Tata Cara dan Adat Perkawinan Pada Masyarakat Etnis Angkola (di Luat Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Angkola sebenarnya adalah bagian wilayah pemerintahan daerah yang
sebelumnya berada dalam kawasan Kabupaten Tapanuli Selatan. Namun saat ini,
Kabupaten tersebut telah dibagi dalam beberapa wilayah tingkat II yaitu
Kabupaten Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidimpuan, Kabupaten Padang Lawas
Utara dan Kabupaten Padang Lawas. Dengan demikian, secara mudah dapat
disebut wilayah-wilayah itu sebagai Tapanuli bagian Selatan. Sebenarnya
Angkola dahulu lebih dikenal sebagai Angkola Sipirok dengan wilayah cakupan
yang sangat luas yang meliputi perbatasan Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara,
termasuk Batangtoru Simangumban, Hopong, Sipirok, Saipar Dolok Hole dan
Hole, yang berbatasan dengan Kabupaten Labuhan Batu. Wilayah ini juga harus
dibedakan dari Mandailing karena Mandailing berbatas di sebelah Selatan dengan
Angkola, yaitu pada pertemuan sungai Batang Gadis dengan Sungai Batang
Angkola.
Konon pada masa dahulu tidak dikenal adanya nama Angkola. Menurut
legenda kampung yang ada pertama kali di daerah ini adalah Sitamiang, yang
didirikan oleh Oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe.
Nama Angkola berasal dari nama sungai, yakni Batang Angkola yang diberi

nama seorang penguasa yang bernama Rajendra Cola. Diperkiran mereka masuk
tanah Angkola melalui Padang Lawas menuju ke arah pedalaman utara.

1
Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya mereka berkuasa di sana untuk waktu yang cukup lama, oleh mereka
daerah di selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (hilir) dan di sebelah
utara sungai Batang Angkola diberi nama Angkola Julu (hulu).
Orang Angkola sendiri mengenal paham kekerabatan Patrilineal, yaitu
mewarisi marga dari garis keturunan ayah. Orang Angkola terdiri dari banyak
marga, antara lain : Marga Siregar, Marga Harahap, Marga Hasibuan, Marga
Rambe, Marga Daulay, Marga Tanjung, Marga Ritonga, Marga Hutasuhut, dll.
Umumnya masyarakat Angkola masih mengakui kekerabatan sejarah
mereka dengan Toba. Hal ini dibuktikan oleh para tokoh-tokoh mereka saat
penggabungan wilayah kewedanan (afdeling) mereka ke dalam wilayah
Keresidenan Tapanoeli diakhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20.
Berbeda dengan etnis Mandailing dan Pakpak yang tidak mengakui sebutan
pengklasifikasian Batak untuk etnis mereka. Begitu juga dengan etnis Karo dan
Simalungun yang sejak awal memang tidak dimasukkan oleh Belanda kedalam

wilayah Keresidenan Tapanoeli.
Orang Angkola sebagian besar memeluk agama Islam sejak sekitar tahun
1821 setelah mendapat serbuan dari pasukan Padri dari Minangkabau yang
menyebarkan Islam di bawah pimpinan Tuanku Lelo (Idris Nasution). Sebagian
besar orang Angkola yang takluk dari pasukan Padri demi keselamatan harus
memeluk Islam, sedangkan yang menghindar masuk ke pedalaman hutan-hutan
dan tetap mempertahankan agama dan adat mereka.
Setelah beberapa tahun berlangsung kekuasaan Padri di tanah Angkola,
maka masuk pasukan Belanda menaklukkan dan mengusir pasukan Padri dari
tanah Angkola. Masuknya Belanda ke wilayah ini membuat orang Angkola yang

2
Universitas Sumatera Utara

bertahan dari pengaruh Etnis Padri memilih memeluk Kristen yang dibawa oleh
para Misionaris Belanda. Walaupun dalam masyarakat Angkola terdapat 2 agama
yang berbeda, tapi kerukunan beragama sangat terjaga dengan baik dari dahulu
hingga sekarang.
Sama halnya dengan etnis lainnya, Orang Angkola juga mengadakan pesta
apabila ada anak laki-lakinya menikah. Pesta menikahkan anak disebut horja.

Besar kecilnya pesta atau horja ditentukan dengan pulungan atau hewan yang
disembelih untuk dibuat pangupa kedua pengantin. Kalau hewan yang disembelih
adalah kerbau, maka pesta itu disebut pesta besar atau horja godang. Perkawinan
adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk
hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat
yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Sistem
perkawinan di Angkola adalah Patrilineal.
Masa peralihan hidup (life cycle) yang terpenting dari semua manusia di
seluruh dunia adalah saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup
berkeluarga, yaitu perkawinan (Koentjaraningrat,1981 : 90). Hampir semua
kelompok etnis mengakuinya dengan berpedoman kepada nilai, aturan dan
kegiatan yang berhubungan dengan tahap tersebut
Penelitian ini merupakan suatu bentuk pengkajian tentang identitas orang
Angkola dilihat dari sudut pandang perkawinan. Selama ini orang Angkola selalu
dikait-kaitkan dengan etnis Mandailing, bahkan sebagian orang menganggap
bahwa Orang Angkola adalah etnis Mandailing. Tetapi sebenarnya orang Angkola
tidaklah sama dengan orang Mandailing, walaupun adat istiadat dan bahasa
mereka hampir sama dan hanya sedikit perbedaan.

3

Universitas Sumatera Utara

Untuk bahasa yang digunakan Orang Angkola menggunakan bahasa Batak
Angkola sementara etnis Mandailing menggunakan bahasa Mandailing, namun
kedua bahasa ini hampir sama. Perbedaan umumnya hanya pada intonasi
pengucapannya, di mana bahasa Mandailing lebih halus dan pelan, sementara
bahasa Batak Angkola sedikit lebih keras dan kasar. Perbedaan dalam adat istiadat
dapat kita lihat pada pakaian pengantin laki-laki, dimana pengantin laki-laki dari
Angkola berwarna hitam dengan sedikit aksesoris sedangkan Mandailing
berwarna merah dan lebih banyak aksesoris. Tetapi kedua pengantin laki-laki
sama-sama memakai bulang. Untuk pengantin perempuan, pakaiannya sama.
Perbedaan yang lebih nyata kita lihat dari marga mereka.Marga etnis Mandailing
antara lain adalah Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Matondang,
dan lain-lain. Sedangkan marga Orang Angkola antara lain adalah Siregar,
Harahap, Hasibuan, Rambe, Daulay, Tanjung, Ritonga, dan lain-lain.
Peneliti akan memfokuskan pembahasan pada tata cara dan adat perkawinan
orang Angkola. Seperti halnya etnis Batak Toba, penduduk Angkola juga
mempunyai sistem kekerabatan yang sama disebut dengan Dalihan Na Tolu.
Dalam masyarakat Angkola dikenal dengan tiga jenis perkawinan, yaitu
perkawinan


dengan

persetujuan

keluarga

(dipabuat),

perkawinan

tanpa

persetujuan orang tua (marlojong) dan takko mata perkawinan yang disetujui
kedua orang tua tetapi prosesnya seperti adat marlojong. Adat Angkola melarang
perkawinan semarga (incest) sebab bagi Orang Angkola kawan semarga adalah
saudara.

.


4
Universitas Sumatera Utara

Ritonga

Rambe

Ritonga

Ritonga

Ritonga Harahap

Siregar

Ritonga

Harahap

Siregar


Harahap

Harahap

Siregar

Ritonga

Skema I Bagan Struktur Patrilineal
Keterangan

:

= Laki-laki
= Perempuan

5
Universitas Sumatera Utara


Dalam penelitian ini, peneliti memilih Luat Halongonan sebagai lokasi
penelitian. Luat (wilayah) adalah sejumlah huta atau bona bulu (desa) yang
memiliki satu pemerintahan kerajaan adat yang dikepalai oleh Raja Luat yang
disebut Panusunan Bulung. Sedangkan huta atau bona bulu (desa) adalah
pemerintahan kerajaan adat huta atau bona bulu yang dikepalai oleh Raja Huta
atau Raja Bona Bulu. Raja Huta di Luat Halongonan terdiri dari dua marga yaitu
marga Harahap dan marga Siregar. Raja Huta marga Harahap berhak menjadi
Panusunan Bulung dan Raja Huta marga Siregar berhak menjadi Bayo-Bayo Luat
dalam satu horja godang. Perjanjian batas dengan kerajaan lain dituliskan dengan
perjanjian Monis.
Luat Halongonan terdiri dari beberapa huta atau bona bulu yaitu:
-

Huta atau bona bulu marga Harahap : Ujung Padang, Siancimun,
Halongonan, Situmbaga, Sihopuk Baru, Sihopuk Lama, Huta Baru Nangka,
Urung Sapot, Rondaman, Sigala-gala, Sirikki Jae, Sirikki Julu, Hiteurat,
Rokan Baru, Sipaho, Mompang.

-


Huta atau bona bulu marga Siregar :. Bargottopong Jae, Bargottopong Julu,
Pagar Gunung, Rondaman Siburegar, Bolatan, Huta Puli.
Masyarakat Dalihan Na Tolu di Luat Halongonan mengatur kekeluargaan

dengan susunan tutur sopan santun agar dapat keharmonisan dan keserasian dalam
masyarakat dan keluarga. Menempatkan hubungan marga dalam bagian-bagian
yang sesuai dengan tempatnya menurut Tutur Sopan Santun, yang telah
digariskan dalam adat. Karena adat mempunyai rentetan segi-segi kehidupan
dalam masyarakat adat sehari-hari yang menyangkut tugas dan kewajiban anggota
masyarakat.

6
Universitas Sumatera Utara

Perkembangan keturunan diikuti pula oleh perkembangan partuturon
sehingga dengan menyebarnya turunan, timbullah marga-marga. Kemudian antara
marga yang satu dengan marga yang lain timbul perkawinan. Dengan demikian
teraturlah hubungan sopan santun dalam keluarga masyarakat adat itu. Saling
kenal-mengenal, harga-menghargai sesuai dengan jalur partuturon masing-masing
Untuk melestarikan kebudayaan yang ada, kemudian Raja Bona Bulu dan

Raja Luat difasilitasi oleh Pemda Kabupaten Padang Lawas Utara membentuk
suatu lembaga yaitu Lembaga Adat dan Budaya Kecamatan Halongonan, dimana
tujuan dibentuknya adalah untuk menaungi permasalahan-permasalahan yang ada
di adat perkawinan Angkola di Luat Halongonan.
Menurut Tongku Mukmin Harahap, selaku Ketua Lembaga Adat dan
Budaya Kecamatan Halongonan bahwa Lembaga Adat dan Budaya itu bertujuan
untuk mewariskan, melestarikan, mengembangkan budaya khususnya di
Kecamatan

Halongonan

kemudian

mengadakan

usaha-usaha

penemuan,

pengumpulan, pengolahan bahan-bahan dan adat istiadat budaya yang ada di

Kecamatan Halongonan. Menanamkan dan memperluas pengetahuan masyarakat
terhadap adat istiadat budaya dalam membentuk penerus yang madaniah dan
membentuk kerja sama dengan pemerintahan.
1.2

Tinjauan Pustaka
Menurut Koentrajaningrat ada tiga wujud kebudayaan, yaitu :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai,
norma, peraturan dan sebagainya

7
Universitas Sumatera Utara

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan (koentjaraningrat 151).
Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada dalam kepala atau
dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan
bersangkutan itu hidup. Gagasan ini selalu berkaitan dan tidak bisa lepas antara
yang satu dengan yang lainnya. Keterkaitan antara setiap gagasan disebut sistem.
Koentjaraningrat mengemukakan bahwa “adat” dalam bahasa Indonesia
adalah kata yang sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang
berupa ide atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan
adat istiadat.
Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system
(koentjaraningrat 151). Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia
yang berinteraksi, berhubungan dan bergaul yang dilakukan setiap waktu dan
membentuk pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai
rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat
konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa di observasi, difoto, dan
didokumentasi.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik (koentjaraningrat
151). Wujud kebudayaan ini berupa seluruh hasil fisik, aktivitas, perbuatan, dan
karya semua manusia dalam masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa
benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto.

8
Universitas Sumatera Utara

Dalam adat tata cara perkawinan orang Angkola merupakan suatu rangkaian
yang tidak terpisahkan dari tiga wujud kebudayaan tersebut. Dalam masyarakat
adat Luat Halongonan sudah tersirat dalam Surat Tumbaga Holing, yang
mengatur tata cara perkawinan yang harus dijalankan masyarakat. Selain itu
sistem sosial masyarakat di Luat Halongonan sudah diatur dalam sistem Dalihan
Na Tolu sehingga status dan posisi dia di dalam adat perkawinan diketahui. Nilainilai, ide dan aktivitas sehari-hari yang kemudian terlihat pada saat membuat
perangkat adat pendukung horja godang (pesta besar) dalam pelaksanaan upacara
perkawinan. Perangkat adat tersebut adalah seperti: tapian raya bangunan, balai
nasi, pohon pisang, taratak dan sebagainya.
Di dalam adat perkawinan Angkola sudah diatur upacara perkawinan,
apabila seorang lelaki ingin menikah, ia dianjurkan menikah dengan putri
pamannya dari pihak ibu “boru tulang”. Sedangkan pernikahan dengan putri bibi
dari pihak ayah merupakan hal terlarang. Pernikahan semarga juga dilarang. Dan
oleh sebab itu, para orang tua menginginkan anaknya menikah dengan boru
tulangnya atau dengan paribannya. Sebab bagi masyarakat Angkola adat itu harus
dipatuhi dan dijunjung tinggi, istilahnya dalam ilmu antropologi adalah Cross
Cousin Matrilineal.
Menurut Koentjaraningrat (1980:90) dari sudut kebudayaan manusia,
perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan
kehidupan seksnya. Karena menurut pengertian masyarakat, perkawinan
menyebabkan seorang laki-laki tidak boleh melakukan hubungan seks dengan
sembarang wanita lain, tetapi hanya dengan satu atau beberapa wanita tertentu
dalam masyarakat, yaitu wanita yang sudah disahkan sebagai isterinya.
9
Universitas Sumatera Utara

Ia kemukakan pula bahwa perkawinan mempunyai beberapa fungsi lain.
Diantaranya ialah untuk memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup, hart,
gengsi dalam masyarakat dan untuk memberi ketentuan hak dan wewenang serta
perlindungan kepada hasil dari perkawinan (anak).
Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara perkawinan.
Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Pernikahan dianggap sebagai bentuk ikatan yang suci dan sakral. Pernikahan
adalah kehidupan antara pria dan wanita yang saling mencintai, berjanji untuk
hidup bersama, dalam ikatan pernikahan yang sah menurut hukum. Pernikahan
merupakan lembaga yang diakui masyarakat, yaitu sebagai suami dan istri,
mendapatkan rasa aman, ketenangan batin, aktualisasi diri, mendapatkan
pemenuhan kebutuhan biologis dan mendapatkan keturunan (Bongaran Anthonius
Simandjuntak, 2002).
Di dalam Negara juga jelas diatur tentang perkawinan, dapat kita lihat pada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Disebutkan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain di dalam Negara, perkawinan juga diatur dalam Agama Islam, yaitu
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu
akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita
untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan

10
Universitas Sumatera Utara

ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah
SWT (www.kemenag.go.id/file/dokumen/uuperkawinan.pdf).
Pada banyak etnis di Indonesia sewaktu memperbincangkan perjanjian-setia
disusul dengan “maskawin”. Dengan itu dimaksud sesuatu berupa uang atau
barang yang berhubungan dengan perkawinan itu. Tentang sifat maskawin itu
telah banyak yang ditulis. Dahulu ia dianggap sebagai harga pembayar istri itu
dan oleh sebab maskawin dinamakan, “kawin-beli”. Istilah-istilah yang dipakai
oleh etnis di indonesia seperti boli (batak), wilin (kei), weli (roti), oli (Toraja
Timur),dan lain-lain. Kawin-beli itu seharusnya terjadi dari suatu bentuk lama
kawin-rampas dan maskawin itu menjadi khas bagi etnis-etnis dengan clan
Patrilineal.
Marcell Mause dalam karya klasiknya The Gift (1954) mengemukakan
bahwa hadiah tidak pernah “bebas” diberikan tanpa ada kewajiban untuk
membalasnya. Dalam sejarah peradaban manusia hadiah selalu menimbulkan
kewajiban untuk terjadinya pertukaran yang bersifat timbal balik. Seseorang yang
mendapat hadiah (pemberian) dari orang lain memiliki kewajiban untuk memberi
balasan kepada orang yang telah memberinya hadiah, meskipun sifat pertukaran
yang terjadi diantara mereka berlangsung tidak setara (Collin, 1994). Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah adalah ada kekuatan apa dibalik hadiah yang
diberikan seseorang sehingga menimbulkan kewajiban bagi si penerima hadiah
untuk membalasnya? Jawaban atas pertanyaan tersebut menurut Teori Mauss
adalah sebuah “prestasi total”, yang dijiwai dengan “mekanisme spiritual” yang
melibatkan kehormatan baik pemberi dan penerima (istilah “prestasi sosial” atau
fait social fact). Transaksi tersebut melampaui perpecahan antara spiritual dan

11
Universitas Sumatera Utara

material dengan cara menurut Mauss hampir “ajaib”. Dalam hadiah yang
dipertukarkan ada kehormatan dan harga diri dari pihak-pihak yang terlibat.
Semakin mahal atau mewah hadiah yang diberikan, maka semakin kuat martabat
itu ditegaskan.
Terkandung tiga kewajiban dalam teori pertukaran dari Marcell Mauss.
Pertama, memberi hadiah sebagai langkah pertama menjalin hubungan sosial.
Kedua, menerima hadiah bermakna sebagai penerima ikatan sosial. Ketiga,
membalas dengan memberi hadiah dengan nilai yang lebih tinggi menunjukkan
integritas sosial (koentjaraningrat, 1980). Kewajiban yang terjadi dalam
pertukaran hadiah itu bersifat resiprokal, sehingga nilai yang ada dalam hadiah itu
secara umum membumbung. Makin mahal nilai hadiah, maka semakin bagus,
sebab

pihak-pihak

yang

terlibat

(memberi-menerima-membalas)

sedang

dipertukarkan.
Menurut Kephar, dalam Marcia Laswell and Thomas Laswell, 1982 pada
kenyataannya dalam pemilihan pasangan hidup banyak hal yang mempengaruhi
keputusan seseorang. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi seseorang. Faktor
pertama yaitu kemudahan untuk bertemu dengan lawan jenis, faktor kedua yaitu
kesamaan ras dan ketiga yaitu kesamaan latar belakang sosial.
Ketertarikan dan penetapan yang memenuhi ketiga faktor tersebut diatas
tidak akan menimbulkan masalah. Sebaliknya, bila penetapan pasangan hidup
yang berbeda ras etnis atau latar belakang sosial dapat menimbulkan masalah
baru. Misalnya jika ia tidak menikah dengan pariban.
Dalam kaitannya dengan properti kebudayaan atas tindakan, kebudayaan
dalam hal ini bisa dipandang sebagai seperangkat model pengetahuan yang
12
Universitas Sumatera Utara

kompleks dan digunakan sebagai pedoman untuk menginterpretasi lingkungan
yang dihadapinya, berfungsi sebagai pedoman dalam bertindak guna memenuhi
kebutuhan-kebutuhan biologi, sosial, dan psikologinya demi keberadaaan manusia
pendukung kebudayaan yang bersangkutan (Malinowski, 1922; Geertz, 1973).
Dalam organisasi sosial terkandung pola-pola pengaturan kehidupan
bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pengaturan-pengaturan ini terlihat
dari adanya keteraturan dalam masyarakat dan adanya keterulangan aktivitas
dalam masyarakat. Wujudnya adalah aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai,
pandangan hidup dan sebagainya yang membimbing, mengarahkan perilaku yang
kemudian membuat perilaku-perilaku ini tampak teratur, tampak berulang dan
dapat diperkirakan.
Keberadaan organisasi sosial dapat diketahui dari adanya aktivitas-aktivitas
sejumlah individu bersama-sama yang berulang kembali dalam waktu-waktu
tertentu, adanya nilai-nilai, norma dan aturan yang mengendalikan atau
membimbing perwujudan aktivitas-aktivitas. Seringkali individu-individu ini
tergabung dalam suatu kelompok dengan nama tertentu. Dalam banyak
masyarakat, organisasi sosial lokal biasanya mempunyai nama-nama lokal dalam
bahasa lokal. Oleh karena itu organisasi sosial seperti ini biasanya juga khas
sifatnya yang berarti organisasi dengan nama lokal tersebut tidak ditemui di
tempat lain atau pada masyarakat suku bangsa yang lain.
Organisasi sosial lokal seringkali tidak diketahui lagi sejak kapan adanya,
karena sudah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya selama puluhan
dan bahkan mungkin ratusan tahun. Organisasi seperti ini disebut organisasi sosial
lokal tradisional. Dalam setiap masyarakat organisasi sosial lokal selalu ada, tidak
13
Universitas Sumatera Utara

ada masyarakat tanpa organisasi sosial dan organisasi sosial tersebut punya peran,
peran fungsi yakni aktivitas yang diharapkan dapat memberikan manfaat tertentu
kepada masyarakat dan kebudayaan setempat. Jika fungsi ini tidak ada, atau tidak
terpenuhi, organisasi sosial tersebut lama kelamaan akan menghilang dari
masyarakat, karena masyarakat akan merasa bahwa organisasi sosial tersebut
tidak memberikan keuntungan sama sekali terhadap kehidupan mereka. Ada
berbagai fungsi yang dapat atau mungkin dipenuhi oleh organisasi sosial,
diantaranya adalah fungsi sosial dan fungsi kultural.
Menurut ensiklopedia indonesia etnis berarti kelompok sosial dalam sistem
sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena
keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu
kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik
yang digunakan ataupun tidak), sistem nilai, serta adat istiadat dan tradisi.
Di indonesia, identitas etnik seseorang jelas jika ia berasal dari ibu dan
bapak etnik yang sama, berdiam diri di sebuah wilayah tertentu yang memang
turun-temurun berdiam di daerah tersebut menggunakan bahasa daerah tertentu,
beserta segala atribut-atribut budaya yang memang diakui menjadi miliknya dan
diakui pula secara implisit atau eksplisit oleh etnik lain.
Jaringan sosial merupakan suatu jaringan tipe khusus, dimana “ikatan”
yang menghubungkan satu titik ke titik lain dalam jaringan adalah hubungan
sosial. Berpijak pada jenis ikatan ini, maka secara langsung atau tidak langsung
yang menjadi anggota suatu jaringan sosial adalah Manusia.

14
Universitas Sumatera Utara

Sementara itu, hubungan sosial atau saling keterhubungan, menurut Van
Zanden merupakan interaksi sosial yang berkelanjutan (relatif cukup lama atau
permanen) yang akhirnya di antara mereka terikat satu sama lain dengan atau oleh
seperangkat harapan yang relatif stabil (Zanden, 1990). Berdasarkan hal ini,
hubungan sosial bisa dipandang sebagai sesuatu yang seolah-olah merupakan
sebuah jalur atau saluran yang menghubungkan antara satu orang (titik) dengan
orang lain dimana melalui jalur atau saluran tersebut bisa dialirkan sesuatu,
misalnya barang, jasa, dan informasi.
Dalam perkawinan orang Angkola, sama juga dengan adat Batak lainnya,
diiringi dengan tarian tor-tor. Tarian tor-tor sebenarnya tidak sama dengan tari,
atau tidak dapat dikatakan tari. Karena tor-tor mempunyai landasan falsafah adat.
Mempunyai bentuk sifat dan ciri khas yang tersendiri yang sejajar dengan adat
istiadat. Jadi tidak sekedar seni tari seperti tari lain-lainnya, yaitu untuk
menyenangkan hati dan senang serta dipandang mata. Tetapi tor-tor di sadari
dengan makna tertentu dan mengandung pengertian yang bersumber dari adat
istiadat.
Tor-tor dalam penampilannya dilakukan berpasangan di depan dan
dibelakang dengan jumlah yang sama. Yang berada didepan disebut “panortor”
dan yang berada di belakang disebut “pangayapi”. Mereka semua harus
menggunakan pakaian yang sopan, dimana yang laki-laki memakai kopiah
berwarna hitam dan kain sarung yang disebut “sisamping” sedangkan untuk
perempuan memakai basaen sebagai penutup kepala. Kemudian panortor
dipasangkan abit godang oleh pangayapi di bahunya, sebelah kanan untuk suhut
dan kahangginya dan disebelah kiri untuk anak boru dan menutupi kedua bahu

15
Universitas Sumatera Utara

untuk mora. Waktu manortor, panortor maupun panagayapi tidak boleh memakai
sandal atau sepatu dan kaca mata, kecuali kedua pengantin.
Didalam tor-tor juga terdapat nyanyian yang mengiringinya, dimana
nyanyian itu berbeda dengan nyanyian biasanya yang kita dengarkan, nyanyian ini
biasanya berisi tentang pujian-pujian atau kata penyemangat bagi yang manortor.
Orang yang membawa nyanyian ini disebut dengan paronang-onang.
Dalam teori perubahan sosial ini dijelaskan bahwa evolusi mempengaruhi
cara pengorganisasian masyarakat utamanya yang berhubungan dengan sistem
kerja berdasarkan pandangan tersebut. dalam teori perubahan sosial evolusi dapat
dilihat terjadinya dari masyarakat. Mulai dari masyarakat tradisional yang
memiliki pola-pola sosial komunal yaitu pembagian dalam masyarakat yang
didasarkan oleh siapa yang lebih tua atau senioritas bukan pada prestasi personal
individu dalam masyarakat. Kemudian hal tersebut berubah ke arah yang lebih
kompleks.
Begitu juga dalam adat dan tata cara perkawinan etnis Angkola di Luat
Halongonan, dimana masyarakat mengalami perubahan dimana dapat kita lihat
pada pelaksanaan upacara perkawinan yang mengalami perubahan yang mana
dimulai 3 (tiga) hari 2 (dua) malam dan berubah menjadi 1 (satu) hari dan begitu
pula pada proses lainnya.
I.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang saya paparkan diatas,maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana adat dan tata cara perkawinan Angkola?
16
Universitas Sumatera Utara

2. Bagaimana proses upacara perkawinan berlangsung?
3. Bagaimana perubahan tata cara perkawinan?
I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk lebih memperjelas identitas Orang
Angkola dari segi adat dan tata cara perkawinan di Luat Halongonan Kabupaten
Padang Lawas Utara. Sehingga nantinya masyarakat akan lebih mengetahui
bahwa adat Orang Angkola sedikit banyak ada perbedaan dengan adat etnis
Mandailing, ataupun untuk mencoba menghapus perspektif sebagian orang yang
selalu menyamakan Orang Angkola dengan etnis Mandailing, yang sebenarnya
ada perbedaan.
Selain tujuan, penelitian ini juga mempunyai manfaat yaitu pada bidang
akademis, dimana nantinya tulisan ini dapat menjadi bahan referensi bagi dosen
dan mahasiswa/pelajar, dimana nantinya mereka akan lebih mengenal Orang
Angkola dan dapat membedakannya dengan etnis lainnya. Dan untuk masyarakat
sendiri, pengetahuan mereka mengenai identitas adat dan istiadat Angkola lebih
bertambah sehingga masyarakat dapat lebih mencintainya dan melestarikannya.
I.5 Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode
penelitian kualitatif bersifat deskriptif. Dimana peneliti akan mendapatkan datadata tertulis ataupun data lisan. Metode penelitian kualitatif merupakan sebuah
cara yang lebih menekankan pada aspek pemahaman secara mendalam terhadap
suatu permasalahan. Penelitian kualitatif adalah penelitian riset yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis serta lebih menonjolkan proses
dan makna. Tujuan dari metodologi ini adalah pemahaman secara lebih mendalam
17
Universitas Sumatera Utara

terhadap suatu permasalahan yang dikaji dan data yang dikumpulkan lebih banyak
kata ataupun gambar-gambar daripada angka.
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode penelitian yaitu :
a.

Observasi
Observasi adalah sebuah proses pengamatan atau pemantauan akan
suatu objek atau masalah yang dari hal tersebut akan diambil
laporan dan kesimpulan
Observasi dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang apa
yang diteliti baik itu tindakan, percakapan langsung dengan
informan dan ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan.
Adapun tujuan dari observasi dalam penelitian ini adalah untuk
melihat langsung bagaimana jalannya prosesi adat dan tata cara
perkawinan pada masyarakat etnis Angkola di Luat Halongonan di
Kabupaten Padang Lawas Utara
b. Wawancara
Wawancara adalah percakapan antara dua orang atau lebih dan
berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Tujuan dari
wawancara ini adalah untuk mendapatkan informasi di mana sang
pewawancara melontarkan pertanyaan-pertanyaan untuk dijawab
oleh orang yang diwawancarai. Wawancara yang dilakukan peneliti
dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth
intervie).

Adapun tujuan dari wawancara mendalam adalah untuk memperoleh
keterangan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dengan
18
Universitas Sumatera Utara

informan atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan
pedoman (guide) wawancara, dimana peneliti dan informan terlibat dalam
kehidupan sosial yang lama.
Hubungan antara peneliti dengan pemberi informasi ( responden ) bukan
hubungan antara atasan dengan bawahan atau hubungan antara para ahli dengan
sebaliknya, melainkan peneliti datang adalah meminta dengan memohon
keediaannya dalam memberikan informasi. Apabila terjadi perubahan untuk
menemui responden harus melakukan pemberitahuan dengan disertai alasanalasan yang masuk akal.
Adapun daftar informan yang akan dimintai informasi oleh peneliti adalah
sebagai berikut:


Tongku Mukmin selaku ketua lembaga adat dan budaya dan
budaya Halongonan



Sutan Nalobi selaku Panusunan Bulung



Tongku Parhimpunan selaku Bayo-Bayo Luat



Sutan Raja Guru selaku Bayo-Bayo Luat



Nursiti Harahap



Irwan Siregar

Wawancara dengan informan akan menjumpai tipe-tipe yang beraneka
ragam yaitu dapat dijumpai informan yang mempunyai banyak pembicaraan
dengan pengetahuan yang cukup luas. Dengan luasnya pengetahuan memudahkan
dalam mengaitkan suatu permasalahan dengan lain hal yang dimaksudkan untuk
memberikan penerangan dengan seluas-luasnya dan dapat dimengerti. Padahal

19
Universitas Sumatera Utara

keadaan demikian justru sebaliknya menurut peneliti jawaban yang terlalu
berlebihan dan kurang relevan akan membuat permasalahan baru bagi peneliti
terutama apabila peneliti kurang menyadari banyak data yang terkumpul kurang
dapat dimanfaatkan seluruhnya, bahkan data terkumpul tidak dapat digunakan
untuk menjawab permasalahan.
Dalam melaksanakan penelitian ini, peneliti juga menggunakan beberapa
alat-alat untuk mendukung pengumpulan data sesuai dengan judul, dikarenakan
keterbatasan peneliti. Adapun alat-alat pendukung tersebut antara lain :
o Pedoman wawancara
Pedoman wawancara adalah sesuatu yang digunakan hanya berupa
garis-garis besar dari permasalahan topik penelitian, dimana
nantinya informasi yang di dapatkan dalam penelitian tidak
melenceng dari topik pembahasan sehingga data-data yang didapat
dilapangan dapat membantu menuntaskan tanda tanya dalam
penelitian. Pedoman wawancara ini berfungsi untuk memudahkan
si peneliti mengarahkan pertanyaan-pertanyaan atau poin-poin
terhadap informan
Pedoman wawancara sebagai alat bantu wawancara hanya
memberikan garis besar belaka atau pokok-pokok permasalahan,
tidak diwujudkan pertanyaan secara tuntas. Pedoman ini dalam
pemakaiannya masih perlu pengembangan lebih lanjut yang
merupakan variasi pertanyaan yang diciptakan secara spontan
dalam mendengar jawaban dari responden.

20
Universitas Sumatera Utara

Dalam praktek penelitian hasil jawaban para penanggap akan
menimbulkan permasalahan baru, dari sinilah perlunya untuk
mengembangkan lebih lanjut. Wawancara dengan sistem pedoman
ini memberikan kebebasan yang terbatas pada para penanya
(interviewer) untuk menanyakan lain di luar pedoman. Namun
kebebasan tersebut tetap terbatas sepanjang tidak menyimpang
dengan rencana penelitian yang telah dirumuskan.
o Alat perekam
Alat perekam adalah suatu proses menyalin ulang suatu objek,
apakah objek berupa gambar gambar suara atau apa saja, dengan
menggunakan media atau alat perekam tertentu yang hasilnya
dapat disimpan di suatu media penyimpanan atau tidak. Alat
perekam ini berfungsi untuk merekam perkataan-perkataan
informan sehingga informasi tidak sia-sia.
o Kamera foto
Kamera foto adalah alat yang digunakan untuk menangkap gambar
atau momen sedangka kamera video adalah alat yang digunakan
untuk mereka aktivitas atau kegiatan yang kemudian hasilnya
disimpan dalam memori card. Kamera foto ini berfungsi untuk
menangkap foto-foto penting yang berkaitan dengan judul
penelitian. Kamera video berfungsi merekan kejadian-kejadian
atau momen-momen penting yang menunjang penelitian tersebut.
I.6 Pengalaman Penelitian

21
Universitas Sumatera Utara

Sewaktu penulis masih kecil sudah diperkenalkan adat istiadat Orang
Angkola khususnya adat perkawinan oleh kedua orang tua penulis. Penulis sangat
tertarik dengan adat istiadat perkawinan sebab penulis selalu puas dengan hiburan
yang terdapat didalamnya. Selain itu, penulis juga selalu terlibat di dalamnya,
setiap Naposo Nauli Bulung (muda-mudi) manortor, penulis selalu mangayapi
dibuat oleh ayah penulis.
Penelitian ini dimulai pada bulan Desember 2015, Penelitian ini saya mulai
dengan menemui ketua lembaga adat dan budaya dan budaya Kecamatan
Halongonan yaitu Tongku Mukmin di desa Urung Capot, penulis menceritakan
maksud dan tujuan penulis bertemu dengan beliau, setelah Tongku Mukmin
mengetahu maksud dan tujuan penulis, kemudian beliau berkata kalau ia masih
kurang paham mengenai makna-makan dan sejarah yang terkandung dalam adat
perkawinan kemudian beliau menyuruh penulis berjumpa dengan Sutan Nalobi
selaku bayo-bayo Luat di desa Ujung Padang, kemudian penulis meminta nomor
hp dari Sutan Nalobi, kemudian Tongku Mukmin menyuruh istrinya
mengambilkan hp di dalam rumah, sembari menunggu penulis bertanya-tanya
mengenai hal umum dari adat perkawinan, selagi asyik mengobrok istri Tongku
Mukmin pun keluar, kemudian ia membacakan nomor hpnya dan penulis
langsung mencatat di hp, kemudian penulis meminta ijin untuk pulang
Keesokan harinya penulis bertanya kepada orang tua penulis, desa Ujung
Padang dimana, kemudian orang tua penulis menjawab kalau desa Ujung Padang
tersebut jauh, simpangnya dari desa Hutaimbaru masuk ke dalam, penulispun
langsung meminta ijin kepada orang tua penulis untuk menjumpai Sutan Nalobi.

22
Universitas Sumatera Utara

Kemudian orang tua penulis menyuruh menelpon Sutan Nalobi, tetapi penulis
tidak hiraukan dan beranjak meninggalkan rumah.
Kemudian penulis pergi menjemput teman penulis, dimana kami sudah
berteman dari kecil, iapun menyuruh saya menunggu sebab dia belum mandi,
kemudian penulis menunggu di depan rumahnya, tak berapa lama, ibu dari teman
saya ini keluar dan bertanya kami mau kemana, kemudian penulis pun menjawab
kami mau ke desa ujung padang mau jumpai Sutan Nalobi ada urusan kampus,
kemudian ibu teman penulis ini memberitahukan lokasi desa Ujung Padang,
sedang asyik mengobrol teman saya keluar dan mengatakan ia sudah siap,
kemudian kami pamit. Penulis langsung memacu sepeda motor ke desa Ujung
Padang. Sesampainya di Desa Hiteurat, teman saya menyuruh saya untuk
menelpon Sutan Nalobi, kemudian penulis memberhentikan sepeda motor dan
mengambil hp, kemudian penulis menelpon Sutan Nalobi. Ternyata Sutan Nalobi
tidak berada di desa Ujung Padang, beliau berada di desa Sipaho, saudaranya ada
yang pesta, penulispun langsung teringat ucapan orang tua penulis, kemudian
penulis bertanya kepada teman penulis, bagaimana ini, apa kita lanjutkan atau kita
pulang kemudian teman penulis menjawab kita lanjutkan saja, kita lihat dulu jalan
ke desa Ujung Padang bagaimana sekalian kita cari rumahnya, agar besok kita
tidak mencari lagi. Kemudian penulis kembali menghidupkan sepeda motor dan
berangkat. Di tengah perjalanan penulis melihat warung kopi, kemudian penulis
berhenti untuk istirahat sejenak, kemudian kami memesan teh manis panas dan
gorengan, tak lupa kami bertanya kepada pemilik warung desa Ujung Padang apa
masih jauh atau tidak. Selesai istirahat kemudian kami lanjutkan perjalan,
sesampainya di desa Bargottopong Jae, orang tua penulis menelpon, kemudian ia

23
Universitas Sumatera Utara

bertanya bagaimana apa sudah bertemu dengan Sutan Nalobi, kemudian saya
menjawab kalau Sutan Nalobi tidak ada di kampungnya, kemudian dia menyuruh
kami untuk pulang, akhirnya kami pulang ke rumah dan belum sampai di desa
Ujung Padang.
Keesokan harinya penulis kembali menelpon Sutan Nalobi, penulis bertanya
apa beliau ada kesibukan hari ini, kalau tidak ada penulis ingin bertemu dan
datang ke rumahnya, kemudian sutan nalobi mengatakan ia berada di desa
Hutaimbaru, kemudian penulis kembali bertanya apa beliau sibuk disana, kalau
tidak saya ingin mengobrol sebentar, kemudian ia menjawab kalau beliau tidak
sibuk, beliau sedang menunggu temannya, yah sudah datang saja saya tunggu
disini. Kemudian penulis kembali mengajak teman penulis, kamipun langsung
memacu kenderaan sepeda motor ke desa Hutaimbaru. Sesampainya di desa
Hutaimbaru, penulis melihat Sutan Nalobi sedang duduk di bangku di dekat jalan
raya, kemudian penulis mendekatinya dan memperkenalkan diri. Kemudian beliau
mengajak penulis mencari tempat yang sunyi agar mengobrolnya lebih tenang,
tetapi kami tidak menjumpai tempat yang tenang, kemudian Sutan Nalobi
mengajak kami ke kantor Lembaga adat dan budaya dan budaya Kecamatan
Halongonan, kemudian beliau mengambil sepeda motornya dan kamipun
berangkat. Sesampainya di kantor Lembaga adat dan budaya dan budaya
Kecamatan Halongonan, Sutan Nalobi mengajak kami ke warung, di warung
tersebut terdapat pondok-pondok, dan kamipun duduk di salah satu pondok
tersebut, kemudian Sutan Nalobi memesan teh manis panas untuk kami bertiga.
Kemudian penulis menyampaikan tujuan dan maksud menjumpai beliau,
beliaupun pun dengan senang hati mau membantu penulis, kemudian penulis

24
Universitas Sumatera Utara

mulai wawancara, penulis menyiapkan camera dslr penulis dan hp untuk merekam
segala perbincangan kami. Tak terasa hampir satu jam kami mengobrol, kemudian
Sutan Nalobi meminta ijin untuk menyelesaikan wawancara sebab beliau takut
kalau temannya nanti sampai, kemudian penulis mengiyakan dan data yang
penulis butuhkan sudah terjawab semua, kemudian penulis menyuruh teman
penulis untuk membayar minuman kami
Orang tua penulis menyuruh untuk mencuci mobil, kemudian penulis
mengeluarkan mobil dan membawanya ke tempat cuci mobil, penulis menunggu
sampai mobil selesai dicuci. Dalam menunggu tersebut, Tongku Parhimpunan
mencuci mobil juga, penulis merasa beruntung, penulis tidak membuang-buang
kesempatan, pertama-tama penulis bertanya yang umum-umum saja, setelah
penulis melihat beliau semakin asyik menjawab kemudian penulis mulai bertanyatanya kepada beliau mengenai adat perkawinan, beliaupun dengan semangat
menjawab yang ia ketahui.
Saat ada pesta perkawinan di kampung sebelah, penulis pun tidak buangbuang kesempatan, penulis datang ke pesta tersebut dan melihat bagaimana
proses-proses adat perkawinan, di sela-sela kosong, penulis menjumpai raja-raja
dan bertanya bagaimana sejarah adat perkawinan dan simbol-simbol yang
terkandung di dalamnya, kemudian mereka menjawab, untuk lebih jelas
mendingan kamu jumpai Sutan Nalobi di desa Ujung Padang, penulispun
bingung.
Penulis juga bertanya-tanya kepada orang tua laki-laki penulis, bagaimana
jalannya upacara, bukan tanpa sebab penulis membuat orang tua penulis sebagai
informan, orang tua laki-laki penulis adalah Anak boru di kampung penulis, dan

25
Universitas Sumatera Utara

orang tua laki-laki penulis juga pernah tinggal di desa Bargottopong Jae, sehingga
orang tua laki-laki selalu dipercaya membawakan acara-acara adat terutama adat
perkawinan dan orang tua perempuan adalah keturunan raja di kampung, sehingga
ia juga mengetahui sedikit banyaknya adat perkawinan ditambah ibu penulis
adalah ketua wirit Kecamatan Halongonan. Tetapi ketika penulis berada di rumah,
orang tua penulis tidak serius membantu, ketika penulis bertanya, mereka asyik
dengan pekerjaannya tetapi ketika penulis berada di kota Medan dan penulis
bertanya melaui telepon orang tua penulis dengan semangat memberitahukan
kepada penulis.
Ketika penulis mengahdiri acara perkawinan di desa Bargottopong Jae,
penulis kembali berjumpa dengan Sutan Nalobi. Ketika waktu makan siang,
penulis menghampiri Sutan Nalobi, dan bertanya apa dia sibuk atau tidak,
kemudian ia menjawab ai tidak sibuk. Kemudian kami pergi ke satu rumah yang
sunyi. Penulis kemudian membuka percakapan dengan mengatakan bahwa
wawancara yang kami lakukan waktu itu masih kurang. Penulis kemudian
bertanya, upacara-upacara apa saja yang terdapat di rumah pengantin laki-laki dan
perempuan? Sutan Nalobipun menjawab, upacara –upacara adat yang terdapat di
rumah kedua pengantin berbeda, kalau di rumah pengantin perempuan, dimulai
dari martahi duhu antara orang tua pengantin perempuan dengan Kahanggi dan
Anak borunya baru lanjut ke manyapai boru, disini pihak calon pengantin akan
datang ke rumah calon pengantin perempuan, biasanya yang datang hanya
perwakilan saja yaitu Kahanggi dan anak boru. Mereka akan bertanya kepada
raja-raja sama hatobangon, kalau mereka ingin melamar anak gadis yang ada di
rumah ini, nanti pihak harajaon atau hatobangon, kahanggi, anak boru, pisang

26
Universitas Sumatera Utara

raut dan mora akan memberikan persyaratan kepada pihak calon pengantin lakilaki. Kalau mereka menyanggupi persyaratan tersebut, baru mereka bisa menikah.
Kemudian dilanjutkan acara makkobar boru, disini pihak pengantin laki-laki
akan datang kembali ke rumah calon pengantin perempuan, dimana persyaratanpersyaratan tadi sudah mereka cukupi. Jika pihak kahanggi, anak boru, mora,
pisang raut dan utamanya pihak harajaon/hatobangon puas dengan persyaratan
yang dibawa oleh pihak calon pengantin laki-laki, maka kedua pengantin akan sah
menjadi suami isteri menurut adat, kemudian besok paginya mereka akan
disahkan menjadi suami isteri menurut agama dengan mengucap ijab qabul.
Setelah selesai, kemudian masuk ke Paturunkon Barang. Disini kedua
pengantin akan diupa-upa dengan kambing, disini akan mandokkon hata, mulai
dari orang tua, sisolkot na donok bope nadao. Setelah selesai baru kemudian
kedua pengantin akan mencicipi upa-upa tersebut, yang mereka cicipi hati dan
garam. Barang-barang pengantin akan diletakkan di tengah-tengah kemudian
naposo nauli bulung mengambil abit godang dan membuat beberapa simpul dan
diletakkan di atas barang tersebut. dimana nanti pihak pengantin laki-laki akan
mengisi tiap simpul tersebut sebagai upa nantinya untuk naposo nauli bulung
mengangkat barang tersebut ke mobil yang sudah disediakan pengantin laki-laki.
Kemudian pengantin perempuan akan mangandung ke orang tuanya, karena
dia akan meninggalkan rumah dan pergi ke rumah suaminya. Pengantin
perempuan akan menggendong ayam, menjunjung bahul-bahul yang berisi beras
dan sonduk (sendok), kemudian dibahunya membawa bambu yang berisi air yang
akan dibawanya ke rumah suaminya.

27
Universitas Sumatera Utara

Itulah kalau upacara-upacara adat di tempat perempuan, kalau di tempat
laki-laki berbeda lagi, di tempat laki-laki dimulai dari haroan boru, disini kedua
orang tua pengantin laki-laki akan mengundang kahanggi, anak boru, mora,
pisang raut dan harajaon/ hatobangon untuk datang kerumahnya,pihak keluarga
pengantin akan menyediakan itak gur-gur santan paborgo-borgo, maksudnya
diharapkan kedua pengantin mendapat rejeki yang melimpah dan kehidupan
keluarganya selalu dingin. Disini juga mandokkon hata, yang intinya semua
mendoakan kedua pengantin ini hidup bahagia dan berlimpah rejeki.

28
Universitas Sumatera Utara