Identifikasi Jenis Kayu Tropis Menggunakan Backpropagation Neural Network

(1)

2.1. Identifikasi Jenis Kayu

Dalam bidang perhutanan, kayu dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kayu daun lebar (hardwood) dan kayu daun jarum (softwood). Di dalam taksonomi tumbuhan, kayu daun lebar berada pada sub divisi angiospermae pada kelas

dicotyledoneae sedangkan kayu daun jarum berada pada sub divisi gymnospermae

(Mandang & Pandit, 1997).

Penampakan permukaan kayu dapat dilihat dari dari tiga bidang yaitu cross section, radial section dan tangential section (Bond & Hamner, 2002) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.


(2)

Setiap jenis kayu mempunyai susunan sel-sel yang berbeda. Kayu meranti merah mempunyai susunan sel seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Anatomi kayu meranti merah (Mandang & Pandit, 1997) Dalam mengidentifikasi jenis kayu, sifat anatomi kayu dapat diamati dengan melihat bagian cross-section kayu. Sifat anatomi kayu yang dapat diamati (Mandang & Pandit, 1997) adalah sebagai berikut.

1. Pembuluh

Pembuluh adalah sel dengan bentuk tabung dan terlihat seperti pori – pori atau lubang-lubang yang beraturan maupun tidak jika dilihat pada bidang lintang kayu. Setiap kayu dapat memiliki ciri pembuluh yang berbeda. Ciri pada pembuluh yang dimaksud adalah sebaran, susunan, diameter, frekuensi, bentuk bidang perforasi dan isi. Sel pembuluh dimiliki oleh kelompok kayu daun lebar. Kelompok kayu daun jarum tidak memiliki pembuluh. Beberapa contoh perbedaan ciri pembuluh ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 (a) dan (b) menunjukkan perbedaan sebaran pembuluh pada kayu jati dan kayu pasang. Kayu jati (Tectona grandis) memiliki pembuluh tatalingkar sedangkan kayu pasang (Quercus sp.) memiliki pembuluh berkelompok radial. Gambar 2.3 (c) dan (d) menunjukkan perbedaan diameter dan frekuensi pembuluh pada kayu lasi (Pertusadina fagifolia) dan kayu palapi

(Heritiera/Tarrietia sp.). Kayu lasi memiliki pembuluh berdiameter sangat kecil dan banyak sedangkan kayu palapi memiliki pembuluh agak besar dan sangat jarang.


(3)

(a) (b) (c) (d) Gambar 2.3. (a) Kayu jati (b) kayu pasang (c) kayu lasi (d) kayu palapi

(Mandang & Pandit, 1997) 2. Trakeid

Trakeid adalah serat pada kayu daun jarum yang berfungsi sama seperti pembuluh pada kayu daun lebar yaitu sebagai saluran air dan zat hara pada kayu.

3. Parenkim

Parenkim adalah sel sebagai tempat penyimpanan makanan yang berukuran kecil dan berdinding tipis dengan arah longitudinal. Parenkim dimiliki oleh daun kayu lebar maupun daun kayu jarum. Berdasarkan hubungannya dengan pembuluh, parenkim dapat dibedakan menjadi dua yaitu: a) Parenkim apotrakea: merupakan parenkim yang tidak berhubungan dengan pembuluh dan b) Parenkim paratrakea: merupakan parenkim yang berhubungan dengan pembuluh.

4. Jari-jari

Jari – jari adalah bagian kayu yang berfungsi untuk menghantarkan makanan dan air. Jari-jari terlihat sebagai garis-garis yang membentang dari bagian kulit terluar menuju ke pusat pohon. Sifat jari-jari yang dapat dijadikan sebagai keperluan identifikasi meliputi: lebar, frekuensi (jumlah per mm arah tangensial), dan tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 menunjukkan perbedaan lebar dan frekuensi jari-jari kayu eboni (Diospyros pilosanthera) dan kayu kenanga (Cananga odorata). Kayu eboni (Gambar 2.4(a)) memiliki jari-jari yang sangat sempit dan banyak sedangkan kayu kenanga (Gambar 2.4(b)) memiliki jari-jari yang agak lebar dan jarang.


(4)

(a) (b)

Gambar 2.4. (a) kayu eboni (b) kayu kenanga (Mandang & Pandit, 1997) 5. Kulit tersisip

Kulit tersisip adalah kulit yang terkurung di antar jaringan kayu. Pada bidang melintang, kulit tersisip tampak seperti pulau-pulau antara jaringan kayu. Hal tersebut berguna untuk identifikasi karena sifat tersebut hanya dijumpai pada jenis kayu tertentu.

6. Saluran interselular

Saluran interselular adalah rongga-rongga antar-sel yang berupa saluran-saluran yang sempit yang dikelilingi oleh parenkima serta selaput yang terdiri atas sel epitel.

7. Saluran getah

Saluran getah adalah saluran yang mengeluarkan getah. Pada bidang tangensial, saluran getah tampak berbentuk seperti lensa cembung atau celah dengan tinggi 1 cm.

2.2. Pengenalan Dasar Citra

Sebuah citra direpresentasikan sebagai fungsi f(x,y) yaitu fungsi dua dimensi, dimana x dan y adalah koordinat posisi, dan nilai f pada setiap kordinat (x,y) disebut sebagai nilai intensitas citra. Sebuah citra dinyatakan sebagai citra digital jika nilai x, y dan nilai intensitas dari f bersifat terbatas dan dalam bentuk diskrit. Sebuah citra digital dibentuk oleh sejumlah elemen yang disebut sebagai piksel dimana setiap piksel tersebut memiliki posisi dan nilai tertentu (Gonzalez, 2008).


(5)

pada sudut kiri paling atas pada citra. Koordinat (N-1, M-1) menunjukkan posisi piksel pada sudut kanan paling bawah pada citra. Representasi citra digital dengan sistem koordinat posisi ditunjukkan pada Gambar 2.5.

0 N-1

M-1 0

x

y

Posisi sebuah piksel

Gambar 2.5. Sistem koordinat citra berukuran M x N (M baris dan N kolom) (Kadir & Susanto, 2012).

Jenis citra dapat dikelompokkan menjadi citra biner, citra skala keabuan dan citra berwarna.

2.2.1. Citra biner (binary image)

Citra biner adalah citra yang hanya memiliki kemungkinan dua warna pada setiap pikselnya yaitu warna hitam dan warna putih. Warna hitam memiliki nilai intensitas 0 sedangkan warna putih memiliki nilai intensitas 1. Nilai setiap piksel pada citra biner direpresentasikan dalam 1 bit. Contoh citra biner ditunjukkan pada Gambar 2.6.


(6)

Gambar 2.6. Citra biner

2.2.2. Citra skala keabuan (grayscale image)

Citra skala keabuan menggunakan tingkatan warna keabuan. Warna hitam adalah warna minimum, warna putih adalah warna maksimum dan warna diantara hitam dan putih adalah warna abu-abu. Warna abu-abu terbentuk jika komponen merah, hijau dan biru pada ruang RGB memiliki nilai intensitas yang sama (Hasmiati, 2013). Banyaknya warna pada citra ditentukan oleh jumlah bit piksel pada citra. Jika citra skala keabuan memiliki jumlah bit 8, maka jumlah warna pada citra adalah 28 atau 256, dimana nilai intensitas berkisar antara 0 sampai 255. Nilai 0 merupakan warna hitam, nilai 255 merupakan warna putih dan nilai di antara 0 - 255 adalah warna keabuan. Contoh citra skala keabuan ditunjukkan pada Gambar 2.7.


(7)

2.2.3. Citra berwarna (color image)

Citra berwarna adalah citra yang setiap pikselnya memiliki informasi warna yang tersusun dari kombinasi warna dasar RGB (Red-Green-Blue). Setiap warna menggunakan delapan bit penyimpanan. Dengan begitu jumlah warna yang akan disajikan dari komposisi warna RGB adalah sebanyak 2553 atau 16.581.375 warna (Kadir & Susanto, 2012). Contoh citra berwarna ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Citra berwarna

2.3. Pengolahan Citra Digital

Pengolahan citra digital adalah teknologi yang menerapkan sejumlah algoritma komputer untuk memproses citra digital. Hasil keluaran dari proses tersebut dapat berupa gambar atau karakteristik yang merepresentasikan citra. (Zhou et al., 2010).

Tujuan utama pengolahan citra (Azizi, 2013) adalah sebagai berikut: memperbaiki kualitas citra, dimana citra yang dihasilkan dapat menampilkan informasi secara jelas; dan mengekstraksi informasi ciri dari citra, dimana hasilnya adalah informasi citra yang diperoleh dalam bentuk numerik. Beberapa teknik yang digunakan pada pengolahan citra adalah sebagai berikut.

2.3.1. Scaling

Scaling adalah salah satu operasi geometri pada pengolahan citra digital. Operasi geometri adalah operasi transformasi citra dengan mengubah geometri citra tanpa mengubah nilai piksel yang sebenarnya (Moeslund, 2012). Scaling citra adalah mengubah ukuran citra dengan memperbesar atau memperkecil ukuran citra pada arah


(8)

horizontal dan/atau vertikal. Gambar 2.9 menunjukkan citra berukuran 2 x 2 piksel mengalami pembesaran ke arah horizontal dan vertikal sebesar dua kali sehingga dihasilkan citra baru berukuran 4 x 4 piksel.

Gambar 2.9. Perubahan ukuran citra (Kadir & Susanto, 2012)

2.3.2. Grayscalling

Grayscalling adalah proses mengubah citra berwarna (RGB) ke bentuk citra aras keabuan. Setiap piksel pada citra berwarna yang mengandung tiga komponen warna RGB akan diubah menjadi hanya mempunyai satu informasi saja yaitu intensitas keabuan. Konversi citra RGB menjadi citra grayscale ditunjukkan pada persamaan 2.1 (Kadir & Susanto, 2012). Konversi dilakukan dengan menjumlahkan hasil perkalian masing – masing komponen RGB dengan nilai konstantanya.

I = a x R + b x G + c x B, a+b+c = 1 (2.1)

Dimana:

I = nilai intensitas keabuan sebuah piksel citra hasil grayscaling R = nilai komponen merah pada sebuah piksel

G = nilai komponen hijau sebuah piksel

B = nilai komponen biru sebuah piksel


(9)

2.4. Ekstraksi Fitur dengan Gray Level Co-occurrence Matrix

Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) adalah salah satu metode analisis tekstur orde kedua. Metode ini diperkenalkan oleh Haralick dkk pada tahun 1973. GLCM dapat juga disebut sebagai Gray level Dependency Matrix (Gadkari, 2004). GLCM adalah matriks yang berbentuk persegi yang menunjukkan distribusi spasial intensitas keabuan dari sebuah citra (Pathak & Barooah, 2013). GLCM merepresentasikan hubungan dua piksel yang bertetangga dimana dua piksel yang berhubungan tersebut memiliki intensitas keabuan tertentu serta memiliki jarak dan arah tertentu di antara keduanya. Jarak dinyatakan dengan piksel dan arah dinyatakan dalam sudut. Jarak dapat bernilai 1, 2, 3 dan seterusnya sedangkan arah dapat bernilai 0°, 45°, 90°, 135° dan seterusnya. Parameter dalam membuat GLCM adalah arah dan jarak di antara piksel referensi dengan piksel tetangga serta tingkat keabuan pada citra. Setiap piksel dapat memiliki piksel tetangga dari delapan arah, yaitu 0°, 45°, 90°, 135°, 180°, 225°, 270°, atau 315°. Namun, pemilihan sudut bernilai 0° akan menghasilkan nilai GLCM yang sama dengan pemilihan sudut yang bernilai 180°. Konsep tersebut juga berlaku bagi sudut 45°, 90°, dan 135° (Gadkari, 2004). Delapan arah ketetanggaan pada GLCM ditunjukkan pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10. Delapan arah ketetangaan piksel

Parameter selanjutnya adalah jarak. Jarak pada GLCM merupakan jumlah piksel yang berada di antara piksel referensi dan piksel tetangga (Ferguson, 2007). Gambar 2.11 menunjukkan contoh pemilihan beberapa jarak (jarak bernilai 1, 2, 3 dan 4) pada arah 0°. Pada jarak bernilai 1, piksel tetangga (nx) tepat berada di sisi kanan (arah 0°) dari piksel referensinya (rx). Sedangkan pada jarak bernilai 2, piksel referensi dan piksel tetangga diapit oleh satu piksel.


(10)

Gambar 2.11. Jarak pada arah 0° (Ferguson, 2007)

Langkah awal dalam membuat GLCM adalah membentuk matriks framework. Matriks framework adalah matriks yang menunjukkan hubungan ketetanggaan antara piksel referensi dengan piksel tetangga pada arah tertentu (Ferguson, 2007). Tingkat intensitas keabuan merupakan faktor yang penting dalam pembuatan GLCM karena dimensi dari matriks ditentukan oleh nilai tingkat keabuan pada piksel didalam citra (Gadkari, 2004). Sebuah citra grayscale 2 bit akan memiliki GLCM dengan ukuran dimensi 22 x 22. Begitu juga dengan citra grayscale 8 bit yang akan membentuk GLCM dengan ukuran dimensi 28 x 28. Gambar 2.12 menunjukkan matriks framework dari citra

grayscale berukuran 2 bit. Matriks framework tersebut berdimensi 22 x 22 sehingga memiliki empat kolom dan empat baris. Baris menunjukkan piksel referensi sedangkan kolom menunjukkan piksel tetangga.


(11)

Setelah membuat matriks framework, langkah selanjutnya adalah mengisi entri dari matriks framework. Matriks framework yang telah diisi dinamakan matriks kookurensi. Matriks framework diisi dengan menghitung jumlah kombinasi piksel referensi dengan nilai intensitas r dan piksel tetangga dengan nilai intensitas n. Pada Gambar 2.12, kolom pertama baris pertama diisi dengan nilai kookurensi piksel referensi berintensitas 0 dapat bertetangga pada arah dan jarak tertentu dengan piksel tetangga berintensitas 0.

Sebelum mengisi matriks framework, terlebih dahulu dilakukan pemilihan arah dan jarak GLCM. Citra yang akan dijadikan contoh untuk dapat direpresentasikan ke dalam GLCM adalah citra grayscale berukuran 4x4 piksel dengan tingkat intensitas 2 bit serta jarak yang digunakan adalah 1 dan arah yang digunakan adalah 0°. Citra tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.13 (a). Setelah dilakukan pemilihan jarak dan arah, maka matriks kookurensi dapat dibuat. Pada Gambar 2.13 (b), akan ditunjukkan hasil representasi citra grayscale ke dalam bentuk matriks kookurensi dengan arah 0° dan jarak 1.

(a) (b)

Gambar 2.13. (a) Citra grayscale (b) representasi citra grayscale ke dalam matriks kookurensi dengan jarak 1 dan arah 0º

Setelah matriks kookurensi dibuat, maka langkah selanjutnya adalah menambahkan matriks kookurensi dengan transposenya. Hal tersebut dilakukan agar diperoleh matriks yang simetris. Penambahan matriks kookurensi dengan transposenya akan ditunjukkan pada Gambar 2.14.


(12)

Matriks Kookurensi +

Matriks Transpose =

Matriks Simetris Gambar 2.14. Penambahan matriks kookurensi dengan transposenya

Langkah selanjutnya adalah melakukan nomalisasi terhadap nilai – nilai elemen GLCM. Matriks simetris perlu untuk dinormalisasi dengan tujuan untuk menghilangkan ketergantungan terhadap ukuran citra, dengan membagi setiap nilai elemen matriks sehingga total seluruh elemen berjumlah 1 (Kadir et al., 2011). Normalisasi matriks ditunjukkan pada Gambar 2.15.

4/24 2/24 1/24 0/24 2/24 4/24 0/24 0/24 1/24 0/24 6/24 1/24 0/24 0/24 1/24 2/24

0.167 0.083 0.041 0 0.083 0.167 0 0 0.041 0 0.25 0.041

0 0 0.041 0.083 Gambar 2.15. Normalisasi matriks

Setelah dilakukan normalisasi matriks, maka perhitungan fitur statistik dari matriks dapat dilakukan. Beberapa fitur statistik yang diusulkan oleh Haralick adalah sebagai berikut.

2.4.1. Energy

Energy atau Angular Second Moment (ASM) menyatakan ukuran keseragaman tekstural dari sebuah citra. Energi pada citra akan bernilai tinggi jika intensitas keabuan terdistribusi secara konstan (Kadir et al., 2011). Perhitungan energy ditunjukkan pada persamaan 2.2, dimana Pi,j adalah elemen matriks kookurensi yang telah dinormalisasi dan N merupakan banyaknya kolom atau baris pada matriks.


(13)

Energy = ∑ ∑ �, �− = �− = (2.2) 2.4.2. Entropy

Entropy menunjukkan ketidakteraturan pada citra. Entropy bernilai kecil jika citra memiliki derajat keabuan yang seragam (Kadir et al., 2011). Perhitungan entropy

ditunjukkan pada persamaan 2.3.

Entropy = ∑ ∑ �, − ln �,

�− = �− = (2.3) 2.4.3. Contrast

Contrast menunjukkan variasi pasangan keabuan pada sebuah citra. Contrast bernilai tinggi ketika terdapat variasi yang besar pada citra (Ferguson, 2007). Perhitungan

contrast ditunjukkan pada persamaan 2.4.

Contrast = ∑ ∑ �,

�− = �−

=

(2.4)

2.4.4. Inverse difference moment

Inverse difference moment atau homogeneity menunjukkan kehomogenan citra.

Homogeneity bernilai besar jika pasangan elemen pada matriks memiliki perbedaan tingkat keabuan yang kecil (Gadkari, 2004). Perhitungan homogeneity ditunjukkan pada persamaan 2.5.

Inverse Difference moment = ∑ ∑ �, + − �− = �− = (2.5) 2.4.5. Correlation

Correlation menunjukkan ketergantungan linear derajat keabuan citra (Gadkari, 2004). Perhitungan correlation ditunjukkan pada persamaan 2.6.


(14)

Correlation = ∑ ∑ �, [ − � − � √� � ] �− = �− = (2.6)

Dimana � dan � adalah perhitungan mean sedangkan � dan � adalah perhitungan

variance. Perhitungan mean ditunjukkan pada persamaan 2.7 dan persamaan 2.8. Perhitungan variance ditunjukkan pada persamaan 2.9 dan persamaan 2.10.

� = ∑ ∑ �, �− = �− = (2.7) � = ∑ ∑ �, �− = �− = (2.8) � = ∑ ∑ �, − � �− = �− = (2.9) � = ∑ ∑ �, − � �− = �− = (2.10)

2.5. Normalisasi Data

Normalisasi adalah teknik pra pengolahan data yaitu dengan mentransformasikan nilai atribut suatu dataset sehingga berada pada range tertentu, misalnya diantara 0 sampai 1. Normalisasi dapat digunakan dalam persoalan klasifikasi data seperti neural network

dan clustering (Atomi, 2012). Beberapa teknik normalisasi data adalah sebagai berikut.

2.5.1. Normalisasi Min-Max

Normalisasi Min-Max adalah normalisasi data dengan menskalakan data secara linier ke dalam range yang ditentukan. Persamaan normalisasi Min-Max ditunjukkan pada persamaan 2.11.

v’ = − �


(15)

Dimana minA dan maxA adalah nilai – nilai minimum dan maksimum dari atribut A, dan

v adalah nilai atribut A yang akan dipetakan menjadi v’ dalam rentang [new_maxA;

new_minA].

2.5.2. Normalisasi Z-Score

Normalisasi Z-Score menggunakan mean dan standar deviasi dalam menormalisasi nilai – nilai suatu atribut. Persamaan normalisasi Z-Score ditunjukkan pada persamaan 2.12.

v’ = − �

� (2.12)

Dimana v adalah nilai atribut A, � adalah mean dari A dan �adalah standar deviasi dari A.

2.5.3. Normalisasi Decimal Scaling

Normalisasi decimal scaling adalah normalisasi data dengan memindahkan titik desimal dari nilai suatu atribut. Besar pergeseran titik desimal ditentukan oleh nilai absolut maksimum dalam suatu atribut. Nilai v dari suatu atribut dinormalisasi menjadi v’ dengan persamaan 2.13.

v’ = (2.13)

Dimana m adalah nilai integer terkecil sehingga Max (|v’|) < 1.

2.6. Jaringan Saraf Tiruan

Jaringan saraf tiruan (JST) adalah sistem yang memiliki komputasi dengan kesamaan tertentu dengan cara kerja sistem saraf manusia. JST mengadaptasi cara kerja sistem saraf manusia dengan beberapa asumsi yaitu sebagai berikut (Darmawan, 2010).

1. Unit pemroses informasi disebut neuron.

2. Sinyal ditransmisikan antar neuron melalui penghubung (sinapsis).

3. Setiap penghubung memiliki bobot dimana akan dilakukan operasi perkalian antara sinyal yang disalurkan dengan bobot.


(16)

4. Setiap neuron memiliki fungsi aktivasi. Fungsi aktivasi adalah fungsi yang memproses input sehingga menghasilkan output tertentu.

Komponen utama pada jaringan saraf tiruan adalah sebagai berikut. 1. Neuron

Neuron atau node merupakan tempat untuk memproses informasi. Setiap neuron

akan menerima input, memproses input lalu menghasilkan sebuah output

(Purnamasari, 2013). 2. Bobot

Bobot atau weight adalah nilai yang merepresentasikan koneksi antarneuron

(Purnamasari, 2013). Pada setiap penghubung akan dilakukan operasi perkalian bobot dengan sinyal yang melewati penghubung tersebut.

3. Fungsi Aktivasi

Fungsi aktivasi adalah fungsi yang menentukan output dari suatu neuron

berdasarkan sinyal masukan yang diterima. Setiap neuron akan menerapkan fungsi aktivasi (Wicaksono, 2008).

4. Layer

Layer adalah lapisan pada JST. Arsitektur jaringan JST terdiri atas jaringan layer

tunggal dan jaringan layer jamak. Jaringan layer tunggal terdiri dari lapisan input

dan lapisan output. Sedangkan jaringan layer jamak terdiri atas lapisan input, lapisan output serta lapisan tersembunyi yang terletak di antara lapisan input dan lapisan output. Jaringan layer tunggal dan jaringan layer jamak dapat dilihat pada Gambar 2.16.

(a) (b)


(17)

Pemrosesan informasi pada neuron di dalam JST diadaptasi dari cara kerja

neuron sistem saraf manusia. Hal tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar 2.17. Sejumlah p buah input (ditambah input bias) akan dikalikan dengan weight yang bersesuaian. Kemudian akan dilakukan penjumlahan terhadap seluruh hasil perkalian tersebut (summing junction). Lalu hasil dari penjumlahan tersebut akan diproses oleh fungsi aktivasi sehingga output tertentu dapat dihasilkan.

Gambar 2.17. Model tiruan neuron pada jaringan saraf tiruan (Hajek, 2005) JST memiliki metode pembelajaran/pelatihan untuk memproses input yaitu

supervised learning (memilki target)dan unsupervised learning (tidak memiliki target). Pada pembelajaran supervised learning, target akan ditentukan dan kemudian nilai

input dan output akan dilatih hingga nilai error (selisih output dengan target) dapat seminimal mungkin (Wicaksono, 2008). Contoh metode pembelajaran supervised learning yaitu metode backpropagation.

2.6.1. Fungsi aktivasi

Di dalam JST, fungsi aktivasi berperan dalam menentukan nilai output. Beberapa fungsi aktivasi yang dapat digunakan di dalam JST adalah sebagai berikut.

1. Fungsi step

Fungsi step menghasilkan output bernilai 1 atau 0. Fungsi step menghasilkan output

1 jika nilai input >= 0 sebaliknya fungsi tersebut akan menghasilkan output 0 jika nilai input < 0. Fungsi step ditunjukkan pada persamaan 2.14.


(18)

= { , ≥

, < (2.14)

2. Fungsi sign

Fungsi sign menghasilkan output bernilai 1 atau -1. Fungsi sign ditunjukkan pada persamaan 2.15.

= { , ≥

− , < (2.15)

3. Fungsi sigmoid biner

Fungsi sigmoid biner menghasilkan nilai output di dalam range yang kontinu yaitu di antara 0 dan 1. Fungsi sigmoid biner ditunjukkan pada persamaan 2.16.

=

+ − (2.16)

Fungsi step, fungsi sign dan fungsi sigmoid biner dapat direpresentasikan ke dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada Gambar 2.18.

(a) (b) (c)

Gambar 2.18. (a) Fungsi step (b) fungsi sign (c) fungsi sigmoid biner

2.6.2. Backpropagation

Backpropagation merupakan salah satu metode pelatihan jaringan saraf tiruan yang terawasi (supervised learning) yang melakukan pengubahan bobot – bobot penghubung antarneuron pada lapisan tersembunyi (Priyani, 2009). Backpropagation berusaha menyeimbangkan kemampuan jaringan dalam mengenali pola selama waktu pelatihan dan melatih jaringan agar menghasilkan output yang benar berdasarkan pola masukan


(19)

yang serupa (tidak sama) dengan pola yang dipakai selama pelatihan (Purnamasari, 2013).

Metode backpropagation terdiri dari dua fase, yaitu fase perambatan maju (feed forward) dan fase arah mundur (backward). Metode backpropagation melakukan pengubahan nilai bobot-bobot pada fase arah mundur (backward) dengan menggunakan

error output. Fase perambatan maju (feed forward) harus dilalui terlebih dahulu untuk dapat memperoleh nilai error tersebut. Pada fase perambatan maju, setiap neuron

diaktifkan oleh fungsi aktivasi (Priyani, 2009).

Arsitektur jaringan backpropagation dapat terbentuk dari arsitektur jaringan

layer jamak seperti ditunjukkan pada Gambar 2.19, dimana terdapat n buah masukan (ditambah satu buah bias), lapisan tersembunyi yang terdiri dari p neuron (ditambah satu buah bias) dan lapisan keluaran yang terdiri dari mneuron.

Gambar 2.19. Arsitektur backpropagation (Purnamasari, 2013)

Berikut adalah algoritma backpropagation untuk jaringan dengan satu layer

tersembunyi dengan fungsi aktivasi yang digunakan adalah fungsi sigmoid biner (Purnamasari, 2013).

Langkah 0: Inisialisasi semua bobot (gunakan bilangan kecil secara acak). Langkah 1: Jika belum terdapat kondisi untuk berhenti, lakukan langkah 2-9. Langkah 2: Lakukan langkah 3-8 untuk setiap pasang data pelatihan.


(20)

Fase I: Propagasi Maju (feed forward)

Langkah 3: Tiap unit masukan menerima sinyal dan meneruskan sinyal tersebut ke unit selanjutnya (lapisan tersembunyi).

Langkah 4: Hitung nilai _ pada unit tersembunyi dengan menggunakan persamaan 2.17. Kemudian hitung nilai output unit tersembunyi ( = 1,2,…,�) dengan menggunakan persamaan 2.18. Nilai output diperoleh dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner.

_ = + ∑

=

(2.17)

= _ =

+ − _ �� (2.18)

Langkah 5: Hitung seluruh output jaringan pada unit ( = 1,2,…, ).

Hitung nilai _ pada unit keluaran dengan menggunakan persamaan 2.19. Kemudian hitung seluruh output jaringan pada unit ( = 1,2,…, ) dengan menggunakan persamaan 2.20. Nilai output diperoleh dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner.

_ = + ∑

� =

(2.19)

= _ =

+ − _ �� (2.20)

Fase II: Propagasi Mundur (backward)

Langkah 6: Hitung faktor � di unit keluaran ( = 1,2,…, ) dengan menggunakan persamaan 2.21.

� = − ′ _ = (2.21)

� merupakan unit kesalahan yang digunakan untuk mengubah bobot layer pada langkah selanjutnya (langkah 7). Kemudian hitung suku perubahan bobot (yang akan digunakan untuk memperoleh bobot yang baru) dengan learning rate


(21)

Δ = � � ; = , , … , ; = , , … , � (2.22)

Langkah 7: Hitung penjumlahan �_ j pada unit tersembunyi ( = 1,2,…,�) dengan menggunakan persamaan 2.23. Hitung faktor � pada unit tersembunyi menggunakan persamaan 2.24. Kemudian hitung suku perubahan bobot (yang akan digunakan untuk memperoleh nilai bobot yang baru) dengan menggunakan persamaan 2.25.

�_ j= ∑ �k kj

m k=

(2.23)

� = �_ ′ ( _ ) = �_ (1 − ) (2.24)

� = � � ; = 1,2,…,� ; = 0,1,…, (2.25)

Fase III: Perubahan Bobot

Langkah 8: Hitung semua perubahan bobot.

Perubahan bobot pada unit keluaran ditunjukkan pada persamaan 2.26.

( � ) = ( ) + Δ ; =1,2,…, ; =0,1,…,� (2.26) Perubahan bobot pada unit tersembunyi ditunjukkan pada persamaan 2.27.

( � ) = ( ) + Δ ; j=1,2,…,� ; =1,2,…, (2.27)

Setelah pelatihan jaringan selesai dilakukan, maka pengenalan pola dapat dilakukan. Pada pelatihan backpropagation, nilai output jaringan hanya diperoleh pada fase propagasi maju (langkah 4 dan 5). Fungsi aktivasi yang dipakai adalah fungsi sigmoid biner. Apabila dilakukan penggantian fungsi aktivasi, maka persamaan 2.18 dan persamaan 2.20 harus disesuaikan. Penggantian fungsi aktivasi akan mempengaruhi

output yang akan dihasilkan, oleh karena itu langkah selanjutnya (langkah 6 dan langkah 7) harus disesuaikan.

2.7. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang identifikasi kayu sudah dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan menggunakan berbagai metode. Pada tahun 2014, Mohan S. melakukan penelitian untuk identifikasi kayu di India. Citra kayu diambil dengan menggunakan kamera dijital dengan resolusi tinggi. Citra yang diambil adalah permukaan luar kulit kayu. Penelitian ini menggunakan metode ekstraksi fitur Grey Level Co-Occurrence Matrix dalam


(22)

mendapatkan ciri citra kayu. Fitur GLCM yang digunakan yaitu entropy, standard deviation dan correlation. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah metode korelasi. Hasil percobaan menunjukkan tingkat akurasi sebesar 95%.

Penelitian yang dilakukan oleh Risaldi et al. (2014) adalah klasifikasi kualitas kayu kelapa dengan menggunakan metode ekstraksi fitur GLCM untuk ekstraksi ciri citra kayu kelapa dan klasifikasi data dengan menggunakan backpropagation dan libSVM. Parameter yang menentukan kualitas kayu kelapa yaitu berupa kelurusan serat kayu dan kepadatan serat kayu. Hasil penelitian didapatkan bahwa backpropagation

memiliki akurasi yang lebih tinggi dari libSVM dalam klasifikasi kualitas kayu kelapa. Penelitian lain yaitu klasifikasi spesies kayu tropis dengan metode Kohonen self-organizing map yang digunakan untuk mengklasifikasi kayu. Citra kayu diekstraksi dengan menggunakan teknik ekstraksi fitur yaitu Grey Level Aura Matrix (BGLAM) dan Statistical Properties of Pores Distribution (SPPD). BGLAM menghasilkan fitur sebanyak 157 buah dan SPPD sebanyak 21 buah. Jumlah cluster KSOM adalah sebanyak 61 cluster dan memiliki jumlah cluster yang tumpang tindih yang bervariasi untuk setiap map. Hasil penelitian ini adalah penggunaan map dengan ukuran 23x23 dapat menghasilkan cluster tumpang tindih dengan jumlah yang paling rendah yaitu sebanyak 11 buah (Ahmad & Yusof, 2013).

Gunawan et al. (2011) melakukan penelitian identifikasi kayu dengan tujuan untuk mengembangkan sebuah sistem yang dapat mengklasifikasikan empat jenis kayu yang diperdagangkan di Indonesia. Identifikasi kayu dilakukan dengan menggunakan citra mikroskopis kayu. Citra diambil dengan menggunakan kamera mikroskopis. Metode yang digunakan untuk klasifikasi citra kayu adalah support vector machine.

Sedangkan metode untuk ekstraksi fitur citra yaitu two-dimensional principal component analysis (2D-PCA). Pada metode klasifikasi dengan SVM, digunakan dua buah kernel yaitu kernel RBF (radial basis function) dan kernel Polinomial. Penelitian ini berhasil mencapai akurasi 95.85% dalam mengidentifikasi kayu dengan menggunakan kernel Polinomial.

Penelitian terdahulu yang telah dipaparkan akan diuraikan secara singkat pada Tabel 2.1.


(23)

Tabel 2.1. Penelitian terdahulu

Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian terdahulu adalah pada penelitian ini, identifikasi jenis kayu dilakukan dengan menggunakan metode grey level co-occurrence matrix (GLCM)sebagai metode ekstraksi fitur dan metode jaringan saraf tiruan backpropagation sebagai metode klasifikasi. Penelitian ini juga menggunakan metode normalisasi decimal scaling untuk menormalisasi data hasil ekstraksi fitur GLCM sebelum masuk ke tahap klasifikasi dengan menggunakan backpropagation.

No Peneliti (Tahun)

Metode Akurasi

Ekstraksi Fitur Klasifikasi 1 Mohan, S., K.

Venkatachalapathy & P. Sudhakar (2014)

Grey Level Co-Occurrence

Matrix

Metode Korelasi 95%

2 Moh.Risaldi,

Purwanto, & H. Himawan (2014)

Grey Level Co-Occurrence

Matrix

Backpropagation 81,76%

3 Azlin Ahmad & Rubiyah Yusof (2013)

Basic Grey Level Aura Matrix

Kohonen Self-Organizing Map

-

4 A.A. Gede Rai Gunawan, Sri Nurdiati & Yandra Arkeman (2011) Two- dimensional principal component analysis (2D-PCA) Support Vector Machine 95,83%


(1)

= { , ≥

, < (2.14)

2. Fungsi sign

Fungsi sign menghasilkan output bernilai 1 atau -1. Fungsi sign ditunjukkan pada persamaan 2.15.

= { , ≥

− , < (2.15)

3. Fungsi sigmoid biner

Fungsi sigmoid biner menghasilkan nilai output di dalam range yang kontinu yaitu di antara 0 dan 1. Fungsi sigmoid biner ditunjukkan pada persamaan 2.16.

=

+ − (2.16)

Fungsi step, fungsi sign dan fungsi sigmoid biner dapat direpresentasikan ke dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada Gambar 2.18.

(a) (b) (c)

Gambar 2.18. (a) Fungsi step (b) fungsi sign (c) fungsi sigmoid biner

2.6.2. Backpropagation

Backpropagation merupakan salah satu metode pelatihan jaringan saraf tiruan yang terawasi (supervised learning) yang melakukan pengubahan bobot – bobot penghubung antarneuron pada lapisan tersembunyi (Priyani, 2009). Backpropagation berusaha menyeimbangkan kemampuan jaringan dalam mengenali pola selama waktu pelatihan dan melatih jaringan agar menghasilkan output yang benar berdasarkan pola masukan


(2)

yang serupa (tidak sama) dengan pola yang dipakai selama pelatihan (Purnamasari, 2013).

Metode backpropagation terdiri dari dua fase, yaitu fase perambatan maju (feed forward) dan fase arah mundur (backward). Metode backpropagation melakukan pengubahan nilai bobot-bobot pada fase arah mundur (backward) dengan menggunakan

error output. Fase perambatan maju (feed forward) harus dilalui terlebih dahulu untuk dapat memperoleh nilai error tersebut. Pada fase perambatan maju, setiap neuron

diaktifkan oleh fungsi aktivasi (Priyani, 2009).

Arsitektur jaringan backpropagation dapat terbentuk dari arsitektur jaringan

layer jamak seperti ditunjukkan pada Gambar 2.19, dimana terdapat n buah masukan (ditambah satu buah bias), lapisan tersembunyi yang terdiri dari p neuron (ditambah satu buah bias) dan lapisan keluaran yang terdiri dari mneuron.

Gambar 2.19. Arsitektur backpropagation (Purnamasari, 2013)

Berikut adalah algoritma backpropagation untuk jaringan dengan satu layer

tersembunyi dengan fungsi aktivasi yang digunakan adalah fungsi sigmoid biner (Purnamasari, 2013).

Langkah 0: Inisialisasi semua bobot (gunakan bilangan kecil secara acak). Langkah 1: Jika belum terdapat kondisi untuk berhenti, lakukan langkah 2-9. Langkah 2: Lakukan langkah 3-8 untuk setiap pasang data pelatihan.


(3)

Fase I: Propagasi Maju (feed forward)

Langkah 3: Tiap unit masukan menerima sinyal dan meneruskan sinyal tersebut ke unit selanjutnya (lapisan tersembunyi).

Langkah 4: Hitung nilai _ pada unit tersembunyi dengan menggunakan persamaan 2.17. Kemudian hitung nilai output unit tersembunyi ( = 1,2,…,�) dengan menggunakan persamaan 2.18. Nilai output diperoleh dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner.

_ = + ∑

=

(2.17)

= _ =

+ − _ �� (2.18)

Langkah 5: Hitung seluruh output jaringan pada unit ( = 1,2,…, ).

Hitung nilai _ pada unit keluaran dengan menggunakan persamaan 2.19. Kemudian hitung seluruh output jaringan pada unit ( = 1,2,…, ) dengan menggunakan persamaan 2.20. Nilai output diperoleh dengan menggunakan fungsi aktivasi sigmoid biner.

_ = + ∑

� =

(2.19)

= _ =

+ − _ �� (2.20)

Fase II: Propagasi Mundur (backward)

Langkah 6: Hitung faktor � di unit keluaran ( = 1,2,…, ) dengan menggunakan persamaan 2.21.

� = − ′ _ = (2.21)

� merupakan unit kesalahan yang digunakan untuk mengubah bobot layer pada langkah selanjutnya (langkah 7). Kemudian hitung suku perubahan bobot (yang akan digunakan untuk memperoleh bobot yang baru) dengan learning rate


(4)

Δ = � � ; = , , … , ; = , , … , � (2.22)

Langkah 7: Hitung penjumlahan �_ j pada unit tersembunyi ( = 1,2,…,�) dengan menggunakan persamaan 2.23. Hitung faktor � pada unit tersembunyi menggunakan persamaan 2.24. Kemudian hitung suku perubahan bobot (yang akan digunakan untuk memperoleh nilai bobot yang baru) dengan menggunakan persamaan 2.25.

�_ j= ∑ �k kj m

k=

(2.23) � = �_ ′ ( _ ) = �_ (1 − ) (2.24) � = � � ; = 1,2,…,� ; = 0,1,…, (2.25)

Fase III: Perubahan Bobot

Langkah 8: Hitung semua perubahan bobot.

Perubahan bobot pada unit keluaran ditunjukkan pada persamaan 2.26.

( � ) = ( ) + Δ ; =1,2,…, ; =0,1,…,� (2.26)

Perubahan bobot pada unit tersembunyi ditunjukkan pada persamaan 2.27.

( � ) = ( ) + Δ ; j=1,2,…,� ; =1,2,…, (2.27)

Setelah pelatihan jaringan selesai dilakukan, maka pengenalan pola dapat dilakukan. Pada pelatihan backpropagation, nilai output jaringan hanya diperoleh pada fase propagasi maju (langkah 4 dan 5). Fungsi aktivasi yang dipakai adalah fungsi sigmoid biner. Apabila dilakukan penggantian fungsi aktivasi, maka persamaan 2.18 dan persamaan 2.20 harus disesuaikan. Penggantian fungsi aktivasi akan mempengaruhi

output yang akan dihasilkan, oleh karena itu langkah selanjutnya (langkah 6 dan langkah 7) harus disesuaikan.

2.7. Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang identifikasi kayu sudah dilakukan oleh peneliti terdahulu dengan menggunakan berbagai metode. Pada tahun 2014, Mohan S. melakukan penelitian untuk identifikasi kayu di India. Citra kayu diambil dengan menggunakan kamera dijital dengan resolusi tinggi. Citra yang diambil adalah permukaan luar kulit kayu. Penelitian ini menggunakan metode ekstraksi fitur Grey Level Co-Occurrence Matrix dalam


(5)

mendapatkan ciri citra kayu. Fitur GLCM yang digunakan yaitu entropy, standard deviation dan correlation. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah metode korelasi. Hasil percobaan menunjukkan tingkat akurasi sebesar 95%.

Penelitian yang dilakukan oleh Risaldi et al. (2014) adalah klasifikasi kualitas kayu kelapa dengan menggunakan metode ekstraksi fitur GLCM untuk ekstraksi ciri citra kayu kelapa dan klasifikasi data dengan menggunakan backpropagation dan libSVM. Parameter yang menentukan kualitas kayu kelapa yaitu berupa kelurusan serat kayu dan kepadatan serat kayu. Hasil penelitian didapatkan bahwa backpropagation

memiliki akurasi yang lebih tinggi dari libSVM dalam klasifikasi kualitas kayu kelapa. Penelitian lain yaitu klasifikasi spesies kayu tropis dengan metode Kohonen self-organizing map yang digunakan untuk mengklasifikasi kayu. Citra kayu diekstraksi dengan menggunakan teknik ekstraksi fitur yaitu Grey Level Aura Matrix (BGLAM) dan Statistical Properties of Pores Distribution (SPPD). BGLAM menghasilkan fitur sebanyak 157 buah dan SPPD sebanyak 21 buah. Jumlah cluster KSOM adalah sebanyak 61 cluster dan memiliki jumlah cluster yang tumpang tindih yang bervariasi untuk setiap map. Hasil penelitian ini adalah penggunaan map dengan ukuran 23x23 dapat menghasilkan cluster tumpang tindih dengan jumlah yang paling rendah yaitu sebanyak 11 buah (Ahmad & Yusof, 2013).

Gunawan et al. (2011) melakukan penelitian identifikasi kayu dengan tujuan untuk mengembangkan sebuah sistem yang dapat mengklasifikasikan empat jenis kayu yang diperdagangkan di Indonesia. Identifikasi kayu dilakukan dengan menggunakan citra mikroskopis kayu. Citra diambil dengan menggunakan kamera mikroskopis. Metode yang digunakan untuk klasifikasi citra kayu adalah support vector machine.

Sedangkan metode untuk ekstraksi fitur citra yaitu two-dimensional principal component analysis (2D-PCA). Pada metode klasifikasi dengan SVM, digunakan dua buah kernel yaitu kernel RBF (radial basis function) dan kernel Polinomial. Penelitian ini berhasil mencapai akurasi 95.85% dalam mengidentifikasi kayu dengan menggunakan kernel Polinomial.

Penelitian terdahulu yang telah dipaparkan akan diuraikan secara singkat pada Tabel 2.1.


(6)

Tabel 2.1. Penelitian terdahulu

Perbedaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian terdahulu adalah pada penelitian ini, identifikasi jenis kayu dilakukan dengan menggunakan metode grey level co-occurrence matrix (GLCM)sebagai metode ekstraksi fitur dan metode jaringan saraf tiruan backpropagation sebagai metode klasifikasi. Penelitian ini juga menggunakan metode normalisasi decimal scaling untuk menormalisasi data hasil ekstraksi fitur GLCM sebelum masuk ke tahap klasifikasi dengan menggunakan backpropagation.

No Peneliti

(Tahun)

Metode Akurasi

Ekstraksi Fitur Klasifikasi

1 Mohan, S., K.

Venkatachalapathy & P. Sudhakar (2014)

Grey Level Co-Occurrence

Matrix

Metode Korelasi 95%

2 Moh.Risaldi,

Purwanto, & H. Himawan (2014)

Grey Level Co-Occurrence

Matrix

Backpropagation 81,76%

3 Azlin Ahmad & Rubiyah Yusof (2013)

Basic Grey Level Aura Matrix

Kohonen Self-Organizing Map

-

4 A.A. Gede Rai Gunawan, Sri Nurdiati & Yandra Arkeman (2011) Two- dimensional principal component analysis (2D-PCA) Support Vector Machine 95,83%