Terjemahan Kalimat Langsung Pada Buku “Kumpulan Cerita Anak Kreatif - Tales For Creative Children” Dalam Bahasa Inggris

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Terjemahan
Translation atau penerjemahan selama ini didefinisikan melalui berbagai cara
dengan latar belakang teori dan pendekatan yang berbeda. Catford (1969:20)
menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia
mendefinisikannya sebagai “the replacement of textual material in another language
(TL)” (mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan
dalam bahasa sasaran).
Sementara Savory (1969: 13) mengungkapkan “Translation is made possibly by
an equivalence of thought that lies behind its different verbal expressions.”
“Terjemahan itu mungkin dibuat dengan kesamaan ide yang ada dibalik ungkapan
verbalnya yang berbeda”.
Nida dan Taber (1969:12) mengatakan : “Translation consists of reproducing in
the receptor language the closest natural equivalence of the source language message,
first in terms of meaning and secondly in terms of style.” Terjemahan adalah
menghasilkan padanan natural yang paling dekat dari pesan bahasa sumber ke dalam
bahasa penerima, pertama dari segi makna dan kedua dari segi gaya.
Disisi lain Newmark (1981:7) mengungkapkan “Translation is a craft
consisting in the attempt to replace a written message and/or statement in one language

by the same message and/or statement in another language”. “Terjemahan yaitu suatu

13

keahlian yang meliputi usaha mengganti pesan atau pernyataan tertulis dalam suatu
bahasa dengan pesan atau pernyataan yang sama dalam bahasa lain”.
Roger T. Bell (1993:5), menyatakan “Translation is the expression in another
language (or target language) of what has been expressed in another, source language,
preserving semantic and stylistic equivalences.”. “Terjemahan adalah ekspresi dari
bahasa

sumber

dari apa

yang

diekspresikan

dari bahasa


sasaran, dengan

mempertahankan padanan semantik dan stilistiknya”.
Di sisi lain Venuti (1991:1) mengatakan: “I see translation as the attempt to
produce a text so transparent that it does not seem to be translated”. “Saya memahami
terjemahan sebagai sebuah usaha untuk menghasilkan suatu teks yang transparan
sehingga teks tersebut tidak kelihatan sebagai terjemahan”.
Berdasarkan beberapa definisi terjemahan diatas, terlihat adanya kesepakatan
bahwa penerjemahan adalah suatu pekerjaan yang menyangkut keterkaitan antara dua
bahasa atau lebih (multy-language) yang menekankan suatu kesamaan, yakni
ekuivalensi. Dalam penerjemahan, yang kemudian terjadi adalah transfer makna dari
bahasa sumber ke bahasa sasaran, dengan keakuratan pesan, keterbacaan, dan
keberterimaan produk (Nababan:2010).
Pada sisi lain Bell (1991) memberikan satu tabel yang berisikan tahapan-tahapan
dalam proses terjemahan yang sudah lazim dilakukan oleh para penerjemah dalam
menghasilkan satu terjemahan. Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa dalam proses
penerjemahan, pertama sekali penerjemah dihadapkan pada sebuah teks bahasa sumber.
Selanjutnya,


penerjemah

melakukan

analisis

14

terhadap

aspek

semantik

yang

diungkapkan melalui satuan-satuan lingual (kata, frasa, klausa dan kalimat), untuk
memahami makna yang terkandung dalam teks bahasa sumber. Tahapan berikutnya
melakukan proses sintesa. Analisis tersebut bertujuan untuk mengungkapkan makna
yang terkandung di dalamnya. Apabila penerjemah sudah dapat memahami makna

tersebut, dia kemudian mensintesakannya. Selanjutnya, dia mengalihkannya ke dalam
bahasa sasaran. Hasil pensintesaan itu berupa teks bahasa sasaran.

Memory
Source
Language
Text

Analysis

Semantic
Representation

Synthesis

Target
Language
Text

Gambar 1. Proses Penerjemahan (Bell, 1991:21)


2.2 Strategi Penerjemahan Nida & Taber
Nida & Taber (1969:56) memperkenalkan dua teori strategi penerjemahan yaitu
kesepadanan bentuk dan kesepadanan dinamis. Kesepadanan bentuk adalah
kesepadanan yang mengupayakan kesamaan bentuk dan isi pesan dari TSu di dalam
Tsa. Kesepadanan dinamis adalah kesepadanan yang menekankan pada efek yang

15

dialami pembaca TSa, jadi efek yang dirasakan pembaca TSu harus sepadan dengan
efek yang dialami oleh pembaca TSa (Nida dan Taber, 1969:56).
Sebagai contoh, kalimat “It’s very hot” yang diucapkan seseorang kepada
temannya yang duduk di dekat jendela di suatu siang yang panas dapat diterjemahkan
menjadi “Maaf, bisakah buka jendelanya?”. Jika ini terjemahannya, inilah kesepadanan
dinamis. Namun, jika terjemahannya adalah “Udaranya panas sekali”, maka
kesepadanan yang dicapai adalah kesepadanan bentuk. Dengan teori ini, Nida dan Taber
menarik perhatian kita menuju efek terjemahan pada pembaca bahasa sasaran dan
menjauhkan penerjemah dari praktik penerjemahan kata-demi-kata dan makna-demimakna. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Nida dan Taber mengambil ide-ide dari
bidang kajian pragmatik untuk menggambarkan tujuan akhir penerjemahan.


2.3 Komponen Makna
Komponen makna atau komponen semantik mengajarkan bahwa setiap kata atau
unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk
makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Analisis ini mengandaikan setiap unsur
leksikal memiliki atau tidak memiliki suatu ciri yang membedakannya dengan unsur
lain (Chaer, 2009:115).
Analisis dengan cara seperti ini sebenarnya bukan hal baru, R. Jacobson dan
Morris Halle dalam laporan penelitian mereka mendeskripsikan bunyi-bunyi bahasa
dengan menyebutkan ciri-ciri pembeda di antara bunyi yang satu dengan bunyi yang
lain. Bunyi-bunyi yang memiliki sesuatu ciri diberi tanda plus (+) dan yang tidak

16

memiliki ciri itu diberi tanda minus (-). Konsep analisis dua-dua ini lazim disebut
analisis biner oleh para ahli kemudian diterapkan juga untuk membedakan makna suatu
kata dengan kata yang lain.

2.3.1 Manfaat Analisis Komponen Makna
Kajian semantik lewat analisis komponen lebih lanjut juga melatari kehadiran
semantik interpretif seperti yang dikembangkan oleh Katz & Fodor (1963). Katz

mengungkapkan bahwa pemahaman komponen semantis sangat berperan dalam upaya
memahami pesan lewat penguraian fitur semantis suatu utterance. Selain itu,
pemahaman komponen semantis juga berperan dalam memproduksi kalimat-kalimat
baru sehingga berbagai struktur sintaktik dan fonologis dapat dikembangkan dan
diwujudkan. Pengembangan struktur sintaktik yang dilatari penguasaan komponen
semantis yang dalam semantik interpretif, disebutkan memiliki hubungan erat dengan
penguasaan makna kata seperti yang terdapat dalam kamus. Selain itu Chaer (2009:116117) juga memperinci manfaat analisis komponen makna sebagai berikut.
1) Digunakan untuk membedakan makna suatu kata dengan kata yang lain.
Misalnya kata ayah dan ibu dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidak adanya
ciri jantan.
Tabel 2. Contoh Analisis Komponen Makna ‘Ayah’ dan ‘Ibu’
Ciri pembeda
1. Manusia
2. Dewasa
3. Kawin
4. Jantan

Ayah
+
+

+
+

Ibu
+
+
+
-

17

2) Perumusan di dalam kamus.
Kamus

Umum

Bahasa

Indonesia


susunan

W.J.S

Poerwodarminto

mendefinisikan kata kuda sebagai ‘binatang menyusui yang berkuku satu dan biasa
dipiara orang untuk kendaraan’. Menurut Wunderlich (dalam Pateda, 2001) untuk
mendefinisi sesuatu dapat digunakan definisi berdasarkan genus proximum (mengacu
kepada rincian secara umum) dan differentia specifica (mengacu kepada spesifikasi
sesuatu yang didefinisikan). Jadi ciri ‘binatang menyusui, berkuku satu, dan biasa
dipiara orang’ adalah yang menjadi ciri umum dan ciri makna ‘kendaraan’ menjadi ciri
khusus yang membedakannya dengan sapi dan kambing.
Tabel 3. Contoh Analisis Komponen Makna ‘Kuda’, ‘Sapi’, dan ‘Kambing’
Ciri Pembeda
1. menyusui

Kuda
+


Sapi
+

Kambing
+

2.berkuku satu

+

+

+

3.dipelihara

+

+


+

4.kendaraan

+

-

-

2.4 Pengertian Kalimat
Bahasa terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan bentuk dan lapisan makna yang
dinyatakan oleh lapisan bentuk tersebut. Bentuk bahasa terdiri dari atas satuan-satuan
yang dibedakan menjadi dua satuan, yaitu satuan fonologi dan satuan gramatikal.
Satuan fonologi meliputi fonem dan suku, sedangkan satuan gramatikal meliputi
wacana, kalimat, klausa, frasa, kata, dan morfem.
18

Kalimat adalah satuan bahasa berupa kata atau rangkaian kata yang dapat berdiri
sendiri dan menyatakan makna yang lengkap. Kalimat adalah satuan bahasa terkecil
yang mengungkapkan pikiran yang utuh, baik dengan cara lisan maupun tulisan. Dalam
wujud lisan, kalimat diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda,
dan diakhiri dengan intonasi akhir. Sedangkan dalam wujud tulisan berhuruf latin,
kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.) yang digunakan
untuk menyatakan kalimat berita atau yang bersifat informatif, tanda tanya (?)
digunakan untuk menyatakan pertanyaan dan tanda seru (!) digunakan untuk
menyatakan kalimat perintah. Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik
lisan maupun tertulis, harus memiliki sebuah subjek (S) dan sebuah predikat (P). Kalau
tidak memiliki kedua unsur tersebut, pernyataan itu bukanlah kalimat melainkan hanya
sebuah frasa. Itulah yang membedakan frasa dengan kalimat.
Sementara pengertian kalimat menurut Kridalaksana (2001:92), dalam Kamus
Linguistik adalah “Konstruksi gramatikal yang terdiri dari satu atau lebih klausa yang
ditata menurut pola tertentu dan dapat berdiri sendiri sebagai satu kesatuan”.
Selanjutnya, Chaer (1994:240), mengemukakan pendapatnya bahwa “kalimat
merupakan satuan sintaksis, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi
bila diperlukan, serta disertai dengan intonasi final.”

2.4.1 Kalimat Langsung dan Kalimat Tak Langsung
Dalam setiap komunikasi, ada kalanya kita berbicara atas nama orang lain,
artinya kita harus menyampaikan kembali apa yang di ucapkan orang lain. Jika kalimat

19

yang kita sampaikan persis sama dengan yang di ucapkan orang lain, artinya ‘ide’,
‘subyek’/obyek, predikat, kondisi dan bahkan waktunya sama sekali tidak ada yang di
ubah, kecuali ada penambahan kalimat “kata dia” (atau kata siapa saja yang mewakili
orang ketiga, sebagai pembicara pertama), disebut “Kalimat Langsung” (Direct
Speech).
Sebaliknya, jika kalimat yang kita sampaikan kembali hanya mengutip ‘ide’ atau
isi beritanya, namun subyek/obyeknya telah di ubah menjadi orang yang berbeda,
bahkan predikat, kondisi, dan waktunya pun mungkin telah di ubah pula, kalimat ini
disebut “Kalimat Tak Langsung” (Indirect Speech).
Kalimat langsung biasanya digunakan untuk lebih mendramatisir keadaan
karena seolah-olah si pembicara pertama benar-benar hadir di dalam pembicaraan
tersebut. Perhatikan contoh kalimat di bawah ini:
KL :

She cheered, “I won the race, I am the champion now!”
(Dia bersorak, “Saya menang. Sekarang saya juara!”)

KTL: She cheered, as she won the race. So she is now the champion.
(Dia bersorak, karena dia menang. Jadi sekarang ini dialah pemenangnya)
Dari kalimat di atas, kita bisa merasakan, bahwa kalimat pertama lebih dramatis
dibandingkan dengan kalimat kedua, karena si penyampai berita bisa berekspresi,
bersorak, bahkan berprilaku seolah-olah dialah yang mengalami dan merasakan sendiri
hal itu (pembicara pertama).

20

2.4.1.1 Ciri- ciri Kalimat Langsung
Ciri- ciri Kalimat Langsung adalah:
1. Bertanda petik dalam bahasa tertulis.
2. Intonasi: bagian kutipan bernada lebih tinggi dari bagian lainnya.
3. Huruf pertama pada petikan langsung ditulis dengan menggunakan huruf
kapital.
4. Bagian kutipan ada yang berupa kalimat tanya, kalimat berita, atau kalimat
perintah.
5. Kalimat langsung yang berupa dialog berurutan, wajib menggunakan tanda baca
titik dua (:) di depan kalimat langsung.
Berikut beberapa contoh kalimat langsung:
1. Robi berkata, “Panas sekali cuaca hari ini”.
2. “Tolong ambilkan obat!” kata Ibu kepada Abdi.
3. “Kamu harus isitirahat yang cukup dan jangan dulu keluar rumah selama beberapa
hari,” kata dokter kepadaku.
4. Bu Guru bertanya, “Diantara kalian, siapa yang bercita-cita ingin menjadi astronot?”

21

2.4.1.2 Jenis-jenis Kalimat Langsung
Kalimat langsung berdasarkan intonasinya dibedakan menjadi 4 bagian merujuk kepada
Erwan, dkk (2007: 94).
1. Kalimat Langsung Perintah
Kalimat langsung perintah adalah kalimat yang bertujuan memberikan perintah
kepada orang lain untuk melakukan sesuatu. Kalimat perintah biasanya diakhiri dengan
tanda seru (!) dalam penulisannya. Sedangkan dalam bentuk lisan, kalimat perintah
ditandai dengan intonasi tinggi.
Macam-macam kalimat perintah :
1.

Kalimat perintah biasa.
Contoh : “Gantilah bajumu!”

2.

Kalimat larangan, ditandai dengan penggunaan kata ‘jangan’.
Contoh: “Jangan membuang sampah sembarangan!”

3.

Kalimat ajakan, ditandai dengan kata ‘mohon’, ‘tolong’, ‘silahkan’.
Contoh : “Tolong temani nenekmu di rumah!”

2. Kalimat Langsung Berita (Pernyataan)
Kalimat langsung berita adalah kalimat yang isinya memberitahukan sesuatu.
Dalam penulisannya, biasanya diakhiri dengan tanda titik (.) dan dalam pelafalannya
dilakukan dengan intonasi menurun. Kalimat ini mendorong orang untuk memberikan
tanggapan.

22

Macam-macam kalimat berita :
1.

Kalimat berita biasa.
Contoh : “Kami tidak tahu mengapa dia datang terlambat.”

2.

Kalimat berita kepastian, ditandai dengan penggunaan kata keterangan waktu
seperti besok pagi, nanti sore dan kata ‘akan’, atau ‘pasti.’
Contoh : “Nenek akan datang dari Bandung besok pagi.”

3.

Kalimat berita pengingkaran, ditandai dengan kata ‘tidak.’
Contoh : “Saya tidak akan datang pada acara ulang tahunmu.”

4.

Kalimat berita kesangsian, ditandai dengan kata ‘mungkin.’
Contoh : “Bapak mungkin akan tiba besok pagi.”

3. Kalimat Langsung Pertanyaan
Kalimat Langsung pertanyaan adalah kalimat yang bertujuan untuk memperoleh
suatu informasi atau reaksi (jawaban) yang diharapkan. Kalimat ini diakhiri dengan
tanda tanya (?) dalam penulisannya dan dalam pelafalannya menggunakan intonasi
menurun. Kata tanya yang dipergunakan adalah bagaimana, dimana, berapa, kapan.
Contoh:
a. “Mengapa gedung ini dibangun tidak sesuai dengan desainnya?”
b. “Kapan Becks kembali ke Inggris?”

23

4. Kalimat Langsung Seruan
Kalimat langsung seruan adalah kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan
perasaan ‘yang kuat’ atau yang mendadak. Kalimat langsung seruan biasanya ditandai
dengan intonasi yang tinggi dalam pelafalannya dan menggunakan tanda seru (!) atau
tanda titik (.) dalam penulisannya.
Contoh:
a. “Aduh, pekerjaan rumah saya tidak terbawa!”.
b. “Bukan main, eloknya.”

2.5 Manfaat Buku Cerita Anak Bilingual
Adapun beberapa manfaat buku cerita anak bilingual (Puryanto, 2008:32) adalah:
1. Manfaat kognitif (Cognitive advantages)
Menciptakan kreativitas dan sensitivitas dalam berkomunikasi (creativity,
sensitivity to communication). Penggunaan buku bilingual bermanfaat dalam memacu
kemampuan berpikir anak, lebih kreatif serta memiliki dua atau lebih kata-kata untuk
setiap obyek dan ide, serta membuat anak lebih berhati-hati dalam berkomunikasi
terhadap orang-orang yang memiliki bahasa yang berbeda.
2. Manfaat kepribadian (Character advantages: Raised self-esteem)
Meningkatkan rasa percaya dan harga diri. Manfaat buku bilingual dapat
menumbuhkan dan menaikkan rasa percaya diri pada anak, karena dengan menguasai
dua bahasa anak lebih berani untuk berkomunikasi dan tetap merasa aman dalam
lingkungan yang menggunakan dua bahasa yang dipahami oleh anak.

24

3. Manfaat pendidikan (Curriculum advantages)
Meningkatkan prestasi pendidikan dan lebih mudah mempelajari bahasa ketiga.
Penggunaan buku bilingual akan memudahkan anak mempelajari bahasa yang kedua
maupun bahasa ketiga ketika anak sudah menguasai dua bahasa. Di samping itu prestasi
belajar anak meningkat karena anak memperoleh kata-kata baru dalam bahasa Inggris,
untuk kata yang sama dalam bahasa Indonesia.
4. Manfaat budaya (Cultural advantages)
Manfaat budaya yaitu penyerapan budaya asing (broader enculturation) dan
memiliki rasa toleransi lebih besar dan kurang rasisme (Greater tolerance and less
racism). Pemanfaatan buku cerita anak bilingual dalam belajar dapat membantu anak
mengenal budaya asing, karena setiap bahasa berjalan dengan sistem perilaku dan
budaya yang berbeda. Melalui pengenalan bahasa, anak mampu memahami budaya dari
bahasa tersebut, serta membentuk sikap toleransi anak terhadap orang lain yang
memiliki budaya yang berbeda.

2.6 Penelitian Terdahulu yang Relevan
Ade Irma Khairani (2008) dalam penelitiannya berjudul Analisis Strategi
Penerjemahan Inggris-Indonesia dalam Teks Kontrak Umum Perjanjian Kerja berfokus
pada masalah penelitian penerjemahan sebagai produk, yang menganalisis strategi
penerjemahan pada suatu teks yang telah diterjemahkan. Data penelitian merupakan
teks tulis kontrak umum perjanjian kerja antara perusahaan asing dengan perusahaan
gabungan (asing dan lokal) yang memakai sistem bilingual, bahasa Inggris dan bahasa

25

Indonesia karena didasari atas kepentingan bahasa dua perusahaan yang saling
bekerjasama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi penerjemahan
apa saja yang digunakan dalam teks tersebut dan mengetahui tingkat perbedaan padanan
makna antara Tsu dan Tsa. Kerangka teori yang dipakai adalah teori Gramatika
Linguistik Fungsional Sistemik, yang dibatasi pada sistem struktur tematik dan prosesproses transitivitas serta teori pergeseran Catford. Hasil penelitian mengungkapkan
bahwa strategi penerjemahan eksplikasi merupakan strategi yang paling dominan
digunakan dalam teks tersebut dengan persentase 17,6% dan tingkat perbedaan padanan
makna antara Tsu dan Tsa adalah 39,5%. Sehingga untuk menanggulangi perbedaan
tingkat padanan tersebut ditempuh strategi penerjemahan, yaitu penambahan,
pergeseran, kombinasi, pelepasan dan eksplikasi.
Penelitian Ade Irma dengan penelitian ini memiliki kesamaan yaitu
menganalisis strategi penerjemahan. Penelitian ini menganalisis strategi penerjemahan
kalimat langsung dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, sedangkan penelitian
Ade Irma menganalisis strategi penerjemahan teks kontrak umum perjanjian kerja dari
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia.
Endang Dwi Hastuti, dkk (2011) dengan penelitian yang berjudul Analisis
Terjemahan Film Inggris -Indonesia: Studi Kasus Terjemahan Film “Romeo And
Juliet” (Kajian Tentang Strategi Penerjemahan) mengkaji (1) bagaimanakah
kesepadanan makna terjemahan film “Romeo and Juliet” ditinjau dari konteks situasi
dan konteks budaya yang meliputi teks tersebut, (2) Strategi penerjemahan apa sajakah
yang diterapkan oleh penerjemah dalam menerjemahkan film “Romeo and Juliet”.

26

Sementara tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi makna kalimat-kalimat
yang ada dalam subtitling film “Romeo and Juliet” serta menganalisis tingkat
kesepadannya berdasarkan konteks situasi dan konteks budaya yang melingkupi teks
tersebut. Selain itu, penelitian ini juga ingin mengungkapkan strategi-strategi
penerjemahan dalam subtitling film “Romeo and Juliet”. Jenis penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif dan teknik sampling yang digunakan adalah purposif sampling.
Objek penelitian ini berupa terjemahan film “Romeo and Juliet” (dalam bahasa Inggris)
sebagai teks sumber dan subtitling film “Romeo and Juliet” (dalam bahasa Indonesia)
sebagai teks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa makna sebuah teks ditentukan oleh
konteks yang melingkupi teks tersebut, baik konteks situasi maupun konteks budaya.
Ada tiga komponen yang menyelubungi konteks situasi yakni, field (isi), mode/channel
(teks lisan/tulis) dan tenor/relation (hubungan antara pembicara-pendengar/pemirsa).
Sementara makna sebagai budaya menganggap bahwa budaya dan bahasa berbeda satu
sama lainnya maka makna linguistik suatu bahasa ditentukan oleh konteks budaya di
mana peristiwa bicara itu terjadi. Dengan demikian, pemahaman lintas budaya harus
dimiliki oleh penerjemah agar ia mampu menyampaikan pesan dari bahasa sumber ke
dalam

bahasa

sasaran.

Strategi-strategi

terjemahan

yang

digunakan

untuk

menerjemahkan film Romeo and Juliet adalah strategi penambahan, paraphrase,
transfer, imitasi, pemampatan, desimasi, penghapusan, penjinakan dan angkat tangan
(resignation). Diantara kesembilan strategi tersebut, strategi pemampatan yang paling
dominan disebabkan karena terbatasnya ruang dan waktu munculnya subtitling sehingga
dalam

subtitling

haruslah

“hemat

terjemahan
‟. Kemudian

27

penerjemah

juga

menggunakan beberapa strategi sekaligus untuk menerjemahkan sebuah kalimat. Dalam
penelitian ini, tidak ditemukan penggunaan strategi transkripsi.
Penelitian Endang, dkk memiliki kesamaan dengan penelitian ini dalam
menganalisis kesepadanan makna terjemahan. Analisis kesepadanan makna terjemahan
dalam penelitian ini menggunakan analisis komponen makna. Analisis kesepadanan
makna terjemahan film “Romeo and Juliet” pada penelitian Endang, dkk ditinjau dari
konteks situasi dan konteks budaya.
Hasrul Harahap (2013) dengan penelitiannya yang berjudul Penerjemahan
Frasa Verbal Dari Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia bertujuan untuk
mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai masalah yang terkait dengan
penerjemahan frasa verbal dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia pada novel “Things
Fall Apart” karya Chinua Achebe. Metodologi dalam penelitian ini adalah kualitatif
dengan teknik analisis isi. Penelitian ini difokuskan hanya pada penerjemahan frasa
verbal dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada novel “Things Fall Apart”
karya Chinua Achebe. Penerjemahan frasa verbal dari bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia tidak terlepas dari penyimpangan yang terdapat dalam teks bahasa sumber.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya penyimpangan pada novel “Things Fall
Apart”, pertama, adanya frasa yang tidak diterjemahkan, kedua, kesalahan kesepadanan
gramatikal dan leksikal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi penerjemahan
harfiah yang paling efektif digunakan dalam menerjemahkan teks bahasa sumber. Hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa penerjemah menerapkan beberapa teknik
penerjemahan guna mendapatkan kesepadanan makna bahasa sumber BSu yaitu seperti

28

transposisi dan deskripsi. Kemudian, terdapat juga bentuk pergeseran dari gramatikal
atau leksikal. Ini disebabkan karena sistem bahasa sumber dan bahasa sasaran memiliki
perbedaan.
Penelitian Hasrul memiliki kesamaan dalam menganalisis strategi penerjemahan
dengan penelitian ini. Penelitian Hasrul menunjukkan bahwa strategi penerjemahan
harfiah yang paling efektif digunakan dalam menerjemahkan teks bahasa sumber yaitu
bahasa Inggris ke dalam teks bahasa sasaran yaitu bahasa Indonesia. Penelitian ini
menunjukkan bahwa strategi penerjemahan kesepadanan bentuk cenderung digunakan
dalam menerjemahkan kalimat langsung pernyataan dan seruan dari bahasa sumber
yaitu bahasa Indonesia ke dalam bahasa sasaran yaitu bahasa Inggris.

Strategi

penerjemahan kesepadanan dinamis cenderung digunakan dalam menerjemahkan
kalimat langsung pertanyaan dan perintah dari bahasa sumber yaitu bahasa Indonesia ke
dalam bahasa sasaran yaitu bahasa Inggris.
Rina Sari Nainggolan (2012) dengan penelitiannya yang berjudul “Equivalence
strategies in translating slang in the novel Akeelah and The Bee by Sapardi Djoko
Damono” merupakan suatu analisis tentang penggunaan strategi penerjemahan dalam
upaya penyepadanan kata dan frasa pada penerjemahan teks slang bahasa sumber
(bahasa Inggris) dari sebuah novel “akeelah and the Bee” kedalam teks bahasa sasaran
(bahasa Indonesia) “Akeelah” oleh Sapardi Djoko Damono. Skripsi ini dilatarbelakangi
fenomena penggunaan slang yang semakin sering terdapat tidak hanya pada subtitle
sebuah film saja, tapi juga ada pada novel novel bahasa sumber yang diterjemahkan ke
bahasa sasaran. Selain keberhasilan penyampaian pesan dari bahasa sumber, hal yang

29

perlu diperhatikan adalah suatu terjemahan harus senatural mungkin sehingga pembaca
tidak menyadari bahwa ia sedang membaca novel terjemahan. Hal ini menjadi tugas
yang cukup sulit bagi penerjemah dikarenakan slang punya makna ekspresif tersendiri
yg hanya diketahui oleh komunitas tertentu dan terkadang makna slang tersebut meluas
bahkan menghilang. Bagaimana si penerjemah menerjemahkan slang tanpa mengurangi
nilai ekspresif dari slang itu sendiri ke bahasa sasaran yaitu bahasa Indonesia
merupakan tujuan dari pembuatan skripsi ini. Landasan teori yang digunakan adalah
teori Mona Baker (1992) mengenai strategi strategi penyepadanan dalam penerjemahan
dari dua level yg berbeda yaitu pada tingkat kata dan tingkat diatas kata. Ada tujuh
strategi yang diberikan Baker (1992) untuk mengatasi ketidaksepadanan yang terdapat
pada tingkat kata yaitu: menerjemahkan dengan kata yg lebih umum, menerjemahkan
dengan kata yg lebih netral atau kurang ekspresif, menerjemahkan dengan kata yang
berhubungan dengan kebudayaan, menerjemahkan dengan kata pinjaman (loan words),
menerjemahkan dengan kata atau frasa yang ada kaitannya, menerjemahkan dengan
kata atau frasa yang tidak ada berkaitan, dan menerjemahkan bahasa sumber dengan
menghilangkan kata tersebut atau tidak menerjemahkannya. Pada tingkat diatas kata,
empat strategi tersedia untuk mengatasi ketidaksepadanan yang terdapat pada frasa,
kolokasi atau idiom. Strategi strategi itu adalah: menerjemahkan dengan frasa atau
idiom yg makna dan bentuknya sama, menerjemahkan dengan frasa atau idiom yg
makna sama tapi bentuk yg berbeda, menerjemahkan dengan cara memparafrasakan,
dan menerjemahkan dengan menghilangkan frasa atau tidak menerjemahkannya.
Metode yg digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan untuk mencari

30

berbagai teori yang mendukung. Dalam menganalisis data penulis menggunakan
metode kualitatif karena penulis ingin memberi penjabaran yg detail mengenai strategi
penerjemahan yg digunakan dalam menerjemahkan slang terutama yg terdapat di novel
”Akeelah and The bee”. Kemudian untuk mencari strategi yang paling sering digunakan
baik dalam tingkat tataran kata ataupun tataran diatas kalimat dalam novel ini
digunakanlah formula Malo. Hasil yg didapat dari analisis penerjemahan ini
menunjukkan

semua

strategi

yg

ditawarkan

oleh

Baker

digunakan

dalam

menerjemahkan slang yg ada. Menerjemahkan kata slang dengan kata yg lebih umum
merupakan strategi yg paling dominan digunakan oleh penerjemah (33,33%).
Sedangkan dalam menerjemahkan frasa atau idiom slang ke bahasa sasaran, penerjemah
dominan menerjemahkan dengan frasa atau idiom yg memiliki makna dan bentuk yg
sama (38,17%).
Penelitian Rina memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu menganalisis
strategi penerjemahan dan kesepadanan penerjemahan. Perbedaannya terletak pada teori
yang digunakan. Teori yang digunakan dalam penelitian Rina adalah teori Mona Baker
(1992) mengenai strategi strategi penyepadanan dalam penerjemahan dari dua level yg
berbeda yaitu pada tingkat kata dan tingkat diatas kata. Teori yang digunakan pada
penelitian ini adalah teori Nida dan Taber (1969) mengenai strategi penerjemahan
kesepadanan bentuk dan kesepadanan dinamis. Untuk melihat tingkat kesepadanan
makna di dalam kata dan frasa yang terdapat di dalam kalimat langsung Tsu dan Tsa
penelitian ini mengguakan teori analisis komponen makna Chaer (2009).

31

W.A. Sindhu Gitananda (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Studi
Kontrastif Terjemahan dari Yogasùtra antara Versi Swami Prabhavananda dan Versi
Swami Vivekananda membahas kata-kata tidak-berpadanan dan tipe terjemahan.
Terdapat dua terjemahan dari teks suci Yogasùtra (yaitu versi Swami Prabhavananda
(SPV) dan versi Swami Vivekananda (SVV). Fenomena awal yang sangat menggugah
adalah perbedaan pilihan kata di antara keduanya, khususnya pemakaian kata-kata
pinjaman pada kedua terjemahan tersebut yang mengindikasikan bahwa kata-kata
tersebut merupakan kata-kata tidak berpadanan. Sedangkan, masalah utama dalam
penerjemahan adalah kesepadanan. Adapun masalah yang dibahas: pertama,
permasalahan mengenai kata-kata tidak berpadanan yang berhubungan erat dengan
bagaimana strategi-strategi yang diterapkan oleh penerjemah; masalah ke dua adalah
tipe terjemahan masing-masing versi tersebut. Masalah pertama dianalisa dengan
menerapkan strategi-strategi penerjemahan yang diajukan Baker (1992), yang mana
terdapat delapan strategi penerjemahan. Sedangkan masalah ke dua dianalisa dengan
mengaplikasi tipe-tipe terjemahan Floor (2007) dengan mempertimbangkan dua kriteria
yaitu adjustment made to key terms ‘perubahan terhadap istilah-istilah kunci’ dan
concordance of the lexical items ‘keberurutan kata-kata dalam terjemahan’. Penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif. Sumber datanya adalah dua terjemahan dari teks
Yogasùtra yaitu versi Swami Prabhavananda (1953) dan versi Swami Vivekananda
(1976). Oleh karena terdapat dua subjek penelitian yang memiliki karakteristik yang
sama, misalnya, keduanya merupakan terjemahan dari sebuah teks, penerjemahnya
sama-sama orang India, kedua terjemahan berbahasa Inggris, dsb., maka penelitian yang

32

sesuai

dilaksanakan

adalah

penelitian

deskriptif-kontrastif.

Hasil

penelitian

menunjukkan bahwa terdapat tiga puluh kata yang dikategorikan sebagai kata-kata tidak
berpadanan. Kata-kata tersebut diterjemahkan secara tidak konsisten ke dalam satu kata
pada bahasa target; terdapat beberapa diantaranya yang diterjemahkan ke dalam tiga
kata pada bahasa target. Dari delapan strategi penerjemahan yang diajukan oleh Baker
(1992), hanya empat diantaranya diterapkan pada SPV. Sedangkan pada SVV terdapat
lima strategi yang diterapkan. Penerapan strategi-strategi tersebut tidak melanggar
ketentuan panerapannya, namun terdapat diantaranya yang dikombinasikan. Disamping
itu, terdapat satu strategi yang dimodifikasi pada SPV, yaitu pada strategi penerjemahan
by a more general word ‘menggunakan kata lebih umum’, bahwa kata lebih umum yang
dipakai dalam bahasa target adalah kata yang diambil dari bahasa sumber.
Penelitian Sindhu memiliki kesamaan dengan penelitian ini yaitu menganalisis
strategi penerjemahan. Bedanya penelitian ini menggunakan strategi yang diajukan oleh
Nida dan Taber 1969, sementara Sindhu menggunakan teori strategi penerjemahan
Baker (1992). Sindhu mengkaitkan permasalahan mengenai kata-kata tidak berpadanan
yang berhubungan erat dengan bagaimana strategi-strategi yang diterapkan oleh
penerjemah. Penelitian ini mengkaitkan jenis-jenis kalimat langsung dengan strategi
penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah.
Dapat disimpulkan bahwa penelitian-penelitian yang relevan ini berkisar tentang
penggunaan strategi penerjemahan dan kesepadanan penerjemahan, namun sampai saat
ini belum ada yang meneliti tentang strategi penerjemahan kalimat langsung ke dalam
bahasa Inggris dan kesepadanan kata dan frasa yang terdapat di dalam kalimat langsung

33

pada Tsu dengan kata dan frasa yang terdapat di dalam kalimat langsung Tsa pada buku
cerita bilingual “Kumpulan Cerita Anak Kreatif- Tales for Creative Children”. Peneliti
berharap hasil penelitian ini dapat menambah cakupan tentang strategi penerjemahan
dan kesepadanan penerjemahan kalimat langsung dari bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Inggris.

34