Karakteristik Penderita Hipertensi dengan Stroke yang Dirawat Inap di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2011-2015

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi

2.1.1

Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang diberikan oleh darah pada dinding

pembuluh darah dalam ukuran milimeter merkuri (mmHg). Pengaturan tekanan
darah adalah proses yang kompleks menyangkut pengendalian ginjal terhadap
natrium dan retensi air, serta pengendalian sistem saraf terhadap tonus pembuluh
darah (Baradero dkk, 2008).
Tekanan darah dibedakan antara tekanan darah sistolik dan tekanan darah
diastolik. Tekanan darah sistolik adalah tekanan tertinggi yang disebabkan oleh
pengerutan bilik jantung sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan
terendah yang disebabkan oleh pembesaran bilik jantung (Shadine,2010).
WHO menetapkan bahwa tekanan darah normal yaitu bila tekanan sistolik
dibawah 140 mmHg,dan tekanan diastolik dibawah 90 mmHg. Sepanjang hari

tekanan darah akan berubah-ubah tergantung pada aktivitas tubuh, latihan yang
berat dan stress cenderung meningkatkan tekanan darah sedangkan dalam keadaan
berbaring atau istirahat tekanan darah akan turun kembali (Shadine,2010).
Tekanan darah hendaknya diukur dengan sphygmomanometer yang telah
dikalibrasi dengan baik menggunakan ukuran manset yang tepat paling sedikit
80% dari ukuran manset melingkari lengan. Karet lingkar lengan 12,5 cm dan
harus menutup paling sedikit 2/3 bagian atas lengan, karena karet yang lebih kecil
dengan cakupan yang kecil akan memberikan angka yang lebih tinggi. Pasien
dibiarkan istirahat dengan kurang lebih selama 5-10 menit. Beberapa jam
7
Universitas Sumatera Utara

8

sebelumnya tidak dibenarkan minum zat perangsang (stimulan) seperti teh, kopi,
dan minuman ringan yang mengandung kafein. Pasien duduk dengan lengan
setinggi jantung. Kemudian meraba denyut nadi radialis pada sisi ipsilateral dan
kembangkan karet sphymonomanometer secara bertahap sampai tekanan sistolik
20 mmHg diatas titik di mana denyut nadi radialis menghilang. Kempiskan karet
kurang lebih 2 mmHg per detik, catat titik pertama pulsasi yang terdengar (bunyi

Korotkoff pertama) yang merupakan tekanan darah sistolik dan titik dimana bunyi
pulsasi menghilang ( bunyi Korotkoff ke-5) yang sekarang secara universal diakui
sebagai tekanan diastolik, bukannya bunyi gemuruh (Korotkoff ke-4) yang
digunakan dalam definisi lama. Mengukur tekanan darah minimal 2 kali dengan
jarak cukup lama paling sedikit 5-10 menit (Gray dkk, 2003).
Peningkatan tekanan darah yang bersifat sementara disebabkan oleh
perasaan gembira atau cemas (ketakutan) bukan merupakan Hipertensi tetapi
dapat menjadi petunjuk adanya kecenderungan untuk menjadi Hipertensi pada
suatu saat. Pemantauan tekanan darah selama 24 jam secara ambulator dapat
berguna untuk mengevaluasi pasien dengan tekanan darah perbatasan atau tekanan
darah yang berubah-ubah, hampir 20% dari mereka tidak terbukti mengalami
Hipertensi dan gejala hipotensif yang mungkin tejadi akibat pengobatan
(Lawrence dkk, 2002).
Semua orang dewasa harus mengukur tekanan darahnya secara teratur
setidaknya setiap 5 tahun sampai umur 80 tahun. Jika hasilnya berada pada nilai
batas, pengukuran perlu dilakukan setiap 3-12 bulan (Gray dkk, 2003).

Universitas Sumatera Utara

9


2.1.2

Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu keadaan dimana

seseorang

mengalami

peningkatan

tekanan

darah

diatas

normal


yang

mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian
(mortalitas)

(Dalimartha,

2008).

Hipertensi

juga

didefinisikan

sebagai

peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg pada dua kalipengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat/tenang (Price dan Wilson, 2006).

Hipertensi sebagai penyakit The Sillent Killer biasanya menunjukkan
gejala non-spesifik selama bertahun-tahun, sampai terjadi kerusakan organ target
penyakit serebrovaskuler yaitu stroke, penyakit vaskuler yakni penyakit jantung
koroner, dan gagal ginjal yakni kerusakan renovaskular dan kerusakan glomerulus
(Davey, 2005).
Menurut Perreu dan Bogusslavsky, Hipertensi kronis dan tidak terkendali
akan memacu kekakuan dinding pembuluh darah kecil yang dikenal dengan
mikroangiopati. Hipertensi juga akan memacu munculnya timbunan plak (plak
atherosklerotik) pada pembuluh darah besar. Timbunan plak akan menyempitkan
lumen/diameter pembuluh darah. Plak yang tidak stabil akan mudah reptur/pecah
dan terlepas. Plak yang terlepas meningkatkan risiko tersumbatnya pembuluh
darah otak yang lebih kecil. Bila ini terjadi timbulnya gejala stroke (Pinzon dan
Asanti, 2010).

Universitas Sumatera Utara

10

Terdapat juga korelasi langsung antara tekanan darah dan risiko penyakit
kardiovaskuler; Semakin tinggi tekanan darah , semakin besar risiko terkena

stroke dan penyakit jantung koroner (Joewono dan Prabowo, 2003).
Peningkatan tekanan darah di dalam arteri terjadi melalui beberapa cara,
yaitu (Shadine,2010) :
a. Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan
pada setiap detiknya.
b. Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, tidak dapat
mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena
itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit
daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan darah. Inilah yang terjadi
pada saat usia lanjut, dinding arterinya telah menebal dan kaku karena
arteriosklerosis. Dengan cara yang sama, tekanan darah juga meningkat pada saat
terjadi “vasokonstriksi”, yaitu jika arteri kecil (arteriola) untuk sementara waktu
mengkerut karena perangsangan saraf atau hormon didalam darah.
c. Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya
tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak
mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah
dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.

Universitas Sumatera Utara


11

2.2

Klasifikasi Hipertensi

2.2.1

Berdasarkan Etiologi

a.

Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial
Hipertensi

yang

penyebabnya

tidak


diketahui

(idiopatik),

walaupundikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak
(inaktivitas) dan pola makan yang tidak terkontrol mengakibatkan kelebihan berat
badan bahkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena Hipertensi.
Terjadi pada sekitar 90% penderita Hipertensi (Kemenkes RI, 2015). Hipertensi
primer biasanya muncul pada penderita yang berusia 25-55 tahun, sedangkan usia
dibawah 20 tahun jarang ditemukan (Lawrence dkk, 2002).
Hipertensi esensial, primer, atau idiopatik sulit dalam penjelasan
mekanisme yang bertanggungjawab terhadap Hipertensi, disebabkan oleh
berbagai sistem yang terlibat dalam pengaturan tekanan arteri perifer dan
adrenergik sentral, renal, hormonal, dan vaskuler dan kompleksnya hubungan
sistem-sistem ini satu dengan lainnya (Isselbacher dkk, 2000).
Hipertensi esensial merupakan penyakit multifaktoral yang timbul
terutama karena interaksi antara faktor – faktor risiko tertentu. Faktor – faktor
risiko tersebut antara lain seperti diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas,
merokok, genetis; sistem saraf simpatis; keseimbangan antara modulator

vasodilitasi dan vasokontriksi: endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi
remodeling dari endotel, otot polos dan interstisium juga memberikan kontribusi
akhir; pengaruh sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin,
angiotensin dan aldosteron (Sudoyo dkk, 2010).

Universitas Sumatera Utara

12

b.

Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial
Kondisi dimana terjadinya peningkatan darah tinggi sebagai akibat

seseorang mengalami penyakit lainnya seperti gagal ginjal atau kerusakan sistem
hormon tubuh. Pada sekitar 5-10% penderita Hipertensi, penyebabnya adalah
penyakit ginjal (Kemenkes RI, 2015).
Penyakit parenkim ginjal/glomerulenofritis dan gagal ginjal menyebabkan
hipertensi dependen renin atau natrium. Perubahan fisiologis dipengaruhi oleh
macamnya penyakit dan beratnya insufisiensi ginjal. Penyakit renovaskuler yaitu

berkurangnya perfusi ginjal karena aterosklerosis atau fibrosis yang membuat
arteri renalis menyempit; menyebabkan tahanan vaskuler perifer meningkat
(Baradero dkk, 2008).
Pada sekitar 1-2%, adalah kelainan hormonal (Hiperaldosteronisme,
Syndroma Cushing, Feokromositoma, Koarktasi aorta) (Kemenkes RI, 2015).
Hiperaldosteronisme menyebabkan retensi natrium dan air, yang membuat
volume darah meningkat, syndroma cushing juga menyebabkan volume darah
meningkat, jika volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah
juga meningkat (Shadine, 2010 dan Goldzmidt, 2011).
Feokromositoma memiliki mekanisme sekresi yang berlebihan dari
katekolamin membuat tahanan vaskuler perifer meningkat yang ditandai dengan
serangan nyeri kepala, palpitasi, takikardia,prespirasi berlebih, tremor, pucat,
tekanan darah labik tidak biasa, berat badan menurun, onset diabetes, hipertensi
maligna, dan respon berkurang terhadap obat antihipertensi (Goldszmidt, 2011
dan Baradero dkk, 2008).

Universitas Sumatera Utara

13


Koarktasi aorta menyebabkan tekanan darah meningkat pada ekstremitas
atas dan berkurangnya perfusi pada ekstremitas bawah (Baradero dkk, 2008). Itu
ditandai dengan denyut arteri pada ektremitas inferior tidak ditemukan, terlambat,
atau menghilang, terutama pada pasien kurang dari 30 tahun (Goldszmidt, 2011).
Pemakaian obat tertentu juga sebagai penyebab terjadinya hipertensi
sekunder (misalnya pil KB, kortikosteroid, siklosporin, kokain, eritropoietin,
penyalahgunaan alkohol) (Kemenkes RI, 2015 dan Shadine, 2010).
2.2.2

Klasifikasi Penggolongan Hipertensi Berdasarkan TDS dan TDD
Klasifikasi Hipertensi dibedakan atas usia individu. Tekanan darah

berfluktuasi dalam batas-batas tertentu, tergantung posisi tubuh, umur, dan tingkat
stres yang dialami. Klasifikasi Hipertensi berdasarkan kelompok usia yaitu pada
bayi dikatakan tekanan darah normal apabila memiliki tekanan darah 80/40
mmHg dan Hipertensi apabila memiliki tekanan darah 90/60 mmHg (Tambayong,
2000).
Pada anak usia 7-11 tahun memiliki tekanan darah normal 100/60 mmHg
dan Hipertensi apabila memiliki tekanan darah 120/80 mmHg. Pada remaja 12-17
tahun memiliki tekanan darah normal 115/70 mmHg dan Hipertensi apabila
memiliki tekanan darah 130/80 mmHg (Tambayong, 2000).
Pada orang dewasa usia 20-45 tahun memiliki tekanan darah normal 120125/75-80 mmHg, diakatakan Hipertensi apabila memiliki tekanan darah 135/90
mmHg. Pada usia 45-65 tahun tekanan darah normalnya yaitu 135-140/85 mmHg
dan Hipertensi dengan tekanan darah 140/90-160/95 mmHg. Pada usia >65 tahun

Universitas Sumatera Utara

14

tekanan darah normalnya yaitu 150/85 mmHg dan Hipertensi apabila memiliki
tekanan darah 160/95 mmHg (Tambayong, 2000).
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committe on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC7)
tahun 2003 yang berpusat di Amerika, klasifikasi tekanan darah pada orang
dewasa umur ≥ 18 tahun terbagi menjadi kelompok normal, praHipertensi,
Hipertensi derajat 1 dan Hipertensi derajat 2 ( Sudoyo dkk, 2010).
a. Normal dengan TDS < 120 mmHG dan TDD 1 : Perdarahan otak
Skor < -1 : Infark otak
Skor -1 s/d 1 : Hasil belum jelas, memerlukan CT Scan Kepala
Sensitivitas : Untuk perdarahan : 89.3%
Untuk infark : 93.2%
Ketepatan diagnostik : 90.3%

2.6

Letak Kelumpuhan
Gangguan muncul akibat daerah otak tertentu tak berfungsi yang

disebabkan oleh terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala yang
muncul bervariasi, bergantung bagian otak yang terganggu (Harsono, 2003).
2.6.1

Kelumpuhan sebelah Kiri (Hemiparesis Sinistra)
Apabila stroke merusak belahan otak sebelah kanan (hemisfer serebri

dextra) maka sisi tubuh yang sebelah kiri yang terkena pengaruhnya. Penderita
dengan kelumpuhan sebelah kiri sering memperlihatkan ketidakmampuan
persepsi visuomotor, yaitu tidak mampu menggambar atau membuat copy gambar
dan tidak mampu mengenakan pakaian (apraxia) (Harsono, 2003).
Apraxia juga adalah seseorang yang tidak akan mampu melaksanakan
instruksi-instruksi, tetapi secara fisik tampaknya tidak mengalami kelumpuhan
atau kelemahan-kelemahan ada sensornya. Sebenarnya memahami instruksiinstruksi yang diberikan dan langsung mengirimkan pesan kepada otot yang
dimaksudkan tetapi otot-otot tersebut tidak bereaksi (Shimberg, 1998).

Universitas Sumatera Utara

23

Penderita juga mengalami gangguan visuospasial, yaitu gangguan
pengenalan tempat dan pengenalan wajah.Penderita

mengalami pelemahan

ingatan dan menunjukkan perilaku yang impulsif, seringkali salah satu sisi
tubuhnya terabaikan, dalam hal ini penderita tidak lagi menyadari keberadaan sisi
sebelah kiri tubuhnya yang disebut juga sebagai hemineglect (Shimberg, 1998).
2.6.2

Kelumpuhan sebelah Kanan (Hemiparesis Dextra)
Apabila serangan stroke menyerang belahan otak sebelah kiri (hemisfer

serebri sinintra) dapat mengakibatkan kelumpuhan atau kelemahan motorik (daya
gerak otot) yang ada pada sisi tubuh sebelah kanan.
Mengalami Aphasia yaitu apabila daerah ini terkena stroke, maka akan
menimbulkan berbagai macam masalah komunikasi. Termasuk dalam kesulitankesulitan ini adalah ketidakmampuanmemahami apa yang sedang dikatakan orang
lain,

ketidakmampuan

menggunakan

kata-kata

secara

tepat,

hilangnya

kemampuan membaca dan menulis, bahkan sekaligus kehilangan kemampuan
berhitung yang disebut aleksia. Namun persepsi dan memori visuomotornya
sangat baik, sehingga dalam melatih perilaku tertentu harus dengan cermat
diperlihatkan tahap demi tahap secara visual. Dalam komunikasi kita harus lebih
banyak menggunakan body language(bahasa tubuh) (Shimberg,1998).
2.6.3

Hemiparesis Duplex
Karena adanya sclerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat terjadi

pada dua sisi belahan otak hemisfer serebri yang mengakibatkan kelumpuhan satu
sisi diikuti sisi lain. Timbul gangguan psedobulber (biasanya hanya pada
vaskuler) dengan tanda-tanda hemiplegi dupleks, sukar menelan, sukar berbicara

Universitas Sumatera Utara

24

dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk digerakkan dan mengalami
hipereduksi (Shimberg,1998).
2.7

Epidemiologi Hipertensi

2.7.1

Distribusi dan Frekuensi Hipertensi

a.

Berdasarkan orang
Hipertensi dapat menyerang siapa saja, baik muda maupun tua. Hipertensi

merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia (Shadine, 2010). Boedi
Darmoyo dalam penelitiannya menemukan bahwa antara 1,8% -28,6% penduduk
dewasa adalah penderita Hipertensi (Depkes RI, 2006). Data laporan AHA,
penduduk Amerika yang berusia diatas 20 tahun menderita Hipertensi telah
mencapai angka hingga 74,5 juta jiwa, namun hampir sekitar 90-95% kasus tidak
diketahui penyebabnya (Kemenkes RI, 2013).
AHA juga melaporkan 69% dari penderita serangan jantung, 77% dari
penderita stroke, dan 74% dari penderita gagal jantung mengidap Hipertensi
(Shadine, 2010).
Pada usia dini tidak terdapat bukti nyata tentang adanya perbedaan tekanan
darah antara pria dan wanita. Akan tetapi, mulai pada masa remaja, pria mulai
menunjukkan aras rata-rata yang lebih tinggi. Perbedaan ini lebih jelas pada orang
dewasa muda dan orang setengah baya (Laporan Komisi Pakar WHO, 2001).
Namun, setelah memasuki menopause, prevalensi Hipertensi pada wanita
meningkat. Bahkan setelah usia 65 tahun, terjadinya Hipertensi pada wanita lebih
tinggi dibandingkan dengan pria yang diakibatkan oleh faktor hormonal (Depkes
RI, 2006).

Universitas Sumatera Utara

25

Penelitian di Indonesia prevalensi yang lebih tinggi terdapat pada wanita.
Prevalensi Hipertensi berdasarkan jenis kelamin Riskesdas tahun 2007 maupun
Riskesdas tahun 2013, prevalensi Hipertensi perempuan lebih tinggi dibandingkan
laki-laki yakni pada tahun 2007 prevalensi Hipertensi pada laki-laki sebesar
31,3% sedangkan pada perempuan sebesar 31,9%, pada tahun 2013 prevalensi
Hipertensi pada laki-laki sebesar 22,8% sedangkan pada perempuan sebesar
28,8% (Kemenkes RI, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian Kamso (2000), prevalensi Hipertensi di
kalangan usia lanjut cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar di
atas 65 tahun. Pada usia lanjut, Hipertensi terutama ditemukan hanya berupa
kenaikan tekanan darah sistolik. Sedangkan menurut WHO memakai tekanan
diastolik sebagai bagian tekanan yang lebih tepat dipakai dalam menentukan ada
tidaknya Hipertensi. Penelitian yang dilakukan di 6 kota besar seperti Jakarta,
Padang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, dan Makasar terhadap usia lanjut (5585 tahun), didapatkan prevalensi Hipertensi sebesar 52,5% (Depkes RI, 2006).
Menurut National Basic Health Survey 2013 prevalensi Hipertensi di
Indonesia pada kelompok usia 15-24 tahun adalah 8,7 %, pada kelompok usia 2534 tahun adalah 14,7 %, 35-44 tahun 24,8 %, 45-54 tahun 35,6 %, 55-64 tahun
45,9 %, 65-74 tahun 57,6 %, dan lebih dari 75 tahun adalah 63,8 %. Dengan
prevalensi yang tinggi tersebut, Hipertensi yang tidak disadari mungkin
jumlahnya bisa lebih tinggi lagi. Hal ini karena Hipertensi dan komplikasi
jumlahnya jauh lebih sedikit daripada Hipertensi tidak bergejala (InaSH, 2014).

Universitas Sumatera Utara

26

b.

Berdasarkan tempat
Indonesia peluang masyarakat menderita Hipertensi belum sebesar di

negara maju. Namun, ancaman penyakit ini tidak boleh diabaikan begitu saja.
Terlebih bagi masyarakat perkotaan yang lebih mudah mengakses gaya hidup
modern yang tidak sehat, seperti banyak mengonsumsi makanan cepat saji,
alkohol, dan merokok (Dalimartha, 2008).
Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dengan
menggunakan unit analisis individu menunjukkan bahwa secara nasional 25,8%
penduduk Indonesia menderita penyakit Hipertensi. Terdapat 13 provinsi yang
persentasenya melebihi angka nasional (25,8%) dengan tertinggi Prevalensi
Hipertensi di Indonesia yang didapat melalui pengukuran pada umur ≥18 tahun
yaitu Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan (30,8%), Kalimantan
Timur (29,6%),

Jawa Barat (29,4%), Gorontalo (29,0%), Sulawesi Tengah

(27,1%), Kalimantan Barat (28,3%), Sulawesi Selatan (28,1%), Sulawesi Utara
(27,1%), Kalimantan Tengah (26,7%), Jawa Tengah (26,4%), Jawa Timur
(26,2%), dan Sumatera Selatan (26,1%) (Kemenkes RI, 2013).
c.

Berdasarkan waktu
Masalah hipertensi di Indonesia cenderung meningkat. Hasil Survey

Kesehatan Rumsh Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3%
penduduk menderita hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004.
Hasil SKRT 1995, 2001, dan 2004 menunjukkan penyakit kardiovaskuler
merupakan penyakit nomor satu penyebab kematian di Indonesia dan sekitar 20-

Universitas Sumatera Utara

27

35% dari kematian tersebut disebabkan oleh hipertensi (Rahajeng dan Tuminah,
2009).
2.7.2

Faktor Risiko Stroke pada Hipertensi
Faktor risiko bagi stroke adalah kelainan atau penyakit yang membuat

seseorang lebih rentan terhadap serangan stroke. Faktor risiko yang kuat berarti
faktor risiko yang besar pengaruhnya terhadap kemungkinan mendapatkan stroke,
yaitu hipertensi. Bila faktor risiko hipertensi penyebab kerusakan organ target
seperti otak yaitu penyakit stroke maka kemungkinan untuk mendapat stroke
dapat dikurangi atau ditangguhkan (Lumbantobing, 2013).
a

Obat antihipertensi
Tatalaksana hipertensi dengan obat anti hipertensi yang dianjurkan

(Depkes, 2006) :
a.1

Diuretik: hidroclorotiazid dengan dosis 12,5 -50 mg/hari

`a.2

Penghambat reseptor angiotensin II : Captopril 25-100 mmHg

a.3

Penghambat kalsium yang bekerja panjang : nifedipin 30 -60 mg/hari

a.4

Penghambat reseptor beta: propanolol 40 -160 mg/hari

a.5

Reseptor alpha central (penghambat simpatis}: reserpin 0,05 -0,25 mg/hari
Berdasarkan laporan penelitian Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan

Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan alat Kesehatan menyatakan bahwa jika
pasien yang menghentikan terapi antihipertensinya lima kali lebih besar
kemungkinan terkena stroke (Depkes RI, 2006).
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke terpenting yang dapat
dimodifikasi. Hipertensi berat meningkatkan risiko stroke hingga 7 kali lipat, dan

Universitas Sumatera Utara

28

hipertensi ringan meningkatkan risiko 1,5 kali lipat. Pengurangan rata-rata 9/5
mmHg dapat mengurangi risiko stroke hingga 34-35% dalam 2-3 tahun terapi, dan
manfaat meningkat bagi pasien > 80 tahun (Goldszmidt, 2011).
Penderita Hipertensi sekitar 40% hingga 90% ternyata menderita
Hipertensi sebelum terkena stroke. Sejumlah penelitian menunjukkan obat-obatan
anti Hipertensi dapat mengurangi angka kematian karena stroke sebesar 40%
(Shadine, 2010).
b.

Obesitas
Obesitas merupakan faktor predisposisi penyakit kardiovaskuler dan

stroke. Hal ini disebabkan keadaan obesitas berhubungan dengan tingginya
tekanan darah dan kadar gula darah. Jika seseorang memiliki berat badan berlebih
maka jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah ke seluruh tubuh,
sehingga dapat meningkatkan tekanan darah darah. Orang obesitas kan
meningkatkan risiko stroke karena obesitas merupaka faktor risiko untuk
terjadinya hipertensi, penyakit jantung, arteriosklerosis, dan diabetes mellitus.
Serta hipertensi sebagai faktor risiko mayor stroke (Wahjoepramono, 2005).
Berdasarkan penelitian Framingham didapatkan bahwa pria gemuk yang
berat badannya diturunkan sebanyak 15%, tekanan sistoliknya berkurang
sebanyak 10% (Lumbantobing, 2013).
Menurut Depkes RI 2002, Indeks massa tubuh adalah perbandingan berat
badan dalam kilogram terhadap tinggi badan dalam meter persegi, dengan rumus
(Asmadi, 2008) :


� �



ℎ (���)

�� ���




(��
× �� ��� �

( )

Universitas Sumatera Utara

29

Tabel 2.3 Kategori Indeks Massa Tubuh di Indonesia
Keadaan
Kategori
Kurus
Kekurangan berat
badan tingkat berat
Kekurangan berat
badan tingkat sedang
Normal
Gemuk
Kelebihan berat badan
tingkat ringan
Kelebihan berat badan
tingkat berat

IMT
< 17
17,0 – 18,5
18,5 – 25, 0
>25,0 – 27,0
>27,0

Sumber : Depkes 2002
c.

Stres
Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya transaksi antara

individu

dengan

lingkungannya

yang

mendorong

seseorang

untuk

mempersepsikan adanya perbedaan antara tuntutan situasi dan sumber daya
(biologis, psikologis, dan sosial) yang ada pada diri seseorang (Depkes RI, 2006).
Stres bisa memicu sistem saraf simpatik sehingga meningkatkan aktifitas
jantung dan tekanan pembuluh darah. Peningkatan aktifitas saraf simpatis dapat
meningkatkan tekanan darah secara intermitten (tidak menentu). Apabila stress
berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi (Shadine,
2010). Sehingga orang yang mudah stres berisiko terkena hipertensi, dan jika
berkombinasi dengan faktor risiko lain seperti ateriosklerosis berat, penyakit
jantung akan memicu dan membuiat risiko penderita stroke semakin berat. Stres
meningkatkan risiko terkena stroke hampir dua kali lipat (Notoatmodjo, 2011).
Dalam penelitian Framingham dalam Yusida tahun 2001 bahwa bagi
wanita berusia 45-64 tahun, sejumlah faktor psikososial seperti keadaan tegangan,
ketidakcocokan perkawinan, tekanan ekonomi, stress harian, mobilitas pekerjaan,

Universitas Sumatera Utara

30

dan kemarahan terpendam didapatkan bahwa hal tersebut berhubungan dengan
peningkatan tekanan darah dan manifestasi klinik penyakit kardiovaskuler apapun
(Depkes RI, 2006).
d.

Kebiasaan Merokok
Zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap

melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri,dan mengakibatkan proses artereosklerosis, dan tekanan
darah tinggi (Depkes RI, 2006). Nikotin dalam rokok menyebabkan vasokontriksi
pembuluh darah yang dapat mengakibatkan naiknya tekanan darah. Arteri juga
mengalami penyempitan dan dinding pembuluh darah menjadi mudah membeku.
Selain itu, merokok dapat menurukan kadar HDL dalam darah. Semua efek pada
nikotin dari rokok dapat mempercepat proses aterosklerosis dan penyumbatan
pembuluh darah, yang kemudian aterosklerosis adalah fakor risiko utama stroke.
Orang yang memiliki kebiasaan merokok cenderung lebih berisiko dua sampai
empat kali lebih besar untuk terkena penyakit jantung dan stroke dibandingkan
orang yang tidak merokok (Stroke Association, 2014).
e.

Konsumsi Alkohol Berlebihan
Konsumsi alkohol berlebihan pada laki-Iaki yaitu tidak lebih dari 2 gelas

per hari dan pada wanita yaitu tidak lebih dari 1 gelas per hari (Depkes RI, 2006).
Peningkatan konsumsi alkohol menaikkan tekanan darah sehingga memperbesar
risiko stroke, baik stroke iskemik maupun hemoragik (Shadine, 2010). Konsumsi
alkohol secara berlebihan juga dapat memengaruhi jumlah platelet sehingga

Universitas Sumatera Utara

31

memengaruhi kekentalan dan penggumpalan darah yang menjurus ke pendarahan
otak serta memperbesar risiko stroke iskemik (Harsono, 2003).
Edisi 18 November 2000 dari The New England Jurnal of Medicine,
dilaporkan bahwa Physicians Health Study memantau 22.000 pria yang selama
rata-rata 12 tahun mengkonsumsi alkohol satu kali sehari ternyata hasilnya
menunjukkan adanya penurunan risiko stroke secara menyeluruh. Klaus Berger
M.D dari Bringham and Woman’s Hospital di Boston beserta rekan-rekan juga
menentukan bahwa manfaat ini masih terlihat pada konsumsi seminggu satu
minuman. Walaupun demikian disiplin menggunakan manfaat alkohol dalam
konsumsi cukup sulit dikendalikan dan efek samping alkohol justru jauh lebih
berbahaya (Shadine, 2010).
f.

Hiperlipidemia/Hiperkolesterolemia
Kelainan metabolisme lipid (Iemak) yang ditandai dengan peningkatan

kadar kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL dan/atau penurunan kadar
kolesterol HDL dalam darah. Kolesterol merupakan faktor penting dalam
terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan peninggian tahanan perifer
pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat.

Penyakit jantung,

ateroskleosis, dan tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko terjadinya
serangan stroke. Oleh karena itu pemeriksaaan kadar kolesterol sangat penting
dilakukan, karena tingginya kadar kolesterol dalam darah merupakan faktor risiko
untuk terjadinya stroke (Depkes RI, 2006; Shadine, 2010).
Berdasarkan data Laboratorium Klinik Prodia 2002-2005 menyatakan
Batasan Kadar Lipid/Lemak dalam Darah (Depkes RI, 2006) :

Universitas Sumatera Utara

32

Tabel 2.4 Batasan Kadar Lipid/Lemak dalam Darah
Komponen Lipid
Kolesterol Total
Kolesterol LDL

Kolesterol HDL
Trigliserida

Batasan (mg/dl)
< 200
200 – 239
>240
< 100
100 – 129
130 – 159
160 – 189
> 190
< 40
> 60
< 150
150 – 199
200 – 499
> 500

Klasifikasi
Yang diinginkan
Batas tinggi
Tinggi
Optimal
Mendekati optimal
Batas tingi
Tinggi
Sangat tinggi
Rendah
Tinggi
Normal
Batas tinggi
Tinggi
Sangat tinggi

Sumber : Depkes RI, 2006
g.

Konsumsi Asupan Garam
Batasan mengonsumsi garam perhari yaitu 2 gr perhari. Bila mengonsumsi

garam diturunkan sampai 2gr sehari, tekanan darah diastolik dapat diturunkan
sampai 5 mmHg (Lumbantonbing, 2013).
Berdasarkan penelitian Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular
Kementerian Kesehatan Ekowati Rahajeng, hipertensi bisa dicegah dengan
mengurangi konsumsi makanan asin bisa meningkatkan risiko hipertensi 4,35 kali
dibandingkan orang yang tak mengonsumsi makanan asin. Pengurangan konsumsi
garam 2,9 gram perhari bisa menekan 50% orang yang perlu obat anti hipertensi,
22% kematianakibat stroke, dan menurunkan 16% kematian akibat penyakit
jantung koroner (National Geographic Indonesia).
h.

Penggunaan kontrasepsi oral
Hal ini berkaitan dengan terjadinya fluktuasi dan perubahan hormonal

yang memengaruhi seorang wanita dalam berbagai tahapan dalam kehidupannya.

Universitas Sumatera Utara

33

Peneliti memerlihatkan bahwa kontrasepsi oral jenis lama dengan kandungan
estrogen yang tinggi dapat memperbesar risiko stroke pada wanita. tetapi,
kotrasepsi oral jenis baru dengan kandungan estrogen lebih rendah secara nyata
tidak meningkatkan risiko stroke pada wanita (Shadine, 2010).
2.8

Upaya Pencegahan Hipertensi

2.8.1

Pencegahan Primordial
Pencegahan primodial dilakukan dalam mencegah munculnya faktor risiko

terhadap penyakit Hipertensi yang merupakan pencegahan tahap awal, agar
masyarakat yang sehat tidak sampai terkena penyakit Hipertensi. Dalam
pencegahan primodial itu sendiri dengan cara melakukan pendekatan populasi
maupun perorangan antara lain dengan menerapkan pola hidup sehat yaitu
pengaturan pola makan yang baik dan aktifitas yang cukup. Hindari kebiasaan
seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol (Shadine, 2010).
Pendidikan masyarakat adalah masyarakat harus diberi informasi
mengenai sifat, penyebab, dan komplikasi Hipertensi, cara pencegahan, gaya
hidup sehat, dan pengaruh faktor risiko kardiovaskular lainnya. Sasaran
pencegahan tingkat dasar ini terutama kelompok masyarakat usia muda dan
remaja, dengan tidak mengabaikan orang dewasa (Laporan Komisi Pakar WHO,
2001).
Promosi kesehatan juga diharapkan dapat memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatan diri serta kondisi lingkungan sosial, diintervensi dengan
kebijakan publik, serta dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran

Universitas Sumatera Utara

34

masyarakat mengenai prilaku hidup sehat dalam pengendalian Hipertensi (Depkes
RI, 2006).
2.8.2

Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan dengan pencegahan terhadap faktor risiko

yang tampak pada individu atau masyarakat. Sasaran pada orang sehat yang
berisiko tinggi dengan usaha peningkatan derajat kesehatan yakni meningkatkan
peranan kesehatan perorangan dan masyarakat secara optimal dan menghindari
faktor risiko timbulnya Hipertensi. Pencegahan dengan upaya promotif , hindari
risiko Hipertensi dengan reduksi stres, diet rendah garam, tidak merokok, faktor
lingkungan dengan kesadaran akan stres kerja, faktor biologi dengan memberikan
perhatian terhadap faktor biologis yaitu jenis kelamin dan riwayat Hipertensi
keluarga (Bustan, 2007).
Mengatasi obesitas/menurunkan kelebihan berat badan. Akan tetapi
prevalensi Hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk
menderita Hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan seorang yang badannya normal. Sedangkan, pada penderita Hipertensi
ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight). Dengan
demikian obesitas harus dikendalikan dengan menurunkan berat badan.
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit
sebanyak 34 kali dalam seminggu, diharapkan dapat menambah kebugaran dan
memperbaiki metabolisme tubuh yang ujungnya dapat mengontrol tekanan darah.
Hindari konsumsi alkohol berlebihan yaknipada laki-Iaki tidak lebih dari 2 gelas
per hari dan wanita tidak lebih dari 1 gelas per hari (Depkes RI, 2006).

Universitas Sumatera Utara

35

Diet rendah garam berarti batasi pemakaian garam dan makanan yang
diasinkan seperti cumi asin, ikan asin, telur asin, dan kecap asin (Dalimartha,
2008). Diet rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat
antiHipertensi pada pasien Hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan garam
tidak melebihi 2 gr/ hari (PERKI, 2015).
Pelayanan kesehatan dengan memberikan pendidikan kesehatan mengenai
faktor risiko dan bahaya Hipertensi serta melakukan pemeriksaan tekanan darah
(Bustan, 2007).
2.8.3

Pencegahan Sekunder
Pola hidup dengan managemen stres atau hindari lingkungan stres,

berhenti merokok, dan mengonsumsi vitamin. Melakukan diagnosis dini yaitu
screening, pemeriksaan periodik tekanan darah dimana perjalanan Hipertensinya
yaitu Hipertensi ringan, sedang dan berat (Bustan, 2007).
Pos Pembinaan Terpadu Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PosbinduPTM) adalah wadah pengendalian penyakit tidak menular di Indonesia yang
merupakan upaya monitoring dan deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular
di masyarakat. Sejak mulai dikembangkan pada tahun 2011 Posbindu-PTM pada
tahun 2013 telah berkembang menjadi 7.225 Posbindu di seluruh Indonesia.
Usaha peningkatan pengendalian penyakit tidak menular diharapkan status awal
prevalensi Hipertensi pada tahun 2013 sebesar 25,8% mengalami penurunan
dengan target 23,4% pada tahun 2019 (Kemenkes RI, 2015).
Seperti lazimnya pada penyakit lain, diagnosis Hipertensi ditegakkan
berdasarkan

data

anamnese

(konsultasi

dokter),

pemeriksaan

jasmani,

Universitas Sumatera Utara

36

pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan penunjang. Pada 70-80 % kasus
Hipertensi esensial, didapat riwayat Hipertensi didalam keluarga, walaupun hal ini
belum dapat memastikan diagnosis Hipertensi esensial. Apabila riwayat
Hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan Hipertensi esensial
lebih besar (Dalimartha dkk, 2008).
` Pada saat dilakukan anamnesis oleh dokter, pasien perlu memberitahukan
hal-hal seperti dibawah ini (Joewono dan Prabowo, 2003) :
a.

Riwayat keluarga Hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, penyakit
jantung koroner, stroke atau penyakit ginjal.

b.

Lama dan tingkat tekanan darah tinggi sebelumnya dan hasil serta efek
samping obat anti Hipertensi sebelumnya.

c.

Riwayat atau gejala penyakit jantung koroner dan gagal jantung,
penyakit serebrovaskuler, asma bronkiale, penyakit ginjal.

d.

Gejala yang mencurigakan adanya Hipertensi sekunder.

e.

Penilaian faktor risiko termasuk diet, natrium dan alkohol, jumlah
rokok, tingkat aktifitas fisik, dan peningkatan berat badan sejak awal
dewasa.

f.

Riwayat obat-obatan yang dapat meningkatkan tekanan darah termasuk
kontrasepsi oral, obat anti keradangan non-steroid, kokain, dan
amfetamin. Perhatian juga untuk pemakaian eritropoetin, siklosporin
atau steroid untuk penyakit yang bersamaan.

g.

Faktor pribadi, psikososial dan lingkungan yang dapat mempengaruhi
hasil pengobatan antiHipertensi termasuk situasi keluarga, lingkungan
kerja dan latar belakang pendidikan.

Pengobatan farmakologis dan tindakan yang diperlukan. Kematian
mendadak yang menjadi kasus utama diharapkan berkurang dengan dilakukannya
pengembangan manajemen kasus dan penanganan kegawatdaruratan disemua

Universitas Sumatera Utara

37

tingkat pelayanan dengan melibatkan organisasi profesi, pengelola program dan
pelaksanaan pelayanan yang dibutuhkan dalam pengendalian Hipertensi (Depkes
RI, 2006).
2.8.4

Pencegahan Tersier
Melakukan rehabilitasi yaitu upaya mencegah terjadinya komplikasi yang

lebih berat atau kematian. Upaya yang dilakukan pada pencegahan tersier ini
yaitu, (Triyanto, 2014):
a. Menurunkan tekanan darah sampai batas yang aman dan mengobati penyakit
yang dapat memperberat hipertensi.
b. Mem-follow up penderita hipertensi yang mendapat terapi dan rehabilitasi.
Follow up ditujukan untuk menentukan kemungkikan dilakukannya pengurangan
atau penambahan dosis obat.
c. Melakukan rehabilitasi yang tidak hanya difokuskan pada fisik, tetapi juga
kebutuhan spritual dan psikologi untuk mengembalikan keutuhan individu.
d. Rehabilitasi dan usaha meningkatkan kesejahteraan termasuk didalamnya
adalah pengobatan, pemberian nutrisi, latihan, penyembuhan psikologi dan
spiritual, dan kelompok dukungan sosial.
Kontrol teratur dan fisioterapi komplikasi serangan Hipertensi yang fatal
dapat diturunkan dengan mengembangkan manajemen rehabilitasi kasus kronis
dengan melibatkan unsur organisasi profesi, pengelola program dan pelaksana
pelayanan di berbagai tingkatan (Depkes RI, 2006).

Universitas Sumatera Utara

38

2.9

Kerangka Konsep
Karakteristik Penderita Hipertensi dengan Stroke
1. Sosiodemografi
Umur
Jenis Kelamin
Agama
Pekerjaan
Status Perkawinan
2. Derajat Hipertensi
3. Tipe Stroke
4. Letak Kelumpuhan
5. Lama Rawatan
6. Keadaan Sewaktu Pulang

Universitas Sumatera Utara