Tinjauan Tentang Reksi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 12PK TUN 2011

BAB II
TINJAUAN UMUM REKLAMASI WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL

A. Defenisi Reklamasi
Reklamasi secara awam dapat diartikan hanya sebatas penimbunan daerah
perairan atau bibir pantai guna memperluas wilayah daratan untuk berbagai
peruntukan. Berdasakan Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 tentang
Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil bahwa Reklamasi adalah
kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber
daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.26
Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 ini lahir atas perintah Pasal 34
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014. Maka dengan lahirnya Perpres 122/2012
memperjelas pengaturan terkait dengan reklamasi di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil dimana telah banyak terjadi persoalan pro dan kontra dalam beberapa
pelaksanaan reklamasi di tanah air baik sebelum maupun sesudah lahirnya Perpres
122/2012 tersebut.

26


Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang memberikan
defenisi mengenai reklamasi telah memberikan keseragaman defenisi diantaranya
oleh Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang
Penataan Ruang Kawasan (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi, Puncak
dan Cianjur) dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan NOMOR
17/PERMEN-KP/2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan NOMOR 28/PERMEN-KP/2014.
Secara etimologi sendiri istilah reklamasi merupakan turunan dari istilah
Inggris reclamation yang berasal dari kata kerja reclaim yang berarti mengambil
kembali, dengan penekanan pada kata “kembali”. Di dalam teknik pembangunan,
istilah reclaim juga dipergunakan di dalam misalkan me-reclaim bahan dari bekas
bangunan atau dan puing-puing, seperti batu dan kerikil dan bekas konstruksi

jalan, atau kerikil dari puing beton untuk dapat digunakan lagi. Dalam teknik sipil
atau teknik tanah, istilah reclaim atau reklamasi juga dipakai di dalam
mengusahakan agar suatu lahan yang tidak berguna atau kurang berguna menjadi
berguna kembali atau lebih berguna. Sampai berapa jauh tingkat kegunaan ini
bergantung dari sasaran yang ingin dicapai. Di dalam pembangunan penghunian
dan perkotaan adakalanya daerah-daerah genangan dikeringkan untuk kemudian
dimanfaatkan. Bahkan wilayah laut pun dapat dijadikan daratan.27

27

Hasni, Op. Cit., hlm.341

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya beberapa kajian mengenai bahasa, kata reklamasi memiliki
berbagai defenisi yang tertulis di dalam beberapa kamus dimana penulis mengutip
antara lain :
1. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Reklamasi yaitu 1.

sanggahan dengan nada yang keras; 2. usaha memperluas pertanian
dengan memanfaatkan daerah-daerah yang sebelumnya tidak bermanfaat
misal (dengan cara menguruk daerah rawa-rawa) sehingga bermanfaat;28
2. Berdasarkan Kamus Hukum (Cetakan Ke-5, Sudarsono) Reklamasi yaitu
1. suatu sanggahan atau bantahan yang disampaikan dengan nada keras; 2.
usaha memperluas tanah pertanian dengan menggunakan daerah atau
wilayah (areal) yang tidak bermanfaat menjadi bermanfaat seperti daerah
rawa-rawa atau sebagainya. 29
3. Berdasarkan

Cambridge

Advance

Learner’s

Dictionary diberikan

keterangan mengenai reklamasi sebagai mana dikutip oleh F.Kalalo, yaitu
percobaan untuk membuat tanah layak untuk bangunan atau pertanian dan

pengolahan bahan-bahan sisa untuk memperoleh bahan-bahan berguna
darinya.30
Oleh beberapa defenisi mengenai reklamasi diatas maka kita dapat
memahami bahwa reklamasi merupakan suatu usaha meningkatkan sumber daya
28

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, hlm. 1188.
29
Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan Kelima, Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 2007,
hlm.401.
30
F.Kalalo, Kebijakan Reklamasi Pantai dan Laut Serta Implikasinya pada Status Hukum
Tanah dan Hak Masyarakat Pesisir disampaikan pada Konferensi Nasional VI Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Manado, 26-29 Agustus 2006 Hal.1096

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


lahan agar yang tidak bermanfaat menjadi bermanfaat atau dapat disebut sebagai
revitalisasi daerah pesisir. Defenisi mengenai reklamasi juga disebutkan oleh
Guru Besar IPB Prof.Dr.Ir.Dietriech G.Begen,DEA jelas mengatakan bahwa
reklamasi adalah kegiatan atau proses perubahan pada sumberdaya atau ekosistem
pesisir untuk memperbaiki dan meningkatkan manfaat sumberdaya ekosistem
pesisir bagi berbagai kebutuhan manusia.31

Gambar 1.1 Peta Reklamasi Nasional
Sumber : www.rapper.com-ketika reklamasi bukan hanya masalah jakarta
Pembangunan di wilayah pesisir dengan melaksanakan reklamasi
bukanlah hal yang baru dilaksanakan oleh negara-negara untuk memperluas
daratannya. Di Negara Indonesia sendiri kegiatan reklamasi telah berlangsung
sejak tahun 1979 dan tengah berlangsung hingga sekarang.

32

Antara lain

pelaksanaan reklamasi pantai di tanah air beserta peruntukan penggunaan tanah :


31

BAPEDDA SIBOLGA, Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 7 Mei 2015,

32

F.Kalalo, Op. Cit., hlm.1099

hlm.2.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

a. Reklamasi Pantai Utara Jakarta
Kawasan pantai utara Jakarta direncanakan untuk melalui proses reklamasi
darat. Lahan yang akan direklamasi mencakup 17 pulau. Beberapa perusahaan
pengembang dalam proyek ini meliputi PT Muara Wisesa Samudera, PT Pelindo,
PT Manggala Krida Yudha, PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk, PT Jakarta
Propertindo, PT Jaladri Kartika Ekapaksi, PT Kapuk Niaga Indah dengan total

anggaran Rp. 83 triliun. Dua perusahaan pengembang yang sudah mendapatkan
izin pada era kepemimpinan Fauzi Bowo adalah PT Muara Wisesa Samudera
yang merupakan anak perusahaan dari Agung Podomoro Group, dan PT Kapuk
Naga Indah, anak perusahaan Agung Sedayu Group.
Tujuan pembangunan setiap pulau memilik fungsi berbeda, beberapa di antaranya
yaitu.
1. Kawasan pertokoan tepi laut.
2. Kawasan outdoor dengan background tematik.
3. Kawasan taman burung (pengetahuan dan wisata).
4. Kawasan olahraga terbuka dengan standar internasional.
5. Kawasan olahraga air dan wisata pantai.
6. Kompleks olahraga, rumah sakit pusat dan pengembangan olahraga
internasional.
7. Kawasan industri, perdagangan dna logistik.
8. Kawasan lembaga jasa dan keuangan.
9. Kawasan hunian, hotel, dan pusat belanja.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara


Hingga saat ini reklamasi Jakarta masih menuai pro kontra dari Pemprov
Jakarta, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir,
dan Pulau-pulau Kecil di kementerian itu, Sudirman Saad mengatakan izin
reklamasi itu bukan merupakan kewenangan kepala daerah, namun oleh
Kementerian Kelautan. Reklamasi yang akan dilakukan pada 17 pulau belum
pernah ada izin dari Kementerian.
b. Reklamasi Teluk Benoa, Bali
Perusahaan pengembang reklamasi Benoa adalah PT Tirta Wahana Bali
Indonesia. Tipe reklamasi ini adalah reklamasi darat dengan anggaran Rp. 30
triliun. Alasan dicanangkannya reklamasi Benoa adalah kerusakan alam yang
terjadi di kawasan ini.
1. Teluk Benoa menjadi tempat pembuangan sampah. Hal ini dikarenakan
sedimentasi yang sudah sangat tinggi dan perubahan bentang alam.
2. Terjadi penyumbatan di daerah hilir DAS (daerah aliran sungai) sekitar
Teluk Benoa.
3. Teluk Benoa sudah tidak lagi produktif karena keadaan teluk yang rusak
parah. Hal ini diakibatkan endapan limestones bekas jalan tol yang tidak
diangkat. Serta rembesan minyak dan oli dari kapal di pelabuhan Benoa
yang terjadi setiap saat tanpa ada yang mengawasi. Terjadi pendangkalan
yang amat sangat, dan sedimentasi sudah hampir menyentuh pesisir

mangrove. Endapan lumpur rata-rata mencapai 16 meter.
4. Terjadi luberan sampah di mana-mana akibat sumbatan DAS.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

5. Sudah tidak ada lagi biota laut, seperti ikan, kerang, udang dan lainnya
yang bisa ditangkap nelayan di teluk saat lautsurut.
Namun, sumber lain mengemukakan bahwa Teluk Benoa memiliki
ekosistem Teluk Benoa terdiri dari dua ekosistem besar yakni ekosistem
mangrove dan ekosistem Padang Lamun. Ekosistem ini merupakan ekosistem
terbesar di tanah Bali. Adanya pendapat yang berbeda mengenai kondisi Teluk
Benoa saat ini selayaknya harus segera mendapatkan hasil pengkajian yang
komprehensif. Reklamasi Benoa dilakukan hanya karena kondisi teluk yang sudah
rusak dan harus segera diperbaiki. Beberapa tujuan reklamasi Benoa adalah
sebagai berikut.
a. Kawasan nelayan dan pertokoan tepi laut.
b. Kawasan hunian dan hotel mangrove eco chalet.
c. Kawasan olahraga air dan waterfront.
d. Kawasan taman botanical.

e. Pulau Pudut, kawasan kultur dan pura.
f. Kawasan pusat belanja.

c. Reklamasi Panati Losari, Makasar
Tipe reklamasi yang dijalankan di daerah ini adalah reklamasi darat
(pesisir). Pemanfaatan lahan reklamasi pantai atau penimbunan laut terjadi di
pesisir kota Makassar mulai gencar dilakukan sejak awal tahun 2000-an. Namun
berjalan lambat karena adanya pro kontra reklamasi. Pemkot Makassar juga
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

membuat master plan rencana reklamasi kawasan strategis bisnis global terpadu
Makassar yang pada akhirnya direspon oleh Pemprov dengan membuat rencana
pembangunan Centre Point of Indonesia (CPI). Koordinasi Advokasi Kopel
Indonesia, Musaddaq dikutip media menyebutkan, proyek CPI tanpa perencanaan
di RPJMD 2008-2013. Anggaran yang digunakan bukan dari APBN, namun
menggunakan APBD. Proyek tersebut belum direstui pemerintah pusat, karena
tidak melalui mekanisme persetujuan legislatif karena menimbun laut seluas
1.466,10 hektar.

d. Reklamasi Pelabuhan Balik Papan
Proyek reklamasi pelabuhan Semayang Balikpapan di bawah perusahaan
pengembang PT Pelindo IV Cabang Balikpapan, PT Pandega Citra Niaga , PT
Sentra Gaya Makmur konsorsium antara Vico dan Helindo, PT Wulandari
Bangun Lestari, PT Karunia Wahana Nusa, PT Sugico Graha, dan PT Avica Jaya
Nusantara. Tipe reklamasinya adalah reklamasi darat dan laut. Reklamasi ini
dimulai tahun 2016 dan direncanakan rampung tahun 2024. Total investasi yang
diperkirakan saat ini adalah Rp. 27, 8 triliun. Tujuan reklamasi Balikpapan yaitu
untuk pembangunan beberapa area berikut.
a. Area car terminal
b. Area supply base
c. Coastal road

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Dikutip dari Banjarmasin Post, Coastal ini akan dibangun selebar 50
meter, kemudian ada pedestrian atau kawasan untuk pejalan kaki selebar 25 meter.
Jalan itu akan menghubungkan Pelabuhan Semayang di wilayah selatan dengan
Bandara Sepinggan di utara. Pemkot saat ini masih mengurus izin dari
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Setelah itu, masing-masing investor
harus memperoleh izin kerja reklamasi dari Kementerian Perhubungan.
e. Reklamasi Dermaga Logistik, Balik Papan
Pengembang proyek reklamasi Dermaga Logistik Balikpapan dibawahi
langsung oleh TNI Angkatan Laut dan didanai oleh pemerintah daerah setempat.
Anggaran reklamasi dermaga ini mencapai Rp. 180 miliar. Reklamasi pantai ini
telah mulai dibangun pada September 2015 dan dicanangkan rampung tahun
2017. Tujuan pembangunan: Dermaga pendukung pelaksanaan operasi di wilayah
Timur Indonesia, operasi menjaga keamanan, pertahanan laut RI. Dikutip dari
Jakartagreater.com, Dermaga yang dibangun nanti, berada di Pantai Melawai,
sekitar 500 meter dari Semayang. Dermaga ini akan menjadi pendukung operasi
di wilayah Timur Indonesia dan sangat membantu kapal-kapal perang dalam
melakukan pembekalan ulang, sebelum beroperasi menjaga keamanan dan
pertahanan laut RI, khususnya wilayah laut perbatasan serta Alur Laut Kepulauan
Indonesia (ALKI) II. Alur laut ini menjadi jalur pelayaran internasional yang
memiliki potensi ancaman tinggi dan harus diwaspadai.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

f. Reklamasi Teluk Palu, Sulawesi Tengah
Proyek reklamasi Teluk Palu ini di bawah perusahaan pengembang, PT.
Yauri Properti Investama, PT Mujur Gemilang Abadi, dan PT Toloan. Tipe
reklamasi yang digunakan adalah reklamasi darat (pesisir). Jumlah anggaran tidak
diketahui pasti, namun menurut kabar yang tersiar anggaran mencapai kurang
lebih Rp. 200 miliar. Teluk Palu terbentang dari Donggala di ujung sebelah barat
laut, melingkar membentuk huruf U menuju kawasan Pantai Barat Sulawesi
Tengah di sebelah utara, melintasi Kota Palu. Sepanjang teluk ini, Anda akan
disuguhkan pada pemandangan menarik berupa birunya laut yang nampak
menyatu dengan warna biru langit, desir angin, pantai berpasir putih (di wilayah
Kota Palu agak berbatu), dan rindang pepohonan (kelapa, ketapang, johar, bakau,
dan lain-lain).
Direktur Operasional Perusahaan Daerah Kota Palu, Taufik Kamase
berpendapat bahwa Teluk Palu memiliki potensi ekonomi yang tinggi sehingga
harus dimanfaatkan secara maksimal. Kawasan pantainya sangat indah. Namun,
saat

ini

masih

berantakan

dan

tak

ada

fasilitas

yang

baik

untuk

wisata. “Bayangkan saja, untuk mencari tempat kencing saja susah. Ini persoalan
sepele namun harus dipikirkan.” ungkap Taufik kepada Antaranews. Secara
umum, tujuan reklamasi Palu adalah sebagai berikut:
a. Memperbaiki kawasan pantai menjadi lebih baik fasilitasnya.
b. Menjadikan Kota Palu menjadi kota pariwisata yang baik, termasuk pusat
perbelanjaan, hotel, ruko apartemen, dan tempat bermain.
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Dikutip dari Jawa Pos, luas reklamasi mencapai 24,4 hektar dan dilakukan
berdasarkan rekomendasi Pemda. Sementara peletakan batu pertama dilakukan
oleh Wali Kota Palu sebelumnya, Rusdy Mastura. Namun, pro kontra masih
terjadi di kawasan ini. Warga pesisir melakukan berbagai aksi tolak reklamasi,
bahkan sebagian dari mereka mengancam akan memblokir proses pengurugan.
Kecaman juga datang dari Walhi, karena khawatir habitat flora dan fauna di
sekitar pantai akan terkena dampak buruk.33
g. Reklamasi Pulau Nipa, Kepulauan Riau
Pulau Nipa termasuk salah satu pulau terluar dari 12 pulau yang perlu
mendapat perhatian khusus karena letaknya cukup dekat dengan negara
Siangapura. Pada awal tahun 2000 pulau ini menjadi perhatian utama akibat
penambangan pasir yang diekspor untuk reklamasi dataran negara Singapura,
menyebabkan luas pulau berkurang dan nyaris tengglam. Saat ini pulau Nipa telah
direklamasi dan dibangun pangkalan Angkatan Laut (AL) untuk menjaga
kedaulatan Pulau Nipa yang letaknya cukup dekat dengan negara Malaysia.
Penduduk sekitar menyebut pulau ini dengan Pulau Angup. Terdapat patok
referensi batas teritorial negara atau titik dasar dengan kode TD 190 dan TR 190
yang berfungsi sebagai acuan pengukuran dan penetapan media line perjanjian
perbatasan negara Indonesia – Singapura pada tahun 1974.

33

http://www.ruangreklamasi.com/7-proyek-reklamasi-yang-sedang-berjalan-diindonesia.html (diakses pada tanggal 16 April 2016)

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Secara administrasi pulau Nipa termasuk ke dalam wilayah Desa Pomping.
Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini
terletak di Selat Singapura dan berbatasan dengan negara tetangga yaitu
Singapura. Sedangkan secara geografis plau Nipa terlatak pada koordinat
01˚09’13” dan 103˚39’11” T. Pulau Nipa memiliki luas sekitar 0,5 Ha sebelum
reklamasi, namun setelah reklamasi luasnya mencapai 60 Ha. Pulau Nipa
mempunyai nilai yang sangat strategis karena berada di jalur pelayaran
internasional dari dan menuju Pelabuhan Jurong Singapura. 34

B. Defenisi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai peraturan pokok mengenai
pertanahan di tanah air tidak memberikan defenisi secara langsung mengenai wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil serta pengaturan lebih lanjut mengenai tanah yang
berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun secara eksplisit sebagaimana
pada Pasal 1 UUPA sebagai doktrin Wawasan Nusantara dimana Prof. A.P.
Parlindungan menyatakan dengan doktrin Wawasan Nusantara inilah dapat kita
artikan sebagai hubungan yang bersifat abadi antara bangsa Indonesia dengan bumi,
air dan ruang angkasa demikian juga hubungan dengan tubuh bumi baik yang berada
dibawah air, perairan dalam maupun laut teritorial bangsa dan negara Indonesia.35 Hal
ini dapat menjadi penjelasan bahwa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga

34

http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktori-pulau/index.php/public_c/pulau_info/456
(diakses pada tanggal 16 April 2016)
35
Prof.A.P.Parlindungan, Op. Cit., hlm.40

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

termasuk didalam kesatuan Wawasan Nusantara Negara Indonesia yang diatur
didalam UUPA.
Defenisi terkait wilayah pesisir secara jelas dapat kita temukan didalam
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil bahwa:36
a. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antar-sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu penge-tahuan dan
manajemen untuk mening-katkan kesejahteraan masyarakat.
b. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
c. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2
(dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
d. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat.

Pada dasarnya, tidak seorangpun di Indonesia yang belum pernah
mendengar kata wilayah pesisir. Baik di daerah perkotaan hingga ke daerah

36

Pasal 1 angka 1, 2, 3, dan 21 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

pedesaan tentu pernah melihat daerah pesisir. Namun pada masyarakat kita
terdapat defenisi kata wiayah pesisir yang beragam bergantung pada pengetahuan
yang diperoleh oleh masing-masing. Untuk menengahi hal tersebut, telah terdapat
kesepakatan umum akan arti dari wilayah pesisir sebagaimana tertulis didalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai kamus bahasa indonesia resmi
bahwa pesisir adalah tanah datar berpasir di pantai atau laut, pesisir basah adalah
daerah antara garis pantai waktu air laut surut dan pantai waktu air laut pasang,
selanjutnya yang terlebih bersifat khusus pesisir kering adalah daerah antara garis
pantai waktu air laut pasang dan garis pantai tertinggi yang dapat dicapai oleh air
laut pada waktu topan melanda.37
Pengelolaan wilayah pesisir telah menjadi perhatian pemerintah pusat
karena daerah wilayah pesisir yang rentan akan kerusakan oleh aktivitas manusia
dengan memfaatkan sumber dayanya dan akibat bencana alam serta keunikan dari
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut yang rentan berkembangnya
konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat pesisir dan pulaupulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas manusia dapat
dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi. 38
Penyerahan pengelolaan wilayah pesisir juga dilakukan oleh pemerintah pusat
dengan asas desentralilsasi pada pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur kewenangan daerah Provinsi

37
38

http://kbbi.web.id/pesisir (diakses pada tanggal 2 Januari 2016)
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

atas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil sejauh 12 mil dari garis pasang
surut pantai.39
Menurut Soegiarto bahwa :40
Definisi wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah
pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat wilayah pesisir meliputi
bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi
sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin,
sedangkan ke arah wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih
dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan
manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Secara umum, menurut Sugeng Budiharsono wilayah didefenisikan
sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagianbagiannya bergantung secara internal. Wilayah dapat dibagi menjadi 4 jenis, yaitu :41
1. Wilayah Homogen
Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/ kriteria
mempunyaisifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama. Sifat-sifat dan ciri-ciri
kehomogenan itu misalnya dalam hal ekonomi (seperti daerah dengan struktur
produksi dan konsumsi yang homogen, daerah dengan tingkat pendapatan
rendah, dan lain-lain), geografi (seperti wilayah yang mempunyai tipografi
atau iklim yang sama), agama, suku dan sebagainya.
39

Pasal 27 ayat 3 UU 27 Tahun 2007
Rokhmin Dahuri, Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Laut Secara
Terpadu, Jakarta, Penerbit Pradnya Paramita, 2004, hlm.8.
41
Sugeng Budiharsono, Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Lautan ,
Cetakan Kedua, Jakarta, Penerbit PT. Pradnya Paramitha, 2005, hlm.18.
40

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

2. Wilayah Nodal
Wilayah nodal (nodal region) adalah wilayah yang secara fungsional
mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya
(hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk,
faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi.
3. Wilayah Administratif
Wilayah administrasi adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan
berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti
provinsi, kabupaten, kecamatan desa atau keluarahan, RT/RW.
4. Wilayah Perencanaan
Boudeville (dalam Glasson, 1978) mendefenisikan wilayah perencanaan
sebagai wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusankeputusan ekonomi. Wilayah perencanaan dapat dilihat sebagai wilayah yang
cukup besar untuk memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan penting
dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja, namun cukup kecil untuk
memungkinkan persoalan-persoalan perencanaannya dapat dipandang sebagai
suatu kesatuan.
Wilayah pesisir dan lautan menurut Sugeng Budiharsono, dapat termasuk
dalam keempat jenis wilayan tersebut. Sebagai wilayah homogen, wilayah pesisir
merupakan wilayah yang memproduksi ikan, namun bisa juga dikatakan sebagai
wilayah dengan tingkat pendapatan penduduknya yang tergolong di bawah garis
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

kemiskinan. Sebagai wilayah nodal, wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah
belakang, sedangkan daerah perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah
pesisir dianggap sebagai halaman belakang yang merupakan tampat membuang
segala macam limbah. Sebagai wilayah belakang, wilayah pesisir merupakan
penyedia input (pasa input) bagi inti, dan merupakan pasar bagi barang-barang
jadi (output) dari inti. Sebagai wilayah administrasi, wilayah pesisir dapat berupa
wilayah administrasi yang relatif kecil yaitu kecamatan atau desa, namun juga
dapat berupa kabupaten/kota pada kabupaten/kota yang berupa pulau kecil.
Sedangkan sebagai wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir sering melewati
batas-batas satuan wilayah administratif. Sebagai contoh adalah wilayah pesisir
Kabupaten karawang, apabila nelayan atau petambak di Kabupaten Karawang
menebang habis pohon bakau yang ada di pantainya untuk dijadikan tambak
udang, maka dampak negatifnya tidak hanya dirasakan oleh daerah tersebut tetapi
akan berdampak terhadap wilayah pesisir Kabupaten Bekasi maupun Kabupaten
Inderamayu. Kondisi tersebut terjadi karena wilayah pesisir pantai utara Jawa
Barat bahkan Laut Jawa,yang merupakan suatu kesatuan wilayah perencanaan.42
Selanjutnya Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu juga menyatakan defenisi
terkait wilayah pesisir bahwa konsep wilayah pesisir dan lautan dari sudut
pandang ilmu perancanaan pembangunan wilayah tentunya berbeda dengan ilmu
kelautan yang berorientasi kepada aspek fisik saja. Definisi yang dikembangkan
dari aspek fisik bukan definisi fungsional, melainkan definisi yang bersifat kaku

42

Ibid, hlm.21

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

dan lebih berorientasi fisik. Definisi yang dikembangkan juga bervariasi
tergantung negaranya. Sebagai contoh negara Costa Rica mendefinisikan batas
wilayah pesisir adalah jarak secara sembarang ke arah darat dari pasang surut dan
batas ke arah laut adalah rata-rata pasang terendah atau rata-rata pasang
tertinggi. 43 Sedangkan menurut Beatley, “wilayah pesisir didefinisikan sebagai
wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang
masih terkena pengaruh percikan air laut pasang surut dan ke arah laut meliputi
daerah paparan benua”.44
Keunikan geografis dari

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

diungkapkan oleh Griffith dan Inniss (1992) serta Beller (1990) yang dikutip
dalam Artikel Garasi, pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang sangat
menonjol yaitu antara lain :45
a. Terpisah dari habitat pulau induk sehingga sangat insuler;
b. Memiliki persediaan air tawar yang terbatas, termasuk air tanah atau air
permukaan;
c. Rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan
manusia;
d. Memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi;
e. Tidak mempunyai daerah hinterland.

43

Ibid, hlm.22
Rokhmin Dahuri, Op. Cit,. hlm.9
45
http://garasi.in/hak-pengusahaan-perairan-pesisir-hp-3.html (diakses pada tanggal 3
Januari 2016)
44

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dalam Undang-Undang Pesisir,
yakni ruang lautan yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan ruang
daratan yang masih terasa pengaruh lautnya, serta Pulau-Pulau Kecil dan perairan
sekitarnya yang merupakan satu kesatuan dan mempunyai potensi cukup besar
yang pemanfaatannya berbasis sumber daya, lingkungan, dan masyarakat. 46
Sehingga pentingnya pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil yang benar dengan sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA), Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait.

C. Bentuk dan Sistem Kegiatan Reklamasi

1. Bentuk Reklamasi

Berdasarkan lokasinya, pelaksanaan reklamasi pantai dibedakan menjadi
dua yaitu Daerah reklamasi yang menyatu dengan garis pantai semula
(reklamasi menempel pantai), dimana garis pantai yang baru akan menjadi
lebih jauh menjorok ke laut dan daerah reklamasi yang terpisah dari pantai47 :

46

Muhammad Ilham Arisaputra, Penguasaan Tanah Pantai Dan Wilayah
Pesisiir di Indonesia , Jurnal Hukum (Perspektif Hukum), Vol 15, 2015, hlm.33.
47

Moch. Choirul Huda, Pengaturan Perizinan Reklamasi Pantai Terhadap Perlindungan
Lingkungan Hidup, Artikel Hukum Perspektif, Volume XVIII No.2, Mei 2013, hlm.131

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

a. Reklamasi menempel pantai
Bentuk menempel pantai dapat dilakukan pada pantai dengan kondisi
drainase yang baik sehingga kegiatan reklamasi tidak menimbulkan dampak
atau permasalahan dalam pengelolaan drainase. Letak lahan reklamasi ini
menyatu dengan pantai daratan induk. Keuntungannya anatara lain adalah
kemudahan pembuatan pasarana/jaringan transportasi, sedangkan kerugiannya
adalah lahan reklamasi yang baru menghalangi/memperpanjang sistem jaringan
drainase yang ada sehingga akan meningkatkan elevasi muka air di muara yang
berdampak dengan meningkatnya potensi banjir di daerah hulu.48
b. Reklamasi Terpisah dari Pantai
Bentuk terpisah dari pantai dilakukan pada kondisi saat sistem drainase
pada wilayah tersebut relatif buruk sehingga dilakukan reklamasi menempel
pada pantai akan meningkatkan potensi banjir.49
2. Sistem Reklamasi
Sistem reklamasi yang dikenal di Belanda, cara-cara reklamasi untuk
membangun lahan baru pada prinsipnya dapat dibagi di dalam dua golongan yakni
yang dikenal dengan istilah polder dan sistem urukan, di dalam bahasa Inggris fill.
Sistem polder berusaha mendapat lahan kering dengan membuang air yang
menggenanginya dengan pemompaan. Untuk keperluan pemompaan lahan polder
dibagi dalam petak-petak dengan menggali parit-parit di mana air dapat
berkumpul, mula-mula pada parit-parit kecil, untuk dialirkan ke parit-parit lebih
48

https://kskbiogama.wordpress.com/2010/04/03/aspek-sistem-dan-bentuk-reklamasi-diwilayah-pesisir/ (diakses pada tanggal 30 februari)
49
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

besar, akhirnya ke parit induk yang mengelilingi kawasan polder. Dari parit induk
ini air kemudian dipompa keluar ke daerah yang lebih tinggi untuk lebih lanjut di
buang ke laut. Untuk mencegah agar air di wilayah sekeliling polder tidak
memasuki lahan polder, sekeliling lahan polder, di sisi luar parit induk dibangun
tanggul rendah. Teknologi polder ini mulai dikembangkan terutama di negara
Belanda yang wilayahnya mula-mula banyak yang bersifat rawa dan payau yang
terlindungi dari laut hanya oleh bebukitan pasir di sepanjang pentainya. 50
Reklamasi pada dewasa ini banyak dilakukan dengan sistem urukan, dua sistem
utama :
1. Sistem Polder

Gambar. 1.2 Skema Polder
Sumber : A.R.Soehoed, Reklamasi Laut Dangkal Canal Estate Pantai
Mutiara Pluit

50

Hasni, Op. Cit., hlm. 342

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Pertama, adalah dengan menguruk pasir pada wilayah yang akan
direklamasi hingga tinggi tertentu, kemudian membangun konstruksi pelindung
tepinya yang dapat berupa turap atau berupa tanggul laut di dalam galian di tepi
lahan yang sudah diuruk itu. Maka, pada cara reklamasi ini urukan dilakukan atas
wilayah yang sedikit lebih luas daripada yang direncanakan. Kelebihan urukan ini
kemudian dikeruk kembali dan pasirnya dibuang di tempat lain apabila konstruksi
pelindung tepi itu, atau lebih tepat konstruksi pelindung pantai itu, sudah
rampung. Sistem ini umumnya disebut blanket fill.51

Gambar 1.3 Urutan Pekerjaan Reklamasi dengan sistem Blanket Fill
Sumber : A.R.Soehoed, Reklamasi Laut Dangkal Canal Estate
Pantai Mutiara Pluit
51

Ibid, hlm.344

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

2. Sistem Hydraulic Fil
Sistem kedua, adalah hydraulic fill. Melalui sistem ini, konstruksi
pelindung dahulu yang dibangun, tentunya didalam air dan tidak di dalam galian
kering seperti blanket fill. Setelah seluruh konstruksi pelindung rampung, barulah
lahan laut yang telah terlindungi ini diuruk secara hydraulis, artinya pasir uruk
dipompa olah kapal keruk ke dalam wilayah yang telah terlindungi itu.52

Gambar : 1.4 Urutan Pekerjaan Reklamasi dengan sistem Hydraulic Fill
Sumber : A.R.Soehoed, Reklamasi Laut Dangkal Canal Estate Pantai Mutiara Pluit
52

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Hasil dari kedua sistem utama ini sama, yakni lahan yang diuruk higga
tinggi tertentu, umumnya kering tetapi belum cukup kuat untuk memikul beban
bangunan. Tanah ini berangsur akan menguat secara alamiah melalui proses
pemadatan yang disebabkan oleh berat tanah itu sendiri dan pengeringan alamiah.
Akan tetapi proses alamiah ini memerlukan waktu tahunan. Maka agar cepat siappakai, pemadatan pembangunan tanah ini dipercepat dengan teknik yang disebut
soil improvement. Proses penguatan tanah ini atau secara teknis dapat disebut

proses meningkatkan daya pikulnya adabermacam caranya dengan hasil daya
pikul yang berbeda-beda. 53 Serta terdapat pula Sistem Kombinasi, sistem ini
dengan cara membuat tanggul terlebih dahulu seperti dalam polder kemudian
diurug. Karena jenis berat material urug yang lebih besar dari pada berat jenis air
laut, maka air laut akan berangsur-angsur melimpah ke luar diganti oleh material
urug sampai elevansi yang telah ditentukan.54
3. Cara Pemandatan Tanah Hasil Reklamasi
Sistem reklamasi dan cara pemadatan yang dipilih, bergantung dari
berbagai faktor yang meliputi kondisi lokasi semula, masalah persediaan pasir
uruk, peralatan yang tersedia, pendanaan, pamasaran, dan faktor lain. 55 Secara
lazim cara pemadatan yang dilakukan denga cara soil improvement yaitu dengan
pemasangan Vertical Drain, Dynamic compaction dan pemasangan Surcharge.

53

A.R.Soehoed, Reklamasi Laut Dangkal Canal Estate Pantai Mutiara Pluit , Jakarta,
Penerbit Djambatan, 2004, hlm.8.
54
Moch. Choirul Huda, Loc, Cit,.
55
A.R. Soehoed, Loc, Cit,.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Gambar1.5 Peningkatan daya pikul lempung lunak dengan Vertical Drain
Dynamic Compaction dan Surcharge
Sumber : A.R.Soehoed, Reklamasi Laut Dangkal Canal Estate
Pantai MutiaraPluit

Selain dengan cara pemadatan di atas terdapat pula cara pemadatan tanah
yang lainnya berdasarkan ilmu pemadatan tanah, antara lain:56
a. Pemadatan Metode Vibrocompaction
Pemadatan dengan cara vibrocompaction umumnya hanya efektif untuk
tanah bergradasi pasir dan lebih kasar dari pasir. Cara ini umumnya
dilakukan dengan bantuan alat vibrocompaction yang dapat berupa tiang
(pancang) berujung terbuka atau tertutup. Tiang tersebut dimasukkan ke
dalam tanah dengan digetar. Pada sebagian dari cara ini, tanah dipadatkan
dengan “menusuk-nusuk”kan tiang pancang yang bergetar kedalam tanah
(tanpa tambahan material pengisi) dan sebagian lagi dengan menambahkan
meterial pengisi (pasir atau kerikil).
56

http://www.ilmukonstruksi.com/2015/10/teknologi-pemadatan-tanah.html (diakses
pada tanggal 3 April 2016)

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

b. Sistem Vibroflotation.
Sistem Vibroflotation ini dikembangkan mulanya di Jerman 60 tahun yang
lalu. Alat vibroflotation pada umumnya terdiri dari 3 bagian utama yaitu :
alat vibrator, pipa pemanjang (extension tube), dan mobil derek/crane
pemikul.Perbedaan sistem ini dengan sistem vibrating probe ialah bahwa
pada vibroflotation penggetaran bekerja akibat perputaran pada poros alat
vibrator yang tidak sentris sehingga menghasilkan gaya centrifugal pada
arah horisontal dan “menyibak” tanah kesamping dan menghasilkan
lubang pada tanah. Akibat getaran centrifugal dan berat sendiri dari
vibrator, alat ini dapat dengan cepat masuk kedalam tanah. Penggetaran
menyibak tanah kesamping itu juga dapat dilakukan dengan bantuan air
yang dipompa ke alat vibrator dengan tekanan (water jet). Pada saat
penarikan keatas, lubang yang ditimbulkan oleh sistem ini diisi dengan
pasir atau kerikil, sambil tetap digetarkan untuk memadatkan bahan
pengisi tersebut.
c. Sistem Vibro Compozer.
Sistem ini mula-mula dikembangkan di Jepang oleh Murayama (1958).
Prinsipnya ialah sebuah pipa casing dipancangkan kedalam tanah dengan
digetar (melalui alat vibrator diujung atas pipa). Kemudian pasir
dimasukkan kedalam pipa casing dengan bantuan tekanan udara. Pasir
tersebut kemudian dipadatkan dengan cara menarik turunkan pipa casing
(sambil dicabut) berkali-kali sehingga terbentuk tiang pasir padat dengan
diameter yang lebih besar dari pada pipa casing tersebut. Selama
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

pemadatan, tanah pasir pengisi tetap dalam keadaan mendapat tekanan
udara.
d. Sistem Soil Vibratory Stabilization
Sistem Soil Vibratory Stabilization (SVS) ini juga dikenal sebagai
sistem Toyomenka (dikembangkan

oleh

PT.Toyomenka

di

Jepang)

merupakan kombinasi antara vertikal vibration akibat Vibratory driving
hammer (penumbuk getar arah vertikal) dan sistem getar putar pada
vibroflotation. Pemadatan ini menggunakan bahan pengisi pasir atau krikil
(pada waktu pencabutan alat ke atas), tetapi water jet tidak digunakan
sama

sekali.

Sistem vibrocompaction yang

diuraikan

diatas

dapat

memadatkan tanah sampai kedalam 20,0 meter, tetapi umumnya sistem ini
tidak banyak digunakan untuk kedalaman > 30.0 meter.
Sistem vibroflotation, vibro-compozer dan SVS juga dapat digunakan pada
tanah lempung yang lunak. Tetapi tujuannya terutama ialah untuk
pemasangan sand column atau stone column pada tanah asli. Jadi yang
dituju bukan perubahan kepadatan tanah asli tetapi instalasi sand/stone
column (kolom-kolom pasir dan kerikil) tersebut. Bila kepadatan tanah asli
ingin dirubah dengan penggetaran, cara vibrocompaction ini lebih efektif
untuk tanah-tanah dominan pasir.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

D. Hak Ulayat Masyarakat Adat Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Secara etimologis masih belum ada kesatuan pandangan tentang
penggunaan istilah “hak ulayat” dalam masyarakat. Hak ulayat sendiri merupakan
istilah yang lebih dikenal di kalangan masyaratak Minangkabau, Sumatera Barat.
Beberapa daerah lain di Indonesia, masyarakat menyebutnya dengan berbagai
istilah dan dalam konteks yang berbeda-beda, baik sebagai milik – Patuanan
(Ambon) – maupun sebagai daerah penghasil makanan – Panyampeto
(Kalimantan) – ataupun sebagai lapangan yang terpagar – Pawatasan
(Kalimantan), wewengkon (Jawa), Prabumian (Bali), atau sebagai tanah terlarang
bagi orang lain – Totabuan (Bolaang Mongondow). Selain itu juga ada istilah
Torluk (Angkola), Limpo (Sulawesi Selatan), Nuru (Buru), Payar (Bali), Paer

(Lombok) dan Ulayat (Minangkabau) (Ter Haar). 57 Hak ulayat mengandung 2
(dua) unsur. Unsur pertama adalah unsur hukum perdata, yaitu sebagai hak
kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas
tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek
moyang mereka dan merupakan karunia sesuatu kekuatan gaib, sebagai
pendukung utama kehidupan dan penghidupan serta lingkungan hidup
(lebensraum) seluruh warga masyarakat hukum adat itu. Unsur kedua adalah
unsur hukum publik, yaitu sebagai kewenangan untuk mengelola dan mengatur
peruntukkan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut, baik dalam

57

Daud Djubedi, Hak Ulayat Laut Di Era Otonomi Daerah , Yogyakarta, Penerbit Genta
Press, 2015, hlm.17.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

hubungan intern dengan para warganya sendiri, maupun ekstern dengan orangorang bukan warga atau orang luar.58
Menurut Sumardjono, Pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat adat di
Indonesia untuk pertama kalinya diakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 59 Dimana
tercantum di dalam Pasal 3 UUPA secara lengkap :
“ Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak
Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturanperaturan lain yang lebih tinggi ”.
Definisi tanah ulayat baru dapat kita temui dalam Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum

yang

menyebutkan bahwa Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat
hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Sedangkan, masyarakat
hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan.60
58

Kartika Listriana dan Dinah Yunitawati, Hak Ulayat Masyarakat dalam Ketentuan Hak
Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) , Artikel Penataan Ruang, Tanpa Tahun.
59
Rokhmin Daruhi, Loc, Cit,.
60
Lihat Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No. 5 Tahun 1999

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil oleh
Masyarakat Adat yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah
Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau kecil. Undang-Undang Pesisir menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan Masyarakat dalam Undang-Undang tersebut adalah masyarakat yang
terdiri dari Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal yang bermukim di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil61. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) dapat
diberikan diantaranya kepada masyarakat adat dengan masyarakat mempunyai
hak untuk melakukan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau
kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan. 62 Namun Masyarakat Adat yang bermukim di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baik tidak dengan status HP3 ini dalam
penguasaan pesisir dengan hak ulayat telah terjadi jauh lama bahkan sebelum
Undang-Undang Pokok Agraria lahir sehingga sangatlah penting diakuinya
masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat pesisir selanjutnya secara
tegas dituangkan sebagaimana dalam Pasal 61 Nomor 27 tahun 2007 yang
berbunyi :
1) Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat
Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan Lokal atas Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang telah dimanfaatkan secara turun-temurun.

61
62

Lihat Pasal 1 ayat 32 UU 27 Tahun 2007
Lihat Pasal 60 UU 27 Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

2) Pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan
Kearifan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijadikan acuan
dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
berkelanjutan.

Hak Ulayat Laut
Secara terminologis, hak ulayat laut adalah terjemahan dari kata bahasa Inggris,
Sea Tenure. Menurut Sudo, Sea Tenure adalah sebuah sistem tentang pemanfaatan

wilayah laut oleh beberapa orang atau kelompok sosial dengan mengatur tingkat
eksploitasi dan melindungnya dari over explotation . Sementara menurut
Laundsgraade bahwa istilah sea tenure mengacu pada hubungan timbal balik
antara hak dan kewajiban yang mucul kaitannya dengan kepemilikan wilayah laut.
Dengan Demikian dapat dikatakan bahwa yang dmaksud dengan hak ulayat laut
adalah seperangkat aturan mengenai praktik pengelolaan wilayah laut dan sumber
daya yang terkandung didalamnya. 63 Namun perlu dipahami bahwa munculnya
konsep pengelolaan wilayah laut tersebut tidaklah lahir begitu saja, tapi sangat
dipengaruhi oleh upaya manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan laut.
Dengan demikian maka hak ulayat laut dapat dianggap sebagai bentuk adaptasi
oleh suatu komunitas masyarakat adat pesisir yang bertujuan agar laut dapat
dimanfaatkan dengan baik dan terhindar dari kerugian sosial yang lebih besar bagi
masyarakat.64

63
64

Daud Djubedi, Op. Cit., hlm. 24
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

Kewenangan dan kewajiban masyarakat hukum adat yang tergolong dalam
bidang hukum perdata dan bidang hukum publik. Kewenangan dan kewajiban
bidang hukum perdata adalah hak kepunyaan bersama atas tanah dan perairan,
sedangkan yang tergolong bidang hukum publik adalah tugas kewenangan untuk
mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan
pemeliharaannya. Menurut Budi Harsono, Hak ulayat meliputi semua tanah dan
perairan yang ada dalam lingkungan wilayah masyarakat hukum yang
bersangkutan baik yang sudah dihakii oleh seseorang maupun yang belum
sehingga dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah maupun perairan sebagai
res nulius.

65

Konsekuensi dari ada dan tidaknya tanah dan perairan res

nulius dalam lingkungan hak ulayat adalah tidak satu pun perbuatan hukum yang

bersifat perdata maupun publik terjadi tanpa campur tangan masyarakat hukum
adat, yang diwakili oleh suatu sistem kepemimpinan dengan kewenangankewenangannya. Dalam konteks hak ulayat laut, hal ini berarti perairan yang
merupakan wilayah dari hak ulayat tertentu, tunduk sepenuhnya di bawah otoritas
institusi kepemimpinan masyarakat hukum adat tersebut.66
Klaim pemilikan wilayah laut oleh masyarakat adat tentunya memiliki
argumentasi yang jelas. Banyak pertimbangan yang dijadikan dasar dalam
menetapkan batas wilayah laut guna menjaga ekploitasi potensi laut yang
berlebihan. Namun demikian, masyarakat adat sangat menyadari bahwa batasbatas wilayah laut yang ditetapkan sebagai bagian dari hak ulayat laut cenderung

65
66

Kartika Listriana dan Dinah Yunitawati, Loc, Cit,.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

bersifat kabur atau imajiner. Menurut Antarikasa, praktik pembatasan luas
wilayah laut dalam tradisi hak ulayat laut biasanya dibatasi dengan tanda-tanda
alam pada wilayah daratan kemudian berdasarkan batas wilayah daratan tersebut
ditetapkan batas wilayah laut. Caranya adalah dengan menarik garis imajiner ke
arah laut sampai batas wilayah laut hitam bagian dalam.67

Eksistensi Hak Ulayat di Lapangan
Beberapa kearifan lokal hak ulayat masyarakat adat pesisir yang masih
dilaksanakan dan dilindungi oleh pemerintah dengan ditetapkannya sebagai
kawasan konservasi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil :68
1. Kearifan Lokal Masyarakat di Kawasan Pulau Tiga, Kabupaten Natuna
Sumber kearifan lokal masyarakat di Kawasan Pulau Tiga bersumber dari
ajaran Islam dan kepercayaan yang berbau mistik. Prinsip-prinsip kearifan
lokal mereka berbasiskan ekologi dan ekosistem. Bentuk kearifan lokal
yaitu

dengan

mengkeramatkan

daerah-daerah

tertentu,

larangan

membunuh atau menagkap hewan tertentu, penghormatan terhadap laut,
pemeliharaan terumbu karang, dan penggunaan teknologi penangkapan
sederhana.
2. “Kelong” Kearifan Lokal Nelayan Batam
Di Kota Batam dan beberapa wialyah lain di kepulauan Riau sebenarnya
terdapat pengelolaan perikanan tradisional yang disebut “Kelong”. Kelong

67
68

Daud Djubedi, Op. Cit., hlm. 31
Kartika Listriana dan Dinah Yunitawati, Loc, Cit,.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

ini merupakan sejenis perangkap dan diperuntukkan untung menagkap
Ikan Dingkis atau Ikan Baronang.
3. “Awig-awig” Hak Ulayat Laut Provinsi Nusa Tenggara Barat
Dikecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat dan di Dusun Serewe
Kabupaten Lombok Timur, terdapat hak ulayat laut yang mengatur tentang
pelarangan penggunaan bom dan potassium cyanida pada kawasan
terumbu karang dalam upaya penangkapan ikan oleh nelayan serta
pelarangan menebang hutan mangrove.
4. “Panglima Laot”, Kearifan Lokal Nelayan Aceh
Panglima Laot adalah lembaga pemimpin adat nelayan yang telah ada
sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai, abad 14. Teritori jendral nelayan
yang terkecil adalah lhok (teluk atau kuala) tempat nelayan menyandarkan
perahu-perahu mereka. Di seluruh Nanggroe Aceh Darussalam saat ini
tercatat ada 140 lhok yang masing-masing dipimpin oleh panglima lhok.
Kewenangan panglima laot (abu laot, ayah laut) ada dua tugas pokok :
Pertama, dia menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang.
Termasuk dalam hal ini adalah penentuan hari-hari nelayan tidak boleh
melaut, antara lain pada hari raya, hari Jumat, hari kemerdekaan 17
agustus, juga pada hari-hari ketika ikan dilaut sedang kawin atau bertelur.
Kedua, panglima laot wajib menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang
terjadi di kalangan nelayan. Sebisa mungkin, sengketa antar nelayan
dibereskan diantara kaum nelayan sendiri.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

5. Mane’e, Kearifan Lokal Nelayan Kabupaten Kepulauan Talaud
Mane’e merupakan kearifan lokal masyarakat nelayan di Kabupaten
Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, berupa pengaturan masa penangkapan
ikan dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya kelautan dan
perikanan di wilayah mereka, misalnya dengan cara membuat larangan
menagkap ikan pada masa-masa tertentu serta pembuatan sejenis sistem
bendungan untuk mempermudah penangkapan ikan.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara