Pengaruh Pemberian Curcuminoid Dalam Mencegah Kerusakan Fibroblas Koklea Rattus Norvegicus Yang Diinduksi Bising Ditinjau Dari Ekspresi Activator Protein-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Pendengaran
Dhingra (2010) mengklasifikasikan sistem pendengaran manusia
menjadi 2 bagian besar, yaitu:
1. Sistem pendengaran perifer.
Terdiri atas struktur yang terletak di luar batang otak atau otak, yaitu
telinga dan nervus koklearis.
2. Sistem pendengaran sentral.
Terdiri atas struktur saraf pendengaran setelah nervus koklearis, yaitu
kompleks nukleus koklearis, kompleks nukleus olivarius superior,
lemniskus lateral, kolikulus inferior, korpus genikulatum medial dan
korteks pendengaran.
2.2 Anatomi Telinga
Telinga terdiri dari 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam (Gambar 2.1). Bagian telinga luar terdiri dari daun telinga
dan liang telinga. Bagian telinga tengah terdiri dari membran timpani,
kavum timpani, tuba eustachius dan sel-sel mastoid (Oghalai and
Brownell, 2008).
Gambar 2.1 Anatomi Telinga.
10
Universitas Sumatera Utara
11
Telinga bagian dalam disebut juga sebagai labirin dan merupakan organ
yang penting untuk pendengaran dan keseimbangan. Labirin terdiri dari
labirin bagian membran dan labirin bagian tulang. Labirin bagian membran
berisi cairan endolimfe sedangkan ruangan diantara bagian membran dan
bagian tulang berisi cairan perilimfe (Dhingra, 2010).
2.2.1 Koklea
Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput
dan bergulung 2½ putaran, dengan panjang kurang lebih 35 mm dengan
pusatnya yang disebut modiolus (Moller, 2003). Koklea terbagi atas skala
vestibuli, skala media dan skala timpani (Gambar 2.2). Bagian atas koklea
adalah skala vestibuli berisi cairan perilimfe dan dipisahkan dari skala
media oleh membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala
timpani yang juga mengandung cairan perilimfe dan dipisahkan dari skala
media oleh lamina spiralis oseus dan membran basilaris. Cairan perilimfe
pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea melalui suatu celah
yang dikenal sebagai helikotrema (Dhingra, 2010). Skala media berada di
bagian tengah berisi cairan endolimfe (Mills, Khariwala and Weber, 2006).
Gambar 2.2 Koklea.
Universitas Sumatera Utara
12
Pada skala media terdapat bagian berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria dan pada membran basilaris melekat sel rambut yang
terdiri dari sel rambut dalam dan sel rambut luar dan kanalis Corti yang
membentuk organ Corti (Soetirto, Hendarmin dan Bashiruddin, 2010).
2.2.2 Organ Corti
Organ Corti terletak di atas membran basilaris dari basis sampai ke
apeks
koklea
yang
mengandung
organel-organel
penting
untuk
mekanisme saraf perifer pendengaran. Komponen utama organ Corti
terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar), 3 lapis sel
penyokong (sel Deiters, Hensen dan Claudius) dan membran tektorial
(Gambar 2.3) (Pawlowsky, 2004). Sel rambut dalam terdiri dari satu baris
(3.000 sampai 3.500) dan sel rambut luar terdiri dari tiga baris (12.000)
(Moller, 2006). Fungsi sel rambut dalam sebagai mekanoreseptor utama
yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron pendengaran ganglion spiral
dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel rambut luar adalah
meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang yang berjalan
dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris pada frekuensi tertentu
(Gillespie, 2006). Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang
membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia)
(Pawlowsky, 2004).
Gambar 2.3 Organ Corti.
Universitas Sumatera Utara
13
2.3 Fisiologi Pendengaran
Getaran suara dihantarkan ke liang telinga dan telinga tengah dan
diteruskan ke telinga dalam melalui footplate dari stapes, menimbulkan
suatu gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan
menggerakkan membran basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang
yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm
tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat
melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi
sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf
pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis
diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui
saraf kranialis ke-8 (Moller, 2006; Gacek, 2009).
Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis
dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan
berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian
serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada inti
lemnikus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras
pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks
pendengaran pada lobus temporalis (Gacek, 2009).
2.4 Proses Transduksi di Koklea
Proses transduksi adalah proses konversi dari suatu bentuk energi
menjadi bentuk energi yang lain. Pada koklea proses transduksi terjadi
pada sel rambut dalam dimana energi mekanis (getaran) diubah menjadi
energi elektrokimia yaitu potensial membran atau potensial aksi (Beurg, et
al., 2008).
Ujung dari stereosilia terdapat filamen halus yang disebut dengan tip
link, filamen halus ini menghubungkan ujung stereosilia dengan yang lain.
Bila saat sel rambut defleksi ke arah menjauhi modiolus (eksitasi), tip link
akan meregang. Peregangan inilah yang nantinya akan membuka saluran
pada bagian atas stereosilia yang akan dikenal sebagai saluran
Universitas Sumatera Utara
14
Mekanoelektrik Transduksi (MET) dan sebaliknya bila saat sel rambut
defleksi ke arah mendekati modiolus (inhibisi), tip link akan mengendur
dan membuat saluran MET tertutup (Haryuna, 2013).
Gerakan membran basilaris ke atas akan membengkokkan stereosilia
ke arah stereosilia yang lebih tinggi pada fase depolarisasi mengakibatkan
terjadinya peregangan pada serabut tip link di puncak stereosilia. Ketika
tip link meregang langsung membuka saluran MET pada membran
stereosilia dan menyebabkan kation kalium (K+) dan Ca2+ mengalir ke
dalam sel rambut (Despopoulos and Silbernagl, 2008). Masuknya Ca2+
mengakibatkan terjadinya pelepasan neurotransmitter kimia dari vesikula
sinaptik di dasar sel dan ditangkap oleh reseptor aferen saraf koklearis
(Gambar 2.4) (Gillespie, 2006). Saraf-saraf pendengaran merespon
neurotransmitter dengan menghasilkan potensial aksi, lonjakan arus listrik
merambat dan diteruskan dari serabut saraf koklearis menuju nukleus
koklearis dalam sekian detik dan diterjemahkan oleh otak, sehingga kita
dapat mendengar (Haryuna, 2013).
Gambar 2.4 Proses Transduksi di Koklea.
Universitas Sumatera Utara
15
2.5 Bunyi
Doelle (1993) mendefinisikan bunyi menjadi bunyi fisis dan bunyi
fisiologi. Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran
partikel dalam medium elastik seperti udara, biasanya disebut sebagai
bunyi objektif. Sedangkan secara fisiologis, bunyi adalah sensasi
pendengaran
yang
disebabkan
penyimpangan
fisis
yang
telah
digambarkan seperti di atas dan biasanya disebut bunyi subyektif. Bunyi
diproduksi oleh karena adanya getaran mekanis yang biasa disebut juga
sebagai gelombang bunyi (Bess and Humes, 2009).
Gelombang bunyi dapat diukur berdasarkan frekuensi, tekanan bunyi
dan kecepatan perambatannya. Jumlah pergeseran atau osilasi yang
dilakukan sebuah partikel dalam satu sekon disebut frekuensi, dengan
satuan Hertz (Hz), secara fisiologi telinga dapat mendengar nada antara
20-20.000 Hz (Bashiruddin dan Soetirto, 2007). Tekanan bunyi dapat
diukur dengan satuan Pascal (Pa). Manusia dapat mendengar tekanan
suara antara 20 µPa (ambang dengar) sampai dengan 20 Pa. Kecepatan
suara di udara ialah 340 m/s sedangkan di media padat ialah 5.000 m/s.
Hal inilah yang menyebabkan hantaran suara melalui tulang jauh lebih
baik daripada hantaran udara (Probst, Grevers and Iro, 2006).
Probst, Grevers and Iro (2006) menjelaskan bahwa bunyi atau suara
terdiri dari berbagai macam frekuensi yang bergabung dan disebut
sebagai spektrum frekuensi yang terdiri dari:
1. Nada murni, yaitu suara atau bunyi yang hanya terdiri dari satu jenis
frekuensi, salah satu kegunaanya ialah sebagai tes audiologi untuk
menilai sensitivitas pendengaran seseorang.
2. Nada musik, yaitu gelombang suara yang memiliki pola berulang
walaupun bersifat kompleks.
3. Bising, yaitu bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari
spektrum terbatas (narrow band) ataupun spektrum luas (white noise).
Universitas Sumatera Utara
16
2.6 Bising
Bising memiliki pengertian baik secara fisik, fisiologi dan psikologi yang
masing-masing memiliki arti yang berbeda. Secara fisik bising merupakan
bunyi kompleks yang memiliki periodisitas yang kecil atau tidak ada sama
sekali dan dapat diukur atau dianalisa. Bising secara fisiologi dapat
diartikan sebagai sinyal yang tidak memiliki informasi dan memiliki
berbagai intensitas yang acak. Sedangkan secara psikologi bising
merupakan bentuk suara atau bunyi apapun tanpa memandang jenis
gelombangnya,
dimana
bunyi
tersebut
mengganggu
atau
tidak
dikehendaki (Atmaca, Peker and Altin, 2005; Seidman, 2007).
Tiga aspek gelombang bising yang perlu diperhatikan untuk terjadinya
gangguan pendengaran yaitu frekuensi, intensitas dan waktu (Agrawal, et
al., 2008; Harrianto, 2010). Frekuensi bunyi menentukan pola nada,
dinyatakan dalam berapa getaran/detik atau siklus/detik, yang satuannya
disebut Hz. Intensitas bunyi (amplitudo/derajat kekerasan bunyi/SPL)
adalah besarnya daya atau tinggi gelombang suara yang merupakan
ukuran derajat intensitas suatu bunyi. Besar intensitas bunyi dipadatkan
dalam satuan dB. Selain intensitas bunyi, derajat gangguan bising
bergantung pada lamanya pajanan (Harrianto, 2010).
Buchari (2007) membagi bising berdasarkan sifat dan spektrum
frekuensi bunyi, yaitu:
1. Bising kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas.
Bising ini relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5
detik berturut-turut.
2. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit.
Bising ini relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi
tertentu saja (pada frekuensi 500, 1.000 dan 4.000 Hz).
3. Bising intermitten.
Bising di sini tidak terjadi secara terus menerus, melainkan ada
periode relatif tenang.
Universitas Sumatera Utara
17
4. Bising impulsif.
Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB
dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengaran.
5. Bising impulsif berulang.
Sama dengan bising impulsif, hanya saja di sini terjadi secara
berulang-ulang.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 tahun 1999 tentang nilai
ambang batas faktor fisik dalam lingkungan kerja yang diperkenankan,
termasuk di dalamnya tentang kebisingan tercantum pada tabel 2.1
berikut (Menteri Tenaga Kerja RI, 1999).
Tabel 2.1. Intensitas Bunyi dan Waktu Paparan yang Diperkenankan Sesuai
dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja: KEP-51/MEN/1999.
Intensitas
Waktu Paparan perhari
(dB)
(jam)
85
8
87,5
6
90
4
92,5
3
95
2
100
1
105
½
110
¼
Pengukuran
objektif
terhadap
bising
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan alat Sound Level Meter (SLM). SLM merupakan instrumen
dasar untuk mengukur variasi tekanan bunyi di udara, yang dapat
mengubah bising menjadi suatu sinyal elektrik dan hasilnya dapat dibaca
secara langsung pada monitor dengan satuan dB. Alat ini berisi mikrofon
dan amplifier, pelemah bunyi yang telah dikalibrasi, satu set network
frequency response dan sebuah monitor. Beberapa SLM mempunyai
rentang pengukuran 40-140 dB. Seperti lazimnya peralatan lainnya, SLM
harus dikalibrasi sebelum dan sesudah pengukuran bising, biasanya
dengan menggunakan kalibrator akustik (Abdi, 2008; Harrianto, 2010).
Universitas Sumatera Utara
18
2.7 Gangguan Pendengaran Akibat Bising
2.7.1 Definisi
GPAB adalah gangguan pendengaran tipe sensorineural yang
menyebabkan penurunan sebagian atau seluruh daya pendengaran
individu secara kumulatif yang berkembang secara bertahap setelah
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, biasanya mengenai kedua telinga
(bilateral) dan bersifat simetris, tetapi dapat juga mengenai satu telinga
(unilateral), yang disebabkan oleh paparan bising terus-menerus dan
berlangsung lama di lingkungan sekitarnya, sehingga menyebabkan
kerusakan berbagai struktur di koklea secara bertahap, yang pada
awalnya mempengaruhi frekuensi yang lebih tinggi, kemudian menyebar
ke frekuensi yang lebih rendah. GPAB merupakan bentuk gangguan
pendengaran tipe sensorineural didapat (akuisita) paling umum ke-2
setelah gangguan pendengaran akibat usia (presbiakusis) (Kuntodi, 2007;
Nandi and Dhatrak, 2008; Zhao, et al., 2010).
Secara fisiologi telinga dapat mendengar nada antara 20-20.000 Hz.
ISO menjelaskan untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara
2.000-3.000 Hz, namun untuk percakapan sehari-hari biasanya 3.0004.000 Hz (Bashiruddin dan Soetirto, 2007). Kerusakan koklea akibat
frekuensi dan intensitas tinggi terpusat pada frekuensi 4.000 Hz dimana
keadaan ini sesuai dengan getaran terbesar pada membran basilaris dan
organ Corti (Alberti, 1997). Pada pemeriksaan audiometri, tuli akibat bising
memberikan gambaran yang khas yaitu notch (takik) berbentuk „V‟ atau „U‟
sering diawali pada frekuensi 4.000 Hz, tapi kadang-kadang 6.000 Hz,
yang kemudian secara bertahap semakin dalam dan selanjutnya akan
menyebar ke frekueansi di dekatnya (Gambar 2.5). Khasnya didapati
perbaikan pada 8.000 Hz, hal ini yang membedakannya dari prebiskusis
(HSA, 2007).
Universitas Sumatera Utara
19
Gambar 2.5 Audiogram Tuli Akibat Bising.
2.7.2 Epidemiologi
Gangguan pendengaran pada tenaga kerja akibat pajanan bising di
lingkungan kerja mempunyai kekerapan yang cukup tinggi di berbagai
negara. Pajanan bising secara kontinyu dan berlebihan menjadi salah satu
penyebab gangguan pendengaran yang semestinya bisa dihindari. Di
negara maju, bising merupakan masalah karena merupakan penyebab
utama kompensasi penyakit akibat kerja. Didukung dengan fakta bahwa
gangguan pendengaran dalam daerah industri menempati urutan pertama
dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa (Kryter, 1985;
Dencer, et al., 1992; Harrington and Gill, 2005; Nelson, et al., 2005).
2.7.3 Prevalensi
Pada tahun 2000, WHO melaporkan terdapat 250 juta (4,2%) penduduk
dunia mengalami gangguan pendengaran akibat dampak kebisingan
dalam berbagai bentuk. Di Amerika Serikat terdapat sekitar 5-6 juta orang
terancam menderita tuli akibat bising. Sedangkan di Belanda jumlahnya
mencapai 200.000-300.000 orang, di Inggris sekitar 0,2%, di Kanada dan
Swedia masing-masing sekitar 0,3% dari seluruh populasi (Amalia dan
Lanjahi, 2012).
Universitas Sumatera Utara
20
Berdasarkan survei multi center study di Asia Tenggara pada tahun
1998, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang
cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka
8,8%, Myanmar 8,4% dan India 6,3%. Walaupun bukan yang tertinggi
tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga hal ini dapat
menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat (Suwento, 2007).
Penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising di Indonesia
telah banyak dilakukan. Gangguan pendengaran akibat bising lingkungan
kerja merupakan sumber bising paling sering yang dapat menyebabkan
gangguan pendengaran dibandingkan gangguan pendengaran akibat
bising di tempat lainnya (Bashiruddin dan Soetirto, 2007). Tana dkk (2002)
melaporkan 115 orang dari 264 pekerja (43,6%) di salah satu perusahaan
baja di Jawa mengalami GPAB. Salfi (2014) mendapatkan 7 dari 9
karyawan Pusat Listrik Tenaga Gas (PLTG) Paya Pasir Medan (77,8%)
dengan tempat kerja >85 dB mengalami GPAB.
2.8 Pengaruh Bising terhadap Organ Pendengaran
Secara umum telah diketahui bahwa bising telah menimbulkan
kerusakan di telinga dalam. Lesi dapat berupa kerusakan organ Corti,
ganglion, saraf, membran tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis.
Pada observasi kerusakan organ Corti dengan mikroskop elektron dapat
diketahui bahwa sel sensor dan sel penunjang merupakan bagian yang
paling peka di telinga dalam (Purnami, 2009).
Penilaian GPAB secara histopatologi menunjukkan adanya kerusakan
pada organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Kerusakan yang
terjadi pada struktur organ tertentu bergantung pada intensitas dan lama
paparan. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar seperti
stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kaku. Dengan bertambahnya
intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan
seperti hilangnya stereosilia, kerusakan pada stria vaskular, kolaps sel-sel
penunjang, hilangnya jaringan fibrosit dan kerusakan serabut saraf
(Kujawa, 2009).
Universitas Sumatera Utara
21
Perubahan histopatologi yang diamati pada dinding lateral koklea
dengan pajanan kebisingan akut (24 jam) didapatkan udem sel. Pada
pajanan kronis (2 minggu) degenerasi yang terjadi terutama pada kolagen
tipe IV dan tipe II (Gambar 2.6) (Hirose and Liberman, 2003).
Gambar 2.6 Koklea yang Diamati 2 Minggu Setelah Pajanan Kebisingan.
Pada keadaan pajanan bising yang berlebihan akan mempengaruhi
fibroblas koklea, dimana terjadi peningkatan permeabilitas membran sel
dan memicu peningkatan Ca2+ intraseluler. Peningkatan Ca2+ yang
berlebihan
dalam
sel
tersebut
akan
memicu
kematian
sel
dan
mengaktifkan jalur sinyal intraseluler (Purnami, 2009).
2.9 Respon Stres Intraseluler
Stres adalah suatu kumpulan reaksi, termasuk stimulus (stresor) yang
bereaksi di otak dipicu oleh adanya stimulus (persepsi stres) dan
mengaktifkan respon stres fisiologis di tubuh (Kourtis, 2001). Stres akut
berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa jam. Sedangkan stres
kronis berlangsung beberapa jam per hari yang berlangsung sampai
bulanan atau tahunan (Dhabhar and McEwen, 2007).
Universitas Sumatera Utara
22
Ada 3 jenis faktor lingkungan utama yang dapat memicu stres di tingkat
sel: (1) faktor fisik, seperti paparan pada suhu tinggi, kebisingan, sinar
ultraviolet, radiasi, (2) faktor kimia, dengan ribuan xenobiotik industri,
termasuk karbon monoksida, logam berat dan debu dan (3) faktor biologis,
seperti infeksi oleh virus, bakteri, parasit dan jamur (Haryuna, 2013).
Sel mempertahankan tekanan osmotiknya dengan menjaga volume sel
itu sendiri. Sel menjadi udem bila tekanan osmotiknya meningkat karena
degradasi molekuler. Untuk itu diperlukan sintesis sejumlah bahan aktif
osmotik yang disebut osmolit. Perubahan sel akan memicu aktivasi dari
protein kinase dan memberikan efek perubahan ke protein yang lain
dengan fosforilasi (Gastael, 2006).
2.10 AP-1
2.10.1 Aktivitas AP-1
AP-1 merupakan salah satu faktor transkripsi dan kompleks protein
dimer yang terdiri dari Jun (c-Jun, JunB dan JunD) dan Fos (c-Fos, FosB,
Fra1 dan Fra2). Setiap protein ini diatur secara berbeda, sehingga setiap
sel terdiri dari campuran yang kompleks dari dimer AP-1 dengan fungsi
yang berbeda (Eriksson, 2005).
AP-1 berguna untuk meregulasi gen dalam menanggapi sejumlah
besar rangsangan fisiologis dan patologis, termasuk sitokin, faktor
pertumbuhan, sinyal stres, infeksi bakteri dan virus serta rangsangan
onkogenik. Kontribusi AP-1 untuk penentuan nasib sel tergantung pada
subunit AP-1 seperti komposisi dimer AP-1, kualitas stimulus, jenis sel dan
lingkungan seluler (Hess, et al., 2004).
Ekspresi AP-1 dipicu melalui jalur MAPKs. MAPKs dapat merespon
berbagai bentuk stres fisik dan kimia yang dapat mengendalikan
kelangsungan hidup sel. MAPKs terdiri dari extracellular signal-regulated
kinases (ERKs), c-Jun N-terminal kinases (JNKs) dan p38 MAPKs. ERKs
umumnya mengatur pertumbuhan sel dan diferensiasi, sedangkan JNKs
dan p38 mengatur respons stres. MAPKs mengirimkan sinyal ekstraseluler
ke dalam inti sel, dimana faktor-faktor transkripsi memediasi perubahan
Universitas Sumatera Utara
23
ekspresi gen. MAPKs diaktifkan oleh fosforilasi dalam sitoplasma dan
translokasi ke nukleus, dimana mereka menginduksi fosforilasi faktor
transkripsi (Eriksson, 2005).
2.10.2 Hubungan AP-1 dengan MMP-9
MMP-9 adalah endopeptidase zinc-dependant 92 kDa yang dapat
menurunkan komponen dari matriks ekstraselular. Peningkatan ekspresi
MMP-9 terlibat dalam bermacam-macam proses patologik seperti
diantaranya metastasis, induksi angiogenesis tumor dan inflamasi. Pada
sistem sel, ekspresi MMP-9 juga diinduksi pada tahap transkripsi dalam
respon terhadap bermacam-macam stimuli inflamasi (Mittelstadt and
Patel, 2012).
Stimuli ekstra sel akan mempengaruhi ekspresi pro MMP melalui jalur
sinyal transduksi dengan meningkatkan AP-1. Sisi AP-1 terdapat di dalam
gen MMP-1, -3, -7, -9, -10 dan -12. Sebagian besar pro MMP disekresikan
di dalam sel dan aktif di ekstra sel (Nagase and Woessner, 1999).
Sebanyak 24 matriksin telah diidentifiksi pada manusia dan dapat
dikelompokkan dalam enam grup yaitu collagenases (MMP-1, -8 dan -13),
Gelatinase (MMP-2 dan MMP-9), Stromeolysins (MMP-3, MMP-10 dan
MMP11), Matrilysin (MMP-7 dan MMP-26), Membran-type (MT)-MMP
(MMP-14, MMP-15, MMP-16, MMP-17, MMP-24 dan MMP-25) dan yang
lain (MMP-12, MMP-19, MMP-20, MMP-21, MMP-23, MMP-27 dan MMP28) (HUGO Gene Nomenclature Committee, 2011). Dari keseluruhan jenis
MMP yang pernah ditemukan sampai sekarang ini, jenis Gelatinase dalam
hal ini MMP-2 dan MMP-9 merupakan enzim utama untuk mendegradasi
kolagen tipe IV, V, VII, X, XI dan XIV, gelatin, elastin, proteoglycan core
protein, myelin basic protein, fibronektin, fibrilin-1 dan prekursor TNF-
dan IL-1b dan mampu memecah kolagen tipe I, komponen utama yang
membentuk struktur molekul stroma (Petruzzeli, 2000; Charoenrat, RhysEvans and Eccles, 2001).
Dinding lateral koklea tersusun dari jaringan matriks ekstraseluler
sebagai
struktur
menghasilkan
penyangga,
kolagen.
dimana
Perubahan
yang
terdapat
terjadi
fibroblas
pada
yang
fibroblas
Universitas Sumatera Utara
24
berpengaruh pada kolagen dan dapat mengganggu fungsi pendengaran.
Kolagen tipe IV disebut paling rawan (the most vulnerable) terhadap efek
bising, sehingga kerusakan terjadi lebih dominan (Purnami, 2009;
Haryuna, 2013).
2.11 Curcuminoid
Curcumin merupakan bagian terbesar pigmen kuning yang terdapat
dalam rimpang kunyit (Curcuma longa L.) yang memiliki berbagai aktivitas
biologis seperti antioksidan, antiinflamasi dan antineoplastik. Oleh
penduduk Asia, utamanya India dan Indonesia, zat warna kuning dari
curcumin tersebut sering digunakan sebagai bahan makanan tambahan,
bumbu atau obat-obatan dan tidak menimbulkan efek toksik yang
merugikan (Rochmad, 2004).
Selama dua dekade belakangan ini penelitian tentang curcumin
sebagai bahan aktif untuk beberapa penyakit telah banyak dilakukan.
Diantara penelitian-penelitian tersebut antara lain melaporkan tentang
efek curcumin sebagai antioksidan (Majeed, et al., 1995; Rao, 1997),
antiinflamasi (Van der Goot, 1997; Sardjiman, 1997), antikolesterol
(Bourne, et al., 1999), antiinfeksi (Sajithlal, et al., 1998), antikanker
(Huang, et al., 1997; Singletary, et al., 1998; Huang, et al., 1998) dan anti
Human
Immunodeficiency
Virus
(HIV)
(Mazumder,
et
al.,
1997;
Barthelemy, et al., 1998) (Rochmad, 2004).
Habitat asli tanaman ini adalah wilayah Asia, khususnya Asia
Tenggara. Kunyit dapat tumbuh di berbagai tempat, tumbuh liar di ladang,
di hutan (misalnya hutan jati) ataupun ditanam di pekarangan rumah, di
dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian 200 m di atas
permukaan laut. Selain itu, kunyit dapat tumbuh dengan baik di tanah
yang baik tata pengairannya, curah hujannya cukup banyak (Departemen
Kesehatan
dan
Kesejahteraan
Sosial
RI
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan, 2001).
Universitas Sumatera Utara
25
Komponen utama dalam kunyit adalah curcuminoid dan atsiri. Salah
satu komponen kimia dalam kunyit yang berkhasiat sebagai obat adalah
curcuminoid. Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat (Balittro) bahwa kandungan curcumin rimpang kunyit
rata-rata 10,92%. Selain kunyit, ada juga beberapa tanaman yang
mengandung curcumin misalnya temulawak dan temuhitam (Sidik,
Mulyono dan Ahmad, 1995, Haryuna, 2013).
Curcumin mempunyai potensi yang baik untuk berbagai penyakit. Pada
fase I percobaan klinik mengindikasikan sebanyak 12 gram curcumin
perhari selama 3 bulan dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Dosis
optimum curcumin untuk pengobatan suatu penyakit belum jelas. Data
menunjukkan bahwa curcumin memiliki bioavaibilitas yang rendah
(Aggarwal, et al., 2007).
Penelitian mengenai curcumin menunjukkan bahwa toksisitas curcumin
tidak signifikan. Pada tikus yang diberi curcumin pada makanannya
dengan dosis 0,1-2,0% (0,1-2,7 mmol/kgBB/hari) selama 8 minggu, tidak
ada efek pada nafsu makan, peningkatan berat badan, hematologi, kimia
serum atau perubahan histologi saluran pencernaan, hati, limpa dan ginjal
yang diperiksa. Penelitian yang serupa, tikus diberikan curcumin hingga
1.000 mg/kgBB/hari per oral selama 3 bulan dan tidak ada efek samping
pada pertumbuhan, perilaku, parameter biokimia dan histopatologi
(Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996).
Curcumin telah terbukti mengganggu jalur sinyal beberapa sel,
termasuk siklus sel (cyclin D1 dan cyclin E), apoptosis (aktivasi caspases
dan “down-regulation” dari produk gen anti apoptosis), proliferasi (HER-2,
EGFR dan AP-1), kelangsungan hidup (jalur PI3K), invasi (MMP-9 dan
molekul adhesi), angiogenesis (VEGF), metastasis (CXCR-4) dan
peradangan (NFκB, TNF, IL-6, IL-1, COX-2 dan 5-LOX) (Anand, et al.,
2008).
Universitas Sumatera Utara
26
2.12 Perbandingan Struktur dan Fungsi Pendengaran Spesies
Berbeda
Pada perkembangannya,
fungsi
pendengaran hewan dibanding
manusia mempunyai perbedaan mendasar. Pada hewan stimulus suara
sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup, mencari
makan, mobilitas dan menghindari musuh. Sedangkan pada manusia
fungsi auditori untuk komunikasi lebih menonjol perannya sehingga dapat
dimengerti bahwa rentang frekuensi penangkapan indra pendengaran
manusia lebih pendek yaitu berkisar 20-20.000 Hz, lebih terfokus pada
frekuensi untuk komunikasi. Sedangkan pada tikus bisa mencapai pada
frekuensi ultrasonik yaitu 1-60 kHz dengan rentang yang lebih panjang
dibanding spesies manusia (Heffner and Heffner, 2003).
Rattus norvegicus merupakan hewan coba laboratoris yang umum
digunakan sebagai model penelitian biomedik yang penting untuk
menjelaskan berbagai penyakit pada manusia. Struktur yang mirip dan
kesamaan patobiologi telinga dalam menyebabkan hewan ini banyak
digunakan untuk penelitian, selain karena mudah didapat, cepat
berkembang biak sehingga mendapatkan populasi homogen yang
diperlukan untuk kesamaan genetik. Identifikasi gen dan sekuensnya
homolog,
dengan
demikian
tikus
mempunyai
potensi
untuk
pengembangan studi ketulian genetik. Selain itu perubahan histopatologis
yang diamati dari hasil penelitian pada tikus juga mempunyai relevansi
klinis dengan manusia (Gravel and Ruben, 1996; Cancian, 1997; Steel,
1998).
2.13 Teknik Imunohistokimia untuk Identifikasi Ekspresi Protein
Teknik pemeriksaan identifikasi protein yang dilakukan yaitu antara lain
dengan teknik Imunohistokimia untuk mengetahui ekspresi variabel yang
diperiksa di fibroblas sediaan jaringan koklea dengan menggunakan
metode Avidin-Biotin kompleks. Reagen yang digunakan pada teknik ini
adalah antibodi primer dan antibodi sekunder yang diikatkan secara kimia
Universitas Sumatera Utara
27
dengan biotin dan suatu kompleks glikoprotein yang diikatkan pada biotin
dan
peroksidase.
Avidin
memiliki
nonimunologik dengan biotin.
kemampuan
berikatan
secara
Peroksidase akan bereaksi dengan
Hydrogen Peroxide (H2O2), bila terdapat elektron donor membentuk
molekul berwarna (Haryuna, 2013).
Antibodi primer dan sekunder dapat melekat pada elemen jaringan
yang bermuatan tinggi, seperti jaringan ikat sehingga menghasilkan reaksi
warna yang positif ditempat yang tidak mengandung variabel yang
diperiksa.
Sebelum pewarnaan daerah ini dapat
ditutup dengan
menggunakan protein plasma non imun yang berasal dari binatang
dengan spesies yang sama dengan binatang yang memproduksi antibodi
sekunder. Penutupan ini bertujuan mengurangi perlekatan antibodi
sekunder non spesifik dengan jaringan sehingga reaktivitas non spesifik
menurun (Haryuna, 2013).
Sebagian besar jaringan yang mengandung peroksidase akan bereaksi
dengan substrat kromogen. Peroksidase endogen dapat dihambat dengan
menambahkan H2O2 3% dalam larutan methanol (Haryuna, 2013).
Universitas Sumatera Utara
28
2.14 Kerangka Konsep
Gambar 2.7 Kerangka Konsep.
Universitas Sumatera Utara
29
2.14.1 Penjelasan kerangka konsep
Bising menyebabkan Ca2+ masuk ke dalam sel fibroblas koklea dalam
jumlah
berlebih
yang
mengakibatkan
stres
sel.
Stres
sel
akan
mengaktifkan protein kinase (MAPK) di sitoplasma dan akan translokasi
ke inti sel untuk memfosforilasi AP-1. AP-1 aktif dapat mempengaruhi
ekspresi proMMP-9 dan akan diaktifkan menjadi MMP-9 di ekstra sel.
MMP-9
selanjutnya
akan
mendegradasi
kolagen
tipe
IV
dan
menyebabkan kerusakan struktur matriks ekstraseluler dinding lateral
koklea. Kerusakan pada dinding lateral koklea menyebabkan gangguan
transduksi impuls hingga gangguan fungsi pendengaran sebagai hasil
akhir.
Curcuminoid dapat menghambat aktivasi AP-1 sehingga ekspresi AP-1
menurun di inti sel. Hal ini kemudian dapat menurunkan produksi sitokin
proMMP-9 sehingga aktivasi MMP-9 tidak terjadi dan juga tidak terjadi
penurunan kolagen tipe IV. Dengan demikian curcuminoid dapat
mencegah terjadinya gangguan fungsi pendengaran akibat GPAB.
2.15 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah, landasan teori dan kerangka
konseptual tersebut disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:
a. Hipotesis mayor
Curcuminoid dapat mencegah kerusakan fibroblas koklea.
b. Hipotesis minor
1. Curcuminoid dapat menurunkan ekspresi AP-1 pada fibroblas
koklea.
2. Ada hubungan antara dosis curcuminoid dengan ekspresi AP-1.
Semakin tinggi dosis curcuminoid maka semakin rendah ekspresi
AP-1.
Universitas Sumatera Utara
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Pendengaran
Dhingra (2010) mengklasifikasikan sistem pendengaran manusia
menjadi 2 bagian besar, yaitu:
1. Sistem pendengaran perifer.
Terdiri atas struktur yang terletak di luar batang otak atau otak, yaitu
telinga dan nervus koklearis.
2. Sistem pendengaran sentral.
Terdiri atas struktur saraf pendengaran setelah nervus koklearis, yaitu
kompleks nukleus koklearis, kompleks nukleus olivarius superior,
lemniskus lateral, kolikulus inferior, korpus genikulatum medial dan
korteks pendengaran.
2.2 Anatomi Telinga
Telinga terdiri dari 3 bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan
telinga dalam (Gambar 2.1). Bagian telinga luar terdiri dari daun telinga
dan liang telinga. Bagian telinga tengah terdiri dari membran timpani,
kavum timpani, tuba eustachius dan sel-sel mastoid (Oghalai and
Brownell, 2008).
Gambar 2.1 Anatomi Telinga.
10
Universitas Sumatera Utara
11
Telinga bagian dalam disebut juga sebagai labirin dan merupakan organ
yang penting untuk pendengaran dan keseimbangan. Labirin terdiri dari
labirin bagian membran dan labirin bagian tulang. Labirin bagian membran
berisi cairan endolimfe sedangkan ruangan diantara bagian membran dan
bagian tulang berisi cairan perilimfe (Dhingra, 2010).
2.2.1 Koklea
Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput
dan bergulung 2½ putaran, dengan panjang kurang lebih 35 mm dengan
pusatnya yang disebut modiolus (Moller, 2003). Koklea terbagi atas skala
vestibuli, skala media dan skala timpani (Gambar 2.2). Bagian atas koklea
adalah skala vestibuli berisi cairan perilimfe dan dipisahkan dari skala
media oleh membran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala
timpani yang juga mengandung cairan perilimfe dan dipisahkan dari skala
media oleh lamina spiralis oseus dan membran basilaris. Cairan perilimfe
pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea melalui suatu celah
yang dikenal sebagai helikotrema (Dhingra, 2010). Skala media berada di
bagian tengah berisi cairan endolimfe (Mills, Khariwala and Weber, 2006).
Gambar 2.2 Koklea.
Universitas Sumatera Utara
12
Pada skala media terdapat bagian berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria dan pada membran basilaris melekat sel rambut yang
terdiri dari sel rambut dalam dan sel rambut luar dan kanalis Corti yang
membentuk organ Corti (Soetirto, Hendarmin dan Bashiruddin, 2010).
2.2.2 Organ Corti
Organ Corti terletak di atas membran basilaris dari basis sampai ke
apeks
koklea
yang
mengandung
organel-organel
penting
untuk
mekanisme saraf perifer pendengaran. Komponen utama organ Corti
terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar), 3 lapis sel
penyokong (sel Deiters, Hensen dan Claudius) dan membran tektorial
(Gambar 2.3) (Pawlowsky, 2004). Sel rambut dalam terdiri dari satu baris
(3.000 sampai 3.500) dan sel rambut luar terdiri dari tiga baris (12.000)
(Moller, 2006). Fungsi sel rambut dalam sebagai mekanoreseptor utama
yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron pendengaran ganglion spiral
dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi sel rambut luar adalah
meningkatkan atau mempertajam puncak gelombang yang berjalan
dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris pada frekuensi tertentu
(Gillespie, 2006). Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang
membentuk pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler (stereosilia)
(Pawlowsky, 2004).
Gambar 2.3 Organ Corti.
Universitas Sumatera Utara
13
2.3 Fisiologi Pendengaran
Getaran suara dihantarkan ke liang telinga dan telinga tengah dan
diteruskan ke telinga dalam melalui footplate dari stapes, menimbulkan
suatu gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan
menggerakkan membran basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang
yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm
tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat
melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi
sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf
pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis
diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui
saraf kranialis ke-8 (Moller, 2006; Gacek, 2009).
Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis
dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan
berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian
serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan selanjutnya pada inti
lemnikus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior jaras
pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks
pendengaran pada lobus temporalis (Gacek, 2009).
2.4 Proses Transduksi di Koklea
Proses transduksi adalah proses konversi dari suatu bentuk energi
menjadi bentuk energi yang lain. Pada koklea proses transduksi terjadi
pada sel rambut dalam dimana energi mekanis (getaran) diubah menjadi
energi elektrokimia yaitu potensial membran atau potensial aksi (Beurg, et
al., 2008).
Ujung dari stereosilia terdapat filamen halus yang disebut dengan tip
link, filamen halus ini menghubungkan ujung stereosilia dengan yang lain.
Bila saat sel rambut defleksi ke arah menjauhi modiolus (eksitasi), tip link
akan meregang. Peregangan inilah yang nantinya akan membuka saluran
pada bagian atas stereosilia yang akan dikenal sebagai saluran
Universitas Sumatera Utara
14
Mekanoelektrik Transduksi (MET) dan sebaliknya bila saat sel rambut
defleksi ke arah mendekati modiolus (inhibisi), tip link akan mengendur
dan membuat saluran MET tertutup (Haryuna, 2013).
Gerakan membran basilaris ke atas akan membengkokkan stereosilia
ke arah stereosilia yang lebih tinggi pada fase depolarisasi mengakibatkan
terjadinya peregangan pada serabut tip link di puncak stereosilia. Ketika
tip link meregang langsung membuka saluran MET pada membran
stereosilia dan menyebabkan kation kalium (K+) dan Ca2+ mengalir ke
dalam sel rambut (Despopoulos and Silbernagl, 2008). Masuknya Ca2+
mengakibatkan terjadinya pelepasan neurotransmitter kimia dari vesikula
sinaptik di dasar sel dan ditangkap oleh reseptor aferen saraf koklearis
(Gambar 2.4) (Gillespie, 2006). Saraf-saraf pendengaran merespon
neurotransmitter dengan menghasilkan potensial aksi, lonjakan arus listrik
merambat dan diteruskan dari serabut saraf koklearis menuju nukleus
koklearis dalam sekian detik dan diterjemahkan oleh otak, sehingga kita
dapat mendengar (Haryuna, 2013).
Gambar 2.4 Proses Transduksi di Koklea.
Universitas Sumatera Utara
15
2.5 Bunyi
Doelle (1993) mendefinisikan bunyi menjadi bunyi fisis dan bunyi
fisiologi. Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran
partikel dalam medium elastik seperti udara, biasanya disebut sebagai
bunyi objektif. Sedangkan secara fisiologis, bunyi adalah sensasi
pendengaran
yang
disebabkan
penyimpangan
fisis
yang
telah
digambarkan seperti di atas dan biasanya disebut bunyi subyektif. Bunyi
diproduksi oleh karena adanya getaran mekanis yang biasa disebut juga
sebagai gelombang bunyi (Bess and Humes, 2009).
Gelombang bunyi dapat diukur berdasarkan frekuensi, tekanan bunyi
dan kecepatan perambatannya. Jumlah pergeseran atau osilasi yang
dilakukan sebuah partikel dalam satu sekon disebut frekuensi, dengan
satuan Hertz (Hz), secara fisiologi telinga dapat mendengar nada antara
20-20.000 Hz (Bashiruddin dan Soetirto, 2007). Tekanan bunyi dapat
diukur dengan satuan Pascal (Pa). Manusia dapat mendengar tekanan
suara antara 20 µPa (ambang dengar) sampai dengan 20 Pa. Kecepatan
suara di udara ialah 340 m/s sedangkan di media padat ialah 5.000 m/s.
Hal inilah yang menyebabkan hantaran suara melalui tulang jauh lebih
baik daripada hantaran udara (Probst, Grevers and Iro, 2006).
Probst, Grevers and Iro (2006) menjelaskan bahwa bunyi atau suara
terdiri dari berbagai macam frekuensi yang bergabung dan disebut
sebagai spektrum frekuensi yang terdiri dari:
1. Nada murni, yaitu suara atau bunyi yang hanya terdiri dari satu jenis
frekuensi, salah satu kegunaanya ialah sebagai tes audiologi untuk
menilai sensitivitas pendengaran seseorang.
2. Nada musik, yaitu gelombang suara yang memiliki pola berulang
walaupun bersifat kompleks.
3. Bising, yaitu bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari
spektrum terbatas (narrow band) ataupun spektrum luas (white noise).
Universitas Sumatera Utara
16
2.6 Bising
Bising memiliki pengertian baik secara fisik, fisiologi dan psikologi yang
masing-masing memiliki arti yang berbeda. Secara fisik bising merupakan
bunyi kompleks yang memiliki periodisitas yang kecil atau tidak ada sama
sekali dan dapat diukur atau dianalisa. Bising secara fisiologi dapat
diartikan sebagai sinyal yang tidak memiliki informasi dan memiliki
berbagai intensitas yang acak. Sedangkan secara psikologi bising
merupakan bentuk suara atau bunyi apapun tanpa memandang jenis
gelombangnya,
dimana
bunyi
tersebut
mengganggu
atau
tidak
dikehendaki (Atmaca, Peker and Altin, 2005; Seidman, 2007).
Tiga aspek gelombang bising yang perlu diperhatikan untuk terjadinya
gangguan pendengaran yaitu frekuensi, intensitas dan waktu (Agrawal, et
al., 2008; Harrianto, 2010). Frekuensi bunyi menentukan pola nada,
dinyatakan dalam berapa getaran/detik atau siklus/detik, yang satuannya
disebut Hz. Intensitas bunyi (amplitudo/derajat kekerasan bunyi/SPL)
adalah besarnya daya atau tinggi gelombang suara yang merupakan
ukuran derajat intensitas suatu bunyi. Besar intensitas bunyi dipadatkan
dalam satuan dB. Selain intensitas bunyi, derajat gangguan bising
bergantung pada lamanya pajanan (Harrianto, 2010).
Buchari (2007) membagi bising berdasarkan sifat dan spektrum
frekuensi bunyi, yaitu:
1. Bising kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas.
Bising ini relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5
detik berturut-turut.
2. Bising yang kontinyu dengan spektrum frekuensi yang sempit.
Bising ini relatif tetap, akan tetapi ia hanya mempunyai frekuensi
tertentu saja (pada frekuensi 500, 1.000 dan 4.000 Hz).
3. Bising intermitten.
Bising di sini tidak terjadi secara terus menerus, melainkan ada
periode relatif tenang.
Universitas Sumatera Utara
17
4. Bising impulsif.
Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB
dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengaran.
5. Bising impulsif berulang.
Sama dengan bising impulsif, hanya saja di sini terjadi secara
berulang-ulang.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 tahun 1999 tentang nilai
ambang batas faktor fisik dalam lingkungan kerja yang diperkenankan,
termasuk di dalamnya tentang kebisingan tercantum pada tabel 2.1
berikut (Menteri Tenaga Kerja RI, 1999).
Tabel 2.1. Intensitas Bunyi dan Waktu Paparan yang Diperkenankan Sesuai
dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja: KEP-51/MEN/1999.
Intensitas
Waktu Paparan perhari
(dB)
(jam)
85
8
87,5
6
90
4
92,5
3
95
2
100
1
105
½
110
¼
Pengukuran
objektif
terhadap
bising
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan alat Sound Level Meter (SLM). SLM merupakan instrumen
dasar untuk mengukur variasi tekanan bunyi di udara, yang dapat
mengubah bising menjadi suatu sinyal elektrik dan hasilnya dapat dibaca
secara langsung pada monitor dengan satuan dB. Alat ini berisi mikrofon
dan amplifier, pelemah bunyi yang telah dikalibrasi, satu set network
frequency response dan sebuah monitor. Beberapa SLM mempunyai
rentang pengukuran 40-140 dB. Seperti lazimnya peralatan lainnya, SLM
harus dikalibrasi sebelum dan sesudah pengukuran bising, biasanya
dengan menggunakan kalibrator akustik (Abdi, 2008; Harrianto, 2010).
Universitas Sumatera Utara
18
2.7 Gangguan Pendengaran Akibat Bising
2.7.1 Definisi
GPAB adalah gangguan pendengaran tipe sensorineural yang
menyebabkan penurunan sebagian atau seluruh daya pendengaran
individu secara kumulatif yang berkembang secara bertahap setelah
berbulan-bulan atau bertahun-tahun, biasanya mengenai kedua telinga
(bilateral) dan bersifat simetris, tetapi dapat juga mengenai satu telinga
(unilateral), yang disebabkan oleh paparan bising terus-menerus dan
berlangsung lama di lingkungan sekitarnya, sehingga menyebabkan
kerusakan berbagai struktur di koklea secara bertahap, yang pada
awalnya mempengaruhi frekuensi yang lebih tinggi, kemudian menyebar
ke frekuensi yang lebih rendah. GPAB merupakan bentuk gangguan
pendengaran tipe sensorineural didapat (akuisita) paling umum ke-2
setelah gangguan pendengaran akibat usia (presbiakusis) (Kuntodi, 2007;
Nandi and Dhatrak, 2008; Zhao, et al., 2010).
Secara fisiologi telinga dapat mendengar nada antara 20-20.000 Hz.
ISO menjelaskan untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara
2.000-3.000 Hz, namun untuk percakapan sehari-hari biasanya 3.0004.000 Hz (Bashiruddin dan Soetirto, 2007). Kerusakan koklea akibat
frekuensi dan intensitas tinggi terpusat pada frekuensi 4.000 Hz dimana
keadaan ini sesuai dengan getaran terbesar pada membran basilaris dan
organ Corti (Alberti, 1997). Pada pemeriksaan audiometri, tuli akibat bising
memberikan gambaran yang khas yaitu notch (takik) berbentuk „V‟ atau „U‟
sering diawali pada frekuensi 4.000 Hz, tapi kadang-kadang 6.000 Hz,
yang kemudian secara bertahap semakin dalam dan selanjutnya akan
menyebar ke frekueansi di dekatnya (Gambar 2.5). Khasnya didapati
perbaikan pada 8.000 Hz, hal ini yang membedakannya dari prebiskusis
(HSA, 2007).
Universitas Sumatera Utara
19
Gambar 2.5 Audiogram Tuli Akibat Bising.
2.7.2 Epidemiologi
Gangguan pendengaran pada tenaga kerja akibat pajanan bising di
lingkungan kerja mempunyai kekerapan yang cukup tinggi di berbagai
negara. Pajanan bising secara kontinyu dan berlebihan menjadi salah satu
penyebab gangguan pendengaran yang semestinya bisa dihindari. Di
negara maju, bising merupakan masalah karena merupakan penyebab
utama kompensasi penyakit akibat kerja. Didukung dengan fakta bahwa
gangguan pendengaran dalam daerah industri menempati urutan pertama
dalam daftar penyakit akibat kerja di Amerika dan Eropa (Kryter, 1985;
Dencer, et al., 1992; Harrington and Gill, 2005; Nelson, et al., 2005).
2.7.3 Prevalensi
Pada tahun 2000, WHO melaporkan terdapat 250 juta (4,2%) penduduk
dunia mengalami gangguan pendengaran akibat dampak kebisingan
dalam berbagai bentuk. Di Amerika Serikat terdapat sekitar 5-6 juta orang
terancam menderita tuli akibat bising. Sedangkan di Belanda jumlahnya
mencapai 200.000-300.000 orang, di Inggris sekitar 0,2%, di Kanada dan
Swedia masing-masing sekitar 0,3% dari seluruh populasi (Amalia dan
Lanjahi, 2012).
Universitas Sumatera Utara
20
Berdasarkan survei multi center study di Asia Tenggara pada tahun
1998, Indonesia termasuk 4 negara dengan prevalensi ketulian yang
cukup tinggi yaitu 4,6%, sedangkan 3 negara lainnya yakni Sri Lanka
8,8%, Myanmar 8,4% dan India 6,3%. Walaupun bukan yang tertinggi
tetapi prevalensi 4,6% tergolong cukup tinggi, sehingga hal ini dapat
menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat (Suwento, 2007).
Penelitian tentang gangguan pendengaran akibat bising di Indonesia
telah banyak dilakukan. Gangguan pendengaran akibat bising lingkungan
kerja merupakan sumber bising paling sering yang dapat menyebabkan
gangguan pendengaran dibandingkan gangguan pendengaran akibat
bising di tempat lainnya (Bashiruddin dan Soetirto, 2007). Tana dkk (2002)
melaporkan 115 orang dari 264 pekerja (43,6%) di salah satu perusahaan
baja di Jawa mengalami GPAB. Salfi (2014) mendapatkan 7 dari 9
karyawan Pusat Listrik Tenaga Gas (PLTG) Paya Pasir Medan (77,8%)
dengan tempat kerja >85 dB mengalami GPAB.
2.8 Pengaruh Bising terhadap Organ Pendengaran
Secara umum telah diketahui bahwa bising telah menimbulkan
kerusakan di telinga dalam. Lesi dapat berupa kerusakan organ Corti,
ganglion, saraf, membran tektoria, pembuluh darah dan stria vaskularis.
Pada observasi kerusakan organ Corti dengan mikroskop elektron dapat
diketahui bahwa sel sensor dan sel penunjang merupakan bagian yang
paling peka di telinga dalam (Purnami, 2009).
Penilaian GPAB secara histopatologi menunjukkan adanya kerusakan
pada organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Kerusakan yang
terjadi pada struktur organ tertentu bergantung pada intensitas dan lama
paparan. Daerah yang pertama terkena adalah sel-sel rambut luar seperti
stereosilia pada sel-sel rambut luar menjadi kaku. Dengan bertambahnya
intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan
seperti hilangnya stereosilia, kerusakan pada stria vaskular, kolaps sel-sel
penunjang, hilangnya jaringan fibrosit dan kerusakan serabut saraf
(Kujawa, 2009).
Universitas Sumatera Utara
21
Perubahan histopatologi yang diamati pada dinding lateral koklea
dengan pajanan kebisingan akut (24 jam) didapatkan udem sel. Pada
pajanan kronis (2 minggu) degenerasi yang terjadi terutama pada kolagen
tipe IV dan tipe II (Gambar 2.6) (Hirose and Liberman, 2003).
Gambar 2.6 Koklea yang Diamati 2 Minggu Setelah Pajanan Kebisingan.
Pada keadaan pajanan bising yang berlebihan akan mempengaruhi
fibroblas koklea, dimana terjadi peningkatan permeabilitas membran sel
dan memicu peningkatan Ca2+ intraseluler. Peningkatan Ca2+ yang
berlebihan
dalam
sel
tersebut
akan
memicu
kematian
sel
dan
mengaktifkan jalur sinyal intraseluler (Purnami, 2009).
2.9 Respon Stres Intraseluler
Stres adalah suatu kumpulan reaksi, termasuk stimulus (stresor) yang
bereaksi di otak dipicu oleh adanya stimulus (persepsi stres) dan
mengaktifkan respon stres fisiologis di tubuh (Kourtis, 2001). Stres akut
berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa jam. Sedangkan stres
kronis berlangsung beberapa jam per hari yang berlangsung sampai
bulanan atau tahunan (Dhabhar and McEwen, 2007).
Universitas Sumatera Utara
22
Ada 3 jenis faktor lingkungan utama yang dapat memicu stres di tingkat
sel: (1) faktor fisik, seperti paparan pada suhu tinggi, kebisingan, sinar
ultraviolet, radiasi, (2) faktor kimia, dengan ribuan xenobiotik industri,
termasuk karbon monoksida, logam berat dan debu dan (3) faktor biologis,
seperti infeksi oleh virus, bakteri, parasit dan jamur (Haryuna, 2013).
Sel mempertahankan tekanan osmotiknya dengan menjaga volume sel
itu sendiri. Sel menjadi udem bila tekanan osmotiknya meningkat karena
degradasi molekuler. Untuk itu diperlukan sintesis sejumlah bahan aktif
osmotik yang disebut osmolit. Perubahan sel akan memicu aktivasi dari
protein kinase dan memberikan efek perubahan ke protein yang lain
dengan fosforilasi (Gastael, 2006).
2.10 AP-1
2.10.1 Aktivitas AP-1
AP-1 merupakan salah satu faktor transkripsi dan kompleks protein
dimer yang terdiri dari Jun (c-Jun, JunB dan JunD) dan Fos (c-Fos, FosB,
Fra1 dan Fra2). Setiap protein ini diatur secara berbeda, sehingga setiap
sel terdiri dari campuran yang kompleks dari dimer AP-1 dengan fungsi
yang berbeda (Eriksson, 2005).
AP-1 berguna untuk meregulasi gen dalam menanggapi sejumlah
besar rangsangan fisiologis dan patologis, termasuk sitokin, faktor
pertumbuhan, sinyal stres, infeksi bakteri dan virus serta rangsangan
onkogenik. Kontribusi AP-1 untuk penentuan nasib sel tergantung pada
subunit AP-1 seperti komposisi dimer AP-1, kualitas stimulus, jenis sel dan
lingkungan seluler (Hess, et al., 2004).
Ekspresi AP-1 dipicu melalui jalur MAPKs. MAPKs dapat merespon
berbagai bentuk stres fisik dan kimia yang dapat mengendalikan
kelangsungan hidup sel. MAPKs terdiri dari extracellular signal-regulated
kinases (ERKs), c-Jun N-terminal kinases (JNKs) dan p38 MAPKs. ERKs
umumnya mengatur pertumbuhan sel dan diferensiasi, sedangkan JNKs
dan p38 mengatur respons stres. MAPKs mengirimkan sinyal ekstraseluler
ke dalam inti sel, dimana faktor-faktor transkripsi memediasi perubahan
Universitas Sumatera Utara
23
ekspresi gen. MAPKs diaktifkan oleh fosforilasi dalam sitoplasma dan
translokasi ke nukleus, dimana mereka menginduksi fosforilasi faktor
transkripsi (Eriksson, 2005).
2.10.2 Hubungan AP-1 dengan MMP-9
MMP-9 adalah endopeptidase zinc-dependant 92 kDa yang dapat
menurunkan komponen dari matriks ekstraselular. Peningkatan ekspresi
MMP-9 terlibat dalam bermacam-macam proses patologik seperti
diantaranya metastasis, induksi angiogenesis tumor dan inflamasi. Pada
sistem sel, ekspresi MMP-9 juga diinduksi pada tahap transkripsi dalam
respon terhadap bermacam-macam stimuli inflamasi (Mittelstadt and
Patel, 2012).
Stimuli ekstra sel akan mempengaruhi ekspresi pro MMP melalui jalur
sinyal transduksi dengan meningkatkan AP-1. Sisi AP-1 terdapat di dalam
gen MMP-1, -3, -7, -9, -10 dan -12. Sebagian besar pro MMP disekresikan
di dalam sel dan aktif di ekstra sel (Nagase and Woessner, 1999).
Sebanyak 24 matriksin telah diidentifiksi pada manusia dan dapat
dikelompokkan dalam enam grup yaitu collagenases (MMP-1, -8 dan -13),
Gelatinase (MMP-2 dan MMP-9), Stromeolysins (MMP-3, MMP-10 dan
MMP11), Matrilysin (MMP-7 dan MMP-26), Membran-type (MT)-MMP
(MMP-14, MMP-15, MMP-16, MMP-17, MMP-24 dan MMP-25) dan yang
lain (MMP-12, MMP-19, MMP-20, MMP-21, MMP-23, MMP-27 dan MMP28) (HUGO Gene Nomenclature Committee, 2011). Dari keseluruhan jenis
MMP yang pernah ditemukan sampai sekarang ini, jenis Gelatinase dalam
hal ini MMP-2 dan MMP-9 merupakan enzim utama untuk mendegradasi
kolagen tipe IV, V, VII, X, XI dan XIV, gelatin, elastin, proteoglycan core
protein, myelin basic protein, fibronektin, fibrilin-1 dan prekursor TNF-
dan IL-1b dan mampu memecah kolagen tipe I, komponen utama yang
membentuk struktur molekul stroma (Petruzzeli, 2000; Charoenrat, RhysEvans and Eccles, 2001).
Dinding lateral koklea tersusun dari jaringan matriks ekstraseluler
sebagai
struktur
menghasilkan
penyangga,
kolagen.
dimana
Perubahan
yang
terdapat
terjadi
fibroblas
pada
yang
fibroblas
Universitas Sumatera Utara
24
berpengaruh pada kolagen dan dapat mengganggu fungsi pendengaran.
Kolagen tipe IV disebut paling rawan (the most vulnerable) terhadap efek
bising, sehingga kerusakan terjadi lebih dominan (Purnami, 2009;
Haryuna, 2013).
2.11 Curcuminoid
Curcumin merupakan bagian terbesar pigmen kuning yang terdapat
dalam rimpang kunyit (Curcuma longa L.) yang memiliki berbagai aktivitas
biologis seperti antioksidan, antiinflamasi dan antineoplastik. Oleh
penduduk Asia, utamanya India dan Indonesia, zat warna kuning dari
curcumin tersebut sering digunakan sebagai bahan makanan tambahan,
bumbu atau obat-obatan dan tidak menimbulkan efek toksik yang
merugikan (Rochmad, 2004).
Selama dua dekade belakangan ini penelitian tentang curcumin
sebagai bahan aktif untuk beberapa penyakit telah banyak dilakukan.
Diantara penelitian-penelitian tersebut antara lain melaporkan tentang
efek curcumin sebagai antioksidan (Majeed, et al., 1995; Rao, 1997),
antiinflamasi (Van der Goot, 1997; Sardjiman, 1997), antikolesterol
(Bourne, et al., 1999), antiinfeksi (Sajithlal, et al., 1998), antikanker
(Huang, et al., 1997; Singletary, et al., 1998; Huang, et al., 1998) dan anti
Human
Immunodeficiency
Virus
(HIV)
(Mazumder,
et
al.,
1997;
Barthelemy, et al., 1998) (Rochmad, 2004).
Habitat asli tanaman ini adalah wilayah Asia, khususnya Asia
Tenggara. Kunyit dapat tumbuh di berbagai tempat, tumbuh liar di ladang,
di hutan (misalnya hutan jati) ataupun ditanam di pekarangan rumah, di
dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian 200 m di atas
permukaan laut. Selain itu, kunyit dapat tumbuh dengan baik di tanah
yang baik tata pengairannya, curah hujannya cukup banyak (Departemen
Kesehatan
dan
Kesejahteraan
Sosial
RI
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan Kesehatan, 2001).
Universitas Sumatera Utara
25
Komponen utama dalam kunyit adalah curcuminoid dan atsiri. Salah
satu komponen kimia dalam kunyit yang berkhasiat sebagai obat adalah
curcuminoid. Berdasarkan hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat (Balittro) bahwa kandungan curcumin rimpang kunyit
rata-rata 10,92%. Selain kunyit, ada juga beberapa tanaman yang
mengandung curcumin misalnya temulawak dan temuhitam (Sidik,
Mulyono dan Ahmad, 1995, Haryuna, 2013).
Curcumin mempunyai potensi yang baik untuk berbagai penyakit. Pada
fase I percobaan klinik mengindikasikan sebanyak 12 gram curcumin
perhari selama 3 bulan dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Dosis
optimum curcumin untuk pengobatan suatu penyakit belum jelas. Data
menunjukkan bahwa curcumin memiliki bioavaibilitas yang rendah
(Aggarwal, et al., 2007).
Penelitian mengenai curcumin menunjukkan bahwa toksisitas curcumin
tidak signifikan. Pada tikus yang diberi curcumin pada makanannya
dengan dosis 0,1-2,0% (0,1-2,7 mmol/kgBB/hari) selama 8 minggu, tidak
ada efek pada nafsu makan, peningkatan berat badan, hematologi, kimia
serum atau perubahan histologi saluran pencernaan, hati, limpa dan ginjal
yang diperiksa. Penelitian yang serupa, tikus diberikan curcumin hingga
1.000 mg/kgBB/hari per oral selama 3 bulan dan tidak ada efek samping
pada pertumbuhan, perilaku, parameter biokimia dan histopatologi
(Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996).
Curcumin telah terbukti mengganggu jalur sinyal beberapa sel,
termasuk siklus sel (cyclin D1 dan cyclin E), apoptosis (aktivasi caspases
dan “down-regulation” dari produk gen anti apoptosis), proliferasi (HER-2,
EGFR dan AP-1), kelangsungan hidup (jalur PI3K), invasi (MMP-9 dan
molekul adhesi), angiogenesis (VEGF), metastasis (CXCR-4) dan
peradangan (NFκB, TNF, IL-6, IL-1, COX-2 dan 5-LOX) (Anand, et al.,
2008).
Universitas Sumatera Utara
26
2.12 Perbandingan Struktur dan Fungsi Pendengaran Spesies
Berbeda
Pada perkembangannya,
fungsi
pendengaran hewan dibanding
manusia mempunyai perbedaan mendasar. Pada hewan stimulus suara
sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan hidup, mencari
makan, mobilitas dan menghindari musuh. Sedangkan pada manusia
fungsi auditori untuk komunikasi lebih menonjol perannya sehingga dapat
dimengerti bahwa rentang frekuensi penangkapan indra pendengaran
manusia lebih pendek yaitu berkisar 20-20.000 Hz, lebih terfokus pada
frekuensi untuk komunikasi. Sedangkan pada tikus bisa mencapai pada
frekuensi ultrasonik yaitu 1-60 kHz dengan rentang yang lebih panjang
dibanding spesies manusia (Heffner and Heffner, 2003).
Rattus norvegicus merupakan hewan coba laboratoris yang umum
digunakan sebagai model penelitian biomedik yang penting untuk
menjelaskan berbagai penyakit pada manusia. Struktur yang mirip dan
kesamaan patobiologi telinga dalam menyebabkan hewan ini banyak
digunakan untuk penelitian, selain karena mudah didapat, cepat
berkembang biak sehingga mendapatkan populasi homogen yang
diperlukan untuk kesamaan genetik. Identifikasi gen dan sekuensnya
homolog,
dengan
demikian
tikus
mempunyai
potensi
untuk
pengembangan studi ketulian genetik. Selain itu perubahan histopatologis
yang diamati dari hasil penelitian pada tikus juga mempunyai relevansi
klinis dengan manusia (Gravel and Ruben, 1996; Cancian, 1997; Steel,
1998).
2.13 Teknik Imunohistokimia untuk Identifikasi Ekspresi Protein
Teknik pemeriksaan identifikasi protein yang dilakukan yaitu antara lain
dengan teknik Imunohistokimia untuk mengetahui ekspresi variabel yang
diperiksa di fibroblas sediaan jaringan koklea dengan menggunakan
metode Avidin-Biotin kompleks. Reagen yang digunakan pada teknik ini
adalah antibodi primer dan antibodi sekunder yang diikatkan secara kimia
Universitas Sumatera Utara
27
dengan biotin dan suatu kompleks glikoprotein yang diikatkan pada biotin
dan
peroksidase.
Avidin
memiliki
nonimunologik dengan biotin.
kemampuan
berikatan
secara
Peroksidase akan bereaksi dengan
Hydrogen Peroxide (H2O2), bila terdapat elektron donor membentuk
molekul berwarna (Haryuna, 2013).
Antibodi primer dan sekunder dapat melekat pada elemen jaringan
yang bermuatan tinggi, seperti jaringan ikat sehingga menghasilkan reaksi
warna yang positif ditempat yang tidak mengandung variabel yang
diperiksa.
Sebelum pewarnaan daerah ini dapat
ditutup dengan
menggunakan protein plasma non imun yang berasal dari binatang
dengan spesies yang sama dengan binatang yang memproduksi antibodi
sekunder. Penutupan ini bertujuan mengurangi perlekatan antibodi
sekunder non spesifik dengan jaringan sehingga reaktivitas non spesifik
menurun (Haryuna, 2013).
Sebagian besar jaringan yang mengandung peroksidase akan bereaksi
dengan substrat kromogen. Peroksidase endogen dapat dihambat dengan
menambahkan H2O2 3% dalam larutan methanol (Haryuna, 2013).
Universitas Sumatera Utara
28
2.14 Kerangka Konsep
Gambar 2.7 Kerangka Konsep.
Universitas Sumatera Utara
29
2.14.1 Penjelasan kerangka konsep
Bising menyebabkan Ca2+ masuk ke dalam sel fibroblas koklea dalam
jumlah
berlebih
yang
mengakibatkan
stres
sel.
Stres
sel
akan
mengaktifkan protein kinase (MAPK) di sitoplasma dan akan translokasi
ke inti sel untuk memfosforilasi AP-1. AP-1 aktif dapat mempengaruhi
ekspresi proMMP-9 dan akan diaktifkan menjadi MMP-9 di ekstra sel.
MMP-9
selanjutnya
akan
mendegradasi
kolagen
tipe
IV
dan
menyebabkan kerusakan struktur matriks ekstraseluler dinding lateral
koklea. Kerusakan pada dinding lateral koklea menyebabkan gangguan
transduksi impuls hingga gangguan fungsi pendengaran sebagai hasil
akhir.
Curcuminoid dapat menghambat aktivasi AP-1 sehingga ekspresi AP-1
menurun di inti sel. Hal ini kemudian dapat menurunkan produksi sitokin
proMMP-9 sehingga aktivasi MMP-9 tidak terjadi dan juga tidak terjadi
penurunan kolagen tipe IV. Dengan demikian curcuminoid dapat
mencegah terjadinya gangguan fungsi pendengaran akibat GPAB.
2.15 Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah, landasan teori dan kerangka
konseptual tersebut disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:
a. Hipotesis mayor
Curcuminoid dapat mencegah kerusakan fibroblas koklea.
b. Hipotesis minor
1. Curcuminoid dapat menurunkan ekspresi AP-1 pada fibroblas
koklea.
2. Ada hubungan antara dosis curcuminoid dengan ekspresi AP-1.
Semakin tinggi dosis curcuminoid maka semakin rendah ekspresi
AP-1.
Universitas Sumatera Utara