Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Mandailing di Padang Lawas : Kajian Semiotik

(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR INFORMAN 1. Nama :T. Hasibuan

Umur : 55 Tahun Agama : Islam Pekerjaan :Petani

Alamat :Desa Hutanopan

2. Nama : A. Pohan Umur : 51 Tahun Agama : Islam Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Desa Pagaran Jalu-jalu

3. Nama : S. Hasibuan Umur : 52 Tahun Agama : Islam Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Desa Hutanopan

4. Nama : D. Harahap Umur : 54 Tahun Agama : Islam Pekerjaan : Petani

Alamat : Desa Hutanopan

5. Nama : R. Hasibuan Umur : 40 Tahun Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Alamat : Desa Aek Lancat


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Angelia, Petty. 2003. Rumah Adat Mandailing”Kajian Semiotik’’,(Skripsi) Medan : Universitas Sumatera Utara.

Arikunto, Suharsini. 1987. Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan praktek. Jakarta :Rineka Cipta. Negeri. Yogyakarta.

Budiman, kris. 2003. Semiotika Visual. Yogyakarta : Buku Baik dan Yayasan Seni Cemeti.

Chaer, Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Rineka Cipta Chistomy, T. 2004. Semiotika Budaya. Depok : Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan

Budaya Direktorat Diset dan Pengabdian Masyarakat Indonesia.

De Saussure Ferdinand. 1974. Dasar-Dasar Semiotika. Jakarta : Pusat Pembinaan Bahasa Haliday. M.A.K. 1992. Bahasa Kontek dan Teks. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. Hasibuan, L.P.1995. Pastak-Pastak Ni Paradaton Masyarakat Tapanuli Selatan. Medan :

CV Media Medan.B

Kalangie, Nico S. (1994). Kebudayaan dan Kesehatan : Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta. PT. Kesaint Blanc Indah Corp

Lubis, Muhammad Dolok. 2000. Makna Simbolisme Bangunan serta Ornamen Rumah Daerah Mandailing. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Narbuko, Cholid 1997. Metodologi Penelitian.Jakarta : Gramedia. Peirce, 1978

Nasution, H. Pandapotan, 2005. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Medan : Forkala Provinsi Sumatera Utara.


(3)

Nasution, Syamsul Bachri. 1999. Pelestarian Budaya Tapanuli Selatan. Padang Sidempuan : Bagas Godang

Pettinasarany, Sally. 1996. Dasar-Dasar Semiotika. Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Ritonga Parlaungan 1997. Makna Simbolik Dalam Upacara Mangupa Masyarakat Angkola-Sipirok Di Tapanuli Selatan. Medan : USU Press.

Sujidman, Panuti dan Art Van Zoes. 1978. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta : Gramedia Pertaka Utama

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Sutan Managor, 1995. Pastak-pastak ni Paradaton. Medan: CV Media.

Tarigan, Matius. 2003. Ragam Hias Rumah Adat Karo “Suatu Kajian Semiotik”, (Skripsi). Medan : Universitas Sumatera Utara.

Udasmoro, Wening. 2007. Petualangan Semiologi Roland Barthes. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Van Zoest Art. 1993. Semiotika : Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa Yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta : Yayasan Sumber Agung.


(4)

BAB III

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN 1.1 Metode Dasar

Metode dasar penelitian ini adalah deskriptif. Metode deskriptif yaitu berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah berdasarkan data-data dan jarak, juga menyajikan data dan menginterpretasikan data. Dalam metode ini, penulis menerangkan bagaimana upacara adat perkawinan masyarakat Mandailing itu dilaksanakan.

1.2 Lokasi, Sumber Data, dan Instrumen

3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Desa Hutanopan, Kecamatan Lubuk Barumun, Kabupaten Padang Lawas. Tempat ini penulis ambil sebagai tempat penelitian karena proses upacara adat perkawinannya masih murni dan belum ada pengaruh dari budaya yang lain.

3.2.2. Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian adalah beberapa informan di Desa Hutanopan dan buku-buku yang berhubungan dengan masalah penelitian.

3.2.3 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh penulis seperti buku catatan, daftar pertanyaan untuk mewawancarai informan, dan alat rekam untuk merekam proses wawancara dengan informan. Untuk memperlancar proses penelitian ini juga penulis menggunakan alat bantu seperti : alat tulis untuk


(5)

mencatat data-data dari informan, kamera untuk mengambil gambar di tempat penelitian, dan buku-buku acuan untuk memperlancar proses penelitian.

1.3 Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data pada penelitian ini ada dua yaitu metode lapangan dan metode pustaka.

1. Metode lapangan mencakup:

a. Metode observasi artinya melakukan penelitian untuk memperoleh data dengan langsung turun ke lapangan.

b. Metode interview dan wawancara yang artinya melakukan wawancara pada informan yang dianggap dapat memenuhi syarat sebagai informan untuk dapat mengumpulkan data yang dibutuhkan dengan menggunakan daftar wawancara,teknik rekam, atau terjun langsung ke lapangan.

2. Metode pustaka yaitu mencari data dari buku yang ada hubungannya dengan upacara adat perkawinan masyarakat Mandailing.

1.4 Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara dalam mengelola data yang mentah sehingga menjadi data yang cermat atau akurat dan ilmiah. Pada dasarnya analisis adalah kegiatan untuk memanfaatkan data sehingga dapat diperoleh suatu kebenaran atau ketidakbenaran. Dalam analisis diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga diuji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu.

Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian, karena tahap dalam menyelesaikan masalah adalah menganalisis. Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, dibuat tahapan sebagai berikut :


(6)

1. Mengeliminasi data yang diperoleh dari lapangan maupun pustaka. 2. Membandingkan data yang diperoleh dari pustaka dan hasil wawancara 3. Mendeskripsikan tahapan upacara adat perkawinan

4. Mendeskripsikan tanda yang ada dalam tahapan upacara adat perkawinan 5. Mendeskripsikan makna tanda yang ada dalam tahapan upacara adat

perkawinan


(7)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 TahapanUpacara Adat Perkawinan Masyarakat Mandailing di Padang Lawas

4.1.1 Sebelum Acara Pernikahan

a) Manyapai Boru (menanyakan calon istri)

Sebelum upacara adat pernikahan dilaksanakan, maka lebih baiknya jika bayo pangoli (mempelai pria) mengetahui sosok boru na ni oli (mempelai wanita) yang ingin dia cintai atau lebih jelasnya yaitu masih pendekatan terhadap seorang perempuan. Adapun istilahnya Mandailingnya adalah manyapai boru. Manyapai boru adalah seorang laki-laki yang menyampaikan perasaannya kepada perempuan yang disukainya. Setelah perempuan tersebut menerima seorang laki-laki yang dipujanya, sebaiknya hubungan antara laki-laki-laki-laki dan perempuan ini dibawa ke jenjang perkawinan apabila sudah mencukupi umur.

Setelah laki-laki dan perempuan tersebut suka sama suka dan saling mau untuk menjadi keluarga, maka seorang laki-laki menanyakan kepada orang tuanya untuk melihat perempuan yang ingin dijadikannya istri. Keinginan anak laki-laki tersebut akan dipertimbangkan oleh orang tuanya, apakah orang tuanya mau untuk menerima perempuan yang disukainya atau tidak.

Ketika anaknya menyampaikan kemauan untuk hidup dalam berumah tangga, terlebih dahulu orang tuanya akan melihat tingkah laku anak perempuan yang disukai oleh ankanya. Kemudian setelah mempertimbangkan dan melihat anak perempuan tersebut bertingkah laku baik dan mampu untuk menjadi seorang isteri, maka hubungan ini akan dilanjutkan ke tahap mangaririt boru.


(8)

Dalam tahapan manyapai boru ini tidak ada ditemukan tanda karena masih dalam tahap perkenalan antara orang tua laki-laki dengan perempuan yang disukainya.

b) Mangaririt Boru (menjajaki calon istri)

Perkawinan bukan saja merupakan urusan individu dengan individu, namun lebih luas lagi yaitu urusan keluarga. Jika seorang laki-laki menyampaikan keinginannya kepada orang tuanya ingin mempersunting seorang perempuan untuk dijadikan istri, maka kewajiban bagi orang tua untuk merealisasikan keinginannya itu. Untuk itu orang tua perlu terlebih dahulu menjajaki siapa perempuan tersebut, apakah kalau mereka datang nanti untuk meminang akan diterima atau mungkin gadis tersebut sudah menerima pinangan orang lain, perlu diselidiki terlebih dahulu. Tugas orang tua ini disebut dengan mangaririt boru.

Dalam acara mangaririt boru ini pihak orang tua laki-laki menjelaskan terlebih dahulu bahwa anaknya (laki-laki) telah berkenalan dengan anak perempuan mereka dan telah bergaul. Pada waktu dulu dapat terjadi si calon pengantin tidak saling kenal, hanya orang tua yang saling kenal atau sebaliknya calon pengantin yang saling kenal, tetapi orang tua tidak saling kenal.Jika pengantin tidak saling mengenal disebut perkawinan yang di jodohkan. Jika orang tuanya yang tidak saling saling mengenal, maka pihak laki-laki akan menyelidiki terlebih dahulu (manyisik) siapa orang tua perempuan itu. Hal ini penting untuk penyesuaian apakah kedua keluarga ini dapat dipertemukan atau untuk melihat apakah si perempuan berkelakuan baik. Jika orang tuanya sudah kenal maka sekaligus dikenal anaknya.


(9)

Mangaririt boru biasanya dilakukan oleh orang tua si laki-laki secara langsung, adakalanya dengan membawa kahanggi dan anak boru. Biasanya orang tua si perempuan tidak langsung menyetujui keinginan dari pihak laki-laki. Orang tua perempuan akan meminta waktu dengan alasan untuk menanyakan anaknya apakah ia menerima pinangan itu atau belum menerima pinangan orang lain. Adakalanya sesuai dengan perkembangan dan kesibukan masing-masing kalau sudah ada kesesuaian, pihak keluarga laki-laki langsung meminta agar semua syarat-syarat yang akan dipenuhi dibicarakan sekaligus. Hal ini dapat terjadi karena hubungan informasi yang sangat mudah sekarang ini bahwa jika pihak keluarga perempuan sudah mengetahui pihak keluarga laki-laki akan datang, sudah siap dengan segala kemungkinan.

Untuk menjaga silaturahmi ketika keluarga laki-laki datang ke rumah keluarga perempuan maka disediakan makanan untuk makan bersama agar menjalin keharmonisan kedua keluarga. Dan setelah itu maka dilanjutkan dengan tahapan padamos hata. Dalam tahapan ini juga tidak ada muncul tanda.

c) Padamos Hata

Jika pada waktu mangaririt boru tidak ada hal-hal yang menghalangi untuk melanjutkan pembicaraan kepada tujuan semula, maka pembicaraan akan sampai pada tahap padamos hata. Pihak keluarga laki-laki akan datang kembali ke rumah keluarga perempuan untuk meminang dan akan sekaligus membicarakan tentang :

a. Hari yang tepat untuk datang meminang secara resmi atau yang disebut dengan patobang hata.


(10)

- Apa saja yang perlu disiapkan

- Berapa mas kawin dan dalam bentuk apa - Berapa tuhor (uang jujur)

- Perlengkapan-perlengkapan lainnya

Setelah acara padamos hata ini tidak ada hambatan, maka dilanjutkan dengan patobang hata untuk menguatkan perjanjian yang telah disepakati di tahap padamos hata.

d) Patobang Hata

Patobang hata adalah menguatkan perjanjian antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan. Secara umum perkawinan didahului dengan lamaran. Namun demikian, lamaran ini baru terikat setelah pihak laki-laki memberi tuhor (mas kawin) kepada anak perempuan dari pihak keluarga perempuan. Adakalanya perkawinan tidak didahului dengan lamaran, dikarenakan yaitu pada saat laki-laki dan perempuan melarikan diri bersama-sama (kawin lari). Namun, ada juga kawin lari yang direstui orang tua karena pertimbangan tertentu yang disebut dengan tangko binoto. Ini terjadi untuk menghindari syarat-syarat yang memberatkan atau karena ada penghalang lain, seperti masih ada kakak atau abang yang belum menikah.

Dalam tahapan patobang hata ini dapat dikatakan bahwa peminangan telah dilakukan secara resmi. Pada acara patobang hata ini pihak keluarga laki-laki yang diwakili kahanggi dan anak boru harus terlebih dahulu manopot kahanggi. Manopot kahanggi maksudnya adalah menjumpai anak boru dari keluarga pihak perempuan. Anak boru dari keluarga pihak perempuan kalau sudah terjadi ikatan


(11)

perkawinan statusnya akan menjadi kahanggi dari pihak laki-laki. Itulah sebabnya disebut manopot kahanggi. Manopot kahanggi ini diperlukan guna membantu keluarga pihak laki-laki untuk membimbing mereka menyampaikan segala maksud dan tujuan agar berjalan sesuai rencana

Dalam acara patobang hata ini pihak keluarga laki-laki akan menyampaikan hasratnya dengan kalimat yang benar-benar menunjukkan kesungguhan dan keinginan yang amat sangat.

Setelah acara patobang hata atau acara pinangan secara resmi telah diterima, selanjutnya adalah manyapai batang boban (beban yang harus dipikul oleh pihak laki-laki). Dan setelah acara patobang hata selesai semuanya akan ditentukan untuk melanjutkan acara berikutnya yaitu manulak sere. Yang diberi waktu satu atau dua minggu, agar keluarga kedua belah pihak dapat mempersiapkan segala sesuatunya. Pemberitahuan dan mengundang keluarga, yang utama pihak keluarga laki-laki yang harus menyediakan bawaan (uang antaran) yang disebut dengan sere nagodang ataupun sere nalamot (uang antaran beserta uang untuk keperluannya lainnya). Tanda yang muncul dalam tahapan ini adalah :

- Tuhor yaitu pembayaran perkawinan atau emas kawin dalam bentuk uang,

benda, dan kekayaan. Dalam upacara adat perkawinan masyarakat Mandailing, pada saat upacara penyerahannya kepada orang tua mempelai perempuan. Tuhor tersebut diletakkan diatas pahar. Pemberian tuhor ini mengartikan keseriusan pihak keluarga laki-laki untuk meminang anak gadis keluarga perempuan.


(12)

e) Manulak sere

Sesuai dengan waktu yang telah disepakati, maka keluarga laki-laki datang kembali mengantar apa yang telah disepakati pada acara patobang hata. Pada waktu manulak sere ini seluruh sanak keluarga harus lengkap. Pihak keluarga laki-laki sebelum berangkat, setelah kahanggi, anak boru dan moranya sudah hadir, terlebih dahulu disampaikan maksud dan tujuan suhut, yaitu akan ke rumah perempuan untuk manulak sere (mengantar emas). Dan ditetapkan siapa saja yang akan ikut mengantar sere. Biasanya yang berangkat sepuluh atau lima belas orang, jumlah ini sudah ditentukan pada waktu patobang hata yang disesuaikan dengan kemampuan atau untuk mempersiapkan segala sesuatunya di rumah keluarga perempuan.

Manulak sere adalah menyerahkan antaran dari pihak keluarga laki-laki ke pihak keluarga perempuan, dimana besarnya antaran sudah ditentukan pada waktu acara patobang hata. Pihak keluarga laki-laki membawa batang boban yang telah disepakati sebelumnya ke rumah keluarga permpuan.Disamping membawa batang boban, juga membawa silua (oleh-oleh) berupa indahan tungkus (nasi yang dibungkus) dengan daun beserta lauknya. Ini bermakna kebesaran hati terhadap keluarga perempuan dengan harapan apa yang dicita-citakan dapat terkabul. Dalam manulak sere biasanya pihak keluarga laki-laki membawa silua dan indahan tungkus beserta lauknya hanya bertempatdi rantang yang ditutup rapat agar mempermudah membawanya dan tidak tumpah.

Adapun peserta yang ikut hadir dalam manulak sere dari pihak keluarga perempuan terdiri dari : (a) pimpinan adat setempat, (b) mora (pangalapan boru dan harajaon), (c) suhut (orang tua, abang dan adik), (d) kahanggi , (e) anak


(13)

boru , (f) kerabat terdekat lainnya. Sedangkan peserta yang ikut hadir dari pihak keluarga laki-laki adalah (a) suhut, (b) kahanggi, (c) anak boru.

Ada dua macam batang boban yang akan diserahkan kepada pihak keluarga perempuan yaitu :

a. Sere nagodang artinya jumlah yang cukup besar berupa benda berharga yang terdiri dari : horbo sabara (kerbau satu kandang), lombu sabara (lembu satu kandang), eme sa hopuk (padi satu lumbung). Sere nagodang hanyalah sebagai simbol yang tidak harus dipenuhi oleh pihak keluarga laki-laki.yang diserahkan hanya sejumlah uang (menurut kebiasaan) yang disebut dengan sere namenek.Sere nagodang diserahkan dari perwakilan keluarga laki-laki dan anak boru.

b. Sere nalomot atau sere namenek artinya tuhor ni boru (uang antaran) yang berbentuk uang dan ditambah barang keperluan pengantin perempuan, seperti baju dan perlengkapan pengantin lainnya. Disamping itu masih ada yang harus disediakan oleh pihak laki-laki yang disebut dengan parkayan yang diserahkan kepada sanak keluarga perempuan sebagai pengobat hati, karena salah satu keluarganya akan dibawa menjadi pihak keluarga laki-laki.

Yang berhak menerima parkayan adalah (a) uduk api yaitu diberikan kepada ibu calon pengantin perempuan, (b) apus ilu diberikan kepada namborunya (c) tutup uban diberikan kepada ompungnya (kakek ), (d) upa tulang diberikan kepada pamannya (e) hariman markahanggi diberikan kepada adik ayah atau abang ayahnya, (f) tompas handing diberikan kepada anak boru, (g) parorot tondi diberikan kepada raja di desa itu.


(14)

Jumlah bahan ketujuh ini dapat diartikan sebagai gambar dari pitu suada mora yang artinya tujuh keturunan tanpa mara bahaya. Di dalam acara penyerahan manulak sere didampingi langsung oleh raja ni huta, penyerahan sere nagodang dilakukan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Mora adalah tamburan atau disebut dengan tempat ikan kalau memancing, dan anak boru adalah sipandurung (tukang tangguk).

Adapun peralatan yang harus dibawa oleh pihak keluarga laki-laki untuk manulak sere ke rumah keluarga pihak perempuan adalah : (a) pahar, tempat atau wadah untuk meletakkan semua peralatan lainnya yang akan diserahkan, (b) abit tonun patani (kain adat) yang diletakkan di atas pahar sebagai alas perlengkapan (c) bulung ujung (ujung daun pisang yang dipotong sebesar pahar yang dibentangkan diatas pahar), (d) indahan nagorsing yang ditaburkan diatas daun pisang, (e) horis.

Setelah rombongan pihak keluarga laki-laki sampai di rumah pihak perempuan yang dituju, maka upacara markobar (musyawarah) adat pun dimulai. Meskipun tujuan utamanya manulak sere, namun parkobaran tetap dimulai dari awal. Yaitu mangaririt boru, padamos hata, membicarakan batang boban yang pada hari ini dipenuhi dan baru akhirnya upacara manulak sere dan rencana pabuat boru. Sebelum markobar dilaksanakan terlebih dahulu memakan hidangan yang telah disediakan yaitu pulut beserta intinya dan air minum. Setelah acara

markobar selesai barulah acara adat selanjutnya yaitu mangalehen

manganpamunan.


(15)

Indahan tungkus

- Indahan tungkus merupakan nasi yang dibungkus oleh pihak laki-laki yang

akan diberikan kepada pihak keluarga perempuan. Ini artinya kebesaran hati terhadap keluarga perempuan dengan harapan apa yang dicita-citakan dapat terkabul.


(16)

- Parkayan merupakan hadiah dari pihak laki-laki terhadap keluarga pihak perempuan yang maknanya sebagai pengobat hati karena salah satu keluarganya akan dibawa menjadi pihak keluarga laki-laki.

Abit tonun patani

- Abit tonun patani merupakan tanda kultural masyarakat Mandailing. Kain

adat ini merupakan kain hasil tenunan dengan warna coklat kemerah-merahan yang dikombinasikan dengan memakai benang emas dan sirumabi yang mengartikan kewibawaan dan kereligiusan. Abit tonun patani merupakan penanda, kewibawaan dan kereligiusan merupakan petanda.


(17)

Indahan nagorsing

- Indahan nagorsing merupakan lambang dari kemakmuran. Kuning

merupakan warna emas. Kemakmuran seperti emaslah yang diinginkan oleh pembuat nasi kuning.


(18)

- Horis merupakan alat untuk membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Keris ini melambangkan hidup dan mati mempelai perempuan menjadi tanggung jawab mempelai laki-laki.

Sipulut

- Sipulut merupakan makanan yang terbuat dari beras ketan yang

melambangkan bahwa semua yang dibicarakan akan melekat dan menyatu di hati sanubari setiap yang hadir. sipulut ini dianggap sebagai perekat di dalam setiap pembicaraan adat.


(19)

Bulung ujung

- Bulung ujung merupakan daun pisang yang paling pucuk yang mengartikan

berpendirian tetap seperti sifat daun pisang kalau dihembus angin tetap pada posisi semula.

f) Mangalehen Mangan Pamunan

Di dalam perkawinan menurut adat Mandailing bahwa anak perempuan yang akan melangkah ke jenjang perkawinan berarti akan meninggalkan keluarganya dan beralih kepada keluarga calon suami. Oleh sebab itu sebelum calon pengantin perempuan tersebut diberangkatkan, maka orang tuanya beserta sanak keluarga akan berkumpul untuk memberi makan anaknya yang disebut mangan pamunan (makan perpisahan).

Pada mulanya acara memberi makan ini, si calon pengantin perempuan mengajak teman-teman sepermainannya untuk makan bersama. Sebagai makan perpisahan diartikan bukan saja berpisah secara lahiriah tapi lepas dari masa gadis dan tanggung jawab penuh keluarga.


(20)

Sesuai dengan perkembangan zaman, acara mangalehen mangan ini diperbesar, bukan saja hanya dihadiri oleh keluarga tapi juga diikut sertakan unsur dalihan na toludan harajaondalam acara serta makanan yang dihidangkan sama dengan yang dihidangkan pada pangupa. Hanya saja biasanya makanan yang dihidangkan adalah kambing yang sudah dimasak sempurna, kepala, hati dan sepasang kaki, bagian atas harus masih terlihat bentuknya yang diletakkan di atas tampi yang dialasi dengan ujung daun pisang, lengkap dengan nasi, piramanuk (telur), udang, ikan, daun ubi (silalat) serta garam, sehingga upacara mangalehen mangan ini hampir sama dengan upacara mangupa. Bedanya upacara mangalehen mangan ini dengan upacara mangupa adalah makanan yang harus dihidangkan harus benar-benar dimakan sampai kenyang. Itulah sebabnya upacara mangalehen mangan disebut juga dengan mambutongi mangan yang artinya makan sekenyang-kenyangnya. Suatu kehormatan bagi yang diberi makan bahwa dengan senang hati semua sanak keluarga dalihan na tolu dan harajaon ikut memberi restu atas keberangkatannya ke jenjang perkawinan.

Jika di dalam upacara mangupa kata-kata yang disampaikan adalah terutama doa selamat agar berbahagia, tapi pada upacara mangalehen mangan di samping mendoakan keselamatan yang paling ditekankan adalah nasehat bagaimana ia harus menjalankan bahtera rumah tangganya, bagaimana harus menjunjung tinggi martabat keluarganya, orang tua dan sanak keluarga suaminya dan tetap menjalankan shalat serta bertaqwa kepada Allah SWT.

Berikut adalah nasehat yang disampaikan kepada si gadis :


(21)

b. Jika kelakuannya tidak baik semua keluarga akan malu. Tubu unte tubu dohot durina. Jika seseorang dilahirkan di lingkungan orang baik-baik (orang beradat), harus menunjukan sikap yang baik (beradat).

c. Pelajari adat-istiadat (tata krama) keluarga suami. Pantun hangoluan, teas hamatean. Mata guru, roha siseon. Artinya jika pandai membawa diri, akan selamat. Jika iktikad buruk (tidak jujur), keselamatan akan terancam. Apa yang dilihat dapat menjadi contoh, baik buruknya tergantung hati nurani. d. Sebagai suami istri harus seia sekata. Sapangambe sapanaili, songon siala

sampagul, rap tu ginjang rap tu toru. Pala malamun saulak lalu.

e. Seia, sekata, sehidup semati, apapun yang terjadi untuk merusak rumah tangganya, namun tidak dapat dipisahkan.

f. Bahan disambur sabi, anso bahat salongon.

Berbuat kebaikanlah sebanyak-banyaknya agar mendapat balas kebaikan yang banyak pula.

g. Nada tola marandang sere, angkon marandang jalmo do. Ulang bile roha di

halak na pogos, halak na pogos pea dong do gunana.

Jangan memandang orang dari kekayaannya, tetapi harus melihat kepada budi pekertinya.Orang miskinpun pada saat-saat tertentu juga ada gunanya. Bantuan tidak saja sifatnya material, tetapi juga bisa dengan bantuan immaterial dan tenaga.

h. Pantis marhula dongan, pala marlomo-lomo, malo martinara.

Artinya, pandai beramah tamah, pandai berkasih sayang dan pengasih, tetapi harus pandai pula berhemat. Ulang bele-bele markatimbung


(22)

lupa mangusa.Jangan asik bersantai-santai, lupa hari esok. Harus ingat masa depan keluarga dan anak-anak.

Butir-butir dari nasehat dari diberikan oleh seluruh yang berbicara. Jangan hanya satu orang menyampaikan seluruh nasehat dan jangan mengulangi yang sudah disampaikan pembicara terlebih dahulu. Tanda yang terdapat dalam tahapan ini adalah sebagai berikut :

- Piramanuk (telur) merupakan kebulatan persatuan antara tondi (jiwa) dan badan. Permohonan supaya jiwa dan raga bersatu padu seperti bagian putih dan kuning dari telur, bulat dan bersatu, kiasan keselamatan dan kesehatan. Kuning telur juga dilambangkan sebagai emas, dalam adat disebut istilah tarjomak sere artinya mendapat rezeki yang banyak.


(23)

- Udang melambangkan strategi kehidupan. Gerakan maju mundur merupakan karakter udang. Gerak maju mundur dalam kehidupan disesuaikan dengan situasi mana yang paling menguntungkan

- Ikan melambangkan persatuan dan selalu mencari rezeki yang baik. Seperti hidup ikan yang yang selalu mencari air bening, mencari rezeki dengan yang baik.

- Daun ubi melambangkan umur panjang dan sesuatu yang bermanfaat. Dalam keseharian masyarakat Mandailing sering memasak daun ubi untuk dijadikan lauk ketika makan. daun ubi sangat bermanfaat bagi masyarakat, begitu juga harapan bagi kedua mempelai agar nantinya bermanfaat ditengah-tengah masyarakat.

4.1.2 Acara Pernikahan

Di dalam ajaran agama Islam sendiri, menikah adalah hal yang sangat dianjurkan dan salah satu prioritas yang diajarkan. Secara aturan, menikah di dalam agama Islam mempunyai tata cara tersendiri. Akan tetapi, karena kondisi lingkungan dan tradisi terkadang dalam acara perkawinan khususnya pada saat


(24)

melangsungkan akad nikah di berbagai daerah ada yang memasukkan unsur budaya atau adat istiadat daerah masing-masing, tanpa mengurangi apalagi menghilangkan aturan-aturan yang telah ditentukan oleh agama. Seperti istilah masyarakat Mandailing hombar do adat dohot ibadat.

“Suatu perjanjian antara pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan disaksikan oleh sedikitnya dua orang saksi, dimana ijab kabul dikatakannya dan mas kawin dipastikannya” Soekanto (dalam Sarjono Soekanto, 1985 :105)

Pada umumnya pernikahan menurut Islam adalah bagian dari perkawinan adat seluruhnya. Pernikahan dilangsungkan sebelum calon pengantin wanita (boru na ni oli) dibawa ke rumah calon pengantin pria (bayo pangoli). Meskipun acara perkawinan dilakukan menurut adat, namun persyaratan perkawinan menurut Islam tidak boleh diabaikan. Menurut Islam haram hukumnya boru na ni oli dibawa oleh bayo pangoli sebelum dinikahkan.

A. Horja Pabuat Boru

Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan masyarakat Mandailing adalah perkawinan manjujur, dimana pihak laki-laki berkewajiban memberi sesuatu yang berharga berupa barang atau uang kepada pihak perempuan.

Sebagai akibat manujur ini maka perempuan tersebut menjadi tetap di dalam lingkungan keluarga suaminya, demikian juga dengan anak-anaknya. Hubungan dengan keluarganya menjadi putus kalau suaminya meninggal, ia akan tetap tinggal di lingkungan keluarga suaminya. Jika ia ingin kawin kembali harus dengan persetujuan keluarga suaminya. Jika ia ingin kembali harus dengan persetujuan keluarga suaminya juga.


(25)

Ada tiga kemungkinan dapat kawin kembali, yaitu dengan cara : a.Kawin dengan pewaris suaminya.

b.Tetap tinggal dalam lingkungan keluarga suaminya sebagai janda dan berhak atas anak-anaknya.

c. kawin dengan orang lain(memutuskan hubungan hukum dengan keluarga suaminya), tanpa seizin keluarga suaminya.

Itulah sebabnya, setelah pernikahan dilaksanakan boru na ni oli diberangkatkan ke rumah bayo pangoli. Pemberangkatan dapat dilakukan pada hari yang sama atau beberapa hari kemudian berdasarkan kesepakatan. Biasanya dilakukan dalam jarak waktu yang tidak terlalu lama, karena setelah pernikahan boru na ni oli dan bayo pangoli sudah sah sebagai suami isteri.

Pada waktu yang telah ditentukan pihak mempelai pria sudah siap untuk menjemput mempelai wanita.Sebelum berangkat menjemput mempelai wanita keluarga dari mempelai pria sudah berkumpul di rumahnya untuk musyawarah terlebih dahulu atau yang disebut marpokat. Pada saat marpokat ini ada makanan yang harus disajikan yaitu sipulut, supaya apa yang akan dibicarakan nantinya akan melekat seperti sipulut itu.

Di rumah keluarga mempelai wanita juga telah berkumpul sanak keluarga, kahanggi, anak boru, mora. Jika pada waktu horja pabuat boru dilaksanakan acara margondang, maka tamu-tamu yang hadir disambut dengan gordang sambilan, juga dibunyikan gong pertanda tamu yang dihormati sudah datang.

Setelah itu dilanjutkan dengan markobar adat. Markobar adat dimulai dengan mempersembahkan sirih adat atau yang disebut manyurdu burangir.


(26)

Kemudian dihidangkan pulut kuning lengkap dengan intinya sekaligus minumannya. Setelah makan pulut maka untuk memulai pembicaraan sirih dipersembahkan kembali kepada raja-raja adat yang hadir. Sidang adat akan dipimpin oleh raja panusunan jika kerbau yang disembelih, tapi jika kambing yang disembelih maka cukup raja pamusuk saja yang akan memimpin sidang.

Urutan-urutan pembicara dalam persidangan adat ini adalah sebagai berikut:

a. Suhut, yaitu menceritakan maksud dan tujuan acara adat diadakan dan

syarat-syarat adat yang telah dipenuhi, sekaligus mangoncot langka (meminta kesediaan untuk tetap tinggal sampai acara selesai) raja-raja yang hadir.

b. kahanggi suhut menguatkan olos dan andung dari suhut.

c. Anak boru, ikut menjunjung dan mendukung apa yang dimaksud moranya

(pihak suhut) yang telah menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan ini.

d. Mora, memberikan kata pasu-pasu atau restu sekalgus memberkati

keinginan dari suhut selaku anak borunya.

e. Namora Na Toras, menguatkan dan mengakui sepanjang pengetahuannya

syarat-syarat adat telah dipenuhi dan menyerahkan kepada raja-raja adat untuk membicarakan selanjutnya permohonan suhut.

f. Raja-raja adat turut menyerahkan pelaksanaan acara adat kepada semua yang hadir dan menjadi saksi di dalam pelaksanaan acara adat tersebut. Jika ada saran ataupun koreksi disampaiakan dan keputusannya kepada raja panusunan.

g. Raja panusunan, setelah semua mengutarakan maksud dan tujuan


(27)

acara adat telah terlaksana dengan benar. Dan selanjutnya mempelai wanita telah bisa diberangkatkan untuk melaksanakan perkawinan.

Selanjutnya suhut mengucapkan terima kasih kepada raja-raja yang hadir terutama kepada raja panusunan yang telah berkenan patobang hata (mensahkan pertemuan) tersebut. Untuk menutup acara, sirih dipersembahkan kembali. Selanjutnya makan berhidang di tempat itu juga.

Dengan selesainya acara persidangan, dan diterima keluarga mempelai wanita, maka rombongan keluarga mempelai pria dipersilahkan masuk, kemudian dihidangkan silua (oleh-oleh dari keluarga mempelai pria). Setelah itu dimulai pula acara penyampaian maksud kedatangan mereka setelah terlebih dahulu mempersembahkan sirih kepada tuan rumah, Namora Na Toras dan raja-raja yang hadir. Kedatangan mereka adalah menepati janji yang telah lalu dan jika nanti mereka kembali dapat manggolom tondi dohot badan asa manogu boru na ni oli ke rumah bayo pangoli. Setelah permohonan itu disetujui acara tahap pertama pemberangkatan selesai dan makan bersama.

Acara persidangannya diikuti oleh sebagai berikut : suhut sihabolonan, kahanggi, anak boru, namora natoras, harajaon, raja panusunan, kahanggi bayo pangolin, anak boru bayo pangolin, kahanggi ni suhut, anak boru ni suhut, mora ni suhut, raja.

Tanda yang terdapat dalam tahapan ini adalah :

- Sipulut, Makna sipulut pada tahapan ini sama dengan makna sipulut dalam


(28)

- Gordang sambilan adalah seperangkat alat musik sakral yang terdiri dari Sembilan buah gendang yang berukuran besar. Ini merupakan tanda pemberitahuan kepada masyarakat bahwa sedang berlangsungnya acara adat.


(29)

- Burangir atau sirih merupakan tanda pembuka pembicaraan dalam acara adat. Dalam masyarakat Mandailing sirih ini selalu digunakan sebelum acara markobar dilaksanakan.

- Pasahat mara

Pada saat pasahat mara, mempelai pria dan mempelai wanita duduk di pantar bolak (tempat musyawarah) dan mereka berdua diberi nasehat.Semua barang bawaan sudah diletakkan di tengah pangkobaran (musyawarah) yang diartikan sebagai pasahat mara (menyerahkan keselamatan) mempelai wanita serta barang bawaannya kepada mempelai pria dan keluarganya merupakan tanggung jawab penuh.

Pada acara pasahat mara ini keluarga mempelai wanita harus menjelaskan kepada keluarga mempelai pria, bahwa boru (gadis) mereka tidak boleh disia-siakan.Karena bagi keluarga mereka gadis ini merupakan anak mata (punya nilai tinggi). Yaitu dengan kalimat sebagai berikut :

Boru on boru haholongan rudang na di handang-handangan Mudah-mudahan maroban sangap dohot tua on nian di hamu Muda madabu madabu tu ginjang, muda mayup mayup tu julu Muda humolip angkon huskus.


(30)

Pada waktu pasahat mara barang bawaan mempelai wanita diletakkandi tengah pantar paradaton agar semua yang hadir dapat menyaksikan barang bawaan tersebut.

Barang bawaannya sebagai berikut : a. kain adat

b. barang boru (bulang)

c. bantal yang dibungkus dengan tikar adat lengkap dengan sarung bantalnya d. tempat tidur pengantin beserta kelengkapannya

e. piring, cangkir dan perlengkapan dapur lainnya (pinggan santopik)\ f. pakaian mempelai wanita (abit sahulindan bonang)

g. beras dan telur beserta sonduk (alat untuk mengaron nasi yang biasanya terbuat dari tempurung kelapa dan tangkai kayu ) yang dimasukkan pada bakul kecil.

h. Haronduk dan garigit (haronduk merupakan karung kecil yang dianyam

terbuat dari pandan yang besarnya kira-kira sepuluh kaleng susu, sedangkan garigit adalah tempat menampung dan mengambil air yang dulu airnya diambil dari sungai.

Setelah acara pasahat mara ini selesai, maka rombongan mempelai pria dipersilahkan turun dari rumah dan menunggu di depan pintu, agar mempelai wanita diserahkan oleh orang tuanya kepada mempelai pria, kemudian mereka boleh berangkat. Tanda yang terdapat dalam tahapan ini adalah :

- abit tonun patani merupakan hasil karya manusia yang merupakan tanda

kultural masyarakat Mandailing. Ulos adalah kain hasil tenunan dengan warna coklat kemerah-merahan yang dikombinasikan dengan memakai


(31)

benang emas dan sirumbai dengan benang emas juga melambangkan kewibawaan dan religius.

- Mangambat boru tulang (menghadang atau memberhentikan)

Sebelum lewat pekarangan rumah, kedua mempelai masih dihadang oleh anak namborunya. Mangambat boru tulang berasal dari bahasa Mandailing itu sendiri. "Mangambat" artinya mencegah atau memberhentikan, sedangkan boru tulang artinya anak perempuan dari paman.

Kedua mempelai akan di cegah atau diberhentikan oleh sekelompok pemuda yang menghambat jalan kedua mempelai. Para pemuda memberhentikan mempelai dengan cara yang sangat unik, contohnya dengan menaruh kursi yang lumayan panjang ditengah jalan.Pemuda ini merupakan sepupu dari mempelai wanita itu sendiri.Yang mana antara orangtua dari para pemuda dan mempelai wanita adalah kakak adik (saudara).

Tujuan dari para pemuda ini yaitu untuk mengintrogasi mempelai pria atau dengan kata lain meminta mempelai pria untuk meminta izin kepada mereka sebelum membawa sepupu mereka pergi. Kadang, berbalas pantun pun tidak terelakkan dari kejadian ini. Dimana para pemuda menantang mempelai pria berbalas pantun. Sebelum mempelai pria bisa mengalahkan para pemuda, maka para pemuda tidak akan membolehkan lewat begitu saja. Memang butuh kesabaran. Selain balas pantun, kadang para pemuda meminta sejumlah uang kepada mempelai pria untuk diperbolehkan lewat jalan tersebut. Tentunya selama uangnya masih dibatas kewajaran.


(32)

Dalam acara mangambat boru tulang ini pemuda itu harus menyediakan beberapa perlengkapan seperti:

- Tikar atau kursi untuk tempat duduk

- Sirih untuk disurdu (dipersembahkan) kepada kedua mempelai - Air kelapa muda yang masih berada pada kelapanya

- Keris untuk alat menghambat, yang berarti jika mempelai pria tidak permisi maka keris itu tantangannya.

Semakin banyak anak namborunya yang ikut dalam acara mangambat, menunjukkan bahwa moranya adalah sosok yang berwibawa dan dicintai oleh anak borunya. tanda yang muncul dalam tahapan ini adalah :

- Burangir (sirih) maknanya sama dengan sirih yang ada di tahapan horja pabuat boru.


(33)

- Horis dalam tahapan ini artinya bahwa keinginan mereka (anak namborunya) harus di kabulkan.

B. Horja haroan boru

Upacara adat perkawinan yang dilaksanakan di rumah pihak laki-laki sebelum melaksanakan horja godang (pesta besar) terlebih dahulu pihak keluarga laki-laki mengadakan mufakat (marpokat) kepada sanak keluarga memohon supaya semua pihak dapat membantu pada saat horja godang berlangsung. Dalam marpokat inilah dibagikan pekerjaan masing-masing pihak pada saat horja berlangsung sesuai dengan prinsip dalihan na tolu. Dan biasanya para tetangga ataupun masyarakat setempat ikut berperan dalam membantu pelaksanaan upacara perkawinan seperti masalah dapur dan pekerjaan lainnya.

Didalam marpokat ini juga disediakan makanan pulut beserta intinya agar marpokat ini dapat melekat didalam persaudaraan.Setelah selesai acara makan barulah disurdu burangir (sirih) yang dikarenakan sirih secara umum sangat penting bagi Masyarakat Mandailing didalam mengadakan upacara adat baik upacara adat siriaon maupun siluluton. Perlengkapan burangir itu terdiri dari sontang (gambir), soda (kapur sirih), pining (pinang), dan timbako (tembakau). Dari semua bahan burangir mempunyai arti didalam bahasa adatnya yang disebut opat ganjil lima gonop artinya perlengkapan kelima itu harus lengkap baru yang disebut dengan genap. Kemudian burangir dibungkus dengan tonun patani (kain adat) dan diletakkan di salipi (tempat burangir).

Setelah selesai manyurdu burangir barulah suhut terlebih dahulu memulai pembicaraan yang kemudian disusul dengan kahanggi, anak boru,


(34)

namora natoras dan kemudian ditutup kembali dengan suhut. Simbol yang muncul pada tahapan ini adalah burangir (sirih), pulut, dan tonun patani yang maknanya sama dengan sirih yang ada pada tahapan sebelumnya.

a. Marpokat haroan boru

Jika dari pihak mempelai wanita nama acaranya disebut pabuat boru, maka di rumah keluarga mempelai pria disebut dengan haroan boru. Pada saat yang telah direncanakan niat untuk patobang anak (mengawinkan anak laki-laki), maka sebelum hari yang ditetapkan untuk mengadakan horja (pesta adat) pihak keluarga laki-laki (suhut) terlebih dahulumengundang sanak keluarga untuk marpokat (musyawarah), musyawarahnya disebut marpokat sabagas. Kemudian setelah itu diadakan marpokat sahuta.

Dalam marpokat sahuta inilah pihak keluarga laki-laki menjelaskan bahwa mereka bermaksud melaksanakan horja godang dan mengharapkan bantuan dari semua pihak agar horja dapat berlangsung dengan baik.

b. Mangalo-alo boru atau manjagit boru

Setelah kedua mempelai sampai di rumah mempelai pria mereka disambut dengan acara yang disebut mangalo-alo boru.Pengantin yang datang disambut dengan barisan keluarga mempelai pria.

Setelah sampai di rumah yang dituju para rombongan disambut dengan keluarga yang sudah menunggu kedatangan mereka dan mempersilahkan masuk agar melaksanakan acara adat selanjutnya.Kemudaian setelah semuanya masuk didalam rumah para rombongan dan pengantin membawa makanan yang disiapkan dari rumah suhut diletakkan ditengah-tengah hadapan keluarga dan


(35)

raja-raja. Tidak lama kemudian makanan yang diletakkan ditengah-tengah perkumpulan kedua keluarga beserta raja-raja dibawa lagi kebelakang untuk mempersiapkan acara mangalehen mangan (makan bersama).

Setelah selesai makan bersama seorang manyurdu burangir kepada raja bahwa acara adat selanjutnya yaitu menyampaikan pesan kepada kedua mempelai. Biasanya pesan yang mereka berikan adalah mengenai bagaimana menjalani hidup berumah tangga yang penuh dengan rintangan dan cobaan serta musyawarah antara suami dan istri dalam memecahkan masalah. Dan ada juga menyampaikan tanggung jawab mereka sebagai suami dan isteri seperti bagi laki-laki yang harus menjadi pemimpin yang benar dan bertanggung jawab kepada isteri dan anaknya, dan bagi perempuan mampu menjadi isteri yang mengerti terhadap suami serta anaknya. Dan kedua pengantin bukan lagi tanggung jawab orang tua mereka. Setelah penyampaian pesan untuk kedua mempelai selesai, kedua keluarga mempersiapkan diri untuk menuju ke rumah suhut (tempat pesta).

Kemudian orangtuanya menunggu didepan pintu termasuk uda (adik ayahnya) dan nangudanya (isteri dari adik ayahnya). Ayah dan udanya memegang mempelai laki-laki, sedangkan ibu dan nangudanya memegang pengantin perempuan dan membawanya ke amak lampisan untuk duduk. Dan disini keluarga pihak perempuan menyerahkan anaknya kepada pihak keluarga laki-laki untuk melaksanakan upacara adat yang selanjutnya. Acara Penyerahan ini dilaksanakan dengan markobar. Pesertanya antara lain : pangalap boru, pandongani ni boru, suhut, dan namora natoras.

Tanda dalam tahapan ini adalah : Amak lampisan, burangir maknanya sama dengan amak lampisan pada tahapan sebelumnya.


(36)

c. Pataon raja-raja adat dan koum sisolkot

Pataon raja-raja adat atau undangan kepada raja-raja adat dibawa oleh dua orang anak muda dengan membawa sirih dan perlengkapannya. Setelah mereka manyurduhon burangir dan diterima oleh yang disurdu, mereka menyampaikan kata-kata sebagai berikut :

“Santabi sapulu di raja i dohot namora i di bagas na martua on”

Mardongan hapantunan haroro name on manyampaeon tona ni raja i dohot namora natoras. Dibaen i ma anso surdu napuran name.napuran on napuran taon-taon, pataon tondi dohot badan ni raja I dohot namora i. muda so adong halangan anggo sugari bolas pangidoan, rap marlagut hita ima di aria had nangkan na ro. Maksudna nangkan patobang anak dohot parumaen ni raja i manurut adat.

Mudah-mudahan nian raja i dohot namora i totop nian dibagasan ni hatorkisan. Asa ulang adong nian abat bing kolangna, anso tulus doma jolo na tarsangkap noi roha ni raja i. boti ma hatana Santabi sapulu’’.

Tanda yang muncul dalam tahapan ini adalah :

- Burangir (sirih) maknanya sama dengan sirih yang ada pada tahapan

sebelumnya

d. Panaek Gondang

Panaek Gondang merupakan salah satu ritual yang menjadi bagian dari seluruh rangkaian upacara adat perkawinan dalam masyarakat Mandailing jika perkawinan tersebut dikategorikan sebagai horja godang.


(37)

Secara etimologi, kata panaek dalam bahasa Mandailing ialah menaikkan atau mendirikan sedangkan gondang ialah gendang atau drum. Maka panaek gondang ialah memukul atau memainkan gordang sambilan beserta alat musik pendukung lainnya yaitu sarune, ogung, mongmongan, talisasayak dan doal sebagai pertanda dibukanya gelanggang panortoran. Panaek gondang biasanya dilakukan sehari sebelum acara perkawinan adat.

Panaek gondang merupakan satu hal yang sangat penting dilakukan, karena hal ini sangat terkait dengan adat.Sebab dalam masyarakat Mandailing adat merupakan salah satu atau merupakan tujuan hidup yang harus dilakukan oleh masyarakat Mandailing. Karena panaek gondang merupakan bagian acara dalam perkawinan adat Mandailing, upacara perkawinan mesti pula dideskripsikan. Hal apa yang membuat bahwa panaek gondang ini penting. Karena budaya musikal panaek gondang ini merupakan satu eksistensi atau kepentingan yang sangat signifikan di dalam tradisi Mandailing. Oleh karena itu, melihat panaek gondang di berdasarkan materi dalam hal ini pangupa yang digunakan maka horja godang merupakan Pesta perkawinan yang paling besar dengan materi pangupanya berupa seekor kerbau.

Dalam adat Mandailing gondang yang dibunyikan bukan saja gordang sambilan tetapi juga termasuk gondang tortor. Jika gordang sambilan dipakai untuk memeriahkan pesta maka gondang tortor khusus dipergunakan untuk acara manyambut boru dan manortor.

Yang hadir dalam acara panaek gondang adalah : 1. Suhut dan kahangginya


(38)

3. Naposo bulung dan nauli bulung (pemuda dan pemudi) 4. Penabuh gendang

5. Namora natoras 6. Raja adat

Sebagaimana setiap membuka acara rapat, maka burangir disurdu terlebih dahulu oleh anak boru kepada raja adat dan peserta acara. Kemudian suhut menyampaikan maksud dan permohonannya kepada semua yang hadir agar dapat berpartisipasi dalam pelaksanaan horja itu. Demikian juga kepada raja adat diminta untuk memberi restu atas pelaksanaan horja itu.

Setelah raja adat memberi restu, maka gendang pun mulai dibunyikan dan pago-pago dipancangkan. Pago-pago sebagai tanda ada pesta adat (horja godang) yang dipasang di halaman rumah. Satu hari atau dua hari sebelum acara horja godang, pada malam harinya diadakan acara manortor. Secara berurutan yang manortor adalah suhut dan kahangginya yang di ayapi oleh anak borunya. Kemudian dilanjutkan dengan tortor muda-mudi sampai larut malam. Pada waktu dulu minat naposo dan nauli bulung untuk manortor masih sangat besar, acara manortor adakalanya sampai pagi.

Acaranya secara ringkas sebagai berikut :

Suhut :

“ Santabi sapulu di sude raja-raja songoni datu pargondang dohot na pande paruning-uningan.

Manurut partahian di ari nadung solpu, di ari na sadarion ma hita mamalu tunggu-tunggu dua, gordang sambilan, songoni ogung boru ni bulan, satorusna pajongjong pago-pago ni paradaton. Harani I mangido toruk ni abara


(39)

do hami anso nian rap hita patulus pangidoan name on, ulang muse on nian manggora naso nida, anso nian rap hita patulus pangidoan nami on, ulang adong abat bingkolang ni karejonta on.

Boti ma, santabi sapulu’’

Kahanggi, anak boru, namora natoras :

Secara bergiliran berbicara, semua berbesar hati dan akan ikut membesarkan horja yang dimaksud.

Raja :

‘’Santabi sapulu tu sude anak ni raja dohot namora, songoni tu datu pargondang, paruning-uningan, bayo panggora, baen madung dapot di ari na denggan ari na tupa, ari na niligi ni bayo datu, songon i ari naborgo ma nian pangalaho di hita sude, dapot nian kasalamatan, ulang adong on na manggora manise, sian pangkal lalu tu ujungna, sai dao gora donok parsaulian. Ngadabe on adong halanganna, naekkon hamu ma gordang dohot gondangta i anso manaek tua dohot hamamora.

Boti ma, santabi sapulu’’

Tanda yang terdapat dalam tahapan ini adalah :

- Burangir dalam tahapan ini sama dengan burangir yang ada pada tahapan

sebelumnya.

- Pago-pago merupakan benda-benda yang dipasang di halaman rumah sebagai

tanda adanya pesta dan mengartikan bahwa kedua mempelai memakai adat sepanjang masa.


(40)

Mata ni horja adalah puncak upacara adat yang telah dilaksanakan di rumah suhut. Pagi harinya setelah tamu-tamu mulai berdatangan, uning-uningan (gendang) sudah dibunyikan.Untuk menyambut tamu dibunyikan gong. Raja-raja yang datang secara bergiliran diundang untuk manortor. Setelah selesai acara manortor raja-raja, maka seluruh tamu harajaon diundang ke pantar paradaton untuk mangkobar adat (sidang adat), saat mata ni horja secara berturut-turut akan dipatortor mulai dari suhut, kahanggi, anak boru, raja-raja. Dalam acara manortor ini biasanya diatur tiga orang sekali manortor dan diayapi oleh anak borunya.

Setelah semua raja-raja adat hadir di pantar paradaton, acara markobar dimulai dengan diawali menghidangkan sipulut lengkap dengan inti dan minumannya. Makan pulut sebagaimana disebut sebelumnya bermakna sebagai sifat ketan, bahwa apa yang dibicarakan nantinya akan melekat dan menyatu di hati sanubari setiap yang hadir.

Setelah selesai makan pulut, maka disurdu burangir pertanda markobar sudah dapat dimulai. Gong dibunyikan pertanda gelanggang adat telah dibuka seterusnya alok-alok mempersilahkan suhut mengawali pembicaraan dengan menyampaikan jamita (pemberitahuan kepada semua peserta acara akan hal-hal yang terjadi sebelumnya), mulai manyapai boru sampai kepada mangalap boru dan haroan boru serta acara yang diadakan pada hari itu yaitu bermaksud melaksanakan horja godang. Landasannya kerbau atau anak ni manuk na langka-langka indalu, pahan-pahanan ni raja na martua, na manjampal di padang na bolak.


(41)

Suhut juga memohon agar kedua pengantin mendapat restu dari raja-raja adat untuk membawa kedua pengantin ke tapian raya bangunan, memberi gelar, mangupa serta memberi nasehat perkawinan (ajar poda). Selanjutnya namora natoras menguatkan permohonan suhut itu dan menegaskan bahwa sepanjang pengetahuannya syarat-syarat adat telah dipenuhi.

Setelah itu raja-raja adat menyambut dengan berbagai pendapat, saran maupun kritikan. Dan akhirnya raja panusunan mengambil keputusan bahwa semua permohonan suhut dapat dilaksanakan. Setelah itu gong dibunyikan kembali menandakan acara sidang sudah selesai.

Tanda dalam tahapan ini adalah:

- Gong yang dibunyikan melambangkan gelanggang adat telah dibuka

- Sipulut , maknanya sama dengan pulut pada tahapan sebelumnya.


(42)

Membawa pengantin ke tapian raya bangunan maksudnya adalah membawa mereka ke sungai untuk menghanyutkan masa lajang dan masa gadis kedua mempelai. Setelah selesai acara markobar adat, sebelum pengantin diupah-upah dan diberi gelar, pengantin dibawa marudur (arak-arakan) menuju tapian raya bangunan untuk melakukan acara marpangir. Pengantin diarak ke tapian raya bangunan yang artinya membawa pengantin ke tepian mandi ( tapian

rarangan). Mandi dan marpangir secara simbolis tujuannya untuk

menghanyutkan habujingan (masa gadis) dan haposoan (masa anak muda).

Pangir disediakan untuk pelaksanaan upacara ke tapian raya bangunan. Bahan yang diperlukan untuk mandi tersebut adalah pangir yang disediakan di dalam satu tempat, yang terdiri dari : jeruk purut yang sudah dipotong-potong dan air secukupnya.

Pangir ini akan dipercik-percikkan kepada pengantin yang artinya mandi berlangir secara simbolis. Pangir tersebut dibawa oleh seorang ibu (anak boru atau abak boru ni anak boru). Diletakkan di atas pahar yang sudah dialasi dengan abit tonun patani. Diatas tonun patani itu diletakkan wadah yang sudah berisi pangir dan alat pamispis (alat memercikkan pangir) kepada tangan penganten.

Disamping bahan pangir yang harus dibawa ke tapian raya bangunan juga dibawa bambu dengan panjang kurang lebih tiga puluh sentimeter, dibawah bagian bambu tersebut tidak berlubang yang gunanya untuk menampung tujuh buah batu kerikil untuk dimasukkan satu persatu oleh pengantin wanita.

Sepulangnya dari tapian raya bangunan sebelum masuk rumah, di tangga rumah itu diharuskan menginjak palappak ni pisang (pelepah batang


(43)

pisang) yang disiapkan oleh kedua orang tua dengan perlengkapan sebagai berikut:

1. Padang togu anso togu parsitiopan

2. Dingin-dingin

3. Palappak ni pisang

Setelah pelepah batang pisang dan perlengkapannya diinjak dengan kaki kanan dan diikuti kaki kiri baru boleh masuk ke rumah tersebut. Setelah kedua mempelai memasuki rumah, maka markobar dilaksanakan untuk memberikan gelar adat kepada bayo pangoli (mempelai laki-laki).

Tanda yang terdapat dalam tahapan ini adalah :

Pangir

- Pangir merupakan simbol berakhirnya masa lajang dari kedua


(44)

Daun dingin-dingin

- Daun dingin-dingin artinya memberikan kesejukan dan kedamaian

yang diharapkan dalam kehidupan berumah tangga.

- Padang togu merupakan alat pengikat yang mengartikan agar tidak

terjadi perpisahan atau perceraian dalam kehidupan kedua mempelai.

- Abit tonun patani, maknanya sama dengan pada tahapan sebelumnya.


(45)

- Palappak ni pisang (Pelepah batang pisang) artinya memberikan kesejukan dan kedamaian. Karena benda panas apapun diletakkan diatas pelepah pisang akan dingin. Begitu juga kepada kedua mempelai diharapkan membawa kesejukan di rumah keluarga mempelai laki-laki yang mereka masuki.

b. Mangalehen gorar (menabalkan gelar adat)

Ketika kedua pengantin sudah siap melaksanakan upacara adat di tapian raya bangunan, maka dilanjutkan dengan acara adat mangalehen gorar.Mangalehen gorar adalah menabalkan gelar adat kepada mempelai laki-laki yang dilaksanakan melalui markobar. Para raja-raja dan semua yang hadir didalam markobar merundingkan untuk menentukan gelar yang akan diberikan kepada mempelai laki-laki. setelah gelar sudah didapatkan, maka bayo pangoli (mempelai laki-laki) dipanggil untuk segera datang ke pantar bolak paradaton.

c. Mangupa

Upacara mangupa atau upa-upa merupakan salah satu upacara adat yang berasal dari Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi ke badan dan memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa agar selalu selamat, sehat, dan murah rezeki dalam kehidupan. Mangupa juga diartikan sebagai ungkapan kegembiraan, karena sesuatu yang diharapkan itu sudah terwujud.

Pelaksanaan mangupa setelah mangalehen gorar (menabalkan nama) juga dimaksudkan agar nama yang diberikan tersebut diterima tondi dohot badan kedua pengantin. Tondi merupakan sesuatu yang abstrak dalam jiwa seseorang


(46)

yang memberi kekuatan tuah dan marwah kepada seseorang. Pada acara mangupa disebut horas tondi madingin, pir tondi matogu artinya selamat tondinya dan selalu sejuk hatinya. Dan jika tambah ketat tondi tersebut di badan maka akan melekat dengan kuat.

Menurut L.P. Hasibuan (1989:25) bahwa dalam pandangan adat, manusia seutuhnya terdiri dari tiga unsur, yaitu : badan, jiwa (roh), tondi. Badan adalah jasad yang kasar, terlihat dari teraba. Jiwa (roh) adalah benda abstrak yang menggerakkan badan. Tondi adalah benda abstrak yang mengisi dan menuntun badan kasar dan jiwa dengan tuah sehingga seseorang kelihatan berwibawa atau mempunyai marwah.

Adapun macam-macam tingkatan menurut Pandapotan Nasution (2005 : 174-181) pangupa yaitu :

a. Telur ayam (pira manuk). Pangupa yang paling sederhana yang terdiri dari telur ayam beserta nasi, garam, udang, ikan, sayur daun ubi, dan air putih untuk diminum. Dan yang hadir adalah biasanya hanya yang satu rumah, kalaupun ada orang luar adalah orang yang membawa upa-upa.

b. Ayam (manuk). Ayam yang akan disajikan dipanggang yang masih utuh tanpa dipotong-potong. Tiga butir telur ayam yang direbus, ikan garing (anak ikan mera), nasi putih dan garam, yang hadir adalah anggota keluarga dan anggota kerabat lainnya.

c. Hambeng (kambing). Acara ini dilakukan dengan cara yang benar-benar

resmi. Adapun bagian-bagian tubuh kambing yaitu kepala kambing, kaki depan kanan, kaki kiri belakang, ekor, sedikit dagingnya, hati, jantung serta


(47)

isi perut. Yang hadir adalah tentunya lebih lengkap ditambah dengan namora natoras dan raja pamusuk.

d. Horbo (kerbau). Merupakan pangupa yang paling tinggi dan biasanya

pangupa yang dilakukan pada acara yang diadakan oleh raja-raja dan keturunannya.

Bahan-bahan yang disediakan untuk pangupa horbo yaitu : nasi putih, telur ayam, garam, air putih, ikan, udang, daun ubi, kepala kerbau.

Mangupa adalah acara puncak dari segala acara upacara perkawinan. Apabila mangupa sudah selesai dilaksanakan, maka seluruh rangkaian upacara perkawinan menurut adat juga selesai. Jika masih ada acara-acara setelah acara mangupa itu merupakan pelengkap. Tanda yang terdapat dalam tahapan ini adalah sebagai berikut:


(48)

a. Indahan (Nasi putih) melambangkan keikhlasan, perencanaan, dan kerja keras. Karena untuk sampai di atas piring, nasi memerlukan proses yang panjang dan kerja keras. Dimulai dari bulan yang baik untuk menabur bibit dan turun ke sawah, mencangkul, menuai padi, menyimpan dalam lumbung sampai menumbuk dan menanak nasi.

b. Piramanuk (telur ayam) yang melambangkan kebulatan persatuan antara

tondi (jiwa) dan badan. Permohonan supaya jiwa dan raga bersatu padu seperti bagian putih dan kuning dari telur, bulat dan bersatu, kiasan keselamatan dan kesehatan. Kuning telur juga dilambangkan sebagai emas, dalam adat disebut istilah tarjomak sere artinya mendapat rezeki yang banyak.

Sira

d. sira (Garam) maknanya memberikan kekuatan. Maksudnya seperti kekuatan


(49)

Air putih

e. Air putih melambangkan keikhlasan karena dalam mengerjakan sesuatu haruslah dengan ikhlas dan bersih seperti air yang berwarna putih.

f. Ikan melambangkan seia sekata. Seperti sifat ikan yang sama-sama ke hulu dan sama-sama ke hilir. Kedua mempelai hendaknya bisa seperti sifat ikan tersebut.

g. Udang, maknanya sama dengan udang pada tahapan sebelumnya. h. Daun ubi, maknanya sama dengan daun ubi pada tahapan sebelumnya.


(50)

i. Ulu ni horbo merupakan simbol dari kebesaran hatiterhadap kedua mempelai. Karena keluarga pihak laki-laki sudah memberikan upa-upa yang paling besar kepada kedua mempelai.

Sesuai teori yang dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure, maka terlihat penanda dan petanda sebagai berikut:

1. Dalam tahap patobang hata

- Tuhor (mas kawin) dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda,

keseriusan pihak laki-laki merupakan petanda dari tuhor.

2. Dalam tahap manulak sere

- Indahan tungkus dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda,

kebesaran hati merupakan petanda

- Parkayan dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda, pengobat

hati pihak keluarga perempuan petanda.

- Abit tonun patani dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda,

kewibawaan merupakan petanda

- Indahan nagorsing dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda,

kemakmuran merupakan petanda.

- Horis dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda, hidup mati

mempelai perempuan merupakan petanda

- Sipulut dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda, semua yang

dibicarakan dalam tahap manulak sere akan melekat dan menyatu merupakan petanda.


(51)

- Bulung ujung dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda, berpendirian tetap merupakan petanda.

3. Tahap mangalehen mangan pamunan

- Piramanuk dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda, kebulatan

persatuan antara tondi (jiwa) dan badan merupakan petanda.

- udang dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda, strategi kehidupan merupakan petanda.

- Gulaen (ikan) dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda,

persatuan dan selalu mencari rezeki yang baik merupakan petanda.

- Silalat (daun ubi) dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda,

umur panjang dan sesuatu yang bermanfaat merupakan petanda

4. Horja pabuat boru

- Sipulut dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda, semua

yang dibicarakan dalam tahap manulak sere akan melekat dan menyatu merupakan petanda.

- Gordang sambilan dalam upacara adat perkawinan merupakan

penanda, pemberitahuan kepada masyarakat bahwa sedang berlangsungnya acara adat merupakan petanda.

- Burangir atau sirih dalam upacara adat perkawinan merupakan

penanda, pembuka pembicaraan dalam acara adat merupakan petanda.

- Abit tonun patani dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda,


(52)

- Horis dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda, keinginan yang harus dikabulkan merupakan petanda.

5. Horja Haroan Boru

- Pago-pago dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda,

adanya pesta dan kedua mempelai memakai adat sepanjang masa merupakan petanda.

6. Mata Ni Horja

- Gong dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda,

Gelanggang adat yang telah dibuka merupakan petanda.

- Sipulut dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda, semua

yang dibicarakan dalam tahap manulak sere akan melekat dan menyatu merupakan petanda.

- Pangir dalam upacara adat perkawinan merupakan penanda,

berakhirnya masa lajang dari kedua mempelai merupakan petanda.

- Daun dingin-dingin dalam upacara marpangir merupakan

penanda, memberikan kesejukan dan kedamaian yang diharapkan dalam kehidupan berumah tanggamerupakan petanda.

- Padang togu dalam upacara marpangir merupakan penanda, alat

pengikat agar tidak terjadi perpisahan atau perceraian dalam kehidupan kedua mempelai merupakan petanda.

- Abit tonun patani dalam upacara adat merupakan penanda, hasil

karya kultural masyarakat Mandailing dan kewibawaan merupakan petanda.


(53)

- Palappak ni pisang dalam upacara adat merupakan penanda, memberikan kesejukan dan kedamaian merupakan petanda.

- Indahan dalam upacara adat merupakan penanda, keikhlasan dan

kerja keras merupakan petanda.

- Piramanuk dalam upacara mangupa merupakan penanda, kebulatan

persatuan antara jiwa dan badan merupakan petanda.

- Sira dalam upacara mangupa merupakan penanda, memberikan

kekuatan kepada kedua mempelai merupakan petanda.

- Air putih dalam upacara mangupa merupakan penanda, keikhlasan

dalam mengerjakan sesuatu merupakan petanda.

- Ulu ni horbo dalam upacara mangupa merupakan penanda,

kebesaran hati terhadap kedua mempelai dalam melaksanakan adat sepanjang masa merupakan petanda.


(54)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN

Dari rangkaian pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : Tahapan upacara adat perkawinan yang ada dalam masyarakat Mandailing Kabupaten Padang Lawas mempunyai berbagai aneka ragam yang dimulai dari sebelum upacara pernikahan (manyapai boru, mangaririt boru, padamos hata, patobang hata, manulak sere, mangalehen mangan pamunan), upacara pernikahan sampai sesudah pelaksanaan upacara pernikahan (horja pabuat boru, horja haroan boru, mata ni horja).

Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian tentang tanda di dalam upacara adat perkawinan masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian lapangan menunjukkan tanda-tanda. Yaitu, tuhor maknanya sebagai keseriusan pihak laki-laki terhadap anak gadis pihak perempuan, indahan tungkus maknanya kebesaran hati, parkayan maknanya sebagai pengobat hati pihak keluarga perempuan, abit tonun patani maknanya menunjukkan kewibawaan , indahan nagorsing maknanya sebagai kemakmuran, horisnggung maknanya sebagai tanda hidup dan mati mempelai perempuan sudah tangggung jawab mempelai laki-laki, sipulut maknanya sebagai pelekat pembicara, bulung ujung maknanya berpendirian tetap, piramanuk maknanya sebagai kebulatan persatuan antara jiwa dengan badan, burangir maknanya sebagai tanda pembuka pembicaraan dalam acara adat, silalat maknanya sebagai harapan umur panjang dan sesuatu yang bermanfaat, udang maknanya sebagai tanda strategi kehidupan, gordang sambilan maknanya sebagai tanda


(55)

pemberitahuan kepada masyrakat bahwa acara adat sedang berlangsung, pago-pago maknanya sebagai tanda adanya pesta yang diselenggarakan dengan adat sepanjang masa, gong merupakan petanda gelanggang adat telah dibuka, pangir maknanya sebagai tanda berakhirnya masa lajang, daun dingin-dingin maknanya memberikan kesejukan dan kedamaian, padang togu maknanya sebagai tanda pengikat agar tidak terjadi perceraian, palappak ni pisang maknanya memberikan kesejukan dan kedamaian, indahan maknanya keikhlasan dan kerja keras, sira maknanya memberikan kekuatan, air putih maknanya keikhlasan dalam mengerjakan sesuatu, ulu ni horbo maknanya sebagai kebesaran hati terhadap kedua mempelai.


(56)

B. SARAN

Dari penelitian yang telah dilakukan penulis mempunyai beberapa harapan bagi pengembangan yang lebih baik, berupa saran-saran sebagai berikut : a. Bagi pemerintah Kabupaten Padang Lawas diharapkan peran sertanya dalam

membina dan menjaga kelestarian budaya lokal. Karena budaya local merupakan asset bangsa yang harus diperhatikan serta kelestarian keberadaannya, sebagai ciri bangsa yang berbudaya dan beradab.

b. Padang Lawas memiliki beberapa tradisi budaya warisan leluhurnya yang cukup menarik dan belum pernah diteliti secara mendalam. Kepada para peminat diharapkan agar benar-benar mempersiapkan diri dengan penguasaan metodologis, disamping bekal pengetahuan tentang objek yang akan diteliti sebelum terjun kelapangan.

c. Semoga hasil penelitian mengenai upacara adat perkawinan masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas dapat dijadikan referensi dan khazanah ilmu pada umumnya. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat. Amin.


(57)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan 2.1.1 Semiotik

Secara etimologi semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu Semion yang berarti tanda. Jika dilihat dari kata asalnya maka semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Ilmu ini menganggap bahwa masyarakat dan kebudayaan adalah tanda yang mempunyai arti.

Pokok perhatian semiotik adalah tanda. Tanda itu sendiri diartikan sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama tanda harus diamati, dalam arti tanda itu harus bisa ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa menggantikan, mewakili, dan menyajikan.

Semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda yang ada dalam kehidupan masyarakat. Semiotik memiliki dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu sendiri.

Haliday (1992:16) mengatakan “semiotik mulanya muncul dari konsep tanda yang berhubungan dengan istilah semion (penanda) dan semianomenon (penanda) yang digunakan dalam ilmu Yunani kuno”.

Sudjiman (1978:3) mengatakan “semiotik mulanya dari konsep tanda, istilah tersebut berasal dari bahasa Yunani semion yang berarti tanda-tanda


(58)

terdapat di mana-mana, kata adalah tanda, demikian juga gerak, isyarat, bendera, dan sebagainya”.

Saussure (1974-17) mengatakan bahwa tanda memiliki tiga aspek yaitu : 1. Aspek itu sendiri

2. Aspek material dan tanda itu, aspek material ini dapat berupa bunyi, tautan huruf menjadi kata, gambar warna dan atribut-atribut lainnya ini disebut dengan signifier

3. Konsep, konsep ini sangat berperan dalam mengkontruksikan makna suatu denotatum atau objek yang disebut dengan signified.

Tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Sesuatu itu dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Yang dapat menjadi tanda bukan hanya bahasa, melainkan berbagai hal yang dapat melingkupi kehidupan di sekitar kita. Tanda dapat berupa bentuk tulisan, karya seni, sastra, lukisan dan patung.

Dari beberapa pendapat di atas yang menjelaskan tentang pengertian semiotik penulis mengambil kesimpulan bahwa semiotik adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda dan mengkaji tentang makna yang terkandung dalam sebuah tanda di mana tanda-tanda ini dianggap sebagai fenomena sosial dan hubungan antara masyarakat dan kebudayaan.

Semiotik juga mempelajari tentang sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti. Tanda sangat berperan dalam kehidupan manusia di mana setiap manusia menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang untuk berintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat dan merepresentasikan kehidupannya dengan kebudayaannya dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.2 Sekilas Upacara Adat Perkawinan Mandailing

Pada garis besarnya, perkawinan menurut masyarakat Mandailing dapat dilakukan dengan dua cara, yakni:


(59)

a. Sepengetahuan keluarga yang disebut dengan istilah dipabuat

b. Perkawinan tanpa persetujuan orangtua yang disebut dengan marlojong

a. Sepengetahuan Keluarga (dipabuat)

Dalam adat-istiadat perkawinan pada masyarakat Mandailing istilah dipabuat, yaitu perkawinan yang dilaksanakan dengan mendapat persetujuan dari kedua belah pihak. perkawinan ini juga sering disebut dengan istilah perkawinan manjujur yang dilaksanakan dengan melalui semua tahapan yang ada dalam adat perkawinan masyarakat Madailing.

Jujur maksudnya untuk menjaga keseimbangan dari pihak keluarga wanita atas hilangnya seorang anggota keluarganya yang masuk menjadi anggota keluarga suami. Pada dasarnya benda yang akan diberikan sebagai jujur adalah berupa Sere atau mas kawin dan istilah menyerahkan uang jujur itu disebut manulak sere yang berarti untuk masa sekarang sebagai bantuan untuk melengkapi keperluan pihak gadis untuk barang bawaannya ataupun untuk tambahan biaya pesta. Dalam proses manulak sere maka pihak laki-laki membawa batang boban yang telah disepakati sebelumnya kerumah pihak perempuan.

Perkawinan pada masyarakat Mandailing bersifat eksogami patriarchat yang artinya dimana setelah perkawinan pihak wanita meninggalkan keluarganya dan masuk ke dalam keluarga suaminya dan suaminya menjadi kepala keluarga dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu akan mengikuti marga bapaknya. Idealnya perkawinan adat masyarakat Mandailing adalah antara anak namboru dengan boru tulangnya.


(60)

Istilah “kawin lari” dalam masyarakat Mandailing disebut dengan marlojong. Berdasarkan etimologinya, kata marlojong berasal dari awalan mar yang berarti ‘ber’ lalu melekat pada kata lojong yang berarti ‘lari’. Jadi, kata marlojong berarti ‘berlari’. Kemudian kata marlojong berkembang artinya menjadi ‘kawin lari’. Menurut masyarakat Mandailing, marlojong ‘kawin lari’ ini merupakan satu perkawinan yang dapat diterima dalam adat-istiadat. Perkawinan marlojong ini dilaksanakan tanpa sepengetahuan/persetujuan orang tua perempuan.

Ada juga yang menyebut marlojong ini dengan dua istilah lain yaitu mambaen rohana dan marlojong takko-takko mata. Istilah mambaen rohana terdiri atas dua kata. Pertama, kata mambaen yang berasal dari kata baen yang berarti ‘buat’ dengan mendapat awalan mam yang berarti ‘ber’. Kedua, kata rohana pula yang berasal dari kata roha yang berarti ‘hati’ dan akhiran na yang berarti ‘–nya’. Jadi, ungkapan mambaen rohana berarti ‘berbuat hatinya’ yang mengandung pengertian ‘menurutkan kata hatinya’. Istilah marlojong takko-takko mata pula berasal dari kata marlojong ‘berlari’, takko-takko yang berarti ‘curi-curi’ dan mata yang juga berarti ‘mata’. Sehingga istilah marlojong takko-takko mata ini berarti ‘berlari curi-curi mata’. Kemudian dalam perkembangannya, arti istilah marlojong takko-takko mata ini berubah menjadi ‘mencuri, tetapi dilihat/diketahui’.

Maksudnya, marlojong ‘kawin lari’ seperti ini disetujui sebagian keluarga dan sebagian lagi kurang menyetujuinya. Perbuatan marlojong ‘kawin lari’ ini dilakukan oleh seorang pemuda, yang disebut dengan bayo, dengan membawa seorang anak gadis, yang disebut dengan boru, ke rumah orang tua/famili pihak


(61)

laki-laki tanpa diketahui oleh orang tua perempuan. Secara umum, orang tua pihak perempuan kurang menyetujui perkawinan seperti ini karena adanya perbedaan status sosial. Namun marlojong ‘kawin lari’ ini dapat juga terjadi karena melangkahi kakak yang belum kawin yang bertentangan dengan adat istiadat.

Kalau seorang anak gadis marlojong dengan seorang pemuda, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:

(1) Memberi tanda abit partading atau abit partinggal ‘kain pertinggal’. Peralatan yang dipakai adalah kain sarung bermotif kotak-kotak, berwarna hitam, dan di bawah tempat tidur. Tanda ini disebut juga dengan na balun di amak ‘yang bergulung di tikar’.

(2) Membuat tanda patobang roha ‘menuakan hati’. Caranya, si anak gadis menulis surat kepada kedua orang tuanya yang menyatakan bahwa dia benar telah berangkat untuk berkeluarga dengan menyebutkan nama si laki-laki dan alamat yang ditujunya.

(3) Meninggalkan tanda pandok-dok ‘pemberitahuan’. Tanda ini berupa uang, kain sarung, dan surat.yang bersatu secara utuh serta diletakkan di kamar tidur si gadis. Kata dok berarti ‘kata’. Jadi, pandok-dok mempunyai arti ‘berkata-kata; pemberitahuan’.

Barang-barang tersebut di atas sebagai tanda untuk memberitahukan orang tua bahwa si gadis sudah pergi marlojong ‘kawin lari’. Orang tua si gadis dengan melihat tanda yang ada di kamar tidur, telah mengetahui bahwa anak gadisnya pergi mambaen rohana ‘menurutkan kata hatinya’. Lalu ketika mau marlojong itu, si anak gadis harus bersiap-siap membawa teman. Fungsi temannya ini adalah


(62)

sebagai pengawal yang disebut dengan pandongani ‘penemani; orang yang menjadi teman si anak gadis ketika marlojong’.

Perkawinan marlojong ini sebenarnya merupakan perkawinan yang kurang disukai masyarakat Mandailing. Namun sebab keadaan yang memaksa dan tidak bisa terhindarkan, perkawinan marlojong ini pun banyak pula sekarang dipergunakan oleh muda-mudi di Padang Lawas.

Jadi, marlojong ‘kawin lari’ ini sebenarnya merupakan jalan pintas terakhir yang dilakukan seorang pemuda karena adanya hambatan serta rintangan yang terjadi, terutama karena kekurangsetujuan dari pihak orang tua dan keluarga si anak gadis terhadap si pemuda tersebut.

2.2 Teori yang Digunakan

Teori berasal dari bahasa Yunani theoria yang berarti kebetulan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian. Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberi jawaban terhadap masalah yang digarap, dengan landasan teori ini maka segala masalah yang timbul dalam skripsi ini akan terjawab. Teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teori semiotik yang dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure.

Saussure (Sobur, 2003:12) mengatakan semiotik merupakan sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda ditengah masyarakat. Sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material (penanda) dan


(63)

konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya.

Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian yaitu penanda (signifier), Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud benda, sedangkan petanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi atau nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adat tersebut. Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar yang disebut signified atau petanda.

Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi: penanda atau petanda: signifier atau signified. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa tanda bahasa yang konkrit, kedua unsur diatas tidak boleh dilepaskan. Suatu penanda tanpa petanda tidak berarti apa-apa dan karena tidak merupakan tanda. Sebaliknya suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda, petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda itu sendiri, dengan demikian merupakan faktor linguistik. Penanda atau petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi pada sehelai kertas, Saussure (Sobur, 2003:46). Meskipun antara penanda atau petanda tampak sebagai identitas yang terpisah-pisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen tanda.

Indaham tungkus (dalam upacara adat perkawinan)

Kebesaran hati (petanda)


(64)

Teori yang dikemukakan oleh Saussure sesuai dengan objek penelitian yang penulis teliti. Tanda yang dimaksud oleh Saussure merupakan indahan tungkus yang digunakan dalam upacara adat perkawinan, sedangkan kebesaran hati merupakan petanda dari indahan tungkus. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori semiotik yang dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure untuk menganalis tanda dan makna dalam upacara adat perkawinan pada masyarakat Mandailing.


(65)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Hal ini oleh dilambangkan oleh bangsa Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi merupakan satu kesatuan yaitu bangsa Indonesia. Perbedaan kebudayaan itu dipengaruhi oleh letak geografis dan aturan yang berlaku dalam daerah tempat tinggal setiap suku itu. Salah satu suku tersebut adalah suku Mandailing. Suku mandailing secara umum mendiami beberapa wilayah di Provinsi Sumatera Utara, seperti Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Kota Padang Sidempuan, Padang Lawas, dan Padang Lawas Utara.

Koentjaraningrat (2002:4) mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan millik diri manusia dengan belajar. Dan membagi kebudayaan atas tujuh unsur yaitu: sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan bahasa dan kesenian.

Goodenough (dalam Kalangie, 1994:7) juga mengemukakan bahwa “kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia yang diturunkan secara turun- temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya dan diterima oleh pewarisnya dalam menjalani kehidupan sehari-hari”.

Masyarakat Mandailing memiliki kebudayan berupa adat-istiadat yang perlu dilindungi dan dipertahankan. Masyarakat suku Mandailing masih sangat melestarikan kebudayaannya. Diantaranya adalah upacara adat perkawinan,


(66)

upacara adat kematian, tarian tortor, uning-uningan, dan permainan tradisional. Adat-istiadat ini merupakan aturan atau norma yang menjadi pedoman hidup bagi setiap individu dalam kehidupan di tengah masyarakat dan setiap individu tersebut terikat kepada norma atau aturan yang telah ditentukan sebelumnya.

Dalam hal ini adat-istiadat perkawinan sebagai suatu tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang dari generasi ke generasi, yaitu upacara yang dilakukan untuk membuat sebuah ikatan sosial dan ikatan kekeluargaan. Upacara adat perkawinan dalam masyarakat Mandailing merupakan serangkaian upacara yang memancarkan kebesaran suatu tatanan adat-istiadat dan kehidupan sosial masyarakat Mandailing secara turun-temurun. seiring perkembangan dan kemajuan zaman, makna dari adat-istiadat tersebut menjadi kabur dan tidak tertutup kemungkinan akan hilang. Menurut pengamatan penulis di lapangan, masyarakat Mandailing pada saat ini hanya melihat adat-istiadat itu sebagai formalitas saja tanpa memperhatikan asal-usul dan makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini yang membuat penulis tergerak untuk meneliti makna-makna yang terkandung pada upacara adat perkawinan masyarakat Mandailing agar kebudayaan tersebut dapat di inventarisasi dan tidak hilang seiring dengan perkembangan zaman, karena upacara adat perkawinan dalam masyarakat Mandailing tersebut menurut penulis mempunyai makna budaya yang harus dilestarikan.

Bagi masyarakat Mandailing, rangkaian upacara perkawinan merupakan gambaran dari kehidupan sehari-hari. Pada upacara tersebut akan diketahui sistem kekerabatan antara yang satu dengan yang lainnya yang diatur melalui Dalihan Na Tolu. Misalnya, apa tutur atau sistem kekerabatan yang diucapkan kepada


(1)

5.1 Kesimpulan ... 68 5.2 Saran ... 69 DAFTAR PUSTAKA ... 70 LAMPIRAN :

DAFTAR INFORMAN ... SURAT IZIN PENELITIAN ... SURAT KETERANGAN PENELITIAN ...


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Adapun judul skripsi ini adalah Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Mandailing di Padang Lawas : Kajian Semiotik.

Agar dapat memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh tentang isi skripsi ini, penulis akan memaparkan rincian sistematika penulisan sebagai berikut. Skripsi ini terdiri atas lima bab, yaitu : bab I merupakan pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan etnografi masyarakat Mandailing di Kabupaten Padang Lawas.

Bab II merupakan tinjauan pustaka yang mencakup kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan.

Bab III merupakan metode penelitian yang mencakup metode dasar, lokasi penelitian, sumber data, instrumen penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

Bab IV merupakan hasil dan pembahasan yang mencakup tahapan upacara adat perkawinan pada masyarakat Mandailing di Padang Lawas, jenis dan makna tanda pada upacara adat perkawinan masyarakat Mandailing di Padang Lawas.

Bab V merupakan penutup yang mencakup kesimpulan dan saran, kemudian diakhiri dengan daftar pustaka dan lampiran.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan maupun kelemahan yang ada dalam skripsi ini. Akhirnya dengan kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan proposal skripsi ini. Atas perhatian dan bantuannya, penulis ucapkan terima kasih.


(3)

Penulis,

Azwar Umri Pohan NIM : 090703010


(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan dan berkah untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan saran, dukungan, bimbingan, dan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang teristimewa kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis sayangi Ayahanda Awaluddin Pohan dan Ibunda Nur Hama Harahap, yang telah bersusah payah mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan juga tak henti-hentinya memberikan dukungan dan perhatian baik material dan spiritual selama penulis mengikuti perkuliahan hingga saat ini.

Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr.Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU,

Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, Pembantu Dekan III, serta seluruh staff dan pegawai di jajaran Fakultas Ilmu Budaya.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra Derah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, serta seluruh staff dan jajaran pegawai di Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan sekaligus menjadi pembimbing I penulis, yang selalu mendukung dan memberikan masukan-masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis


(5)

mengucapkan terima kasih karena telah sabar, semangat, dan mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Adik-adik penulis : Aswin Rofiki Pohan, Alwi Azhari Pohan, Ani Hotma Junairi Pohan, Ansor Sakrowi Pohan, Aulia Rahmi Pohan, dan Ainun Na’imi Pohan. Terima kasih buat dukungan, doa, dan semangat yang selalu diberikan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seseorang yang penulis sayangi dan cintai Suci Praningtiastuti yang selalu mendengarkan keluh kesah penulis dalam penyusunan skripsi ini dan selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan studi penulis.

5. Masyarakat Desa Hutanopan dan Kepala Desa yang telah memberikan respon yang baik kepada penulis dalam pengumpulan data di lapangan hingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Teman-teman mahasiswa/I seperjuangan: Joshua, Hotmida, Japatar, Rayking, Dewi, Fitri, Umay, dan seluruh anak IMSAD yang belum penulis sebutkan, terima kasih penulis ucapkan atas bantuan dan dorongan serta doa yang diberikan kepada penulis.

7. Kepada Sahabat-sahabat terbaikku di DKD Sumatera Utara yang selalu memberikan dukungan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini dan menghibur penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan pada kesempatan ini, yang telah membantu penulisan dan proses studi. Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis. Penulis menyadari akan keterbatasan penulis, maka hasil penelitian ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan, untuk itu


(6)

koreksi dan masukan dari berbagai pihak diharapkan penulis guna penyempurnaannya. Semoga tulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, Oktober 2014 Penulis,

Azwar Umri Pohan NIM : 090703010