumatera Utara