Tingkat Pengetahuan Ibu Yang Berkunjung Ke Poliklinik Anak Rsup Haji Adam Malik Tentang Obesitas Pada Anak

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obesitas
2.1.1. Definisi Obesitas
Menurut World Health Organisation (2014), overweight dan obesitas
adalah didefiniskan sebagai ketidaknormalan atau pengumpulan lemak berlebihan
yang boleh menjejaskan kesehatan. Indeks massa tubuh (IMT) adalah satu indeks
mudah yang biasanya digunakan untuk mengklasifikasikan overweight dan
obesitas. IMT adalah berat seseorang dalam kilogram dibahagikan dengan kuasa
dua ketinggian dalam meter (kg/m 2). Obesitas adalah indeks massa tubuh (IMT)
>30 kg/m2 sedangkan overweight, jika IMT 25 kg/m2.

2.1.2. Epidemiologi Obesitas
Prevalensi obesitas terus meningkat di seluruh dunia dan telah menjadi
epidemik global. Dalam 10 tahun prevalensi obesitas pada anak meningkat sangat
cepat yaitu dari 2.2% menjadi 10.0 % di China. Diperkirakan 15.0 % anak usia 6
hingga 11 tahun mengalami overweight di Amerika Serikat. Prevalensi obesitas
pada anak di Australia meningkat lebih dari 2 kali lipat yaitu dari 9.3% menjadi

21.5% dari tahun 1985 sampai tahun 1995. Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan
Dasar tahun 2007, prevalensi gizi lebih di Indonesia secara nasional adalah 9.5%
pada anak laki-laki dan 6.4% pada anak perempuan (G.A Dhyanaputri, 2011).
Pada tahun 2005 kira-kira 1.6 miliar usia 15 tahun dan diatasnya adalah
overweight dan 400 juta di antaranya dewasa obes. Revisi definisi obes yang
disesuaikan dengan perbedaan ras, menghasilkan prevalensi yang lebih tinggi 1.7
miliar diklasifikasikan dengan kelebihan berat badan. Diperkirakan bahwa pada
tahun 2015, kira-kira 2 hinga 3 miliar dewasa akan overweight dan lebih dari 700
orang menderita obesitas. Di dunia jumlah individu obes mencapai 2.1 miliar
yang menimbulkan masalah-masalah kesehatan terkait obesitas dan berhubungan
dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Di Indonesia, kenaikan

Universitas Sumatera Utara

5

prevalensi obesitas cukup tajam, dengan ditemukan overweight 17.5% dan
obesitas 4.7% dengan presentase wanita tetap lebih besar daripada pria
(Mukhtar,D., 2012).


2.1.3. Penyebab Obesitas pada Anak
Penyebab obesitas pada anak adalah:
1. Faktor genetik
Obesitas merupakan penyakit multifaktorial yaitu faktor genetik yang ikut
menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh, jika kedua orang tua obesitas,
80.0 % anaknya menjadi obesitas, bila salah satu orang tua obesitas, kejadian
obesitas menjadi 40.0% dan bila kedua orang tua tidak obesitas prevalensi
menjadi 14.0%. Obesitas dapat diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya
dalam sebuah keluarga (Festy,P., 2012).
Suku tertentu terkadang mempunyai budaya tertentu dalam konsumsi
makanan, pandangan masyarakat yang menganggap obesitas merupakan suatu
simbol kemakmuran akan memicu anggota masyarakat untuk menjadi obesitas
(Festy,P., 2012).

2. Faktor keluarga
Orang tua sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kesehatan anak
mengambil inisiatif memberikan semua jenis makanan yang dianggap dapat
memenuhi gizi anak terutama orang tua yang berpendapatan tinggi memiliki
peluang yang lebih besar untuk memilih jenis makanan, adanya peluang tersebut
mengakibatkan pemilihan jenis dan jumlah makanan tidak lagi berdasarkan

kebutuhan dan pertimbangan kesehatan tapi lebih mengarah pada pertimbangan
praktis (fast food) yang jika tidak diimbangi dengan aktifitas fisik seimbang akan
mempengaruhi jumlah pembakaran kalori tubuh. Kalori tubuh berlebih disimpan
dalam bentuk lemak yang suatu waktu diperlukan, jika kelebihan kalori yang
terjadi secara terus menerus menyebabkan produksi lemak mengalami
penumpukan dan anak mengalami obesitas (Festy,P., 2012).

Universitas Sumatera Utara

6

Kesibukan orang tua bekerja dan seringkali tidak sempat menyiapkan
makan yang bergizi seimbang mengakibatkan makanan junk food dari restoran
cepat saji menjadi alternatif (Festy,P., 2012).

3. Pola makan
Pola makan berlebih yang berasal dari jenis makanan olahan serba instan,
minuman soft drink, makanan jajanan seperti makanan cepat saji (burger, pizza,
hot dog) dan makanan siap saji lainnya yang tersedia di gerai makanan (Sartika,
A.D, 2011).

Obesitas dapat terjadi pada anak yang ketika masih bayi tidak dibiasakan
mengkonsumsi air susu ibu (ASI), tetapi mengunakan susu formula dengan
jumlah asupan yang melebihi porsi yang dibutuhkan anak dan mengakibatkan
kelebihan berat badan saat berusia 4 hinga 5 tahun (Sartika, A.D, 2011).
Kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan yang kurang sehat dengan
kandungan kalori tinggi tanpa disertai konsumsi sayur dan buah yang cukup
sebagai sumber serat. Anak yang berusia 5 hingga 7 tahun merupakan kelompok
yang rentan terhadap gizi lebih dan perlu mendapat perhatian dari sudut
perubahan pola makan harian karena makanan yang biasa dikonsumsi sejak masa
anak akan membentuk pola kebiasaan makan selanjutnya (Sartika, A.D, 2011).
Orang tua khususnya di perkotaan banyak yang menghabiskan waktunya
bekerja dan mempercayakan pengasuhan anak pada nenek atau baby sitter yang
mana pengasuhannya kurang memperhatikan pola makan, cenderung memberi
makanan berlebih dengan menonton televisi atau memberikan permainan dengan
aktifitas pasif demi menghindari anak untuk menangis, konsumsi makanan dan
aktifitas yang tidak seimbang menyebabkan pembakaran kalori tubuh tidak
optimal dan berisiko mengalami obesitas (Festy,P., 2012).

4. Kurangnya aktivitas fisik
Kurangnya aktivitas fisik juga menyebabkan terjadinya obesitas pada

anak. Keterbatasan lapangan untuk bermain dan kurangnya fasilitas untuk
beraktivitas fisik menyebabkan anak memilih untuk bermain di dalam rumah.

Universitas Sumatera Utara

7

Kemajuan teknologi berupa alat elektronik seperti video games, playstation,
televisi dan komputer menyebabkan anak malas untuk melakukan aktivitas fisik (
Depkes RI, 2012).
Aktivitas fisik baik kegiatan harian maupun latihan fisik terstruktur yang
dilakukan sejak masa anak sampai lansia akan mempengaruhi kesehatan seumur
hidup ( Sartika, A.D, 2011).

2.1.4. Klasifikasi Status Gizi
Menurut Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (2011), penentuan
status gizi dilakukan berdasarkan berat badan (BB) menurut panjang badan (PB)
atau tinggi badan (TB) (BB/PB atau BB/TB). Grafik pertumbuhan yang
digunakan sebagai acuan ialah grafik WHO 2006 untuk anak kurang dari 5 tahun
dan grafik CDC 2000 untuk anak lebih dari 5 tahun.

Grafik WHO 2006 digunakan untuk usia 0 hingga 5 tahun karena
mempunyai keunggulan metodologi dibandingkan CDC 2000. Subyek penelitian
pada WHO 2006 berasal dari 5 benua dan mempunyai lingkungan yang
mendukung untuk pertumbuhan optimal. Untuk usia di atas 5 tahun hingga 18
tahun digunakan grafik CDC 2000 dengan pertimbangan grafik WHO 2007 tidak
memiliki grafik BB/TB dan data dari WHO 2007 merupakan smoothing NCHS
1981 (UKK, 2011).
Tabel 2.1. Grafik Penilaian Gizi Lebih Berdasarkan Kelompok Usia
Menurut WHO 2006 Dan CDC 2000.
__________________________________________________________________
Usia
Grafik yang digunakan
__________________________________________________________________
0 – 5 tahun
WH0 2006
Untuk status gizi lebih dan obesitas lihat ketentuan di bawah.
>5-18 tahun
CDC 2000
__________________________________________________________________
Penentuan status gizi menggunakan cut off Z score WHO 2006 untuk usia

0 hingga 5 tahun dan persentase berat badan ideal sesuai kriteria Waterlow untuk
anak di atas 5 tahun (UKK, 2011).

Universitas Sumatera Utara

8

Tabel 2.2. Penentuan Status Gizi Menurut Kriteria Waterlow, WHO 2006,
Dan CDC 2000
__________________________________________________________________
Status gizi
BB/TB (% median)
BB/TB WHO 2006
IMT CDC 2000
__________________________________________________________________
Obesitas
>120
> +3
> P95
Overweight


>110

> +2 hingga +3 SD

Normal

> 90

+2 SD hingga -2 SD

70-90

< -2 SD hingga -3 SD

Gizi kurang

P85 – p95

Gizi buruk

< 70
< - 3 SD
__________________________________________________________________
Status gizi lebih (overweight)/ obesitas ditentukan berdasarkan indeks
massa tubuh (IMT). Bila pada hasil pengukuran, terdapat potensi gizi lebih ( > +1
SD ) atau BB/TB >110%, maka grafik IMT sesuai usia dan jenis kelamin
digunakan untuk menentukan adanya obesitas. Untuk anak < 2 tahun,
menggunakan grafik IMT WHO 2006 dengan kriteria overweight Z score > + 2,
obesitas > +3, sedangkan untuk anak usia 2-18 tahun menggunakan grafik IMT
CDC 2000. Ambang batas yang digunakan untuk overweight ialah diatas P85
hingga P95 sedangkan untuk obesitas ialah lebih dari P95 grafik CDC 2000 (UKK,
2011).

Tabel 2.3. Dasar Pemilihan Penggunaan Grafik IMT Sesuai Usia Menurut
WHO 2006 Dan CDC 2000
__________________________________________________________________
Usia
Grafik IMT yang dipakai
Alasan
__________________________________________________________________

0 – 2 tahun
WH0 2006
Grafik IMT (CDC 2000) tidak tersedia
untuk klasifikasi usia dibawah 2 tahun
> 2 – 18 tahun CDC 2000

Dengan menggunakan grafik IMT CDC
2000 persentil 95, deteksi dini obesitas

dapat ditegakkan
__________________________________________________________________

Universitas Sumatera Utara

9

Dalam keadaan tertentu dimana berat badan dan panjang/ tinggi badan
tidak dapat dinilai secara akurat, misalnya terdapat organomegali, edema
anasarka, spondilitis atau kelainan tulang, dan sindrom tertentu maka status gizi
ditentukan dengan menggunakan parameter lain misalnya lingkar lengan atas,

knee height, arm span dan lain-lain (UKK, 2011).

2.1.5. Gejala Klinis Obesitas
Gejala klinis yang dapat ditemukan ialah bentuk muka yang tidak
proporsional, hidung dan mulut relatif kecil, dagu ganda, timbunan lemak pada
payudara, perut yang menggantung (sering disertai strie), timbunan lemak pada
pangkal paha, paha serta lengan atas yang besar, dan pubertas yang lebih cepat
dari usia anak tersebut (Raharjo,M., 2012).
Ibu mengenali obesitas pada anak dengan cara melihat keadaan fisik anak
yaitu perut terlihat buncit, pipinya tembem dan dagu berlipat. Sebagian ibu
mengatakan anak kegemukan karena ukuran tubuh anak jauh lebih besar dari
teman-teman sekelas. Ibu yang bekerja mengatakan bahwa anak terlihat gemuk
bila ibu membeli baju untuk anak tidak sesuai dengan ukuran umurnya (G.A
Dhyanaputri, 2011).

2.1.6. Patofisiologi Obesitas
Menurut Pusparini (2007), adiposa ternyata berperan pada pengaturan
proses homeostasis energi, yaitu suatu proses yang membutuhkan keseimbangan
antara asupan energi dan pengeluaran energi serta jumlah cadangan energi dalam
tubuh (massa lemak). Telah dilaporkan adanya dua hormon peptida yang
diproduksi di saluran pencernaan yang diketahui mempengaruhi perilaku makan
jangka pendek, sedangkan leptin dan insulin mengatur berat badan dalam jangka
waktu hitungan bulan atau tahun.
Terdapat area di otak pada hypothalamus yaitu arcuate nucleus yang
berperan menggabungkan aktivitas hormon-hormon, memberikan sinyal kepada
tubuh untuk mengatur kesimbangan asupan makanan dan penggunaan energi.
Arcuate nucleus memiliki dua neuron utama dengan aksi yang berlawanan.

Universitas Sumatera Utara

10

Neuron tipe pertama memproduksi neurotransmitter peptida yaitu neuropeptide Y
(NPY) dan agouti related peptide (AgRP), aktivasi neuron ini akan menstimulasi
selera makan sambil mereduksi metabolisme.
Terdapat neuron lainnya yaitu neuron proopiomelanocortin (POMC) /
cocaine and amphetamine regulated transcript (CART) yang akan melepaskan α
melanocyte stimulating hormone (α MSH) yang dapat menghambat keinginan
untuk makan. Ketika cadangan lemak dan konsentrasi leptin menurun, neuron
NPY dan AgRP diaktivasi dan neuron POMC diinhibisi sehingga terjadi kenaikan
berat badan.
Hormon lain yang juga berperan dalam pengaturan berat badan adalah
hormon insulin. Reseptor insulin terdapat di seluruh bagian otak. Aksi hormon ini
untuk menekan selera makan terjadi secara langsung pada arcuate nucleus.
Pemberian insulin ke dalam otak dekat arcuate nucleus dapat menghambat
produksi NPY, yang bekerja menstimulasi selera makan (Pusparini, 2007).

2.1.7. Penegakan Diagnosa Obesitas pada Anak
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012), cara
menegakkan diagnosis adalah :
1) Pengukuran antropometri
2) Penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan
3) Penentuan status gizi
a) Menghitung nilai IMT dan membandingkan nilai IMT dengan Grafik
IMT/U berdasarkan Standar WHO 2005.
b) Menentukan status gizi anak :
• Kurus : < - 2 SD
• Normal : - 2 SD s/d 1 SD
• Gemuk : >1 s/d 2 SD
• Obesitas : > 2 SD
Berdasarkan pemeriksaan status gizi anak:
a) Jika ditemukan anak sekolah dengan status gizi kurus, maka anak dirujuk
ke Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara

11

b) Jika ditemukan anak sekolah dengan status gizi normal, maka dianjurkan
untuk melanjutkan pola hidup sehat.
c) Jika ditemukan anak sekolah dengan status gizi gemuk atau obesitas, maka
anak dirujuk ke puskesmas untuk pemeriksaan lebih lanjut (Depkes RI,
2012).

2.1.8. Penatalaksanaan Obesitas
2.1.8.1. Penatalaksanan Non-Farmakologi pada Anak
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012), tatalaksana
kasus kegemukan dan obesitas ditujukan bagi anak yang tergolong gemuk atau
obesitas. Langkah-langkah kegiatan tatalaksana adalah :
1) Melakukan assesment (anamnesa riwayat penyakit dan penyakit keluarga,
pengukuran antropomentri dan status gizi, pemeriksaan fisik, laboratorium
sederhana, anamnesa riwayat diet).
2) Bila hasil assesment menunjukkan anak mengalami kegemukan dan
obesitas dengan komorbiditas (hipertensi, diabetes melitus, sleep apnea,
Blount disease dan lain-lain), maka dirujuk ke rumah sakit untuk
penanganan lebih lanjut.
3) Bila hasil assesment menunjukkan anak mengalami kegemukan dan
obesitas tanpa komorbiditas maka dapat dilakukan tatalaksana kegemukan
dan obesitas di Puskesmas.
4) Melakukan konseling gizi kepada anak dan keluarga agar melaksanakan
pola hidup sehat selama 3 bulan.
5) Lakukan evaluasi pada 3 bulan pertama.
Bila berat badan anak turun atau tetap maka dianjurkan untuk meneruskan
pola hidup sehat dan dilakukan evaluasi kembali setiap 3 bulan. Bila berat
badan anak naik, maka dilakukan kegiatan pengaturan berat badan yang
terstruktur di puskesmas.
6) Lakukan evaluasi setelah 3 bulan.
Bila berat badan anak turun atau tetap maka dianjurkan untuk melanjutkan
kegiatan pengaturan berat badan yang terstruktur. Bila berat badan anak

Universitas Sumatera Utara

12

naik atau ditemukan komorbiditas, maka harus dirujuk ke rumah sakit.
Evaluasi dilakukan setelah 3 bulan dan bagian penting dari upaya
perbaikan gizi adalah monitoring dan evaluasi pencegahan dan
penanggulangan obesitas pada anak (Depkes RI, 2012).

2.1.8.2. Penatalaksanaan Farmakologi untuk Obesitas pada Anak
Menurut Recommendations for Treatment of Child and Adolescent
Overweight and Obesity (2007), obat-obatan yang dapat digunakan untuk terapi
farmakologik obesitas pada anak berbeda dengan yang digunakan pada orang
dewasa. FDA Amerika Serikat telah menyetujui 6 obat khusus untuk obesitas dan
hanya 2 daripadanya, yaitu orlistat dan sibutramine untuk terapi farmakologik
obesitas pada anak.
Orlistat telah disetujui oleh FDA Amerika Serikat untuk pengobatan
obesitas pada anak yang berusia 12 tahun atau lebih. Dosis orlistat yang
dianjurkan ialah 120 mg dikonsumsi pada saat makan tiga kali dalam sehari. Cara
kerja orlistat melalui dua mekanisme. Orlistat menurunkan hidrolisis trigliserida
yang terdapat di dalam makanan. Orlistat juga menurunkan absorpsi lemak di usus
sampai sebanyak 30.0 % dengan cara menghambat kerja enzim lipase dalam usus.
Orlistat dianggap sebagai obat yang aman karena tidak diabsorpsi dalam usus
halus atau usus kecil.
Penggunaan orlistat dapat menimbulkan gangguan pencernaan berupa
diare (karena lemak yang tidak diabsorpsikan dikeluarkan dalam feces/ tinja),
sakit perut atau mual, rasa sebah, kembung,dan flatus (kentut). Absorpsi lemak
yang dihambat oleh orlistat menyebabkan gangguan absorpsi vitamin yang larut
dalam lemak yaitu vitamin A, vitamin D, vitamin E, dan vitamin K. Diet yang
dianjurkan untuk pengguna orlistat ialah yang mengandung serat dan yang 30.0 %
kalorinya berasal dari lemak. Efek-efek sampingan adalah biasanya ringan hingga
sederhana dan menurun dengan rawatan yang berterusan.
Sibutramine yang dulu sering digunakan untuk pengobatan obesitas anak
sekarang tidak lagi dianjurkan karena dapat meningkatkan risiko terjadinya

Universitas Sumatera Utara

13

gangguan kardiovaskular. Obat-obatan yang lain juga tidak dianjurkan karena
keamanan dan efektifitasnya belum terbukti dengan studi.
Pengobatan farmakologi hendaklah dibuat berdasarkan keperluan setiap
individu, dengan mengambil kira risiko kesehatan yang berkaitan dengan berat
badan, mekanisme dan tindakan obat dan kesan-kesan buruk yang dikaitkan
dengan pelbagai pengobatan, keutamaan pesakit atau keluarga, dan punca-punca
obesitas. Obat hanya perlu digunakan sebagai sebagian daripada program
penurunan berat badan yang meliputi pemakanan yang seimbang, aktivitas fisik,
dan modifikasi tingkah laku dan gaya hidup (Spear,B., 2007).

2.1.9. Pencegahan Obesitas pada Anak
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2012), pencegahan
obesitas pada anak dilakukan melalui pendekatan kepada anak sekolah beserta
orang-orang terdekatnya, yaitu orang tua, guru dan teman untuk mempromosikan
gaya hidup sehat yang meliputi pola dan perilaku makan serta aktivitas fisik.
Strategi pendekatan dilakukan pada semua anak. Usaha pencegahan dimulai dari
lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan.
Lingkungan sekolah merupakan tempat yang baik untuk pendidikan
kesehatan yang dapat memberikan pengetahuan, keterampilan serta dukungan
sosial dari warga sekolah. Pengetahuan, keterampilan serta dukungan sosial ini
memberikan perubahan perilaku makan sehat yang dapat diterapkan dalam jangka
waktu lama.
Tujuan pencegahan ini adalah supaya terjadinya perubahan pola dan
perilaku makan yang meliputi meningkatkan kebiasaan konsumsi buah dan sayur,
mengurangi konsumsi makanan dan minuman manis, mengurangi konsumsi
makanan tinggi energi dan lemak, mengurangi konsumsi junk food, serta
peningkatan aktivitas fisik dan mengurangi sedentary life style (Depkes RI, 2012).

2.2. Komplikasi Obesitas pada Anak
Menurut Yung Seng Lee (2009), komplikasi obesitas pada anak adalah
sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

14

1. Resistansi insulin dan intoleransi glukosa
Obesitas dapat memicu intoleransi glukosa dan resistensi hormon insulin,
yang dapat berujung pada diabetes melitus tipe 2. Kenaikan massa lemak tubuh,
yang berdampak pada penurunan sensitifitas insulin, adanya akumulasi lipid
dalam sel, dan adanya beberapa peptide yang dapat diproduksi oleh jaringan
lemak yang dapat memodifikasi fungsi dan aksi dari insulin. Di sisi lain,
seseorang dengan kondisi hyperinsulinemia dan insulin yang resisten, dapat
menyebabkan kenaikan berat badan dan mencegah dari kehilangan berat badan.
2. Hipertensi
Tekanan darah tinggi pada anak-anak sebelum ini dianggap kurang
berlaku, tetapi dalam beberapa tahun kebelakangan menjadi semakin biasa dengan
obesitas. Anak yang obesitas berisiko tekanan darah tinggi 3 kali ganda lebih
tinggi daripada anak yang tidak obesitas. Kira-kira 20.0 % hingga 30.0 %
daripada kanak-kanak obes antara 5 hingga 11 tahun mempunyai sistolik tinggi
atau tekanan darah diastolik yang berlebihan.
Gabungan faktor seperti resistensi insulin, pekerjaan belebihan oleh sistem
saraf simpatetik, pengaktifan sistem renin-angiotensin membawa kepada
peningkatan

penyerapan

natrium

dan

mengurangkan

natriuresis,

dan

keabnormalan dalam struktur vaskular dan fungsi boleh menyumbang kepada
tekanan darah tinggi yang berkaitan dengan obesitas.
3. Dislipidemia
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan
peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma, yaitu peningkatan kadar
kolesterol total, kolesterol LDL, dan/atau trigliserida, serta penurunan kadar
kolesterol HDL dalam darah. Dislipidemia adalah salah satu komponen dalam
trias sindrom metabolik selain diabetes dan hipertensi.
Pada orang yang kegemukan menunjukkan output VLDL trigliserida yang
tinggi dan kadar trigliserida plasma yang lebih tinggi. Trigliserida berlebihan
dalam sirkulasi juga mempengaruhi lipoprotein lain. Bila trigliserida LDL dan
HDL mengalami lipolisis, akan menjadi small dense LDL dan HDL, abnormalitas
ini secara tipikal ditandai dengan kadar HDL kolesterol yang rendah.

Universitas Sumatera Utara

15

4. Penyakit hepatobilier
Obesitas nantinya dapat menimbulkan tertimbunnya lemak pada liver yang
tidak dipicu oleh alkohol non alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Pada kondisi
ini, NAFLD dapat mengalami perubahan menjadi peradangan liver yang disertai
perlemakan yang lebih luas, yang berpeluang berkembang menjadi pengerasan
liver (sirosis) dan kanker liver.
Di sisi lain, obesitas akan memicu sekresi kolesterol berlebih dalam cairan
empedu, dan dengan ini dapat menjadi faktor resiko terbentuknya batu empedu.
Selain itu, bila disertai peradangan maka dapat menyebabkan radang kantung
empedu.
5. Sindrom Metabolik
Sindrom metabolik terdiri dari obesitas sentral, resistensi insulin,
hipertensi, dan dislipidemia berupa kadar trigliserida yang tinggi dan kolesterol
high density lipoprotein (HDL) yang rendah. Seorang anak dikategorikan
mengalami sindrom metabolik apabila memenuhi 3 dari 5 komponen kriteria
sindrom metabolik, yaitu obesitas sentral, peningkatan kadar trigliserida,
penurunan kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL), kadar gula darah
puasa terganggu, dan hipertensi.
6. Obstructive Sleep Apnoea (OSA)
Diperkirakan 33.0 % hingga 94.0 % anak-anak yang obesitas mengalami
apnea tidur. Hasil pemendapan lemak menyebabkan penyempitan saluran
pernafasan atas yang mengakibatkan udara tidak bisa masuk dan keluar dan lebih
terdedah kepada halangan semasa tidur. Jumlah lemak yang tinggi di bahagian
abdomen membawa kepada pernafasan yang kurang dengan peningkatan udara
dan akumulasi karbon dioksida.
7. Kesan psikososial
Obesitas mempunyai kesan yang ketara kepada pembangunan emosi anakanak yang mengalami diskriminasi, sebagai individu yang gemuk sering dikaitkan
dengan ciri-ciri negatif, dan biasanya dianggap suka makan, berfikiran lemah dan
yang tidak berdisiplin. Anak yang obes mempunyai gambaran dan bentuk badan
yang kurang baik, harga diri dan keyakinan yang rendah dan cenderung untuk

Universitas Sumatera Utara

16

membangunkan imej diri yang negatif yang berterusan hingga dewasa (Lee Y. S.,
2009).

2.3. Pengetahuan
2.3.1. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indra manusia yakni, indra penglihatan, penciuman, pendengaran, rasa dan raba,
sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2011).

2.3.2. Tingkat Pengetahuan Dalam Domain Kognitif
Tingkat pengetahuan menurut Notoatmodjo (2011), pengetahuan yang
tercakup dalam domain. Kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
1) Tahu (know)
Diartikan sebagai pengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya, termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali, sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini merupakan
tingkat pengetahuan yang paling rendah.
2) Memahami (comprehensip)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara

benar

tentang

objek

yang

di

ketahui

dan

dapat

menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah ada dipelajari pada suatu kondisi (yang sebenarnya). Aplikasi
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukuman-hukuman, rumus,
prinsip dan sebagainya dalam kontak atau situasi yang lain.
4) Analisa (Analysis)
Analisa adalah suatu komponen untuk menjabarkan materi atau suatu

Universitas Sumatera Utara

17

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
ini

dapat

dilihat

dari

penggunaan

kata

kerja,

seperti

dapat

menggambarkan, membedakan, mengelompokkan data sebagainya.
5) Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghiburkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyesuaikan dan lain
sebaginya terhadap suatu teori atau rumus-rumus yang telah ada.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilain-penilaian ini
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau yang
menggunakan kriteria yang di tentukan sendiri atau menggunakan
kriteria-kriteria yang ada (Notoatmodjo, 2011).

2.3.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dimiliki seseorang
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1.

Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi bagaimana seseorang
menanggapi suatu respon eksternal terhadap dirinya. Orang yang
berpendidikan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang akan
mungkin mereka peroleh dari gagasan tersebut.

2.

Paparan media masa
Informasi banyak disebar melalui berbagai media, baik media cetak
maupun elektronik. Pemaparan terhadap media masa dapat meningkatkan
pengetahuan seseorang.

3.

Status ekonomi
Status ekonomi menentukan seberapa baik pemenuhan kebutuhan individu.

Universitas Sumatera Utara

18

Dalam memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder, keluarga dengan
status ekonomi baik akan lebih mudah memenuhi kebutuhannya
dibanding keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan
mempengaruhi kebutuhan akan informasi yang termasuk kebutuhan
sekunder.
4.

Hubungan sosial
Individu yang memiliki hubungan interpersonal yang baik dan aktif
secara sosial akan lebih terpapar dengan pengetahuan. Selain itu, faktor
hubungan sosial juga mempengaruhi kemampuan individu untuk
menerima pesan menurut model komunikasi media.

5.

Pengalaman
Pengalaman seorang individu tentang berbagai hal bisa diperoleh dari
lingkungan sekitarnya dalam proses perkembangannya.
Pengetahuan atau kognitif yang dipengaruhi faktor-faktor tersebut diatas

merupakan hal yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku atau tindakan
seseorang karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).

Universitas Sumatera Utara