Hubungan frekuensi olahraga dengan tingkat stress pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2011, 2012, dan 2013

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Olahraga
2.1.1. Definisi Olahraga
Menurut European Sports Charter, Olahraga adalah segala bentuk
aktivitas fisik yang dilakukan begitu saja maupun teratur dengan tujuan
untuk mengekspresikan dan meningkatkan kesehatan fisik dan psikis,
membentuk hubungan sosial ataupun sebagai sarana kompetisi dalam
berbagai tingkat (NHS, 2013).

2.1.2. Klasifikasi olahraga
Menurut panduan Physical Activity and Your Heart oleh
departemen kesehatan Amerika Serikat pada tahun 2006, olahraga secara
garis besar dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Olahraga Aerobik
Merupakan aktivitas fisik yang menggunakan sekelompok otot dan
mengakibatkan tubuh untuk menggunakan oksigen dalam jumlah yang
lebih besar daripada saat beristirahat. Jenis olahraga ini sangat

menguntungkan bagi kesehatan jantung. Olahraga ini meliputi berjalan
kaki, jogging dan bersepeda.
2. Olahraga Anaerobik
Sering juga disebut sebagai resistance training atau strength
training. Dapat mengencangkan, memperkuat dan membesarkan otot.
Selain itu juga dapt meningkatkan kekuatan tulang, keseimbangan dan
koordinasi. Olahraga ini meliputi push-up dan angkat beban.
3. Olahraga Kelenturan
Jenis

olahraga

ini

berfungsi

untuk

meregangkan


dan

memperpanjang otot, selain itu juga membantu meningkatkan

Universitas Sumatera Utara

6

fleksibilitas sendi dan mempertahankan kelenturan otot sehingga dapat
mengurangi resiko terjadinya cedera. Contoh gerakan peregangan
adalah duduk bersila di lantai dan secara perlahan menekan bagian atas
kaki kebawah untuk meregangkan otot paha bagian dalam.
Berbagai kuesioner dapat digunakan untuk mengklasifikasikan
derajat olahraga menurut frekuensinya, sebagai contohnya adalah
kuesioner yang dikembangkan oleh Gaston Godin Ph.D. dan Dr. Roy
Shepard yang lebih sering disebut sebagai The Godin-Shephard
Leisure-Time Physical Activity Questionnaire. Kuesioner tersebut akan
digunakan pada penelitian ini dan dibahas lebih dalam pada bab 3.

Tabel 2.1. Klasifikasi olahraga berdasarkan intesitas (ACSM, 1998).


2.1.3. Manfaat Olahraga
Aktif berolahraga atau beraktivitas memiliki peran yang penting
dalam kesehatan. Olahraga menguntungkan berbagai bagian tubuh seperti
jantung, otot, tulang, darah, sistem imun dan sistem saraf. Olahraga juga
dapat mengurangi banyak faktor resiko dari non-communicable diseases
(NCD) meliputi menurunkan tekanan darah, memperbaiki kadar kolesterol

Universitas Sumatera Utara

7

darah dan menurunkan indeks massa tubuh. Selain keuntungan dari segi
fisik, olahraga juga menguntungkan bagi kesejahteraan psikis dengan
memberikan efek seperti meningkatkan suasana hati dan rasa percaya diri,
mengurangi gejala dari stres, marah dan depresi, meringankan kegelisahan
dan memperlambat penurunan fungsi kognitif (C3, 2011).
Data dari Parliementary Office of Science and Technology
menyatakan bahwa olahraga ringan yang rutin seperti berjalan kaki dapat
mengurangi angka kematian sebesar 14% pada kasus penyakit jantung

koroner. Selain itu olahraga yang rutin dapat meningkatkan sensitivitas
insulin sebesar 25% dan memperbaiki kadar gula darah sehingga
mengurangi resiko munculnya diabetes tipe 2. Pada kasus Stroke, olahraga
yang rutin dapat mengurangi tekanan darah pada penderita hipertensi,
meningkatkan kadar high-density lipoprotein (HDL) dan menurunkan
kadar low-density lipoprotein (LDL) sehingga mengurangi resiko terkena
stroke. Kebiasaan berolahraga yang dimulai sejak usia dini akan
membantu pertumbuhan tulang yang baik sehingga dapat mengurangi
resiko terkena osteoporosis pada usia lanjut. Data ini juga menyatakan
bahwa orang yang rajin berolahraga memiliki resiko yang lebih rendah
terkena beberapa jenis kanker, contohnya orang yang tidak suka
berolahraga lebih beresiko terkena kanker usus besar 3 kali lipat
dibandingkan orang yang rutin berolahraga (POST, 2001).

2.2. Stres
2.2.1. Definisi Stres dan Stresor
Stres merujuk kepada respon fisiologis yang terjadi ketika suatu
organisme gagal untuk menanggulangi ancaman emosional maupun fisik
dengan baik. Dalam keadaan ekstrim atau berkepanjangan, stres dapat
menyebabkan masalah kesehatan yang cukup serius (Stangor, 2010).

Sedangkan stresor merupakan segala stimulus yang dapat membebani
kapasitas fisik maupun pikiran seseorang. Stres dan stresor memiliki
hubungan sebab-akibat (Lemma, 2005).

Universitas Sumatera Utara

8

Stres muncul saat tubuh terpapar pada stressor, yang dapat terbagi
menjadi beberapa kategori, antara lain: fisik (trauma, panas, dingin), kimia
(kurangnya kadar oksigen, kadar asam-basa yang tidak seimbang),
fisiologis (olahraga berat dan berlebihan, syok hemoragik, nyeri),
psikologis atau emosional (cemas, takut, sedih) dan sosial (konflik
personal, perubahan gaya hidup) (Sherwood, 2010).

2.2.2. Klasifikasi Stres
American Psychological Association (APA) membagi stres atas 3
tipe, yaitu :
1.


Stres akut
Merupakan tipe stres yang paling umum ditemukan. Muncul
karena tuntutan atau tekanan dari masa lalu atau masa kini dan
antisipasi atas tuntutan atau tekanan di masa depan. Pada awalnya
dapat menjadi motivasi untuk bekerja dan beraktivitas, tetapi jika
berlebihan akan menimbulkan rasa kesulitan secara psikologis. Tandatandanya meliputi

rasa cemas, sedih, marah, nyeri otot, masalah

pencernaan, palpitasi dan pusing.
2.

Stres akut episodik
Terjadi kepada orang-orang yang sering mengalami stres akut.
Kehidupan penderita biasanya tidak teratur, selalu terburu-buru, selalu
terlambat, mengerjakan atau mengurus terlalu banyak hal dalam waktu
yang sempit dan tidak mampu mengatur waktu dengan baik. Stres akut
episodik ini sendiri pada akhirnya terbagi atas 2 tipe sesuai kepribadian
penderitanya, yaitu :
a. “Type A”

Cenderung agresif, tidak sabaran dan memiliki hasrat
kompetisi yang tinggi.
b. “Worry Warts”
Lebih mengarah kepada rasa cemas dan depresi, sehingga
selalu berpandangan buruk terhadap segala situasi.

Universitas Sumatera Utara

9

Tanda-tandanya meliputi migren, nyeri dada, penyakit jantung,
hipertensi dan persistent tension headaches.
3. Stres kronis
Berkebalikan dari stres akut yang dapat menjadi motivasi, stres
kronis akan menghancurkan tubuh, pikiran dan kehidupan penderita.
Aspek terburuk dari stres kronis ini adalah orang yang mengalaminya
akan menjadi terbiasa dengan keadaan stres dan mulai tidak
memperdulikannya dan tidak mencari solusi. Berawal dari stres akut
yang tidak kunjung hilang, penderita akan merasa segala aspek
kehidupan menjadi beban pikirannya dan pada akhirnya penderita

dapat mengakhiri hidupnya sendiri untuk mencari jalan keluar.
Selain pembagian diatas, stres juga dapat dibagi tingkatannya
berdasarkan pengalaman seseorang selama beberapa waktu tertentu
dengan menggunakan berbagai jenis kuesioner, sebagai contohnya adalah
Kessler Psychological Disstress Scale. Kuesioner tersebut akan digunakan
pada penelitian ini dan dibahas lebih dalam pada bab 3.

2.2.3. Fase Stres
Hans Selye mendeskripsikan respon fisiologis tubuh terhadap stres
yang berkepanjangan dalam sebuah konsep yang disebut General
Adaptation Syndrome (GAS), yang terbagi menjadi 3 fase :
1. The Alarm Reaction: Tubuh memberikan respon bertahan, yang di
stimulasi oleh hormon dari korteks kelenjar adrenal, terhadap stresor
yang datang. Jika Stresor tidak dihilangkan pada tahap ini maka akan
berlanjut kepada tahap berikutnya.
2. The Stage of Resistance: Tubuh memberikan perlawanan secara
terus-menerus terhadap stresor. Jika Stresor tidak dihilangkan pada
tahap ini maka akan berlanjut kepada tahap berikutnya.
3. The Stage of Exhaustion: Efek dari Stresor yang menetap
mengakibatkan


penurunan

daya

tahan

tubuh

dan

dapat

Universitas Sumatera Utara

10

mengakibatkan berbagai kondisi yang berujung kepada kematian
(Lemma, 2005).
Selain dari 3 fase GAS diatas, Hans Selye juga mengidentifikasi

tingkat kinerja dan resistansi normal atau dalam batas homeostasis yang
diberikan tubuh dalam keadaan sehari-hari mulai dari memecahkan
masalah, mengatur waktu dan menjaga keadaan agar tetap bekerja dengan
baik. Pada saat stresor yang muncul melampaui kemampuan adaptasi
tubuh pada saat itu maka dimulailah fase alarm (Rice, 2012).

Gambar 2.1. Diagram of the General Adaptation Syndrome (GAS) Model
(Rice, 2012)

2.2.4. Mekanisme Stres
Pada manusia stres diperantarai oleh 2 respon sistem endokrin,
yaitu:

Hypothalamic-Pituitary-Adrenocortisol

(HPA)

axis

dan


Sympathetic-Adrenal-Medullary (SAM) system (Cohen et al., 2007).
Rangsangan pada sistem ini mengaktifkan respon “fight or flight” sebagai
adaptasi tubuh yang menimbulkan efek sebagai berikut : peningkatan
tekanan arteri, peningkatan aliran darah, peningkatan kadar metabolisme
seluler, peningkatan kadar glukosa dalam darah, peningkatan glikolisis di
hati dan otot, peningkatan kekuatan otot, peningkatan aktivitas psikis,
peningkatan kadar koagulasi darah. Semua respon tersebut membantu

Universitas Sumatera Utara

11

tubuh untuk dapat melakukan aktivitas fisik berat yang mungkin tidak
dapat dilakukan dalam kondisi lain (Guyton & Hall, 2006).
Kortisol, efektor primer dari aktivasi HPA pada manusia,
meregulasikan beberapa proses fisiologis, seperti respon anti-inflamasi,
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein serta glukoneogenesis.
Katekolamin, yang dilepaskan dari aktivasi SAM, bekerja dengan sistem
saraf otonom untuk meregulasikan sistem kardiovaskular, pulmonar,
hepatis, otot skeletal dan imun. Aktivasi dari HPA dan SAM
meningkatkan tingkat kewaspadaan dan kinerja tubuh tetapi aktivasi
berulang atau berkepanjangan dapat mengganggu proses kerja mereka
pada sistem fisiologis lain (Cohen et al., 2007). Aktivasi HPA berlebihan
seperti pada stres kronis akhirnya akan melemahkan sistem imun sehingga
tubuh rentan terhadap penyakit. Stres juga memperlambat tingkat
penyembuhan luka dan merusak DNA yang pada akhirnya dapat
menyebabkan penyakit akibat mutasi genetik seperti kanker. Stres kronis
meningkatkan jumlah darah yang dipompa oleh jantung dan peningkatan
kortisol secara terus menerus membentuk plak pada dinding arteri
menyebabkan konstriksi pembuluh darah, hal ini dapat berujung kepada
penyakit jantuk dan akhirnya kematian (Stangor, 2010).

2.2.5. Penanggulangan Stres
Penanggulangan stres adalah upaya untuk mengurangi atau
mentoleransi tuntutan dari lingkungan maupun dari diri kita sendiri dan
konflik antara keduanya yang melebihi batas kemampuan individu.
Penanggulangan stres dapat terjadi sebelum munculnya stres itu sendiri
dan disebut sebagai penanggulangan yang bersifat antisipasi (Everly,
2013). Cara menanggulangi stres berbeda bagi tiap orang, secara garis
besar metode penanggulangan stres dapat dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Task-oriented: Menganalisa masalah atau stresor yang ada lalu
melakukan tindakan positif yang sesuai untuk menangani keadaan
secara langsung.

Universitas Sumatera Utara

12

2. Emotion-oriented:

Menghadapi

masalah

atau

stresor

dengan

menggunakan perasaan serta mencari dukungan sosial dari orang lain,
seperti teman maupun keluarga.
3. Distraction oriented: Menggunakan sumber dari luar untuk
mengalihkan perhatian terhadap masalah atau stresor yang ada hingga
akhirnya mendapatkan solusi. Tindakan yang bisa dilakukan sebagai
pengalih perhatian bergantung kepada masing-masing orang,
contohnya: mendengarkan musik, berolahraga, melukis, dam lain-lain
(CMHA, 2009).

2.3. Hubungan Antara Olahraga dan Stres
Saat berolahraga dalam jangka panjang, ada pelepasan endorfin dalam
jumlah besar dan mengakibatkan fenomena yang disebut runner’s high.
Endorfin yang dilepaskan akan mengurangi rasa sakit yang diterima tubuh
dengan cara menghalangi sinyal rasa sakit. Selain itu endorfin juga akan
berikatan dengan reseptor opioid, yang akan menghalangi pelepasan
neurotransmiter, dan dapat meningkatkan suasana hati. Pada sebuah
eksperimen kepada pasien penderita kelainan kegelisahan, tablet endorfin
oral yang diberikan rutin kepada pasien dihentikan secara tiba-tiba dan
diganti dengan jadwal rutin olahraga yaitu jalan kaki selama 45 menit
terus-menerus setiap pagi dan malam setiap hari. Hasilnya pasien tersebut
tidak lagi memerlukan tablet endorfin oral dan merasa lebih percaya diri
serta rasa cemas dan stresnya hilang begitu saja (Rokade, 2011).
Olahraga sebagai alternatif untuk menanggulangi atau menghilangkan
stres cocok untuk semua orang, berbagai umur, kondisi dan latar belakang.
Penelitian lain yang dilakukan pada wanita dewasa dengan gejala depresi
juga menunjukkan bahwa olahraga yang rutin memberikan efek positif
meringankan gejala depresi, meningkatkan kebugaran dan sosialitas subjek
pada saat yang bersamaan (Nabsakorn et al., 2005). Ada pula penelitian
yang menunjukkan bahwa pada wanita hamil olahraga aerobik yang
dilakukan di air dapat membantu mengurangi stres sehingga pada akhirnya

Universitas Sumatera Utara

13

memudahkan proses melahirkan (Parker & Smith, 2003). Selain daripada
itu ada juga penelitian yang dilakukan untuk mencari efek dari aktivitas
fisik terhadap perbaikan stres yang disebabkan oleh masalah sekolah atau
akademik, walau hubungannya lemah tetapi aktivitas fisik terbukti
membantu mengurangi efek stresor dan meningkatkan waktu pemulihan.
Olahraga yang rutin dapat mengurangi tekanan pada otot yang berakibat
kepada perbaikan kuantitas dan kualitas tidur yang dapat membantu
meningkatkan mekanisme kognitif. Hal ini pada akhirnya akan
mempertajam kemampuan atau insting seseorang terhadap kontrol dari
tubuhnya dalam beraktivitas dan pola berpikir yang berperan terhadap
proses pengalihan dari stres (Hauglan et al., 2003). Di Finlandia dilakukan
survey untuk membandingkan keadaan psikologi antara orang dewasa
yang rutin berolahraga dengan yang jarang berolahraga, hasil survey
menunjukkan bahwa pada kelompok yang rajin berolahraga memiliki
tingkat stres yang lebih rendah dan banyak efek positif lainnya (Hassmen
et al., 2000). Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran di
Pakistan menunjukkan bahwa 46.15% dari total mahasiwa kedokteran baik
wanita maupun pria memilih untuk berolahraga sebagai cara mereka untuk
menanggulangi atau menghilangkan stres (Shaikh et al., 2004).
Dari data diatas dampak olahraga terhadap stres dapat dilihat
memberikan efek positif. Dengan kontrol yang baik, olahraga yang rutin
dapat menjadi terapi alternatif yang murah dan cukup efektif untuk
menanggulangi atau menghilangkan stres sehingga stres tidak berkembang
menjadi sesuatu yang lebih parah yang dapat membahayakan.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hubungan Olahraga Dan Aktivitas Harian Dengan Indeks Massa Tubuh Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2011, 2012 Dan 2013

0 3 96

Hubungan frekuensi olahraga dengan tingkat stress pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2011, 2012, dan 2013

2 13 61

Hubungan Olahraga Dan Aktivitas Harian Dengan Indeks Massa Tubuh Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2011, 2012 Dan 2013

0 0 12

Hubungan Olahraga Dan Aktivitas Harian Dengan Indeks Massa Tubuh Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Angkatan 2011, 2012 Dan 2013

0 0 2

Hubungan frekuensi olahraga dengan tingkat stress pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2011, 2012, dan 2013

0 1 12

Hubungan frekuensi olahraga dengan tingkat stress pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2011, 2012, dan 2013

0 0 2

Hubungan frekuensi olahraga dengan tingkat stress pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2011, 2012, dan 2013

1 1 4

Hubungan frekuensi olahraga dengan tingkat stress pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2011, 2012, dan 2013

0 1 4

Hubungan frekuensi olahraga dengan tingkat stress pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2011, 2012, dan 2013

1 1 16

Hubungan Frekuensi Olahraga dengan Tingkat Dismenore pada Mahasiswi Fakultas Kedokteran USU Angkatan 2011 dan 2012

0 2 18