Tata Cara dan Adat Perkawinan Pada Masyarakat Etnis Angkola (di Luat Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara)
DAFTAR PUSTAKA
Agusyanto,Ruddy. Jaringa Sosial Dalam Organisasi.Jakarta.Raja Grafindo Parsada.
Bauni G.Siregar.Persiapan Horja Godang Tanda-Tanda Di Alaman.Padang Sidimpuan
Bauni.G.Siregar.Surat Tumbaga Holing.Padang Sidimpuan.
Berutu, Tandak dan Lister Berutu.Adat dan tata cara perkawinan masyarakat Pakpak.kerja sama yayasan Cimatama dengan Penerbit Monora
Elvian, Drs Achmad.Organisasi Sosial Suku Bangsa Melayu Bangka. Jakarta. Direktorat Tradisi, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Fischer, Dr.TH.Pengantar Anthropologi kebudayaan indonesia. Pustaka sarjana.
J,Van Baal.Sejarah Pertumbuhan Teori Antrpologi Budaya (hingga dekade 1970). Koentjaraningrat.Sejarah teori antropologi I. jakarta . UI. Press. 1979 Jakarta. Gramedia.1987
Lubis.Z.Pangaduan dan Zulkifli B.Lubis.Sipirok Na Soli Bianglala Kebudayaan Masyarakat Sipirok.USU Press.Medan
Koentjaraningrat, 1980.Sejarah Teori Antropologi I.jakarta.UI-Press
P.Hasibuan,Ir L.Pangupa.BukuNenek Moyang Masyarakat Tapanuli Selatan Bersisi Falsafah Hidup.Mitraco.medan
Ritonga. Drs Parlaungan dan Drs Ridwan Azhar.SISTEM PARTUTURAN MASYARAKAT TAPANULI SELATAN. Yandira agung
Subagyo,P. Joko.Metode Penelitian dalam teori dan peneltian. Jakarta. Rineka Cipta.
(2)
Soemiyati.Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 1989)
Suwondo.Bambang.Adat dan upacara perkawinan daerah Sulawesi Tenggara.Proyek penelitian dan pencacatan daerah Sulawesi Tenggara.
Tinggi barani, Sutan.Seni budaya tradisional daerah tapanuli selatan. Medan.
Tongku Mukmin. Ketua Lembaga Adat dan Budaya Kecamatan Halongonan. Mitra.PerkasaAlam 2011
Sumber Internet
www.kemenag.go.id/file/dokumen/uuperkawinan.pdf margasiregar.wordpress.com/budaya/
http://www.uky.edu/classes/FAM/357/fam544/ethnicidentity.htm). Sri Mawarni28.blogspot.com
http://harsahacomp.blogspot.co.id/p/media.html?m=1 Digilib.unimed.ac.id>public
Repository.maranantha.edu>9130032_ch
http://harsahacomp.blogspot.co.id/p/media.html?m=1 Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Padang Lawas Utara
Mauss, Marcel.2001.A General Theory of Magic.Translated by Robert Brain.London and New York.Roudledge
Collins, Randall, 1994.Four Sociological Tradition.New York.Oxford Universiti Press
Pot.co.id/2013/03/batak-Angkola-english-version.html?m=1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Berkas:Lokasi_kabupaten_Paluta_(Peta_Kecamat an).svg
(3)
https://batakculture.wordpress.com/2012/04/05/marmoncak-ilmu-bela-diri-dari-tanah-batak/
(4)
BAB III
TAHAPAN ADAT PERKAWINAN
3.1 Tata Cara Perkawinan
Dalam adat Orang Angkola tata cara perkawinan ada tiga macam, yaitu
3.1.1 Dipabuat (Perjodohan)
Dipabuat (perjodohan) adalah ikatan pernikahan yang mendapat persetujuan
dari orang tua dan keluarga kedua belah pihak, baik pihak calon pengantin perempuan maupun calon pengantin laki-laki. Prosesi perkawinan dengan cara ini bisanya didahului dengan manyapai boru, martahi, makkobar adat, kemudian
akad nikah dan martulak barang. Umumnya cara perkawinan seperti ini biayanya
relatif lebih mahal. Perjodohan berbeda dalam sifat dan lama waktu dalam tahap perkenalan pertama dan pertunangan. Dalam sebuah perjodohan yang hanya
“sebatas perkenalan” atau juga disebut pernikahan semi-perjodohan atau pernikahan yang dibantu. Saat itu, terserah kepada kedua individu yang terlibat untuk mengembangkan hubungan dan membuat pilihan akhir. Tidak ada jangka waktu yang ditetapkan.
Pada Masyarakat Orang Angkola dahulu kala mengenal sistem perjodohan, dimana anak-anak perempuannya akan dijodohkan dengan anak namboru. Dahulu jika seorang ingin manyapai boru, orang tua calon pengantin laki-laki akan membawa pihak Kahanggi, anak boru dan Pisang Raut untuk ikut rombongan ke rumah orang tua calon pengantin perempuan. Mereka akan meminta kepada orang
(5)
tua calon pengantin perempuan untuk menerima lamaran yang disampaikan. Apabila lamaran diterima, pihak calon pengantin perempuan akan memberikan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Pihak calon pengantin laki-laki akan meminta ijin pulang untuk melengkapi syarat-syarat yang diminta. Kemudian dibuatlah
Martahi (musyawarah) di rumahnya yang dihadiri oleh pihak Kahanggi, Anak boru, Pisang Raut dan juga Mora, untuk memberitahukan maksud dan tujuan,
serta memusyawarahkan bagaimana caranya untuk melengkapi syarat-syarat yang diminta oleh pihak calon pengantin perempuan yang biasanya berupa uang dan kain sarung (parbajuon). Setelah persyaratan tadi terpenuhi, pihak orang tua calon pengantin laki-laki yaitu Kahanggi, Anak boru, dan Pisang Raut, juga Mora dan
Hatobangon, berangkat kembali ke rumah orang tua calon pengantin perempuan
untuk melaksanakan Makkobar Boru. Makkobar Boru adalah suatu acara yang diselenggarakan oleh orangtua calon pengantin perempuan yang dihadiri oleh
Harajaon/Hatobangon, Kahanggi, Anak boru, Pisang Raut, umumnya semua
unsur yang ada di desa tersebut. Makkobar Boru inilah acara untuk mensyahkan perkawinan secara adat. Secara garis besar dalam acara Makkobar Boru ini, pihak calon pengantin laki-laki akan memberitahukan kepada Harajaon/Hatobangon, bahwa mereka sudah membuat acara martahi Luat, untuk menggalang dana, dan yang kami dapat dari martahi (musyawarah) tersebut hanya inilah yang dapat kami persembahkan. Kemudian Harajaon/Hatobangon akan memusyawarahkan dengan seluruh peserta Makkobar Boru apakah persembahan pihak calon pengantin laki-laki ini sudah dapat diterima atau tidak. Jika persyaratan tersebut memenuhi menurut mereka maka perkawinan tersebut dapat dilaksanakan, tetapi jika persyaratan tersebut masih kurang menurut mereka maka perkawinan tersebut
(6)
belum dapat dilaksanakan. Yang perlu diketahui bahwa kedua calon pengantin tersebut belum tentu saling kenal atau mungkin belum pernah bertemu sama sekali.
3.1.2 Marlojong atau Kawin Lari
Marlojong (kawin lari) merupakan suatu perkawinan yang diterima dalam
adat istiadat. Perkawinan marlojong (kawin lari) dilaksanakan tanpa sepengetahuan/persetujuan pihak keluarga perempuan. Kalau seorang anak gadis
marlojong (kawin lari) dengan seorang pemuda, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan yaitu :
Memberi tanda abit partadiang atau abit partinggal (kain pertinggal). Peralatan yang dipakai adalah kain sarung bermotif kotak-kotak, berwarna hitam dan dibawah tempat tidur. Tanda ini juga disebut dengan na balun di amak (yang bergulung di tikar).
Membuat tanda patobang roha (menuakan hati). Caranya si anak gadis menuliskan surat kepada kedua orang tuanya yang menyatakan bahwa dia benar telah berangkat untuk berkeluarga dengan menyebutkan nama si laki-laki dan alamat yang ditujunya.
Meninggalkan tanda pandok-dok (pemberitahuan). Tanda ini berupa uang, kain sarung dan surat yang bersatu secara utuh serta diletakkan di kamar tidur si gadis.
Barang-barang tersebut di atas sebagai tanda untuk memberitahukan orang tua bahwa si gadis sudah pergi kawin lari (marlojong). Orang tua si gadis dengan melihat tanda yang ada di kamar tidur, telah mengetahui bahwa anak gadisnya pergi mambaen rohana (menurutkan kata hatinya). Lalu ketika hendak marlojong
(7)
(kawin lari), harus bersiap-siap membawa teman. Fungsinya sebagai pengawal yang disebut dengan pandongani (penemani), orang yang menjadi teman si anak gadis ketika kawin lari (marlojong).
Alasan seseorang marlojong (kawin lari) adalah karena sebagian keluarga tidak setuju dengan dengan perkawinan tersebut. Perbuatan marlojong (kawin lari) dilakukan seorang bayo (pemuda) dengan membawa seorang anak gadis ke rumah orang tua/famili pihak laki-laki tanpa diketahui orang tua perempuan. Secara umum, orang tua perempuan kurang setuju dengan perkawinan tersebut karena adanya perbedaan status sosial. Marlojong (kawin lari) dapat juga terjadi karena melangkahi kakak yang belum kawin yang bertentangan dengan adat istiadat.
Pada zaman dahulu, boli ditentukan dari status sosial orang tua, semakin tinggi status sosialnya di masyarakat maka boli dari anaknya akan semakin mahal. Tetapi di zaman sekarang ini hal itu mulai hilang, dimana boli dari seorang perempuan ditentukan dari tingginya sekolah dan pekerjaannya. Bahkan sebagian masyarakat sudah membuat daftar boli walaupun sebenarnya jumlahnya relatif dan tidak tertulis, sebagai ilustrasi seperti daftar tabel di bawah ini :
(8)
No Pekerjaan Boli
1 Tamatan SMA 10 juta
2 Sarjana 30 juta
3 PNS 50 juta
4 Dokter 80 juta
Tabel 2 daftar boli
Sumber masyarakat Kecamatan Halongonan
3.1.3 Takko Mata
Takko Mata maksudnya keluarga calon pengantin perempuan tidak
melakukan acara paturunkon boru walaupun sebenarnya mereka setuju atas rencana dan pilihan jodoh anak perempuannya. Proses perkawinan sebenarnya serupa dengan adat marlojong. Cara ini dipilih hanya atas pertimbangan ekonomi. Karena biaya perkawinan secara adat marlojong relatif lebih ringan dibandingkan dengan acara dipabuat atau dipaturun.
3.2 Prosesi Adat di Rumah Calon Pengantin Perempuan
Dalam adat Angkola, prosesi adat perkawinan dimulai dari rumah calon pengantin perempuan. Status kedua pasangan tersebut masih sebatas calon suami isteri, belum ada ikatan yang sah baik secara agama dan adat.
3.2.1 Martahi
Martahi adalah musyawarah yang dilaksanakan oleh masyarakat untuk
mengambil suatu keputusan secara bersama-sama. Pada masyarakat Angkola sering terdengar ungkapan-ungkapan yang mengatakan adat adalah adik dari
(9)
ibadah “anggi ni ibadat do adat. Upacara perkawinan Orang Angkola dimulai dari musyawarah adat (makkobar/makkatai) yakni berbicara dalam tutur sapa yang sangat khusus dan unik, antara barisan yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu
dan Hatobangon. Begitu juga halnya dalam adat martahi yang dilaksanakan
dalam masyarakat Angkola, unsur-unsur tersebut juga ikut melaksanakan dan memberikan hobar (berkata) dalam adat martahi.
Martahi dalam adat Angkola terdiri dari beberapa jenis yaitu tahi
ungut-ungut, tahi sabagas, tahi godang parsahutaon, tahi godang mardomu haruaya mardomu bulung (maralok-alok) dan martahi karejo. Ini merupakan bentuk
martahi yang diadakan di horja haroan boru (pengantin laki-laki) sedangkan
martahi karejo adalah bentuk martahi yang dilaksanakan di horja pabuat boru
(pengantin boru).
Adapun jenis-jenis dari martahi adalah sebagai berikut :
1. Tahi ungut-ungut atau tahi ulu tot
Tahi ini disebut martahi ungut-ungut, pada tahap ini biasanya terjadi
musyawarah antara suami istri. Kemudian istrinya akan menceritakan tentang anak perempuan mereka. Tahi ini dilaksanakan antara suami istri di dalam rumah, mereka ingin menyampaikan kepada kahanggi dan anak boru bahwasanya anak perempuan mereka telah dilamar, oleh karena itu suami istri tersebut ingin meminta pendapat kepada
(10)
2. Tahi unung-unung sibahue atau unung-unung bodat
Pada tahap berikutnya Tahi dilakukan di rumah pada waktu siang hari yang dihadiri oleh orang tua, kahanggi dan anak boru untuk menceritakan bahwasanya anak mereka ingin menikah. Orang tua si anak menceritakan bahwa anaknya ingin menikah dan meminta pendapat kepada kahanggi, anak boru dan kerabat lain apakah mereka kenal dengan calon menantu tersebut dan kesimpulannya adalah anak
boru pergi untuk menyelidiki keluarga calon menantu tersebut. dalam
hal ini, anak boru akan menyampaikan bahwa kedua anak ini sudah menjalin hubungan yang baik dan memiliki niat yang baik untuk menikah. Disini anak boru akan menceritakan keadaan keluarga mereka agar calon mertua atau pihak laki-laki ini mengetahuinya juga. Setelah anak boru mendapat kesimpulan dari pihak keluarga tersebut maka anak boru ini pulang dan menyampaikan kepada keluarganya bahwasanya pihak dari laki-laki telah menerimanya.
3. Tahi sabagas atau tahi dalihan na tolu
Tahi ini dilaksanakan oleh mora, kahanggi dan anak borunya dari
pihak perempuan, tahi ini dilaksanakan di rumah anak dari perempuan, bahwasanya ingin menceritakan kepada mora, kahanggi dan anak boru bahwa telah diselidiki keadaan keluarga dari pihak laki-laki. Orang tua akan meminta pendapat kepada moranya bagaimana selanjutnya dari keinginan anak tersebut, kemudian dari salah satu pihak antara mora,
kahanggi dan anak boru akan menawarkan apa yang bisa dia kasih
(11)
ini, semua anggota keluarga akan bermusyawarah untuk mengadakan suatu adat yaitu marpege-pege yaitu musyawarah antara keluarga dan tetangga yang diadakan pada malam hari untuk membantu keluarga yang ingin mengadakan pesta, disini akan dikumpul biaya dari keluarga, kaum kerabat dan tetangga yang ada di kampung tersebut.
4. Tahi sahuta pasahat karejo
Tahi ini dihadiri oleh Hatobangon, harajaon dan Dalihan Na Tolu, di dalam tahi ini disediakan sirih untuk dipersembahkan kepada harajaon agar bisa terlaksanakan tahi ini, dan pada tahi sahuta pasahat karejo ini disediakan makanan karena kaum kerabat akan berkumpul dirumah pihak yang ingin melaksanakan pesta ini. Dalam hal ini, makanan yang disediakan oleh keluarga tersebut adalah bubur kacang ijo atau makanan ringan lainnya dan minumannya teh manis dan kopi. Dan biasanya tahi ini dilaksanakan setelah sholat isya.
3.2.2 Manyapai Boru
Pada tahap ini, pihak calon pengantin laki-laki datang ke rumah calon pengantin perempuan. Yang datang biasanya adalah Kahanggi dan Anak boru. Langkah pertama kedatangan mereka adalah membawa makanan berupa nasi dengan lauk pauknya yang merupakan tongosan (kiriman) dari orang tua calon pengantin laki-laki sebagai tanda rindu kepada pihak mora.
Sebelum acara makan tongosan (titipan) pihak yang datang menitipkan pesan agar selesai nanti makan semua pihak mora agar jangan dulu pulang ke rumahnya karena mereka masih ingin cerita-cerita untuk mengobati rindu kepada
(12)
3.2.3 Makkobar Boru
Makkobar boru adalah prosesi adat untuk sahnya sebuah perkawinan
menurut adat. Makkobar boru didahului dengan mambuat ama yaitu pihak anak
boru dari orang tua calon pengantin perempuan yang akan berperan untuk
mendampingi pihak yang datang atau pihak calon pengantin laki-laki untuk menghadapi harajao/hatobangon dalam makkobar boru.
Setelah burangir disurduhon kepada harajaon/hatobangon acara makkobar
boru dimulai. Yang pertama berbicara adalah pihak ama dari calon pengantin
laki-laki, dia akan berbicara tentang prosesi adat manyapai, adat yang sudah dilaksanakan bahwa orang tua calon pengantin perempuan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak harajaon/hatobangon.
Kemudian harajaon/hatobangon menyampaikan syarat pago-pago ni adat yang harus dipenuhi oleh pihak calon pengantin laki-laki. Pihak kahanggi dari calon pengantin perempuan menyampaikan beban berupa parsili pamatang berupa uang dan emas dan parbajuon berupa kain sarung yang biasanya dalam jumlah yang banyak, contohnya uang 500 juta, emas 500 gram dan parbajuon 500 buah. Pihak anak boru dari pengantin perempuan akan meminta upa parorot dalam bentuk uang. Dari pihak mora dari pengantin perempuan membebani upa tulang berupa seekor kerbau setulang setanduk, uang dan emas. Dan
harajaon/hatobangon membebani adat huta yang juga berupa uang, semuanya
(13)
Kemudian rombongan yang datang menerima semua persyaratan tersebut dan menyatakan meminta waktu untuk memenuhi seluruh persyaratan. Kemudian
burangir disurduhon kembali dan makkobar boru dilanjutkan kembali.
Pada kesempatan ini pihak dari pengantin laki-laki meminta untuk meminjam senjata kepada harajaon. Setelah harajaon memberikan kemudian senjata itu diserahkan kepada harajaon dengan posisi gagangnya ke arah harajaon dan mata senjatanya menghadap yang datang, maksudnya sebagai tanda menyerah atau tunduk sambil menyerahkan persyaratan-persyaratan yang dapat dipenuhi misalnya parsili pamatang uang 20 juta dan parbajuon 50 buah dan pago-pago
adat yang lain tidak ada yang cukup dan menyatakan bahwa sejumlah inilah yang
dapat dipenuhi sementara ini dan kekurangannya dapat ditambah di kemudian hari. Biasanya seluruh peserta makkobar boru dari calon pengantin perempuan menyatakan tidak terima dengan sedikitnya jumlah yang diserahkan tetapi keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada Panusunan Bulung. Apabila
Panusunan Bulung menerima maka kami semua juga menerima.
Pada akhirnya harajaon/hatobangon melalui Panusunan Bulung
menyatakan bahwa „unduk-unduk di toru bulu halak na tunduk inda tola dibunu‟
artinya orang yang sudah menyerah tidak boleh lagi dihukum dan persembahanpun diterima. Selesailah makkobar boru dan sahlah perkawinan menurut adat.
3.2.4 Akad Nikah
Akad nikah adalah ijab daripada pihak wali perempuan atau wakilnya dan qabul dari pihak calon suami atau wakilnya. Akad nikah merupakan syarat wajib
(14)
dalam proses atau upacara perkawinan menurut Islam. Akad nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada seorang juru nikah.
Setelah selesai acara adat makkobar boru acara dilanjutkan dengan Akad Nikah untuk meresmikan pernikahan mereka menurut Agama. Acara ini biasanya dilaksanakan pada pagi harinya, prosesi akad nikah mulai dipersiapkan, tikar
hambi19 yang terdiri dari tiga lapis akan dikembangkan di depan tuan kali dan akan diduduki oleh calon pengantin laki-laki. Bahasa yang digunakan dalam akad nikah dilihat dari kondisi, apabila calon pengantin laki-laki fasih berbahasa Angkola maka akan dilaksanakan dengan bahasa Angkola tetapi bila calon pengantin laki-laki tidak bisa berbahasa Angkola maka dilaksanakan menggunakan bahasa Indonesia. Dibelakang calon pengantin laki-laki akan duduk calon pengantin perempuan, setelah akad nikah selesai dilaksanakan maka kedua pengantin akan didudukkan bersampingan, kemudian tetua adat kampung akan memberikan wajangan-wejangan atau nasehat-nasehat kepada kedua pengantin. Setelah selesai kedua pengantin akan menyelesaikan seluruh berkas-berkas.
Foto 3 Prosesi Akad Nikah Sumber : Peneliti
(15)
Dengan selesainya Ijab Qabul maka kedua pengantin sah sebagai pasangan suami istri menurut Agama.
3.2.5 Paturunkon Boru
Dalam adat ini kedua pengantin akan di upa-upa oleh orang tua perempuan, seluruh sanak saudara diundang kemudian diadakan pesta. Semua yang diberikan
Parbajuon, upa tulang, upa parorot dan lain-lain datang dengan membawa
pemberian atau kado kepada kedua pengantin. Upa-upa yang digunakan biasanya seekor kambing
Foto 4 Pengantin Sedang Mencicipi Upa-upa Sumber : peneliti
Di depan kedua pengantin akan diletakkan talam dimana di atas talam tersebut ada nasi pulut yang beraneka warna cerah yang melambangkan keceriaan, kemudian kepala kambing yang sudah dimasak, dimana usus kambing tersebut dililitkan di kepala kambing tersebut, dan telur diletakkan di pinggir-pinggir, kemudian di tengah-tengahnya diletakkan telur, hati kambing dan garam, untuk garam diletakkan di atas daun pisang.
(16)
3.2.6 Martulak Barang
Dalam adat martulak barang seluruh pemberian sanak famili dan orang tua pengantin perempuan diserahkan secara resmi kepada rombongan pengantin laki-laki dari pihak orang tua perempuan bisanya adalah satu set tempat tidur dan lemari. Dalam acara penyerahan ini berturut-turut menyampaikan kata dari orang tua perempuan pengantin perempuan, kemudian kahanggi, anak boru, pisang raut dan mora kemudian ayah orang tua laki-laki dari pengantin perempuan kemudian
kahanggi, anak boru, pisang raut dan mora kemudian sebagai penutup dari harajaon/hatobangon.
Kemudian sebagai pangalusi atau menjawab dari rombongan pengantin laki-laki, berturut-turut pengantin perempuan, pengantin laki-laki, kemudian rombongan pihak perempuan dan pihak laki-laki dan ditutup oleh
harajaon/hatobangon. Selesailah prosesi adat di rumah pengantin perempuan dan
sebagai proses akhir yaitu pamitan untuk berangkat ke rumah pengantin laki-laki. Biasanya pengantin perempuan akan mangandung meninggalkan rumah orang tuanya.
Pengantin perempuan akan mangambit (menggendong) seekor ayam betina, memikul bambu yang berisi air, manjujung bakul (menjunjung bakul) yang berisi beras dan sonduk (sendok beras). Dimana maksud dari seekor ayam betina, dimana nantinya ketika ayam bertelur, mereka tidak akan kekurangan lauk makan, bambu yang berisi air, ketika mereka haus dalam menjalani rumah tangga, sudah ada penawarnya dan beras, dimana ketika mereka merasa lapar, sudah ada yang ingin dimasak.
(17)
3.3 Prosesi Adat di Rumah Pengantin Laki-laki
Alasan penulis menulis sub bab diatas berbeda dengan bab ini karena pada sub bab di atas status kedua pengantin belum sah menjadi pasangan suami isteri menurut agama dan adat, tetapi setelah acara adat perkawinan selesai di rumah calon pengantin perempuan status mereka sudah berbeda, karena mereka sudah mengikat satu janji yaitu kawin yang sah menurut agama dan adat.
3.3.1 Haroan Boru
Ketika kedua pengantin sampai di rumah pengantin laki-laki, di depan rumah sudah menunggu orang tua perempuan pengantin laki-laki, dia memegang baskom yang berisi beras dan di depan pintu juga diletakkan pelepah pisang. Ketika kedua pengantin akan memasuki rumah, mereka akan menginjak pelepah pisang tersebut dengan menggunakan kaki kanan terlebih dahulu, dimana maksudnya adalah kedua pengantin membawa kedinginan bagi yang punya rumah, kemudian orang tua perempuan pengantin laki-laki akan menyappakkon beras ke atas dan terkena kedua pengantin sambil mengucapkan kata “horas”, kemudian kedua pengantin masuk rumah.
Pihak anak boru dari yang punya pesta, akan mengundang Mora, Kahanggi,
Anak boru dan Hatobangon yang terdapat di kampung tersebut untuk datang ke
rumah yang pesta, biasanya dilaksanakan pada selesai sholat Isya. Setelah Sholat Isya selesai, para tamu sudah berkumpul di dalam rumah, kemudian kedua pengantin akan didudukkan di juluan dan disamping kiri-kanan mereka terdapat
(18)
Acara dilanjutkan dengan mangan itak gur-gur santan paborgo-borgo, dimana maksudnya semoga kedua pengantar semakin gur-gur atau semakin sukses dan santan paborgo-borgo maksudnya semoga kedua pengantin dalam menjalani rumah tangga selalu dingin-dingin. Kemudian pihak Pangatak
Pangetong akan memberitahukan kepada Hatobangon atau Raja-Raja
bahwasanya di dalam rumah ini sudah bertambah satu, kemudian pangatak
pangetong akan bertanya kepada Hatobangon dan Raja-Raja kemana acara
selanjutnya, kemudian Hatobangon atau Raja-Raja akan menyuruh Pangatak
Pangetong untuk manyurduhon burangir baru kemudian dilanjutkan dengan mandokkon hata (mengatakan kata) yang dimulai dari pihak perempuan, yang
dimulai dari orang tua perempuan pengantin laki-laki kemudian dilanjutkan pihak
Kahanggi, Anak boru dan Mora dan dilanjutkan dengan pihak laki-laki yang
urutannya sama, baru dilanjutkan pihak Hatobangon dan Raja-Raja. Dimana inti dari mandokkon hata (mengatakan kata) adalah memberikan ucapan selamat kepada kedua pengantin dan mendoakan mereka langgeng.
3.3.2 Martahi
1. Tahi godang
Dalam hal ini hadirlah kaum sisolkot (saudara), Hatobangon, harajaon,
orang kaya Luat dan raja panusunan bulung, dalam tahi ini juga
dilaksanakan dengan menggunakan burangir (sirih). Dalam tahi godang disediakan makanan berupa daging kambing. Kemudian yang terlibat didalamnya akan menentukan tanggal acaranya dan siapa-siapa yang bertugas mengundang dan menyambut para tamu. Kemudain Panusunan
(19)
haronduk panyurduan dibalut abit godang, disini yang bertugas
mengantar adalah naposo bulung biasanya dua orang untuk membawa
burangir panyurduan atau yang disebut juga burangir pudun-pudun
untuk menjemput Raja-Raja agar datang melaksanakan kerja yang sudah dimusyawarahkan.
2. Tahi haruaya mardomu bulung atau maralok-alok haruaya bulung
Setelah selesai dilaksanakan kerja tersebut datanglah semua para
Raja-Raja ke pesta tersebut, dalam hal ini semua sudah dipersiapkan yakni
sudah menaikkan abit godang, disini hanya melaksanakan pesta di kedatangan Raja-Raja, tahi ini disebut tahi haruaya mardomu bulung
atau maralok-alok haruaya bulung karena di tahi ini semua Raja-Raja
hadir dari semua kampung.
Pada Tahi Godang biasanya orang-orang yang datang akan memberikan bantuan kepada yang ingin berpesta dan biasanya bantuannya berupa uang. Akan ada yang bertugas mencatat siapa-siapa saja yang memberikan bantuan uang dan berapa besarannya. Jika uang terkumpul banyak maka biasanya akan ditentukan
Horja Godang (pesta besar) tetapi jika uang yang di dapat sedikit maka akan
dibuat Pesta Siriaon (pesta satu hari)
3.3.3 Pesta adat
Pada Orang Angkola pelaksanaan adat perkawinan dilaksanakan tiga hari tiga malam. Tapi pada saat ini pesta perkawinan kembali berubah yaitu satu hari satu malam.
Satu hari sebelum acara horja godang (pesta besar), pihak laki-laki sudah membeli seekor lembu sebagai pardagingan, dimana daging lembu ini akan
(20)
digunakan sebagai makanan untuk para tamu undangan. Bahkan apabila daging satu ekor lembu ini kurang, pihak laki-laki sebagai yang punya pesta akan membeli daging tambahan di pasar atau pajak.
Selain daging lembu, pada horja godang (pesta besar) juga menggunakan sayur-sayuran sebagai teman daging lembu tadi, biasanya yang digunakan adalah tunas kelapa sawit yang masih muda dan yang bertugas mencari dan mengambilnya adalah laki-laki dan buah nangka yang masih muda, dan yang biasa bertugas mengambil ini adalah perempuan.
Yang bertugas untuk semua itu adalah Anak boru dari pihak laki-laki, mulai dari memotong, mengiris dan memasak. Pembagian tugasnya juga jelas, dimana yang mengiris atau memotong-motong daging adalah bagian laki-laki dan sayur-sayuran bagian perempuan, tetapi untuk bagian memasak kadang-kadang mereka bersama-sama memasak. Kebiasaan lainnya, laki-laki yang memotong-motong daging akan mengambil hati dan daging lembu secukupnya kemudian mereka panggang, dan setelah matang kemudian daging tadi dicampur dengan kecap asin, cabai dan bawang merah, kemudian menjadi lauk mereka makan siang.
Sehari sebelum horja godang (pesta besar), biasanya kaum ibu akan mencari daun pisang yang masih muda, setelah terkumpul banyak mereka akan membawa pulang, sesampainya di rumah kemudian mereka akan menjemur daun pisang tersebut atau menaruhnya di atas bara api, sehingga daun pisang ini jadi layu, dimana fungsi dari daun pisang ini adalah untuk membungkus nasi, itak
simanis (wajit). Ketika horja godang (pesta besar) setiap tamu yang akan pulang,
(21)
Selain untuk membungkus nasi, daun pisang juga digunakan untuk membungkus wajit, itak ratusan dan itak godang, para ibu-ibu akan berkumpul di suatu tempat, biasanya para ibu-ibu ini juga sekalian menggosip ketika membuatnya.
Foto 5 ibu-ibu Sedang Membuat Itak Ratusan Sumber : Peneliti
Sebelumnya juga para muda-mudi akan berkumpul di rumah pengantin laki-laki ini, para laki-laki-laki-laki akan bergotong royong mendirikan tenda atau taratak dan perempuan membuat minuman buat mereka selain itu para perempuan juga bertugas menghias tenda atau taratak tersebut, sehingga tenda atau taratak tersebut menjadi bagus.
Sehari sebelumnya juga para pemuda dan bapak-bapak akan mencari pohon pisang sitabar dua buah, mereka mencari pohon pisang sitabar yang masih muda dan belum berbuah, setelah di dapat pohon pisang ini kemudian dibawa pulang ke rumah pengantin laki-laki, kemudian mereka akan menanam pohon pisang ini di depan rumah dan kemudian mereka hias dengan sanggar dan daun pohon haruaya,
(22)
setelah selesai ditanam kemudian mereka menyangkutkan tikar diatasnya dengan tulisan “Horas Tondi Madingin Pir Tondi Matogu”
Ketika waktu menunjukkan untuk makan, pihak tuan rumah akan menyediakan rumah-rumah tetangga pengantin laki-laki ini untuk tempat makan, rumah untuk perempuan dan laki-laki berbeda, pihak yang bertugas mangatak (menyusun) makanan mulai dari piring, cuci tangan, gelas, sambal, sayur adalah pihak anak boru dari pihak pengantin laki-laki, setelah semua selesai diatak (disusun) kemudian dihitung berapa piring yang tersedia, kemudian dipanggil masuk ke dalam, biasanya pihak mora dan kahanggi yang diduluankan sedangkan untuk anak boru akan menunggu, jika masih ada yang kosong baru mereka masuk ke dalam rumah.
Selain di dalam rumah, diluar rumah juga disediakan meja makan, yang berisi nasi dan lauk pauk, jadi siapa yang ingin makan dapat mengambil sendiri atau masyarakat biasa menyebutnya “makan prancis”. Dalam adat perkawinan Orang Angkola, perkawinan tidak akan sukses jika tidak didukung oleh Dalihan
Na Tolu dan yang lainnya, adapun yang terlibat dalam adat pernikahan dan dapat
dilihat sukses atau tidaknya. Adapun yang menjadi pelaksananya yaitu :
1. Raja panusunan bulung ( pemimpin sidang)
2. Suhut (pihak yang hajatan)
3. Anak boru ( kumpulan keluarga dari suhut yang merupakan putri dari
suhut yang telah berkeluarga
4. Pisang raut (kumpulan keluarga dari anak boru yang putri dan telah
berkeluarga)
(23)
6. Hatobangon (raja adat setempat/ yang dituakan)
7. Hombar balok (tetangga)
8. Raja torbing balok (raja adat kampung tetangga)
9. Paralok alok (peserta)
10.Raja Pamusuk
BAB IV
(24)
4.1 Unsur-unsur terkait
Di dalam pelaksanaan upacara adat Angkola, terdapat beberapa unsur-unsur yang terkait di dalamnya dan mempunyai fungsi yang penting yaitu Dalihan Na
Tolu, yaitu: Kahanggi, Anak boru dan Mora kemudian Raja Huta (Bona Bulu), Raja Torbing Balok, Bayo-Bayo Luat, Panusunan Bulung, Pangatak Pangetong dan Naposo Nauli Bulung. Dimana unsur-unsur ini yang menjadi tolok ukur
suksesnya suatu acara adat tersebut.
4.1.1 Kahanggi, Anak boru dan Mora
Sistem kekerabatan dalam Orang Angkola memiliki tiga unsur dasar atau
Dalihan Na Tolu yaitu :
1. Kahanggi yaitu saudara laki-laki dari garis keturunan ayah
2. Anak boru yaitu saudara perempuan dari garis keturunan ayah
3. Mora yaitu saudara laki-laki dari pihak isteri kahanggi
Ketiga unsur ini saling memegang peran penting dalam lingkungan kekeluargaan masyarakat Orang Angkola. Tutur sapa menjadi lancar kalau ketika unsur ini jelas keberadaanya. Ketiga unsur ini saling memerlukan dan berfungsi sesuai dengan kedudukannya.
Dalam sistem Dalihan Na Tolu, interaksi sosial antara mora dan anak boru berlandaskan hak dan kewajiban masing-masing terhadap satu sama lain. Dalam hal ini, pihak anak boru mengemban fungsi sebagai sitamba na hurang sihorus na
lobi (si penambah yang kurang si penghabis yang lebih). Karena kewajibannya
yang demikian itu, anak boru dikenal pula sebagai na manorjak tu pudi juljul tu
(25)
anak boru ini sudah semestinya membela kepentingan dan kemuliaan pihak mora
atau dengan kata lain pihak anak boru harus sanggup marmora ( menghormati dan memuliakan mora).
Menurut Sutan Nalobi dalam manortor dapat kita lihat dengan jelas patuhnya anak boru terhadap moranya, apabila mora ini dalam manortor jongkok pihak anak boru yang mangayapi akan lebih rendah dari moranya, bahkan sampai tidur, itulah patuh dan hormatnya anak boru terhadap moranya
Disamping itu, anak boru juga diibaratkan sebagai si tastas nambur ( penghalau embun pagi pada semak belukar) yang artinya pihak anak boru berkewajiban sebagai perintis jalan (barisan terdepan) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi mora. Pihak anak boru berkewajiban
manjuljulkon morana (mengangkat harkat dan martabat pihak mora) sebaliknya
pihak mora berkewajiban untuk elek maranak boru (menyayangi dan mengasihi
anak boru)
Kahanggi sangat penting artinya bagi setiap individu karena berbagai
persoalan hidup seperti perkawinan, kematian dan mencari nafkah, terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi. Untuk hal ini, para orang tua senantiasa memberikan nasihat untuk manta-manat markahanggi (bersikap hati-hati terhadap
kahanggi) agar tidak timbul perselisihan di antara sesama mereka yang semarga.
Pada suatu upacara adat, tiga status kekeluargaan ini dapat dijelaskan dalam hubungannya dengan suhut (tuan rumah) penyelenggara acara adat, yaitu :
1. Kahanggi yaitu saudara laki-laki dari suhut beserta seluruh keturunannya
(26)
2. Anak boru yaitu saudara perempuan dari suhut, inklusif para suami mereka
beserta seluruh keturunannya menurut garis laki-laki
3. Mora yaitu saudara laki-laki dari ibu atau mertua dari suhut serta seluruh
keturunannya menurut garis laki-laki, inklusif istri-istri mereka2
Apabila jaringannya diperluas selain dari pada tiga kelompok kekerabatan inti tersebut maka dikenal juga kelompok kekerabatan tambahan yaitu mora ni
mora dan pisang raut.
4.1.2 Raja Huta (Bona Bulu)
Raja huta (Bona bulu) adalah kelompok yang mendirikan huta (desa),
disebut juga sebagai si suan bulua. Jika ada horja godang (pesta besar) mereka dari masing-masing huta (desa) dijemput (dialap) dengan burangir (daun Sirih) di dalam tepak27. Kalau raja huta (bona bulu) berasal dari marga Harahap dia berpeluang menjadi Panusunan Bulung horja dan jika dia berasal dari marga Siregar, dia berpeluang menjadi Bayo-Bayo Luat.
4.1.3 Raja Torbing Balok
Raja Torbing Balok adalah raja yang berasal dari huta (desa) bona bulu di luar Luat Halongonan. Tugas mereka dalam horja godang (pesta besar) setara dengan raja huta. Hanya mereka berbicara setelah semua raja huta (bona bulu) selesai berbicara. Pada awal horja godang pesta besar), suhut
sihabolonan beserta kahanggi, anak boru dan mora pasahatkon horja
kepada raja-raja dengan disurduhonnya burangir sapa-sapa. Raja-raja akan menjawab pertanyaan ini berturut-turut dari raja huta satu persatu kemudian
2
(27)
disusul oleh Raja Torbing Balok kemudian Bayo-Bayo Luat dan terakhit disimpul oleh Panusunan Bulung
4.1.4 Bayo-Bayo Luat
Bayo-bayo luat adalah salah satu perangkat kerajaan adat luat (wilayah), mereka ini adalah anak boru dari Panusunan Bulung. Bayo-bayo luat inilah jadi
ulubalang raja Panusunan Bulung yang bertugas membaca surat Tumbaga Holing
dalam memulai acara manortor.
4.1.5 Panusunan Bulung
Panusunan bulung adalah pimpinan tertinggi suatu horja godang (pesta
besar). Keputusannya lah yang menentukan horja godang (pesta besar) bisa dilaksanakan. Di Luat Halongonan setiap horja godang (pesta besar) biasanya dipimpin oleh tiga Panusunan Bulung. Merekalah yang membuat keputusan sesuatu itu boleh tidaknya dilaksanakan dalam horja godang (pesta besar) termasuk untuk menyelesaikan permasalahan apabila ada terjadi sesuatu hal. Keputusannya mutlak dan mengikat.
4.1.6 Pangatak Pangetong
Pangatak pangetong adalah juru bicara dari mora, pangatak pengetong ini
berasal dari anak boru dari yang punya pesta. Pangatak pangetong bertugas membawakan acara adat seperti adat perkawinan. Sukses tidaknya sebuah acara ditentukan oleh pangatak pangetong, sebab mereka yang bertugas membawakan acara, seperti di adat perkawinan. Dalam adat perkawinan, pangatak pangetong bertugas memanggilkan nama-nama siapa yang akan manortor, mangupa-upa dan
(28)
pangetong tidak mengetahui urutan dari manortor atau mangupa, maka dapat
dipastikan acara tersebut tidak akan sukses, selain itu pangatak pangetong juga harus hafal nama-nama rajanya sebab bagi masyarakat Luat Halongonan, seseorang yang sudah menikah dan sudah diberi nama Gelaran Raja, maka orang tidak wajib memanggil namanya melainkan mereka harus memanggil nama rajanya. Apabila satu orang saja yang lupa, sudah pasti akan menimbulkan kecemburuan dan permasalahan. Dan dipastikan acara tersebut akan menjadi perbincangan para masyarakat.
Adapun gelar-gelar raja yang terdapat di masyarakat Orang Angkola khususnya di Luat Halongonan adalah sebagai berikut :
Untuk yang punya huta (desa) : Tongku, Sutan, Baginda Untuk anak boru huta (desa) : Mangaraja, Rokkaya, Untuk pisang raut huta (desa) : Satia, Wan,
Untuk mora huta (desa) : Bondaharo, Malim Untuk raja Luat : Patuan
Untuk anak boru Luat : Oppu
4.1.7 Naposo Nauli Bulung
Naposo Nauli Bulung adalah sebuah organisasi kepemudaan yang berada di
sebuah desa atau kampung. Organisasi ini hampir sama dengan organisasi karang taruna. Adapun dalam upacara perkawinan, salah satu yang menjadi unsur dalam
(29)
adat perkawinan adalah Naposo Nauli Bulung. Sehari sebelum acara para Naposo
Nauli Bulung ini akan bergotong royong membangun tenda atau taratak dan
menghiasnya. Pada saat pesta perkawinan, Naposo Nauli Bulung bertugas yaitu untuk naposo bulung bertugas mengangkat piring kotor. Naposo Bulung bertugas
mangoloi (pangatak) pihak ama-ama dan Nauli Bulung mangoloi (pangatak) ina-ina. Para Naposo Nauli Bulung juga ikut menyelesaikan upa-upa yang akan
diberikan kepada kedua pengantin.
Ketika horja (pesta) paturun boru/martulak barang para Naposo Nauli
Bulung ini akan meletakkan abit godang yang sudah dibuat beberapa simpul di
atas barang yang akan dibawa pengantin ke rumah pengantin laki-laki. Ini bermaksud bahwa Naposo Nauli Bulung meminta uang sebagai pangambat
barang yang besarnya sesuai dengan banyaknya barang yang diserahkan. Pangambat barang ini juga sebagai upah untuk Naposo Nauli Bulung untuk
mengangkat barang-barang tersebut ke kendaraan yang akan membawanya.
4.2. Prosesi Adat Perkawinan
4.2.1 Prosesi Tor-Tor
Tortor adalah tarian seremoni yang disajikan dengan musik gondang. Secara
fisik tortor merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakan menunjukkan tortor adalah sebuah media komunikasi, dimana melalui gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara. Tortor dan gondang ibarat koin yang tidak bisa dipisahkan
Pertama suhut habolonan laki-laki, yaitu amanta sori pada, lalu ke
(30)
pindah ke mora, habis mora pindah ke harajaon manjojori bona bulu, habis
Harajaon pindah ke Torbing Balok, habis Torbing Balok pindah ke tortor Bayo-Bayo Luat, habis tortor Bayo-Bayo-Bayo-Bayo Luat ditutup dengan tortor Panusunan Bulung,
dengan berakhirnya tortor Panusunan Bulung maka berakhirlah tortor pihak laki-laki.
Foto 6 Tortor Amanta Sori Pada Sumber : Peneliti
Kemudian disambung tor-tor inanta sori pada (perempuan), dimana prosesnya sama dengan tortor amanta sori pada (laki-laki), dimana habis anak
borunya, lalu ke pisang rautnya, habis itu manortorlah mora dari inanta sori pada.
(31)
Foto 7 Tortor Inanta Sori Pada Sumber : Peneliti
Dalam manortor baik dari pihak mora, kahanggi dan anak boru yang
manortor mereka selalu diayapi oleh anak borunya, sebelum manortor si pangayapi atau anak borunya akan menaruh abit godang kepada yang manortor
di pundaknya.
Setelah selesai manortor kaum perempuan kemudian acara dilanjutkan dengan manortor Naposo Nauli Bulung, dimulai dari gadis ni suhut bolon, setelah selesai gadis ni suhut bolon manortor kemudian dilanjutkan gadis ni anak boru
na, setelah selesai manortor, kemudian dilanjutkan gadis ni mora ni suhut bolon,
setelah itu dilanjutkan pandongani. Di sini yang menjadi pangayapi adalah laki-laki dan manortor perempuan, berbeda dengan tor-tor amanta sori pada dan
inanta sori pada, apabila laki-laki yang manortor maka yang mangayapi juga
laki-laki begitu juga sebaliknya apabila perempuan yang manortor maka yang
mangayapi juga perempuan. Pada tor-tor Naposo Nauli Bulung ini yang menjadi pangayapi adalah anak namborunya (anak dari saudara perempuan dari pihak
(32)
Foto 8 Tortor Naposo Nauli Bulung Sumber : Peneliti
4.2.2 Gondang Sebagai Pengiring Upacara Tor-Tor
Gondang juga merupakan instrumen penting dalam adat pernikahan
masyarakat Orang Angkola, gondang terdiri dari gondang inang atau disebut
gondang siayakon, gondang pangayak, ogung jantan, ogung betina, doal, suling, onang-onang. Selain musik, pemain gondang juga memiliki seorang penyanyi,
dimana dia akan menyayikan lagu endeng-endeng.
Menurut Sutan Nalobi Alat yang digunakan dalam gondang adalah, tiga gong, dua gendang, 1 suling. Setelah berbunyi Uning-Uning, disitutui Ogung karena sudah cocok, maka akan berkumpul Tondi tu badan dari suhut habolonan, kenapa berkumpul tondi dari suhut habolonan, karena akan dipasang sihat-sihat seperti pisang yang bersusun.
Apabila sudah didapat boru (pengantin wanita) lalu kemudian dibuat
godang niroha (rasa syukur) yaitu dengan membuat hiburan, jika dibawa ke
kebudayaan hiburannya adalah Uning-uningan. Disitu sudah termasuk dibuat
(33)
Maksudnya pengertian dari uning-uningan agar meresap ke dalam diri tentang asal usul, setelah meresap ke dalam diri kemana pardangolan ni orang tua tai.
Gondang juga tidak bisa dipisahkan dari penyanyi. Nyanyian tradisional
yang dinamakan Onang-onang. Pada hakikatnya merupakan suatu nyanyian adat, karena pada dasarnya Onang-onang hanya dinyanyikan dengan disertai oleh musik gondang dalam upacara adat, yaitu khusus untuk mengiringi tarian adat (tortor) yang dilakukan sebagai bahagian integral dari upacara adat tersebut.
Penyanyi onang-onang yang biasanya terdiri dari pria dinamakan
paronang-onang. Tidak sembarangan orang bisa mendapatkan kedudukan sebagai paronang-onang yang berfungsi dalam upacara adat. Karena untuk bisa jadi paronang-onang yang berfungsi dalam upacara adat seseorang harus menguasai
banyak aspek yang berkaitan dengan adat disamping mempunyai kualitas suara yang baik. Selain itu, peronang-onang yang berfungsi dalam upacara adat harus punya kemampuan kreatif untuk (secara spontan) menciptakan lirik atau teks nyanyian onang-onang dengan menggunakan bahasa atau kata-kata yang relevan dengan konteks adat pada waktu ia menyanyikan onang-onang untuk mengiringi
(34)
Foto 9 paronang-onang Sumber : peneliti
Lirik atau teks nyanyian merupakan bahagian yang sangat penting dari
onang-onang. Karena lirik atau teks onang-onang merupakan semacam narasi
tentang tokoh-tokoh yang sedang melakukan tarian adat (manortor) dalam suatu upacara adat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa lirik atau teks onang-onang sifatnya sangat konstektual, dalam arti harus benar-benar sesuai dengan berbagai aspek yang menyangkut diri orang-orang atau tokoh-tokoh yang melakukan tarian adat (manortor) dengan diiringi oleh lirik atau teks onang-onang yang dinyanyikan oleh paronang-onang. Oleh karena itu, lirik atau teks nyanyian
onang-onang tidak bisa dibuat sembarangan saja, dan teks onang-onang biasanya
diciptakan secara spontan oleh penyanyinya (paronang-onang) ketika ia sedang mengiringi orang-orang atau tokoh-tokoh melakukan tarian adat (manortor). Disamping bersifat konstektual dan narratif teks onang-onang juga mengandung unsur-unsur yang puitis. Dari sifatnya yang demikian itu muncul isi teks
onang-onang berupa penjelasan mengenai upacara, narasi dan puji-pujian mengenai
orang-orang atau tokoh-tokoh yang sedang melakukan tarian adat (manortor), nasehat dan doa selamat serta ajaran moral.
(35)
Setiap paronang-onang terlebih dahulu harus mengetahui maksud dan tujuan pelaksanaan upacara tersebut, selain itu paronang-onang harus tahu kepada siapa nyanyian itu ditujukan agar paronang-onang dapat menyesuaikan isi dan syair lagu yang akan dinyanyikan. Misalnya gondang pertama adalah gondang
Suhut Sihabolonan, maka paronang-onang harus menyesuaikan isi onang-onang
tersebut sesuai dengan latar belakang Suhut Sihabolonan tersebut. oleh sebab itu syair onang-onang tidak mempunyai teks yang pasti, melainkan diciptakan oleh
paronang-onang secara spontan. Semua syair-syairnya hampir semua diciptakan
dalam bentuk pantun.
Dimana ketika waktu senggang para pargondang akan membawakan lagu-lagu senang, dimana manfaatnya membuat orang-orang yang berada di galanggang akan tersenyum dan membuat rasa capek berkurang.
4.2.3 Prosesi Tapian Raya Bangunan
Menurut Sutan Nalobi, asal-usul dari tapian raya bangunan adalah pada zaman dahulu ketika masih masa kerajaan-kerajaan, ketika ada orang kaya berselisih dengan Raja, ketika si orang kaya ini ingin membuat acara horja (pesta), si Raja ini tidak mengijinkan si orang kaya ini menggunakan tanah dan air sungainya. Sebab zaman dahulu marpangir dilakukan langsung di sungai dan setelah kedua pengantin selesai marpangir kedua pengantin akan langsung mandi. Orang kaya ini kemudian bingung bagaimana membuat horja ini tanpa menyentuh tanah dan sungai, akhirnya ia menemukan ide. Galanggang acara ia tutupi dengan terpal, sehingga kaki tidak menyentuh tanah langsung, ketika ingin menyembelih hewan, ia juga membuat bale-bale32 dan dilapisi terpal, dan ketika ingin
(36)
marpangir ia kembali bingung, bagaimana caranya tanpa menyentuh tanah dan
air, akhirnya ia mempunyai ide, ia kemudian membuat suatu bangunan yang mempunyai tangga dan dihiasi mewah, akhirnya tempat ini dijadikan tempat marpangir, dalam acara horja ini juga dihadiri Sang Raja, Sang Raja yang melihat bangunan tersebut terpukau dan akhirnya ketika anak raja ini menikah, ia pun membuat bangunan yang sama, tetapi lebih banyak tangganya dan lebih mewah. Dan mulai saat itu, tapian raya bangunan tidak dilaksanakan di sungai, dan dilaksanakan di atas bangunan
Tapian Raya Bangunan sebuah bangunan yang terbuat dari kayu yang dibangun sedemikian rupa sehingga menyerupai pondok, terdiri dari 7 (tujuh) anak tangga, biasa anak tangga ini terbuat dari papan, kemudian atap bangunan tersebut terbuat dari kain dan dihiasi dengan pelepah pohon kelapa dan kasur sebagai tempat duduk pengantin.
Sebelum kedua pengantin berangkat, terlebih dahulu pengantin manortor, dimana kedua pengantin manortor menghadap raja-raja, orang tua, saudara-saudara dan kembali menghadap raja-raja, baru kedua pengantin dibawa ke tapian
raya bangunan, dimana pengantin laki-laki berada di depan dan pengantin
perempuan berada di belakang. Dibelakang pengantin juga ikut serta kaum ibu yang menggendong anak dari pihak suhut dan anakboru. Dikiri dan kanan kedua pengantin, berjalan pihak anak boru dengan senjata pedang siap di tangan. Mereka berjalan sambil memain-mainkan pedangnya. Selama berjalan menuju
(37)
Foto 10 pengantin diiringi ke tapian raya bangunan Sumber : Peneliti
Sebelum kedua pengantin menaiki tangga, terlebih dahulu menyelesaikan
adat yaitu ulu balang pihak dari pengantin harus mengalahkan ulubalang atau
penjaga tapian raya bangunan dengan berbalas pantun dan ditutup dengan
marmoncak (silat), apabila ulu balang dari pihak pengantin berhasil menang,
maka kedua mempelai akan dipersilahkan menaiki anak tangga tapian raya
bangunan.
Adapun asal usul dari marmoncak menurut Sutan Nalobi adalah ketika zaman
dahulu pernikahan sangat sulit dilaksanankan, sebab pengantin dipilih dan harus
dari Boru Ni Namora, arti dari Boru Na Mora adalah perempuan yang
terpelihara, sebab orang dulu percaya, jika seseorang tidak Boru Na Mora, maka
ia tidak berhak untuk dinikahi. Sebab di acara pernikahan orang Angkola
terdapat dua cara pernikahan yaitu ditanya Boru Tulang setuju, tetapi tidak
disetujui oleh orang tua perempuan, yang kedua, sang perempuan setuju dan
kedua orang tuanya juga setuju tetapi sang perempuan dilarikan oleh pria lain. Di
zaman dahulu orang tersebut dapat dituntut, tidak ada rasa kasihan, makanya
(38)
ketika diketahui akan datang seorang pria yang akan membawa pergi sang
perempuan, ulubalang Raja dan ulubalang Suhut akan mempertahankan sang
perempuan agar tidak dibawa oleh lelaki tersebut, suhut ini rela berkorban nyawa
demi perempuan ini tidak dibawa pergi, dari kejadian tersebut, lambat laun setiap
ada acara tapian raya bangunan selalu dibawakan marmoncak, tetapi makna dan
artinya juga berbeda hiburan pada zaman sekarang.
Pihak harajaon telah menunggu kedatangan pengantin bersama rombongan di tapian raya bangunan, mereka telah siap menepungtawari kedua pengantin. Begitu pengantin tiba, harajaon berkata “ jadi semua anak raja, gadis namora yang datang ke tapian raya bangunan ini, menurut adat kita, kalian harus ditepungtawari (dipangir) baru nanti diupah-upah”.
Foto 11 harajaon menunggu kedua pengantin di tapian raya bangunan Sumber : Peneliti
(39)
Disini kalian harus dipispis sebelah kiri, berarti membuang yang tidak baik dan kalau dipispis sebelah kanan berarti meminta hal-hal yang baik. mudah-mudahan Tuhan kita memberkati kita semua serta diberikan kesehatan. Sekarang kalian saya pispis, hanyutlah yang tidak baik, kemudian kalian saya pispis dari sebelah kanan, mudah-mudahan menerimalah tondi kalian mulai dari sekarang sampai yang akan datang, Horas...Horas....Horas....
Foto 12 prosesi Marpangir (tepung tawar) Sumber : Peneliti
Sebelum acara marpangir (menepung tawari) terlebih dahulu raja-raja akan mengumumkan nama gelaran raja kedua pengantin tersebut dan diucapkan sebanyak tiga kali dan setiap akhir ucapan akan dipukul gong pertanda bahwa nama tersebut resmi dan ditutup dengan kata “horas” sebanyak tujuh kali.
Kemudian kedua pengantin akan dipangir (ditepung tawari) dengan air tujuh rupa, yang mempunyai simbol untuk menghilangkan hal-hal yang negatif, adapun urutan yaitu dimulai dari orang tua pengantin lelaki, kemudian dilanjutkan
Suhut, Anak boru, pisang raut, Mora dan yang terakhir adalah raja-raja dan Hatobangon.
(40)
Dimana pangir ini dibuat oleh Raja, setelah pangir ini selesai dan semua
pulungannya sudah terkumpul semua, pangir ini kemudian akan dicampi-campi
(diberi mantra-mantra) oleh raja. Dimana maksud dari campi-campi ini adalah untuk kedua pengantin akan meninggalkan masa remaja mereka dan akan ke masa berkeluarga dimana diharapkan setiap tindakan mereka nanti selalu dipikirkan dan sudah tidak berpikiran seperti anak-anak. Sebab jika pikiran mereka masih seperti anak-anak maka dapat dipastikan mereka akan melarat dan tidak bertahan lama dalam berumah tangga.
Adapun tujuan dari Tapian Raya Bangunan adalah untuk membuang atau menghanyutkan hal-hal yang tidak baik, setelah kalian dimandikan nanti, mudah-mudahan membawa keselamatanlah kalian ke rumah ini. Kemudian setelah kalian pulang dari Tapian Raya Bangunan nanti, akan diberi upah-upah lagi dengan maksud mangupah semangat dan badan, karena itu sehat-sehatlah sampai di rumah.
Selanjutnya mereka pulang ke rumah, bagaimana ketika berangkat begitu juga ketika pulang, kedua pengantin dikawal anak boru lengkap dengan senjata di tangan, tetapi ketika pulang posisi kedua pengantin berubah, dimana pengantin perempuan berada di depan dan pengantin laki-laki berada di belakang. Pengantin akan diiringi dengan manortor di depan mereka, mereka yang manortor adalah dari ahli bait dengan cara mundur maju sampai ke galanggang acara. Setelah itu, kedua pengantin berdiri di tengah gelanggang dan manortor tujuh kali putar dengan harapan tujuh keturunan tidak mendapat marabahaya. Setelah selesai
manortor, pihak mora, kahanggi, anak boru, orang tua dan saudara dari pihak
(41)
menyalami seluruh yang duduk. Setelah selesai, kemudian pengantin akan dibawa masuk ke rumah pengantin laki-laki.
4.2.4 Prosesi Upa-upa
Upa-upa atau pangupa adalah beberapa jenis bahan makanan tertentu
dengan kelengkapannya yang masing-masing mengandung makna simbolik (dahulu dipandang mengandung kekuatan magis) dan khusus dipersembahkan kepada satu orang tertentu atau lebih melalui upacara adat (ritus) yang dinamakan
pangupa. Pada waktu mempersembahkannya, upa-upa atau pengupa diletakkan
diatas satu wadah khas dan penyampaiannya kepada orang yang bersangkutan diantar atau disertai dengan pidato adat yang diucapkan oleh para kerabat dan orang-orang tertentu. Dalam hal ini, upa-upa atau pangupa dipandang berfungsi sebagai parhitean ni sinta-sinta (titian bagi doa).
Di zaman dulu, ritual mangupa erat kaitannya dengan religi kuno sipelebegu yang dianut oleh nenek moyang orang Batak pada masa itu. Sejak agama masuk dan dianut oleh umumnya Orang Angkola, pelaksanaan acara tradisi mangupa mengacu kepada ajaran agama Islam di samping ajaran adat. Kata-kata nasihat dalam acara mangupa pun disampaikan sesuai dengan norma-norma agama Islam.
Upacara adat mangupa atau mangupa tondi dohot badan dilaksanakan untuk memulihkan atau menguatkan semangat (spirit) serta badan. Bahan untuk
mangupa dinamakan pangupa yang berupa hidangan yang porsinya bervariasi
sesuai dengan jumlah hadirin atau undangan. Pangupa yang terkecil terdiri atas telur kampung, garam dan nasi yang dilaksanakan ala kadarnya oleh halak
(42)
(pangupa ayam), pangupa yang besar adalah pangupa hambeng (pangupa kambing), dan pangupa yang terbesar adalah pangupa horbo (pangupa kerbau).
Foto 13 Horbo (kerbau) yang akan dijadikan upa-upa Sumber : Peneliti
Secara simbolik bahan yang terkandung dalam pangupa seperti telur bulat
yang terdiri atas kuning telur dan putih telur mencerminkan “kebulatan”
(keutuhan) tondi dan badan. Upacara mangupa dilaksanakan supaya “horas tondi madingin pir tondi matogu” yang bermakna “selamatlah tondi dalam keadaan dingin/sejuk/nyaman, keraslah tondi semakin teguh bersatu dengan badan”
sehingga mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan yang dijalani.
Upacara mangupa juga melibatkan Dalihan Na Tolu, disamping Dalihan Na
Tolu upacara mangupa yang sedang dan besar juga melibatkan unsur lain, yaitu Hatobangon (orang yang dituakan) dari tetangga sekampung dan raja panusunan bulung (pengayom suatu Dalihan Na Tolu tertentu) yang bertindak sebagai
pemimpin upacara/penyimpul.
Begitu juga pada pelaksanaan pernikahan, dimana pihak pengantin laki-laki sudah menyiapkan seekor kerbau, dimana nantinya akan digunakan sebagai bahan
(43)
upacara mangupa. Prosesi ini saling berkaitan satu dengan yang lain sehingga sebelum dilaksanakan upacara mangupa, kedua pengantin terlebih dahulu mengikuti prosesi adat tapian raya bangunan/nacar
Dalam kenyataannya upa-upa ini ada beberapa macam yaitu, Pira Ni
Manuk (telur ayam), garam, nasi, manuk (ayam), hambeng (kambing), dan Horbo
(kerbau), tergantung kemampuan mereka, tetapi jika mereka memilih, telur ayam, ayam, kambing mereka tidak bisa mengundang raja-raja untuk menghadiri acara
upa-upa, tetapi jika mereka sanggup memotong kerbau mereka berhak memanggil
raja-raja untuk menghadiri acara upa-upa.
Kedua pengantin akan didudukkan di atas tikar nadihamdi, didepan mereka sudah tersedia balai nasi, itak godang dan kepala kerbau, dimana yang membuat balai nasi ini adalah Naposo Bulung dan Nauli Bulung (muda-mudi), alasan kenapa mereka yang membuatnya karena ini merupakan perpisahan terakhir terhadap temannya yang akan melanjutkan kehidupan berumah tangga.
Foto 14 balai nasi Sumber : Peneliti
(44)
Naposo bulung dan Nauli bulung akan membuat kenang-kenangan mereka
selama masih remaja, mereka akan membuat hiasan-hiasan yang mengingatkan pada masa-masa mereka bermain seperti gambar bunga dan burung yang diukir. Didalam balai nasi ini terdapat sebatang pohon pisang, dan akan dihiasi dengan pelepah kelapa, disampingnya telur, ayam, sipulut yang di pohul (digenggam) yang berwarna warni dan dilapisi dengan abit godang. Setelah masuk ke dalam rumah, semua yang hadir akan duduk melingkar, ditengah-tengah dari juluan duduklah kedua pengantin, sebelah kanan mereka duduk kaum ibu dari ahli bait dan sebelah kiri mereka duduk kaum ibu barisan anak boru, hatobangon dan
bersama harajaon dengan maksud mangupah upah-upah berikutnya.
Selama pengantin berada di Tapian Raya Bangunan, petugas upah-upah telah pula menyiapkannya sehingga begitu pengantin sampai di rumah acara
upah-upah segera dapat dilaksanakan. Di depan kedua pengantin akan tersedia
balai nasi, itak godang, kepala kerbau dan nasi yang berisi ayam, hati ayam, dan ditengah-tengah hati ayam dibuat garam yang diletakkan di atas daun pisang. Kemudian ibu dari pengantin laki-laki yang pertama mandokkon hata (mengatakan kata) kemudian dilanjutkan kahanggi, anak boru, pisang raut dan yang terakhir moranya, setelah selesai kemudian dilanjutkan orang tua laki-laki dari pengantin laki-laki yang mandokkon hata (mengatakan kata) baru dilanjutkan
kahanggi, anak boru, pisang raut, mora dan yang terakhir dari raja-raja dan hatobangon. Setelah selesai mandokkon hata (mengatakan kata) kemudian
raja-raja dan hatobangon akan mempersilahkan kedua pengantin untuk mencicipi
upa-upa berupa-upa hati ayam dan garam. maksud dan tujuan dari mencicipi tersebut
(45)
diumpamakan sebagai hal-hal yang pahit dalam berumah tangga, hati ayam diumpamakan sebagai yang manis-manis dalam berumah tangga dan garam diumpamakan sebagai hal yang pahit dalam rumah tangga, sehingga nantinya kedua pengantin akan dapat membedakan mana yang pahit dan manis dan dapat memilihnya dengan bijak. Setelah kedua pengantin selesai mencicipinya kemudian kedua pengantin akan mambalos hata (membalas kata) biasanya kedua pengantin akan mengucapkan ucapan terima kasih atas doa dan nasehat-nasehatnya.
Anak boru yang bertugas membawakan acara, demi suksesnya acara upah-upah ini, semua yang memberikan kata-kata nasehat selalu diiringi
umpama-umpama dan pantun-pantun yang enak didengar sehubungan dengan upah-upah itu. “terimalah tulang siri ini, terimalah tulang burangir sirara huduk sibontar
adop-adop sataon sora malos” sirih kami suguhkan pada saat naiknya matahari di pagi ini, mudah-mudahan bertambah tuah kalian, mudah rezeki dan hendaknya selalu mendapat lindungan dari Yang Maha Kuasa. Pagi ini kalian di upah-upah melaksanakan apa yang terniat dalam hati kami, karena senangnya hati maka niat yang sudah begitu lama itu dilaksanakan pada hari ini, jadi sekarang yang menyampaikan kata upa-upa adalah Suhut Habolonan dalam hal ini Ibu Kandung pengantin laki-laki. Menurut Sutan Nalobi biasanya yang mereka ucapkan adalah
“ baen madung mulak hamu amang sian tapian raya bangunan mudah-mudahan nian mayup ma haposoan dohot habujingon, tua doma amang dohot rasoki dohot martua hamu, baen on ma amang dapotan anak ni horbo pangalo-alo ni tondi dohot badan mu horas hamu amang parumaen panjang umur muyu dohot rondah rasoki muyu, holong roha muyu diau da amang parumaen karena sudah pulang
(46)
kalian dari tapian raya bangunan, mudah-mudahan maroban dame hamu amang inang”.
Foto 15 Mandokkon hata (menyampaikan kata) kepada kedua pengantin Sumber : peneliti
Adapun isi dari balai nasi adalah sipulut yang pohul (digenggam) dan diberi warna, warna yang biasanya adalah merah, kuning, putih, telur, daging tabur-tabur, garam
Adapun makna yang terkandung didalamnya adalah sipulut yang di pohul (digenggam) adapun maksudnya sipulut yang di pohul (digenggam) adalah di ibaratkan kehidupan rumah tangga mereka mereka selalu tetap kuat dan bersatu, sebab jika sipulut ini tidak di pohul (digenggam) dan dibiarkan berserakan ditakutkan kehidupan berumah tangga mereka juga akan sama, tetapi jika sipulut ini di pohul (digenggam) maka dipercaya kehidupan rumah tangga mereka akan bersatu dan kuat seperti sipulut yang di pohul (digenggam), maksud dari warnanya adalah dalam paradaton ini adalah Dalihan Na Tolu maksudnya sudah ikut serta Dalihan Na Tolu dikampung tersebut membesar-besarkan acara pernikahan tersebut sehingga sukses dan berjalan lancar.
(47)
Tolor (telur) disebut juga tolor nadihobolan dimana maksudnya supaya
kebal dan kuat tondi rap kesehatan kedua pengantin (telur yang digunakan adalah telur yang sudah matang). Daging tabur-tabur maksudnya martabur do koum di
jae rap dijulu (bertabur saudara-saudara di kiri dan kanan ).
Kepala kerbau diletakkan di diatas anduri dilapisi bulung ujung (daun ujung) yang terbuat dari daun pisang, maksud dari bulung ujung yaitu bulung
ujung mamarujung si ulaihon i tunapade (diharapkan kedua pengantin
mempunyai ujung kehidupan yang baik), anduri agar kedua pengantin yang diupah-upah aso malo mamisahkon napade rap nasopade (agar dapat memisahkan yang baik-baik dan yang tidak baik). Dalam upa-upa ini tidak diletakkan Abit Godang, sebab Abit Godang diparundung-undung di las ni ari,
dipargobak-gobak di ngali ni ari, maksudnya adalah abit godang sudah dipakai
dalam manortor sehingga ketika mangupa-upa tidak diikutkan.
Itak godang ini terdiri dari dua, yaitu itak godang daboru (perempuan) dan itak godang laklai (laki-laki), dimana jika itak godang laki-laki terdapat dua telur
di dalamnya sedangkan itak godang perempuan terdapat satu telur didalamnya, dari bentuk juga berbeda, itak godang perempuan lebih kecil dibandingkan itak
godang laki-laki.
Itak daboru (perempuan) disebut juga nadipardila horbo dan itak godang laklai (laki-laki) disebut marbulan tula, disini tujuan kedua itak godang ini sama,
jika adat mengatakan tappal mar sipagodangan udut marsipaginjangan (saling sanjung-sanjungan, saling membantu).
(48)
Selain itu, disekitar upa-upa atau pangupa juga diletakkan yang lainnya, seperti itak ratusan (itak ratusan) dimana lebih kecil dibanding dengan itak
godang, dimana maksud dari itak ratusan ini adalah, memberitahukan kepada
pengantin perempuan bahwa saudara-saudara kita ratusan (banyak), kita banyak sekeluarga, selain itak ratusan juga terdapat simanis (wajit) dimana maksudnya diharapkan nantinya perkataan-perkataan yang keluar dari mulut kedua pengantin manis-manis, dan perilaku mereka juga manis, selain itu juga terdapat sasagun, dimana maksudnya tidak boleh ribut, ketika ada masalah mereka akan diam.
Juga terdapat peti-peti, dimana maksudnya momosan ni dong sippanan na
soada artinya ketika ada masalah tidak boleh langsung diberitahukan kepada
orang lain, harus disimpan dulu dalam hati, peti-peti ini diibaratkan hati, jadi ketika ada masalah, masalah tersebut akan disimpan di dalam peti-peti tersebut. kemudian pakean sasalin (pakaian satu stel) artinya salin sian halak nadua tolu, dalam berpakaian di dalam masyarakat tidak beda dengan orang lain, jangan beda sendiri berpakaiannya, anggiat mardakka mardupang (maranak marboru).
Piso panyahatan (pisau panyahatan) dimana maksudnya piso (pisau) dibalut
dengan paco-paco berwarna kuning, manyorahon sahat mara maksudnya menyerahkan tanggung jawab pengantin perempuan dari ibunya ke ibu pengantin laki-laki, sehingga tidak ada tanggung jawab ibu dari pengantin perempuan terhadap anaknya seperti kebutuhan sehari hari dan materi. Biasa ini dilakukan
Hatobangon Huta (desa). Abit godang undung-undung di las ni ari gobak-gobak di ngalian ari maksudnya abit godang digunakan ketika ada pesta adat
(49)
4.3 Peralatan dan Perlengkapan 4.3.1 Mas Kawin
Mas kawin adalah harta yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. istilah yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan. Secara antropologi, mahar seringkali dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja dan berkurangnya tingkat fertilas dalam kelompok.
Dalam masyarakat Angkola, mahar sudah termasuk di dalam boli, dimana dalam boli pengantin perempuan akan mendapatkan gelang dan kalung yang terbuat dari emas. Tetapi ketika akad nikah dilakukan, gelang dan kalung tersebut tidak menjadi mahar atau mas kawin. Mereka biasa menggantinya dengan seperangkat peralatan sholat sebagai mahar atau mas kawin
4.3.2 Pohon Pisang
Disetiap acara pernikahan adat Angkola, didepan rumah selalu ditanami pohon pisang sebanyak 2 (dua) buah disamping kiri dan kanan depan rumah. Dan digantungkan tikar diatasnya dengan tulisan “ Horas Tondi Madingin Pir Tondi
Matogu” yang mempunyai makna “selamatlah tondi dalam keadaan
dingin/sejuk/nyaman, keraslah tondi semakin teguh bersatu dengan badan”,
(50)
yang akan mereka hadapi ke depannya, selain itu, pohon pisang juga pertanda bahwa yang didalam rumah sudah ada yang menikah.
Pohon pisang yang digunakan juga tidak sembarangan, biasanya pisang yang digunakan adalah pisang Sitabar. Pohon pisang yang digunakan juga masih muda. Alasan kenapa pisang sitabar yang dipilih untuk ditanam, sebab orang-orang dulu percaya bahwa pisang sitabar ini mampu menangkal begu-begu (makhluk halus), masuk kedalam rumah dan selalu membawa dingin bagi penghuni rumah, sebab orang-orang dulu masih menyembah begu.
Menurut Sutan Nalobi: Tujuan ditanamnya pohon pisang untuk menangkal makhluk halus masuk ke rumah, sehingga ketika pengantin masuk rumah, hal-hal yang baik yang mereka bawa dan meninggalkan hal-hal yang buruk diluar, kenapa pohon pisang ditanam dua karena itu di ibaratkan seperti pintu, jadi apa-apa saja yang ingin masuk ke dalam rumah, dia harus masuk dari pintu itu. Oh iya, pisang yang digunakan adalah pisang sitabar, tidak boleh pisang yang lain, sebab pisang sitabar yang bisa menangkal makhluk-makhluk halus, dan pohon pisang yang digunakan masih muda.
Disekitar pohon pisang yang ditanam juga terdapat dahan pohon haruaya baringin, mare-mare dan sanggar. Maksudnya diharapkan semua saudara-saudara tidak pergi diharapkan semua membawa kedamaian, daun beringin bermakna supaya yang dipestakan itu nantinya seperti pohon beringin hendaknya, melindungi atau rendah hati.
Menurut Sutan Nakobi tujuan ditanamnya pohon pisang untuk menangkal makhluk halus masuk ke rumah, sehingga ketika pengantin masuk rumah, hal-hal yang baik yang mereka bawa dan meninggalkan hal-hal yang buruk diluar, kenapa pohon pisang ditanam dua karena itu di ibaratkan seperti pintu, jadi apa-apa saja yang ingin masuk ke dalam rumah, dia harus masuk dari pintu itu. Oh iya, pisang yang digunakan adalah pisang sitabar, tidak boleh pisang yang lain, sebab pisang sitabar yang bisa menangkal
(51)
makhluk-makhluk halus, dan pohon pisang yang digunakan masih muda.
Kenapa ada sanggar dan haruaya diikat di pohon pisang, itu diibaratkan seperti hubungan yang saling erat dan menyatu dan kalau sanggar dan haruaya itu sarsar (terpisah) maka ditakutkan hubungannya mereka juga akan renggang bahkan terpisah
Selain ditanam pelepah pisang juga diletakkan di depan pintu rumah, ketika kedua pengantin akan memasuki rumah, mereka akan disampak ( dibuang) beras ke atas sehingga mengenai kepala mereka dan menyebutkan kata “horas”, kemudian kedua pengantin akan menginjak pelepah pisang tersebut, dimana kaki sebelah kanan yang pertama pijak baru kemudian dilanjutkan kaki kiri. Dimana artinya adalah semoga kedua pengantin membawa berkah, rejeki dan kebahagian bagi yang punya rumah, sebab masyarakat percaya jika memijak pelepah pisang kedua pengantin akan membawa “hadinginon” (penyejuk) untuk yang punya rumah.
Foto 16 pohon pisang yang ditanam di depan rumah Sumber : Peneliti
4.3.3 Lampu Teplok
Lampu teplok dalam adat Angkola digunakan pada adat marbagas yang dilaksanakan di rumah pengantin perempuan, ketika pengantin perempuan akan
(52)
meninggalkan rumah, rombongan akan membawa lampu teplok yang berukuran kecil dan dalam keadaan menyala, masyarakat percaya apabila lampu ini mati maka pernikahan mereka tidak akan langgeng tetapi apabila lampu teplok ini terus hidup sampai di rumah pengantin laki-laki maka pernikahan mereka akan langgeng.
4.3.4 Lembu
Lembu dalam adat Angkola tidak termasuk dalam upa-upa, tetapi lembu tetap digunakan di semua adat Angkola. Dalam adat Angkola lembu disebut juga
juhut pardagingan (daging perdagingan), dimana lembu digunakan sebagai perdagingan dalam adat Angkola, daging lembu akan dimasak dan dijadikan
sebagai makanan bagi tamu yang datang.
Sehari sebelum acara adat perkawinan dilaksanakan, orang tua pihak laki-laki sudah membeli seekor lembu. Kemudian pada pagi hari, lembu tersebut akan disembeli atau dipotong. Setelah selesai, kemudian mereka akan memotong-motong lembu tersebut, sebelumnya mereka sudah mengembangkan ambal yang berguna sebagai tempat daging lembu.
Setelah selesai dipotong, kemudian daging tersebut akan dipotong dan diiris kecil-kecil. Daging ini biasanya dimasak soup, semur, anyang dan digulai. Yang mempunyai tugas ini adalah pihak anak boru dan pisang raut dari pengantin laki-laki, mereka yang bertugas mulai dari menyembelih sampai memotong-motong. Kebiasaan lainnya, daging lembu ini akan mereka panggang, kemudian mereka campurkan kecap asin, bawang merah dan cabai. Dan ini semua dilakukan pihak laki-laki.
(53)
Setelah selesai diiris-iris kecil, kemudian mereka akan memberikan kepada pihak perempuan untuk mencuci daging tersebut dan memasaknya. Sedangkan pihak laki-laki akan membantu mengambil kayu bakar.
Daging lembu ini juga dimasak khusus untuk makanan para raja-raja, masyarakat biasa menyebutnya dengan “anyang babiat”. Anyang babiat dibuat tanpa di masak, daging lembu tersebut dicuci bersih kemudian ditambah garam dan jeruk nipis, kemudian ditunggu sampai bumbu meresap. Cara pemasakan ini sama dengan masakan khas batak Toba yaitu makanan naniura yang terbuat dari ikan yang mentah, yang menjadi perbedaannya hanya bahan utamanya saja.
4.3.5 Bendera
Bendera adalah lambang yang mengandung falsafah kehidupan, jiwa, semangat, darah perjuangan, cita-cita dari seseorang, sekelompok, atau satu-satunya bangsa. Untuk ini para nenek moyang kita terdahulupun tidak lepas dari perlambang ini. Malah dari merekalah ini kita tiru dan warisi.
Di dalam acara pernikahan Orang Angkola, bendera-bendera ini juga mempunyai peran yang penting, dimana jika bendera ini dipasang berarti ada horja siluluton (kematian) atau siriaon (kebahagiaan) tergantung dari bendera yang dipasang dan cara pemasangannya.
(54)
Foto 17 Bendera yang dipasang di rumah pesta Sumber : Peneliti
Karena pada masa dahulupun perang antar desa sering terjadi, jadi masing-masing desa atau huta mempunyai semangat juang dan pendirian. Semangat juang dan pendirianini, diperlambangkan dengan bendera sesuai dengan corak dan warna sesuatu benda atau kain. Perlambang-perlambang ada yang disebut tonggo, panji-panji, spanduk, vandel, simbol, lencana dan lain-lain.
Demikian juga dalam adat nenek moyang kita, para kelompok yang bertanggung jawab dalam tugas membuat sesuatu bendera tugas sebagai tanda pertanggung jawaban. Raja mempunyai bendera, sebagai pemimpin dan penguasa, demikian yang lain-lain.
Apabila ada bendera yang tidak berdiri dalam suatu horja godang berarti ada kelompok yang tidak setuju dalam melaksanakan upacara horja itu.
1. Bendera Si Ara Rabe
Bendera ini terdiri dari tiga warna yaitu merah, putih, hitam. Kata si
ara rabe atau i hara rabe mempunyai pengertian kesatuan dan
persatuan yang dipegang teguh dan dipertahankan oleh para pengisi desa na walu (desa yang berada di delapan penjuru angin), yang dipimpin oleh seorang raja yang dihormati. Sia berarti sembilan, rabe sama-sama mau. Jadi semua raja-raja atau pengisi desa na walu bersama-sama dengan pimpinan seorang raja dalam hal ini Raja
(55)
Panusunan Bulung, sama-sama mau melaksanakan tugas upacara horja
godang baik siluluton maupun siriaon.
Bendera sia rabe ini dipasang atau didirikan dihalaman rumah suhut bolon atau dihalaman sopo godang, yaitu ditempat raja-raja bersidang atau berkumpul.
2. Bendera Gaja Manunggal
Bendera ini terdiri dari dua warna, yaitu putih dan hitam. Memperlambangkan keturunan raja atau anak mata. Walaupun ia orang pendatang pada suatu desa, namun menurut sejarahnya ia adalah keturunan raja atau anak mata yang boleh mendirikan adat. Dia adalah orang yang berhak dan mampu mendirikan adat, dalam istilah bahwa dia telah “manutung hudon”. Bendera ini didirikan di halaman Suhut. Pada zaman dahulu para raja-raja dan hatobangon sangat teliti mengikuti sejarah orang-orang pendatang kedalam desa. Karena tanpa keturunan raja atau anak mata, tidak dapat mendirikan horja. Mereka selalu meneliti keturunan orang-orang yang datang dan ingin tinggal di desa, sehingga masa lalu ada desa khusus yang didiami orang-orang yang tidak dapat mendirikan atau mengadakan horja godang.
3. Kuning, Naso Martihas So Marlandong
Bendera ini terdiri dari satu warna yaitu warna kuning emas (na
gorsing). Memperlambangkan kebangsawanan dan kehartawanan serta
keturunan raja-raja yang tidak pernah ketinggalan di adat yang disebut
“naso martihas so marlandong”, artinya tidak pernah cacat dan tidak pula pernah ketinggalan dalam adat.
(56)
Didirikan di depan rumah suhut dan juga memperlambangkan
“partalaga na so hiang, parmual na so sude”. Kekayaan atau hamoraon adalah suatu kebanggaan dalam adat karena orang yang cukup harta dan bangsawan yang dapat mendirikan adat secara sempurna, yang disebut sanggup “mambulungi”, karena ada juga keturunan raja yang miskin sehingga adatnya sering tertinggal tidak dapat ditutupi karena tidak ada harta yang banyak untuk membiayainya dan ada pula orang yang cukup kaya tetapi bukan keturunan raja atau anak mata untuk beradat harus lebih dahulu melalui beberapa tahap.
4. Ulok Tudung Api
Bendera ini terdiri dari tiga warna yaitu kuning, merah, hitam. Bendera ini didirikan dihalaman kahanggi sianggian (paling kecil) dari Suhut. Ini memperlambangkan bahwa satu keturunan darah dengan Suhut, satu tingkat sosial budaya serta satu pertanggung jawaban. Diperlambangkan dengan ular tudung api, bahwa ular ini tidak banyak bicara dan tingkah tetapi sangat cepat mematuk apabilan tersinggung. Dalam hal ini, apabila abangnya atau suhut mendapat cemoohan atau cacian, si adik lebih cepat bertindak untuk memberikan reaksi atau perlawanan, lebih mudah timbul emosinya untuk membela harga diri atau nama baik dari abangnya atau suhut.
Merah merupakan semangat dan satu keturunan darah, kuning menunjukkan satu tingkat sosial kebangsawanan, hitam menunjukkan satu pertanggung jawaban perjuangan dan pengorbanan. Sifat ular
(1)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, dimana atas berkat rahmat dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan dan penyusuan skripsi ini dilakukan demi memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial S-1 di Departemen Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul Tata Cara dan Adat Perkawinan Pada Masyarakat Etnis Angkola (Di Luat Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara)
Dalam pembuatan skripsi ini, penulis mendapatkan hambatan-hambatan, karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Tetapi berkat doa dan motivasi dari kedua orang tua dan informan yang terbuka memberikan data-data yang dibutuhkan penulis dalam pembuatan skripsi ini dan dosen-dosen penulis yang tidak bosan membimbing saya dan dukungan dari teman-teman, penulis mengucapkan banyak terima kasih. Akhirnya skripsi ini selesai disusun.
Secara spesifik skripsi ini membahas tentang gambaran umum, tahapan adat perkawinan, jalannya upacara adat perkawinan dan tantangan kedepan terhadap adat dan tata cara perkawinan Etnis Angkola. Sehingga nantinya yang menjadi rumusan masalah dalam skripsi ini akan terjawab semua.
Sebagai penutup dari penulisan skripsi ini, dilampirkan pula daftar kepustakaan sebagai penunjang dalam penulisan termasuk juga sumber-sumber lainnya. Dalam penulisan skripsi ini tentunya tidak lepas dari kekurangan, baik aspek kualitas maupun kuantitas dari materi penelitian yang disajikan semua ini didasarkan dari keterbatasan yang dimiliki penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna sehingga penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi penulis. Harapan penulis dengan adanya tulisan ini, diharapkan masyarakat akan lebih mengenal Etnis Angkola dan dapat membedakannya dengan Etnis lainnya terutama dengan Etnis Mandailing. Semoga skripsi dapat berguna dalam dunia akademis maupun praktis
(2)
Penulis
(3)
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ORIGINAL ... ii
ABSTRAK ... iii
UCAPAN TERIMA KASIH... iv
RIWAYAT HIDUP ... vi
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR FOTO ... xiii
DAFTAR TABEL... xiv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Tinjauan Pustaka ... 7
1.3.Rumusan Masalah ... 16
1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16
1.5.Metode Penelitian ... 17
1.6.Pengalaman Penelitian ... 21
BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 29
2.1. Sejarah Kabupaten Padang Lawas Utara ... 29
2.2. Letak dan Kondisi Grafis Kecamatan Halongonan ... 30
2.3. Jumlah dan Susunan Penduduk ... 31
2.4. Mata Pencaharian Penduduk ... 32
2.5. Flora dan Fauna... 33
2.5.1. Fauna ... 33
2.5.1. Flora ... 34
2.6. Upacara-Upacara Adat di Luat Halongonan ... 35
BAB III. TAHAPAN ADAT PERKAWINAN... 37
3.1. Tata Cara Perkawinan ... 37
3.1.1. Dipabuat (Perjodohan) ... 37
3.1.2. Marlojong atau kawin lari ... 39
3.1.3. Takko Mata ... 41
3.2. Prosesi Adat di Rumah Calon Pengantin Perempuan ... 41
3.2.1. Martahi ... 41
3.2.2. Manyapai Boru ... 44
3.2.3. Makkobar Boru ... 45
3.2.4. Akad Nikah ... 46
3.2.5. Paturunkon Boru ... 48
(4)
3.3. Prosesi Adat di Rumah Pengantin Laki-laki ... 50
3.3.1. Haroan Boru ... 50
3.3.2. Martahi ... 51
3.3.3. Pesta adat ... 52
BAB IV. JALANNYA UPACARA ADAT PERKAWINAN ... 57
4.1.Unsur-Unsur Terkait ... 57
4.1.1. Kahanggi, Anak Boru dan Mora ... 57
4.1.2. Raja Huta (Bona Bulu) ... 59
4.1.3. Raja Torbing Balok ... 59
4.1.4. Bayo-Bayo Luat ... 60
4.1.5. Panusunan Bulung ... 60
4.1.6. Pangatak Pangetong ... 60
4.1.7. Naposo Nauli Bulung ... 61
4.2. Prosesi Adat Perkawinan ... 62
4.2.1. Prosesi Tor-Tor ... 62
4.2.2. Gondang Sebagai Pengiring Upacara Tor-Tor ... 65
4.2.3. Prosesi Tapian Raya Bangunan ... 68
4.2.4. Prosesi Upa-Upa ... 74
4.3. Peralatan dan Perlengkapan ... 82
4.3.1. Mas Kawin ... 82
4.3.2. Pohon Pisang ... 82
4.3.3. Lampu Teplok ... 85
4.3.4. Lembu ... 85
4.3.5. Bendera ... 86
4.3.6. Parbajuon ... 99
4.3.7. Sayur ... 100
BAB V. PERUBAHAN TERHADAP ADAT DAN TATA CARA PERKAWINAN ANGKOLA ... 102
5.1. Tahapan Perkawinan ... 102
5.2. Hak dan Kewajiban ... 102
5.3. Jalannya Upacara ... 103
5.4. Perkawinan Semarga ... 104
BAB VI. PENUTUP ... 107
6.1. Kesimpulan ... 107
6.2. Saran ... 116
GLOSARIUM ... 117
(5)
DAFTAR FOTO
Foto 1 : Peta Kabupaten Padang Lawas Utara ... 30
Foto 2 : Adat Mangayun ... 36
Foto 3 : Prosesi Akad Nikah ... 47
Foto 4 : Pengantin Sedang Mencicipi Upa-Upa ... 48
Foto 5 : Ibu-Ibu Sedang Membuat Itak Ratusan ... 54
Foto 6 : Tor-Tor Amanta Soripada... 63
Foto 7 : Tor-Tor Inanta Soripada ... 64
Foto 8 : Tor-Tor Naposo Nauli Bulung ... 65
Foto 9 : Paronang-Onang ... 67
Foto 10 : Pengantin Diiringi Ke Tapian Raya Bangunan ... 70
Foto 11 : Harajaon Menunggu Kedua Pengantin Di Tapian Raya Bangunan ... 71
Foto 12 : Prosesi marpangir (Tepung Tawar) ... 72
Foto 13 : Horbo (Kerbau) Yang Akan Dijadikan Upa-Upa ... 75
Foto 14 : Balai Nasi... 76
Foto 15 : Mandokkon hata (menyampaikan kata) kepada kedua pengantin ... 79
Foto 16 : Pohon pisang yang ditanam di depan rumah ... 84
(6)
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Jumlah Penduduk Kecamatan Halongonan ... 31 Tabel 2 : Daftar Boli ... 41